Anda di halaman 1dari 10

LEMBAR KERJA MAHASISWA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan Publik

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Encep Syarif Nurdin, M.Pd., M.Si
Dr. Prayoga Bestari, M.Pd
Sri Wahyuni Tanshzil, M.Pd

Disusun Oleh :
Naufal Muhamad Zahir (1804489)
PKN 2018 A

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
ANALISIS TEORI KEBIJAKAN PUBLIK

A. The Rational Comprehensive Theory


Menurut Hoogerwerf seperti yang dikutip dalam (Islamy,1988:4.2) model
analisis kebijakan rasional-komprehensif (sinoptis) adalah salah satu analisis
dari sudut hasil atau dampak yang memiliki maksud bahwa proses perumusan
kebijakan publik itu akan membuahkan hasil atau dampak yang baik kalau
didasarkan atas proses pemikiran yang rasional yang didukung oleh data atau
informasi yang lengkap (komprehensif). Penganalisisan dilakukan dengan
teliti, cermat dan detail dengan memanfaatkan sejumlah besar data/ informasi
yang harus dikumpulkan hingga membuahkan hasil dalam bentuk keputusan/
kebijakan yang memberi dampak positif.
Dapat diartikan bahwa model rasional-komprehensif (sinoptis)
berpandangan bahwa baik buruknya hasil yang akan dicapai dari perumusan
kebijakan publik harus mendasarkan pada pemikiran yang rasional atau sesuai
dengan kondisi yang dihadapi dan kemampuan yang dimiliki, analisis yang
dilakukan harus memiliki data atau informasi yang lengkap, sehingga dalam
analisisnya tidak memiliki cacat atau mencapai kesempurnaan tanpa kesalahan.
Harapan untuk mendapatkan sebuah perumusan kebijakan yang baik dengan
menggunakan pemikiran yang rasional yang sangat baik dan bagus, namun
tentunya tidak semua permasalahan dan kenyataan dilapangan bisa diterima
secara rasional dan bahkan ada data yang didapat oleh perumus kebijakan
sangat berbeda dari kenyataan.Menurut pendapat penulis model rasional-
komprehensif (sinoptis) adalah model analisis yang memperjuangkan
kesempurnaan dalam perumusan kebijakan dengan menggunakan data yang
lengkap dan diharapkan valid, agar dalam perumusannya memberikan hasil
kebijakan publik yang baik. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam
membuat kebijakan model Rasional Komprehensif (Suwitri,2005:38) :

Contoh Kasus model rasional komprehensif : pemangku kebijakan yang


ada di Desa Bone-Bone telah menjalankan dan mempertimbangkan dampak
baik dan buruknya dari peraturan tersebut. Namun, dalam sebuah komunitas
masyarakat tentunya ada yang pro dan ada yang kontra dalam memandang
sebuah kebijakan baru.Hal ini terbukti ketika Kepala Desa Bone-Bone ingin
membuat dan menetapkan peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).Bukan
hanya masyarakat yang ada di tempat tersebut yang menolak.Tetapi, pihak
Kecamatan dan Kabupaten pun tidak merespon niat baik para penggagas
peraturan tersebut. Pihak kecamatan dan kabupaten tidak merespon hal tersebut
dengan asumsi bahwa susah melarang orang meokok dan hal itu melanggar hak
asasi. Sedangkan masyarakat yang menolak peraturan tersebut mempunyai
pemikiran bahwa mereka para penggagas peraturan telah menodai hak asasi
mereka, karena merokok adalah kebiasaan mereka secara turun-temurun.
B. The Incremental Theory
Model inkremental pada hakikatnya memandang kebijakan publik
sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh
pemerintah di masa lampau, dengan hanya melakukan perubahan-perubahan
seperlunya. Model inkremental ini untuk pertama kalinya dikembangkan oleh
ekonom, Charles E. Lindblom, sebagai kritik terhadap model rasional
komprehensif dalam pembuatan kebijakan publik. Pendukung model ini
menyatakan bahwa perubahan tambahan lebih cepat dari perubahan
komprehensif bahwa potensi konflik jauh lebih rendah dibandingkan dengan
perubahan radikal dan inkremental adaptasi kontribusi pada redefinisi
kebijakan secara terus menerus. Model ini pada hakikatnya memandang
kebijakan publik sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah
dilakukan oleh pemerintah dimasa lampau, dengan melakukan perubahan-
perubahan seperlunya.
Uraian mengenai model ini, dicetuskan oleh Charles E. Lindblom dalam
bukunya yang berjudul “The Science of Muddling Through” dikutip dari
(Islamy,1988:4.17) menjelaskan mengenai proses pembuatan keputusan
dengan model yang disebut “disjointed incrementalism” atau disebut dengan
model inkremental. Inkremental sendiri berarti kebijakan yang mengalami
perubahan sedikit-sedikit. Model ini memandang kebijakan publik sebagai
suatu kelanjutan kegiatan-kegiatan pemerintah dimasa lalu dengan hanya
menambah atau merubahnya (modifikasi) sedikit-sedikit.
Analisis dengan model inkremental ini memberikan jalan berbeda dari
rasional-komprehensif (sinoptis), selain menawarkan kemudahan dalam
analisis karena tidak perlu melakukan analisis secara cermat dan teliti, cukup
melihat kebijakan yang telah ada kemudian disesuaikan dengan permasalahan
yang terus berubah, cukup melakukan utak-atik penyesuaian, hal tersebut
sudah merupakan analisis. Kebijakan dibuat oleh perumus kebijakan tanpa
harus melihat atau meneliti dengan komperehensif, sehingga dari alternatif
yang ada secara singkat diputuskan untuk dijadikan kebijakan dan kegiatannya
menjadi terus menerus, karena kebijakan yang dibuat tidak ada yang benar-
benar untuk dijadikan pemecahan masalah secara keberlanjutan, hanya untuk
masalah yang hadir sekarang.
Contoh kasus sebagai bentuk kritik dari teori inkremental adalah adanya
kebijakan remunerasi bagi pegawai saat pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono jilid 2. Dengan menaikkan remunerasi (gaji) pegawai negeri sipil,
kesejahteraan pegawai negeri sipil tercukupi, etos kerjanya meningkat bagus,
dan tidak melakukan tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Terbongkarnya kasus korupsi yang dilakukan pegawai Ditjen Pajak
Kementerian Keuangan Gayus H. Tambunan, ternyata melibatkan banyak
pihak di luar Kementerian Keuangan (seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian RI,
dan lain-lain), tentunya tidak cukup diatasi dengan kebijakan tambal sulam
(inkremental), tetapi mungkin memerlukan pemecahan yang lebih menyeluruh
(komprehensif). Berbagai inovasi sosial acapkali menuntut adanya kebijakan
atau program yang baru.

C. Mixed Scanning (Stratefic membuat keputusan)


Penganjur teori ini adalah ahli sosiologi organisasi Amitai Etzioni. Etzioni
setuju terhadap kritik-kritik para teoritisi inkremental yang diarahkan pada teori
rasional komprehensif, akan tetapi ia juga menunjukkan adanya beberapa
kelemahan yang terdapat pada teori inkremental. Misalnya, keputusan-keputusan
yang dibuat oleh pembuat keputusan penganut model inkremental akan lebih
mewakili atau mencerminkan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok
yang kuat dan mapan serta kelompok-kelompok yang mampu mengorganisasikan
kepentingannya dalam masyarakat, sementara itu kepentingan-kepentingan dari
kelompok-kelompok yang lemah dan yang secara politis tidak mampu
mengorganisasikan kepentingannya praktis akan terabaikan.
Lebih lanjut dengan memusatkan perhatiannya pada kepentingan/tujuan
jangka pendek dan hanya berusaha untuk memperhatikan variasi yang terbatas
dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada sekarang, maka model inkremental
cenderung mengabaikan peluang bagi perlunya pembaruan sosial (social inovation)
yang mendasar.
Model pengamatan terpadu juga memperhitungkan tingkat kemampuan
para pembuat keputusan yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan, bahwa
semakin besar kemampuan para pembuat keputusan untuk memobilisasikan
kekuasaannya guna mengimplementasikan keputusan-keputusan mereka, semakin
besar keperluannya untuk melakukan scanning dan semakin menyeluruh scanning
itu, semakin efektif pengambilan keputusan ‘tersebul Dengan demikian, model
pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang
menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan moder inkremental
dalam proses pengambilan keputusan.

D. Teori-Teori Lainnya
Pada dasarnnya teori kebijakan publik berkaitan erat dengan sistem politik
yang terjadi di masyarakat. Hubungan anatara pemerintah dengan masyarakat
dihubungkan dengan sistem dalam menyelesaikan permasalahn yanga ada. David
Eston Mendefinisikan public policy sebagai : “The authoritative allocation of value
for the whole society, but it turns out that only theg overnment can authoritatively
act on the ‘whole’ society, and everything the government choosed do or not to do
result in the allocation of values.” Maksudnya, public policy tidak hanya berupa
apa yang dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi juga apa yang tidak dikerjakan
oleh pemerintah karena keduanya sama-sama membutuhkan alasan-alasan yang
harus dipertanggungjawabkan.
Easton juga memandang kehidupan politik sebagai suatu sistem yang terdiri
dari aktivitas yang saling berkaitan. Aktivitasi itu menemukan hubungan-hubungan
atau ikatan sistemiknya dari kenyataan bahwa aktivitas itu mempengaruhi
bagaimana keputusan otoritatif dirumuskan dan dilaksanakan. Bila kehidupan
politik dipandang sebagai suatu sistem aktivias, maka dijumpai suatu konsekuensi
tertentu dari cara melakukan analisis mengenai operasi suatu sistem.
Masukan-masukan (input) yang datang dari komponen lain dalam sistem
merupakan energi bagi sistem itu sendiri yang menyebabkan sistem itu berjalan.
Masukan itu dikonversi oleh proses sistem politik sehingga melahirkan kebijakan-
kebijakan yang otoritatif. Kebijakan-kebijakan itu mempunyai konsekuensi
terhadap sistem politik itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungannya.
Gambaran kehidupan politik melalui pendekatan sistem digambarkan oleh David
Easton dalam gambar sebagai berikut :

Lahirnya kebijakan Walikota Padang tentang berpakaian muslim pada tahun


2009 lalu, adalah berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi adat budaya serta
agama yang dianut di Minangkabau secara umum. Bukan hanya itu, dukungan
dalam bentuk pembelajaran informatif pun menjadi pertimbangan. Ditambah lagi
tuntutan untuk kembali ke Surau dan nilai-nilai budaya yang memang sudah lama
berkembang dalam masyarakat turut mendorong lahirnya kebijakan ini. Dilihat
partisipasi masyarakat secara langsung, dari diskusi penulis dengan Fauzi Bahar
sebagai pembuat kebijakan, secara tegas kebijakan tersebut dibuat memang lebih
banyakerupakan inisiatif pembuat kebijakan. Jika dipetakan secara teoritis dengan
teori sistem David Easton, dapat dilihat beberapa hal yaitu:
a. Input,
Kebijakan tentang berpakaian muslim bagi siswa sekolah didukung oleh input
sebagai berikut:
1) Budaya alam Minangkabau kembali ke Surau dan berbaju kurung bagi
perempuan.
2) Agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Kota Padang.
3) Waktu pembelajaran dan kurikulum pelajaran agama dari SD hingga
SLTA yang dianggap kurang dapat membentuk karakter anak yang lebih
baik.
4) Pengaruh dari lingkungan luar yang sifatnya informatif dari pengalaman
pengajaran Budhis di Kamboja.
b. Konversi Kebijakan,
Kebijakan ini dibuat berdasarkan input-input di atas dan mengikutsertakan
lembaga terkait, partisipasi masyarakat dan pihak sekolah termasuk sekolah
Kristen.
c. Output,
Output yang dihasilkan dari proses input dan konversi adalah diberlakukannya
Instruksi Walikota Padang No. 451.422/Binsos-III/2005 tentang Pelaksanaan
Wirid Remaja, Didikan Subuh, Anti Togel/Narkoba dan Berpakaian Muslim
bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK.
d. Umpan Balik,
Kebijakan yang diberlakukan pada masyarakat menunjukkan partisipasi aktif
dari masyarakat secara langsung khususnya mengenai berpakaian muslim dan
memberikan pengaruh pada:
1) Angka penderita demam berdarah pada anak usia sekolah di Kota Padang
menurun.
2) Jumlah masyarakat umum yang menggunakan pakaian muslim meningkat.
3) Didukung oleh pihak sekolah Kristen dengan pengembangan dan
peningkatan program pastoral bagi siswa Kristen.
4) Terpilih untuk kedua kalinya bagi Fauzi Bahar dengan perolehan suara
51,53%.
e. Lingkungan, Kebijakan berpakaian muslim di Kota Padang ini disebabkan oleh
pengaruh lingkungan dalam dan luar, yaitu:
1) Lingkungan dalam, Dipengaruhi oleh budaya Minangkabau dan agama
mayoritas Islam yang dianut masyarakat Kota Padang.
2) Lingkungan luar, Dipengaruhi oleh pengajaran Budhis di Kamboja bagi
anak-anak usia 13 tahun hingga menikah. Secara umum, dapat terlihat
bahwa keberhasilan kebijakan tersebut di atas adalah dikarenakan tingkat
partisipasi masyarakat yang tinggi. Partisipasi mencakup seluruh lapisan
masyarakat bahkan dari kalangan non Muslim.
Selanjutnya setelah kita membahas teori kebijakan publik yang disampaikan
David Eston. Kita akan membahas teori kebijakan publik dari Thomas R. Dye,
beliau menyatakan kebijakan publik sebagai “Whatever governments choose to do
or not to do.”, yaitu segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan. Dye juga memaknai kebijakan publik sebagai suatu
upaya untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah,
mengapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan mereka
melakukannya secara berbeda-beda.

Dia juga mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan


suatu tindakan, maka tindakan tersebut harus memiliki tujuan. Kebijakan publik
tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan hanya merupakan
keinginan atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak
dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan
karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh
yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah. Contoh dari teori
ini dalam pelaksanaan nya adalah Pemerintah Indonesia yang tidak menetapkan
Lock down pada daerah-daerah yang tingkat penyebaran Virus Corona nya tinggi,
tetapi memilih untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang artinya
tidak membatasi ruang gerak untuk sektor sektor ekonomi sentral dan vital.

REFERENSI
Easton, D. (1953). The political system.
Etzioni, A. (1968). The active society.
Lindblom, C. E. (1959). The science of" muddling through". Public administration
review, 79-88.
Lindblom, C. E. (1968). The policy-making process. Prentice-Hall.
Islamy, M. I. (1988). Materi Pokok Kebijakan Publik. Jakarta Modul Universitas
Terbuka.
Suwitri, S., Rachyuningsih, E., & Samito, C. (2005). PELAYANAN PUBLIK:
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP PERCEPATAN INFRASTRUKTUR
DI INDONESIA 2005-2009. DIALOGUE, 2(3 (september)), 961-978.

Anda mungkin juga menyukai