Anda di halaman 1dari 14

PATOLOGI BIROKRASI

Lokasi Penelitian : Kantor Camat Patumbak


Dosen Pengampu :
Indra Fauzan, S.HI,M.Soc.Sc

Disusun Oleh:
1.Sarah Aziza Ilman (200906115)
2.Kevin Gultom (200906109)
3.Alifah irba (200906099)
4.Dimas Aditya Pradana (200906081)
5.Dinda Putri Patricia (200906079)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Birokrasi merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas fungsi pelayanan publik,
pemberdayaan masyarakat dan pembangunan negara. Keberadaan birokrasi sangat penting bagi
negara. Oleh karena itu, keberadaan birokrasi yang berpengalaman diharapkan dapat
membangun negara yang berdaya saing. Dalam praktiknya, birokrasi negara di berbagai negara,
khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, tidak memposisikan dirinya sebagai lembaga
yang menjalankan tugas negara. Birokrasi masih dirundung banyak masalah seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme, serta pelayanan publik yang jauh dari ideal. Cara kerja birokrasi,
berdasarkan hierarki pegawai negeri, memungkinkan pengawasan yang efektif dan tindakan
positif. Apalagi ketika kewenangan top management (the strategic apex) dialihkan ke manajemen
eksekutif (middle line). Struktur desentralisasi ini mempertimbangkan terciptanya birokrasi yang
profesional yang berdampak pada peningkatan efisiensi organisasi dan dimana birokrasi dapat
bertanggung jawab kepada otoritas yang berwenang. 

Beberapa tahun terakhir ini, kondisi birokrasi Indonesia mendapat sorotan tajam dari
berbagai kalangan, mulai dari disiplin kerja yang buruk, kinerja yang buruk dan banyak
pelayanan yang berkualitas rendah, hingga mendesak reformasi birokrasi yang buruk. Esensi
reformasi adalah mengubah paradigma “melayani” menjadi “melayani masyarakat”. Harapan ke
arah tersebut selama ini belum terpenuhi, karena beberapa faktor seperti kepegawaian, pilihan
dukungan pekerjaan dan upah yang rendah. Oleh karena itu, dapat dipahami jika gambaran
kualitas pelayanan birokrasi di Indonesia dinilai buruk, lamban, dan mahal. Dalam rangka
meningkatkan peningkatan pelayanan publik, pemerintah harus mengevaluasi instansi yang
banyak menerima pengaduan dari masyarakat. Ombudsman RI mempertimbangkan dan
menindaklanjuti beberapa pengaduan warga di tingkat nasional. Ombudsman adalah pejabat atau
lembaga yang bertugas menyelidiki berbagai pengaduan masyarakat. Kata mediator berasal dari
bahasa Swedia Kuno umbuðsmann, yang artinya merepresentasikan pelayanan pada hakikatnya
adalah sekumpulan kegiatan karena merupakan proses. Sebagai suatu proses, pelayanan bersifat
rutin dan berkesinambungan dan meliputi seluruh kehidupan masyarakat. Implementasi layanan
dapat diukur, sehingga standar dapat ditetapkan sesuai dengan waktu yang dibutuhkan dan
hasilnya. Dalam hal sistem pelayanan sektor publik ,tidak mengherankan jika praktik korupsi
menjadi fenomena yang lazim dan sering dianggap sebagai peruntungan. Para pejabat birokrasi
menganggap salah satu praktik korupsi yakni suap ataupun gratifikasi sebagai hal yang sangat
wajar dan sebagai rasa terima kasih atas jasanya dalam memperlancar proses pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat. Sementara itu, masyarakat pun harus membayar biaya tambahan
yang juga merasa diuntungkan karena mereka mendapatkan kepastian pelayanan serta
kemudahan dalam hal memproleh pelayanan yang diinginkan.

Dalam perjalanan bangsa Indonesia, birokrasi tidak dapat dipisahkan dari sistem
administrasi. Eksistensi birokrasi hingga Satmash menimbulkan kontroversi yang
berkepanjangan, tuntutan berita setidaknya mengubah wajah birokrasi Indonesia, meski tidak
banyak. Program Pembentukan Birokrasi Indonesia tidak lagi hanya tentang membangun
kelembagaan birokrasi yang profesional untuk penyelenggaraan pemerintahan, tetapi tentang
bagaimana birokrasi dapat merepresentasikan konfigurasi sosial yang ada, untuk menjamin
keterwakilan setiap komunitas sosial yang memiliki akar kuat dalam birokrasi. Deteksi penyakit
atau patologi birokrasi, demikian sering disebut dalam dunia kedokteran, juga harus dilakukan
bagi birokrasi Indonesia. Hal ini untuk mencegah agar penyakit yang ada di tubuh birokrasi
Indonesia tidak menyebar ke orang lain, sebagai tindakan preventif dan bahkan
menyembuhkannya secara tuntas, meski memakan waktu lama.

Upaya meminimalisasi dan cara meengatasi penyakit dalam birokrasi harus mengarah
pada perubahan pelayanan publik yang prima. Masalah patologis atau penyakit birokrasi
diakibatkan oleh rekrutmen dan penempatan birokrat yang tidak berdasarkan sistem merit
(jenjang karir). 

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dengan latar belakang masalah penelitian ini, maka dapat dikemukan beberapa
rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk patologi birokrasi dalam pelayanan publik di kecamatan Patumbak?


2. Bagaimana Langkah-langkah yang dapat meminimalisir patologi birokrasi dalam
penanganan pelayanan publik di Kecamatan Patumbak?
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini mempunyai
tujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui bentuk patologi birokrasi dalam pelayanan publik di kecamatan


Patumbak.
2. Untuk mengetahui Langkah-langkah yang ditempuh dalam meminimalisir patologi
birokrasi dalam penanganan pelayanan public di Kecamatan Patumbak

1.4 Teori dan Konsep

Patologi Birokrasi adalah sebuah penyakit yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan dalam
birokrasi. Penyakit ini bukan sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tetapi sudah ada dan
terpelihara sejak lama. Birokrasi sudah terbiasa menjadi simbol kemakmuran dan kerajaan bagi
aparatnya untuk mendapatkan pelayanan dari masyarakat. Kultur pangreh praja (rakyat
mengabdi pada pemerintah/raja) sudah ada dan bersemayam di birokrasi zaman kerajaan-
kerajaan Nusantara, dan birokrasi yang diciptakan untuk melayani penguasa sudah terjadi sejak
zaman penjajahan Belanda sampai dengan sekarang (era reformasi).

Pada mulanya, istilah “patologi” hanya dikenal dalam ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang
penyakit. Namun belakangan hari analogi ini dikenal dalam birokrasi, dengan makna agar
birokrasi pemerintahan mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang
bersifat politis, ekonomi, sosio kultural dan teknologi, berbagai penyakit yang mungkin sudah
dideritanya atau mengancam akan menyerangnya perlu diidentifikasi untuk kemudian dicarikan
terapi pengobatan yang paling efektif. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali
bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita “penyakit birokrasi
sekaligus”.

Kesalahan yang timbul pada umumnya adalah terbentuknya hubungan yang berlebihan. Patologi
birokrasi umumnya merupakan hasil dari rantai hierarki yang panjang, adanya spesialisasi dan
formalisasi birokrasi serta kinerja birokrasi yang tidak sejalan. Dampak yang ditimbulkan oleh
patologi birokrasi adalah paternalisme, bertambahnya anggaran dalam jumlah besar, prosedur
yang rumit dan bertele-tele, pemecahan birokrasi, atau birokrasi menjadi sangat kompleks.
Patologi birokrasi bisa berpengaruh dengan kinerja para birokrat secara langsung atau tidak
langsung. Selain itu patologi birokrasi di golongkan menjadi lima macam yaitu patologi yang
muncul karena faktor manajerial para pejabat yang berada di lingkungan birokrat, selain itu
karena faktor kurangnya pengetahuan, perilaku para pejabat birokrasi yang melanggar aturan,
patologi yang dimanfaatkan para pejabat birokrat dalam hal negatif serta terjadi karena kondisi
internal diberbagai instansi pemerintah.

Ruang lingkup patologi birokrasi menurut Smith (1988) dalam Ismail (2009) dapat dipetakan
dalam dua konsep besar, yaitu:

1. Disfunctions of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan prosedur atau
berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara kelembagaan yang jelek, sehingga
tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara
institusi.

2. Mal-administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang dapat


disogok, meliputi: perilaku korup, tidak sensitif, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias, atau
erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di dalam
birokrasi.

Bentuk patologi birokrasi yang ditinjau dari perspektif perilaku birokrasi merefleksikan bahwa
birokrasi sebagai pemilik kewenangan menyelenggarakan pemerintahan tentu memiliki
kekuasaan “relatif” yang sangat rentan terhadap dorongan untuk melakukan hal-hal yang
menguntungkan diri dan kelompoknya yang diformulasikan atau diwujudkan dalam berbagai
perilaku yang buruk. Suatu perilaku dikatakan baik, bila secara universal semua orang bersepakat
mengakui suatu perbuatan yang menunjukkan tingkah laku seseorang memang baik, sedangkan
sebaliknya suatu perilaku dikata- kan buruk, bila secara universal semua orang bersepakat
menyatakan bahwa tingkah laku seseorang itu buruk. Karena hakikatnya hanya dua jenis
perilaku yang ada dalam diri manusia, yaitu perilaku baik dan perilaku buruk, yang kesemuanya
itu tergantung dari manusianya sendiri. Dikaitkan dengan patologi birokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam perspektif perilaku, maka yang dijadikan indikator adalah
berbagai perilaku buruk dari birokrasi itu sendiri.

Siagian (1994) mengelompokkan patologi birokrasi ke dalam 5 (lima) kategori, yaitu:

1.Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi,
seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan; persepsi atas dasar prasangka, mengaburkan
masalah, menerima sogok, pertentangan kepentingan, cenderung mempertahankan status quo,
empire building, bermewah-mewah, pilih kasih, takut pada perubahan, inovasi, dan risiko,
penipuan, sikap sombong, ketidakpedulian pada kritik dan saran, tidak mau bertindak, takut
mengambil keputusan, sifat menyalahkan orang lain, tidak adil, intimidasi, kurang komitmen,
kurang koordinasi, kurang kreativitas, kredibilitas terendah, kurangnya visi yang imajinatif,
kedengkian, nepotisme, tindakan tidak rasional, bertindak diluar wewenang, paranoid, patronase,
keengganan mendelegasikan, ritualisme, keengganan pikul tanggung jawab, dan xenophobia.

2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan
para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, seperti: ketidakmampuan menjabarkan
kebijaksanaan pimpinan, ketidaktelitian, rasa puas diri, bertindak tanpa berpikir, kebingungan,
tindakan yang tidak produktif, tidak adanya kemampuan berkembang, mutu hasil pekerjaan yang
rendah, kedangkalan, ketidakmampuan belajar, ketidaktepatan tindakan, inkompetensi,
ketidakcekatan, ketidakteraturan, melakukan tindakan yang tidak relevan, sikap ragu-ragu,
kurangnya imajinasi, kurangnya prakarsa, kemampuan rendah, bekerja tidak produktif,
ketidakrapian, dan stagnasi.

3. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma
hukum dan peraturan perundang- undangan yang berlaku, seperti: penggemukan biaya,
menerima sogok, ketidakjujuran, korupsi, tindakan kriminal, penipuan, kleptokrasi, kontrak
fiktif, sabotase, tata buku tidak benar, dan pencurian.

4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau
negatif, seperti: bertindak sewenang- wenang, pura-pura sibuk, paksaan, konspirasi, sikap takut,
penurunan mutu, tidak sopan, diskriminasi, dramatisasi, sulit dijangkau, sikap tidak acuh, tidak
disiplin, kaku, tidak berperike- manusiaan, tidak peka, tidak sopan, tidak peduli tindak; salah
tindak, semangat yang salah tempat, negativisme, melalaikan tugas, tanggungjawab rendah, lesu
darah, paparazi, melaksanakan kegiatan yang tidak relevan, utamakan kepentingan sendiri,
suboptimal, imperatif wilayah kekuasaan, tidak profesional, sikap tidak wajar, melampaui
wewenang; vested interest; dan pemborosan.

5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan
pemerintahan, seperti: penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat, kewajiban sosial sebagai
beban, eksploitasi, tidak tanggap, pengangguran terselubung, motivasi yang tidak tepat; imbalan
yang tidak memadai, kondisi kerja yang kurang memadai, pekerjaan tidak kompatibel, tidak
adanya indikator kinerja, miskomunikasi, misinformasi, beban kerja yang terlalu berat, terlalu
banyak pegawai, sistem pilih kasih, sasaran yang tidak jelas, kondisi kerja yang tidak nyaman,
m sarana dan prasarana yang tidak tepat; dan perubahan sikap yang mendadak.

Jenis-Jenis Patologi Birokrasi

Layaknya patologi dalam dunia medis, patologi birokrasi juga memiliki berbagai jenis penyakit.
Jenis-jenis patologi birokrasi menurut Sondang Siagian (1994) antara lain:

1. Penyalahgunaan wewenang
2. Persepsi yang didasarkan pada prasangka
3. Pengaburan masalah 
4. Menerima sogokan
5. Pertentangan antar kepentingan
6. Status quo
7. Empire building
8. Complacency
9. Nepotisme 
10. Paranoia (menilai diri sendiri secara berlebihan)
11. Sikap opresif
12. Patronase
13. Astigmatisme(ketidakmampuan melihat masalah dalam organisasi)
14. Xenophobia
15. Ritualisme
16. Counter productive
17. Mediocrity (kemampuan rendah dalam penyelesaian pekerjaan)
18. Stagnasi 
19. Sabotase
20. Diskriminasi
21. Red tape (berbelit-belit)
22. Sycophancy, tampering   (mengotak-atik barang bukti)
23. Tokenisme (tidak sepenuh hati), vested interest

1.5 METODOLOGI PENELITIAN

1.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deskriptif kualitatif. deskriptif yaitu suatu
rumusan masalah yang memandu penelitian untuk mengeksplorasi atau memotret situasi
sosial yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan mendalam. Menurut Bogdan dan
Taylor yang dikutip oleh Lexy.J. Moleong, pendekatan kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya, perilaku, persepsi, minat, motivasi, tindakan, dengan cara deksripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa. Pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk mendapatkan
informasi lengkap.

1.2 Teknik pengumpulkan Data.

Teknik pengumpulan data adalah proses dan cara yang di pergunakan penulis
untuk mendapatkan data yang di butuhkan. Penelitian ini menggunakan jenis data
kualitatif. Data kualitatif adalah data yang dikumpulkan lebih mengambil bentuk kata-
kata atau gambar, Data tersebut mencakup observasi lapangan, transkrip wawancara,
catatan lapangan, fotografi, vidiotape, dokumtasi, memo suara, dan rekaman-rekaman
yang kami lakukan pada lokasi penelitian bersama narasumber.

Pengamatan/Observasi

Pada penelitian ini, langkah awal teknik pengumpulan data dilakukan oleh
penulis adalah observasi. Observasi atau pengamatan yaitu terfokus terhadap kejadian,
gejala, atau sesuatu.Jadi dapat di simpulkan bahwa observasi ialah suatu kegiatan yang di
lakukan untuk mengumpulkan data.

Wawancara

Langkah kedua dalam tehnik pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara.
Wawancara adalah percakapan dengan narasumber yaitu sebagai orang yang di
wawancarai (interviewer) sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan itu.Wawancara akan
dilakukan dengan cara face to face atau berhadapan langsung dengan informan yang akan
diwawancarai.

Dokumentasi
Langkah ketiga dalam tehnik pengumpulan data yang dilakukan adalah dokumentasi.
Dokumentasi adalah pengumpulan data-data yang diperoleh dari dokumen dokumen dan
pustaka sebagai bahan analisis dalam penilitian ini.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Birokrasi di Kantor Camat Patumbak

Kelompok kami mengambil lokasi penelitian di salah satu kantor camat, yaitu kantor camat
patumbak yang terletak dijalan Pertahanan No.158, Sigara-gara,Kec.Patumbak, Kabupaten deli
Serdang. Dengan camat yang menjabat saat ini ialah bapak M. Kennedy Tarigan, S.STP

Patumbak adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatra Utara,
Indonesia. Kecamatan Patumbak terdiri dari beberapa desa. Diantaranya adalah Desa Sigara-
gara, Desa Lantasan lama dan Desa Patumbak Kampung. Melalui kantor kecamatan ini, warga
dapat mengurus berbagai bentuk perizinan. Beberapa perizinan yang sering dibuat terkait dengan
penerbitan izin usaha mikro kecil (IUMK), rekomendasi surat pengantar SKCK, surat keterangan
domisili, surat izin menutup jalan untuk pembangunan atau acara, pengesahaan surat keterangan
miskin, dispensasi nikah, rekomendasi dan pengesahaan permohonan cerai, belum menikah, dan
nikah. Surat-surat lainnya yang dapat diurus terkait perizinan tertentu seperti surat eksplorasi air
tanah, penggalian mata air, surat perubahan penggunaan tanah, waris, hingga wakaf. Dan masih
banyak lagi fungsi dan tugas lain dari kantor kecamatan.

1.2 Patologi Birokrasi di Kantor Camat Patumbak

Patologi birokrasi ialah penyakit dalam birokrasi Negara yang tampil karena sikap beberapa
birokrat dan keadaan yang buka peluang karena itu, baik yang tersangkut diplomatis, ekonomis,
social cultural dan tehnologikal. Patologi birokrasi atau penyakit birokrasi ialah "hasil hubungan
di antara susunan birokrasi yang keliru dan faktor-variabel lingkungan yang keliru". birokrasi
yang terlalu berlebih,seperti rantai hierarki panjang, specialistasi, formalisasi dan performa
birokrasi yang tidak linear sehingga menimbulkan Patologi birokrasi.
Dari hasil wawancara dari Pegawai Birokrasi di Kantor Camat mengatakan bahwa “Kami
Melakukan Pelayanan yang sesuai dan tepat waktu dimana para pegawai harus sudah berada di
kantor camat pukul 08:00 WIB dan kami langsung melakukan pelayanan kepada masyarakat dan
melayaninya sesuai dengan antrian”, dan mereka tidak boleh lagi melakukan tindak penyuapan
dalam bentuk apapun untuk mempercepat urusan karena mereka menjunjung tinggi professional
dan penghasilan yang mereka dapatkan dari pemerintah sudah cukup memadai sehingga tidak
perlu lagi menerima suap dari siapa pun.

Dari hasil wawancara kepada Masyarakat di daerah Patumbak Kabupaten Deli Serdang
mengatakan “Patologi-Patologi birokrasi yang sering terjadi di kantor Camat Patumbak yaitu
masalah pelayanannya yang menyebabkan keterlambatan pengurusan dan banyaknya proses-
proses yang berujung memperlama urusan masyarakat. Dan sikap beberapa orang pegawai
birokrasi di kantor camat patumbak masih dinilai kurang ramah kepada masyarakat yang ingin
mengurus urusan mereka. Mereka mengatakan masih sangat susah saat meminta tanda tangan
camat untuk mengurus berkas-berkas yang mereka ingin urus. Saat masyarakat ingin mengurus
kepentingan ke kantor Camat Patumbak sering kali pegawainya ada rapat atau kegiatan diluar
kecamatan yang membuat masyarakat menunggu dan tidak meninggalkan pegawai yang lainnya
untuk melayani masyarakat”.

Adapun penyebab timbulnya Patologi Birokrasi adalah adanya interaksi yang salah antara
struktur dan faktor-faktor lingkungan birokrasi. Kesalahan yang timbul pada umumnya adalah
terbentuknya hubungan yang berlebihan. Patologi Birokrasi bisa berpengaruh kepada kinerja
para birokrat secara langsung atau tidak langsung. Faktor-faktor Patologi Birokrasi kurangnya
pengetahuan, perilaku para pejabat birokrasi yang melanggar aturan, patologi yang dimanfaatkan
oleh para pejabat dalam hal negative serta terjadi karena kondisi internal diberbagai instansi
pemerintahan.

Upaya mengatasi patologi birokrasi pada hakikatnya yaitu dengan memberikan pelayanan utama
kepada masyarakat yang merupakan implementasi dari kewajiban aparatur negara. Namun
kondisi yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa pelayanan publik sepenuhnya belum
berjalan secara optimal dan masih ditemukan berbagai hambatan-hambatan, sehingga belum
terwujudnya birokrasi yang efisien bagi masyarakat. Birokrasi beserta para aparaturnya masih
memelihara budaya dan mindset kekuasaan, dimana penyelenggara pelayanan masih
beranggapan bahwa aparatur birokrat sebagai penguasa bukan sebagai penyedia layanan bagi
masyarakat. Oleh karena itu, aparatur negara harus memiliki pemahaman mengenai patologi
birokrasi agar dapat dicegah ataupun diobati sehingga proses pencapaian tujuan pembangunan
dapat terwujud.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dengan mengambil pendapat dari Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo (1984)
mengatakan bahwa birokrasi adalah sebuah tipe organisasi yang digunakan pemerintahan yang
modern untuk melaksanaan berbagai tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem
administrasi yang khususnya oleh aparatur pemerintahan. Strategi ofensif dan defensif yang
diharapkan bisa menanggulangi patologi birokrasi, hal ini dijelaskan oleh Peter Schroder yaitu
dalam menggerakkan strategi tersebut memerlukan sumber daya manusia yang mempunyai
paradigma atau pendapat yang positif agar strategi bisa berjalan dengan baik dan berhasil
mencapai tujuan. Strategi ini diharapkan mampu meminimalkan terjadinya patologi birokrasi
yang ada di struktur aparatur pemerintahan.
3.2 Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai