Anda di halaman 1dari 11

Abstrak

Birokrasi pemerintahan, khususnya penyelenggaraan pelayanan publik daerah menjadi sorotan


masyarakat akibat minimnya

mencapai hasil yang efektif, transparansi, dan kurangnya layanan jaminan. Kinerja pelayanan publik
masih rendah,

terutama sikap dan perilaku aparatur Kementerian yang kurang memperhatikan prinsip moral dalam
melaksanakan tugasnya.

Aparatur pemerintah sebagai PNS dan Royal Society masih memandang persoalan etika birokrasi
yaitu moralitas.

sebagai elemen yang kurang penting bagi dunia pelayanan publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menilai pelayanan publik,

khususnya pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) melalui penerapan nilai-nilai etika berbasis
kearifan lokal, meliputi; kejujuran,

beasiswa, kepatuhan, dan ketekunan. Menilai masalah dengan pendekatan fenomenologi yaitu
peneliti

mendeskripsikan pengalaman yang dilakukan dan dialami informan baik proses nominasi IMB,
maupun pembuatannya

dari IMB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap dan perilaku aparatur birokrasi dalam
pelayanan IMB masih rendah karena

masih terdapat praktek birokrasi patologi dilihat dari indikator penerapan nilai kejujuran, keilmuan,

kepatuhan dan ketekunan.

1. Perkenalan

Kinerja pelayanan publik di Indonesia khususnya pelayanan publik masih sangat rendah. Ini
diperkuat oleh

kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil tata kelola
penelitian

dan Survei Desentralisasi (GDS) tahun 2002. Riset GDS 2002, (Dwiyanto, 2003) menemukan ada tiga

hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik yaitu; (1) tingginya diskriminasi
dalam pelayanan, termasuk: nepotisme,

aspek politik, etnis dan agama. (2) Belum ada kepastian biaya dan waktu pelayanan, sehingga tidak
bebas korupsi

dan suap. (3) Rendahnya kepuasan masyarakat terhadap pelayanan sebagai akibat diskriminasi dan
ketidakpastian pelayanan.

Realitas pelayanan publik, khususnya pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dinilai masih jauh
dari masyarakat
layanan publik yang benar. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik
menegaskan bahwa pelayanan publik adalah hak setiap warga negara itu

harus dipenuhi dan merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk mengaturnya sehingga
menjadi hak dasar warga negara

dijamin oleh konstitusi. Sejalan dengan pandangan dan keinginan reformasi birokrasi pelayanan
publik, bahwa

Pemerintah harus menyadari pentingnya tata pemerintahan yang baik (good governance),
khususnya penyelenggaraan pelayanan publik di lingkungan

kepentingan publik terhadap transparansi yang komprehensif, efisien, dan kurangnya kepastian
pelayanan.

Pelayanan perizinan adalah tanggung jawab pejabat Pemerintah sebagai pegawai negeri dan Royal
Society untuk memberikan

kepuasan kepada publik. Kenyataannya masih sering terjadi penyalahgunaan wewenang dan
tanggung jawab untuk mendorong atau memaksakan keinginan

masyarakat tanpa mempertimbangkan konsekuensinya secara moral. Pejabat dan pegawai perizinan
semakin mapan

dirinya sebagai penguasa bukan sebagai pegawai negeri.

Perilaku buruk birokrasi pelayanan perizinan dapat dilihat dari beberapa pandangan dan temuan PT

ilmuwan, sebagai berikut:

1. Dwiyanto (2008, h. 2) melihat masih maraknya praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di

pelayanan publik. KKN tidak hanya membuat birokrasi pelayanan menjadi sangat sulit dinikmati
secara adil oleh masyarakat

orang, tetapi juga orang harus membayar layanan yang lebih mahal.

2. Muhtar (2010, p. 22) menemukan banyak penyimpangan atau perilaku korup dalam pelayanan
publik. Praktek ini sebagai a

hasil dari faktor budaya (culture) yang meliputi; tradisi pemberian hadiah kepada pejabat (pejabat)
dan ikatan keluarga

serta loyalitas yang lebih parokial.

3. Hasil survei KPPOD dan The Asia Foundation (2011, h. 2-6) menemukan bahwa layanan perizinan

masih belum memuaskan bagi masyarakat sebagai akibat dari kinerja pelayanan yang masih rendah,
sebagai berikut:

Sebuah. Sebagian besar kawasan belum mengikuti standar yang ditetapkan pemerintah pusat
(maksimal tiga hari), yakni

fakta izin penyelesaian enam hari tercepat.

b. Rendahnya tingkat partisipasi dalam izin kepemilikan.


c. Sebagian besar daerah belum memiliki sistem pelayanan yang efisien, bebas pemerasan, kolusi
dan gratis.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Dimensi Etis Pelayanan Publik Birokrasi

Pemikiran tentang pentingnya etika pelayanan publik dalam pemerintahan, sejalan dengan rumusan
tipe ideal Max Weber

birokrasi yang menilai dan menjelaskan dalam bukunya (The theory of social and economic
organization, 1922) yang dikenal sebagai

Tipe ideal birokrasi akademik yang menjadi ideal adalah birokrasi lebih menitikberatkan pada aspek
rasionalitas, impersonal.

dan efisiensi dalam meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah (Weber, 1964, p. 333). Oleh karena
itu,

Meskipun birokrasi pemerintah terus berhadapan dengan fenomena kekuasaan yang rasional tetapi
harus tetap dari

sikap dan perilaku pejabat / pejabat yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum dan nilai
moral yang berlaku.

Namun dalam perkembangannya birokrasi pemerintahan cenderung dinilai masyarakat kurang


simpatik dan buruk

berkonotasi karena kurang berpihak pada masyarakat, tetapi birokrasi berfungsi sebagai abdi
masyarakat.

Kumorotomo, (2005, p. 13) Mengemukakan beberapa rumusan tujuan adalah Etika Pemerintah; (1)
merumuskan nilai-nilai moral

/ etika, norma dan tanggung jawab dalam interelasi, interaksi dan interdependensi antara
penyelenggara negara dan

antara lembaga negara di tingkat pusat dan daerah, (2) Memantapkan tanggung jawab moral dan
material dalam perannya sebagai

penyelenggara pemerintahan dan pemerintahan negara, khususnya yang berkaitan dengan


pelaksanaan tugas,

fungsi dan kewenangannya di masing-masing sebagai pejabat / lembaga / instansi pemerintah dan
lembaga negara, (3) Mengatur

hubungan tata kelola antara kewenangan dan tanggung jawab pejabat / lembaga / lembaga dengan
berlandaskan moral

nilai-nilai dan ketentuan hukum yang berlaku, (4) memberikan acuan / pedoman sebagai nilai
standar dalam sikap dan perbuatan

vertikal maupun horizontal sesuai kewenangan dan peran masing-masing pejabat / instansi dalam
hubungannya dengan kelembagaan
struktur tata kelola sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, pendekatan tata kelola etis
dapat dilakukan

rasionalitas birokrasi dan efisiensi pelayanan publik dengan indikator transparansi, akuntabilitas,
partisipasi dan

peraturan hukum.

Sikap dan perilaku yang dianggap baik menurut pandangan etis diungkapkan Alder (1984)

sesuai dengan pandangan The Liang Gie (1989) dan Komorotomo (2008) dapat dilihat dari enam
dasar nilai

Indikatornya, yaitu: (1) kebenaran, (2) kebaikan, (3) keindahan, (4) kebebasan, (5) persamaan, dan
(6) keadilan. Landasan dari ini

Nilai aset etis dijadikan sebagai pedoman bagi manusia untuk melakukan pertimbangan dan
tindakan sehingga sikap dan sikap

perilaku yang dapat dianggap baik dan bertanggung jawab secara etis.

Terkait dengan pandangan nilai-nilai etika yang mengatur perilaku dan sikap khususnya dalam
pelayanan publik

birokrasi, maka Haryatmoko (2011: 6) menjelaskan etika pelayanan publik mengandung tiga dimensi,
kualitas pelayanan,

modalitas (fasilitas perawatan) dan tindakan pelayanan. Dimensi ketiga dapat dijelaskan dengan
mengukur birokrasi yang baik

layanan dengan indikator; tujuan layanan, akuntabilitas, transparansi, netralitas, dan integritas
publik.

2.2 Dimensi Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan salah satu dimensi nilai moral dan acuan atau sikap dan perilaku
masyarakat lokal.

Ketika dihadapkan pada konsep good governance, terutama yang menyangkut landasan perilaku
baik, konsep tersebut

Kearifan lokal mengadopsi nilai-nilai prinsip, nasehat, norma dan perilaku yang dianggap nenek
moyang pada masa lalu

penting dan memiliki kemampuan untuk mengatur sesuatu atau menghadapi berbagai fenomena
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Untuk Misalnya pelayanan birokrasi yang sering dianggap
kurang memuaskan karena tingkah laku aparatur sehingga

bahwa pengaturan atau upaya mewujudkan good governance tidak dapat dicapai dengan baik.

Said (2007, p. 14) menjelaskan kearifan lokal sebagai kearifan lokal atau kearifan lokal atau
kecerdasan lokal "lokal

genius, pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan strategi kehidupan kegiatan tak berwujud yang
dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menyikapi
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhannya. Pangarsa (2007, h. 452) menganggap kearifan
lokal sebagai perwujudan dari

modal sosial di masyarakat dalam upaya pemecahan masalah bersama dalam prinsip kesetaraan dan
berpasangan individu

yang ada di multi-senyawa. Dalam hal ini modal sosial dalam masyarakat merupakan nilai-nilai yang
menjadi etika nyata

mengarahkan perilaku sehari-hari setiap anggota masyarakat.

Kearifan lokal adalah pengetahuan atau nilai, prinsip, nasehat atau pemikiran yang melayani
pandangan dunia intelijen sebagai

dasar etika dan penilaian moral. Sebagaimana dirumuskan oleh Mattulada (1985, hlm. 87) sebagai
dasar pemikiran Latoa dan juga

Tertulis dalam Lontara bahwa pola pikir orang Bugis-Makassar dalam kehidupan sosial dan budaya,
dapat disimpulkan menjadi tiga

bagian, yaitu (1) orang yang selalu memandang dirinya sebagai makhluk. Peringkat sosial yang sama
di hadapan Tuhan

Yang Maha Kuasa, (2) Orang yang selalu melihat tujuannya untuk selalu bekerja dengan baik, dan (3)
orang yang senantiasa membangun nilai dan

kelembagaan budaya dan sosial menciptakan harmoni antara kepentingan kolektif dengan
kepentingan individu.

Mengasumsikan tiga pola sikap yang mendasari pemikiran tersebut terlebih dahulu, untuk
membentuk perwujudan

nilai dan norma sosial budaya yang disebut panngaderreng. Sejalan dengan hal tersebut, pemikiran
diperkuat oleh hasil dari

penelitian Rahim (1985, p. 144), menjelaskan bahwa menurut Toriolo, yang menentukan manusia,
adalah berfungsi dan

pelibatan kodrat manusia, sehingga manusia menjadi manusia (nilai budaya Bugis-Makassar).

Nilai budaya ini disebut sebagai nilai inti yang harus menjalankan perannya dalam kegiatan, baik
antar kegiatan

individu dan lembaga kemasyarakatan adalah; (1) nilai kejujuran, (2) nilai ulama, (3) nilai kepatuhan,

dan (4) nilai ketekunan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu
diterapkan nilai-nilai lokal

kebijaksanaan dengan memodifikasi substansi nilai-nilai tersebut dalam prinsip tata kelola yang baik.

2.3 Dimensi Pelayanan Publik

Sinambela (2010: 5) memberikan definisi pelayanan publik sebagai pemenuhan keinginan dan
kebutuhan masyarakat.
oleh pejabat negara. Negara yang didirikan oleh masyarakat (publik) tentunya dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat

masyarakat. Intinya, dalam hal ini pemerintah negara (birokrat) harus mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat

masyarakat. Persyaratan untuk hal ini bukanlah kebutuhan individu, melainkan berbagai kebutuhan
riil yang diharapkan

masyarakat.

Pelayanan publik adalah kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pegawai negeri
sipil dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

dari orang-orang yang mengatur pelaksanaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


Peraturan Menteri

Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 09 / PER / M.PAN / 5/2007, tentang Kinerja
Aparatur Negara,

Kinerja instansi pemerintah merupakan gambaran tingkat pencapaian tujuan atau sasaran

instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan rencana strategis instansi pemerintah
yang diindikasikan

berhasil tidaknya pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan.

Sinambela, (2010, hlm. 6) mengemukakan bahwa tujuan dari pelayanan publik memuaskan
masyarakat. Raih kepuasan itu

menuntut kualitas pelayanan prima yang tercermin; transparansi, akuntabilitas, kondisional,


partisipatif, persamaan hak,

dan keseimbangan hak dan kewajiban. Senada dengan Dwiyanto (2006, p. 50-51), menjelaskan
beberapa indikator yang digunakan untuk

mengukur kinerja birokrasi publik yaitu; produktivitas, kualitas layanan, daya tanggap, tanggung
jawab,

dan akuntabilitas.

3. Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan penekanan pada fenomenologi. Studi
difokuskan pada Integrided Public

Kantor Pelayanan di Kabupaten Gowa. Oleh karena itu untuk kebutuhan pengumpulan data, peneliti
melakukan data primer

Koleksi berupa wawancara mendalam terhadap pejabat atau petugas pelaksana informan. Peneliti
juga melakukan wawancara mendalam dengan pengguna jasa. Selain itu peneliti melakukan studi
terhadap data sekunder berupa dokumen

data yang diperoleh peneliti berupa daftar arsip pemeliharaan IMB dan sebagainya serta Surat Izin
yang telah
diterbitkan dua tahun terakhir di lingkup Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu. Kedua sumber data
tersebut menguji kredibilitasnya

dan kemudian dianalisis secara interaktif menggunakan model Miles dan Huberman.

Fokus dan tujuan penelitian adalah para informan yang terlibat baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam pelaksanaan penelitian

pelayanan perizinan dalam dua tahun terakhir, yaitu sejak tahun 2013 hingga 2014 dalam lingkup
Pelayanan Perizinan Terpadu

Dinas yaitu (1) Pejabat pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan perizinan di Desa dan
Kecamatan, (2) Pelaksana karyawan, (3) bagian pendaftaran, (4) bagian survei lapangan, (4) bagian
keuangan, (5) bagian penerbitan izin,(6) publik atau pengguna jasa.

4. Hasil dan Pembahasan

Pemikiran tentang pentingnya etika dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama birokrasi yang
berkualitas dan memiliki pelayanan publik sebelumnya

menjelaskan berbagai konsep dan teori yang mendukung good governance dalam pelayanan publik
yang mengedepankan kepentingan publik

dalam transparansi, efisien, dan kurangnya kepastian pelayanan. Meskipun perkembangan


pelayanan publik secara empiris

birokrasi cenderung menilai masyarakat kurang simpatik dan berkonotasi buruk karena kurang
berpihak pada masyarakat.

kepentingan komunitas. Teorinya, birokrasi berfungsi sebagai pelayan publik. Ini mengkaji fenomena
publik

pelayanan khususnya pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Gowa akan diuraikan di bawah
ini:

4.1 Dimensi Tujuan

Salah satu ukuran kualitas pelayanan adalah dimensi yang menjadi orientasi awal goal waiter untuk
musyawarah dan tindakan.

Tujuan pelayanan IMB adalah birokrasi pelayanan publik harus memberikan pelayanan secara
profesional untuk memajukan

kepentingan pengguna layanan publik dari kepentingan pribadi atau organisasi.

Pelaksanaan pelayanan IMB di Gowa berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Dinas Pelayanan
Terpadu secara bersama

komitmen dalam memberikan pelayanan prima dengan visi, yaitu "Di Wilayah Layanan Perizinan."
Standar pelayanan adalah a

komitmen / janji yang harus dilaksanakan sebagai tugas dan tanggung jawab aparatur pelayanan
publik.
Hasil analisis Theresa melalui wawancara menunjukkan bahwa layanan IMB sudah banyak
mengeluarkan izin mendirikan bangunan

tetapi belum menunjukkan komitmen sikap dan perilaku aparatur terkait untuk layanan penuh
tanggung jawab di

menjalankan tugasnya. Komitmen personel layanan IMB dalam menjalankan tugasnya dengan
tanggung jawab yang tinggi dapat dilihat

dalam matriks wawancara:

Berdasarkan hasil kuantitatif wawancara tersebut sudah banyak izin yang dikeluarkan, namun dalam
kualitas pelayanan

berdasarkan tujuan pelayanan publik masih jauh dari harapan masyarakat. Pengguna layanan publik
seringkali dihadapkan pada

Masalah ketidakpastian pelayanan ketika berhadapan dengan birokrasi, baik itu persyaratan, tarif,
waktu,

manajemen layanan dan pengungkapan informasi. Karena itu, tidak sedikit orang yang lebih memilih
jalan menggunakan calo

(perantara) untuk mendapatkan izin bangunan.

4.2 Dimensi Akuntabilitas

Salah satu indikator kemampuan lembaga modalitas memberikan pelayanan publik adalah
keharusan “Akuntabilitas” artinya besarnya

Pelayanan yang baik dapat menunjukkan suatu kegiatan birokrasi yang dilaksanakan sesuai dengan
norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat

komunitas, dan layanan dapat memenuhi kebutuhan nyata komunitas. Birokrasi pelayanan perizinan
IMB adalah sebuah

organisasi yang memiliki legitimasi untuk melaksanakan berbagai kebijakan dan peraturan tentang
pelayanan publik di bidang
perizinan. Oleh karena itu, sebagai organisasi pemerintahan diberi tanggung jawab moral yang tinggi
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab yang besar untuk didukung dengan kemampuan personel
yang memberikan layanan di sebuah

akuntabel dan bertanggung jawab.

Kantor Pelayanan Terpadu Gowa merupakan salah satu organisasi pemerintah yang terus
memberikan pelayanan publik di Indonesia

bidang perizinan. Harapan besar dari masyarakat sebagai pengguna jasa adalah terwujudnya
pelayanan yang berkualitas dan memenuhi

standar akuntabilitas. Ditemukan bahwa tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional
dipegang pejabat atau pejabat

masyarakat dinilai masih tergolong rendah. Penilaian akuntabilitas birokrasi pelayanan dapat dilihat
pada

matriks wawancara, sebagai berikut:

Fakta ini menunjukkan bahwa dimensi akuntabilitas layanan IMB masih tergolong rendah. Proses
pelayanan menjadi lebih

kaku dengan hanya menjalankan pelayanan birokrasi yang bersifat fungsional sehingga masyarakat
tidak bisa memilih, tetapi harus tunduk

aturan yang dibuat sendiri. Oleh karena itu, ditemukan banyak pengguna layanan memilih jalan
pintas untuk tidak lewat yang sudah ada

prosedur tetapi melalui perantara (perantara). Justru melahirkan patologi birokrasi, seperti korupsi,

kolusi, dan nepotisme.

4.3 Dimensi Transparansi

Salah satu tuntutan pemangku kepentingan adalah transparansi praktik penyampaian layanan secara
keseluruhan. Pengiriman layanan

Prosesnya, khususnya, diperlukan pelayanan pemeliharaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk
keterbukaan dan jaminan akses
untuk semua pengguna layanan ke berbagai proses informasi kebijakan yang ditetapkan. Misalnya,
pemerintah menyediakan

Bentuk tindakan, waktu, atau cara melakukan tindakan harus diberikan akses informasi kepada
publik dan pemangku kepentingan

secara terbuka.

Berdasarkan hasil penelitian dan observasi terhadap pelaksanaan pelayanan di bidang perizinan
(IMB) di PT

Gowa memang belum sepenuhnya dilakukan secara terbuka, terutama akses informasi terkait
ketentuan yang sudah ada

ditetapkan sebagai standar layanan. Keterbukaan informasi disampaikan melalui papan untuk
membicarakan tentang

mekanisme untuk mendapatkan lisensi, tetapi waktu dan besarnya biaya tidak dikomunikasikan
secara publik sehingga masih

kemungkinan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang resmi.

Hasil wawancara dengan masyarakat pengguna jasa keterbukaan dalam memberikan pelayanan IMB
menyebutkan bahwa;

Sebenarnya pelayanan informasi cukup terbuka untuk disampaikan kepada masyarakat karena telah
ada mekanisme kerja yang dipamerkan

di sekitar ruang tunggu tetapi tidak diinformasikan berapa lama ijin akan selesai dan berapa yang
harus dibayarkan

pungutan sesuai dengan peraturan ini. Komunitas pelanggan tinggal pasrah tinggal menunggu
keputusan dari aparatur

tanpa diberi ruang untuk mengutarakan pendapat atau penolakan layanan yang diberikan.

4.4 Dimensi Netralitas

Salah satu prinsip pelayanan publik adalah prinsip netralitas, yaitu kemampuan mengkondisikan
kegiatan pelayanan

dan sebaliknya menekankan fungsi layanan publik. Netralitas merupakan tindakan yang
menempatkan pelayanan publik dalam situasi dan

kondisi yang dibutuhkan sehingga tidak mungkin hanya memberikan prioritas kepada satu pihak
atau sekelompok tertentu

kelompok. Netralitas berarti tidak memihak atau layanan tanpa diskriminasi tetapi dapat memenuhi
tuntutan tanggung jawab dan

objektivitas dalam memberikan informasi.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan IMB di Gowa masih cenderung mewujudkan prinsip-
prinsip yang kurang netral dalam penyelenggaraannya

layanan untuk semua pengguna layanan. Fakta tersebut dapat dilihat pada matriks wawancara
berikut:

Fakta ini menunjukkan masih terdapat kecenderungan kurangnya petugas netralitas dalam
memberikan pelayanan, seperti pengecekan berkas, berkas

waktu, dan sikap pelayanan. Hal ini berimplikasi pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam
mengurus diri IMB.

Selain itu juga berimplikasi pada perilaku aparatur karena rendahnya harapan akan reward atau
ucapan terima kasih di luar

penghasilan sebagai pegawai negeri.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa pelayanan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) di Gowa masih

Rendah dilihat dari aspek etika pendekatan birokrasi. Layanan IMB melalui Kantor Pelayanan
Terpadu di

kuantitas tersebut dapat menjawab kebutuhan masyarakat terkait permukiman IMB namun dinilai
masih berkualitas rendah

karena belum memenuhi indikator kualitas pelayanan publik, seperti (1) dimensi tujuan pelayanan,
(2) dimensi

dimensi akuntabilitas layanan, (3) Transparansi layanan, dan (4) netralitas layanan.

Fakta rendahnya etika pelayanan IMB yang mungkin terjadi berdasarkan temuan adalah; baik
aparatur pemerintah maupun aparatur birokrasi dan masyarakat

pengguna jasa memiliki sikap dan perilaku yang semakin jauh dari nilai-nilai kearifan lokal sebagai
landasan moral

untuk musyawarah dan tindakan. Nilai kearifan lokal yaitu nilai kejujuran, keilmuan, ketekunan, dan
ketekunan

merupakan salah satu nilai budaya atau budaya lokal "siri" na "pacu" bagi masyarakat Gowa yang
harus diaplikasikan dalam sikap

dan perilaku birokrasi pelayanan publik

Anda mungkin juga menyukai