Anda di halaman 1dari 9

KARYA ILMIAH ETIKA ADMINISTRASI NEGARA

‘’ PENYELEWENGAN ETIKA APARATUR PEMERINTAHAN DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN PUBLIK ‘’

Diajukan untuk memenuhi tugas UAS

Dosen Pengampu: Dra. Liliek Winarni,M.Si

Disusun oleh:

Khoirunnisa’

(20400012)

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SLAMET RIYADI

2021
BAB 1 PENDAHULUAN

Praktek dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih penuh dengan ketidakpastian, ketidakpastian ini meliputi
ketidakpastian biaya, waktu, dan cara pelayanan. Didalam mengurus pelayanan publik, waktu dan biaya pelayanan tidak pernah jelas bagi para
pengguna pelayanan. Ketidakpastian ini sebabkan oleh prosedur pelayanan yang tidak pernah mengatur kewajiban dari penyelenggara pelayanan
dan hak dari warga sebagai pengguna, prosedur ini cenderung hanya mengatur kewajiban warga Ketika berhadapan dengan unit pelayanan.
Akibat dari ketidakpastian ini membuat warga untuk membayar pungutan liar (jalur calo) kepada petugas agar segera mendapatkan kepastian
pelayanan. Selain ketidakpastian, banyak dilihat maupun didengar bahwa adanya Tindakan dan perilaku aparat pemerintahan yang tidak sopan,
tidak ramah dan diskriminatif terhanap masyarakat.

Apabila pemerintah dan aparatur pemerintahan memiliki kredibilitas yang memadai dan kewibawaan, maka akan dihormati serta disegani
oleh masyarakat. Pemerintah yang memiliki etika dan moralitas yang tinggi didalam menjalankan kewenangan pemerintahannya, maka akan
memiliki akuntabilitas dan penghormatan yang tinggi pula terhadap tuntutan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang dilayani. Adanya
pemerintahan yang terbuka, pasrtisipasi aktif, dan pemberdayaan masyarakat dapat diwujudkan. Sebagai manifestasi dari gagasan yang dewasa
ini dikembangkan penerapan etika dalam pelayanan publik, jika dilihat betapa kompleksnya permasalahan yang terjadi didalam praktek
pelayananan publik, sehingga upaya penerpan etika pelayanan publik di Indonesia menuntut adanya pemahaman dan sosialisasi yang
menyeluruh dan menyentuh semua dimensi persoalan yang dihadapi oleh birokrasi pelayanan.

Adapun faktor utama yang terjadi didalam keterpurukannya pelayanan di Indonesia adalah lemahnya etika sumber daya manusia (SDM)
yaitu aparat birokrat yang bertugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Etika aparat pelayanan publik harus berorientasi kepada
kepentingan masyarakat, didalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses
kebijakan publik antara lain: pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan desain organisasi pelayanan publik
mengenai pengaturan struktur, formalisasi, disperse otoritas terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan public yang penuh
dengan rekayasa dan kamuflase mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, informasi yang Nampak dari sifat-
sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil sehingga dapat memicu terjadinya kualitas pelayanan yang kurang baik kepada
masyarakat. Seharusnya pelayanan umum dilakukan secara beretika agar tidak adanya kekecewaan bagi mayarakat.

Kelemahan dasar dalam pelayanan administrasi negara di Indonesia adalah masalah tentang moralitas, dimana etika sering kali dilihat
sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Didalam literatur tentang pelyananan publik dan administrasi negara,
etika merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam menentukan kepuasan masyarakat yang dilayani sekaligur keberhasilan organisasi
didalam melaksanakan pelayanan itu sendiri. Permasalahan yang terjadi didalam penyelenggaraan aparatur pemerintahan yaitu masih adanya
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para aparatur pemerintahan.

Disetiap birokrasi pemerintahan wajib memiliki mental dan perilaku yang dapat mencerminkan keunggulan serta besarnya ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Aparatur wajib mengembangkan diri sehingga mampu memahami, menghayati, mengimplementasikan berbagai hal
yang bersumber pada kebijakan moral khususnya keadilan dlam menjalankan tanggung jawabnya sebagai pelayan publik. Isu-isu tentang etika
dalam melaksanakan pelayanan publik di Indonesia kurang dipahami secara luas dan menyeluruh seperti yang dilakukan di negara maju,
meskipun bukan lagi rahasia umum bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan adalah masalah etika. Pelaksanaan etika dalam praktek
pelyananan publik dapat dilihat dari kode etik yang dimiliki oleh aparatur pemerintahan itu sendiri. Kode etik bukan hanya sebuah aturan dan
bukan hanya sekedar bacaan, tatapi juga harus diimplementasikan didalam melaksanankan tugas maupun jabatan yang dipegang oleh aparatur.
Komitmen dari kode etik tersebut wajib dijalankan dengan sungguh-sungguh supaya peleyanan publik mendapat kepercayaan dari masyarakat
yang dilayani. Aparatur pemerintahan harus mampu mematuhi kode etik maupun kode perilaku diantaranya cermat dan disiplin, sopan, tanpa
tekanan, serta menjaga kerahasiaan yang menyangkut tentang kebijakan negara. Didalam menjalankan tanggung jawab dan tugas-tugas yang
diberikan oleh institusi, para aparatur pemerintahan harus memiliki komitmen yang tinggi, salah satunya yaitu dalam hal penerapan etika
didalam administrasi publik.

Nilai-nilai etika etika bukan hanya sekedar suatu keyakinan yang dipegang secara pribadi oleh seseorang atau individu, namun etika
harus menjadi acuan dan pedoman dalam bertindak baik dalam bermasyarakat maupun kelembagaan. Dalam etika administrasi publik, terdapat
asumsi yang berlaku bahwa melalaui penerapan niai-nilai etika, seorang aparatur pemerintahan akan dapatmembentuk moral yang baik dalam
melaksanakan tugasnya untuk melayani masyarakat. Seorang aparatur pemerintahan yang memegang nilai-nilai etika yang tinggi, akan
senantiasa berupaya menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan yang menyalahi aturan, karena mempunyai komitmen yang tinggi untuk
menjalankan tanggung jawab dan tugas yang diberikan. Hal yang paling terpenting adalah dengan adanya penerapan etika dalam pelayanan
aparatur pemerintahan kepada masyarakat harus dilakukan secara optimal dan tidak hanya mempengaruhi satu individu saja, tapi juga harus
memberikan dampak yang positif bagi masyarakat yang luas.
BAB II TINJAUAN PUASTAKA

Secara umum, etika diartikan sebagai suatu susunan prinsip-prinsip moral dan niali. Prinsip-prinsio tersebut kemudian diakui dan
diterima oleh individua tau suatu kelompok sosial sebagai sesuatu yang mengatur dan mengendalikan tingkah laku serta menentukan hal yang
baik dan hal yang buruk untuk dilakukan. Prinsip-prinsip moral dan nilai tersebut biasanya diwujudkan dalam bentuk suatu kode etik, yaitu suatu
aturan sistem atau standar yang memuat prinsip-prinsip mengelola moralitas dan tingkah laku yang diterima dalam suatu lingkungan masyarakat.

Pelayanan publik merupakan sebuah elemen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintah. Pelayanan publik secara sederhana
dipahami oleh berbagai pihak sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun aparatur pemerintahan disebut dengan pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan bentuk layanan yang diberikan
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Pelayanan publik juga harus mengacu dan didukung oleh undang-undang atau
regulasi yang berlaku sehingga dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Setiap penyelenggaraan atau
penyediaan pelayanan publik harus memiliki standarisasi dalam pelayanannya, selanjutnya standarisasi pelayanan publik tersebut perlu
dipublikasikan agar dapat diakses atau diketahui oleh masyarakat luas sebagai pengguna pelayanan publik. Standar pelayanan publik dimaknai
sebagai suatu ukuran yang telah ditentukan oleh penyelenggara atau penyedia pelayanan publik sehingga nantinya wajib ditaati oleh pemberila
pelayanan maupun penerima pelayanan. Tujuan dari pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat.
Barang dan jasa yang terbaik adalah memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian, pelayanan
publik yang terbaik adalah memberikan kepuasan terhadap publik, lebih baik lagi jika melebihi harapan publik.

Pelayanan publik lebih dititikberatkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi,
dan proses manajemen dimanfaatkan untuk menyukseskan penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah merupakan pihak provider yang
memberi tanggung jawab. Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan professional standard
(kode etik) atau moral atau aturan berperilaku yang benar, yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik.
Berdasarkan konsep etika dalam pelayanan publik diatas maka yang dimaksudkan dengan etika penyelenggaraan pelyanan publik yang
didasarkan atas serangkaian tuntutan perilaku atau kode etik yang mengatur hal-hal yang baik dan harus dilakukan atau sebaliknya yang tidak
baik bisa dihindarkan. Elemen yang harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik yaitu mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan,
desain struktur organisasi pelayanan, hingga pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Didalam konteks
ini pusat perhatian ditujukan kepada aparatur pemerintahan yang terlibat didalam setiap fase, termasuk kepentingan aparatur pemerintahan
tersebut apakah para aparat telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan yang lainnya. Adapun nilai-nilai moral yang
berlaku secara umum, yaitu kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality) dan keadilan (justice). Hal ini
dapat dinilai apakah aparat pemerintahan tersebut jujur atau tidak dalam penyusunan kebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang
dalam unit dan jabatan yang tersedia, dan dusta atau tidak dalam melaporkan hasil penyelenggaraan pelayanan publik.

Perbuatan melanggar moral atau etika didalam penyelenggaraan pelayanan publik sulit ditelusuri dan dipersoalkan, hal ini dikarenakan
adanya kebiasaan masyarakat yang melarang orang ‘’membuka rahasia’’ atau akan mengancam mereka yang mengadu. Didalam menghadapi
tantangan kedepan yang semakin berat karena adanya standar penilaian etika pelayanan terus berubah sesuai dengan perkembangan paradigma.
Secara substantif, tidak mudah untuk mencapai kedewasaan dan otonomi beretika karena penuh dengan dilemma. Oleh karena itu, dapat
dipastikan bahwa pelanggaran moral dan etika dalam pelayanan publik di Indonesia akan terus meningkat. Keban (2008:178-179) kaum
teleologis mengemukakan bahwa tidak ada ‘’univeersal moral’’. Suatu norma dapat dikatakan baik jika memiliki konsekuensi atau outcome
yang baik, yang berarti bahwa harus didasarkan pada kenyataan. Misalnya, berbohong adalah suatu norma yang universal yang dianggap atau
dinilai tidak baik, tetapi bila berbohong ternyata membawa dampak yang baik, maka dari itu berbohong itu sendiri tidak dapat melanggar norma
etika. Sebaliknya jika menceritakan kebenaran merupakan hal yang baik, akan tetapi bila menceritakan kebenaran akan membawa konsekuensi
yang buruk, maka menceritakan kebenaran itu sendiri tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang etis, kaum teleologis ini berpendapat bahwa tidak
ada suatu prinsip moralitas yang bisa dianggap universal jika belum diuji atau dikaitkan dengan konsekuensinya.

Alasan mendasar bahwa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya publik interest atas kepentingan piblik yang harus dipenuhi oleh
pemerintah kepada aparatur pemerintahan yang memiliki tanggung jawab atau responsibility. Didalam memberikan pelayanan ini, pemerintah
diharapkan secara profesional melaksanakan dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak,
dimana, kapan atau dengan kata lain masyarakat dalam setiap jenis pelayanan apa syaratnya, berapa lama waktu yang diperlukan, dan berapa
biayanya. Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa pemerintah belum memiliki pegangan kode etik atau moral yang memadai. Asumsi bahwa
semua aparatur pemerintahan adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya
benar. Banyak kasus yang membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai, bahkan struktur lebih tinggi justru mendikte
perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Aparatur pemerintahan dalam hal ini tidak memiliki independensi dalam bertindak etis, atau
dengan kata lain tidak ada otonomi dalam beretika.

Alasan yang lainnya lebih berkenaan dengan lingkungan didalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Desakan untuk
memberikan perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi (organization humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literature
tentang aliran human relation dan human resources, telah dianjurkan agar seorang aparatur pemerintahan bisa bersikap etis, yaitu
memeperlakukan masyarakat atau organisasi secara manusiawi. Alasannya bahwa perhatian terhadap manusia dan pengembangannya sangat
relevan dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan, dan pengembangan kelembagaan. Alasan yang berikutnya berkenaan dengan
karakteristik masyarakat yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perhatian khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan
menggunakan prinsip ‘’kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya’’ merupakan prinsip yang perlu ditanyakan secara etis, karena prinsip
tersebut akan menghasilkan ketidakadilan. Alasan yang penting lainnya berkenaan dengan peluang untuk melakukan Tindakan yang
bertentangan dengan etika yang berlaku dalam menyelenggarakan pelayanan publik sangat besar. Pelayanan publik tidak sesederhana yang
dibayangkan atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai penyelenggara pelayanan publik mengambil
Langkah-langkah professional yang didasarkan kepada keleluasaan bertindak (diskresi). Kekuasaan inilah yang sering menjerumuskan
penyelenggara pelayanan publik atau aparat pemerintahan untuk bertindak tidak sesuai dengan penerapan kode etik atau tuntutan dalam
berperilaku yang ada.
BAB III PEMBAHASAN

Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti kebiasaan. Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol
terhadap administrasi negara dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi, dan kewenangan.apabila administrasi negara menginginkan sikap
tindakan, dan perilaku yang baik dalam menjalankan sebuah tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya, maka harus menjadikan etika
administrasi negara sebagai sebuah pedoman. Sebuah permasalahan didalam etikaadministrasi negara dapat memberikan sebuah kejelasan
bahwa masih kurang adanya perhatian etika dalam praktek administrasi negara. Etika termasuk dalam etika birokrasi yang mempunyai dua
fungsi, yaitu: pertama, sebagai pedoman, acuan, refrensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya agar tindakannya didalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi sebagai standar penilaian
mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela, dan terpuji. Leys berpendapat abhwa: ‘’seorang administrator
dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan
keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada’’, Anderson juga menambahkan satu poin baru bahwa: ‘’standar-standar
yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sebisa mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani’’. Golembiewski
mengingatkan dan menambah elemen baru yaitu: ‘’standar etika tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu, karena itu administrator harus
mampu memahami perkembangan standar-standar perilaku dan bertindak sesuai dengan standar tersebut’’.

Setiap birokrasi pelayanan publik wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan
asas etis. Aparatur pemerintahan wajib mengembangkan diri sehingga sungguh-sungguh memahami, menghayati, dan menerapkan berbagai asas
etis yang bersumber pada kebijakan-kebijakan moral khususnya keadilan dalam tindakan jabatannya. Secara umum, nilai-nilai moral dapat
dilihat dari enam nilai besar (six great ideas) yaitu nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty),
kesamaan (equality), dan keadilan (justice). Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang sering dinilai dari tutur katanya, sikap dan perilakunya
sejalan dengan nilai-nilai tersebut apa tidak. Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik, tutur kata, sikap dan perilaku para pemberi
pelayanan seringkali juga dijadikan obyek penilaian dimana nilai-nilai besar tersebut dijadikan ukuran. Disamping nilai-nilai dasar tersebut,
mungkin ada juga nilai-nilai lain yang dianggap penting untuk mensukseskan pemberian pelayanan yang dari waktu ke waktu terus dinilai dan
juga dikembangkan serta dipromosikan. Dalam dunia pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat moral atau nilai, dan disebut juga dengan
profesional standar (kode etik) atau right rules of conduct (aturan perilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh aparatur pemerintahan. 6
kode etik merumuskan berbagai macam tindakan apa, kelakuan mana, dan sikap bagaimana yang wajib dijalankan atau dihindari oleh para
pemberi pelayanan. Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik yang dimiliki oleh birokrasi publik. Kode etik di
Indonesia masih terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode etik tidak hanya sekedar bacaan, tetapi juga
diimplementasikan kedalam melakukan pekerjaan, dinilai tingkat implementasinya melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi dan
diupayakan perbaikan melalui konsensus. Komitmen terhadap perbaikan etika ini perlu ditunjukkan, agar masyarakat semakin yakin bahwa
birokrasi publik sungguh-sungguh akuntabel dalam melaksanakan kegiatam publik. Indonesia juga perlu belajar dari negara lain yang sudah
maju dan memiliki kedewasaan dalam beretika.

Untuk menghindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut supaya para aparatur pemerintahan itu mempunyai akuntabilitas moral pada
diri mereka pribadi. Namun, tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional menjadi titik lemah yang krusial dalam birokrasi pelayanan
di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menilai baik dan buruknya suatu pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi publik dapat
dilihat dari baik buruknya sistim penerapan nilai-nilai sebagai berikut:

1. Efisiensi, yaitu para aparat tidak boros dalam melakukan dan melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat. Artinya para
aparatur pemerintahan harus secara hati-hati dalam memberikan hasil yang sebesar-besarnya kepada publik, dengan demikian nilai
efisiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber daya yang dimiliki secara cepat dan tepat, tidak boros dan dapat dipertanggung
jawabkan kepada publik. Pelayanan bisa dikatakan baik atau etis apabila pihak aparat menjalankan tugas dan kewenangannya secara
efisien.
2. Efektivitas, yaitu para aparatur pemerintahan dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada publik harus baik (etis), apabila
memenuhi target atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya tercapai. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan publik dalam mencapai
tujuannya, bukan tujuan pemberi pelayanan (birokrasi publik).
3. Kualitas layanan, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat kepada publik harus memberikan kepuasan kepada yang dilayani,
baik tidaknya pelayanan yang diberikan aparatur pemerintahan kepada publik ditentukan oleh kualitas layanan.
4. Responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab birokrat dalam merespon kebutuhan publik yang sangat mendesak. Birokrat dalam
menjalankan tugasnya akan dinilai baik jika responsibel dan memiliki profesional atau kompetisi yang sangat tinggi.
5. Akuntabilitas, yaitu berkaitan dengan pertanggung jawaban dan melaksanakan tugas dan kewenangan pelayanan publik aparat yang baik
adalah aparat pemerintahan yang akuntabel dalam melaksanakan tugas dan kewenangan.
Masalah utama dalam pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang
berkualitas dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggarannya, sumber daya manusia yang mendukumh, dan
kelembagaan. Beberapa kelemahan pelayanan publik berkaitan dengan pola penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut:

1. Sulit diakses, unit pelaksana pelayanan publik yang terletak sangat jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang
memerlukan pelayanan publik tersebut.
2. Belum informatif, informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung lambat atau bahkan tidak diterima masyarakat.
3. Aparat pelayanan publik yang belum bersedia mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, sehingga pelayanan publik dilaksanakan
semena-mena dan sekedarnya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
4. Belum responsif, tanggapan terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan tidak
dihiraukan sama sekali.
5. Belum saling berkoordinasi, setiap unit pelayanan yang berhubungan satu sama lain belum saling berkoordinasi, hal ini mengakibatkan
sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
6. Tidak efisien, berbagai persyaratan yang diperlukan ( khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak ada hubungannya dengan
pelayanan yang diberikan.
7. Birokrasi yang bertele-tele, pelayanan pada umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai tingkatan, sehingga
menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.

Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah
yangsangat kecil, dan di lain pihak, kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggung jawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan
masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan merupakan hal yang sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu
yang lama untuk diselesaikan. Berkaitan dengan sumber daya manusia, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme,
kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem
kompensasi yang tepat. Berkaitan dengan kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam
rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak
terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental
dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien. Banyaknya korupsi dalam pelayanan publik seperti
adanya pungli (pungutan liar), gratifikasi dan lain sebagainya, sering kali terjadi karena pengaruh budaya organisasi negatif yang sudah
terbentuk secara masif, sistematis dan terstruktur sehingga mau tidak mau aparatur larut dalam penyimpangan tersebut, sangat ironis ketika ada
aparatur yang tidak mau mengikuti penyimpangan tersebut justru dianggap beda dan dapat dipastikan akan dikucilkan dalam lingkungan
pergaulan birokrasi tersebut, oleh karena itu diperlukan penegakan aturan hukum serta pembentukan karakter aparatur yang memiliki integritas
tinggi ditunjukkan dengan sikap berani menolak korupsi terlebih lagi berani melaporkan korupsi yang dijumpainya. Peran pelapor atau
penyingkap korupsi sangat membantu dalam menyingkap informasi kepada publik tentang adanya penyimpangan, pelanggaran hukum dan etika,
korupsi atau situasi berbahaya lainnya. Aparatur yang jujur akan menjadi mata pisau yang tepat untuk dapat meminimalisasi tindakan korupsi,
dapat memberikan tekanan-tekanan terhadap lembaga hukum yang sangat rentan dengan permasalahan korupsi, namun sulit dijamah oleh
hukum. Esprit de corps dimaknai sebagai semangat untuk menyelamatkan dan menutupi keburukan institusi dengan cara apapun, tentunya
menjadi sulit bagi hukum untuk mencoba masuk kedalam wilayah-wilayah kekuasaan yang tercipta dilingkungan institusi tersebut. Di level ini
peran dari penyingkap korupsi menjadi penting. Kebobrokan sebuah institusi dapat terdeteksi oleh mereka yang dekat dengan lingkungan
tersebut. Budaya birokrasi masih memposisikan para pegawai untuk tidak melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh atasannya atau
merahasiakan sesuatu yang salah didalam institusi tersebut. Budaya pegawai yang ada sering khawatir jika harus berhadapan dengan
konsekuensi logis berupa pembalasan seperti: kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan promosi jabatan, atau bahkan bisa dimusuhi oleh
rekan-rekan sekerjanya membuat mereka lebih memilih untuk berdiam diri. Budaya birokrasi yang ada harus mengadopsi nilai-nilai budaya yang
melingkupinya.

Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali membawa masalah tentang
arti dari kode etik itu sendiri mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu proses khusus. Akan tetapi seperti yang telah diuraikan
kedudukan etika administrasi negara berada di antara etika profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan
perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat politik. Hal yang perlu diingat bahwa kode etik tidak
membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar,
setiap orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dari kode etik bukan dari sanksi
fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri
para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Dengan demikian
pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personalianya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak
terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral. Dalam kode
etik itu sendiri bisa menjadi sarana untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi kerena bagaimanapun juga organisasi hanya dapat meraih
sasaran-sasaran akhirnya kalau setiap pegawai yang bekerja di dalamnya memiliki aktivitas dan perilaku yang baik. Manfaat lain yang akan
didapat dari perumusan kode etik ialah bahwa para aparatur pemerintahan akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya
dari negara atas nama rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah
diatas kepentingan-kepentingannya akan karir dan kedudukan, pejabat tersebut akan melihat kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh
karena itu kode etik mengandaikan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana
dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan yang nyata. Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tatakerja, dan
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sebagai pelaksana kepentingan umum, para pejabat wajib mengutamakan
aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tertentu. Sebagai mansuia yang bermoral, pejabat harus memperhatikan
nilai-nilai etis di dalam bertindak dan berperilaku. Dengan perkataan lain, seorang pejabat harus memiliki kewaspadaan profesional dan spiritual.
Kewaspadaan profesional berarti bahwa dia harus menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan kedudukan sebagai
seorang pembuat keputusan. Sedangkan kewaspadaan spiritual merujuk pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana,
dan hemat, tanggung jawab, serta akhlak dan perilaku yang baik. Unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang
pegawai dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.

Tuntutan masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah
sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan
publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Penetapan Standar Pelayanan Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan
merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan
atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang
dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi
pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan
informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung
terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang
juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta
distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.
2. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP) Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten
diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal
dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP
juga bermanfaat dalam hal:
 Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas
menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya. Oleh karena itu proses
pelayanan dapat berjalan terus.
 Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
 Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan
dalam pelayanan.
 Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan.
 Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan.
 Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan
menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan
memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas.
3. Pengembangan Survei Kepuasan Pelanggan Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme
penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen
pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas
yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survei kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan
publik.
4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak
penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan efisien mampu mengolah berbagai
pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan.

Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan
publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan
kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain:

 Contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang
peran sebagai pengatur.
 Franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti
dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.
BAB IV PENUTUP

Birokrasi penyelenggara pelayanan publik tidak mungkin bisa dilepaskan dari nilai etika. Karena etika berkaitan dengan soal kebaikan dan
keburukan yang ada didalam hidup manusia, maka tugas- tugas dari birokrasi pelayan publik bisa tidak terlepas dari hal-hal yang baik dan buruk.
Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, kita menginginkan birokrasi publik yang terdiri dari manusia-manusia yang berkarakter,
yang dilandasi sifat-sifat kebajikan, yang akan menghasilkan kebajikan-kebajikan yang menguntungkan masyarakat dan mencegah tujuan
menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan, bukan hanya menghayati nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kebebasan yang
mendasar, tetapi juga nilai perjuangan. Birokrasi pelayan publik ini adalah pejuang dalam arti menempatkan kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi atau golongan, rela berkorban, dan bekerja keras tanpa pamrih. Dengan semangat kejuangan itu seorang aparatur
pemerintahan, akan sanggup bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan,
kebebasan, persamaan, dan keadilan. Asas-asas umum birokrasi pemerintahan yang baik mengandung beberapa prinsip yaitu: prinsip demokrasi,
keadilan, sosial dan pemerataan, mengusahakan kesejahteraan umum, mewujudkan negara hukum, dinamika dan efisiensi. Kode etik bagi orang-
orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri, mengingat bahwa
kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu proses khusus. Akan tetapi seperti yang telah diuraikan, kedudukan etika administrasi negara berada
di antara etika profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan
sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparatur pemerintahan. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanki atau hukuman
dari pihak luar, setiap orang harus tetap menaatinya.

A. KESIMPULAN
Etika pelayanan kepada publik (masyarkat umum) memang sangat diharapkan, karena etika tersebut kini mulai luntur oleh perbuatan
para pelayan masyarakat (aparatur pemerintah) yang kurang menjunjung kode etika pelayanan kepada masyarakat. Terbukti dengan
adanya perbuatan buruk oleh para oknum aparatur pemerintah yang melakukan beberapa kecurangan yang diantaranya melakukan
pemungutan kepada masyarakat yang menginginkan kelebihan pelayanan, dan sebagainya. Perbuatan tersebut tidak seharusnya dilakukan
karena bertentangan dengan norma yang sudah ada, walau mungkin etika pelayanan kepada publik belum disebutkan secara jelas, namun
etika pelayanan publik dapat dilakukan sesuai dengan hati nurani. Karena dengan hati nurani kita dapat membedakan yang mana yang
baik dan yang mana yang buruk, dengan adanya pelayanan yang baik diharapkan masyarakat dapat merasakan kenyamanan dalam
pelayanan. Pelayanan publik masih memiliki banyak kelemahan dilihat dari pola penyelenggaraan yang masih sulit diakses, belum
informatif, belum bersedia mendengar aspirasi masyarakat, belum responsif, belum saling berkoordinasi, tidak efisien, maupun birokrasi
yang bertele-tele. Sumber daya manusia penyelenggara pelayanan publik masih belum memiliki profesionalisme, kompetensi, empati,
dan etika yang memadai. Desain organisasi yang penuh dengan hierarkis sehingga pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis) dan tidak
terkoordinasi.
B. SARAN
Etika pelayanan publik sebaiknya disosialisasikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelayanan kepada masyarakat, karena sebagian
besar pelayan masyarakat belum mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat. Sebagian mungkin masih belum mengetahui
bagaimana seharusnya tindakan untuk melayani masyarakat sehinggga dia melakukan kesalahan dalam melakukan pelayanan atas
ketidaktahuannya. Sangat disayangkan jika kesalahan dalam pelayanan dilakukan karena kebutaan akan bagaimanan seharusnya etika
yang diterapkan kepada masyarakat. Berikanlah penghargaan jika aparatur melakukan tindakan sesuai etika dan sebaliknya, berikanlah
sanksi yang tegas kepada pelanggar etika pelayanan apalagi yang melakukan dengan sengaja. Diharapkan dengan adanya tindakan seperti
itu para pelayan masyarakat termotivasi untuk mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat sehingga tindakannya dapat sesuai dengan
kehendak rakyat.

Anda mungkin juga menyukai