Anda di halaman 1dari 20

ARTIKEL ILMIAH

ANALISIS PATOLOGI BIROKRASI SEBAGAI PENGHAMBAT TERWUJUDNYA

REFORMASI BIROKRASI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Birokrasi Indonesia

Dosen Pengampu : Fitriyani Yuliawati S.I.P. M.Si

Disusun oleh:

JURUSAN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SILIWANGI

2021
ABSTRAK

ABSTRACT

A. PENDAHULUAN
Birokrasi bisa menjadi proses table-to-table yang rumit bagi sebagian orang di Indonesia,
yang pada akhirnya mahal. Namun pendapat seperti itu tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, jika
orang-orang yang duduk di belakang meja mematuhi prosedur dan aturan serta menjalankan
tugasnya dengan disiplin, maka birokrasi akan berjalan lancar dan "biaya tinggi" dapat dihindari.
Berbagai masalah birokrasi menyebabkan sistem administrasi pemerintahan tidak berfungsi dan
harus ditata ulang atau diperbaharui. Reformasi birokrasi dilakukan untuk mewujudkan good
governance. Dengan kata lain, reformasi birokrasi merupakan langkah strategis dalam
pembinaan aparatur negara untuk melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan
nasional secara lebih efisien dan efektif. Selain itu, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi
informasi dan komunikasi yang pesat serta perubahan lingkungan strategis memerlukan
reformasi birokrasi negara dan penyesuaian dengan dinamika tuntutan sosial. Pelaksanaan
reformasi birokrasi di Indonesia telah mengubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan
Indonesia menuju terwujudnya good governance. Menurut Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia, terdapat 8 perubahan mendasar
dalam reformasi birokrasi, yaitu: organisasi, administrasi, pengawasan, personel tim, undang-
undang, tanggung jawab, pelayanan publik, Mentalitas dan budaya kerja (Prasojo, 2013). Salah
satu fokus dari 8 bidang perubahan reformasi birokrasi adalah pelayanan publik. Saat ini
pelayanan publik telah mengalami pergeseran paradigma sejalan dengan tuntutan kebutuhan
publik dan semakin kompleksnya permasalahan publik akibat ketidakjelasan sistem standar
penyelenggaraan pelayanan publik.
Reformasi birokrasi saat ini cukup sulit terwujud karena adanya hambatan. Salah satu
hambatan tersebut adalah patologi birokrasi. Patologi birokrasi merupakan penyakit yang
memakan kehidupan di dalam birokrasi. Penyakit ini tidak datang secara tiba-tiba, ia ada dan
sudah berlangsung lama. Birokrasi sudah biasa menjadi simbol kekayaan dan royalti sehingga
pejabatnya mendapat pelayanan dari masyarakat. Budaya Pangreh Praja (orang yang mengabdi
kepada pemerintah/raja) sudah ada dan hidup dalam birokrasi zaman kerajaan-kerajaan
Nusantara, dan birokrasi yang diciptakan untuk melayani penguasa sudah ada sejak zaman
penjajahan Belanda hingga saat ini.
B. METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah studi literatur yaitu metode
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji berbagai literatur yang sudah ada, baik yang
bersumber dari buku maupun berbagai literatur lainnya seperti jurnal nasional, jurnal
internasional, dan lain sebagainya. Penelitian dilakukan dengan menelaah literatur-literatur yang
ada, baik yang berasal dari buku, artikel jurnal yang dihasilkan dari penelitian-penelitian
sebelumnya dengan yang se-tema, maupun berbagai referensi lain yang dapat dijadikan acuan
atau rujukan dalam mengkaji suatu permasalahan.

Adapun pegertian studi literatur menurut paha ahli yaitu menurut Danial dan Warsiah
(2009:80), Studi Literatur adalah merupakan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan
mengumpulkan sejumlah buku buku, majalah yang berkaitan dengan masalah dan tujuan
penelitian.Dilakukan dengan tujuan untuk mengungkapkan berbagai teori-teori yang relevan
dengan permasalahan yang sedang dihadapi/diteliti sebagai bahan rujukan dalam pembahasan
hasil penelitian.

 Variabel pada penelitian studi literatur bersifat tidak baku. Data yang telah diperoleh
dianalisis secara mendalam oleh penulis.
 Data-data yang diperoleh tersebut dituangkan ke dalam sub bab-sub bab sehingga
menjawab rumusan permasalahan yang telah ditetapkan.
 Pada kesimpulan yang dibuat dalam penelitian studi literatur sumber dan metode
pengumpulan datanya dilakukan dengan mengambil data di pustaka, membaca, mencatat,
dan mengolah bahan penelitian.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari hasil
penelitian yang Sudah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu berupa buku, artikel, jurnal dan
sebagainya
C. PEMBAHASAN
Di dalam birokrasi tentunya kekuasaan dan kewenangan manusia memiliki tingkatan
yang berbeda-beda sehingga dari adanya hal tersebut dapat mendorong manusia untuk dapat
merebut kekuasaan dan kewenangan yang lebih tinggi. Perebutan kekuasaan dan kewenangan
dalam birokrasi yang tidak di dasarkan pada profesionalisme, rasionalisme, dan moralitas
merupakan cerminan dari patologi birokrasi. Penyakit-penyakit atau patologi birokrasi dapat
dibagi dalam beberapa kategori, diantaranya yaitu :
1. Masalah:
1) KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)

Sejak runtuhnya periode Orde Baru tindakan praktek KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
sudah menjadi sebuah warisan yang ditinggalkan pada birokrasi di Indonesia. Kebiasaan-
kebiasaan buruk yang dinormalkan ketika periode Orde Baru membuat masyarakat diberdayakan
dengan tindakan kotor tersebut, ironisnya praktek KKN dilakukan oleh para petinggi daerah dan
pejabat di pusat pemerintahan. Masalah ini semakin diperparah dengan turunnya praktek KKN
ke masyarakat biasa dan dipraktekan pada lingkungan sehingga anak-anak atau generasi masa
depan yang melihat tindakan buruk ini mewajarkan hal tersebut dan melakukan ketika sudah
dewasa.

Tindakan-tindakan kecil yang berpotensi menjadi praktek KKN seharusnya ditiadakan


dengan memberikan suatu batasan-batasan dan mempertegas regulasi terutama pada birokrasi.
Praktek KKN pada birokrasi marak sekali ditemukan salah satunya didominasi oleh birokrasi
bagian pelayanan publik. Birokrasi bagian ini sangat dekat dengan masyarakat karena langsung
berinteraksi dengan masyarakat, proses yang terlalu lama, persyaratan yang tumpang tindih
membuat masyarakat muak akan kinerja birokrasi pelayanan publik hingga menormalkan
tindakan KKN salah satunya yang sering terjadi adalah tindakan korupsi. Ironisnya adalah
sumber daya manusia yang bekerja pada birokrasi pelayanan publik pun dengan mudahnya
membuka tangan selebar-lebarnya untuk menerima dan memperlancar praktek KKN dari
masyarakat.

Semakin berkembangnya zaman dan semakin meleknya kesadaran masyarakat untuk


memperbaiki birokrasi di Indonesia membuat mereka semakin sadar bahwa korupsi ialah
tindakan yang tidak normal dan bukan praktek yang normal, korupsi bukanlah sebuah tindakan
dan peristiwa yang dapat diwajarkan melainkan salah satu tindakan yang buruk dan memalukan
serta menghancurkan pembedaharaan pada kehidupan sehari-hari, niscaya akan dihilangkan1
(Irayati, 2017).

2) Proses Pelayanan Birokrasi yang Lambat

Pada dasarnya patologi birokrasi berhubungan dengan pelayanan terhadap masyarakat


baik dalam pelayanan kesehatan, pelayanan publik dan yang lainnya , Layanan adalah aktivitas
apa pun yang menguntungkan dalam koleksi atau unit, dan menawarkan kepuasan kepada
masyarakat ,Meskipun hasilnya tidak terkait secara fisik dengan suatu produk (Kotler di
Sinambela : 2006) . Melihat pendapat diatas dapat diartikan bahwa layanan merupakan sesuatu
hal yang tidak terwujud tetapi dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat yang
membutuhkannya dan memberikan kepuasan kepada yang membutuhkan , ada dua elemen yang
sangat diperhatikan dari layanan yaitu kualitas dan inovasi . Elemen kualitas sangat diperhatikan
karena kualitas merupakan elemen yang memadai dalam jalannya layanan untuk masyarakat ,
Elemen inovasi harus diterapkan karena pada zaman globalisasi saat ini konsumen
mengharapkan pembaruan dalam pelayanan sehingga lebih efektif dan efisien.

Pelayanan terhadap masyarakat merupakan salah satu elemen terpenting dalam sebuah
negara dan hal tersebut termasuk dalam Aspek Birokrasi negara , saat ini Kinerja birokrasi
Indonesia yang dilihat masih mengecewakan. Dalam survei yang dilakukan oleh Dwiyanto, et al
(2008) bahkan dijelaskan bahwa nilai prestasi birokrasi dalam hal produktivitas, kualitas
pelayanan, responsif, tanggung jawab, dan akuntabilitas birokrasi masih sangat rendah dan tidak
mendapatkan hasil yang baik . Bahkan seperti dikutip Dwiyanto dkk, menurut The World
Competitiveness Yearbook 1999, peringkat indeks kompetitif birokrasi kita dalam hal kualitas
publik Layanan ini masih berada di posisi terendah dibandingkan dengan 100 negara lain di
dunia. Penelitian ini membuktikan bahwa dalam istilah orientasi pelayanan, birokrasi kita masih
cenderung tidak sepenuhnya mencurahkan waktu dan energi untuk melaksanakan tugas melayani
rakyat.

Patologi birokrasi yang dapat dirasakan salah satunya adalah dalam pelayanan kesehatan
terutama untuk pelayanan Puskesmas , Kualitas pelayanan Puskesmas diukur melalui penilaian
masyarakat dari dimensi terjangkau, Handal, daya tanggap, jaminan dan empati, masih terdapat
1
Aunalal Zany Irayati, Penanganan Korupsi di Dunia Birokrat: Sebuah Persepektif Realitifisme Kultural yang
Strukturalis, (Ambon: medianeliti.com, 2017). https://media.neliti.com/media/publications/73579-ID-penanganan-
korupsi-di-dunia-birokrat-seb.pdf
kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat dengan pelayanan yang
dirasakan oleh masyarakat. Kesenjangan ini menunjukkan dan menggambarkan suatu ukuran
bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap perilaku pelayanan yang ditampakkan oleh
birokrasi belum maksimal dan banyak yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Contoh
yang kita sering rasakan di lingkungan adalah dalam menangani pasien yang sakit puskesmas
hanya memberi obat yang General yang dapat dibeli di warung, jika dilihat dari sisi tersebut
seharusnya pelayanan kesehatan di Puskesmas harus lebih ditingkatkan karena anggaran yang
didapatkan oleh puskesmas juga tidak sedikit . Tidak hanya permasalahan itu saja dalam
pelayanan kesehatan juga begitu kurang dan tidak maksimal dikarenakan pelayanan yang lama
dan berbelit belit lalu menimbulkan banyak pasien terlantar , hal ini harusnya dapat dikaji dan
diperbaiki apabila hal ini terus berlanjut maka patologi birokrasi dalam pelayanan kesehatan di
Indonesia semakin banyak dan tidak terkendali. Pelayanan Puskesmas yang dinilai sangat
berbelit belit dalam pelayanan BPJS , kesenjangan antara pasien yang menggunakan kartu BPJS
dan pasien membayar secara langsung sangat berbeda di banyak puskesmas pelayanan bagi BPJS
di perlambatan dan cenderung di kesampingkan hal ini terjadi dikarenakan biaya BPJS yang
murah.

Puskesmas merupakan fasilitas yang sangat penting bagi masyarakat yang ekonominya
tidak mencukupi untuk berkonsultasi ke rumah sakit , oleh karena itu pelayanan kesehatan dalam
puskesmas harus di tingkatan . Setelah disebutkan beberapa patologi birokrasi di atas kita bisa
melihat bahwa banyak masyarakat merasa kecewa dan kurang puas , saat ini juga banyak kondisi
puskesmas yang sempit dan tidak mendukung untuk sarana dan prasarana hal ini mengakibatkan
tidak berjalannya program kinerja puskesmas yang sudah di paparkan. Mencermati hal tersebut,
kepuasan Masyarakat terhadap kualitas pelayanan Yang diterimanya tergantung dari
Pemahaman masyarakat akan kesehatan. Masyarakat yang berada pada wilayah Pinggiran kota
akan cepat merasa puas Karena kebutuhan yang dirasakan sudah Terpenuhi dan menganggap
samping dengan itu lingkungan Puskesmas yang jauh dari jangkauan Masyarakat dan tidak
punya pilihan lain. Berbeda dengan Puskesmas di pusat kota, Masyarakatnya mempunyai
kemampuan Dan pemahaman tentang kesehatan lebih Baik, sehingga kepuasan dari kualitas
yang Diterimanya belum melebihi keinginannya. Selain itu masyarakat dapat menentukan
Pilihan ke layanan swasta karena aksesnya Banyak dan fasilitas lebih banyak dan maju.
Selain itu, contoh kasus patologi birokrasi tentang pelayanan kesehatan yang tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan masyarakat, kasus lain patologi birokrasi dalam pelayanan
kesehatan yaitu kualitas pelayan kesehatan dalam bentuk pelayan BPJS. Pada hasil survey yang
telah dilakukan terhadap 20 responden mengatakan bahwa pelayanan BPJS kurang memuaskan
karena fasilitas yang kurang memadai, serta terlambatnya pengajuan klaim oleh rumah sakit
terhadap BPJS kesehatan. Hal ini juga dapat berdampak bagi rumah sakit di Kabupaten Kerinci
karena menumpuknya berkas klaim yang harus diverifikasi hingga masalah keuangan sehingga
berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan.

3) Tidak ada transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan publik

Pemborosan dan penyelewengan keuangan publik oleh aparat pemerintah sudah sangat
dikenal masyarakat bahkan sudah menjadi stigma di birokrasi publik yang tidak pernah
dilupakan masyarakat. Berbagai jenis kebijakan, seperti pengawasan yang melekat, pemerintahan
yang bersih dan bermartabat, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, sangat sulit untuk
dilaksanakan dan tidak lebih dari kata-kata dan bahan retorika bagi pejabat pemerintah untuk
menenangkan kebingungan. Penyebab utama patologi birokrasi tersebut, menurut Islamy7,
adalah rendahnya profesionalisme aparatur, kebijakan pemerintah yang buram dan bertanggung
jawab, keterbatasan kontrol sosial, kurangnya manajemen partisipatif, penyebaran ideologi
konsumtif dan hedonistik di kalangan elit penguasa, dan tidak adanya Kode Etik, kode etik yang
ketat diterapkan pada pejabat publik di semua tingkatan, disertai dengan sanksi yang tegas dan
adil.

Keberhasilan atau kegagalan pencapaian transparansi dan akuntabilitas akan menjadi sangat
penting dalam upaya perbaikan tata kelola dan manajemen kekuasaan di Indonesia. Oleh karena
itu, upaya serius untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sangat penting jika kita ingin
membangun Indonesia yang baru dan lebih baik. Transparansi dan akuntabilitas menjadi penting
tidak hanya dalam penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga dalam penyediaan pelayanan
publik. Konsep transparansi mengacu pada situasi di mana semua aspek proses pemberian
layanan terbuka dan dapat dengan mudah diidentifikasi oleh pengguna dan pemangku
kepentingan yang membutuhkan. Jika semua aspek proses pemberian layanan, seperti publik,
praktik pemberian layanan dapat dianggap sangat transparan. Di sisi lain, jika beberapa atau
semua aspek proses penyediaan layanan telah selesai dan informasi dari pengguna dan pemangku
kepentingan lainnya sulit diperoleh, maka penyediaan layanan tidak akan memenuhi prinsip
transparansi.

Ketika prosedur dan peraturan yang berkaitan dengan penyediaan layanan ada, kepentingan
dan kebutuhan pengguna sering diabaikan. Kepentingan yang digunakan untuk merumuskan
peraturan dan prosedur pelayanan adalah semata-mata kepentingan pemerintah dan pejabat.
Terakhir, pengguna seringkali tidak memahami prosedur dan peraturan yang berkaitan dengan
pelayanan publik. Indikator ketiga dari transparansi layanan adalah kemudahan memperoleh
informasi tentang berbagai aspek penyediaan layanan publik. Semakin mudah pengguna
mempelajari berbagai aspek penyediaan layanan publik, semakin besar transparansinya.
Misalnya, jika pengguna dapat dengan mudah memperoleh informasi tentang biaya dan waktu
yang diperlukan untuk memberikan layanan, layanan publik dapat dianggap sangat transparan.
Bahkan jika informasi tentang prosedur, persyaratan dan pilihan untuk penyediaan layanan
mudah diakses oleh pengguna, seseorang dapat berbicara tentang tingkat transparansi yang tinggi
dalam penyediaan layanan. Sebaliknya, jika pengorbanan yang diperlukan oleh pengguna untuk
memperoleh informasi tentang berbagai aspek yang terkait dengan penyediaan berbagai layanan
sangat tinggi, maka transparansi layanan dianggap rendah. Jika sangat sulit untuk mendapatkan
informasi mengenai biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk pelayanan serta membutuhkan
banyak pengorbanan, maka dapat dikatakan transparansi pelayanan tersebut rendah. Dengan
menggunakan ketiga dimensi transparansi tersebut maka penilaian terhadap transparansi
pelayanan publik dapat dilakukan secara lebih lengkap.

Akuntabilitas sering dinyatakan sebagai bentuk pertanggungjawaban operasional, dan dengan


demikian keduanya terkait erat. Setiap aparatur harus bertanggung jawab (accountable) atas
efektifitas pelaksanaan fungsinya, yaitu menjaga kelangsungan fungsinya secara memadai dan
teratur, mengelolanya secara profesional dan menjalankan berbagai peran yang dapat dipercaya.
Sebagai kebijakan strategis, akuntabilitas harus dilaksanakan untuk memastikan kepatuhan
pelaksanaan tugas dan kinerja pegawai sesuai dengan standar yang telah diterima dan sebagai
sarana untuk meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Dan untuk itu, setiap
aparatur pemerintah harus memahami dan mampu mengembangkan 5 jenis tanggung jawab,
yang meliputi:

1. Akuntabilitas Administratif (organisasional)


2. Akuntabilitas Legal

3. Akuntabilitas Politik

4. Akuntabilitas Profesional

5. Akuntabilitas Moral

Tanggung jawab ini membutuhkan hubungan hierarkis yang kuat antara pusat
pertanggungjawaban dan unit yang mereka laporkan. Hubungan hierarkis ini sering didefinisikan
dengan jelas dalam aturan organisasi yang ditransmisikan secara formal atau dalam bentuk
hubungan jaringan informal. Prioritas akuntabilitas diprioritaskan dan ditelusuri kembali ke
manajemen puncak, dan ada tindak lanjut yang intens untuk memastikan bahwa aparat terus
mematuhi perintah. Jika perintah itu dilanggar, akan diberikan peringatan, mulai dari yang
terkecil hingga pemecatan.

Telah banyak diterima bahwa pemerintah memang selayaknya bertanggungjawab secara


moral atas tindakan-tindakannya. Landasan bagi setiap tindakan pegawai pemerintah seharusnya
diletakan pada prinsip- prinsip moral dan etika sebagaimana diakui konstitusi dan peraturan-
peraturan lainnya serta diterima oleh publik sebagai norma dan perilaku sosial yang telah mapan.
Oleh karena itu, wajar saja kalau publik menuntut dan mengharapkan perilaku para politisi dan
pegawai pemerintah itu berlandaskan nilai-nilai moral yang telah diterima tadi. Untuk
menghindari perilaku koruptif, masyarakat menun- tut para aparatur pemerintah itu mempunyai
dan mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka.

Lemahnya transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, antara lain disebabkan oleh:

(1) lemahnya pengetahuan, perhatian dan kecakapan gerakan-gerakan sosial dalam mela- kukan
agregasi kepentingan dan memberdayakan masyarakat untuk menagih hak-hak mereka sebagai
konstituen utama pelayanan publik. Akibatnya pemerintah sebagai lembaga yang berwenang,
seringkali kurang memberikan perhatian terhadap keefektifan dan efesiensi pengelolaan sumber
daya publik untuk sebesar-besarnya kemakmuran masya- rakat;

(2) tata pemerintahan daerah belum memiliki sistem transparansi, akuntabilitas, dan kurang
responsif terhadap pelayanan publik16. Kondisi seperti itu akan memicu kesewenang-wenangan
birokrasi publik dalam pengelolaan pelayanan.
Transparansi akan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi yang akurat dan memadai, karena informasi meru-
pakan suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelayanan. Berkaitan
dengan itu, penyelenggara pelayanan publik perlu proaktif memberikan informasi lengkap
tentang kebijakan dan layanan yang disediakan kepada masyarakat.

Penyelenggara pelayanan publik perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi


seperti brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Birokrasi
pemerintah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi.
Kebijakan itu akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk
informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu
mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada
masyarakat.

4) Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia


Birokrasi merupakan ujung tombak pelayanan yang berhadapan langsung dengan
masyarakat. Tentunya dalam birokrasi para birokrat harus merupakan orang yang memiliki
kemampuan yang sesuai dengan tugas yang akan mereka jalankan. Jika tidak memiliki sumber
daya manusia yang bekualitas maka hal tersebut akan sangat berpengaruh pada pelayanan yang
diberikan oleh birokrasi. Pelayanan yang diberikan akan cenderung tidak maksimal dan hal
tersebut turut memperburuk citra birokrasi. Selain itu, rendahnya kualitas sumber daya manusia
dalam birokrasi juga membuat reformasi birokrasi menjadi terhambat.

Reformasi birokrasi bertujuan untuk mewujudkan lembaga birokrasi yang lebih baik lagi
terutama dalam segi pelayanan. Birokrat yang tidak berkualitas akan membuat pelayanan
menjadi tidak maksimal dan reformasi birokrasi sulit terwujud. Seperti yang kita ketahui
bersama bahwa tidak sedikit birokrat di Indonesia yang terlihat tidak profesional dalam
menjalankan tugasnya. Para birokrat diberbagai lembaga cenderung tidak mencapai standar
pelayanan maksimal, mereka hanya bisa memenuhi standar pelayanan minimal saja. Oleh karena
itu, pelayanan yang diberikan juga seakan seadanya dan terkesan tidak profesional.

Sumber daya manusia yang tidak berkualitas dalam birokrasi juga bisa dilihat ketika
seringkali para birokrat tidak menguasai tugas pokok dan fungsi dirinya sebagai pelayan
masyarakat. Hal tersebut bisa terjadi karena seringkali apa yang dia kerjakan tidak sesuai dengan
apa yang dia kuasai. Biasanya hal tersebut terjadi ketika rekrutmen tidak dilakukan dengan baik
sehingga birokrat yang diterima bukanlah yang mempunyai kemampuan dan keterampilan yang
sesuai dengan yang dibutuhkan. Selain itu, terkadang ada juga penempatan birokrat yang tidak
sesuai dengan kemampuannya atau latarbelakang pendidikannya sehingga potensi yang dimiliki
tidak bisa dikeluarkan secara maksimal. Sehingga akan berdampak pada menurunnya kualitas
birokrat tersebut (Junus, 2017).

Biasanya masalah sumber daya manusia yang tidak berkualitas dalam lembaga birokrasi
muncul sejak masa seleksi atau penyaringan pegawai birokrat. Seleksi yang tidak serius serta
kerap kali ada kecurangan dalam seleksi yang dilakukan menjadi penyebab utama munculnya
sumber daya manusia yang tidak berkualitas. Hal tersebut tentunya akan memicu masalah-
masalah lain dalam birokrasi terlebih dimasa modern seperti sekarang ini. Sumber daya manusia
yang tidak berkualitas juga berpengaruh terhadap penguasaan teknologi. Birokrat yang tidak
berkualitas akan kesulitan beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang ada. Sehingga pada
akhirnya pelayanan publik akan terhambat karena tidak bisa memanfaatkan teknologi yang ada
dengan maksimal.

2. Solusi:
1) Solusi Patologi KKN

Setelah melihat KKN yang terjadi di lingkup birokrasi tentunya harus ada solusi untuk
menindak lanjuti permasalahan tersebut, pemerintah memberikan solusi dalam pembangunan
zona integritas menuju wilayah bebas korupsi WBK. Pembangunan Zona Integritas mendasarkan
pada peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 10
Tahun 2019 sebagai perubahan dari Permenpan RB Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman
Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi bersih
dan melayani (WBK/WBBM). Sedangkan di Kementrian Keuangan diatur berdasarkan
keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.01/2017 tentang Pedoman Pembangunan Zona
Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani
(WBK/WBBM).

Dalam rangka mewujudkan pencapaian konsep integritas tersebut, maka pemerintah


pusat maupun daerah perlu membangun pilot project pelaksanaan reformasi birokrasi yang akan
menjadi contoh penerapan pada unit-unit kerja dalam melakukan penataan sistem
penyelengaraan pemerintah yang baik, efektif, dan efisien. Sehingga dapat melayani masyarakat
secara cepat, tepat, professional, dan menghapus penyalahgunaan kewenangan, praktik KKN,
dan lemahnya pengawasan.

Tujuan utama dalam pembangunan ZI WBK/WBBM adalah untuk mencegah


Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan meningkatkan kualitas pelayanan public.
Pembangunan Zona Integritas memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu pencanangan,
pembangunan, pengusulan, penilaian, dan penetapan.

Tahapan yang terpenting dalam Zona Integritas adalah pembangunan itu sendiri, berikut
adalah proses pembangunan ZI WBK:

1. Manajemen Perubahan

Sebelum dilakukan pencanangan Zona Integritas didahului dengan penyiapan tim


pelaksana dalam pembangunan ZI tersebut melalui mekanisme penentuan anggota secara jelas.
Prosedur penentuan dan penetapan anggota dilakukan melalui rapat oleh pemerintah serta
menghadirkan pihak-pihak yang berkompeten dan mewakili unit kerjanya masing-masing.
Setelah terbentuknya tim, dilanjutkan dengan penyusunan dokumen rencana kerja yang berisikan
sasaran-sasaran dengan tujuan pembangunan ZI WBK/WBBM. Pola piker dan budaya kerja pada
unit kerja harus selaran dengan komitmen menuju perubahan, mulai dari pemimpin hingga
tingkat pelaksana.

2. Penataan Pelaksana

Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) yang memiliki orientasi pada proses
pembangunan dengan mengacu pada pemetaan yang sudah dibuat serta membuat inovasi yang
sejalan dengan tujuan. Selain itu, evaluasi terhadap SOP dilakukan apabila ada hambatan dalam
pelaksanaanya, mulai dari kegiatan pengukuran kinerja setiap unit, operasionalisasi manajemen
SDM, pemberi layanan masyarakat hingga monitoring dan evaluasi. Keterbukaan informasi
public dapat ikut serta dengan memberikan masukan sebagai bahan evaluasi.

3. Penataan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia

Perencanaan kebutuhan dan penempatan pegawai ditempatkan pada posisi yang sesuai
kebutuhan. Pola mutasi dikembangkan melalui sistem yang mengakomodir kompetensi yang
dimiliki dan pola karir yang berjenjang. Aturan pegawai harus ditegakkan melihat kedisiplinan,
ketaatan kode etik maupun perilaku prilaku aparat sipil Negara.

4. Penguatan Akuntabilitas

Dalam penguatan akuntabilitas terdapat dua hal, yaitu keterlibatan pemimpin dan
pengelolaan akuntabilitas kinerja. Pemimpin terlibat mulai dari perencanaan, penyusunan, hingga
pemantauan, Keterlibatan tersebut akan membuat semangat kepada seluruh jajaran karena
merasa diperhatikan. Pengelolaan akuntabilitas dimulai dari dokumen perencanaan dengan hasil
yang terukur, hasil terukur diperoleh dari kinerja dan laporan.

5. Penguatan Pengawasan

Penguatan Pengawasan dilakukan dalam beberapa aspek, diantaranya adalah


pengendalian gratifikasi, penerapan Sistem Pengendalian Intem Pemerintah (SPIP), pengaduan
masyarakat, Whistle Blowing System dan penanganan benturan kepentingan. Pengendalian
gratifikasi diawali dengan sosialisasi atau mengkampanyekan kepada seluruh ajaran dan
stakeholder untuk tidak menerima gratifikasi dalam bentuk apapun. Pengawasan pengadun
masyarakat merupakan pengawasan serta penilaian secara langsung oleh masyarakat, dalam
pengaduan tersebut disediakan layanan aduan atau saran dengan data masyarakat yang
ditetapkan aman.

2) Mengatasi Proses Pelayanan Birokrasi yang Lambat

Untuk mengantisipasi buruknya pelayanan BPJS Kesehatan, ada beberapa cara yang bisa
dilakukan. Pertama, bagi karyawan sebaiknya tidak memanfaatkan BPJS sebagai pelayanan
kesehatan. Sebagai gantinya, karyawan diberikan alternatif lain, seperti membeli asuransi
kesehatan sendiri. Kemudahan berobat asuransi juga lebih mudah dibandingkan dengan
pelayanan BPJS Kesehatan, meskipun harus membayar biaya tambahan. Kedua, memanfaatkan
koordinasi antara BPJS dengan asuransi kesehatan swasta. Jika terdapat kelebihan biaya atas
BPJS, kelebihan biaya akan diklaim ke asuransi kesehatan. Asuransi kesehatan menanggung sisa
tagihan yang tidak dijamin oleh BPJS, selama batas plafond asuransi kesehatan. Peserta juga
tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Ketiga, mengikuti program cash plan. Program ini
merupakan program santunan dari rumah sakit. Program ini jumlah yang akan diganti tetap
dengan jumlah tagihan rumah sakit. Keunggulan program ini yaitu proses relatif lebih mudah.
Selain solusi tersebut, ada solusi untuk jangka pendek dan jangka panjang. Berikut
merupakan solusi-solusi berdasarkan waktu yang ditetapkan. Pertama, solusi jangka pendek.
Ada beberapa hal yang bisa diterapkan dalam solusi jangka pendek, yaitu sebagai berikut :

1. Mengedepankan pendapat publik, terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan dapat


mengatasi deficit.

2. Perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) internal berasal dari BPJS
Kesehatan.

Adapun solusi untuk mengantisipasi buruknya pelayanan BPJS Kesehatan jangka panjang
adalah sebagai berikut :

1. Mengelola BPJS Kesehatan menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun
Perseroan Terbatas (PT) secara Terbuka (Tbk).

2. Pemerintah dapat mempertimbangkan pengelolaan dana BPJS kesehatan juga dapat


dikelola di pasar modal/pasar uang secara profesional dan audited, sehingga dapat
menghasilkan keuntungan investasi yang diharapkan dapat meringankan beban
pemerintah.

3) Solusi agar lebih transparansinya pelayanan publik

Setelah dijelaskan lemahnya transparansi dan akuntabilitas demokrasi yang disebabkan


oleh beberapa faktor tentunya diperlukan suatu solusi atau strategi dalam pelaksanaannya agar
terwujudnya reformasi birokrasi yang transparansi dan akuntabilitas. Solusi tersebut dapat
dilakukan yang disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, perlunya mewujudkan birokrasi yang transparansi kepada masyarakat dengan


memberikan data-data yang dapat diakses oleh masyarakat setempat. Menurut Rahmanurrasjid
(2008:88) salah satunya yaitu melalui pemilihan terhadap media yang digunakan dalam
menyebarkan infromasi berupa data-data tersebut. Media yang digunakan adalah media masa,
Media masa sendiri sangat diperlukan dalam menjalin hubungan antara birokrasi terhadap para
masyarakat. Karena menurut Tamburaka & Rianto (dalam Hidayat K, 2014:1) bahwa media
masa memiliki suatu yang berpengaruh besar tehadap menggiringi opini publik. Karena dari
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi suatu hal yang utama dalam reformasi pemerintahan
birokrasi.

Media masa yang digunakan dalam penyebaran infromasi yang terbuka dalam birokrasi
dapat dilakukan dengan menggunakan e-government. Yang di mana dapat memuat seperti
website, sms center dan aplikasi lainnya dalam mendukung e-government. Sudah banyak
berbagai pihak birokrasi yang menerapkan e-government dalam penyebarluaskan informasi data-
data dalam birokrasi untuk mempermudah lembaga atau masyarakat bisa mengakses dan tidak
takut ketinggalan terhadap informasi birokrasi yang di inginkan. Karena sebagaimana yang
diketahui bahwasanya kita sudah memasuki dunia teknologi yang tinggi atau serba digital yang
di mana komnsumtif terhadap teknologi sudah menyebar luas dalam kalangan masyarakat.
Tetapi memang masih disayangkan dalam suatu pelaksaan pasti akan ada suatu kendala, seperti
kurangnya informasi diperbarui, respon terhadap publik yang membutuhan waktu lama. Oleh
karena itu dibutuhkan humas dalam birokrasi yang di mana mampu memiliki strategi dalam
menjalin hubungan masyarakat terhadap keterbukaan pelayanan masyarakat.

Kedua, setelah ditetapkannya memilih media yang digunakan dalam birokrasi tentunya
birokrasi perlu bersaing dalam lingkungan yang sehat. Yang di mana menurut Nengsih dkk
(2019:121) bahwa maksudnya adalah dalam meningkatkan suatu pelayanan keterbukaan publik
diperlukan dilakukan dengan memperbaiki suatu pelayanan tersebut dengan suatu cara seperti
menerima masukan dan selalu memberikan pelayanan keterbukaan terhadap masyarakat. Karena
masyarakat sendiri lah yang menikmati suatu pelayanan dalam birokrasi.

Yang terakhir yaitu dengan mengkonsolidasi suatu komitmen agar konsistensi dalam
badan publik yaitu birokrasi. Yang di mana di harapkan diperkuatnya suatu komitmen dalam tiap
pihak yang berada dalam birokrasi dengan memperkuat perannya masing-masing dan konsistensi
serta bertanggung jawab dalam menyebarkan dan memastikan informasi pelayanan publik.
Transparansi dan akuntabilitas saling berkaitan satu sama lain. Jika suatu birokrasi ingin
transparansi diperlukan akuntabilitas oleh tiap lembaga dalam birokrasi guna menciptakan
kesejahteraan dan menilai tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan birokrasi tersebut.
Dan tidak juga perlunya peningkatan dan penguatan dalam pengawasan terhadap lembaga yang
terkait agar tidak adanya penyalahgunaan dalam kekuasaan dalam memberikan pelayanan
publik( Sopian H, 2020).
4) Mewujudkan Sumber Daya Manusia yang Kompeten dan Berkualitas

Untuk mengatasi permasalahan rendahnya kualitas sumber daya manusia pada lembaga-
lembaga birokrasi, kami menawarkan beberapa solusi diantarany adalah dengan membuat sistem
rekrutmen atau seleksi yang ketat. Proses rekrutmen yang ketat akan secara tidak langsung
menyingkirkan mereka yang tidak memiliki kemampuan dan menjaring para calon birokrat yang
memiliki kualitas yang tinggi. Selain itu, sistem rekrutmen yang dibuat dengan baik juga akan
meminimalisir salah penempatan yang biasanya sering terjadi. Dengan sistem rekrutmen yang
baik, para calon birokrat akan ditempatkan sesuai dengan kemampuan serta latar belakang
pendidikannya sehingga mereka akan melakukan kinerjanya dengan maksimal tanpa ada
hambatan.

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam lembaga birokrasi salah
satunya bisa dengan cara melakukan pelatihan-pelatihan. Tentunya pelatihan yang dilakukan
merupakan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh para lembaga
birokrasi. Pelatihan dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kualitas serta kemampuan para
birokrat agar kinerja mereka bisa meningkat dan lebih maksimal daripada sebelumnya. Dengan
meningkatnya kinerja setelah diberikan pelatihan tentunya pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat juga diharapkan akan meningkat. Pelayanan yang lebih baik dari sebelumnya tentu
akan membuat masyarakat puas dan diharapkan hal tersebut bisa menghilangkan citra birokrasi
yang buruk di mata masyarakat.

Selain itu, untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam lembaga birokrasi juga bisa
dilakukan dengan cara melakukan pengawasan kinerja para birokrat. Pengawasan kinerja harus
dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan agar hasil yang didapat bisa maksimal. Selama
ini kualitas birokrat yang rendah biasanya terjadi karena lemahnya pengawasan terhadap kinerja
birokrat sehingga para birokrat merasa puas diri dan tidak ada keinginan untuk berubah dan
berkembang. Pengawasan juga harus disertai dengan pendisiplinan para birokrat yang rendah
kualitasnya. Sanksi juga bisa dikeluarkan bagi para birokrat yang tidak mau berubah menjadi
lebih baik lagi. Hal tersebut tentunya harus dilakukan dengan komitmen seluruh lembaga
birokrasi demi mewujudkan reformasi birokrasi yang selama ini dicita-citakan.
D. PENUTUP
Birokrasi merupakan bentuk organisasi besar yang dimaksudkan sebagai salah satu
perangkat yang fungsinya dapat memudahkan pelayanan publik. Setelah runtuhnya Orde Baru,
maka terciptalah produk pemerintahan yang baru yaitu reformasi birokrasi untuk mewujudkan
good governance. Namun dalam perjalanannya, reformasi birokrasi sekarang ini memiliki sebuah
hambatan yang biasa disebut patologi birokrasi. Penyakit-penyakit dalam birokrasi memang
sudah melekat pada kehidupan birokrasi di Indonesia dengan terbagi menjadi beberapa kategori
diantaranya yaitu adanya KKN yang sudah melekat dalam kehidupan birokrasi di Indonesia
terutama pada proses pelayanan publik, proses pelayanan birokrasi yang lambat yang
tercerminkan dalam pelayanan kesehatan bisa dikatakan kurang maksimal, tidak ada transparansi
da akuntabilitas dalam pelayanan publik sehingga menyebabkan terhambatnya upaya dalam
perbaikan tata kelola dan manajemen kekuasaan di Indonesia, dan rendahnya kualitas sumber
daya manusia yang bisa menghambat pelayanan terhadap masyarakat dan reformasi birokrasi
sulit terwujud. Namun, dengan berbagai permasalahan-permasalahan tersebut yang mejadi suatu
patologi birokrasi dapat teratasi dengan berbagai solusi yang ada, diantaranya yaitu adanya
program Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bebas dan
Melayani (ZI WBK/WBBM) dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik,
dalam pelayanan kesehatan melalui adanya BPJS kesehatan harus dibutuhkannya perbaikan baik
dalam segi input dan outputnya untuk bisa lebih mengutamakan kesehatan masyarakat, dalam
proses birokrasi transparasi dan akuntabilitas harus sejalan beriringan agar menciptakan
kepuasan bagi masyarakat dalam pelayanan guna menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat,
dan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam birokrasi harus dibutuhkannya
pelatihan-pelatihan dan extra pengawasan yang ketat agar terciptanya kualitas sumber daya
manusia yang berintegritas. Dengan begitu, jika dilakukannya solusi-solusi tersebut maka
patologi birokrasi yang saat ini menjadi suatu hal negatif dalam perjalanan reformasi birokrasi
akan memudar sehingga dapat terwujudnya pelayanan pemerintahan yang sesuai dengan
keinginan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Anggiat H. 2019. Dua Solusi Bagi BPJS Kesehatan. Dapat diakses : https://bahasan.id/dua-
solusi-bagi-bpjs-kesehatan/ (Diakses pada tanggal 6 November 2021)

Arfan Surya , Maryani , Nasution Mimin .(2021). Responsivity of Public Services in Indonesia
during the Covid-19 Pandemic . Jurnal Admistrasi Publik. Vol 4 Hal 554-558.

DJKN (2020). Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah
Birokrasi dan Bersih Melayani (WBBM) DI KPKNL Pamekasan.
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12980/Zona-Integritas-menuju-Wilayah-
Bebas-dari-Korupsi-WBK-dan-Wilayah-Birokrasi-dan-Bersih-Melayani-WBBM-di-
KPKNL-Pamekasan.html. (18 Februari)

Fatkhuri, F. (2018). Korupsi dalam Birokrasi dan Strategi Pencegahannya. Jurnal Ilmiah
Manajemen Publik Dan Kebijakan Sosial, 1(2), 65–76.
https://doi.org/10.25139/jmnegara.v1i2.784

Hamzah Onno Sahlina , (2014). Perilaku Birokrasi Pemerintah Dalam Pelayanan Puskesmas di
Kota Makassar . Jurnal Admistrasi Publik . Vol 4 Hal 38-40
Hidayat, K.(2014). Peran Electronic Government Dan Relasi Media Massa Lokal Dalam
Mewujudkan Keterbukaan Informasi Publik Di Provinsi Ntb. Jurnal Mahasiswa Ilmu
Pemerintahan Universitas Brawijaya(Online), 1.

Junus, S. P. (2017). Masalah Patologi Birokrasi (Hipocracy) Dan Terapinya. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 32(2), 144-154.

Maani, K. D. (2019). Transparansi Dan Akuntabilitas Dalam Pelayananan Publik. Jurnal


Demokrasi, 8(1), 1–14. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1190/1025

Nengsih,dkk.(2019). Penerapan Prinsip Transparansi Dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan


Pelayanan Publik Di Kelurahan Alai Parak Kopi Kota Padang. Jurnal Administrasi
Publik(Online), 1(2), 121. http://jmiap.ppj.unp.ac.id/index.php/jmiap/article/view/26

Nugroho, R. (2020). Optimalisasi Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas


Korupsi (Wbk) Dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (Wbbm) Pada Lembaga Pelayanan
Pertanahan. January. https://doi.org/10.31227/osf.io/hqd3w

Nurul Hidayah, Sulfahmi Sulfahmi, Iani Zairani, Marwah Yusuf, S. S. (2019). Combine
Assurance Dalam Konteks Pengendalian. Jurnal Ilmiah Ekonomi, Manajeman , Dan
Akutansi, 08(02), 32–37.

Rahmanurrasjid,A.(2008). Akuntabilitas Dan Transparansi Dalam Pertanggungjawaban


pemerintah Daerah Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Di Daerah (Studi di
Kabupaten Kebumen). (Tesis. Universitas Dipenegoro),
http://eprints.undip.ac.id/16411/

Sopian,H.(2020). Penguatan dan Pengawasan dalam Pelayanan Publik.


https://www.ombudsman.go.id/pengumuman/r/artikel--penguatan-pengawasan-dalam-
pelayanan-publik

Tarigan, P. B. (2018). Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Dari
Korupsi & Birokrasi Bersih Dan Meyalani. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://www.kemenkumham.go.id/attachments/article/1587/3Buku_Pedoman_WBK_WB
BM.pdf
Wati , Widya dkk. ( 2019) Analisis Kualitas Pelayanan Program Jaminan Kesehatan Nasional di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit X Kabupaten Kerinci . Jurnal Kesehatan Andalas
(Online) . Vol 8 no 2. Hal. 367

Widiastuti, Ika (2017). Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di
Jawa Barat . Jurnal Ilimah Widya (Online) Vol 4 no 1. Hal. 228

Anda mungkin juga menyukai