mencapai hasil yang efektif, transparansi, dan kurangnya layanan jaminan. Kinerja pelayanan publik
masih rendah,
terutama sikap dan perilaku aparatur Kementerian yang kurang memperhatikan prinsip moral dalam
melaksanakan tugasnya.
Aparatur pemerintah sebagai PNS dan Royal Society masih memandang persoalan etika birokrasi
yaitu moralitas.
sebagai elemen yang kurang penting bagi dunia pelayanan publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menilai pelayanan publik,
khususnya pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) melalui penerapan nilai-nilai etika berbasis
kearifan lokal, meliputi; kejujuran,
beasiswa, kepatuhan, dan ketekunan. Menilai masalah dengan pendekatan fenomenologi yaitu
peneliti
mendeskripsikan pengalaman yang dilakukan dan dialami informan baik proses nominasi IMB,
maupun pembuatannya
dari IMB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap dan perilaku aparatur birokrasi dalam
pelayanan IMB masih rendah karena
masih terdapat praktek birokrasi patologi dilihat dari indikator penerapan nilai kejujuran, keilmuan,
1. Perkenalan
Kinerja pelayanan publik di Indonesia khususnya pelayanan publik masih sangat rendah. Ini
diperkuat oleh
kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil tata kelola
penelitian
dan Survei Desentralisasi (GDS) tahun 2002. Riset GDS 2002, (Dwiyanto, 2003) menemukan ada tiga
hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik yaitu; (1) tingginya diskriminasi
dalam pelayanan, termasuk: nepotisme,
aspek politik, etnis dan agama. (2) Belum ada kepastian biaya dan waktu pelayanan, sehingga tidak
bebas korupsi
dan suap. (3) Rendahnya kepuasan masyarakat terhadap pelayanan sebagai akibat diskriminasi dan
ketidakpastian pelayanan.
Realitas pelayanan publik, khususnya pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dinilai masih jauh
dari masyarakat
layanan publik yang benar. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik
menegaskan bahwa pelayanan publik adalah hak setiap warga negara itu
harus dipenuhi dan merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk mengaturnya sehingga
menjadi hak dasar warga negara
dijamin oleh konstitusi. Sejalan dengan pandangan dan keinginan reformasi birokrasi pelayanan
publik, bahwa
Pemerintah harus menyadari pentingnya tata pemerintahan yang baik (good governance),
khususnya penyelenggaraan pelayanan publik di lingkungan
kepentingan publik terhadap transparansi yang komprehensif, efisien, dan kurangnya kepastian
pelayanan.
Pelayanan perizinan adalah tanggung jawab pejabat Pemerintah sebagai pegawai negeri dan Royal
Society untuk memberikan
kepuasan kepada publik. Kenyataannya masih sering terjadi penyalahgunaan wewenang dan
tanggung jawab untuk mendorong atau memaksakan keinginan
masyarakat tanpa mempertimbangkan konsekuensinya secara moral. Pejabat dan pegawai perizinan
semakin mapan
Perilaku buruk birokrasi pelayanan perizinan dapat dilihat dari beberapa pandangan dan temuan PT
1. Dwiyanto (2008, h. 2) melihat masih maraknya praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di
pelayanan publik. KKN tidak hanya membuat birokrasi pelayanan menjadi sangat sulit dinikmati
secara adil oleh masyarakat
orang, tetapi juga orang harus membayar layanan yang lebih mahal.
2. Muhtar (2010, p. 22) menemukan banyak penyimpangan atau perilaku korup dalam pelayanan
publik. Praktek ini sebagai a
hasil dari faktor budaya (culture) yang meliputi; tradisi pemberian hadiah kepada pejabat (pejabat)
dan ikatan keluarga
3. Hasil survei KPPOD dan The Asia Foundation (2011, h. 2-6) menemukan bahwa layanan perizinan
masih belum memuaskan bagi masyarakat sebagai akibat dari kinerja pelayanan yang masih rendah,
sebagai berikut:
Sebuah. Sebagian besar kawasan belum mengikuti standar yang ditetapkan pemerintah pusat
(maksimal tiga hari), yakni
2. Tinjauan Pustaka
Pemikiran tentang pentingnya etika pelayanan publik dalam pemerintahan, sejalan dengan rumusan
tipe ideal Max Weber
birokrasi yang menilai dan menjelaskan dalam bukunya (The theory of social and economic
organization, 1922) yang dikenal sebagai
Tipe ideal birokrasi akademik yang menjadi ideal adalah birokrasi lebih menitikberatkan pada aspek
rasionalitas, impersonal.
dan efisiensi dalam meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah (Weber, 1964, p. 333). Oleh karena
itu,
Meskipun birokrasi pemerintah terus berhadapan dengan fenomena kekuasaan yang rasional tetapi
harus tetap dari
sikap dan perilaku pejabat / pejabat yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum dan nilai
moral yang berlaku.
berkonotasi karena kurang berpihak pada masyarakat, tetapi birokrasi berfungsi sebagai abdi
masyarakat.
Kumorotomo, (2005, p. 13) Mengemukakan beberapa rumusan tujuan adalah Etika Pemerintah; (1)
merumuskan nilai-nilai moral
/ etika, norma dan tanggung jawab dalam interelasi, interaksi dan interdependensi antara
penyelenggara negara dan
antara lembaga negara di tingkat pusat dan daerah, (2) Memantapkan tanggung jawab moral dan
material dalam perannya sebagai
fungsi dan kewenangannya di masing-masing sebagai pejabat / lembaga / instansi pemerintah dan
lembaga negara, (3) Mengatur
hubungan tata kelola antara kewenangan dan tanggung jawab pejabat / lembaga / lembaga dengan
berlandaskan moral
nilai-nilai dan ketentuan hukum yang berlaku, (4) memberikan acuan / pedoman sebagai nilai
standar dalam sikap dan perbuatan
vertikal maupun horizontal sesuai kewenangan dan peran masing-masing pejabat / instansi dalam
hubungannya dengan kelembagaan
struktur tata kelola sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, pendekatan tata kelola etis
dapat dilakukan
rasionalitas birokrasi dan efisiensi pelayanan publik dengan indikator transparansi, akuntabilitas,
partisipasi dan
peraturan hukum.
Sikap dan perilaku yang dianggap baik menurut pandangan etis diungkapkan Alder (1984)
sesuai dengan pandangan The Liang Gie (1989) dan Komorotomo (2008) dapat dilihat dari enam
dasar nilai
Indikatornya, yaitu: (1) kebenaran, (2) kebaikan, (3) keindahan, (4) kebebasan, (5) persamaan, dan
(6) keadilan. Landasan dari ini
Nilai aset etis dijadikan sebagai pedoman bagi manusia untuk melakukan pertimbangan dan
tindakan sehingga sikap dan sikap
perilaku yang dapat dianggap baik dan bertanggung jawab secara etis.
Terkait dengan pandangan nilai-nilai etika yang mengatur perilaku dan sikap khususnya dalam
pelayanan publik
birokrasi, maka Haryatmoko (2011: 6) menjelaskan etika pelayanan publik mengandung tiga dimensi,
kualitas pelayanan,
modalitas (fasilitas perawatan) dan tindakan pelayanan. Dimensi ketiga dapat dijelaskan dengan
mengukur birokrasi yang baik
layanan dengan indikator; tujuan layanan, akuntabilitas, transparansi, netralitas, dan integritas
publik.
Kearifan lokal merupakan salah satu dimensi nilai moral dan acuan atau sikap dan perilaku
masyarakat lokal.
Ketika dihadapkan pada konsep good governance, terutama yang menyangkut landasan perilaku
baik, konsep tersebut
Kearifan lokal mengadopsi nilai-nilai prinsip, nasehat, norma dan perilaku yang dianggap nenek
moyang pada masa lalu
penting dan memiliki kemampuan untuk mengatur sesuatu atau menghadapi berbagai fenomena
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Untuk Misalnya pelayanan birokrasi yang sering dianggap
kurang memuaskan karena tingkah laku aparatur sehingga
bahwa pengaturan atau upaya mewujudkan good governance tidak dapat dicapai dengan baik.
Said (2007, p. 14) menjelaskan kearifan lokal sebagai kearifan lokal atau kearifan lokal atau
kecerdasan lokal "lokal
genius, pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan strategi kehidupan kegiatan tak berwujud yang
dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menyikapi
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhannya. Pangarsa (2007, h. 452) menganggap kearifan
lokal sebagai perwujudan dari
modal sosial di masyarakat dalam upaya pemecahan masalah bersama dalam prinsip kesetaraan dan
berpasangan individu
yang ada di multi-senyawa. Dalam hal ini modal sosial dalam masyarakat merupakan nilai-nilai yang
menjadi etika nyata
Kearifan lokal adalah pengetahuan atau nilai, prinsip, nasehat atau pemikiran yang melayani
pandangan dunia intelijen sebagai
dasar etika dan penilaian moral. Sebagaimana dirumuskan oleh Mattulada (1985, hlm. 87) sebagai
dasar pemikiran Latoa dan juga
Tertulis dalam Lontara bahwa pola pikir orang Bugis-Makassar dalam kehidupan sosial dan budaya,
dapat disimpulkan menjadi tiga
bagian, yaitu (1) orang yang selalu memandang dirinya sebagai makhluk. Peringkat sosial yang sama
di hadapan Tuhan
Yang Maha Kuasa, (2) Orang yang selalu melihat tujuannya untuk selalu bekerja dengan baik, dan (3)
orang yang senantiasa membangun nilai dan
kelembagaan budaya dan sosial menciptakan harmoni antara kepentingan kolektif dengan
kepentingan individu.
Mengasumsikan tiga pola sikap yang mendasari pemikiran tersebut terlebih dahulu, untuk
membentuk perwujudan
nilai dan norma sosial budaya yang disebut panngaderreng. Sejalan dengan hal tersebut, pemikiran
diperkuat oleh hasil dari
penelitian Rahim (1985, p. 144), menjelaskan bahwa menurut Toriolo, yang menentukan manusia,
adalah berfungsi dan
pelibatan kodrat manusia, sehingga manusia menjadi manusia (nilai budaya Bugis-Makassar).
Nilai budaya ini disebut sebagai nilai inti yang harus menjalankan perannya dalam kegiatan, baik
antar kegiatan
individu dan lembaga kemasyarakatan adalah; (1) nilai kejujuran, (2) nilai ulama, (3) nilai kepatuhan,
dan (4) nilai ketekunan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu
diterapkan nilai-nilai lokal
kebijaksanaan dengan memodifikasi substansi nilai-nilai tersebut dalam prinsip tata kelola yang baik.
Sinambela (2010: 5) memberikan definisi pelayanan publik sebagai pemenuhan keinginan dan
kebutuhan masyarakat.
oleh pejabat negara. Negara yang didirikan oleh masyarakat (publik) tentunya dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat
masyarakat. Intinya, dalam hal ini pemerintah negara (birokrat) harus mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat
masyarakat. Persyaratan untuk hal ini bukanlah kebutuhan individu, melainkan berbagai kebutuhan
riil yang diharapkan
masyarakat.
Pelayanan publik adalah kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pegawai negeri
sipil dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 09 / PER / M.PAN / 5/2007, tentang Kinerja
Aparatur Negara,
Kinerja instansi pemerintah merupakan gambaran tingkat pencapaian tujuan atau sasaran
instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan rencana strategis instansi pemerintah
yang diindikasikan
berhasil tidaknya pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan.
Sinambela, (2010, hlm. 6) mengemukakan bahwa tujuan dari pelayanan publik memuaskan
masyarakat. Raih kepuasan itu
dan keseimbangan hak dan kewajiban. Senada dengan Dwiyanto (2006, p. 50-51), menjelaskan
beberapa indikator yang digunakan untuk
mengukur kinerja birokrasi publik yaitu; produktivitas, kualitas layanan, daya tanggap, tanggung
jawab,
dan akuntabilitas.
3. Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan penekanan pada fenomenologi. Studi
difokuskan pada Integrided Public
Kantor Pelayanan di Kabupaten Gowa. Oleh karena itu untuk kebutuhan pengumpulan data, peneliti
melakukan data primer
Koleksi berupa wawancara mendalam terhadap pejabat atau petugas pelaksana informan. Peneliti
juga melakukan wawancara mendalam dengan pengguna jasa. Selain itu peneliti melakukan studi
terhadap data sekunder berupa dokumen
data yang diperoleh peneliti berupa daftar arsip pemeliharaan IMB dan sebagainya serta Surat Izin
yang telah
diterbitkan dua tahun terakhir di lingkup Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu. Kedua sumber data
tersebut menguji kredibilitasnya
dan kemudian dianalisis secara interaktif menggunakan model Miles dan Huberman.
Fokus dan tujuan penelitian adalah para informan yang terlibat baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam pelaksanaan penelitian
pelayanan perizinan dalam dua tahun terakhir, yaitu sejak tahun 2013 hingga 2014 dalam lingkup
Pelayanan Perizinan Terpadu
Dinas yaitu (1) Pejabat pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan perizinan di Desa dan
Kecamatan, (2) Pelaksana karyawan, (3) bagian pendaftaran, (4) bagian survei lapangan, (4) bagian
keuangan, (5) bagian penerbitan izin,(6) publik atau pengguna jasa.
Pemikiran tentang pentingnya etika dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama birokrasi yang
berkualitas dan memiliki pelayanan publik sebelumnya
menjelaskan berbagai konsep dan teori yang mendukung good governance dalam pelayanan publik
yang mengedepankan kepentingan publik
birokrasi cenderung menilai masyarakat kurang simpatik dan berkonotasi buruk karena kurang
berpihak pada masyarakat.
kepentingan komunitas. Teorinya, birokrasi berfungsi sebagai pelayan publik. Ini mengkaji fenomena
publik
pelayanan khususnya pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Gowa akan diuraikan di bawah
ini:
Salah satu ukuran kualitas pelayanan adalah dimensi yang menjadi orientasi awal goal waiter untuk
musyawarah dan tindakan.
Tujuan pelayanan IMB adalah birokrasi pelayanan publik harus memberikan pelayanan secara
profesional untuk memajukan
Pelaksanaan pelayanan IMB di Gowa berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Dinas Pelayanan
Terpadu secara bersama
komitmen dalam memberikan pelayanan prima dengan visi, yaitu "Di Wilayah Layanan Perizinan."
Standar pelayanan adalah a
komitmen / janji yang harus dilaksanakan sebagai tugas dan tanggung jawab aparatur pelayanan
publik.
Hasil analisis Theresa melalui wawancara menunjukkan bahwa layanan IMB sudah banyak
mengeluarkan izin mendirikan bangunan
tetapi belum menunjukkan komitmen sikap dan perilaku aparatur terkait untuk layanan penuh
tanggung jawab di
menjalankan tugasnya. Komitmen personel layanan IMB dalam menjalankan tugasnya dengan
tanggung jawab yang tinggi dapat dilihat
Berdasarkan hasil kuantitatif wawancara tersebut sudah banyak izin yang dikeluarkan, namun dalam
kualitas pelayanan
berdasarkan tujuan pelayanan publik masih jauh dari harapan masyarakat. Pengguna layanan publik
seringkali dihadapkan pada
Masalah ketidakpastian pelayanan ketika berhadapan dengan birokrasi, baik itu persyaratan, tarif,
waktu,
manajemen layanan dan pengungkapan informasi. Karena itu, tidak sedikit orang yang lebih memilih
jalan menggunakan calo
Salah satu indikator kemampuan lembaga modalitas memberikan pelayanan publik adalah
keharusan “Akuntabilitas” artinya besarnya
Pelayanan yang baik dapat menunjukkan suatu kegiatan birokrasi yang dilaksanakan sesuai dengan
norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat
komunitas, dan layanan dapat memenuhi kebutuhan nyata komunitas. Birokrasi pelayanan perizinan
IMB adalah sebuah
organisasi yang memiliki legitimasi untuk melaksanakan berbagai kebijakan dan peraturan tentang
pelayanan publik di bidang
perizinan. Oleh karena itu, sebagai organisasi pemerintahan diberi tanggung jawab moral yang tinggi
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab yang besar untuk didukung dengan kemampuan personel
yang memberikan layanan di sebuah
Kantor Pelayanan Terpadu Gowa merupakan salah satu organisasi pemerintah yang terus
memberikan pelayanan publik di Indonesia
bidang perizinan. Harapan besar dari masyarakat sebagai pengguna jasa adalah terwujudnya
pelayanan yang berkualitas dan memenuhi
standar akuntabilitas. Ditemukan bahwa tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional
dipegang pejabat atau pejabat
masyarakat dinilai masih tergolong rendah. Penilaian akuntabilitas birokrasi pelayanan dapat dilihat
pada
Fakta ini menunjukkan bahwa dimensi akuntabilitas layanan IMB masih tergolong rendah. Proses
pelayanan menjadi lebih
kaku dengan hanya menjalankan pelayanan birokrasi yang bersifat fungsional sehingga masyarakat
tidak bisa memilih, tetapi harus tunduk
aturan yang dibuat sendiri. Oleh karena itu, ditemukan banyak pengguna layanan memilih jalan
pintas untuk tidak lewat yang sudah ada
prosedur tetapi melalui perantara (perantara). Justru melahirkan patologi birokrasi, seperti korupsi,
Salah satu tuntutan pemangku kepentingan adalah transparansi praktik penyampaian layanan secara
keseluruhan. Pengiriman layanan
Prosesnya, khususnya, diperlukan pelayanan pemeliharaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk
keterbukaan dan jaminan akses
untuk semua pengguna layanan ke berbagai proses informasi kebijakan yang ditetapkan. Misalnya,
pemerintah menyediakan
Bentuk tindakan, waktu, atau cara melakukan tindakan harus diberikan akses informasi kepada
publik dan pemangku kepentingan
secara terbuka.
Berdasarkan hasil penelitian dan observasi terhadap pelaksanaan pelayanan di bidang perizinan
(IMB) di PT
Gowa memang belum sepenuhnya dilakukan secara terbuka, terutama akses informasi terkait
ketentuan yang sudah ada
ditetapkan sebagai standar layanan. Keterbukaan informasi disampaikan melalui papan untuk
membicarakan tentang
mekanisme untuk mendapatkan lisensi, tetapi waktu dan besarnya biaya tidak dikomunikasikan
secara publik sehingga masih
Hasil wawancara dengan masyarakat pengguna jasa keterbukaan dalam memberikan pelayanan IMB
menyebutkan bahwa;
Sebenarnya pelayanan informasi cukup terbuka untuk disampaikan kepada masyarakat karena telah
ada mekanisme kerja yang dipamerkan
di sekitar ruang tunggu tetapi tidak diinformasikan berapa lama ijin akan selesai dan berapa yang
harus dibayarkan
pungutan sesuai dengan peraturan ini. Komunitas pelanggan tinggal pasrah tinggal menunggu
keputusan dari aparatur
tanpa diberi ruang untuk mengutarakan pendapat atau penolakan layanan yang diberikan.
Salah satu prinsip pelayanan publik adalah prinsip netralitas, yaitu kemampuan mengkondisikan
kegiatan pelayanan
dan sebaliknya menekankan fungsi layanan publik. Netralitas merupakan tindakan yang
menempatkan pelayanan publik dalam situasi dan
kondisi yang dibutuhkan sehingga tidak mungkin hanya memberikan prioritas kepada satu pihak
atau sekelompok tertentu
kelompok. Netralitas berarti tidak memihak atau layanan tanpa diskriminasi tetapi dapat memenuhi
tuntutan tanggung jawab dan
layanan untuk semua pengguna layanan. Fakta tersebut dapat dilihat pada matriks wawancara
berikut:
Fakta ini menunjukkan masih terdapat kecenderungan kurangnya petugas netralitas dalam
memberikan pelayanan, seperti pengecekan berkas, berkas
waktu, dan sikap pelayanan. Hal ini berimplikasi pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam
mengurus diri IMB.
Selain itu juga berimplikasi pada perilaku aparatur karena rendahnya harapan akan reward atau
ucapan terima kasih di luar
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa pelayanan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) di Gowa masih
Rendah dilihat dari aspek etika pendekatan birokrasi. Layanan IMB melalui Kantor Pelayanan
Terpadu di
kuantitas tersebut dapat menjawab kebutuhan masyarakat terkait permukiman IMB namun dinilai
masih berkualitas rendah
karena belum memenuhi indikator kualitas pelayanan publik, seperti (1) dimensi tujuan pelayanan,
(2) dimensi
dimensi akuntabilitas layanan, (3) Transparansi layanan, dan (4) netralitas layanan.
Fakta rendahnya etika pelayanan IMB yang mungkin terjadi berdasarkan temuan adalah; baik
aparatur pemerintah maupun aparatur birokrasi dan masyarakat
pengguna jasa memiliki sikap dan perilaku yang semakin jauh dari nilai-nilai kearifan lokal sebagai
landasan moral
untuk musyawarah dan tindakan. Nilai kearifan lokal yaitu nilai kejujuran, keilmuan, ketekunan, dan
ketekunan
merupakan salah satu nilai budaya atau budaya lokal "siri" na "pacu" bagi masyarakat Gowa yang
harus diaplikasikan dalam sikap