Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

MATA KULIAH

BAGAIMANA MEMBANGUN BUDAYA ETIKA PUBLIK DALAM


PELAYANAN PUBLIK

Dosen Pengampu :

OLEH :

ABDUL KADIR

B10219017

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU


SOSIAL DAN ILMU POLITIK PASCA SARJANA UNIVERSITAS TADULAKO

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia dalam kesehariannya tidak akan lepas dari kebudayaan, karena


manusia adalah pencipta dan pengguna kebudayaan itu sendiri. Manusia hidup
karena adanya kebudayaan, sementara itu kebudayaan akan terus hidup dan
berkembang manakala manusia mau melestarikan kebudayaan dan bukan
merusaknya. Dengan demikian manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan
satu sama lain, karena dalam kehidupannya tidak mungkin tidak berurusan
dengan hasil-hasil kebudayaan, setiap hari manusia melihat dan menggunakan
kebudayaan.

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang


sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi
memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai
dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan4 pelayanan lain
dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan,
kesehatan, utilitas, dan lainyya. Berbagai gerakan reformasi publik (public
reform) yang dialami negara-negara maju pada wal tahun 1990- an banyak
diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan
publik yang diberikan oleh pemerintah.

Perbaikan pelayanan publik menajdi salah satu Perbaikan pelayanan


publik menjadı salah satu pekerjaan rumah Indonesia yang belum terselesaikan.
Sejak gerakan reformasi berhasil menggusur rezim Orde Baru, banyak perubahan
telah dılakukan kecuali mereformasi pelayanan publik. Demokratısası yang telah
berhasil mem- perkuat posisi warga melalui pengakuan hak-hak politiknya untuk
memilih secara langsung wakil-wakilnya dalam pemerintahan dan lembaga-
lembaga perwakilan teryata belum berhasıl menempatkan warga benar-benar
sebagai panglima dalam sistem pelayanan publhk. Warga dan kepentingannya
belum berhasil menempati arus utama, bahkan terus tergusur hingga ke
pinggiran. Akibatnya, warga dan kepen- tingannya tidak pernah menjadi kriteria
utama dalam pengembangan sistem pelayanan publik.

Pelayanan publik merupakan isu yang sangat strategis karena menjadi


arena interaksı antara pemerintah dan warganya. Warga rela membayar pajak dan
memberikan mandat kepada pemerintah untuk menggunakan pajak tersebut guna
melayani kebutuhan barang dan jasa dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Bahkan warga juga memberikan otoritas kepada pemerintahnya
untuk melakukan tindakan represif jika diperlukan agar pajak dan sumber
pemasukan lainnya dapat dipungut secara efektif dan digunakan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Setiap birokrasi pelayan publik wajib memiliki sikap mental dan perilaku
yang mencerminkan keunggulan watak, keluharan budi, dan asas etis. Ia wajib
mengembangkan diri sehingga sungguh-sungguhmema-hami, menghayati, dan
menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral
khususnya keadilan dalam tindakan jabatannya. Secara umum nilai-nilai moral
terlihat dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan “six greatideas”4yaitu
nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan
(liberty), kesamaan (equality), dan keadilan (justice).Dalam kehidupan berma-
syarakat, seseorang sering dinilai dari tutur katanya, sikap dan perilakunya
sejalan dengan nilai-nilai tersebut atau tidak. Begitu pula dalam pemberian
pelayanan publik, tutur kata, sikap dan perilaku para pemberi pelayanan
seringkali dijadikan obyek penilaian dimana nilai-nilai besar tersebut dijadikan
ukurannya. Disamping nilai-nilaidasartersebut, mungkin ada juga nilai-nilai lain
yang dianggap penting untuk mensukseskan pem-berian pelayanan, yang dari
waktu ke waktu terus dinilai, dikembangkan dan dipromosikan. Nilai-nilai
tersebut sering dilihat sebagai “muatan lokal” yang wajib diikuti seperti
keteladanan yang baik, rasa empati yang tinggi, memiliki agama yang jelas,
bertaqwa, dan sebagainya.

1.2. Permasalah
1. Tidak adanya prosedur pelayanan yang mengatur kewajiban secara pasti dan
transparan dari penyelenggara pelayanan dan hak apa saja yang diperoleh
warga sebagai pengguna layanan.
2. Prosedur pelayanan publik cenderung hanya mengatur kewajiban warga
(persyaratan administratif) sebagai pengguna ketika berhadapan dengan unit
pelayanan publik.
3. Pelanggaran moral atau etika dalam pelayanan publik sulit ditelusuri dan
dibuktikan, karena kebiasaan masyarakat Indonesia yang menganggap tabu
dalam “membuka aib”, termasuk dalam permasalahan pelayanan publik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Etika merupakan ilmu tentang baik dan buruknya perilaku, hak dan kewajiban
moral; sekumpulan asa atau nilai-nilai yang berkaitan dengan akhlak; nilai mengenai
benar atau salahnya perbuatan atau perilaku yang dianut masyarakat. Dari segi
etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut sebagai
ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan
amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Pada
dasarnya, etika membahas tentang tingkah laku manusia.

Konsep kata “etika” sering digunakan dengan sinonim kata “moral”. Di balik
kedua istilah ini, terdapat nuansa dua tradisi pemikiran filsafat moral yang berbeda.
Aristoteles dalam bukunya Ethique a Nicomaque, selain kata ethosethos yang berarti
“kualitas suatu sifat”, digunakan juga istilah “ethos” yang berarti kebiasaan.4 Makna
ethos adalah suatu cara berpikir dan merasakan, cara bertindak dan bertingkah laku
yang memberikan ciri khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok. Istilah yang
kedua ini sesuai dengan terjemahan dalam bahasa latin “moralis” (mos, moris = adat,
kebiasaan). Istilah “moralis” ini kemudian menjadi istilah teknis yang tidak lagi
berarti kebiasaan tetapi mengandung makna “moral” seperti yang digunakan dalam
pengertian saat ini.

Prinsip etika publik sangat membantu dalam memberikan landasan


pertimbangan etis pejabat publik dalam menentukan kebijakan publik karena di
dalam masyarakat selalu ada “pihak yang paling tidak diuntungkan” yang dalam hal
ini bisa kaum miskin, kaum yang tersingkir (kalah) di dalam persaingan, kelompok
gender atau kelompok minoritas. Dengan demikian kemampuan teknis untuk
menganalisa masalah masih perlu dilengkapi dengan kemampuan menangkap
pertaruhan etis yang biasanya tidak lepas dari masalah keadilan. Kemampuan ini
mengandalkan kompetensi etika. Kompetensi etika meliputi kemampuan dalam
manajemen nilai, terampil dalam penalaran moral, bisa diandalkan berkat moralitas
individual, moralitas publik dan etika organisasi. Sebagian besar professional kurang
siap menghadapi konflik antara nilai-nilai etika seperti kejujuran, integritas, tepat
janji dan nilai-nilai yang tidak secara eksplisit dikategorikan etika seperti
kesejahteraan, keamanan, kesuksesan.

Etika pelayanan publik adalah cara dalam memberikan suatu bentuk


pelayanan terhadap publik dengan cara mengimplementasikan kebiasaan-kebiasaan
yang terdiri dari nilai-nilai hidup serta hukum atau norma yang pada dasarnya
mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Suatu etika dikatakan memiliki
peranan penting dalam praktek administrasi publik maka etika harus mempersoalkan
mengenai ”baiktidak” dan bukan ”benar-salah” tentang sikap, tindakan serta perilaku
manusia dalam berhubungan dengan sesama manusia baik dalam lingkup masyarakat
maupun dalam lingkup organisasi publik.

Etika publik tidaklah cukup apabila hanya diubah menjadi suatu kode etik
atau aturan berperilaku. Apabila hanya puas dengan aturan perilaku saja dipastikan
tidak akan mampu untuk membuka alternatif kebijakan, membongkar praktik-praktik
ketidakadilan dan diskriminasi yang terselubung. Oleh sebab itu etika publik bukan
hanya berfungsi sebagai “penjaga gawang”, “tambal ban” atau “pemadam kebakaran”
semata, artinya diperhitungkan hanya setelah terjadi masalah atau ada pelanggaran.
Etika publik seharusnya mulai dipertimbangkan sejak awal proses kebijakan publik
sehingga fungsi pencegahan terhadap korupsi, konflik kepentingan, kolusi atau
bentuk pelanggaran-pelanggaran lain bisa dirasakan lebih efektif.

Etika publik merupakan refleksi tentang standar atau norma yang menentukan
baik atau buruk, benar atau salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk
mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan
publik. Ada 3 (tiga) fokus yang menjadi perhatian etika publik yaitu (i) berbeda
dengan etika politik, keprihatinan utama etika publik adalah pelayanan publik yang
berkualitas dan relevan; (ii) bukan hanya kode etik atau norma, tetapi terutama
dimensi reflektifnya; (iii) fokus pada modalitas etika yakni bagaimana menjembatani
antara norma moral dan tindakan faktual. Etika publik mengutamakan etika
institusional yaitu bagaimana mengorganisir agar tanggung jawab bisa dijalankan,
mencari prosedur atau modalitas apa yang bisa menolong. Sehingga dengan upaya
mencari sistem, prosedur, sarana modalitas maka dapat memudahkan tindakan etis.

Salah satu tugas pokok terpenting pemerintah adalah memberikan pelayanan


publik kepada masyarakat. Pelayanan publik merupakan pemberian jasa oleh
pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah, ataupun pihak swasta kepada
masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan atau
kepentingan masyarakat. Ada tiga alasan mengapa pelayanan publik menjadi titik
strategis untuk memulai mengembangkan dan menerapkan good governance di
Indonesia, yaitu:

a Pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara diwakili


pemerintah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah. Keberhasilan
dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan masyarakat
terhadap kerja birokrasi.
b Pelayanan publik adalah ranah di mana berbagai aspek clean dan good
governance dapat diartikulasikan secara mudah.
c Pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance, yaitu
pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar.

Menurut Robert (1996:30) yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah:


“Segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan badan usaha milik negara atau daerah
dalam barang atau jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketertiban-ketertiban”.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinikan
pelayanan publik sebagai berikut: “Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik”.

Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat


diambil kesipulan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah pemenuhan
keinginan dan kebutuhan masyarakat pada penyelenggaraan negara. Negara didirikan
oleh publik atau masyarakat dengan tujuan aar dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi haruslah dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan
secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh
masyarakat.

Etika publik sendiri bertujuan menjamin integritas pejabat dalam pelayanan


publik maka berurusan dengan praktik institusi social, hukum, komunitas, struktur-
struktur sosial, politik dan ekonomi. Etika publik memprioritaskan pada cara
bagaimana agar “niat baik” membawa implikasi praktis artinya “niat baik” harus
ditopang institusi yang adil.

Permasalahan pelayanan publik cukup kompleks, variabelnya sangat luas,


upaya memperbaiki birokrasi sebagai pelayan publik (public service) termasuk di
dalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai utama dalam pelayanan publik,
memerlukan waktu yang panjang dan diikuti dengan kemauan aparat untuk merubah
sikap dan orentasi perilakunya ke arah yang lebih mementingkan peningkatan
pelayanan kepada masyarakat, untuk itu menurut Mertins Jr (2003) ada empat hal
yang harus dijadikan pedoman yaitu: Pertama, equality, perlakuan yang sama atas
pelayanan yang diberikan. Hal ini didasarkan atas tipe perilaku birokrasi rasional
yang secara konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas kepada semua pihak
tanpa memandang afiliasi politik, status sosial, etnis, agama dan sebagainya.
Memberikan perlakuan yang sama identik dengan berlaku jujur, suatu perilaku yang
patut dihargai. Kedua, equity, perlakuan yang adil. Kondisi masyarakat yang
pluralistik terkadang dibutuhkan perlakuan yang adil dan perlakuan yang sama,
terkadang pula dibutuhkan perlakuan yang adil tetapi tidak sama kepada orang
tertentu. Ketiga, loyalty, kesetiaan yang diberikan kepada konstitusi, hukum,
pimpinan, bawahan dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu
sama lain. Tidak ada kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan
tertentu yang mengabaikan yang lainnya. Keempat, responsibility, setiap aparat
pemerintah harus siap menerima tanggung jawab dengan tugas yang diberikan dan
hasil yang dicapai.

Agar budaya etika publik dapat menjadi praktik kehidupan dalam organisasi,
keterlibatan sosial dan politik, maka akuntabilitas dan transparansi perlu
diterjemahkan ke dalam 5 (lima), yaitu (i) membangun budaya etika publik melalui
akuntabilitas dan transparansi yang dimulai dengan mengusahakan pembentukan
Komisi Etika dan pembangunan infrastruktur etika; (ii) transparansi dalam pengadaan
barang/ jasa publik, termasuk pentingnya pejabat public kompeten yang khusus
meniti karier di bidang ini; (iii) memberdayakan civil society dengan mendorong
partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pelayanan publik melalui Kartu
Pelaporan oleh Warganegara; (iv) pembentukan jaringan dan pendidikan/ pelatihan
dalam rangka pemberantasan korupsi; (v) ikut serta dalam pengawasan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik yang
dimiliki oleh birokrasi publik. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa
kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode etik bagi kalangan profesi yang
lain masih belum ada, meskipun banyak yang berpendapat bahwa nilai-nilai agama
dan etika moral Pancasila sebenarnya sudah cukup untuk menjadi pegangan bekerja
atau bertingkah laku, dan yang menjadi masalah sebenarnya adalah bagaimana
implementasi dari nilai-nilai tersebut.

Prinsip-prinsip etika pelayanan publik yang dikembangkan oleh Institute


Josephson America, yang dikutip oleh The Liang Gie (2006), dapat digunakan
sebagai rujukan atau referensi bagi para birokrasi publik dalam memberikan
pelayanan, antara lain :

1. Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang dan
berbelit;
2. Integritas, memunyai prinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral
dan tidak bermuka dua;
3. Memegang janji, memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana
isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian secara sepihak;
4. Setia, loyal dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan;
5. Adil, memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi, menerima perbedaan
serta berpikiran terbuka;
6. Perhatian, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memberikan kebaikan
dalam pelayanan;
7. Hormat, menghormati martabat manusia, privasi dan hak menentukan nasib
bagi setiap orang;
8. Kewarganegaraan, bertanggungjawab menghormati, menghargai dan
mendorong pembuatan keputusan yang demokratis;
9. Keunggulan, memperhatikan kualitas pekerjaan.

Pelayanan publik mempunyai empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral
pribadi, yaitu pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat dan
pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau
aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah etika
organisasi, yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal
yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan.
Keempat, etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan
anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga
atau terpelihara.

Hierarki etika justru cenderung membingungkan aktor pelayanan publik,


karena nilai etika dari keempat tingkatan ini saling bersaing. Misalnya, fungsi
penempatan, bila atasan dipengaruhi oleh etika sosial, maka atasan akan
mendahulukan orang yang berasal dari daerah yang sama sehingga sering
menimbulkan kesan adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Bila atasan
didominasi oleh etika organisasi, atasan barangkali akan melihat yang berlaku dalam
organisasi, seperti sistem “senioritas” atau bisa jadi atasan didominasi oleh sistem
merit, yang berarti ia akan mendahulukan orang yang paling berprestasi. Persoalan
moral atau etika dalam konteks ini akhirnya tergantung kepada tingkatan etika yang
paling mendominasi keputusan aktor kunci pelayanan publik. Sejalan dengan
penilaian tersebut, Jabbra dan Dwivedi (1989) mengatakan bahwa untuk menjamin
kinerja pegawai sesuai dengan standar dan untuk meminimalkan penyalahgunaan
kekuasaan oleh aparat pemerintah, maka aparat harus mampu mengembangkan lima
macam akuntabilitas, yaitu Pertama, akuntabilitas administratif (organisasional).
Akuntabilitas administratif diperlukan karena ada hubungan hirarkis
pertanggungjawaban yang tegas antara pusat dengan unit-unit di bawahnya.
Hubungan hirarkis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam aturan
organisasi yang disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk hubungan informal.
Kedua, akuntabilitas legal. Akuntabilitas legal adalah bentuk pertanggungjawaban
setiap tindakan administratif dari birokrat. Ketiga, akuntabilitas politik. Birokrat
pelayanan publik menjalankan tugasnya mengikuti kewenangan pemegang kekuasaan
politik untuk mengatur, menetapkan prioritas, pendistribusian sumber dan menjamin
kepatuhan pelaksanaan perintah. Pejabat politik juga harus menerima tanggung jawab
administratif dan legal karena mereka punya kewajiban untuk menjalankan tugas
dengan baik. Keempat, akuntabilitas profesional. Semakin meluasnya
profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional berharap dapat
memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas dan dalam
melayani kepentingan publik. Mereka harus dapat menyeimbangkan antara kode etik
profesinya dengan kepentingan publik dan jika ada kesulitan mempertemukan
keduanya, maka mereka harus lebih mengutamakan akuntabilitasnya kepada
kepentingan publik. Kelima, akuntabilitas moral. Setiap tindakan birokrat selain
didasarkan pada konstitusi dan peraturan hukum, harus dilengkapi juga dengan
prinsip moral dan etika yang diterima oleh publik sebagai norma dan perilaku sosial
yang profesional.

Untuk membantu menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral di Indonesia,


pengalaman negara-negara lain perlu ditimba. Tidak dapat disangkal bahwa pada saat
ini Indonesia dikenal sebagai negara koruptor nomor muda atau paling muda di dunia,
perlu berupaya keras menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral. Etika perumusan
kebijakan, etika pelaksana kebijakan, etika evaluator kebijakan, etika administrasi
publik/birokrasi publik/ pelayanan publik, etika perencanaan publik, etika PNS, dan
sebagainya, harus diprakarsai dan mulai diterapkan sebelum berkembangnya budaya
yang bertentangan dengan moral dan etika.

Prinsip-prinsip etika pelayanan publik yang dikembangkan oleh Institute


Josephson America7 dapat digunakan sebagai rujukan atau referensi bagi para
birokrasi publik dalam memberikan pelayanan, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang, dan
berbelit-belit;
2. Integritas, berprinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral, dan tidak
bermuka dua;
3. Memegang janji. Memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana
isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian itu secara sepihak;
4. Setia, loyal, dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan;
5. Adil. Memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi dan menerima
perbedaan serta berpikiran terbuka;
6. Perhatian. Memperhatikan kesejahteraan orang lain dengan kasih sayang,
memberikan kebaikan dalam pelayanan;
7. Hormat. Orang yang etis memberikan penghormatan terhadap martabat
manusia privasi dan hak menentukan nasib bagi setiap orang;
8. Kewarganegaraan, kaum profesional sektor publik mempunyai tanggung
jawab untuk menghormati dan menghargai serta mendorong pembuatan
keputusan yang demokratis;
9. Keunggulan. Orang yang etis memperhatikan kualitas pekerjaannya, dan
seorang profesional 7 The Liang Gie. 2006. Etika Administrasi Pemerintahan.
Jakarta: Universitas Terbuka. publik harus berpengetahuan dan siap
melaksanakan wewenang publik;
10. Akuntabilitas. Orang yang etis menerima tanggung jawab atas keputusan,
konsekuensi yang diduga dari dan kepastian mereka, dan memberi contoh
kepada orang lain;
11. Menjaga kepercayaan publik. Orang-orang yang berada disektor publik
mempunyai kewajiban khusus untuk mempelopori dengan cara mencontohkan
untuk menjaga dan meningkatkan integritas dan reputasi prosses legislatif.

American Society for Public Administration (ASPA), pada tahun 1981


mengembangkan kode etik pelayan publik sebagai berikut:

1. Pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan kepada diri sendiri;


2. Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah
pada akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat;
3. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila hukum
atau peraturan dirasa bermakna ganda, tidak bijaksana, atau perlu perubahan,
kita akan mengacu kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagai
patokan;
4. Manajemen yang efesien dan efektif adalah dasar bagi administrasi negara.
Suversi melalui penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan, atau
penyelewengan tidak dapat dibenarkan. Pegawai-pegawai bertanggung jawab
untuk melaporkan jika ada tindakan penyimpangan;
5. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asasasas itikad yang
baik akan didukung, dijalankan, dan dikembangkan;
6. Perlindungan terhadap kepentingan rakyat adalah sangat penting. Konflik
kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritiasme yang merendahkan jabatan
publik untuk keuntungan pribadi tidak dapat diterima;
7. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat
keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetisi, dan kasih sayang. Kita
menghargai sifat-sifat seperti ini dan secara aktif mengembangkannya;
8. Hatinurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan. Ini
memerlukan kesadaran akan makna ganda mora dalam kehidupan, dan
pengkajian tentang prioritas nilai; tujuan yang baik tidak pernah
membenarkan cara yang tak bermoral (good and never justify immoral
means);
9. Para administrator negara tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang salah,
tetapi juga untuk mengusahakan hal yang benar melalui pelaksanaan tanggung
jawab engan penuh dan tepat pada waktunya.

Nilai-nilai etika di atas dapat digunakan sebagai rujukan bagi birokrasi publik
dalam bersikap, bertindak, dan berperilaku dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, sekaligus dapat digunakan standar untuk menilai, apakah sikap, tindakan,
perilaku dan pelayanan yang diberikannya itu dinilai baik atau buruk oleh publik.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Instansi pemerintah dalam hal ini penyelenggara pelayanan publik tidak
mungkin terlepas dari persoalan nilai, etika, norma atau moral, karena
berkaitan dengan persoalan kebaikan dan keburukan.
2. Tugas pelayan publik tidak terlepas dari hal-hal yang baik dan buruk.
Dalam praktek pelayanan publik di Indonesia saat ini, kita menginginkan
birokrasi publik yang terdiri dari manusia yang berkarakter, dilandasi
sifat kebaikan, yang akan menghasilkan kebaikan untuk kepentingan
masyarakat.
3. Agar budaya etika publik dapat menjadi praktik kehidupan dalam
organisasi, keterlibatan sosial dan politik, maka akuntabilitas dan
transparansi perlu diterjemahkan ke dalam 5 (lima), salah satunya adalah
membangun budaya etika publik melalui akuntabilitas dan transparansi
yang dimulai dengan mengusahakan pembentukan Komisi Etika dan
pembangunan infrastruktur etika.
4. Saat ini di Indonesia, kita menginginkan birokrasi publik yang terdiri dari
manusia-manusia yang berkarakter, yang dilandasi sifat-sifat kebajikan,
yang akan menghasilkan kebajikan-kebajikan yang menguntungkan
masyarakat dan mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini
harus ditunjukkan, bukan hanya menghayati nilai-nilai kebenaran,
kebaikan, dan kebebasan yang mendasar, tetapi juga nilai kejuangan.
3.2 Saran

Birokrat harus mempelajari norma dan etika yang bersifat universal,


karena berfungsi sebagai penuntun dalam sikap dan perilaku. Namun norma dan
etika tersebut juga terkadang terikat dengan situasi, sehingga birokrat harus
pandai dalam menempatkan diri. Bertindak seperti ini menunjukan suatu
kedewasaan dalam beretika, dialog menuju konsensus dapat membantu
memecahkan dilema tersebut.

Kode etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli
hukum dan kedokteran. Sehingga perlunya adanya pembentukan kode etik untuk
semua kalangan agar dapat memberi oelayanan yang lebih baik kepada
masyarakat
DAFTAR PUSTAKA

Basri,M,H. 2019. Etika Pelayanan Publik Di Indonesia. Vol 1(1). Viewed on


24 November 2020. From http://googleschoolar.co.id

Dwiyanto,A. 20.17 Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan


Kolaboratif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Kusumawati,M,P. 2019. Harmonisasi Antara Etika Publik dan Kebijakan


Publik. Vol 6(1). Viewed on 24 November 2020. From
http://googleschoolar.co.id

Maani,K,D. 2010. Etika Pelayanan Publik . Vol 9(1). Viewed on 24


November 2020. From http://googleschoolar.co.id

Maryam,N,S. 2016. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan


Publik. Vol 6(1). Viewed on 24 November 2020. From
http://googleschoolar.co.id

Anda mungkin juga menyukai