Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KELOMPOK

GOVERNANCE & PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA


DYNAMIC GOVERNANCE

Dosen Pembimbing : Dr. Yessi Muthia Basri, SE., M.Si., AAP., Ak., CA

Disusun oleh :

Kelompok 4

EKA SYARLITA
FEBRI YULISA
TAUFIK DASMAR
VERA SETIA ADRIANI
WAHYUDI WAHAB

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS RIAU
2016
BAB I

0
PENDAHULUAN

Ketidakpastian global sebagai dampak perubahan cepat dan tidak terantisipasi


(unpredictabel change and unanticipation) mengharuskan para pemimpin negara, Presiden
sampai pimpinan terbawah dari suatu unit organisasi pemerintah untuk bekerja keras dan
mengambil langkah strategis karena tidak ada jaminan bahwa kebijakan dan program sedang
berjalan dapat terealisir sesuai rencana dan tidak adanya jaminan bahwa kemajuan negara dapat
berlanjut.
Di tengah ketidakpastian dan ancaman krisis keuangan global, Singapura negara kecil,
modern, macan Asia, mengantongi sederetan prestasi kelas dunia, diantaranya: ranking 5 negara
paling kompetitif dunia tahun 2006; bersama Hongkong sebagai dua negara Asia pada deretan
atas dalam integritas dan penegakan hukum pada tahun yang sama; ranking 5 negara yang paling
sedikit korupsi; negara yang paling nyaman ke 6 untuk melakukan business pada tahun 2006-
2010; negara ranking teratas di Asia untuk kenyamanan bermukim, bekerja dan bermain, dan
ranking 34 untuk tingkat dunia, dan lain-lain, (Boon, Geraldine : 2007: 9-11).
Keberhasilan di atas dicapai dengan kerja keras melalui berbagai konsep, strategi dan
upaya pembangunan yang dilakukan oleh para pemimpin dan rakyat Singapura sejak
memisahkan diri dari Kerajaan Malaysia tahun 1965. Salah satu konsep yang terimplementasi
dengan baik adalah Dynamic Governance yang telah mengantarkan rakyat Singapura pada
kondisi kemajuan seperti saat ini.Lalu, apakah konsep Dynamic Governance dimaksud?
dapatkah konsep tersebut di terapkan di Indonesia, khususnya pada penyelenggaraan
pemerintahan daerah?

BAB II

1
DYNAMIC GOVERNANCE

1. Konsep Dynamic Governance


Istilah governance telah lama kita kenal yaitu menunjuk pada hubungan antara
pemerintah / negara dengan warganya sehingga memungkinkan berbagai kebijakan dan program
dapat di rumuskan, diimplementasikan, dan dievaluasi. Kaufmann, Kraay dan Mastruzzi (2004)
mengatakan ”Governance is the relationship between governments and citizens that enable
public policies and programs to be formulated, implemented and evaluated. In the broader
context, it refers to the rules, institutions, and networks that determine how a country or an
organization functions” (Governance / kepemerintahan adalah hubungan timbal balik antara
pemerintah dan warganya yang memungkinkan berbagai kebijakan publik dan program
dirumuskan, dilaksanakan, dan dievaluasi). Dalam kontek lebih luas menunjuk pada sejumlah
aturan, institusi, dan jaringan yang menentukan berfungsinya suatu negara atau organisasi).
Sedang dari persfektif sektor publik (Andrew, 2004) memaknai Governance sebagai “the
manner in which the government, working together with other stakeholders in society, exercices
its authority and influence in promoting the collective welfare of society and the long-terms
interested of the nation” (Cara dimana pemerintah bekerjasama dengan pemangku kepentingan
lain dalam masyarakat, menerapkan kewenangan dan mempengaruhi dalam mengusahakan
kesejahteraan masyarakat dan tujuan jangka panjang dari suatu bangsa).
Oleh karena menyangkut penentuan cara pemerintah mengupayakan kesejahteraan
masyarakat dan pencapaian tujuan jangka panjang dari suatu bangsa, maka pada negara
demokratis cara yang ditempuh adalah dengan melibatan semua pemangku kepentingan
(stakeholders) yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam merumuskan kebijakan,
penetapan institusi dan pola hubungan antar pemangku kepentingan. Terkait dengan pemahaman
tersebut, Boon, dan Geraldine (2007 : 52 ) memaknai Governance sebagai “ the choosen path,
policies, institutions and the resultant structures that collectively provide the incentives and
constraints to facilitate or impede interactions that lead to economic progress and social
wellbeing” (penentuan berbagai kebijakan, institusi dan struktur yang dipilih, yang secara
bersama mendorong untuk memudahkan interaksi kearah kemajuan ekonomi dan kehidupan
sosial lebih baik).

2
Selanjutnya, dari makna tersebut, Boon dan Geraldine merumuskan Dynamic
Governance sebagai “to how these choosen paths, policies, institutions, and structures adapt to
an uncertain and fast changing envinronment so that they remain relevant and effektif in
achieving the long-term desired outcomes of society”(bagaimana bekerjanya berbagai kebijakan,
institusi dan struktur yang telah dipilih sehingga dapat beradaptasi dengan ketidakmenentuan dan
perubahan lingkungan yang cepat sehingga kebijakan, institusi dan struktur tersebut tetap relevan
dan efektif dalam pencapaian keinginan jangka panjang masyarakat).
Bertitik tolak pemahaman tersebut di atas, maka konsep operasional dari Governance
(kepemerintahan) adalah ”cara yang ditempuh pemerintah suatu negara dalam menjalankan
roda pemerintahan bagi pencapaian tujuan negara”. Dalam kaitannya dengan cara
menjalankan roda pemerintahan, di samping kita mengenal adanya azas-azas penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik dalam good governance (disebut good governance karena pemerintah
melibatkan masyarakat dan sektor swasta dalam penyelenggaraan pemerintahan), Bank Dunia
(dalam World Bank Economics Review, vol 18, 2002) juga merekomendasikan perlunya
memperhatikan 6 (enam) dimensi dari governance yaitu:
1. Kebebasan dan akuntabilitas – perluasan peran serta masyarakat dalam memilih
penyelenggara pemerintahan, kebebasan berekspresi, kebebasan berorganisasi, dan
kebebasan pers;
2. Stabilitas politik dan tidak ada lagi kekerasan – tidak ada lagi pergantian pemerintahan
lewat kekerasan, secara tidak konstitusional dan memerangi terorisme;
3. Pemerintahan yang efektif – pelayanan publik yang berkualitas oleh aparatur pemerintah
yang bebas dari tekanan politik, komitmen pemerintah untuk membuat kebijakan dan
melaksanakan kebijakan yang berkualitas;
4. Aturan perundang-undangan yang berkualitas – kemampuan pemerintah untuk membuat
dan mengimplementasikan kebijakan (perundang-undangan) yang mendorong peran swasta
dalam pembangunan;
5. Penegakan hukum – meyakinkan berbagai pihak bahwa aturan hukum akan dipatuhi,
terutama keberlangsungan kontrak-kontrak yang telah disepakati, demikian juga polisi, jaksa
dapat menegakkan hukum secara adil; dan
6. Pengendalian atau penghapusan korupsi.

3
Sedang konsep operasional dari Dynamic Governance adalah ”kemampuan pemerintah
menyesuaikan kebijakan dengan perubahan lingkungan global yang cepat dan tidak
menentu sehingga tujuan yang ditetapkan dapat tercapai”

2. Elemen dan Sistem Dynamic Governance


Perubahan merupakan esensi dasar dalam dynamic governancekarena untuk dapat
menyesuaikan cara yang ditempuh pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dengan
dinamika perubahan lingkungan diperlukan berbagai perubahan baik dari aspek rencana maupun
implementasinya. Rencana dan implementasi harus adaptif dengan besar kecilnya
ketidakmenentuan masa depan lingkungan global. Perubahan umumnya merupakan hasil
perpaduan dari dua unsur yaitu; budaya (budaya organisasi pemerintah) dan kemampuan
(organisasi pemerintah).
Terkait dengan perubahan sebagai esensi dasar dynamic governance, maka dua elemen
dari dynamic governance menurut Boon, dan Geraldine (2007 : 12-46) adalah:
a. Budaya organisasi pemerintah meliputi ; integrity (integritas), incorruptibility (tidak
dapat disuap/tidak korupsi), meritocracy (berdasar bakat &kemampuan/prestasi),
market (orientasi pasar yang berkeadilan), pragmatism (mudah menyesuaikan/lebih
berorientasi pada pencapaian tujuan negara daripada berkutat soal idiologi), multi-
racialism (berbagai etnik dan kepercayaan), termasuk juga dalam budaya adalah;
aktivitas negara (state activism), rencana dan tujuan jangka panjang (long term),
kebijakan yang sesuai kehendak masyarakat (relevance), pertumbuhan (growth),
stabilitas (stability), bijaksana (prudence), dan mandiri (self-reliance);
b. Kemampuan yang dinamis meliputi: thinking ahead (berpikir ke depan), thinking
again (mengkaji ulang), dan thinking across (belajar dari pengalaman Negara
/organisasi lain).
Kedua elemen pokok di atas ditopang oleh able people dan agile processes (orang yang
berkemampuan dan dilakukan dengan proses yang baik), serta dipengaruhi oleh future
uncertainties and external practise (ketidakpastian masa mendatang dan praktek/kebiasaan
negara atau organisasi lain).

4
Kerangka dasar elemen-elemen di atas digambarkan sebagai berikut:

Thinking Ahead merupakan kemampuan mengidentifikasi faktor lingkungan berpengaruh


pada pelaksanaan pembangunan masa mendatang, memahami dampaknya terhadap sosio-
ekonomi masyarakat, mengidentifikasi pilihan-pilihan investasi yang memungkinkan masyarakat
memanfaatkan kesempatan baru dan menghindari potensi ancaman yang dapat menghambat
kemajuan masyarakat. Berfikir ke depan ini akan mendorong institusi pemerintah untuk menilai
dan meninjau kembali kebijakan dan strategi sedang berjalan, memperbaharui target dan tujuan,
dan menyusun konsep baru kebijakan yang dipersiapkan menyongsong masa depan.
Berpikir ke depan bukan sekedar meramalkan masa depan yang penuh ketidakpastian
dan sekedar membuat perencanaan formal tetapi lebih dari itu adalah mengajak orang untuk
berfikir strategis sehingga mereka dapat melihat kegiatan pembangunan masa depan yang lebih
masuk akal, berbeda dengan apa yang mereka angankan (Van der Heijden (2005). Oleh karena
meninjau masa depan merupakan latihan berfikir untuk menggali sinyal-sinyal yang akan
menghampiri / datang, sehingga menjadikan kita peka terhadap kemungkinan hambatan yang
akan kita lalui di masa depan.

5
Proses berpikir ke depan atau meninjau masa depan ini meliputi :
1. Menggali berbagai kemungkinan dan antisipasi terhadap berbagai kecenderungan masa
depan yang memiliki dampak signifikan terhadap tujuan kebijakan;
2. Merasakan dampak pembangunan terhadap pencapaian tujuan pembangunan sedang
berjalan, dan menguji efektivitas kebijakan, strategi, dan program sedang berjalan;
3. Menentukan pilihan-pilihan yang akan digunakan sebagai persiapan menghadapi
timbulnya ancaman terhadap peluang yang baru; dan
4. Mempengaruhi para pembuat kebijakan kunci dan para pemangku kepentingan untuk
memperhatikan isu-isu yang muncul secara serius dan mengajak mereka untuk
membicarakan kemungkinan respon/ tanggapan yang akan diambil.
Thinking Again merupakan kemampuan meninjau kembali berbagai kebijakan, strategi,
dan program sedang berjalan.Apakah hasil yang dicapai oleh kebijakan, strategi, dan program
telah meenuhi harapan banyak pihak atau perlu didisain ulang untuk mendapatkan kualitas hasil
yang lebih baik. Kerangka waktu melakukan kaji ulang mulai dari kondisi yang sekarang
dihadapi sampai masa waktu berlakunya kebijakan, strategi, dan program, dengan
membandingkan apa yang dicapai dengan apa yang diinginkan. Kaji ulang dilakukan terhadap
hal-hal yang sudah terjadi mencakup pemanfaatan data, informasi-informasi baru, ukuran/standar
yg telah ditentukan, warisan masalah dari suatu kebijakan atau program, dan umpan balik yang
diterima.
Kaji ulang dimaksudkan untuk melihat kelaikan dan kecocokan kebijakan, strategi, dan
program sedang berjalan dengan kondisi sedang dihadapi dan masa mendatang akibat perubahan
lingkungan global yang cepat.
Proses memikirkan kembali / kaji ulang meliputi:
1. Menganalisis dan meninjau kinerja terakhir berdasarkan umpan balik masyarakat;
2. Mencari penyebab mendasar tercapai atau tidak tercapainya sebuah target;
3. Meninjau kembali kebijakan, strategi, dan program untuk mengidentifikasi faktor-faktor
menonjol penyebab keberhasilan dan kegagalan;
4. Mendisain kembali kebijakan dan program, sebagian atau seluruhnya sehingga kinerja
dapat diperbaiki dan tujuan tercapai secara lebih baik; dan
5. Menerapkan kebijakan dan sistem baru sehingga masyarakat dan pelanggan menikmati
pelayanan dan outcome lebih baik.

6
Thinking Across merupakan kemampuan untuk mengadopsi pikiran, pendapat, ide-ide
lain di luar kerangka berpikir (mindset) yang secara tradisional telah melekat dan menjadi dasar
melakukan sesuatu. Dengan belajar dari pengalaman dan pemikiran orang lain dalam mengelola
sebuah negara atau pemerintahan akan didapat ide-ide dan pemikiran segar dalam melakukan
inovasi bagi perbaikan kebijakan, strategi, dan program bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Falsafah dasar dalam thinking across ini adalah present-outside, future-inside yang
dapat dimaknai saat ini pikiran-pikiran brilian, kebijakan, strategi dan program yang baik-baik
masih menjadi milik negara atau organisasi lain tetapi ke depan akan menjadi milik kita. Belajar
dari pihak lain bukan sekedar teknis operasional, tetapi lebih penting dari itu adalah menyangkut
mengapa pihak lain dapat menyelesaikan masalah yang sama dengan cara berbeda, bagaimana
mereka mendisain suatu kebijakan atau program sesuai dengan karakteristik kemajuan
masyarakat setempat, dan lain-lain yang bersifat inovatif dan kreatif.
Proses thinking across ini meliputi:
1. Mencari dan menemukan praktek-praktek implementasi suatu kegiatan/ program yang
kurang lebih sama/ memiliki kemiripan;
2. Refleksikan atau gambarkan tentang apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana
mereka melakukan, ambil pelajaran dari pengalaman yang mereka lakukan;
3. Evaluasi apa yang dapat diterapkan pada kontek lokal (tempat kerja, masyarakat
setempat/lokal), pertimbangkan hal-hal dan kondisi unik yang mungkin dapat diterima
masyarakat lokal;
4. Ungkapkan hubungan antara ide-ide baru atau kombinasikan ide-ide berbeda yang dapat
menciptakan pendekatan yang inovatif terhadap isu-isu yang muncul; dan
5. Sesuaikan kebijakan dan program dengan kebutuhan setempat/lokal.
Proses berpikir ke depan, berpikir ulang, dan berpikir ke luar dari mindset yang sudah
terbentuk merupakan proses pembelajaran yang harus dilakukan oleh pemerintah karena:
Pertama, untuk memahami pengaruh dari masa depan terhadap perkembangan dalam negeri
sehingga dapat dipersiapkan suatu kebijakan yang memungkinkan warganya mengatasi masalah
yang akan dihadapi. Kedua, Kerusakan lingkungan physik dan non physik akan berdampak pada
mandulnya kebijakan meskipun telah dibuat sebaik dan seteliti mungkin. Oleh karena itu proses
peninjauan ulang (thinking again) perlu dilakukan untuk menilai apakah kebijakan tersebut
masih relevan dengan agenda nasional atau tujuan jangka panjang. Ketiga, dalam pemikiran baru

7
tentang ekonomi, untuk tetap bertahan memerlukan pembelajaran dan inovasi untuk menghadapi
tantangan baru sehingga tercipta berbagai kesempatan dan peluang. Untuk itu pemerintah perlu
melihat perkembangan negara lain agar dapat diterapkan di dalam negeri.
Pada gambar 1 di atas tampak bahwa kemampuan untuk melakukan thinking ahead,
thinking again, dan thinking across harus didukung oleh orang yang memiliki kemampuan (able
people) dan harus dilakukan dengan proses yang baik/benar (agile processes). Orang yang
berkemampuan artinya adalah orang-orang yang dapat atau mampu membaca masa depan yang
akan menghampiri berdasarkan fakta, gejala dan perkembangan masa kini ditambah proyeksi
akibat perubahan global yang cepat. Orang berkemampuan juga bermakna orang yang memiliki
kewenangan, karena banyak orang memiliki kemampuan seperti disebut di atas tetapi tidak
memiliki kesempatan dan kewenangan (kewenangan formal/kewenangan akademik).
Kewenangan formal terkait dengan jabatan/posissi seseorang secara struktural, dan kewengan
akademik terkait dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki. Agile processes berkaitan dengan
cara, mekanisme atau prosedur yang benar dalam melakukan thinking ahead, thinking
again,dan thinking across, cara yang benar dimaksud adalah berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah
tidak tercampur dengan kehendak pribadi atau terkontaminasi keinginan politik kelompok
tertentu atau sekedar formalitas untuk menghabiskan anggaran.
Thinking ahead dipengaruhi secara tidak langsung oleh masa depan yang tidak
menentu(future uncertainties) yang dapat terjadi karena instabilitas socio-ekonomi , politik
maupun karena terorisme dan bencana alam. Ketidakmenentuan masa depan ini akan memberi
wawasan (insight) bagi pencarian kebijakan yang cocok (fit) untuk membangun sebuah
konsep (conceptualize) baru dalam mengadopsi suatu kebijakan yang adaptif (adaptive policies).
Demikian juga dengan thinking across secara tidak langsung dipengaruhi oleh praktek-
praktek penyelenggaraan pemerintahan (external practices) negara lain, dan akan melahirkan
ide-ide/pemikiran (ideas) baru yang didapat melalui pertukaran pengalaman (trade-offs) dan
pada gilirannya thinking across akan membudaya pada setiap pembuatan kebijakan yang adaptif.
Hal lain lain memiliki pengaruh mendasar dalam dynamic governance adalah budaya,
yang meliputi prinsip, semangat tidak korup, orientasi pasar, pragmatis, multi-etnik dan
kepercayaan, berorientasi jangka panjang, keterkaitan dengan kebutuhan masyarakat,
pertumbuhan (ekonomi), stabilitas, Kebijaksanaan dan kebanggaan sebagai sebuah bangsa, serta
kemandirian, yang semuanya mempengaruhi dan melahirkan tiga kemungkinan yaitu:

8
menghambat (constraints), bertentangan (confronts), dan menghubungkan /
penghubung (catalyzes). Dalam praktek pada banyak negara terdapat sebagian atau seluruh
budaya meghambat, bertentangan atau penghubung (mendukung) proses dynamic governance.
Kebijakan yang diputuskan untuk diadopsi sebagai hasil proses thinking ahead, thinking
again, dan thinking across selanjutnya diimplementasikan sebagai semangat kepemerintahan
yang dinamis (Dynamic Governance).

3. Implementasi Dynamic Governance


Oleh karena esensi dasar dari dynamic governance adalah perlunya melakukan
perubahan, untuk mengantisipasi perubahan yang cepat dan kadang tidak terantisipasi, maka
konsep dynamic governance dapat diterapkan pada organisasi publik maupun privat.
Pada penyelenggaraan pemerintahan daerah misalnya, kegiatan thinking ahead dilakukan
dengan menganalisis dan memproyeksi apa yang akan dihadapi dalam 10, 15 atau 20 tahun ke
depan berdasarkan arah kecenderungan perubahan (nasional, regional, dan global), konstalasi
politik, dan sosio-ekonomi masyarakat. Sederetan asumsi dan proyeksi serta pertanyaan dapat
diajukan sebagai langkah awal melakukan analisis seperti: proyeksi laju pertumbuhan penduduk,
derajat kesehatan masyarakat, tingkat konsumsi/daya beli dan pendidikan masyarakat,
ketersediaan lapangan kerja, pertumbuhan angkatan kerja, kebutuhan ketersediaan infrastruktur
pertanian (lahan perkebunan, persawahan, perkebunan, dan jaringan infrastruktur pendukung
lainnya) bagi daerah yang memiliki potensi agraris, kebutuhan ketersediaan infrastruktur
ekonomi (perbankan, lembaga keuangan, pasar modern/tradisional), infrastruktur sosial,
pendidikan, dan kesehatan (jalan, tempat ibadah, tempat rekreasi, gedung sekolah, rumah sakit,
pusat-pusat kesehatan masyarakat, dan lain-lain), proyeksi peluang pasar bagi hasil pertanian dan
industri, proyeksi kebutuhan tingkat kualitas dan jenis keterampilan serta jumlah aparat
pemerintah yang dibutuhkan pada masing-masing satuan kerja pemerintah daerah, kreteria
pimpinan pimpinan daerah masa depan, dan lain-lain.
Dalam thinking again dapat dipertanyakan: apakah kebijakan, strategi, dan program
pembangunan sedang berjalan sudah tepat? Sudah memenuhi tuntutan kebutuhan pasar
(masyarakat)? Apakah pembangunan berjalan telah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,
meningkatkan daya beli masyarakat, mengurangi penduduk miskin, meningkatkan pola pikir dan
tingkat pendidikan masyarakat? Apakah anggaran tersedia lebih banyak digunakan untuk

9
pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja, pengembangan usaha
rakyat, penyediaan infrastruktur? Apakah kuantitas dan kualitas aparatur pemerintah daerah telah
tersedia memadai, dan bekerja optimal sesuai bidangnya? Apakah satuan kerja perangkat daerah
telah melaksanakan tugas pokok fungsi masing-masing secara optimal? Apakah kepemimpinan
pemerintahan daerah dapat mengorganisir secara baik dan memberikan dukungan moral dan
material secara memadai pada segenap aparat pemerintah yang dipimpinnya? Apakah pimpinan
daerah dapat bekerja secara adil, dan hanya berpihak kepada kepentingan rakyat bukan
kepentingan pribadi atau kelompok politiknya? Apakah penempatan pejabat pada jabatan tertentu
telah sesuai aturan yang ada ?Apakah ada jaminan karier bagi pejabat/pegawai berprestasi?dan
lain-lain. Kaji ulang dimaksudkan untuk melihat kesiapan kemampuan daerah untuk
melaksanakan tugas masa kini dan masa datang.
Thinking across dapat dilakukan dengan belajar dari pengalaman negara lain atau institusi
sejenis baik di dalam negeri maupun luar negeri. Mendatangkan orang yang dianggap ahli pada
bidang tertentu yang dibutuhkan atau mengirimkan pejabat/pegawai pada institusi tertentu ke
daerah atau negara lain agar memperoleh pengetahuan baru sesuai bidang masing-masing.
Tujuannya adalah menambah kemampuan, baik konseptual, managerial, teknis, maupun
kemampuan sosial. Banyak daerah yang memiliki karakteristik budaya, geografi, dan sumber
daya yang relatif sama dan berhasil dalam pembangunan dapat dijadikan pelajaran untuk
membangun daerah lain. Tukar menukar pengalaman dan informasi untuk kebaikan bersama
antar organisasi pemerintah daerah diyakini akan bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan
daerah saat ini dan masa akan datang.

4. Faktor Pendukung
Penerapan konsep dynamic governance pada pemerintahan daerah tergantung banyak hal.
Akselerasi perubahan juga dipengaruhi oleh banyak variabel, beberapa kondisi/faktor yang perlu
diperhatikan bagi penerapan dynamic governance di daerah antara lain:
a. Komitmen
Komitmen disini diartikan sebagai kesungguhan dari pemerintahan daerah (Gubernur,
Bupati/Walikota, DPRD) dan pimpinan instansi/dinas , badan/lembaga daerah untuk melakukan
perubahan yang konsisten dan berkelanjutan bagi kemajuan daerah. Komitmen dari para petinggi
daerah tersebut merupakan hal fundamental mengingat posisi dan kewenangan mereka sebagai

10
pembuat dan sekaligus pelaksana kebijakan.Sebagai pembuat kebijakan mereka menentukan arah
pembangunan yang ingin dicapai melalui segenap peraturan daerah dan keputusan pendukung
lainnya, dan sebagai eksekutor mereka pulalah yang melaksanakan sekaligus mengawasi berjalan
tidaknya kebijakan yang mereka buat. Kewenangan daerah yang begitu besar seperti
diamanatkan Undang-undang dapat merugikan dan bahkan menyengsarakan rakyat daerah
bersangkutan jika dijalankan tanpa komitmen tinggi.
b. Pengisian jabatan
Pengisian jabatan tersedia harus benar-benar didasarkan pada syarat-syarat yang tertuang
dalam peraturan perundang-undangan dan kemampuan prestasi pegawai (merit system) bukan
atas dasar lain. Penyimpangan secara sengaja atau pengabaian terhadap ketentuan berlaku akan
merusak karier pegawai dan dan pada gilirannya dapat merugikan masyarakat. Hal ini penting
diperhatikan, karena yang dapat melakukan proses thinking ahead, thingking again, dan thinking
across adalah para pejabat yang memiliki kewenangan formal maupun akademik. Pejabat yang
diangkat dan ditunjuk untuk menduduki jabatan tertentu atas dasar selera dan kedekatan
hubungan dengan yang menunjuk dan mengangkat tanpa memperhatikan kemampuan dan syarat
administratif lainnya, diyakini tidak akan dapat melakukan perubahan yang signifikan.
c. Pragmatisme
Dalam banyak kasus hanya sedikit orang yang konsisten dengan idealismenya, meskipun
pada awal banyak orang memiliki idealisme namun pada pertengahan jalan larut dengan
kepentingan jangka pendek mengejar keuntungan pribadi, suku, dan golongan. Pragmatisme
terkait juga dengan budaya ingin serba seketika (instan) yang telah terbentuk sebagai sebuah
mindset dengan mengabaikan proses. Peningkatan jenjang pendidikan yang niat awalnya sebagi
upaya peningkatan kualitas diri, namun dalam praktek dilakukan sekedar untuk mendapat ijazah
setingkat lebih tinggi tanpa tambahan pengetahuan yang memadai, adalah contoh kecil
pragmatisme. Ketidakmampuan unsur pimpinan pemerintahan daerah untuk menjaga integritas,
kejujuran dan menegakkan keadilan dalam berbagai hal akan mendorong tumbuhnya
primordialisme yang dapat menjadi lahan bagi berkembangnya pragmatis dan pada gilirannya
akan merugikan organisasi dan masyarakat.

11
d. Kemampuan Sumber Daya
Secara garis besar sumber daya menyangkut dua hal yaitu sumber daya yang
tampak/tangible (sumber daya alam, sarana/prasarana, sumber daya manusia) dan sumber daya
tidak tampak / intangible (konsep, fikiran, moral, budaya, kepemimpinan, peraturan, dan lain-
lain). Khusus sumber daya manusia tidak saja menyangkut sumber daya aparatur pemerintahan
daerah tetapi juga keseluruhan warga masyarakat daerah. Tingkat pendidikan, moral dan budaya
masyarakat akan menentukan tingkat akseptabilitas terhadap suatu perubahan yang pada
gilirannya berimbas pada pola fikir, gaya kepemimpinan, dan kemampuan sumber daya aparatur
pemerintahan daerah, karena aparatur pemerintahan daerah merupakan bagian dari warga
masyarakat daerah.

12
BAB III
KASUS

Di dunia yang selalu berubah-ubah, penuh dengan banyak tantangan untuk menghadapi
globalisasi dan perkembangan teknologi mutakhir yang tiada henti. Dalam dunia yang penuh
ketidakpastian, pemerintah senantiasa membuat kebijakan agar dapat bekerja dan bersinergis
dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Pada waktu yang sama, prioritas kebijakan
pemerintah selalu berubah-ubah karena faktor-faktor internal maupun eksternal. Oleh karena itu,
dynamic governance menjadi ‘kunci jawaban’ dibalik kesuksesan Singapura.
Dalam konsep Dynamic Governance, ada tiga hal yang harus dimiliki oleh pemimpin,
yakni berupa kemampuan thinking ahead, thinking again, dan thinking across. Ketiga hal ini
menjadi prasyarat utama guna menciptakan kebijakan, peraturan atau perundang-undangan, dan
struktur organisasi yang adaptif, dengan dimensi able people dan agile process sebagai kunci
utamanya.
Singapura merupakan negara yang sudah mengimplementasikan Dynamic Governance.
Konsep Dynamic Governance ini sudah sangat popular dan menjadi bahan acuan di
pemerintahan Singapura dan berbagai negara maju di dunia.
Birokrasi institusi publik Singapura telah banyak melakukan upaya untuk
menginstitusionalisasikan kebudayaan, kemampuan, dan perubahan yang disematkan ke dalam
batang tubuh negaranya. Konsep pemerintahan yang selama ini dikenal statis dan hanya
berdasarkan keputusan individualistik harus diubah—pemerintahan seharusnya bersifat dinamis.
Karena tantangan itu sendiri sesungguhnya bersifat dinamis, dipengaruhi oleh banyak keputusan
yang terintegrasikan, melibatkan proses belajar/adaptasi yang berkelanjutan dan secara bertahap,
serta membutuhkan implementasi yang tepat, karena kesuksesan sebuah negara dapat diukur
melalui kualitas pemerintahannya.
Institusi pemerintahan berpengaruh terhadap persaingan ekonomi dan pembangunan
sosial pada sebuah negara. Kedua hal tersebut ditentukan oleh interaksi antara pemerintah dan
rakyatnya dalam memfasilitasi atau menghambat pertumbuhan dan pembangunan. Hambatan ini
dikarenakan fungsi monopoli pemerintah yang tidak terbiasa dengan kompetisi pasar untuk
memproduksi barang dan jasa. Institusi pemerintah di Singapura melibatkan nilai-nilai kultur dan
keyakinan untuk bekerja bersama-sama dalam membangun sistem pemerintahan dinamis yang

13
bertumpu pada perubahan berkelajutan. Pemerintah Singapura menginstitusionalisasikan budaya
untuk mendukung atau menghambat dinamisme dalam pembuatan kebijakan dan implementasi
kebijakan atau untuk menentukan posisi Singapura di mata dunia. Sehingga pemerintah dapat
membuat kebijakan dan opsi kebijakan agar bertindak secara efektif. Singapura menganggap
bahwa dinamisme itu penting untuk menciptakan good governance. Dinamisme
mempertahankan perkembangan sosial dan ekonomi di dunia yang penuh ketidakpastian dengan
perubahan yang sangat cepat. Dinamisme harus didukung dengan sophisticated society yang
berisikan orang-orang terdidik dan lebih terekspos terhadap globalisasi. Inilah yang membuat
Singapura mampu melakukan transformasi sosial dan ekonomi seiring waktu berjalan.

Ada lima nilai yang mendasari Dynamic Governance di Singapura. Nilai-nilai utama ini
menciptakan bentuk pemerintahan Singapura. Nilai-nilai ini adalah:

i) Integritas – ini adalah poin utama untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Goh
Keng Swee berkata “…Orang-orang seperti ini akan mendorong perkembangan
ekonomi. Pemerintah harus tidak korupsi…” sehingga dengan sense of integrity yang
tinggi dari orang-orang di dalam pemerintahan akan menciptakan lingkungan yang
tidak korup/incorruptibility environtment.
ii) Meritokrasi – manusia adalah kunci sumber utama karena Singapura tidak memiliki
sumber daya alam, ketahanan negara ini bergantung pada kemampuan orang-
orangnya dalam bekerja. Untuk mempertahankan orang-orang yang memiliki kualitas
yang baik, masyarakat diberikan penghargaan atas kerja keras yang telah dilakukan.
Mereka diberikan penghargaan melalui pencapaian prestasi kerja.

iii) Orientasi kepada hasil – dengan kondisi yang merdeka secara mendadak, bukanlah
suatu kejutan apabila kebijakan yang diambil tidak berdasarkan pertimbangan
ideologis tetapi berdasarkan perhitungan pragmatis yang mungkin berhasil.

iv) Ketahanan diri – masyarakat selalu diingatkan bahwa “tidak ada yang menanggung
hidup kita!”, inilah yang meningkatkan kemandirian masyarakat Singapura. Bahkan
dalam hubungan internasional, “tidak ada teman yang permanen, tidak ada pula
musuh yang permanen, tetapi yang ada hanyalah kepentingan yang permanen.”

14
v) Stabilitas domestik – dalam hal ekualitas, setiap orang diberikan hak yang sama.
Perbedaan budaya dan keyakinan diterima dan dipertahankan. Untuk memastikan
stabilitas sosial, pemerintah membangun saluran komunikasi melalui dialog,
dilakukan pendekatan yang aktif dan konsultasi apabila terjadi konflik rasial dan
agama.

Di Indonesia, implementasi Dynamic Governance di Indonesia telah dilakukan oleh


beberapa dynamic leaders, seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Jembrana I Gede
Winasa, dan Walikota Tarakan Jusuf SK. “Surabaya adalah daerah yang sudah berhasil
mentransformasikan bentuk pemerintahannya secara cerdas, yang secara langsung konsep
Dynamic Governance telah berjalan di daerah tersebut,” jelas Sarwono.
Kepemimpinan Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang menjadikan kotanya indah
dengan taman-taman yang berkelas dunia dan pelayanan publik yang baik, adalah bentuk nyata
dari dynamic governance. Pemkot Surabaya juga telah mampu memanfaatkan teknologi
informasi/komunikasi dalam pengelolaan pembangunan kota dan dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik.
Pada kurun waktu 2002-2014, beberapa kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemkot
Surabaya adalah melakukan reformasi birokrasi, perbaikan pelayanan publik, penataan kota dan
penanggulangan sampah melalui program Surabaya Green and Clean, mengatasi kemacetan dan
banjir, serta mengoptimalkan teknologi informasi dan komunikasi.
Di Tarakan, Walikota Jusuf S.K mengubah kota tersebut menjadi pusat jasa dan
perdagangan serta membatasi eksploitasi sumber daya alam di kota ini. Walikota Jusuf SK
merujuk pembangunan yang dilakukan oleh Singapura sebagai role model pembangunan kota
Tarakan.
Guna mewujudkan Tarakan sebagai pusat jasa dan perdagangan dengan kualitas SDM
yang mumpuni, Jusuf SK merancang tiga program jangka pendek, menengah, dan panjang.
Program jangka pendek adalah menghapus kegiatan protokoler dan seremonial yang biasa
dilakukan oleh aparatur daerah, mengubah budaya aparatur daerah dari dilayani menjadi
melayani, mengatasi masalah sampah, relokasi pedagangan pasar, konservasi hutan mangrove,
pembangunan taman, memperbaiki sekolah-sekolah, meningkatkan kualitas pendidikan dan
perbaikan penerangan kota.

15
Jusuf SK juga menjalankan program jangka menengah, yakni membangun infrastruktur
(pelebaran jalan, perluasan bandara, listrik, penampung air hujan, dan perbaikan pelabuhan laut).
Sementara program jangka panjangnya adalah menjadikan Tarakan sebagai kota yang memiliki
daya saing ekonomi, menarik bagi investor untuk berinvestasi, dan mewujudkan kota yang
ramah lingkungan.
Di tengah kondisi kualitas SDM masyarakatnya yang rendah, terlihat dari kemampuan
siswa SD, SMP, bahkan SMA yang tidak dapat mengucapkan angka 1 sampai 10 dengan benar
dalam bahasa Inggris, Jusuf SK bersama Dinas Pendidikan Tarakan mewajibkan bahasa Inggris
sebagai mata pelajaran wajib. Upaya ini diimbangi dengan peningkatan kemampuan guru-guru
melalui rekrutmen pengajar Bahasa Inggris dari luar Tarakan.
Anggaran pendidikan Tarakan juga mendapat porsi hingga 25,4% dan terus dikawal oleh
Pemkot. Saat ini, bangunan sekolah di kota Tarakan memiliki ciri khas yakni hampir semua
bangunannya berlantai 3 dengan didukung fasilitas yang sangat memadai. Terhadap sekolah-
sekolah ini juga dilakukan pemeriksaan sarana dan prasarana secara periodik, terutama yang
diperiksa pertama kali adalah kondisi toilet, yang merupakan cerminan dari manajemen sekolah.
Jusuf SK juga mendirikan Dewan Kota, lembaga informal yang bertujuan menjadi sarana
untuk menyalurkan aspirasi masyarakat Tarakan. Kualitas aparatur pemkot juga dibenahi dengan
mengedepankan asas transparansi dalam rekrutmen PNS setempat. Pemkot Tarakan juga
menerbitkan Perda No 13 Tahun 2003 tentang Penertiban Kebersihan Kota, yang mengatur
waktu pembuangan sampah bagi masyarakat. Dalam Perda ini, sampah di TPS (tempat
pembuangan sampah) paling lama hanya 2 jam.
Contoh lainnya adalah Kabupaten Jembrana di bawah kepemimpinan I Gede Winasa
yang mendapat label Kabupaten termiskin di Pulau Bali. Namun di bawah kepemimpinan Gede
Winasa, Kabupaten Jembrana mampu memberikan fasilitas pendidikan dan kesehatan gratis
kepada masyarakat melalui program efisiensi dan inovasi, seperti regrouping SD dan puskesmas
hingga restrukturisasi organisasi pemerintah daerah.
Menurut Guru Besar FISIP UI dan pakar Administrasi Negara Martani Huseini “Cara
menerapkan Dynamic Reform di Indonesia adalah melalui kepemimpinan Transformatif yang
menjadi Kunci Perubahan Radikal, sehingga memerlukan pemimpin yang kuat dan visioner,
pemimpin transformasional yang mampu membangun ide dan visi masa depan yang mau dicapai
serta mampu mengoperasionalisasikan visi tersebut”.

16
Ada tiga kunci keyakinan yang mendorong pembuatan kebijakan sektor publik di
Singapura. Pertama, keyakinan tentang ekonomi yang kuat adalah hal mendasar untuk dilakukan
dibandingkan kebijakan yang lainnya, dan dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi yang
menjadi prioritas utama. Kedua, keyakinan tentang negara harus berfokus pada stabilitas jangka
panjang. Ketiga, keyakinan tentang para pembuat kebijakan harus berorientasi masa depan untuk
menjadi efektif. Orientasi terhadap masa depan adalah respon dari kerentanan Singapura sejak
negara ini lahir—khususnya secara fisik ukuran negara ini yang kecil, tidak memiliki sumber
daya alam, dan populasi penduduk yang sedikit.
Eksekusi kebijakan memainkan peran utama untuk mencapai berbagai tujuan nasional.
Eksekusi kebijakan haruslah efektif. Sehingga itu membutuhkan tiga kedisiplinan. Pertama,
disiplin visi dan fokus yang strategis. Tanpa itu, usaha dan sumber daya akan dipergunakan
kepada pembuatan kebijakan yang salah. Kedua, menghadapi kenyataan sebagaimana mestinya.
Tanpa itu, visi yang strategis akan tetap sebagai impian dan rencana yang mungkin dibuat untuk
mengesankan bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya” tanpa dampak atas upaya yang positif
terhadap kehidupan rakyat Singapura. Ketiga, disiplin untuk ikut-serta. Tanpa itu, sumber daya
yang ada akan sia-sia dan banyak kesempatan akan hilang, dan kapasitas Singapura terhadap
perubahan di masa depan akan berkurang. Orang-orang boleh saja punya ide-ide cemerlang dan
rencana yang strategis untuk menjalankan negara, tetapi selama itu belum diubah menjadi
kebijakan dan belum dieksekusi, mereka akan tetap menjadi ide-ide dan strategi yang tidak
berdampak sama sekali terhadap negara.
Sementara itu, pelayanan publik harus mampu untuk mengadaptasi kebijakan agar
mampu mengubah keadaan dan berimprovisasi dan berinovasi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan baru. Boon Siong Neo & Geraldine Chen menjelaskan terdapat enam area
pengembangan kebijakan – pembangunan ekonomi, biomedical science, kepemilikan mobil dan
transportasi darat, pelayanan kesehatan, the Central Provident Fund (Pusat Penghematan
Anggaran) dan pekerja kelas bawah – mengilustrasikan dinamisme pemerintah terhadap publik
untuk belajar dan beradaptasi untuk mengubah kondisi dan memunculkan isu. Sekali lagi, dunia
yang cepat sekali berubah, tantangan yang tiada henti-hentinya bisa datang dari mana saja dan
tidak dapat diprediksi.

17
Pada akhirnya, menciptakan dan mempertahankan dinamisme di dalam pemerintahan,
baik sektor publik maupun sektor korporasi, merupakan upaya strategis jangka panjang.
Menciptakan sebuah sistem dynamic governance dan organisasi yang mampu beradaptasi
membutuhkan pemikiran secara mendalam, dialog terbuka, komitmen dalam kepemimpinan dan
eksekusi yang efektif. Perubahan itu selalu rumit dan beresiko. Tetapi bukanlah perubahan
namanya kalau tidak lebih beresiko.

18
BAB IV
KESIMPULAN

Dynamic Governance merupakan suatu konsep untuk mempertahankan dan


mengembangkan eksistensi suatu pemerintahan / organisasi agar tetap hidup (survive)
menghadapi perubahan global yang cepat dan tidak menentu. Organisasi pemerintah / organisasi
lainnya tidak boleh statis, keberhasilan kebijakan, strategi, dan program sedang berjalan atau
masa lampau tidak menjamin kesuksesan masa depan. Oleh karena itu diperlukan semangat/
dinamika untuk selalu menyesuaikan kebijakan, strategi, dan program dengan perkembangan
masa depan melalui thinking ahead, thinking again, dan thinking across.

19
DAFTAR PUSTAKA

Andrew Tan et.al. 2004. ”Principle of Governance: Preserving Ours Fundamentals,


Preparing for the Future”. Special study report prepared by a group of Administratif
Officers. Singapore.
Boon Siong Neo, Geraldine Chen. 2007. Dynamic Governance, Embedding Culture,
Capabilities and Change in Singapore. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd
Joseph Nye.2004). “Government, Governance, and Accountability” Ethos.Civil Service
College.
Kaufmann Daniel, Aart Kraay, dan Massimo Mastruzzi (2004). Governance Matters III;
Governance Indicators for 1996, 1998, 2000 and 2002,” World Bank Economic Review. Vol
18.
Kooiman, Jan. 2007). Governing as Governance. SAGE Publication India Pvt Ltd.
Lewis, Carol W and Stuart C. Gilman (2005) The Ethic Challenge in Public Service(second
edition). JOSSEY-BASS USA.
Leopald, David and Marc Stear (editor). 2008. Political Theory, Methods and
Approaches. Oxford University Press Inc.,New York.
Morphet, Janice. 2008. Modern Local Government. SAGE Publication Asia-Pacifik.Pte.Ltd.
Perry, James L and Annie Hondeghem. 2008. Motivation In Public Management. The Call of
Public Service. Oxford University Press Inc.,New York

20
RICARDO : kendala untuk mencapai dynamic governance, berdasarkan APBD riau yg besar,
apa yg salah ?

RAJA : bisa gak indo menghadapi MEA

Rasyid : tunjukkan implementasi tingking again pada daerah2 surabaya dll

WILDA : peran masyrakat dri sector swasta seperti apa ?

Upaya untuk memperbaiki

21

Anda mungkin juga menyukai