MATA KULIAH
Dosen Pengampu :
OLEH :
ABDUL KADIR
B10219017
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap birokrasi pelayan publik wajib memiliki sikap mental dan perilaku
yang mencerminkan keunggulan watak, keluharan budi, dan asas etis. Ia wajib
mengembangkan diri sehingga sungguh-sungguhmema-hami, menghayati, dan
menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral
khususnya keadilan dalam tindakan jabatannya. Secara umum nilai-nilai moral
terlihat dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan “six greatideas”4yaitu
nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan
(liberty), kesamaan (equality), dan keadilan (justice).Dalam kehidupan berma-
syarakat, seseorang sering dinilai dari tutur katanya, sikap dan perilakunya
sejalan dengan nilai-nilai tersebut atau tidak. Begitu pula dalam pemberian
pelayanan publik, tutur kata, sikap dan perilaku para pemberi pelayanan
seringkali dijadikan obyek penilaian dimana nilai-nilai besar tersebut dijadikan
ukurannya. Disamping nilai-nilaidasartersebut, mungkin ada juga nilai-nilai lain
yang dianggap penting untuk mensukseskan pem-berian pelayanan, yang dari
waktu ke waktu terus dinilai, dikembangkan dan dipromosikan. Nilai-nilai
tersebut sering dilihat sebagai “muatan lokal” yang wajib diikuti seperti
keteladanan yang baik, rasa empati yang tinggi, memiliki agama yang jelas,
bertaqwa, dan sebagainya.
1.2. Permasalah
1. Tidak adanya prosedur pelayanan yang mengatur kewajiban secara pasti dan
transparan dari penyelenggara pelayanan dan hak apa saja yang diperoleh
warga sebagai pengguna layanan.
2. Prosedur pelayanan publik cenderung hanya mengatur kewajiban warga
(persyaratan administratif) sebagai pengguna ketika berhadapan dengan unit
pelayanan publik.
3. Pelanggaran moral atau etika dalam pelayanan publik sulit ditelusuri dan
dibuktikan, karena kebiasaan masyarakat Indonesia yang menganggap tabu
dalam “membuka aib”, termasuk dalam permasalahan pelayanan publik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Etika merupakan ilmu tentang baik dan buruknya perilaku, hak dan kewajiban
moral; sekumpulan asa atau nilai-nilai yang berkaitan dengan akhlak; nilai mengenai
benar atau salahnya perbuatan atau perilaku yang dianut masyarakat. Dari segi
etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut sebagai
ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan
amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Pada
dasarnya, etika membahas tentang tingkah laku manusia.
Konsep kata “etika” sering digunakan dengan sinonim kata “moral”. Di balik
kedua istilah ini, terdapat nuansa dua tradisi pemikiran filsafat moral yang berbeda.
Aristoteles dalam bukunya Ethique a Nicomaque, selain kata ethosethos yang berarti
“kualitas suatu sifat”, digunakan juga istilah “ethos” yang berarti kebiasaan.4 Makna
ethos adalah suatu cara berpikir dan merasakan, cara bertindak dan bertingkah laku
yang memberikan ciri khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok. Istilah yang
kedua ini sesuai dengan terjemahan dalam bahasa latin “moralis” (mos, moris = adat,
kebiasaan). Istilah “moralis” ini kemudian menjadi istilah teknis yang tidak lagi
berarti kebiasaan tetapi mengandung makna “moral” seperti yang digunakan dalam
pengertian saat ini.
Etika publik tidaklah cukup apabila hanya diubah menjadi suatu kode etik
atau aturan berperilaku. Apabila hanya puas dengan aturan perilaku saja dipastikan
tidak akan mampu untuk membuka alternatif kebijakan, membongkar praktik-praktik
ketidakadilan dan diskriminasi yang terselubung. Oleh sebab itu etika publik bukan
hanya berfungsi sebagai “penjaga gawang”, “tambal ban” atau “pemadam kebakaran”
semata, artinya diperhitungkan hanya setelah terjadi masalah atau ada pelanggaran.
Etika publik seharusnya mulai dipertimbangkan sejak awal proses kebijakan publik
sehingga fungsi pencegahan terhadap korupsi, konflik kepentingan, kolusi atau
bentuk pelanggaran-pelanggaran lain bisa dirasakan lebih efektif.
Etika publik merupakan refleksi tentang standar atau norma yang menentukan
baik atau buruk, benar atau salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk
mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan
publik. Ada 3 (tiga) fokus yang menjadi perhatian etika publik yaitu (i) berbeda
dengan etika politik, keprihatinan utama etika publik adalah pelayanan publik yang
berkualitas dan relevan; (ii) bukan hanya kode etik atau norma, tetapi terutama
dimensi reflektifnya; (iii) fokus pada modalitas etika yakni bagaimana menjembatani
antara norma moral dan tindakan faktual. Etika publik mengutamakan etika
institusional yaitu bagaimana mengorganisir agar tanggung jawab bisa dijalankan,
mencari prosedur atau modalitas apa yang bisa menolong. Sehingga dengan upaya
mencari sistem, prosedur, sarana modalitas maka dapat memudahkan tindakan etis.
Agar budaya etika publik dapat menjadi praktik kehidupan dalam organisasi,
keterlibatan sosial dan politik, maka akuntabilitas dan transparansi perlu
diterjemahkan ke dalam 5 (lima), yaitu (i) membangun budaya etika publik melalui
akuntabilitas dan transparansi yang dimulai dengan mengusahakan pembentukan
Komisi Etika dan pembangunan infrastruktur etika; (ii) transparansi dalam pengadaan
barang/ jasa publik, termasuk pentingnya pejabat public kompeten yang khusus
meniti karier di bidang ini; (iii) memberdayakan civil society dengan mendorong
partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pelayanan publik melalui Kartu
Pelaporan oleh Warganegara; (iv) pembentukan jaringan dan pendidikan/ pelatihan
dalam rangka pemberantasan korupsi; (v) ikut serta dalam pengawasan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik yang
dimiliki oleh birokrasi publik. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa
kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode etik bagi kalangan profesi yang
lain masih belum ada, meskipun banyak yang berpendapat bahwa nilai-nilai agama
dan etika moral Pancasila sebenarnya sudah cukup untuk menjadi pegangan bekerja
atau bertingkah laku, dan yang menjadi masalah sebenarnya adalah bagaimana
implementasi dari nilai-nilai tersebut.
1. Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang dan
berbelit;
2. Integritas, memunyai prinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral
dan tidak bermuka dua;
3. Memegang janji, memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana
isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian secara sepihak;
4. Setia, loyal dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan;
5. Adil, memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi, menerima perbedaan
serta berpikiran terbuka;
6. Perhatian, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memberikan kebaikan
dalam pelayanan;
7. Hormat, menghormati martabat manusia, privasi dan hak menentukan nasib
bagi setiap orang;
8. Kewarganegaraan, bertanggungjawab menghormati, menghargai dan
mendorong pembuatan keputusan yang demokratis;
9. Keunggulan, memperhatikan kualitas pekerjaan.
Pelayanan publik mempunyai empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral
pribadi, yaitu pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat dan
pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau
aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah etika
organisasi, yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal
yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan.
Keempat, etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan
anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga
atau terpelihara.
1. Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang, dan
berbelit-belit;
2. Integritas, berprinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral, dan tidak
bermuka dua;
3. Memegang janji. Memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana
isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian itu secara sepihak;
4. Setia, loyal, dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan;
5. Adil. Memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi dan menerima
perbedaan serta berpikiran terbuka;
6. Perhatian. Memperhatikan kesejahteraan orang lain dengan kasih sayang,
memberikan kebaikan dalam pelayanan;
7. Hormat. Orang yang etis memberikan penghormatan terhadap martabat
manusia privasi dan hak menentukan nasib bagi setiap orang;
8. Kewarganegaraan, kaum profesional sektor publik mempunyai tanggung
jawab untuk menghormati dan menghargai serta mendorong pembuatan
keputusan yang demokratis;
9. Keunggulan. Orang yang etis memperhatikan kualitas pekerjaannya, dan
seorang profesional 7 The Liang Gie. 2006. Etika Administrasi Pemerintahan.
Jakarta: Universitas Terbuka. publik harus berpengetahuan dan siap
melaksanakan wewenang publik;
10. Akuntabilitas. Orang yang etis menerima tanggung jawab atas keputusan,
konsekuensi yang diduga dari dan kepastian mereka, dan memberi contoh
kepada orang lain;
11. Menjaga kepercayaan publik. Orang-orang yang berada disektor publik
mempunyai kewajiban khusus untuk mempelopori dengan cara mencontohkan
untuk menjaga dan meningkatkan integritas dan reputasi prosses legislatif.
Nilai-nilai etika di atas dapat digunakan sebagai rujukan bagi birokrasi publik
dalam bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, sekaligus dapat digunakan standar untuk menilai, apakah sikap, tindakan,
perilaku dan pelayanan yang diberikannya itu dinilai baik atau buruk oleh publik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Instansi pemerintah dalam hal ini penyelenggara pelayanan publik tidak
mungkin terlepas dari persoalan nilai, etika, norma atau moral, karena
berkaitan dengan persoalan kebaikan dan keburukan.
2. Tugas pelayan publik tidak terlepas dari hal-hal yang baik dan buruk.
Dalam praktek pelayanan publik di Indonesia saat ini, kita menginginkan
birokrasi publik yang terdiri dari manusia yang berkarakter, dilandasi
sifat kebaikan, yang akan menghasilkan kebaikan untuk kepentingan
masyarakat.
3. Agar budaya etika publik dapat menjadi praktik kehidupan dalam
organisasi, keterlibatan sosial dan politik, maka akuntabilitas dan
transparansi perlu diterjemahkan ke dalam 5 (lima), salah satunya adalah
membangun budaya etika publik melalui akuntabilitas dan transparansi
yang dimulai dengan mengusahakan pembentukan Komisi Etika dan
pembangunan infrastruktur etika.
4. Saat ini di Indonesia, kita menginginkan birokrasi publik yang terdiri dari
manusia-manusia yang berkarakter, yang dilandasi sifat-sifat kebajikan,
yang akan menghasilkan kebajikan-kebajikan yang menguntungkan
masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini
harus ditunjukkan, bukan hanya menghayati nilai-nilai kebenaran,
kebaikan, dan kebebasan yang mendasar, tetapi juga nilai kejuangan.
3.2 Saran
Kode etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli
hukum dan kedokteran. Sehingga perlunya adanya pembentukan kode etik untuk
semua kalangan agar dapat memberi oelayanan yang lebih baik kepada
masyarakat
DAFTAR PUSTAKA