Anda di halaman 1dari 267

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/356248337

Manajemen Sektor Publik

Book · September 2021

CITATION READS

1 131

2 authors, including:

Fitri Kurnianingsih
Universitas Maritim Raja Ali Haji
26 PUBLICATIONS   47 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Fitri Kurnianingsih on 16 November 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Manajemen
Sektor Publik
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan 1.
prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi
pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]).
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 2. memiliki
hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan ciptaan; b. Penggandaan ciptaan dalam
segala bentuknya; c. Penerjemahan ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau
pentransformasian ciptaan; e. pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan;
g. Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan. (Pasal 9 ayat [1]).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang 3. Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [3]).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang 4. dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (Pasal 113
ayat [4]).
Manajemen
Sektor Publik

Penulis:
Fitri Kurnianingsih
Irwanto
MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK
© Fitri Kurnianingsih & Irwanto

xviii + 246 halaman; 155 x 230 mm.


ISBN: 978-623-97812-4-8

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.


Dilarang me­ngutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini dalam bentuk apa pun juga tanpa izin tertulis dari
penerbit.

Cetakan I, September 2021

Penulis : Fitri Kurnianingsih


Irwanto
Editor : Mahadiansar
Sampul : Mahadiansar
Layout : Mahadiansar

Hak Penerbitan pada:


Laboratorium Komunikasi & Sosial (LAB.KOMSOS)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH)
Jln. Raya Dompak, Pulau Dompak, Tanjungpinang 29124
Telepon (04500089, Fax. (0771) 45000091, PO. BOX 155
Laman:http://fisip.umrah.ac.id e-mail:fisip@umrah.ac.id

Bekerjasama dengan:
Penerbit & Percetakan Samudra Biru
Jln. Jomblangan, Gg.Ontoseno B.15 RT 12/30
Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta
Email: admin@samudrabiru.co.id
Website: www.samudrabiru.co.id
WA/Call: 0812-2607-5872
Glosarium

Administrasi : Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan


tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan
pembinaan organisasi; usaha dan kegiatan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan untuk
mencapai tujuan; kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan; kegiatan kantor dan
tata usaha; pemerintah atau lembaga pemerinta
Birokrasi : Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai
pemerintah yang berpegang pada hierarki dan
jenjang jabatan; Cara bekerja atau susunan pekerjaan
yang banyak liku-likunya, menurut tata aturan (adat
dan sebagainya)
Debirokratisasi : tindakan atau proses mengurangi tata kerja yang
serba lamban dan rumit agar tercapai hasil dengan
lebih cepat; penghapusan atau pengurangan birokrasi
Deregulasi : kegiatan atau proses menghapuskan pembatasan dan
peraturan
Desentralisasi : Sistem pemerintahan yang lebih banyak memberikan
kekuasaan kepada pemerintah daerah; Penyerahan
sebagian wewenang pimpinan kepada bawahan (atau
pusat kepada cabang dan sebagainya)
Doktrin : Ajaran (tentang asas suatu aliran politik, keagamaan);
Pendirian segolongan ahli ilmu pengetahuan,
keagamaan, ketatanegaraan) secara bersistem,
khususnya dalam penyusunan kebijakan negara:
dalam sejarah Amerika kita kenal -- Monroe

v
Dominan : Bersifat sangat menentukan karena kekuasaan,
pengaruh, dan sebagainya: bahasa Indonesia sangat
di daerah Jakarta a berpengaruh kuat; tampak
menonjol (tentang warna dan sebagainya): warna
biru sangat dalam lukisannya
Dinamika : Fis bagian ilmu fisika yang berhubungan dengan
benda yang bergerak dan tenaga yang menggerakkan;
Gerak (dari dalam); tenaga yang menggerakkan;
semangat; Prinsip biomekanika yang diterapkan
pada sistem tubuh dalam gerakan
Empiris : Berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh
dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah
dilakukan)
Fiskal : berkenaan dengan urusan pajak atau pendapatan
negara
Hakikat : Inti sari atau dasar: dia yang menanamkan --
ajaran Islam di hatiku; kenyataan yang sebenarnya
(sesungguhnya): pada --nya mereka orang baik-baik
Ilmu : Pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode tertentu, yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu
di bidang (pengetahuan) itu: dia memperoleh gelar
doktor dalam – pendidikan; Pengetahuan atau
kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir,
batin, dan sebagainya); Isl sifat mengetahui yang
wajib bagi Allah Swt.
Indikator : sesuatu yang dapat memberikan (menjadi) petunjuk
atau keterangan: seseorang yang akan melakukan
suatu pekerjaan sebaiknya menggunakan -- yang
sudah ada; kenaikan harga dapat menjadi -- adanya
inflasi
Inovasi : Pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru;
pembaruan: -- yang paling drastis dalam dasawarsa
terakhir ialah pembangunan jaringan satelit
komunikasi; Penemuan baru yang berbeda dari
yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya
(gagasan, metode, atau alat); unsur yang mengalami
pembaruan dalam bahasa modern
Kapabilitas : Kemampuan atau kecakapan dalam melakukan
sesuatu
Keberpihakan : Hal berpihak pemerintah kepada rakyat akan
meningkatkan kesejahteraan sosial

vi
Kepemimpinan : Perihal pemimpin; cara memimpin: mahasiswa tetap
mendukung cara
Kesenjangan : Perihal (yang bersifat, berciri) senjang;
ketidakseimbangan; ketidaksimetrisan; jurang
pemisah: antara si kaya dan si miskin makin lebar
Keuangan : Seluk-beluk uang; urusan uang; keadaan uang: ~
makin baik; biayanya tidak terjangkau olehku
Kinerja : Sesuatu yang dicapai; Prestasi yang diperlihatkan;
Kemampuan kerja (tentang peralatan)
Klasifikasi : Penyusunan bersistem dalam kelompok atau golongan
menurut kaidah atau standar yang ditetapkan
Konsepsi : Pengertian; pendapat (paham); Rancangan (cita-cita
dan sebagainya) yang telah ada dalam pikiran
Kualitas : Tingkat baik buruknya sesuatu; kadar: derajat atau
taraf (kepandaian, kecakapan, dan sebagainya);
Manajemen : Penggunaan sumber daya secara efektif untuk
mencapai sasaran; Pimpinan yang bertanggung
jawab atas jalannya perusahaan dan organisasi
Masyarakat : Sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan
terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap
sama
Mikro : Kecil; tipis; sempit: ditinjau secara -- tempat itu
hanya pantas untuk pasar; berkaitan dengan jumlah
yang sedikit atau ukuran yang kecil
Ombudsman : pegawai pemerintah (seperti di Swedia dan Selandia
Baru) yang ditunjuk untuk menangani pengaduan
orang yang mendapat perlakuan tidak adil atau
sewenang-wenang dalam pelayanan masyarakat
Paradigma : Ling daftar semua bentukan dari sebuah kata yang
memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata
tersebut; model dalam teori ilmu pengetahuan;
kerangka berpikir
Paradoks : pernyataan yang seolah-olah bertentangan
(berlawanan) dengan pendapat umum atau
kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung
kebenaran; bersifat paradoks
Pembangunan : Proses, cara, perbuatan membangun
Pemberdayaan : proses, cara, perbuatan memberdayakan
Pemerataan : proses, perbuatan memeratakan

vii
Pendekatan : Proses, cara, perbuatan mendekati (hendak
berdamai, bersahabat, dan sebagainya): ~ yang telah
dilakukannya selama ini tampaknya tidak berhasil;
Antar usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk
mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti,
metode untuk mencapai pengertian tentang masalah
penelitian; ancangan
Pilar : Dasar (yang pokok)
Publik : Orang banyak (umum); semua orang yang datang
(menonton, mengunjungi, dan sebagainya): -- merasa
puas melihat pertunjukan itu
Reformasi : Perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang
sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat
atau negara
Sejarah : Ssal-usul (keturunan) silsilah; Kejadian dan peristiwa
yang benar-benar terjadi pada masa lampau; riwayat;
tambo: cerita. Pengetahuan atau uraian tentang
peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi
dalam masa lampau; ilmu sejarah
Seni : Kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu
yang bernilai tinggi (luar biasa); orang yang
berkesanggupan luar biasa; genius
Sentralisasi : Penyatuan segala sesuatu ke suatu tempat (daerah
dan sebagainya) yang dianggap sebagai pusat;
penyentralan; Pemusatan: saat ini sedang diusahakan
-- tanaman tebu di sekitar pabrik gula
Teknologi : Metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu
pengetahuan terapan; Keseluruhan sarana untuk
menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi
kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia
Terminologi : Peristilahan (tentang kata-kata); ilmu mengenai
batasan atau definisi istilah
Tipologi : Ilmu watak tentang bagian manusia dalam golongan-
golongan menurut corak watak masing-masing;
klasifikasi kamus dan buku acuan lain; ilmu yang
mempelajari kesamaan sintaksis dan morfologi
bahasa-bahasa tanpa mempertimbangkan sejarah
bahasa

viii
Prakata

M
anajemen sektor publik merupakan tugas yang dilakukan
baik itu oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Dalam menjalankan manajemen sektor publik harus mem-
perhatikan beberapa hal seperti birokrasi pemerintahan, organisasi
administrasi, reformasi administrasi publik, demokratic governance,
mengukur kinerja reformasi, diskursus teoretis reformasi administrasi,
manajemen pelayanan publik, hakikat otonomi daerah dan sebagainya.
Buku ajar ini hadir untuk memberikan penjelasan kepada pembaca baik
dari akademisi dan masyarakat umum agar mengetahui sejauh mana
pengetahuan yang saat ini berkembang dalam manajemen sektor publik
mulai dari pendalaman teori maupun studi kasus dari beberapa negara
khususnya di Indonesia.
Mata kuliah Manajemen Sektor Publik memberikan ulasan yang
komprehensif serta gagasan pembaharuan yang nantinya menarik untuk
diulas secara mendalam. Hal ini berguna untuk bisa memberikan efek
pemikiran yang kritis maupun gagasan yang baik terhadap manajemen
sektor publik. Manajemen Sektor Publik dikhususkan untuk mahasiswa
yang melanjutkan studi Magister Administrasi Publik Universitas
Maritim Raja Ali Haji sebagai acuan pada rencana pembelajaran semes-
ter (RPS). Materi di dalam buku ini sudah sesuai dengan standar dan
acuan dari Indonesian Association for Public Administration (IAPA).
Akhirnya puji syukur diucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya kepada penulis sehingga buku ini dapat
diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu proses penerbitan buku ini, diantaranya
pihak Penerbit UMRAH Press serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

ix
Politik (FISIP) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) yang telah
memfasilitasi proses hibah buku ajar di lingkungan FISIP UMRAH
tahun 2021. Kepada para kolega di Program Studi Magister Administrasi
Publik (MAP) yang telah memberikan dukungan untuk menerbitkan
manuskrip ini menjadi buku ajar. Demikianlah, semoga buku ajar
Manajemen Sektor Publik ini bermanfaat, segala kritik dan masukannya
akan diterima dengan senang hati sebagai perbaikan di kemudian hari.

Penulis.

x
Daftar Isi

Glosarium____v
Prakata____ix
Daftar Isi____xi
Daftar Tabel____xv
Daftar Gambar____xvii

Perkembangan Administrasi Publik____1


A. Kebijakan Publik dalam Sejarah Perkembangannya____1
B. Kebijakan Publik pada Kepemimpinan Indonesia____9
C. Kebijakan Publik dan Kepentingan Publik____15

Pemikiran Doktrin dan Prinsip Manajemen Publik____19


A. Old Public Administration (OPA)____19
B. New Public Management (NPM)____22
C. New Public Service (NPS)____25

Reformasi Administrasi Publik____41


A. Pengertian Reformasi____41
B. Reformasi Administrasi Publik____42
C. Strategi Reformasi Administrasi____44

Demokratic Governance____49
A. Perubahan Paradigma Government ke Governance____49
B. Good Governance____53
C. Dari Good Governance Menuju Democratic Governance____58
D. Dynamic Governance____71

Mengukur Kinerja Reformasi Administrasi Publik____85


A. Terminologi Reformasi Administrasi____85
B. Karakteristik Reformasi Administrasi____86
C. Reformasi Birokrasi____87
D. Prinsip Reformasi Birokrasi____89
E. Kondisi Reformasi Administrasi di Negara
Berkembang____91

xi
Diskursus Teoretis Reformasi Administrasi dan Birokrasi____97
A. Strategi Reformasi Administrasi____97
B. Tipologi Strategi Reformasi____103
C. Reformasi Birokrasi Diskursus Teoretis dan Empiris____104

Manajemen Pelayanan Publik____121


A. Konsep Pelayanan Publik____121
B. Manajemen Pelayanan Publik____122
C. Model Manajemen Pelayanan____123
D. Prinsip Pelayanan Publik____125
E. Inovasi Pelayanan Publik____125
F. Klasifikasi Pelayanan Publik____129

Hakikat Otonomi Daerah dalam Pelayanan Publik____137


A. Pengertian Desentralisasi____137
B. Perbedaan Desentralisasi dan Sentralisasi____140
C. Perkembangan Otonomi Daerah____142
D. Otonomi Daerah di Negara Berkembang____149

Kerjasama Pemerintah dalam Community Development____151


A. Pengertian Community Development____151
B. Pengertian Public-Private Partnertship____156

Hakikat Governance____163
A. Pengertian Good Governance____163
B. Prinsip Good Governance____164
C. Pilar-Pilar Good Governance____167

Standarisasi Manajemen Pelayanan Publik____169


A. Evaluasi Pelayanan Publik____169
B. Birokrasi Pelayanan Publik____170
C. Maladministrasi Publik____174

Pengembangan Manajemen SDM Menuju Birokrasi


Berkualitas____181
A. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia ____181
B. Manajemen Sumber Daya Manusia Sektor Publik____186

Manajemen Pemberdayaan Masyarakat____197


A. Paradoks Pembangunan Indonesia____197
B. Paradigma Baru Pembangunan____204
C. Pemberdayaan dalam Paradigma Pembangunan____206

xii
Manajemen Perubahan Sektor Publik____215
A. Konsep Manajemen Perubahan____215
B. Pendekatan Manajemen Perubahan____216
C. Manajemen Perubahan dalam Sektor Publik____219

Daftar Pustaka____225
Indeks____237
Profil Penulis____245

xiii
xiv
Daftar Tabel

Tabel 2.1 Pergeseran Prinsip NPM____25


Tabel 2.2 Diferensiasi Prinsip Manajemen Publik____27
Tabel 4.1 Perbedaan Government dan Governance____51

xv
xvi
Daftar Gambar

Gambar 4.1 Proses Terjadinya Domocratic Governance di Indonesia____59


Gambar 4.2 Kerangka Berpikir Dynamic Governance____77
Gambar 6.1 Paradigma Lama dan Paradigma Baru____116
Gambar 7.1 Model Manajemen Segitiga Pelayanan____124
Gambar 8.1 Perbedaan Sentralisasi dan Desentralisasi____140
Gambar 9.1 Skema Public-Private Partnertship____160

xvii
xviii
Perkembangan
Administrasi Publik

A. Kebijakan Publik dalam Sejarah Perkembangannya


Kebijakan publik sebenarnya sudah ada sejak abad 18 SM. Namun
ketika itu hanya dianggap sebagai kode, bukan Undang-undang yang
sistematis seperti saat ini, atau peraturan-peraturan. Tapi kode-
kodenya mengandung makna aturan-aturan yang disebut dengan kode
HAMMURABI. HAMMURABI sendiri berada di kota Mesopotamia Irak
selatan. Kode ini ditulis oleh penguasa Babilonia pada abad 18 SM yang
berisi tentang pengaturan ketertiban publik, tentang persyaratan sosial
ekonomi untuk suatu pemukiman daerah urban, mengatur tentang
hak milik, perdagangan, hubungan keluarga, perkawinan, kesehatan,
masalah kriminal, dan sebagainya. Sekitar tahun 500-an sebelum
masehi dalam sejarah peradaban Barat, zaman Yunani Kuno dianggap
sebagai babak awal terhadap kajian-kajian tentang negara. Sebab
pada zaman Yunani Kuno pada tahun 500-an SM itulah mulai muncul
pemikiran-pemikiran tentang negara oleh para filofof seperti Plato dan
Aristoteles. Namun setelah runtuhnya peradaban Yunani dan Romawi,
dunia Barat memasuki abad kegelapan (dark ages) sekitar abad ke 5,
dimana pemikiran tentang negara didominasi oleh gagasan Kristiani.
Sementara di dunia Timur tepatnya di India, dalam arthasastra yang
ditulis kira-kira 321-300 SM oleh Kautilya, Perdana Menteri kerajaan
Chandragupta Maurya juga telah mengemukakan pemikirannya
tentang negara. Dalam bukunya itu, ia membentangkan teori tentang
“ikan besar memakan ikan kecil” (fish law). Menurut penulis, teori yang
dikemukakan Kautilya ini dapat mewakili pemikiran Hindu tentang

1
Manajemen Sektor Publik

negara. Berdasarkan teori yang dikemukakan Kautilya, dapat dipahami


bahwa alasan adanya negara adalah untuk melindungi kelompok yang
lemah dari ancaman kelompok yang lebih kuat. Negara diperlukan
untuk mencegah terjadinya hukum rimba, dimana kelompok yang kuat
menindas kelompok yang lemah. Dalam konteks ini pemikiran Hindu
tentang negara bersifat “struktur-fungsional”. Artinya, eksistensi
negara harus mampu memberikan perlindungan atas seluruh kehidupan
sosial (ekonomi, politik, budaya dll) warga negaranya, terlepas dari latar
belakang masyarakat yang ikut bergabung ke dalam negara tersebut.
Hampir 1000 tahun berlalu dari masa kegelapan di Yunani, ilmu
pengetahuan berkembang pesat di eropa sekitar abad 15 M. Para
ilmuwan menemukan berbagai karya yang sangat-sangat bermanfaat
bagi manusia hingga saat ini, seperti lampu yang di klaim ditemukan
oleh Thomas Alfa Edison, teleskop di klaim ditemukan oleh Hans
Lippershey tahun 1608 namun belum ada hak paten, atau Galileo di
tahun berikutnya yakni tahun 1609 Masehi dengan fungsi teleskop
astronomis yang kita kenal saat ini, dan lain sebagainya. Banyaknya
penemuan-penemuan itu membuat mereka membutuhkan sebuah
regulasi (aturan) di setiap sektor bidang keilmuan mereka masing-
masing. Gunanya untuk mengatur hak privasi dan hak cipta mereka.
Pada abad ke-19 kontroversi seputar kebijakan publik semakin
marak. Hal ini didasari atas pertanyaan apakah Kebijakan publik sebagai
bidang kajian dan dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Kontroversi
ini dianggap wajar, mengingat ketika itu studi tentang hal-hal yang
beraroma pemerintahan, peraturan-peraturan, sudah ada dalam ilmu
sosial dan ilmu politik. Jadi pengertian kebijakan publik pun di masa itu
belum dapat didefinisikan. Bahkan di abad ke-19 belum dikenal adanya
istilah Policy Science (ilmu tentang kebijakan). Istilah Policy Science
sendiri sebenarnya diperkenalkan oleh Harold D. Laswell. Sebagai
catatan Harold D. Laswell bersama Myres S.Mcdougal merupakan
ilmuwan politik yang dianggap sebagai pencetus teori-teori dalam studi
komunikasi. Harold yang dilahirkan pada 13 Februari 1902 dan wafat 18
Desember 1978 merupakan pengembang teori-teori ilmu sosial modern.
Administrasi telah ada sejak dahulukala karena administrasi timbul
dengan timbulnya peradaban manusia. Apabila sejarah perkembangan
administrasi itu dipelajari lebih mendalam akan terlihat bahwa dalam

2
Manajemen Sektor Publik

setiap kebudayaan, apapun tujuannya, bagaimanapun bentuk dan


strukturnya, unsur-unsur administrasi tersebut pasti selalu ada. Oleh
karenanya dapat dikatakan bahwa administrasi selalu ada pada setiap
kegiatan. Ada dua hal yang akan dijelaskan yaitu, pertama administrasi
sebagai seni yaitu perkembangannya selalu dipengaruhi oleh
perkembangan masyarakat dinamis. Demikian juga sebaliknya. Secara
historical perkembangan administrasi sebagai seni itu didasarkan kepada
pengetahuan masyarakat modern sekarang tentang kejadian-kejadian
dimasa lalu pada kebudayaan tertentu pula. Yang kedua, administrasi
sebagai ilmu pengetahuan, tepatnya sebagai ilmu pengetahuan sosial.

1. Perkembangan Administrasi sebagai Seni


Perkembangan administrasi sebagai seni dapat dibagi menjadi tiga
fase utama yaitu Tahap prasejarah yang berakhir pada tahun 1 M, Tahap
sejarah yang berakhir pada tahun 1886 dan Tahap modern yang dimulai
pada tahun 1886dan masih berlangsung hingga sekarang ini.

a. Tahap Prasejarah
Bukti-bukti sejarah menunjukan dengan jelas bahwa pada tahap
prasejarah ini administrasi sudah berkembangdengan baik. Meskipun
mungkin secara tidak sadar, masyarakat purba telah menjalankan roda
administrasi sebagaimana apa yang sekarang disebut sebagai prinsip-
prinsip administrasi . karena kebutuhan masyarakat yang dipuaskan
melalui penerapan prinsip-prinsip administarsi dan manajemenpun
relative masih sederhana maka pada umumnya system administrasi yang
dipergunakan belum serumit yang digunakan sekarang ini. Ditinjau dari
segi waktu dan tempat, tahap prasejarah ini dapat dibagi pula menjadi
enam tahap perkembangan, yaitu sebagai berikut :
1) Zaman Mesopotamia; Pada zaman semopotamia telah
dijalankan prinsip-prinsip dasar administarsi yang diketahui
pada zaman modern sekarng, terutama pada bidang
pemerintahan, perdagangan, komunikasi dan pengangkutan
(terutama pengangkutan sungai). Sejarah membuktikan bahwa
masyarakat Mesopotamia telah menggunakan logam sebagai
alat tukar, hal ini memudahkan dalam perdagangan.
2) Zaman Babilonia; Zaman Babilonia, administrasi pemerintahan,
perdagangan, perhubungan dan pengangkutan telah ber-
3
Manajemen Sektor Publik

kembang pula dengan baik. Perkembangan administrasi juga


telah berkembang pada bidang teknologi, dengan bukti adanya
taman gantung.
3) Mesir Kuno; Zaman mesir kuno, yang berkembang pada
zaman ini adalah dibidang pemerintahan, militer, perpajakan,
perhubungan dan pertanian (termasuk irigasi). Hanya saja,
pada zaman Mesir kuno ini, administrasi dijalankan bukan atas
dasar kepentingan rakyat, tetapi hanya untuk kepentingan
Firaun dan keluarganya. Karena pada saat itu, Firaun dianggap
sebagai dewa atau setidaknya sebagai keturunan dewa, sehingga
mengabdikan kepada Firaun diindikasikan dengan pengabdian
kepada tuhan.
4) Tiongkok Kuno; Zaman Tiongkok kuno, administrasi pada
zaman ini berkembang sebagaimana zaman-zaman yang telah
disebutkan sebelumnya, tetapi ada yang khas pada Tiongkok
kuno ini, yaitu sistem administrasi kepegawaian yang sangat
baik. Demikian baiknya sistem administarsi tersebut, maka
sistem administarsi pun meminjam dari system ini dikenal
dengan nama merit system. Pada zaman ini menonjol 3 toko
yang memberikaan sumbangan yang sangat besar terhadap
administrasi pada zaman itu, yaitu Konfisius, Chow, dan Moti.
5) Romawi Kuno; Zaman romawi kuno, yang berkembang hampir
sama dengan zaman-zaman sebelumnya, tetapi yang sangat
menonjol adalah administrasi militer, pajak dan perhubungan
melebihi yang sebelumnya, hal ini diperlukan mengingat
romawi mempunyai wilayah yang sangat luas.
6) Yunani Kuno; Zaman Yunani kuno, bidang yang berkembang
dalam lingkup administrasi hampir sama dengan yang sebelum-
nya, tetapi disini muncul konsep demokrasi (berasal dari kata
demos dan kratos yang berarti rakyat dan kekuasaan) sehingga
kekuasaan berada ditangan rakyat. Definisi rakyat pada zaman
ini berbeda dengan zaman sekarang yaitu pria, dewasa, orang
tua dan sebagainya.
b. Tahap Sejarah (1 Masehi sampai tahun 1886)
Berhubungan dengan gelapnya sejarah dunia, umumnya selama
15 abad pertama dari sejarah dunia modern, bidang administrasi pun
4
Manajemen Sektor Publik

mengalami kegelapan. Berarti tidak banyak yang diketahui dalam 15


abad itu. Kemudian diketahui bahwa timbulnya gereja katolik roma
telah mempunyai pengaruh sangat besar terhadap perkembangan
teori administrasi. Dengan kata lain gereja katolik roma memberikan
sumbangan yang besar terhadap perkembangan administrasi, malahan
sesungguhnya pola dasar struktur organisasi yang telah diciptakan oleh
gereja katolik roma, telah ditiru oleh hampir semua organisasi modern
hingga sekarang ini, meskipun sudah barang tentu timbul perkembangan
lanjutan.
Pada zaman ini administrasi berkembang lebih pesat lagi karena
para cendikiawan terjun dalam bidang administrasi. Pada zaman ini
timbul tiga kelompok yang biasa disebut kaum yaitu Kaum kameralist
di Jerman dan Australia, Kaum merkantilisme di Inggris dan Kaum
fisiokrat di Perancis. Merkatilisme adalah suatu sistem politik ekonomi
yang sangat mementingkan perdagangan internasional dengan tujuan
umtuk memperbanyak aset dan modal yang dimiliki suatu negara.
Merkantilisme tertuang dalam peraturan negara yang berbentuk
proteksionalisme dan politik colonial demi neraca perdagangan yang
menguntungkan. Pemerintah negara mendukung ekspor dengan
insentif dan menghadang import dengan tarif.
Dijerman, merkantilismenya disebut dengan istilah kameralisme.
Camera artinya kas raja. Caranya dengan memungut pajak dan
membentuk perusahaan dagang di afrika untuk mengembangkan
perekonomian. di Perancis, merkantilisme dimulai masa Louis XI
(1461-1483). Bertujuan untuk memakmurkan rakyat terkenal dengan
sebutan colbertisme (pencetusannya Jean Colbert, menkeu Perancis).
Berbeda dengan kaum merkantilisme, kaum fisiokrat menganggap
bahwa sumber kekayaan yang senyata-nyatanya adalah sumber daya
alam. Kaum ini dinamakan physiocratism= physic (alam) dan cratain
atau cratos (kekuasaan).
Kaum fisiokrat percaya bahwa alam diciptakan oleh tuhan penuh
keselarasan dan keharmonisan. Yang artinya bahwa biarkan manusia
diberikan kebebasannya mengelola alam demi memenuhi kebutuhannya
masing-masing dan akan selaras dengan kebutuhan masyarakat banyak.
Artinya bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur dan biarkan alam
mengatur. Inilah yang menjadi awal mula doktrin laissez faire-laissez

5
Manajemen Sektor Publik

passer/ let do, let pass yang artinya biarkan semua terjadi, biarkan semua
berlalu. Tokoh yang menonjol pada zaman ini adalah George Von Zincke
yang telah menghasilkan 537 karya ilmiah dan yang terbanyak adalah
tentang administrasi pertanian.
Perkembangan semakin pesat karena pada zaman ini telah timbul
adanya revolusi industri di Inggris, yang mengakibatkan perubahan
yang besar dalam administrasi. Adalagi seorang tokoh yang mempunyai
peranan besar pada zaman ini, yaitu Charles Barbage, seorang professor
matematika pada Universitas Cambridge, yang pada permulaan abad 18
menulis buku yang berjudul the economy of manufacture. Pada buku ini
menekankan pada pentingnya efesiansi dalam usaha mencapai tujuan.
Selama hampir satu abad hasil karya ini terlupakan dan baru terselidiki
kembali setelah lahirnya gerakan manajemen ilmiah (scientific
manajement movement), yang dipelopori oleh Fredrick Winslow Taylor
tahun 1886.

c. Zaman Modern
Ada zaman ini, administrasi mulai dikenal sebagai ilmu, karena
pada zaman itu yang dipelopori oleh F.W. Taylor (seorang sarjana
pertambangan) dari amerika serikat, mulai mengadakan penyelidikan-
penyelidikan dalam rangka mempertinggi efesiensi perusahaan dan
peningkatan produktivitas pekerja. Pada saat itu dia melihat bahwa
efesiensi perusahaan tidak terlalu tinggi dan produktivitas pekerjanya
rendah karena terlalu banyaknya waktu dan gerak-gerik kaum buruh
yang tidak produktif, kemudian dia melakukan studi yang dikenal
dengan time and motion study untuk mempelajari penggunaan waktu
yang oleh kaum buruh serta gerak-gerik mereka dalam melaksanakan
pekerjaan, terutama para buruh tingkat bawah. Hasil studinya dituliskan
dalam satu buku yang berjudul the principle of scientific management, yang
diterbitkan pada tahun 1911.
Pada saat taylor melakukan penyelidikan-penyelidikan, di perancis
timbul pula seorang ahli pertambangan yang bernama Hendry Fayol
yang bekerja pada salah satu perusahan tambang disana, yang pada saat
itu perusahaan terancam oleh kehancuran. Sebagai seorang ahli fikir,
Fayol mencari sebab-musabab dari kegagalan perusahaan itu untuk
mencapai tujuannya. Hasil pemikiran fayol ditulis dalm bukunya pada
tahun 1916 dengan judul administration generalle et industrielle, yang
6
Manajemen Sektor Publik

diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1930 dengan judul


general and industrial management (seharusnya general and industrial
administration). Dari teori-teori yang ia temukan dan kemudian ia
terapkan sendiri, maka perusahaan berhasil selamat dari keruntuhan
bahkan dapat dikembangkannya. Karena besarnya sumbangan yang
diberiakn kedua tokoh itu terhadap administrasi, maka F.W. Taylor
diberi julukan, sebagi bapak gerakan manajemen ilmiah, sedangkan
Hendry Fayol diberi julukan bapak teori administrasi modern.

2. Perkembangan Administrasi sebagai Ilmu


Ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai suatu objek ilmiah
yang memiliki sekelompok prinsip, dalil dan rumus yang melalui
percobaan-percobaan yang sistematis dilakukan berulangkali telah
diuji kebenarannya, prinsip-prinsip, dalil-dalil, dan rumus-rumus dapat
diajarkan dan dipelajari. Dari segi perkembangan ilmu administrasi
sejak lahir hingga sekarang, ilmu administrasi telah mencapai empat
tahap :
a. Tahap survival (1886-1930): Pada tahap ini dimulai peletakan
dasar-dasar administrasi oleh F.W. Taylor dan Hendry Fayol.
Tahun 1886 sering disebut sebagai “tahun” lahirnya ilmu
administrasi, karena pada tahun itulah gerakan manajemen/
administrasi ilmiah dimulai oleh Frederick Winslow Taylor
di Amerika Serikat yang dijuluki bapak ilmu manajemen, dan
kemudian diikuti oleh Henry Fayol di Perancis yang dijuluki
pula bapak ilmu administrasi. Dalam masa ini para sarjana
mulai memperjuangkan supaya pengetahuan administrasi
sebagai ilmu yang mandiri atau sebagai salah satu tertib-ilmu
(disiplin). Demikian juga dalam masa inilah para ahli dan
sarjana mengkhususkan dirinya dalam bidang administrasi dan
manajemen.
b. Tahap konsolidasi dan penyempurnaan (1930-1945); Pada
tahap ini terjadi penyempurnaan teori-teori, sehingga
kebenarannya tidak dapat dibantah lagi. Dalam jangka waktu
ini pulalah gelar-gelar kesarjanaan dalam ilmu administrasi
negara dan niaga mulai banyak diberikan oleh lembaga-lembaga
pendidikan tinggi.

7
Manajemen Sektor Publik

c. Tahap human relation (1945-1959); Setelah teori-teori


disempurnakan, maka fokusnya berubah pada factor manusia
serta hubungan formal dan informal yang perlu diciftakan
pada semua tingkatan organisasi demi terlaksananya kegiatan-
kegiatan yang harus dilaksanakan dalam suasana yang intim
dan harmonis. Dalam masa ini para sarjana administrasi
mulai memperhatikan segi manusiawi dan menyelidiki segala
hubungan dari semua orang dalam kegiatan kerjasama, baik
hubungan yang bersifat resmi (formal) maupun yang tidak
resmi (informal). Pada masa ini pula ditulis pula hampir semua
buku mengenai hubungan antar manusia dalam kegaiatan
kerjasama mereka.
d. Tahap behaviouralisme (1959-sekarang); Pada tahap ini focus
perhatiannya bukan hanya pada hubungan manusianya, tetapi
sudah maju kepada tindakan-tindakan dan perilaku orang-
orang dalam kehidupan berorganisasi, diselidiki pula cara-cara
yang dapat ditempuh untuk lebih meningkatkan kegiatan-
kegiatan yang membuat organisasi menjadi lebih efesien dan
efektif, sehingga administrasi menyatu kepada manusia itu
sendiri.

3. Perkembangan Administrasi di Indonesia


Semakin meningkatnya kebutuhan publik terhadap administrasi,
sampai saat ini dalam pembicaraan di kalangan publik masih banyak
yang mempergunakan istilah administrasi sama dengan tata usaha
(administrasi dalam arti sempit), yaitu kegiatan rutin yang dilakukan
pada kantor pemerintah maupun kantor swata yaitu kegitan
pencatatan, pengiriman dan penyimpanan surat (Rahman, 2017).
Saat ini Potret masa depan ilmu administrasi di Indonesia bahwasanya
administrasi sebagai salah satu cabang ilmu sosial mengalami dinamika,
perubahan atau perkembangan yang sangat pesat. Paradigma ilmu
administrasi berkembang bersamaan dengan kemajuan kehidupan umat
manusia. Paradigma ilmu administrasi juga berkembang bersamaan
dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Karenanya, cara memandang
ilmu administrasi dapat dilihat dari metode historis, teori sistem dan
model lain seperti melihat fad bisnis atau administrasi bisnis.
Dalam menggambarkan masa depan ilmu administrasi dalam
8
Manajemen Sektor Publik

bahasan ini akan diarahkan pada administrasi bisnis. Potret ilmu


administrasi tidak terlepas dari bagaimana kita melihat paradigma
ilmu tersebut. Secara umum, paradigma berarti cara memadang dunia
“Paradigm: The way we see the world”. Dunia dilihat bukan sekedar
sebuah planet yang dihuni oleh berbagai makluk hidup, tetapi segala
sesuatu yang terjadi diatasnya, dinamika, perubahan-perubahan, dan
perkembangan teknologi karya manusia serta dampaknya terhadap
kehidupan manusia (Supriyanto, 2010).
Pengertian atau definisi administrasi dari pendapat para ahli
memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Administrasi pada dasarnya
berkenaan dengan tugas atau pekerjaan pada suatu organisasi dengan
melibatkan administrator. Charles A. Beard mengatakan bahwa tidak
ada satu hal untuk abad modern sekarang ini yang lebih penting dari
administrasi. Meskipun era globalisasi sudah lama bergulir, ditambah
lagi dengan revolusi industri 4.0 yang sarat dengan teknologi dan ilmu
pengetahuan yang mutakhir, administrasi tetap merupakan hal yang
paling utama dalam melaksanakan setiap bidang pekerjaan. Bahkan
administrasi disebut sebagai penentu citra suatu organisasi. Baik
buruknya organisasi, maju mundurnya organisasi serta hidup matinya
organisasi sangat tergantung pada administrasi yang dimiliki dan
dilaksanakan oleh seluruh unsur dalam organisasi (Marliani, 2019:17)

B. Kebijakan Publik pada Kepemimpinan Indonesia


1. Kebijakan Publik Masa Orde Lama
Beberapa contoh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Pemerintah
pada masa itu, antara lain Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus
1959, yakni menurunkan nilai uang. Uang kertas pecahan Rp500
menjadi Rp50, uang kertas pecahan Rp1000 menjadi Rp100, dan semua
simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan. Pembentukan
Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru
mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada
1961-1962 harga barang-baranga naik 400%. Devaluasi yang dilakukan
pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp1000 menjadi Rp1.
Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat

9
Manajemen Sektor Publik

lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi


ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin ini semakin
diperparah dengan pengeluaran pemerintah yang terkesan tidak hemat.
Pada masa ini banyak proyekproyek mercusuar yang dilaksanakan
pemerintah dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan negara
Malaysia dan negara-negara Barat. Di Bidang Ekonomi, Setiap
periode pemerintahan selalu mempunyai kebijakan yang berbeda-
beda, salah satunya kebijakan ekonomi. Seperti halnya pemerintahan
masa kolonial Belanda akan berbeda dengan pemerintahan Sukarno.
Tentu saja perbedaan kebijakan tersebut sekurang-kurangnya akan
mempengaruhi gerak ekonomi para usahawan, tidak terkecuali pebisnis
dikalangan orang China. Perlu adaptasi dengan pemerintahan baru yang
didalamnya terdapat kebijakan baru, untuk menjalankan roda bisnisnya.
Permasalahan utama yang dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana
pengaruh kebijakan pemerintah Indonesia masa Orde Lama dibidang
ekonomi terhadap bisnis orang China. Pemerintahan dan kebijakan yang
baru sedikit banyak berpengaruh terhadap kelangsungan bisnis orang
China di Indonesia. Pada masa kolonial Belanda, orang-orang China
mendapat tempat yang cukup strategis, sebagai perantara, penarik
pajak, dan lain-lain. Setelah merdeka, orang-orang Cina masih tetap
dominan dalam bidang ekonomi hingga akhirnya ada program ekonomi
yang menghambat mereka, tetapi kemudian hal ini tidak terlalu jadi
masalah, yaitu sistem benteng. Sistem ini justru melahirkan konspirasi
‘Ali-Baba’. Eksistensi pengusaha China dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
mereka terapkan seperti, hopeng, hong sui, dan Hoki (Wijayanti, 2019)

2. Kebijakan Publik Masa Orde Baru


Proses kebijakan masa orde lama dan orde baru pastinya memiliki
kepentingan yang berbeda-beda, seperti contoh Peta politik Islam di
Indonesia selalu diwarnai dengan peta politik pemerintahan. Mulai dari
era pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan (orde lama), orde baru, dan
era reformasi. Pendidikan Islam masih dalam posisi yang umumnya
tidak berpihak pada pemberdayaan umat. Pendidikan merupakan alat
yang digunakan oleh pemerintah untuk mengawal rakyat dan rakyat
pada tujuan politik yang diinginkan, secara teoritis tidaklah salah
jika pemerintah menginginkan produk lulusan lembaga pendidikan
10
Manajemen Sektor Publik

dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan. Namun pada saat


yang sama, pemerintah juga harus memberikan kebebasan kepada
dunia pendidikan untuk menentukan arahnya dengan tetap mendapat
bantuan, dukungan, dan fasilitasi dari pemerintah (Muzammil, 2016)
Pada masa kepemimpinan presiden kedua Republik Indonesia,
yaitu Presiden Soeharto yang dikenal juga sebagai bapak pembangunan.
Pada masa ini dikenal dengan sebutan Orde Baru yang menerapkan
sistem demokrasi pancasila. Kebijakan perekonomian pada masa Orde
Baru sebenarnya telah dirumuskan pada sidang MPRS tahun 1966. Pada
sidang tersebut telah dikeluarkan Tap. MPRS No.XXIII/MPRS/1966
tentang pembaruan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan
pembangunan.
Tujuan dikeluarkan keterapan tersebut adalah untuk mengatasi
krisis dan kemerosotan ekonomi yang melanda negara Indonesia
sejak tahun 1955. Berdasarkan ketetapan tersebut, Presiden Suharto
mempersiapkan perekonomian Indonesia sebagai berikut:
» Mengeluarkan Peraturan 3 Oktober 1966, tentang pokok-
pokok regulasi
» Mengeluarkan Peraturan 10 Pebruari 1967, tentang harga dan
tarif
» Peraturan 28 Juli 1967 , tentang pajak usaha serta ekspor
Indonesia
» UU No. 1 Tahun 1967 , tentang Penanaman Modal Asing
» UU No. 13 Tahun 1967, tentang Rencana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (RAPBN)
Di samping langkah-langkah tersebut di atas, Presiden Suharto juga
melakukan pendekatan dengan negara-negara maju untuk penundaan
pembayaran utang Indonesia dan mendapatkan pinjaman dari luar
negeri. Usaha tersebut menunjukkan hasilnya, terbukti Indonesia
mendapatkan kesempatan untuk penangguhan pembayaran utang luar
negeri.

3. Kebijakan Publik Masa Reformasi


Pada masa reformasi yang lahir dari tuntutan rakyat untuk
melakukan perubahan yang dilatarbelakangi oleh keadaan yang parah

11
Manajemen Sektor Publik

saat itu, yaitu dampak dari krisis moneter. Keadaan tersebut membuat
orang nomor satu di Indonesia, Soeharto yang menjabat sebagai presiden
selama kurang lebih 32 tahun menyatakan mundur.
Pembebasan Tahanan Politik di era BJ. Habibie, Tak butuh waktu
lama, ia kemudian mengeluarkan sejumlah amnesti dan abolisi untuk
para tahanan politik (tapol). Langkahnya dimulai dari pembebasan 13
tapol yang terlibat kasus demonstrasi di Timor Timur serta penghinaan
terhadap presiden sebelumnya, Soeharto. Di dalam pemberitaan
Harian Kompas (12/6/1998) menyebutkan, BJ Habibie secara resmi
mengeluarkan Keppres No 85 Tahun 1998 untuk memberikan amnesti
dan abolisi kepada 13 tapol dan napol tersebut. Melalui Keppres No. 85
Tahun 1998 itu, presiden memutuskan memberikan amnesti kepada
delapan orang, yaitu Cancio AH Guterres, Thomas Agusto, Antonio
Freitas, Jose Gomez, Hermenigildo da Costa, Luis Pereira, dan Bendito
Amaral.
Mereka dihukum karena terbukti telah berbuat makar. Abolisi
juga diberikan kepada delapan orang lain dari Timtim, yaitu Juvenal
do Santos Monis, Fransisco de Deus, Domingos da Silva, Silvereiro
Baptista Ximenes, Vicente Marques, dan Bernadino Simao. Selanjutnya
di bulan Agustus, Habibie juga memberikan grasi terhadap tiga napol
PKI. Mereka adalah Manan Effendi (80), Alexander Warrouw (81), dan
Pudjo Prasetyo (72) yang terlibat dalam pemberontakan G-30S/PKI,
seperti diberitakan dalam Harian Kompas (18/8/1998).
Grasi kepada tiga napol PKI itu diberikan melalui Keputusan
Presiden (Keppres) No 42/G/ 1998. Menteri Kehakiman Muladi dan
Jaksa Agung AM Ghalib mengumumkan langsung pemberian grasi
kepada pers usai mengikuti upacara detik-detik Proklamasi di Istana
Merdeka (17/8/1998). Ketiga napol itu dipenjara untuk seumur hidup
karena kasus subversi. “Saya langsung tertunduk. Dalam diri saya waktu
itu hanya ada perasaan haru, bingung, kaget, dan syukur kepada Allah
SWT,” kata Manan Effendi usai menerima grasi dari presiden. “Seketika
itu pula, dari kursi roda yang menopang kelumpuhan kaki saya di
balik terali besi (sambil menunjuk sel), saya tundukkan kepala, seraya
mengucap Alhamdulillahi Robbilalamin....” lanjutnya. Tak hanya itu,
pada Januari 1999, Habibie kembali memberikan grasi, amnesti, abolisi,
dan rehabilitasi kepada sejumlah narapidana dan tahanan politik.

12
Manajemen Sektor Publik

Kali para tapol yang dibebaskan berjumlah 69 napol yang menjalani


hukuman berkaitan dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di
Lampung, Aceh dan Timor Timur (Dzulfaroh, 2019)
Selanjutnya Kebebasan Pers Dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa
kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat
kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk
menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat
keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di
depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak bahkan dalam Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa
setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.
Era Susilo Bambang Yudhyono (SBY), program prorakyat yang
dicanangkan pemerintah didasarkan pada empat pilar utama yaitu pro-
growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment. Pada saat itu pemerintah
Indonesia terus berupaya mereformasi sistem pengelolaan hutan ke
tingkat yang lebih baik dan berkelanjutan. Selain itu pemerintah juga
terus menggalakkan penanaman pohon serta larangan penebangan
hutan dan lahan. Kebijakan itu disaksikan langsung oleh Dirjen CIFOR
Peter Holmgren, Menteri Konservasi Lingkungan dan Hutan Myanmar
U Win Tun, Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura
Vivian Balakrishnan, Menteri Perindustrian dan Sumber Daya Utama
Brunei Darussalam Pehin Dato Yahya Bakar, dan perwakilan negara-
negara sahabat (Lumanauw, 2014)
Praktik Blusukan dan Kebijakan Jokowi, Joko Widodo menjadi
fenomena politik tersendiri. Dari tiga proses pilkada yang telah di
lewati baik di Solo sebanyak dua kali (2005 dan 2010), maupun di DKI
satu kali (2012), serta Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, telah berhasil
menjadikannya sebagai pemenang. Model kepemimpinan politik
Joko Widodo yang suka blusukan telah menciptakan pro-kontra di

13
Manajemen Sektor Publik

tengah masyarakat. Ada beberapa pihak yang menganggapnya hanya


merupakan strategi pencitraan, sebagian yang lain setuju karena
melihat blusukan merupakan cara Joko Widodo untuk bisa lebih dekat
dan aspiratif kepada masyarakat. Dengan menggunakan metode
kualitatif dan teori kepemimpinan, maka, ada lima model yang terkait
dengan kepemimpinan politik Joko Widodo, yakni kepemimpinan
pelayan, kepemimpin horisontal, kepemimpinan populis kepemimpinan
demokratis, kepemimpinan karismatik, dan kepemimpinan
demokratis adapun model kepemimpinan pelayan (servant leadership)
dan kepemimpinan horisontal (horisontal leadership) adalah yang paling
menonjol dari kelimanya (Zulkarnain & Harris, 2017:1982).
Namun Kebijakan Jokowi yang sama sekali tidak bersinggungan
dengan blusukan yang dia lakukan dan bahkan hanya ganti jaket dari
pemerintahan terdahulu diantaranya
» Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dikenal sebagai
partai yang paling getol menolak kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) selama 10 tahun terakhir sebagai oposisi.
Setiap kali Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memutuskan harga BBM naik, PDIP selalu menolak. Penolakan
PDIP atas kenaikan harga BBM bukan hanya dilakukan di
mimbar parlemen.
» Meminta SBY naikkan harga BBM. Bukan hanya mewacanakan
menaikkan harga BBM. Yang lebih kontroversial, PDIP
meminta Presiden SBY menaikkan harga BBM bersubsidi.
Tentu saja, permintaan ini ditolah mentah-mentah oleh SBY.
Meskipun Jokowi menemui langsung SBY beberapa waktu lalu,
SBY tetap pada pendirian bahwa pemerintahannya tidak akan
menaikkan harga BBM.
» Menjual pesawat kepresidenan. Ketua DPP PDIP, Maruarar
Sirait, mengusulkan pemerintahan Presiden dan Wakil
Presiden Terpilih Joko Widodo Jusuf Kalla menjual pesawat
kepresidenan. Langkah itu, menurutnya, perlu diambil sebagai
bentuk efisiensi untuk menyelamatkan perekonomian.
» Di luar kebijakannya membentuk kabinet kerja dengan 34
kementerian yang dianggap tidak sesuai janji kampanye akan
membentuk kabinet ramping, Presiden Jokowi mengeluarkan

14
Manajemen Sektor Publik

beberapa kartu atas nama kepentingan rakyat. Kartu-kartu


tersebut antara lain, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu
Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS),
oleh sejumlah kalangan dinilai hanya ‘ganti baju’ dari kebijakan
Presiden SBY. Bahkan seorang politikus menyebut, KIP
pada masa SBY bernama Bantuan Siswa Miskin (BSM) atau
pengembangan dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS). KIS
merupakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan
BPJS yang telah ada di APBN 2014.
» Pada 17 November 2014, pemerintahan Jokowi mengeluarkan
kebijakan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi yang
semula Rp6.500 menjadi Rp8.500 yang akhirnya mendapat
sorotan karena selain memicu kenaikan harga bahan pokok
pangan, kebijakan diambil saat tren harga minyak dunia sedang
melemah.
» Pada 20 November 2014, Jokowi melantik politikus Nasdem,
HM. Prasetyo sebagai Jaksa Agung menggantikan Basrief
Arief. Kebijakan Jokowi melantik pria berkumis yang
pernah menjabat jaksa agung muda pidana umum ini menuai
kritikan berbagai elemen masyarakat dan para aktivis yang
menganggap hal tersebut blunder bagi Jokowi. Menurut salah
seorang aktivis, selain blunder, Jokowi juga melakukan tiga
kesalahan dalam melantik Prasetyo, di antaranya: Rasa Partai.
Dalam hal memilih nama calon seorang Jaksa Agung, Jokowi
sebaiknya tidak meminta nama ke partai politik, sebaliknya
harus meminta nama ke lembaga publik terlebih dahulu agar
mendapat nama jaksa agung yang diinginkan publik. Kesalahan
kedua, Jokowi dinilai tidak transparan dalam memilih jaksa
agung.

C. Kebijakan Publik dan Kepentingan Publik


Menurut Anderson (1994) menyatakan bahwa kebanyakan nilai
yang berperan membimbing perilaku pembuat kebijakan dapat disarikan
menjadi 5 macam kategori yaitu :
1. Political Value atau Nilai politik, artinya perumus kebijakan
dalam memilih alternatif kebijakan untuk memecahkan

15
Manajemen Sektor Publik

masalah dengan cara mencari nilai-nilai partai politik di


mana ia berafiliasi (menjadi pimpinan atau anggota partai)
untuk kepentingan partainya. Ia melihat dan menjadikan
kebijakan publik sebagai alat untuk kemajuan dan keuntungan
partainya. Sebagai contoh misalnya anggota DPR/D dari partai
X memanfaatkan nilai-nilai partainya dalam merumuskan
kebijakan APBN/D dengan lebih memfokuskan pembangunan
sektor tertentu di daerah dimana banyak konstituen partainya
di sana.
2. Organization Value atau Nilai organisasi, artinya perumus
kebijakan, biasanya birokrat , banyak dipengaruhi oleh nilai
organisasinya dalam merumuskan kebijakan publik. Sebagai
contoh misalnya dinas Y akan berusaha keras memasukkan
nilai-nilai organisasinya dalam perumusan kebijakan publik
agar tetap bisa eksis (keberadaannya diakui), kepentingannya
terpenuhi, bisa memperbanyak program dan proyeknya,
dan untuk mempertahankan kekuasaan serta memenuhi
harapannya.
3. Personal Values. Nilai pribadi, artinya perumus kebijakan akan
menggunakan nilai kepentingan pribadi seperti kecukupan
harta, kekuasaan, reputasi, dan ambisi pribadi dalam
merumuskan kebijakan publik. Sebagai contoh misalnya politisi
yang mau menerima suap dalam jumlah besar agar mereka
mau membuat kebijakan publik sesuai dengan keinginan
pemberi suap. Misalnya dengan meloloskan sebuah “Perizinan
X””Kontrak Z”, dan sebagainya.
4. Policy Values. Nilai Kebijakan, artinya perumus kebijakan akan
dinilai telah bekerja dengan baik dan tepat secara moral bila
mereka mendasarkan perumusan kebijakannya pada nilai
kepentingan publik, bukan pada kepentingan pribadi atau
golongan. Sebagai contoh misalnya bila perumus kebijakan
memutuskan untuk mendukung dan memutuskan “UU
Lingkungan Hidup” dinilai mereka telah bekerja dengan benar
dan tepat karena semua orang merasakan bahwa kerusakan
alam dewasa ini telah meresahkan kehidupan manusia sehingga
perlu segera diatasi.

16
Manajemen Sektor Publik

5. Ideological Values. Nilai ideologis, artinya perumus kebijakan


akan memanfaatkan nilai-nilai ideologis yang mereka anut
untuk mendasari kebijakan publik yang akan mereka buat.
Misalnya perumus kebijakan publik di China akan menggunakan
nilai ideologi komunisme dan sosialisme sebagai landasan
kebijakan publiknya; di Amerika perumus kebijakannya akan
menggunakan nilai ideologi liberalisme dan kapitalisme; dan
perumus kebijakan di negara kita akan menggunakan nilai
ideologi Pancasila dalam perumusan kebijakan publik.

17
Manajemen Sektor Publik

18
Pemikiran Doktrin dan Prinsip
Manajemen Publik

A. Old Public Administration (OPA)


The Old Public Administration pertama kali dikemukan oleh seorang
Presiden Amerika Serikat dan juga merupakan guru besar ilmu politik,
Woodrow Wilson. Beliau menyatakan bidang administrasi itu sama
dengan bidang bisnis. Maka dari itu munculah konsep ini, konsep Old
Public Administration ini memiliki tujuan melaksanakan kebijaka dan
memberikan pelayanan, dimana dalam pelaksanaannya ini dilakukan
dengan netral, profesional, dan lurus mengarah kepada tujuan yang
telah ditetapkan. Ada dua kunci dalam memahami OPA ini, pertama,
adanya perbedaan yang jelas antara politik (policy) dengan administrasi.
Kedua, perhatian untuk membuat struktur dan startegi pengelolaannya
hak organisasi publik diberikan kepada manajernya (pemimpin), agar
tugas-tugas dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
Dalam bukunya ”The Study of Administration”, Wilson berpendapat
bahwa problem utama yang dihadapi pemerintah eksekutif adalah
rendahnya kapasitas administrasi. Untuk mengembangkan birokrasi
pemerintah yang efektif dan efisien, diperlukan pembaharuan
administrasi pemerintahan dengan jalan meningkatkan profesionalisme
manajemen administrasi negara. Untuk itu, diperlukan ilmu yang
diarahkan untuk melakukan reformasi birokrasi dengan mencetak
aparatur publik yang profesional dan non-partisan.
Maka, tema dominan dari pemikiran Wilson adalah aparat atau
birokrasi yang netral dari politik. Administrasi negara harus didasarkan
pada prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan terpisah dari hiruk pikuk
19
Manajemen Sektor Publik

kepentingan politik. Inilah yang dikenal sebagai konsep dikotomi politik


dan administrasi. Administrasi negara merupakan pelaksanaan hukum
publik secara detail dan terperinci, karena itu menjadi bidangnya
birokrat tehnis. Sedang politik menjadi bidangnya politisi.
Paradigma administrasi publik model klasik juga dapat dilihat
melalui model “old chesnuts” dari Peters (1996 dan 2001), dimana
Administrasi Publik berdasarkan pada pegawai negeri yang politis dan
terinstitusionalisasi; organisasi yang hirarki dan berdasarkan peraturan;
penugasan yang permanen dan stabil; banyaknya pengaturan internal;
serta menghasilkan keluaran yang seragam (lihat dalam Oluwu,
2002 dan Frederickson, 2004). Kelebihan dari administrasi publik
klasik adalah politik yang tidak mencampuri kegiatan administrasi
di pemerintahan. Sehingga tidak ada hasil dari kegiatan administrasi
terhadap publik yang berbau politik.
Administrasi publik klasik juga memampukan birokrasi memiliki
daya stabilitas yang sangat tinggi, karena para birokrat diputuskan
berdasarkan pertimbangan obyektif, para birokrat dilindungi dari
kesewenangan hukum, dan masa depan para birokrat terjamin. Struktur
birokrasi yang kompleks dan formal serta berdasarkan dokumen resmi
akan menghindarkan birokrasi dari penyalahgunaan wewenang baik
oleh birokrasi karier maupun birokrasi politisi yang berkuasa untuk
sementara. Administrasi publik klasik ini juga dapat diimplementasikan
di negara berbentuk kerajaan. Selanjutnya, sifat netral dari administrasi
publik klasik ini dapat menghindarkan birokrasi dari kepentingan figur
atau kelompok-kelompok tertentu.
Dalam hal ini kharakter Old Public Administration dicirikan oleh
kegiatan pemerintah yang terfokus pada pemberian pelayanan kepada
masyarakat yang dilakukan oleh administrator publik yang akuntabel
dan bertanggungjawab secara demokratis kepada elected official.
Nilai dasar utama yang diperjuangkan dalam Old Public Administration
adalah efisiensi dan rasionalitas sebagai sebuah sistem tertutup. Fungsi
administrator Publik didefinisikan sebagai planning, organizing, staffing,
directing, coordinating and budgeting.

20
Manajemen Sektor Publik

1. Paradigma Old Public Administration


Pertama, paradigma dikotomi yang dikemukakan oleh Henry,
memiliki dua kunci pokok yaitu Politik berbeda (distinct) dengan
administrasi. Politik adalah arena dimana kebijakan (policy) diambil
sehingga administrasi tidak berhak berada dalam arena tersebut.
Administrasi hanya mampu bertugas mengimplementasikan
(administered) kebijakan tersebut. OPA juga tidak bisa dilepaskan dari
prinsip-prinsip manajemen ilmiah (scientific management) Frederick
W. Taylor dan manajemen klasik POSDCORB ciptaan Luther Gullick.
Administrasi negara harus berorientasi secara ketat kepada efisiensi.
Semua sumber daya (man, material, machine, money, method, market)
digunakan sebaik-baiknya untuk mencapai prinsip efisiensi.

2. Administratif Old Public Administration


Manusia rasional (administratif) Herbert Simon juga memberikan
pengaruh terhadap OPA. Menurut Simon, manusia dipengaruhi oleh
rasionalitas mereka dalam mencapai tujuan-tujuannya. Rasionalitas
yang dimaksud di sini hampir sama dengan efisiensi yang dikemukakan
oleh aliran scientific management. Manusia yang bertindak secara
rasional ini disebut dengan manusia administratif (administrative man).

3. Public Choice Old Public Administration


Teori pilihan publik (public choice) merupakan teori yang melekat
dalam OPA. Teori pilihan publik berasal dari filsafat manusia ekonomi
(economic man) dalam teori-teori ekonomi. Menurut teori pilihan publik
manusia akan selalu mencari keuntungan atau manfaat yang paling
tinggi pada setiap situasi dalam setiap pengambilan keputusan. Manusia
diasumsikan sebagai makhluk ekonomi yang selalu mencari keuntungan
pribadi melalui serangkaian keputusan yang mampu memberikan
manfaat yang paling tinggi. Denhardt dan Denhardt menguraikan
karakteristik OPA sebagai berikut
» Fokus utama adalah penyediaan pelayanan publik melalui
organisasi atau badan resmi pemerintah
» Kebijakan publik dan administrasi negara sebagai tujuan yang
bersifat politik.
» Administrator publik memainkan peranan yang terbatas dalam

21
Manajemen Sektor Publik

perumusan kebijakan publik dan pemerintahan; mereka hanya


bertanggung-jawab mengimplementasikan kebijakan publik.
» Pelayanan publik harus diselenggarakan oleh administrator
yang bertanggung-jawab
» Kepada pejabat politik (elected officials) dan dengan diskresi
terbatas.
» Nilai pokok yang dikejar oleh organisasi publik adalah efisiensi
dan rasionalitas.
Herbert Simon, Administrative Behavior. Dimana dengan munculnya
konsep rasional model. Mainstream dalam OPA ini muncul dari ide-ide
inti yang ada, diantaranya :
a. Pemerintah memberikan perhatian langsung dalam pelayanan
yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang.
b. Kebijakan publik dan administrasi saling berkaitan dengan
merancang serta melaksanakan kebijakan untuk tujuan politik.
c. Administrasi publik hanya berperan kecil dalam pembuatan
kebijakan dibandingkan dalam pengimplementasian kebijakan
publik.
d. Para administrator berupaya memberikan pelayanan yang
bertanggung jawab.
e. Para administrator bertanggung jawab kepada pemimpin
politik yang dipilih secara demokratis.
f. Program kegiatan di administrasikan dengan baik dan
dikontrol oleh para pejabat publik yang memiliki hierarki
dalam organisasi.
g. Nilai utama dari administrasi publik adalah efiiensi dan
rasionalitas.
h. Administrasi publik dilakukan secara efisien dan tertutup.
i. Peran administrasi publik dirumuskan secara luas seperti
POSDCRB

B. New Public Management (NPM)


New Public Management (NPM) atau dalam bahasa Indonesia juga
dikenal sebagai Manajemen Publik Baru adalah sebuah pendekatan

22
Manajemen Sektor Publik

dalam menjalankan kegiatan pelayanan publik yang diselenggarakan


oleh organisasi publik/pemerintahan baik pada level pusat maupun
daerah, yang menitikberatkan pada anggapan bahwa manajemen yang
dilakukan sektor bisnis lebih unggul dari pada manajemen yang selama
ini diselenggarakan oleh birokrasi sehingga perlu diganti. Paradigma
baru ini mulai mendapat banyak sorotan pada tahun 1990an setelah
Christopher Hood pertama kali menggunakan istilah tersebut dalam
tulisannya pada tahun 1991
Penerapan paradigma NPM sangat sukses di Amerika Serikat (AS),
Inggris dan Selandia Baru sehingga menyebar ke negara- negara lain.
Paradigma-paradigma tersebut hanya sampai akhir tahun 1960-an
atau permulaan 1970-an. Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1983
terdapat paradigma baru yang muncul untuk merevisi POSDCORB yang
disampaikan oleh G.D.Garson dan E.S.Overman dalam suatu bentuk
akronim juga yang disebutnya sebagai PAFHRIER, singkatan dari Policy
Analiysis, Finacial, Human Resources, Information, and External Relations.
Paradigma ini kemudian menjadi pusat perhatian manajemen publik
(Garson & Overmann, 1991).
Kurang lebih sepuluh tahun kemudian terjadi pergeseran
paradigma, yang dikenal dengan nama post-bureaucratic paradigm
oleh Barzelay (1992) dalam Keban (2008:35) yang berbeda dengan
paradigma birokratik yang banyak dikritik orang. Paradigma ini
menekankan pada hasil yang berguna bagi masyarakat, kualitas dan
nilai, produk, dan keterikatan terhadap norma. Paradigma ini juga
menekankan pada misi, pelayanan dan hasil akhir. Juga memperhatikan
pemahaman dan penerapan norma-norma, identifikasi dan pemecahan
masalah, serta proses perbaikan yang berkesinambungan. Terakhir
paradigma ini menekankan pada pemisahan antara pelayanan dengan
kontrol, membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas
pilihan pelanggan, mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif,
mengukur dan menganalisis hasil, dan memperkaya umpan balik.
Pada saat yang bersamaan di Amerika Serikat muncul paradigma
yang sangat terkenal disebut Reinventing Government yang disampaikan
oleh D.Osborne dan T.Gaebler yang kemudian dioperasionalisasikan oleh
Osborne & Plastrik (2000:322-324) mengenai prinsip pemerintahan
wirausaha. Prinsip-prinsip tersebut yaitu

23
Manajemen Sektor Publik

1. Pemerintahan katalis, pemerintahan yang mengarahkan


bukan mengayuh
2. Pemerintahan yang menjadi milik masyarakat, pemerintahan
yang memberdayakan bukan melayani
3. Pemerintahan kompetitif, pemerintahan yang menginjeksikan
semangat kompetisi dalam pelayanan publik
4. Pemerintahan berorientasi misi, pemerintahan yang mampu
merubah orientasi dari pemerintahan yang digerakkan oleh
aturan
5. Pemerintahan berorientasi pada hasil, pemerintahan yang
membiayai hasil bukan input
6. Pemerintahan yang berorientasi pada pelanggan, pemerintahan
yang memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi
7. Pemerintahan wirausaha, pemerintahan yang menghasilkan
profit bukan menghabiskan
8. Pemerintahan yang antisipatif, pemerintahan yang berorientasi
pencegahan bukan penyembuhan
9. Pemerintahan desentralisasi, merubah pemerintahan yang
digerakkan oleh hirarki menjadi pemerintahan partisipatif dan
kerjasama tim
10. Pemerintahan berorientasi pada pasar, pemerintahan yang
mendorong perubahan melalui pasar.
Prinsip paradigma ini di Inggris dikenal sebagai New Public
Management (NPM) yang dipopulerkan oleh Hood yang dikutip oleh
Eran Vigoda (2003) dalam Keban (2008:36) yang mengungkapkan
bahwa ada tujuh komponen doktrin dalam paradigma ini, yaitu:
1. Pemanfaatan manajemen professional dalam sektor publik
2. Penggunaan indikator kinerja
3. Penekanan yang lebih besar pada pendekatan kontrol output
4. Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil
5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi
6. Penekanan gaya sektor swasta pada praktek manajemen
7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi
dalam penggunaan sumber daya.
24
Manajemen Sektor Publik

Perlu penekanan disini bahwa paradigma New Public Management


(NPM) dan Reinventing Government muncul akibat dari ketidakpuasan
masyarakat terhadap pemerintah. Osborne dan Gaebler menyimpulkan
bahwa NPM adalah usaha memasukkan nilai-nilai wirausaha dan
memberlakukannya di dalam lingkungan birokrasi publik. Mereka
menyebut setidaknya ada sepuluh nilai baru yang seharusnya dapat
mengganti nilai birokrasi yang lama.

Tabel 2.1 Pergeseran Prinsip NPM


Prinsip Lama Prinsip Baru
Pemerintahan yang mengayuh Pemerintahan katalis: hanya
mengarahkan
Pemerintah dibentuk untuk melayani Pemerintah milik masyarakat:
masyarakat masyarakat punya kontrol
Monopoli pelayanan publik Menyuntukkan persaingan dalam
pemberian pelayanan
Digerakkan oleh peraturan Digerakkan oleh misi
Berorientasi prosedur/proses Berorientasi hasil
Berorientasi memenuhi kebutuhan Berorientasi memenuhi kebutuhan
birokrasi pelanggan
Cenderung membelanjakan Cenderung menghasilkan
Pemerintahan hadir untuk Pemerintahan hadir untuk mencegah
menyelesaikan masalah masalah
Hirarkis dan sentralistis Desentralisasi yang membuka
partisipasi dan membentuk tim kerja
Sumber: Osborne (1992)

C. New Public Service (NPS)


New Public Service lahir sebagai anti thesa dan berusaha mengkritik
New Public Management, yang dianggap gagal di banyak negara. New
Public Management memang sukses diterapkan di Amerika Serikat,
Kanada, Inggris, Selandia Baru, dan beberapa negara maju lainnya,
tetapi bagaimana penerapannya di negara-negara berkembang?
Kenyataannya, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia dan
negara miskin, seperti negara-negara di kawasan benua Afrika yang
gagal menerapkan konsep New Public Management karena tidak sesuai
dengan landasan ideologi, politik, ekonomi, dan sosial-budaya negara
yang bersangkutan.

25
Manajemen Sektor Publik

Untuk meningkatkan suatu pelayanan publik yang demokratis,


maka pilihan terhadap “the New Public Service (NPS)” dapat menjanjikan
suatu perubahan realitas dan kondisi birokrasi pemerintahan. Aplikasi
dari konsep ini agak menantang dan membutuhkan keberanian bagi
aparatur pemerintahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
karena mengorbankan waktu dan tenaga untuk mempengaruhi semua
sistem yang berlaku. Alternatif yang ditawarkan adalah pemerintah
harus mendengar suara publik dalam berpartisipasi bagi pengelolaan
tata pemerintahan. Memang tidak gampang meninggalkan kebiasaan
memerintah atau mengatur pada konsep administrasi lama, daripada
mengarahkan, menghargai pendapat sebagaimana yang disarankan
konsep New Public Service.

1. Paradigma New Public Service


Paradigma NPS merupakan konsep yang dimunculkan melalui
tulisan Janet V.Dernhart dan Robert B.Dernhart berjudul “The New Public
Service : Serving, not Steering”, terbit tahun 2003. Paradigma New Public
Service dimaksudkan untuk meng ”counter” paradigma administrasi
yang menjadi arus utama (mainstream) saat ini yakni paradigma NPS
yang berprinsip “run government like a businesss” atau “market as solution
to the ills in public sector”. Teori NPS memandang bahwa birokrasi adalah
alat rakyat dan harus tunduk kepada apapun suara rakyat, sepanjang
suara itu rasioanal dan legimate secara normatif dan konstitusional.
Seorang pimpinan dalam birokrasi bukanlah semata-mata makhluk
ekonomi seperti yang diungkapan dalam teori NPS, melainkan juga
makhluk yang berdimensi sosial, politik, dan menjalankan tugas sebagai
pelayan publik. Untuk meningkatkan pelayanan publik yang demokratis,
konsep NPS menjanjikan perubahan nyata kepada kondisi birokrasi
pemerintahan sebelumnya. Pelaksanaan konsep ini membutuhkan
keberanian dan kerelaan aparatur pemerintahan, karena mereka akan
mengorbankan waktu, dan tenaga untuk mempengaruhi semua sistem
yang berlaku. Alternatif yang ditawarkan konsep ini adalah pemerintah
harus mendengar suara publik dalam pengelolaan tata pemerintahan.
Meskipun tidak mudah bagi pemerintah untuk menjalankan ini,
setelah sekian lama bersikap sewenang-wenang terhadap publik. Di
dalam paradigma ini semua ikut terlibat dan tidak ada lagi yang hanya

26
Manajemen Sektor Publik

menjadi penonton. Gagasan Denhardt & Denhardt tentang Pelayanan


Publik Baru (PPB) menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak
dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi melayani
masyarakat secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur,
dan akuntabel. Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga
masyarakat, dan memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat
dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat. “Citizens
First” harus menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt &
Gray, 1998).

Tabel 2.2 Diferensiasi Prinsip Manajemen Publik


Aspek OPA NPM NPS
Dasar Teoritis Teori Politik Teori Ekonomi Teori Demokrasi
dan fondasi
epistemologi
Rasionalitas dan Rasionalitas Teknis dan Rasionalitas
model perilaku Synoptic Rasionalitas strategis atau
manusia (administrative ekonomi rasionalitas formal
man) (economic man) (politik, ekonomi
dan organisasi)
Konsep Kepentingan Kepentingan Kepentingan
kepentingan publik secara publik mewakili publik adalah hasil
publik politis dijelaskan agregasi dialog berbagai
dan diekspresikan kepentingan nilai
dalam aturan individu
hukum
Responsivitas Clients dan Customer Citizen’s
Birokrasi Publik Consitituent
Peran Pemerintah Rowing Steering Serving
Pencapaian tujuan Badan pemerintah Organisasi Privat Koalisi antar
dan Non provit organisasi publik,
non provit dan
privat
Akuntabilitas Hirarki Bekerja sesuai Multiaspek:
administratif dengan kehendak akuntabilita
dengan jenjang pasar (keinginan hokum, nilai-nilai
yang tegas pelanggan) komunitas, norma
politik, standar
professional
Diskresi Diskresi terbatas Diskresi diberikan Diskresi
Administrasi secara luas dibutuhkan tetapi
dibatasi dan
bertanggung
jawab

27
Manajemen Sektor Publik

Aspek OPA NPM NPS


Struktur Birokratik yang Desentralisasi Struktur
Organisasi ditandai dengan organisasi dengan kolaboratif
otoritas Top-down control utama dengan
berada pada para kepemilikan yang
agen berbagi secara
internal dan
eksternal
Asumsi terhadap Gaji dan Semangat Pelayanan publik
motivasi pegawai keuntungan, entrepreneur dengan keinginan
dan administrator proteksi melayani
masyarakat
Sumber: Denhardt dan Denhardt (2003: 28-29)

Selanjutnya dalam NPS, ada sejumlah prinsip-prinsip yang


ditawarkan Denhart & Denhart (2003) adalah sebagai berikut:
a. Melayani Warga Negara, bukan customer (Serve Citizens, Not
Customer).
b. Mengutamakan Kepentingan Publik (Seeks the Public Interest).
c. Kewarganegaraan lebih berharga daripada Kewirausahaan
(Value Citizenship over Entrepreneurship).
d. Berpikir Strategis, Bertindak Demokratis (Think Strategically,
Act Democratically).
e. Tahu kalau Akuntabilitas Bukan Hal Sederhana (Recognize that
accountability is not Simple).
f. Melayani Ketimbang Mengarahkan (Serve Rather than Steer).
g. Menghargai Manusia, Bukan Sekedar Produktivitas (Value
People, Not Just Productivity).

Di dalam NPS juga terdapat dimensi pengukuran keberhasilan


penerapan NPS Keberhasilan dari diterapkannya New Pulic Service.
Keberhasilan penerapan konsep standar dan kualitas pelayanan publik
yang minimal memerlukan dimensi yang mampu mempertimbangkan
realitas dalam mengelola sektor-sektor publik yang lebih partisipatif,
transparan, dan akuntabel. Ada sepuluh dimensi untuk mengukur
keberhasilan tersebut:

a. Tangable; Menekankan pada penyediaan fasilitas, fisik,


peralatan, personil, dan komunikasi.

28
Manajemen Sektor Publik

b. Reability; Kemampuan unit pelayanan untuk menciptakan yang


dijanjikan dengan tepat.
c. Responsiveness; Kemauan untuk membantu para provider untuk
bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan.
d. Competence; Tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan, dan
keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan
layanan.
e. Courtessy; Sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap
terhadap keinginan pelanggan serta mau melakukan kontak
atau hubungan pribadi.
f. Credibility; Sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik
kepercayaan masyarakat.
g. Security; Jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin dan bebas
dari bahaya dan resiko.
h. Access; Terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan
pendekatan.
i. Communication; Kemampuan pemberi layanan untuk
mendengarkan suara, keinginan, atau aspirasi pelanggan,
sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi
baru kepada masyarakat.
j. Understanding Customer; Melakukan segala usaha untuk
mengetahui kebutuhan pelanggan.

2. Konsep New Public Service di Indonesia


Di Indonesia sendiri penerapan New Public Service sudah sangat
lama dibicarakan dan berusaha untuk direalisasikan, namun dalam
kenyataannya masih terkendala banyak hal dan tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan. Menurut R Nugroho Dwijowiyoto (2001), kondisi riil
birokrasi Indonesia saat ini, digambarkan sebagai berikut :
a. Secara generik, ukuran keberhasilan birokrasi sendiri sudah
tidak sesuai dengan tuntutan organisasional yang baru. Di
Indonesia, birokrasi di departemen atau pemerintahan paling
rendah, yang diutamakan adalah masukan dan proses, bukan
hasil. Karenanya, yang selalu diperhatikan oleh para pelaku

29
Manajemen Sektor Publik

birokrasi adalah jangan sampai ada sisa pada akhir tahun buku
(birokrasi lama).
b. Birokrasi kita tidak pernah menyadari bahwa ada perubahan
besar di dunia. Dimana semua hal harus mengacu kepada pasar,
bisnis harus mengacu kepada permintaan pasar, dan kalau
mau berhasil dalam kompetisi harus mampu melayani pasar.
Pasar birokrasi adalah seluruh masyarakat, yang dilayani
oleh birokrasi bukannya pejabat pemerintahan atau pimpinan
birokrasi itu sendiri, tetapi rakyat.
c. Birokrasi di Indonesia sangatlah commanding dan centralistik,
sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan zaman masa kini
dan masa depan, dimana dibutuhkan kecepatan dan akurasi
pengambilan keputusan. Selain itu dengan posisinya yang
strategis, birokrasi di Indonesia tak bisa menghindar dari
berbagai kritik yang hadir yaitu:
» Buruknya pelayanan publik.
» Besarnya angka kebocoran anggaran Negara.
» Rendahnya profesionalisme dan kompetensi PNS.
» Sulitnya pelaksanaa koordinasi antar instansi.
» Masih banyaknya tumpang tindih kewenangan antar
instansi, aturan yang tidak sinergis dan tidak relevan
dengan perkembangan aktual masalah lainnya.
» Birokrasi juga dikenal enggan terhadap perubahan,
ekslusif, kaku, dan terlalu dominan sehingga hampir
seluruh masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan
birokrasi (birokrasi lama).
» Tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal
tertentu baik yang berupa legal cost maupun illegal cost,
waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang
harus dilewati dan tidak berprespektif harus dihormati
oleh rakyat.
Jika kita lihat dari pendapat R. Nugroho Dwijowiyoto penerapan
New Public Service masihlah belum terlaksana karena masih banyaknya
masalah-masalah yang masih perlu dibenahi sehingga menghambat
proses penerapan konsep New Public Service ini. Kemudian jika mengacu

30
Manajemen Sektor Publik

kepada prinsip-prinsip dari New Public Service itu sendiri ada beberapa
berinsip yang masih belum terpenuhi. Berikut beberapa prinsip yang
belum terpenuhi dan juga kendala yang dihadapi :
a. Mengutamakan Kepentingan Publik (Seeks the Public Interest)
New Publik Service berpandangan aparatur negara bukan
aktor utama dalam merumuskan apa yang menjadi kepentingan
publik. Administrator publik adalah aktor penting dalam
sistem kepemerintahan yang lebih luas yang terdiri dari warga
negara, kelompok, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga lainnya.
Administrator negara mempunyai peran membantu warga
negara mengartikulasikan kepentingan publik. Warga negara
diberi suatu pilihan di setiap tahapan proses kepemerintahan,
bukan hanya dilibatkan pada saat pemilihan umum.
Administrator publik berkewajiban memfasilitasi forum bagi
terjadinya dialog publik. Argumen ini berpengaruh terhadap
peran dan tanggung jawab administrasi publik yang tidak hanya
berorientasi pada pencapaian tujuan-tujuan ekonomis tapi juga
nilai-nilai yang menjadi manifestasi kepentingan publik seperti
kejujuran ,keadilan, kemanusiaan, dan sebagainya.
Namun pada kenyataannya para pelayan publik masih
belum mengutamakan kepentingan publik. Sebagai contoh
misalnya dalam proses pemberian pelayanan umum kepada
masyarakat, penyelenggara layanan secara berkali-kali
menunda atau mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak
dapat di pertanggungjawaban sehingga proses administrasi
yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu sebagaimana
ditentukan (secara patut) dan mengakibatkan pelayanan
umum tidak ada kepastian sehingga menimbulkan masyarakat
tak nyaman dan menghilangkan rasa kepercayaan terhadap
pelayan publik.
b. Kewarganegaraan Lebih Berharga dari Kewirausahaan (Value
Citizenship over Entrepreuneurship)
New Publik Service memandang keterlibatan citizen dalam
proses administrasi dan pemerintahan lebih penting ketimbang
pemerintahan yang digerakkan oleh semangat wirausaha.
New Publik Service berargumen kepentingan publik akan lebih

31
Manajemen Sektor Publik

baik bila dirumuskan dan dikembangkan oleh aparatur negara


bersama-sama dengan warga negara yang punya komitmen
untuk memberi sumbangan berarti pada kehidupan bersama
dari pada oleh manajer berjiwa wirausaha yang bertindak
seolah uang dan kekayaan publik itu milik mereka. Tak jarang
proses pelayanan dijadikan lahan untuk meraup keuntungan
oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Misalnya dalam proses pemberian pelayanan umum kepada
masyarakat, seorang penyelenggara layanan meminta imbalan
uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya
dia lakukan (secara cuma-cuma) karena merupakan tanggung
jawabnya. Seorang pejabat atau penyelenggara layanan
menggelapkan uang negara, perusahaan (negara), dan
sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga
menyebabkan pelayanan umum tidak dapat diberikan kepada
masyarakat secara baik.
c. Berpikir Strategis, Bertindak Demokratis (Think Strategically,
Act Democratically)
Ide utama prinsip ini adalah bahwa kebijakan dan program
untuk menjawab kebutuhan publik akan dapat efektif dan
responsif apabila dikelola melalui usaha kolektif dan proses
kolaboratif. Prinsip ini berkaitan dengan bagaimana administrasi
publik menerjemahkan atau mengimplementasikan kebijakan
publik sebagai manifestasi dari kepentingan publik. Fokus
utama implementasi dalam New Publik Service pada keterlibatan
citizen dan pembangunan komunitas (community building).
Keterlibatan citizen dilihat sebagai bagian yang harus ada dalam
implementasi kebijakan dalam sistem demokrasi. Keterlibatan
disini mencakup keseluruhan tahapan perumusan dan proses
implementasi kebijakan. Melalui proses ini, warga negara
merasa terlibat dalam proses kepemerintahan bukan hanya
menuntut pemerintah untuk memuaskan kepentingannya.
Organisasi menjadi ruang publik dimana manusia (citizen
dan administrator) dengan perspektif yang berbeda bertindak
bersama demi kebaikan publik. Interaksi dan keterlibatan
dengan warga negara ini yang memberi tujuan dan makna pada
pelayanan publik.
32
Manajemen Sektor Publik

Namun partisispasi masyarakat dalam pemerintahan


masih dibilang minim. Selama ini menurut Paper 01/
TK/2011LoGoWa/FISIP Universitas Indonesia/TK/4Prasojo
(2008), ruang bagi publik untuk berpartisipasi dilakukan oleh
masyarakat secara spontan melalui beberapa sarana. Diantara
sarana utama yang dipergunakan sebagai media partisipasi
menurut Prasojo adalah sarana public hearing di DPRD,
pengaduan di kotak-kotak saran, dan melalui lembaga-lembaga
resmi lainnya. Meskipun demikian keterlibatan masyarakat
tersebut belum sampai pada tahapan citizen control, melainkan
hanya sampai pada tingkat informasi dan konsultasi saja. Apa
yang disampaikan oleh Prasojo (2008) tersebut, juga sejalan
dengan pandangan dari tim revisiUU No. 32/2004. Menurut tim
revisi UU No. 32/2004 terdapat sejumlah permasalahan yang
terkait dengan peran masyarakat madani dalam pemerintahan,
yakni:
» Tidak ada pengaturan yang menghubungkan antara
pemerintah daerah dan masyarakat
» Tidak ada cukup tersedia informasi tentang kegiatan
pemerintahan bagi masyarakat
» Proses kebijakan di daerah yang masih lebih banyak
mewakili kepentingan elit politik daripada kepentingan
publik.
d. Tahu kalau Akuntabilitas bukan Hal yang Sederhana (Recognize
That Accountability Is Not Simple)
Aparatur publik harus tidak hanya mengutamakan
kepentingan pasar, mereka harus juga mengutamakan
ketaatan pada konstitusi, hukum, nilai masyarakat, nilai
politik, standard profesional, dan kepentingan warga
negara. Menurut New Publik Service, efisiensi, efektivitas, dan
kepuasan customer penting, tapi administrasi publik juga
harus mempertanggungjawabkan kinerjanya dari sisi etika,
prinsip demokrasi, dan kepentingan publik. Administrator
publik bukan wirausaha atas bisnisnya sendiri dimana
konsekuensi ataupun kegagalan akibat keputusan yang
diambilnya akan ditanggungnya sendiri. Resiko atas kegagalan

33
Manajemen Sektor Publik

suatu implementasi kebijakan publik akan ditanggung semua


warga masyarakat. Karena itu akuntabilitas administrasi
publik bersifat komplek dan multifacet atau banyak dimensi
seperti pertanggung jawaban profesional, legal, politis, dan
demokratis. Akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat
apalagi di daerah-daerah masihlah sangat kurang, banyak
masyarakat yang tidak mengetahui transparansi dari setiap
kegiatan maupun laporan keuangan yang ada di daerahnya. Hal
ini mencerminkan bahwa akuntabilitas pemerintah dalam hal
demokrasi masih belum terpenuhi.
e. Melayani Warga Negara, bukan Customer (Serve Citizens, not
Customers)
New Publik Service memandang publik sebagai “citizen”
atau warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban publik
yang sama. Tidak hanya sebagai customer yang dilihat dari
kemampuannya membeli atau membayar produk atau jasa.
Citizen adalah penerima dan pengguna pelayanan publik yang
disediakan pemerintah dan sekaligus juga subyek dari berbagai
kewajiban publik seperti mematuhi peraturan perundang-
undangan, membayar pajak, membela negara, dan sebagainya.
New Publik Service melihat publik sebagai warga negara yang
mempunyai hak dan kewajiban dalam komunitas yang lebih
luas. Adanya unsur paksaan dalam mematuhi kewajiban publik
menjadikan relasi negara dan publik tidak bersifat sukarela.
Karena itu, abdi negara tidak hanya responsif terhadap
“customer”, tapi juga fokus pada pemenuhan hak-hak publik
serta upaya membangun hubungan kepercayaan (trust) dan
kolaborasi dengan warga negara.
Hal diatas masihlah belum terlaksana dengan baik
karena kadang kala ditemui adanya pelayanan publik yang
mendahulukan pelayanan terhadap pihak yang mempunyai
kedudukan ataupun masyarakat yang menggunakan uang
untuk mempercepat proses dari pelayanan tersebut. Misalnya
pembuatan KTP, agar prosesnya cepat selesai maka seseorang
membayar si pelayan publik tersebut sedangkan seseorang yang
tidak membayar dilayani dengan wajar dan kadang cenderung

34
Manajemen Sektor Publik

diundur-undur. Hal ini menunjukan bahwa proses pelayanan


masih mengikuti kemampuan seseorang untuk membeli atau
membayar suatu produk jasa.

3. Dampak Penerapan New Public Service di Indonesia


Dampak penerapan NPS di Indonesia juga memberikan dampak
yaitu adanya kesadaran dalam peranan negara yang sebenarnya. Tidak
lagi otoriter maupun masih memilih siapa yang berhak mendapatkan
pelayanan dari negara. Dalam konteks kekinian praktek Administrasi
Publik di Indonesia telah mengarah pada prinsip-prinsip paradigma
NPS. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kebijakan public yang
berpola bottom up, yaitu alur pengambilan keputusan ditetapkan
secara berjenjang mulai dari level struktur yang paling bawah atau
masyarakat, yang kemudian menjadi dasar keputusan struktur teratas.
Pada pola bottom up menunjukkan kecenderungan bahwa pada dasarnya
pemerintah menganggap masyarakat sebagai warga Negara atau pemilik
sah pemerintahan bukan sebagai pelanggan atau pembeli. Pengaruh
paradigma New Public Service ini memberikan wawasan baru bahwa
negara seharusnya memberikan pelayanan public bagi semua warga
negara. Hal inilah yang mendorong administrasi publik di Indonesia
untuk menerapkan paradigma tersebut yang menerapkan pelayanan
kepada setiap warga negara di Indonesia serta memberi kemudahan
dengan adanya program-program yang diselenggarakan pemerintah
untuk datang memberi pelayanan pada warga negara yang menjangkau
segala pelosok daerah. Dari adanya program-program tersebut sebagai
bukti bahwa paradigma New Public Service telah memberi pemikiran
baru dalam cara memerintah sebuah negara. New Public Service adalah
cara pandang baru dalam administrasi negara yang mencoba menutupi
(cover) kelemahan-kelemahan paradigma Old Public Administration dan
New Public Management.

4. Kendala Menerapkan New Public Service


Permasalahan Administrasi Publik di Indonesia Administrasi
publik dalam perkembangannya di Indonesia telah melalui beberapa
tahap, mulai dari masa pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde
baru, dan masa reformasi tahun 1998 sampai dengan sekarang. Sebagai
salah satu negara yang ada di dunia tentunya Indonesia juga merupakan

35
Manajemen Sektor Publik

bagian sistem pelaksanaan administrasi global, yang selalu berkembang


sesuai dengan perkembangan kontradiksi dan saling hubungan antar
sesama bangsa di dunia. Dan Indonesia pun saat ini mulai mengadopsi
sistem administrasi dengan paradigma yang palig baru yaitu New Publik
Service. Hanya saja banyak permasalahan administrasi yang terjadi di
Indonesia antara lain:
a. Pengaruh Budaya Lama (Budaya Feodal)
Dalam mengadopsi sistem administrasi, maka tidak
bisa dengan utuh langsung diterapkan di sebuah negara atau
daerah, karena pasti budaya setempat mempengaruhi dengan
kuat ketika akan mempraktekkannya. New Publik Service atau
good governance sulit untuk di terapkan di Indonesia, karena
budaya masyarakat Indonesia yang biasa melayani kepentingan
penguasa, maka aparatur yang seharusnya melayani warga
masyarakat, malah berbalik arah untuk minta dilayani, dan
masyarakat pun dengan senang hati melayani kepentingan
atau kemauan penguasa dalam hal pengurusan permasalahan
administrasi pemerintahan. Budaya asal bapak senang,
budaya kroonisme/nepotisme, tidak bisa di pisahkan dalam
pelaksanaan administrasi, rasa kekeluargaan di Indonesia
sangat kuat, apabila ada saudara, famili, atau tetangga yang
mempunyai wewenang untuk melakukan proses pengurusan
administrasi pemerintahan, pastilah kita minta bantuannya
dan otomatis famili atau keluarga tersebut akan mendahulukan
kita tanpa proses antri, dan masih banyak contoh yang lainnya.
“kenyamanan” yang dirasakan selama ini oleh jajaran birokrat
(status quo) membuat mereka sulit untuk merubah pola pikir
maupun sikap mental untuk mendukung kearah perubahan
yang lebih baik.
Intinya terjadi penentangan oleh pihak internal (birokrat
itu sendiri) terhadap usaha perubahan yang menjadi inti
dari reformasi pelayan public menuju New Public Service ini.
Ketidakinginan untuk merubah pola pikir termasuk budaya
kerja dari para birokrat yang ada tentunya menjadi kendala
dalam perubahan itu sendiri. Reformasi birokrasi tidak dapat
terlaksana secara optimal karena belum menyentuh hal yang

36
Manajemen Sektor Publik

paling mendasar yaitu “culture”. Selama ini reformasi birokrasi


hanya menyangkut hal – hal yang menyangkut kelembagaan,
tata laksana, serta sumber daya manusia yang masih terbatas
pada tataran pendidikan dan pelatihan.
Sebuah kultur atau budaya birokrasi dapat dipandang
sebagai produk pengalaman antara nalar dan emosi. Kultur
birokrasi hanya dapat tumbuh karena orang mengalami realitas
pemerintah birokratis. Pengalaman inilah yang melahirkan
seperangkat komitmen emosional yang tanpa disadari
membentuk gagasan – gagasan serta sikap model mentalitas
birokrat sejati. Faktor inilah yang merupakan hal krusial dalam
implementasi penerapan new public service di Indonesia secara
menyeluruh.
b. Politisasi Administrator Daerah
Tuntutan otonomi daerah pada saat reformasi tahun 1998,
merupakan bentuk dari ketidakpuasan daerah dalam rangka
pembagian kekayaan daerah dengan pusat, walaupun hanya
daerah-daerah tertentu (daerah yang kaya seperti Riau, Aceh,
Kaltim, dsb) yang menuntut ruang yang lebih besar dalam
pengelolaan kekayaannya, atau mereka akan melepaskan
diri dari NKRI. Dalam perkembangannya otonomi daerah
dengan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
langsung, dimana kepala daerah merupakan jabatan politis
yang dicalonkan oleh partai, sehingga unsur politis tidak akan
pernah lepas dari corak dan gaya kepemimpinannya.
Administrator daerah dalam hal ini kepala daerah
sebagai jabatan politis maka akan banyak kepentingan politis
yang lebih mempengaruhi dalam pelaksanaan administrasi
pemerintahan. Ini bisa terlihat setiap ada pergantian kepala
daerah, maka pasti akan diikuti oleh pergantian pejabat
eselon yang ada, tanpa alasan yang jelas hampir semua pejabat
diganti, dengan alasan menempatkan orang yang loyal, dan ini
menyebabkan pejabat eselon juga menjadi mandul, tidak kritis
terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, karena
takut jabatannya di copot. Kemudian bisa di pastikan ada
kesepakatan-kesepakatan politik antara kepala daerah terpilih

37
Manajemen Sektor Publik

dengan partai yang mencalonkannya, minimal pada pembagian


proyek-proyek daerah. Dan masih banyak yang lainnya.

Dapat kita simpulkan bahwa permasalahan yang ada


di Indonesia dalam pelaksanaan administrasi publik, secara
garis besar adalah pengaruh budaya lokal yang tidak bisa
bertransformasi langsung dengan baik terhadap konsep-
konsep yang kita ambil dari luar, oleh karena itu, kita masih
membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan perubahan
budaya ke arah yang lebih baik. Kemudian yang kedua adalah
politisasi dalam pelaksanaan administrasi publik yang sangat
kental dan pengaruh politik ini bisaa menjadi dominan, dalam
menentukan kebijakan publik. Selagi administrasi publik belum
bisa melepaskan diri dari ranah politik maka kebijakan publik
pun tidak akan pernah lepas dari kepentingan politik.

c. Kurangnya Sosialisasi dari Pemerintah


Semua urusan sebenarnya sudah ada peraturannya, tapi
sayangnya, peraturan-peraturan itu kurang disosialisasikan.
Jadi kita seperti buta saat mencoba mencari tahu tentang
sesuatu, seperti masuk ke dalam labirin. Informasi mengenai
kejelasan mengenai peraturan dan prosedur baku (SOP-
Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat
kurang. Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos
pelayanan masyarakat yang strategis. Misalnya perihal
pengurusan administrasi kependudukan seperti KTP, Sertifikat
Tanah, Paspor, atau Surat Nikah. Akibatnya, informasi yang
sampai ke masyarakat umum menjadi terbatas dan terkesan
simpang-siur. Banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai
prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) suatu
layanan. Celakanya, hal inlantas dimanfaatkan oleh segelintir
oknum tidak bertanggung jawab atau orang-orang oportunis
yang duduk di birokrasi, untuk menjalankan “aksi”-nya demi
keuntungan pribadi.

d. Kinerja Pegawai Rendah


Sudah jadi rahasia umum kan, kalau etos kerja pegawai
pelayanan publik kita buruk. Ini termasuk masalah kedisiplinan
yang rendah, attitude dalam memberikan pelayanan yang
38
Manajemen Sektor Publik

kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi pegawai yang


berkinerja buruk. Ya, disini kita sedang membicarakan tentang
tidak ramah saat memberikan pelayanan, tidak tepat waktu,
lambat, kebanyakan ngobrol, sering bolos kantor untuk belanja
di pasar, dan lain sebagainya. Jadi bagaimana pelayanan publik
bisa maksimal kalau pegawai-nya tidak disipilin, berkinerja
rendah, dan tidak takut berbuat kesalahan karena tidak adanya
sanksi yang tegas. Sebagai contoh mudah, soal sering ngaret-
nya jam buka pos pelayanan (apapun itu), yang mengakibatkan
antrean panjang. Masyarakat jadi korban.

Persoalan pelayanan publik di Indonesia secara singkat dapat


dikelompokkan kedalam 3 hal, yaitu :
a. Paradigma pelayanan publik dan mentalitas aparat; Aturan
dan regulasi yang ada sebenarnya sudah meneguhkan tanggung
jawab negara dalam memberi pelayanan, namun ironisnya
banyak ditemukan kasus yang menggambarkan buruknya
pelayanan public di Indonesia. Selain itu, belum berubahnya
sikap dan paradigma dari aparat pemerintah dalam pemberian
pelayanan yang masih rules-driven atau berdasar perintah dan
petunjuk atasan, namun bukan kepuasan masyarakat. Setiap
aparat harusnya memahami esensi dari pelaksanaan tugasnya
kepada masyarakat.
b. Kualitas pelayanan tidak memadai dan masih diskriminatif;
Jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat
yang tanpa diskriminasi belum diberikan dengan kualitas
yang memadai. Selain itu, pelayanan publik yang disediakan
umumnya terbatas, misalnya jumlah, kualitas tenaga, fasilitas
dan sarana tidak memadai dan tidak merata. Umumnya ini
disebabkan oleh keterbatasan SDM serta alokasi anggaran
yang kurang memadai dalam APBD. Disejumlah daerah, APBD
lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan rutin dibandingkan
kegiatan pembangunan.

39
Manajemen Sektor Publik

c. Belum ada regulasi yang memadai; Regulasi yang ada belum


mampu meyakinkan bahwa kewajiban negara semestinya
diiringi dengan kemampuan member pelayanan yang terbaik
kepada warganya. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam
proses pemberian layanan belum optimal, meski terdapat
perangkat yang dapat mendukung upaya itu.

40
Reformasi
Administrasi Publik

A. Pengertian Reformasi
Kata reformasi berasal dari bahasa asing “reformation” (Inggris)
atau “reformatie” (Belanda). Kata dasar reformation berasal dari kata
reform, yang berarti membentuk kembali. Reform berasal dari kata form,
yang berarti bentuk atau membentuk. Reformasi adalah perubahan,
perbaikan penyempurnaan. Reformasi secara umum berarti perubahan
terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Reformasi dapat
mengacu pada beberapa hal yaitu Reformasi Protestan: Kata Reformasi
sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan
Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh
Martin Luther, Ulrich Zwingli, Yohanes Calvin, dll. Reformasi Katolik,
kadang disebut “Kontra Reformasi”, adalah periode pembaruan pada
Gereja Katolik yang diawali dengan Konsili Trente sehubungan dengan
struktur gerejani, tarekat religius, gerakan kerohanian, dan dimensi
politis.
Beberapa tokoh yang menonjol diantaranya: St. Pius V, St. Ignatius
Loyola, St. Teresa dari Avila, St. Yohanes dari Salib, St. Fransiskus
dari Sales. Reformasi Indonesia: Di Indonesia, kata Reformasi
umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang
menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde
Baru, yaitu era reformasi. Konsep dasar reformasi adalah melakukan
perubahan, perbaikan, penataan dan pengaturan secara komprehensif
dan sistematik terhadap banyak hal, terutama yang berkaitan dengan
pimpinan dan kepemimpinan, serta sistem bernegara, berorganisasi
dan berpemerintahan. Reformasi sebagai proses perubahan dari
41
Manajemen Sektor Publik

kondisi lama menuju kondisi baru yang dikehendaki (Abidin, 2006:17).


Reformasi bisa diartikan gerakan untuk mengubah bentuk dan perilaku
suatu tatanan, karena tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak
sesuai kebutuhan zaman – baik karena tidak efisien, tidak bersih,
tidak demokratis, dll. (Wibawa, 2005:207-208) atau Perbaikan atau
perubahan bentuk (Hidayat, 2007:1).

B. Reformasi Administrasi Publik


Definisi reformasi administrasi Reformasi administrasi menurut Lee
dan Samonte (Nasucha, 2004) merupakan perubahan atau inovasi secara
sengaja dibuat dan diterapkan untuk menjadikan sistem administrasi
tersebut sebagai suatu agen perubahan sosial yang lebih efektif dan
sebagai suatu instrumen yang dapat lebih menjamin adanya persamaan
politik, keadaan sosial dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan menurut
Khan (Guzman et.al., 1992), reformasi administrasi adalah usaha-usaha
yang memacu atau membawa perubahan besar dalam sistem birokrasi
negara yang dimaksudkan untuk mentransformasikan praktik, perilaku,
dan struktur yang telah ada sebelumnya. Caiden (1969) menyatakan
reformasi administrasi sebagai the artificial inducement of administrative
transformation against resistance, dimana dapat diartikan bahwa reformasi
administrasi merupakan keinginan atau dorongan yang dibuat agar
terjadi perubahan atau transformasi di bidang administrasi.
Reformasi administrasi merupakan salah satu kajian administrasi
publik yang menjadi sorotan. Secara teoretis lahirnya gejala ini
diakibatkan pergeseran perkembangan ilmu administrasi publik yang
beralih dari Normative Science ke pendekatan Behavioral – Ecologis. Secara
empiris, gejala perkembangan masyarakat sebagai akibat dari adanya
globalisasi, memaksa banyak pihak terutama birokrasi pemerintah,
untuk melakukan revisi, perbaikan, serta mencari alternatif mengenai
sistem administrasi yang sesuai dengan perkembangan masyarakat
maupun perkembangan zaman. There is not the best, but the better, meski
bukan yang terbaik, tetapi lebih baik dari sebelumnya, begitu kata orang
Inggris.
Perkembangan masyarakat akibat globalisasi, memaksa birokrasi
pemerintah untuk melakukan revisi mengenai sistem administrasi yang
sesuai dengan perkembangan zaman saat ini. Birokrasi pemerintah

42
Manajemen Sektor Publik

memegang peranan utama, dalam hal pembangunan suatu negara. Cita-


cita reformasi dapat terjadi, jika ada langkah nyata menuju reformasi,
dimulai dengan reformasi administrasi. Reformasi administrasi
merupakan perubahan terencana terhadap aspek utama administrasi.
Reformasi tidak hanya sebagai perbaikan struktur organisasi, tetapi
juga mencakup perbaikan perilaku manusia yang terlibat di dalamnya.
Reformasi administrasi ialah usaha terencana untuk mengubah dua
hal, yaitu struktur dan prosedur birokrasi, kedua sikap dan perilaku
para birokrat. Penentuan tujuan sangat penting dalam reformasi
administrasi. Dalam organisasi tujuan merupakan sesuatu yang perlu
untuk dipertimbangkan terlebih dahulu. Reformasi administrasi di
identikan dengan usaha untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
organisasi. Tujuan umum reformasi administrasi ada tiga, pertama
meningkatkan keteraturan, kedua meningkatkan dan menyempurnakan
metode, ketiga meningkatkan performance.
Jadi reformasi administrasi meningkatkan disiplin, memperbaiki
sistem yang ada pada organisasi, serta meningkatkan kinerja organisasi.
Birokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh
pegawai pemerintah dengan sistem yang ada, tugas ditentukan dengan
jabatan tertentu. Birokrasi yang kuat selalu menjadi pelopor gerakan
reformasi administrasi. Birokrasi di kebanyakan negara berkembang
umumnya tergolong ke dalam birokrasi tertutup, yang tidak fleksibel,
cenderung kaku.
Menurut Ibrahim (2008:13), dan Zauhar (1996:11), Reformasi
Administrasi Publik adalah usaha yang sadar dan terencana untuk
mengubah struktur dan prosedur birokrasi (aspek reorganisasi
kelembagaan, sikap, dan perilaku birokrat/aspek perilaku atau kinerja),
meningkat efektivitas organisasi (aspek program), sehingga dapat
diciptakan administrasi publik yang sehat dan terciptanya tujuan
pembangunan nasional. Reformasi Administrasi Publik diartikan secara
sederhana oleh Abidin (2006:19) adalah proses reformasi atas paradigma
dan sistem administrasi publik. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Reformasi Administrasi Publik adalah suatu upaya perubahan
yang dilakukan secara sadar dan terencana dari segala aspek kehidupan
terutama aspek penyelenggaraan administrasi negara sehingga dapat
mencapai tujuan secara rasional.

43
Manajemen Sektor Publik

C. Strategi Reformasi Administrasi


Strategi Reformasi Administrasi untuk memperbaiki dari aspek
kelembagaan dan aspek sumber daya manusia diperlukan model
pendekatan atau strategi dalam melakukan reformasi adminitrasi
pada kedua aspek tersebut. Terkait dengan strategi dalam reformasi
administrasi, Zauhar (2007:77) menyatakan bahwa reformasi
administrasi berkaitan erat dengan pengertian strategi, karena pada
hakekatnya reformasi administrasi merupakan aktivitas untuk
meningkatkan kemampuan memenangkan peperangan melawan
ketidakberesan administrasi dan beberapa jenis penyakit administrasi
lainnya yang banyak dijumpai dikebanyakan negara sedang berkembang.
Selain itu Osborne (2000:45) menyatakan ada 5 strategi reformasi
administrasi yaitu:

1. Strategi Inti
Strategi inti ini berkaitan erat dengan tujuan dari suatu sistem
dan organisasi pemerintahan. Tujuan dari suatu sistem dan organisasi
pemerintahan dijadikan strategi inti karena merupakan fungsi inti
pemerintahan yaitu fungsi mengarahkan. Strategi ini menghapus fungsi-
fungsi yang tidak lagi menjalankan tujuan pemerintah yang sebenarnya.
Strategi ini memisahkan fungsi mengarahkan dari fungsi melaksanakan,
sehingga setiap organisasi dapat memusatkan pada satu tujuan. Strategi
ini juga meningkatkan kemampuan pemerintah untuk mengarahkan
dengan menciptakan mekanisme baru guna mendefinisikan tujuan
dan strategi. Strategi ini pendekatannya dengan pendekatan kejelasan
tujuan, pendekatan kejelasan arah dan pendekatan kejelasan arah.

2. Strategi Konsekuensi
Strategi konsekuensi ini berkaitan erat dengan sistem insentif
pemerintah, sistem ini merupakan bagian penting dari sistem
pemerintahan. birokratis memberi insentif yang kuat kepada pegawai
untuk taat aturan dan tunduk. Inovasi hanya akan membawa kesulitan
sedangkan status quo terus-menerus mendatangkan hadiah. Pegawai
dibayar sama tanpa memandang hasil. Dan sebagain besar organisasi
bersifat monopoli. Sistem insentif pemerintah yang disebutkan harus
diubah menjadi insentif dengan menciptakan konsekuensi atas kinerja
yang dihasilkan.

44
Manajemen Sektor Publik

3. Strategi Pelanggan
Strategi pelanggan ini memiliki pola yaitu menggeser sebagian
pertanggungjawaban kepada pelanggan. Strategi ini memberi pilihan
kepada pelanggan mengenai organisasi yang memberikan pelayanan
dan menetapkan standar pelayanan pelang-gan yang harus dipenuhi
oleh organisasi-organisasi itu. Penciptaan pertanggungjawaban kepada
pelanggan semakin menekan organisasiorganisasi pemerintah untuk
memperbaiki hasil-hasil kinerja mereka, tidak sekedar mengelola
sumber daya mereka. Strategi ini juga menciptakan informasi mengenai
kepuasan pelanggan terhadap pelayanan dan hasil-hasil tertentu dari
pemerintah, dan strategi ini memberi organisasi-organisasi pemerintah
sasaran tujuan yang tepat yaitu meningkatnya kepuasan pelanggan.

4. Strategi Kontrol
Strategi kontrol pengendalian secara signifikan mendorong turun
kekuasaan pengambilan keputusan melalui hirarki, dan kadang-
kadang keluar ke kelompok masyarakat. Strategi ini menggeser bentuk
pengendalian yang digunakan dan aturan-aturan yang rinci serta
komando hierarkis ke misi bersama dan sistem yang menciptakan
akuntabilitas kinerja. Strategi ini memberdayakan organisasi dengan
mengendurkan cengkeraman badan kontrol pusat.

5. Strategi Budaya
Sistem pemerintah kritis yang terakhir adalah dna yang
menentukan budaya organisasi pemerintah yaitu mengenai nilai-nilai,
norma, sikap, dan harapan pegawai. Budaya sangat dipengaruhi oleh
bagian dna yang lainya yakni tujuan organisasi, sistem insentif, sistem
pertangungjawaban, dan struktur kekuasaannya. Ubahlah unsur-unsur
ini maka budaya akan berubah, tetapi budaya tidak selalu berubah
seperti yang apa yang diharapkan para pemimpinnya. Oleh karena
itu, setiap organisasi yang telah menggunakan empat strategi lainnya
akhirnya harus memutuskan mengubah budaya organisasinya.
Sementara itu Caiden (1969:8) mengatakan administrative reform
sebagai the artificial inducement of administrative transformation againts
resistence yang dapat diartikan beberapa konsekuensi yaitu
a. Pertama, reformasi administrasi merupakan suatu proses
kegiatan yang secara sengaja diciptakan oleh manusia, tidak
45
Manajemen Sektor Publik

bersifat serampangan atau sewaktu-waktu, baik itu otomatis


maupun alamiah, dan dilaksanakan secara sadar. Hal ini berarti
setiap perubahan dalam reformasi administrasi sesuatu yang
direncanakan.
b. Kedua, reformasi administrasi adalah bagian dari upaya untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih (perubahan yang
fundamental).
c. Ketiga, resistensi beriringan dengan proses reformasi
administrasi. Ketiga implikasi itu merupakan tahapan
perkembangan reformasi administrasi yang dilakukan dengan
proses panjang. Dalam hal ini perubahan yang terencana
menandakan adanya persiapan yang menyangkut sumber
daya, sistem, instrumen dengan prasyaratnya adalah adanya
visi, misi, dan sasaran yang hendak tercapai secara terukur
(Maksum, 2010:62). Lebih jauh reformasi administrasi juga
diakui Caiden sebagai ‘a never ending process’.
Dror dalam Leemans (1979:48-59) ada 11 srategi yang
memungkinkan bisa membawa perubahan bagi sebuah organisasi publik
di antranya;
a. Overall goals (Tujuan Keseluruhan) : Dimensi ini merujuk pada
tujuan reformasi – yang antara lain adalah untuk meningkatkan
efisiensi, meskipun selanjutnya hal ini dipertanyakan lebih
lanjut dalam hal efisiensi atau efektifitas untuk melakukan hal
apa? oleh karena itu kejelasan tentang tujuan menyeluruh dari
sebuah reformasi administrasi merupakan prasyarat mendasar
untuk keberhasilannya.
b. Reform boundaries (Batas Reformasi) : Administrasi publik
adalah sebuah sistem yang kompleks terkait karena melibatkan
baik subsistem politik maupun sosial sebagai sebuah kesatuan.
Dengan kata lain, batasan wilayah sistem administrasi harus
terkait dengan dimensi strategi reformasi administrasi yang
praktis dan nyata.
c. Preferences in time (Preferensi dalam waktu) Dimensi ini
mempertanyakan masalah target waktu. Artinya bahwa suatu
usaha reformasi administrasi harus ditargetkan batas waktu
penyelesaiannya.
46
Manajemen Sektor Publik

d. Risk acceptability (Penerimaan Resiko) Dimensi strategi


ini melibatkan tingkatan resiko penerimaan yang sangat
erat korelasinya dengan dimensi inovasi atau perubahan
inkremental. Meskipun agak kurang operasional, masalah
tingkatan resiko ini harus mendapatkan pertimbangan serius,
khususnya karena di satu sisi ada kecenderungan sikap
menghindari resiko yang biasanya dijumpai pada beberapa
organisasi pemerintah, sementara disisi lain adalah tendensi
yang berlawanan, yaitu kesembronoan dalam reformasi
administrasi yang didorong oleh perubahan-perubahan politis
atau juga gerakan-gerakan sosial. Oleh karena itu, penentuan
secara eksplisit mengenai batasan resiko yang bisa diterima
bisa mendorong adanya penyempurnaan asecara signifikan
terhadap pembuatan keputusan reformasi.
e. Incrementalism vs. Innovation (Inkrementalisme vs inovasi)
Dimensi ini berkorelasi erat dengan dimensi penerimaan
tingkat resiko. Hal ini melibatkan pilihan berbagai tingkatan
perubahan dalam sistem administrasi, yang antara lain dalam
konteks perubahan itu sendiri. Konteks perubahan itu bisa
dalam hal lingkup perubahan dan waktu.
f. Comprehensiveness and narrowness (kelengkapan dan kesempitan)
Dimensi ini mengandung pengertian sejauh mana tingkatan
reformasi administrasi semestinya melibatkan berbagai
komponen sistem administrasi. Atau sebaliknya reformasi
administrasi akan memfokuskan pada beberapa komponen
atau bahkan hanya satu komponen tunggal.
g. Balanced oriented vs shock oriented (Berorientasi seimbang vs
berorientasi pada kejutan) Dalam dimensi ini yang menjadi
pertanyaan adalah sejauh mana sebuah reformasi harus
diarahkan pada beberapa komponen sistem administrasi
yang sedang mengalami perubahan, dalam cara yang saling
terkoordinir.
h. Relevance assumption about the future (Relevansi asumsi tentang
masa depan) Dimensi ini berhubungan erat dengan dimensi
luasannya cakupan (comprehensiveness) yang dipertentangkan
dengan sempitnya cakupan (narrowness).

47
Manajemen Sektor Publik

i. Theoritic bases (Landasan teori) Perlunya mengedepankan


asumsi-asumsi tersembunyi yang kritis/penting bagi sebuah
reformasi administrasi secara terbuka, mengarahkannya
pada suatu pengujian secara sadar, dan apabila mungkin,
menyempurnakannya dengan didukung oleh pengetahuan
yang sistematis, rasionalitas yang terstuktur, serta kreativitas
yang tertata – maka ini akan menjadi pembenaran intelektual
(intellectual justification) dalam mengajukan dimensi strategi
sebagai kerangka kerja (framework) pembuatan keputusan
reformasi administrasi.
j. Resource availability (Ketersediaan sumber daya) Menjabarkan
strategi ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk
sebuah reformasi terkadang bisa menghalangi reformasi itu
sendiri. Karena itu sebaiknya dimensi ini dilakukan dengan cara
alokasi bagian per bagian. Dengan kata lain, suatu perencanaan
reformasi administrasi yang realistis akan memberikan
kemungkinan keberhasilan yang lebih besar.
k. Range of reform instruments (Berbagai Instrumen reformasi)
Dimensi ini merangkum semua dimensi yang sudah disebutkan
di atas, dengan menggunakan beberapa perspektif tambahan.
Reformasi Administrasi dalam Tata pemerintahan tidak akan
dapat berjalan tanpa adanya kemauan politik dan komitmen serta
konsistensi dari para perumus kebijakan dan seluruh pihak stake
holders (birokrat, pelaku bisnis dan masyarakat). Semuanya bersama-
sama menekankan prinsip-prinsip kunci democratic governance yaitu;
transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan penegakan aturan hukum
dalam setiap tahapan perumusan kebijakan publik. Penandatanganan
Pakta Integritas oleh seluruh perumus kebijakan adalah perwujudan dari
komitmen dan konsistensi untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut
dalam takaran tanggung jawab masing-masing actor. Kesepahaman dan
kesepakatan bersama terhadap pentingnya kualitas kebijakan publik
akan memunculkan kesadaran kolektif untuk tidak melakukan praktek
KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penerapan prinsip-
prinsip democratic governance pada perumusan kebijakan, akan sukses
menciptakan Indonesia yang maju, memiliki competitiveness, dengan
iklim cinvestasi yang berdaya saing tinggi.

48
Demokratic Governance

A. Perubahan Paradigma Government ke Governance


1. Pengertian Government
Government is a group of people that governs a community or unit. It sets and
administers public policy and exercises executive, political and sovereign power
through customs, institutions, and laws within a state.” (Business Dictionary,
2013). Pemerintah (government) adalah sekelompok orang yang
mengatur sebuah komunitas atau unit. Yang menetapkan dan mengelola
kebijakan publik dan kekuasaan eksekutif, politik dan berdaulat melalui
bea cukai, lembaga, dan hukum dalam negara. Government : sebuah
lembaga atau orang yang memiliki tujuan mengatur dan mengelola
pemerintahan (governance). Contoh : Kepala desa, bupati, presiden.
Transformasi government sepanjang abad ke-20 pada awalnya
ditandai dengan konsolidasi pemerintahan demokratis (democratic
government) di dunia Barat. Pasca Perang Dunia I, menguatnya
peran pemerintah. Pemerintah mulai tampil dominan, melancarkan
regulasi politik, redistribusi ekonomi dan kontrol yang kuat terhadap
ruang-ruang politik dalam masyarakat. Pada tahun 1960-1970-an,
yang menggeser perhatian kepada pemerintah di negara-negara dunia
ketiga. Makin gencarnya kapitalisme yg diikuti oleh kuatnya negara
dan hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan
Afrika. Adanya krisis ekonomi dan finansial di berbagai negara di dunia
th 1980-an.
Pemerintah bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi,
melainkan justru sebagai akar masalah krisis. Sehingga melahirkan
“penyesuaian struktural”, dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi,

49
Manajemen Sektor Publik

privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Di era 1990-an, dimana


proyek demokratisasi berkembang luas.

2. Pengertian Governance
Menurut United Nation Development Program (UNDP)
mendefinisikan governance sebagai: “the exercise of political, economic, and
administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Sedangkan
World Bank Governance sebagai: “the way state power is used in managing
economic and social resources for development of society”. Artinya Jika World
Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya
sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, maka
UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administratif
dalam pengelolaan Negara. Muncul cara pandang baru yaitu governance
dan good governance. Perspektif yang berpusat pada government bergeser
ke perspektif governance. Mulai masuknya lembaga donor seperti IMF
dan World Bank ke dunia berkembang.
Konsep governance melibatkan tidak sekedar pemerintah dan
negara, tapi juga peran berbagai actor diluar pemerintah dan negara,
sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas. Governance
adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang
melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam
suatu kegiatan kolektif. Ganie-Rochman (Widodo, 2001, 18). Governance
adalah praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh
pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan
pembangunan ekonomi pada khususnya.
Pinto dalam Nisjar. (1997:119) Governance sebagai proses
penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan
public goods dan services. Lebih lanjut ditegaskan bahwa apabila dilihat dari
segi aspek fungsional, governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah
telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan
yang telah digariskan atau sebaliknya.

3. Government ke Governance
Perbedaan paling pokok antara konsep government dan governance
terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan kekuasaan (otoritas)
politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu

50
Manajemen Sektor Publik

bangsa. Konsep government atau pemerintahan berkonotasi pada


peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai
kekuasaan (otoritas). Sedangkan dalam governance mengandung
makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan
mengelola sumber daya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat
dalam suatu bangsa. Pergeseran paradigma pemerintahan dari
paradigma government ke governance, menggeser lokus dari yang serba
pemerintah ke para pemangku kepentingan (stakeholders) di dalam tata
kelola pemerintahan.

Tabel 4.1 Perbedaan Government dan Governance


Government Governance
Berdasarkan Aktor
Peserta sangat terbatas jumlahnya Jumlah pesertanya yang lebih besar
Umumnya ada lembaga-lembaga Umumnya terdiri dari aktor-aktor
pemerintahan saja (Eksekutif, Yudikatif publik dan aktor private
dan Legislatif)
Berdasarkan Fungsi
Sedikit atau jarangnya konsultasi. Lebih banyak konsultasi
Tidak ada kerjasama dalam pembuatan Adanya kemungkinan kerjasama dalam
/ pelaksanaan kebijakan pembuatan / pelaksanaan kebijakan
Isu kebijakan menjadi luas Isu kebjakan menjadi sempit
Berdasarkan Struktur
Batas-batas yg tertutup Batas-batas yg sangat terbuka
Batas berdasarkan kewilayahan Batas berdasarkan fungsi (fungsional)
(teriotori)
Keanggotaan yang tidak sukarela keanggotaan secara sukarela
Berdasarkan Konvensi Interaksi
Kewenangan yg hirarkis, Konsultansi horizontal, intermobilitas
kepemimpinan yg terkunci.
Interaksi yg saling berlawanan / Konsensus atas nilai-nilai teknokraik
hubungan yg cenderung konflik (hubungan kerjasama)
Kontak-kontak formal Kontak-kontak yg sangat informal
Kerahasian Keterbukaan
Berdasarkan Distribusi dan Kekuasaan
Otonomi yang besar dr negara Otonomi yang rendah dari negara
terhadap masyarakat (steered terhadap masyarakat (organisasi yg
organizing) / dominasi negara. mandiri / dominasi negara yg tersebar)
Tidak ada akomodasi terhadap Kepentingan masyarakatdiakomodir
kepentingan masyarakat oleh Negara oleh negara

51
Manajemen Sektor Publik

Government Governance
Tidak ada keseimbangan / simbiosis Adanya keseimbangan atau simbiosis
antar aktor. antar aktor.
Sumber: Olahan Penulis, 2020

Konsekuensinya, pemerintah bergeser peran lebih fokus ke fungsi


fasilitator dan regulator dari pada sebagai provider dan pelaksana
program dan kegiatan. Karena itu, pemerintahan yang efektif salah
satunya ditunjukkan oleh dikeluarkannya berbagai kebijakan publik
yang inovatif yang mampu mengakselerasi peran para stakeholder lainnya,
yakni sektor privat, para pelaku usaha dan civil society organizaton di
dalam pengelolaan urusan-urusan publik (Mariana, 2013).
Seperti contoh pada tahun 2019, Indeks Demokrasi Indonesia atau
yang lazim dikenal dengan istilah IDI adalah metode pengukuran tingkat
perkembangan demokrasi, yang memberikan gambaran mengenai
naik turunnya kualitas demokrasi di suatu provinsi. Sekaligus secara
bersamaan menjadi instrumen dalam perencanaan pembangunan
politik di Indonesia. IDI sebagai agenda tahunan nasional, tidak hanya
semata mengukur peranan pemerintah dalam membuat kebijakan
pembangunan. Tetapi, peran peradilan, kepolisian hingga partai politik
dan masyarakat pun sebagai institusi publik, juga turut berkontribusi
bagi terciptanya tatanan demokrasi.
Adapun komponen perhitungan dalam IDI dikategorikan menjadi
tiga aspek, yakni kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga
demokrasi. Dari 3 aspek tersebut, secara keseluruhan terdapat 11 variabel
dan 28 indikator yang diukur. Hasil perhitungan IDI diinterpretasikan
dalam bentuk rentangan skala 1-100. Skala ini merupakan skala
normatif di mana 1 adalah terendah dan 100 adalah tertinggi. Artinya,
untuk mengklasifikasikan apakah sebuah daerah dikategorikan baik
demokrasinya, sedang atau juga buruk, itu bisa dilihat dari angka
indeksnya. IDI dengan skala >80 mengindikasikan demokrasi di suatu
daerah kinerjanya baik, lalu rentangan 60-80 yang berarti sedang dan
terakhir angka indeks <60 itu berarti buruk.
Menurut laporan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indeks Demokrasi
Indonesia (IDI) terbaru 2019. DKI Jakarta masih menduduki peringkat
tertinggi sebagai daerah dengan kinerja demokrasi yang baik yakni
88,92, naik beberapa poin dari dua tahun sebelumnya. Lalu diikuti oleh

52
Manajemen Sektor Publik

daerah Kalimantan Utara mencatatkan angka sebesar 83,99. Peringkat


berikut diisi oleh Bali (83,13), lalu diikuti Kepulauan Riau (81,35),
Kalimantan Tengah (81,29). Sementara itu posisi keenam diisi oleh DI
Yogyakarta yang mencatat angka sebesar 81,22, Nusa Tenggara Timur
(80,39), Sulawesi Tengah (80,36). Kemudian daerah dengan kategori
angka indeks demokrasi sedang ditempati oleh dua daerah, yakni Aceh
diposisi kesembilan mencatat angka 79,19 dan Kalimantan Selatan
diposisi kesepuluh dengan catatan IDI sebesar 79,06.

B. Good Governance
Istilah good governance berasal dari Bahasa Inggris, yaitu good dan
governance. Menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN), good memiliki
arti nilai yang menjunjung tinggi keinginan rakyat dan nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai kemandirian,
pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial. Good governance
adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar
yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan
korupsi baik secara politik maupun administratif. Good governance
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Governance pada dasarnya
pertama kali digunakan di dunia usaha atau korporat.
Sementara itu, Hughes dan Ferlie, dkk dalam Osborne dan Gaebler,
(1992) berpendapat bahwa Good Governance memiliki kriteria yang
berkemampuan untuk memacu kompetisi, akuntabilitas, responsip
terhadap perubahan, transparan, berpegang pada aturan hukum,
mendorong adanya partisipasi pengguna jasa, mementingkan kualitas,
efektif dan efisien, mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh
pengguna jasa, dan terbangunnya suatu orientasi pada nilai-nilai. Di
Indonesia, istilah good governance diartikan sebagai konsep pemerintahan
yang bersih, baik, dan berwibawa. Istilah good governance berasal dari
dua kata yang diambil dari Bahasa Inggris, yaitu good dan governance.
Good memiliki arti nilai yang menjunjung tinggi keinginan rakyat,
kemandirian, aspek fungsional, serta pemerintahan yang efektif dan
efisien.

53
Manajemen Sektor Publik

Sementara governance (tata pemerintahan) memiliki arti seluruh


mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok
masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan
hak hukum, memenuhi kewajiban, serta menjembatani perbedaan-
perbedaan di antara mereka. Sarinah dan kawan-kawan dalam bukunya
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2016), mengartikan good
governance sebagai suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara
yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan swasta
untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik secara umum.
Good governance juga bisa diartikan sebagai tindakan atau tingkah
laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan,
mengendalikan, atau memengaruhi masalah publik untuk mewujudkan
nilai-nilai tersebut ke dalam tindakan kehidupan keseharian. Dari
penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa good governance tidak hanya
terbatas pada birokrasi pemerintahan saja, tetapi juga menyangkut
masyarakat sipil yang dipresentasikan oleh organisasi non-pemerintah
(LSM) dan juga menyangkut sektor swasta. Jadi, istilah good governance
tidak hanya ditujukan kepada penyelenggara negara atau pemerintahan,
tetapi juga ditujukan untuk masyarakat dan sektor swasta di luar
birokrasi yang terus menuntut penyelenggaraan good governance pada
negara.
Pada dasarnya, penyelenggaraan good governance sangat tergantung
pada pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Sebab ketiga
komponen tersebut merupakan sebuah sistem yang saling bergantung
satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Ketiga komponen tersebut
harus selalu menjaga kesinergian sehingga konsep good governance bisa
diselenggarakan. Good Governance sendiri sudah diterapkan di Indonesia
sejak era reformasi. Namun seiring pada perkembangannya pelaksanaan
good governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil karena
masih memiliki sejumlah kendala terutama dalam pengelolaan anggaran
dana dan akuntansi yang keduanya merupakan produk penting dari good
governance. Untuk menangani hal tersebut, diperlukan transparansi
informasi yang lebih mendalam terhadap publik, khususnya mengenai
APBN sehingga memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk bisa
ikut berpartisipasi dalam membuat kebijakan dan pengawasan terhadap
APBN dan BUMN. Menerapkan good governance di Indonesia dapat

54
Manajemen Sektor Publik

memberikan dampak positif bukan hanya untuk sistem pemerintah


namun juga untuk badan usaha non pemerintah lainnya. Hal inilah yang
nantinya menciptakan good corporate governance.

1. Prinsip-Prinsip Good Governance


Demi mendukung pada penguatan manajemen sektor publik,
diperlukan beberapa prinsip dalam Good Govenance. Adapun prinsip-
prinsip good governance adalah:
a. Partisipasi masyarakat, yaitu semua warga masyarakat
mempunyai suara dalam pengambilan keputusan baik secara
langsung maupun tidak.
b. Tegaknya supremasi hukum, yaitu kerangka hukum harus adil
dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya
hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
c. Transparansi, yaitu dibangun atas dasar arus informasi yang
bebas. Seluruh proses pemerintahan lembaga dan informasi
dapat diakses oleh pihak yang berkepentingan, dan informasi
yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti.
d. Peduli pada stakehoder yaitu lembaga-lembaga dan seluruh
proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak
yang berkepentingan.
e. Berorientasi pada konsensus yaitu tata pemerintah yang
baik dapat menjembatani kepentingan yang berbeda demi
terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dan yang terbaik
bagi kelompok masyarakat.
Konsep good governance telah terselenggara apabila memenuhi
prinsip-prinsip tertentu. Dalam buku Kewarganegaraan & Masyarakat
Madani (2019) karya Heri Herdiawanto dan kawan-kawan, dijelaskan
prinsip-prinsip penyelenggarakan good governance, yaitu:
a. Partisipasi masyarakat adalah semua masyarakat memiliki
hak suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
b. Penegakan hukum yang bersifat adil dan berlaku pada semua
masyarakat tanpa pandang bulu. Termasuk penegakan hukum
yang menyangkut hak asasi manusia.

55
Manajemen Sektor Publik

c. Transparansi adalah seluruh informasi tentang proses


pemerintahan harus memadai dan jujur sehingga dapat
dimengerti, diakses, dan dipantau oleh seluruh masyarakat.
d. Daya tangkap adalah lembaga-lembaga dan seluruh proses
pemerintahan harus berusaha melayano semua pihak yang
berkepentingan tanpa diskriminasi.
e. Berorientasi konsensus adalah menjembatani kepentingan-
kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus
yang menyeluruh tentang apa yang terbaik bagi masyarakat
dan tentang kebijakan-kebijakan serta prosedur-prosedur.
f. Berkeadilan adalah semua masyarakat memiliki kesempatan
yang sama untuk memperbaiki dan mempertahankan
kesejahteraan mereka.
g. Efektivitas dan efisiensi adalah seluruh proses lembaga dan
pemerintahan harus mampu menggunakan sumber daya
yang ada seoptimal mungkin sehingga tercipta efektivitas dan
efisiensi kerja.
h. Akuntabilitas adalah seluruh pengambil keputusan harus
bertanggungjawab kepada masyarakat dan lembaga-lembaga
yang berkepentingan.
i. Bervisi strategis adalah para pemimpin harus memiliki
prospektif luas dan jauh ke depan tentang tata pemerintahan
dan pembangunan manusia. Selain itu, para pemimpin juga
harus memiliki kepekaan tentang apa yang dibutuhkan untuk
mewujudkan perkembangan tersebut serta harus mempunyai
pemahaman atas kesejahteraan, budaya, dan sosial yang
menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
j. Saling berkaitan adalah seluruh prinsip good governance yang
telah disebutkan di atas saling memperkuat dan saling terkait
serta tidak dapat berdiri sendiri.
2. Ciri dan Karakteristik Good Governance
Good Governance dapat diketahui dengan melihat beberapa ciri dan
karakterisitiknya Good Governance dapat diuraiikan sebagai berikut:
a. Terbentuknya kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat
b. Adanya keharusan untuk selalu menyediakan informasi secara
56
Manajemen Sektor Publik

transparan dan memiliki daya tanggap yang tinggi dalam


melayani maupun menerima masukan dan keluhan masyarakat
ataupun pihak penting lainnya.
c. Sumber daya dimanfaatkan secara efektif dan efisien sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
d. Pemerintah yang menerapkan good governance umumnya
memiliki visi yang strategis dan sudut pandang luas terhadap
tata pemerintahan yang baik.
e. Memberikan perhatian terhadap kepentingan masyarakat
yang dinilai paling lemah dan tidak berkecukupan dalam
mengambil keputusan yang berkaitan dengan alokasi sumber
daya pembangunan.

3. Manfaat Good Governance


Dengan adanya penerapan good governance untuk memaksimalkan
untuk mengelola sumber daya manusia yang ada agar bisa menghasilkan
governance yang baik adanya manfaat. Manfaat yang diperoleh dari
penerapan Good Governance sebagai upaya :
a. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akan lebih dipercaya
dan ditrapkan karena tercapainya kesimbungan dalam
pengelolaan dan kebijakan yang dibuat berdasarkan prinsip
transparansi, independence, kesetaraan, akuntabilitas, dan
konsep responsibilitas.
b. Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta
mengambil kebijakan publik.
c. Meningkatnya moral dan rasa tanggung jawab sosial di antara
masyarakat yang kedepannya akan memberikan dampak yang
baik.
d. Timbulnya rasa kepercayaan di antara pemerinta dengan
warga negara maupun masyarakat global. Hal ini tentu akan
memberikan pengaruh terhadap sistem investasi di dunia
internasional yang lebih sehat.
e. Terciptanya sistem pemerintahan yang lebih kondusif, karena
tata pelaksanaanya bersih, tranparan, efisien, efektif, dan
akuntabel.

57
Manajemen Sektor Publik

f. Sistem keuangan yang lebih baik, kuat, dan transparan,


termasuk terkait audit internal dan eksternal.
g. Kebijakan sosial, ekonomi, politik, dan kebijakan lain sebagainya
dapat dijalankan lebih maksimal karena berorientasi dengan
prinsip-prinsip yang ada.
h. Administrasi yang lebih kompeten.
i. Terhapusnya atau hilangnya peraturan dan tindakan yang
sekiranya bersifat diskriminatif terhadap seseorang warga
Negara, golongan masyarakat, dan kelompok tertentu.
j. Kebijakan hukum yang lebih terjamin konsistensi dan
kepastiannya baik pada tingkat daerah maupun pusat.

C. Dari Good Governance Menuju Democratic Governance


Perumusan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah pada era
reformasi saat ini, sangat berbeda dengan proses perumusan kebijakan
di era orde baru. Saat ini masyarakat menuntut adanya perubahan
dalam sistem perumusan kebijakan. Perumusan suatu kebijakan publik
yang baik harus didasarkan kepada tata pemerintahan yang baik dan
demokratis atau disebut Democratic Governance. Makna demokratis
disini adalah demokrasi yang berkualitas, yang dapat dilihat dari, (a)
hasil (quality of result), yang dirasakan manfaatnya secara langsung oleh
masyarakat; (b) Isi (quality of contents), diarahkan bagi kepentingan
masyarakat; (c) prosedur (procedural quality), dimana proses
perumusannya melibatkan partisipasi masyarakat. (Eko Prasojo, 2010).
Terdapat dua prinsip dasar dari norma demokrasi dimaksud yaitu: (a)
Berjalannya kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik dan pembuat
kebijakan; (b) Kesetaraan antar masyarakat dalam relasinya dengan
proses perumusan kebijakan publik.
Pemahaman ini mencerminkan dinamika pada tata pemerintahan,
yang membawa perubahan paradigma pemerintahan kepada paradigma
Democratic Governance. Democratic Governance adalah sebuah mekanisme,
proses, hubungan dan kebiasaan yang kompleks, dimana pencapaian
tujuan pemerintahan dilakukan melalui sistem dan proses perumusan
kebijakan yang partisipatif, transparan, akuntabel, penegakan aturan
hukum. Democratic governance diidentifikasi sebagai, “sebuah praktek
kehidupan demokrasi modern yang diselenggarakan secara profesional
58
Manajemen Sektor Publik

dan fokus kepada governance.” Artinya perwujudan democratic


governance tidak bisa dipisahkan dengan penerapan good governance.

Gambar 4.1 Proses Terjadinya Domocratic Governance di Indonesia

Sumber: Diolah Penulis, 2020


Penerapan democratic governance dalam proses perumusan
kebijakan, adalah penyelenggaraan pemerintahan yang menerapkan
norma demokrasi yang sekaligus merupakan prinsip dasar dari good
governance. (James G. March, Johan P. Olsen,1995). Dalam governance
proses perumusan kebijakan dilakukan secara kolektif, maksudnya oleh
aktor yang bersifat plural (pemerintah, swasta dan civil society) tidak
ada sistem pengawasan yang bersifat formal, karena posisi aktor sejajar.
Ada sejumlah masalah dasar yang terjadi dalam proses perumusan
kebijakan publik. Pertama, Kebijakan yang dihasilkan seringkali
tidak implementatif dan menjadi tidak efektif bagi solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi masyarakat. Kedua, Faktanya penerapan
democratic governance dalam proses perumusan kebijakan belum
optimal. Proses perumusan bersifat Elitis, sehingga tidak menyentuh
kebutuhan akar rumput. Kurang adanya komunikasi yang baik antara
Pemerintah dan DPR, terkait dengan kesamaan pandangan mengenai
substansi kebijakan. Ketidaksamaan pandangan atas konten dan tujuan
suatu kebijakan itu dibuat, berpengaruh terhadap proses perumusan
kebijakan. Disamping itu berbagai data dan informasi terkait substansi
kebijakan sulit diperoleh, tidak akurat dan berbeda-beda.
59
Manajemen Sektor Publik

Ketiga, Tingkat penerapan faktor akuntabilitas sebagai salah satu


prasyarat dalam democratic governance masih sulit diimplementasikan.
Berpikir sektoral, merupakan salah satu kelemahan dalam perumusan
kebijakan publik. Mekanisme dan prosedur, tujuan, target yang telah
ditetapkan seringkali tidak dimaknai sebagai pedoman yang harus
dipatuhi, demi menghasilkan kebijakan yang disepakati. Jangka waktu
bagi perumusan kebijakan telah ditetapkan, namun tidak secara
konsisten dilaksanakan. Keempat, Isu yang diidentifikasi seringkali
tidak didukung dengan reasoning yang memadai, sehingga manfaatnya
bagi kehidupan masyarakat tidak tampak jelas. Tulisan ini secara
khusus akan membahas berbagai persoalan democratic governance
dalam perumusan kebijakan pada level negara. Persoalan democratic
governance pada ranah politik dan ranah ekonomi hanya akan dibahas
secara singkat untuk menjelaskan keterkaitannya dengan persoalan
democratic governance dalam perumusan kebijakan.
Suatu kebijakan publik dibuat bukan untuk kepentingan politis,
seperti untuk mempertahankan status quo pembuat kebijakan, tetapi
ditujukan bagi peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat. Dalam perumusan kebijakan yang perlu ditekankan
adalah pentingnya peran Institusi pemerintah, yang demokratis dan
berkualitas bagi penerapan democratic governance. Proses perumusan
yang dilakukan melalui proses dan sistem democratic governance akan
lebih menghasilkan manfaat, karena akan membantu memastikan
pemerintahan yang responsif dan akuntabel terhadap rakyat.
Pemerintah menyediakan mekanisme yang menciptakan partisipasi
dan akuntabilitas. Dalam proses dan sistemnya, memungkinkan konten
kebijakan tersebut mengakomodasi kepentingan yang berbeda-beda
dengan pelibatan masyarakat, untuk mendapatkan opsi kebijakan yang
disepakati.
Terdapat beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan, bagi
penerapan democratic governance yaitu, koordinasi antar lembaga-
lembaga penyelenggara pemerintahan dan keterlibatan seluruh stake
holders dalam proses perumusan kebijakan publik. Penyelenggaraan
democratic governance menuntut perumusan kebijakan dilaksanakan
secara sinergi diantara lembaga pemerintah yang memiliki tingkat
kesejajaran, namun saling berkoordinasi, memiliki independensi, dapat

60
Manajemen Sektor Publik

saling mengawasi berdasarkan prinsip chekcs and balances. Kuncinya


adalah adanya difusi kekuasaan diantara badan-badan. Kekuasaan tidak
menjadi monopoli pusat, tetapi menyebar kepada berbagai sumber yang
beragam, sehingga kekuasaan dilaksanakan secara kolektif.
Dari Faktor Terciptanya Good Governance Sejarah mencatat, pada
kurun waktu sebelum era reformasi, proses perumusan kebijakan pada
konteks penetapan konten kebijakan dan manajemen pemerintahan
bersifat sentralistik, elitis, otoriter, dan relatif tertutup terhadap akses
publik. Dalam kondisi demikian, sistem pertanggungjawaban menjadi
semu hanya untuk kalangan terbatas dan bersifat formalistik. Sistem
akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik tidak berkembang.
Sejak era reformasi tahun 1998, tuntutan terhadap tata pemerintahan
melalui perumusan kebijakan publik harus dilakukan dengan
menggunakan pendekatan transparansi, akuntabilitas, responsif, adil
serta membuka akses publik sebagai perwujudan demokrasi.
Setidaknya terdapat tiga tuntutan reformasi terhadap aspek
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu; (i) demokratisasi,
(ii) desentralisasi, dan (iii) pembentukan pemerintahan yang bersih.
Untuk itu diperlukan paradigma baru dimana setiap stakeholders dapat
melakukan aktifitas, berinteraksi, dan berpartisipasi dalam proses
perumusan kebijakan terutama yang terkait langsung dengan publik
sebagai stakeholders. Mengapa hal ini penting? Karena para perumus
kebijakan seringkali tidak “well inform” tentang berbagai persoalan yang
terkait dengan kebijakan yang akan dirumuskan. Untuk itu penting
bentuk-bentuk partisipasi masyarakat, kelompok penting masyarakat
dan tokoh masyarakat lainnya, khususnya yang lebih mengetahui dan
dekat dengan kebutuhan masyarakat, sehingga kebijakan menjadi tepat,
efektif dan efisien.
Perubahan sistem, tuntutan pada berbagai tatanan pemerintahan,
memerlukan perubahan mind set dan culture set dari para perumus
kebijakan. Manajemen pemerintahan harus berubah dengan
menerapkan prinsip-prinsip democratic governance yang berjalan secara
dinamis. Kebijakan publik yang ditetapkan harus dapat menjawab
seluruh tantangan yang ada dan perubahan lingkungan. Kualitas
kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
mempengaruhi dalam proses perumusan kebijakan itu sendiri. Faktor-

61
Manajemen Sektor Publik

faktor tersebut dapat diklasifikasikan kedalam lima faktor utama, yaitu;


faktor budaya, faktor organisasi dan manajemen, faktor individu, faktor
ekonomi dan faktor politik.

1. Faktor Budaya
Perumusan kebijakan dilakukan melalui sebuah proses. Pada
prosesnya melibatkan berbagai faktor khususnya faktor budaya. Pada
konteks partisipasi, sebagian masyarakat masih memiliki pemikiran
sederhana “budaya nerimo” dan tidak merasa perlu ikut-ikutan dalam
urusan Pemerintah. Paradigma ini perlu diubah. Karena partisipasi
masyarakat dalam perumusan kebijakan publik amat penting. Dalam
democratic governance Pemerintah memiliki kewajiban membangun
masyarakat, menguatkan masyarakat agar mampu berkontribusi dalam
perumusan kebijakan publik. Jika tidak, maka prinsip partisipatif
seringkali dimanfaatkan untuk melegalisasi sebuah mekanisme yang
mengakomodasi kepentingan tertentu. Untuk melahirkan sebuah
kebijakan publik dalam proses perumusannya kerap diwarnai dengan
berbagai bentuk “ transaksional”. Budaya terimakasih menjadi alasan
bagi pemberi hadiah yang saat ini dikategorikan sebagai gratifikasi.
Bentuk penyimpangan yang dianggap biasa tersebut diidentifikasi masih
terus berjalan hingga saat ini.
Budaya “ewuh pekewuh” ternyata juga masih nyata ter-refleksikan
pada sikap dan pandangan aktor perumus kebijakan. Dengan dalih
membantu “kerabat” atau kepentingan lingkungan terdekat. Sikap
ini seringkali menciptakan ruang “koruptif dan kongkalikong”.
Disamping itu masyarakat tertentu kerapkali memberikan apresiasi
dan bentuk kehormatan kepada “orang kuat” secara finansial. Tanpa
merasa berkewajiban untuk ikut memantau darimana sumber kekayaan
tersebut, (masih tabu). Budaya inilah yang seharusnya di-reduksi
melalui berbagai bentuk pendidikan politik rakyat, kepedulian, berbagai
peraturan, mekanisme maupun ketegasan dalam penegakannya.

2. Faktor Organisasi dan Manajemen


Melihat Bentuk pertama kebijakan publik adalah peraturan
perundang-undangan yang terkodifikasi secara legal formal. Maka
setiap peraturan mulai dari tingkat pusat atau nasional sampai tingkat
pemerintahan terkecil yaitu kelurahan merupakan kebijakan publik.
62
Manajemen Sektor Publik

Undang-Undang (UU) nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Per- UU-an sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 12 tahun
2011, pada Pasal 7 UU tersebut menyatakan jenis dan hierarki peraturan
perundangan yaitu Undang-undang Dasar RI 1945, Undang-undang/
Peraturan Pemerintah pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Daerah.
Proses perumusan pada tingkat kebijakan tertentu, penetapannya
dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dengan DPR.
Pemerintah diwakili oleh Menteri terkait, sedangkan DPR dilaksanakan
oleh Komisi-komisi, gabungan komisi atau Pansus. Mekanisme
perumusan diatur melalui UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MD-3
dan peraturan Tata Tertib DPR, yang saat ini dilakukan melalui 2
(dua) tahapan yaitu; persiapan dan tahapan di internal Pemerintah
sampai dengan disampaikannya amanat presiden kepada DPR sebagai
pengantar RUU tersebut,dan sebaliknya jika RUU tersebut dari DPR dan
tahap kedua adalah pembahasan yang dilakukan DPR hingga disahkan
menjadi UU melalui tahapan sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPR RI.
Secara khusus bagi proses perumusan kebijakan di DPR telah
ditetapkan target output dan target waktu bagi penyelesaiannya.
Bagi Pemerintah dan DPR, target kebijakan (UU) ditetapkan melalui
“Prolegnas”. Prolegnas merupakan instrument perencanaan program
pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis
yang memuat daftar RUU yang akan dibahas DPR bersama Pemerintah
dalam kurun waktu 5(lima) tahunan dan 1 (satu) tahunan prolegnas
prioritas. Pada proses perumusannya diatur dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) kali masa sidang, dapat diperpanjang dengan permintaan,
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) kali masa sidang. Namun untuk
mencapai target output maupun waktu tersebut tidak mudah.
Faktanya target RUU yang telah ditetapkan oleh DPR dan
Pemerintah belum pernah tercapai. Dari sejumlah 257 RUU dalam
prolegnas 2010-2014, jumlah capaian sampai dengan saat ini adalah
75 UU. Dan dari 75 UU tersebut terdapat pasal-pasal yang yudicial
review oleh MK pada tahun 2013 terdapat 150 perkara. Sementara itu
setidaknya 19 RUU dalam proses perumusannya saat ini sudah melebihi
4 (empat kali) masa sidang untuk perpanjangan waktu. Itulah sebabnya

63
Manajemen Sektor Publik

penerapan Democratic governance, sangat dituntut dan ditekankan dalam


penyelenggaraan pemerintahan melalui perumusan kebijakan. Karena
dalam democratic governance terdapat 4 faktor kunci yang penting
untuk diimplementasikan yaitu, partisipasi, transparansi, aturan
hukum, dan akuntabilitas, Prinsip ini seharusnya secara konsisten
menjadi dasar bagi perumusan kebijakan. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan pelayanan publik bagi kesejahteraan masyarakat. Perlu
dikembangkan hubungan antara masyarakat dan perumus kebijakan.
Hal ini dimaksudkan untuk membangun transparansi dan nilai-
nilai dasar kinerja pada institusi perumus kebijakan. Akuntabilitas
merupakan bentuk pertanggungjawaban yang jelas dan hasil yang
measurable bagi perumus kebijakan, sedangkan transparansi adalah
terbukanya proses formulasi kebijakan publik bagi partisipasi
masyarakat. Oleh Bryan dan White, partisipasi hanya dipandang
sebagai sesuatu yang dilakukan secara politis semata, sebagai pe-
mungutan suara (pemilu), keanggotaan dalam partai, kegiatan dalam
perkumpulan sukarela dan gerakan protes serta kegiatan sejenisnya.
Sejalan dengan itu, Joan Nelson mengatakan, partisipasi politis
ini dapat dibagi dalam dua arena, yakni partisipasi horisontal dan
partisipasi vertikal. Partisipasi horisontal, melibatkan masyarakat
secara kolektif untuk mempengaruhi perumusan kebijakan.
Sedangkan partisipasi vertikal terjadi ketika anggota masyarakat
mengembangkan hubungan tertentu dengan kelompok elit dan pejabat
penentu kebijakan, yang mendatangkan manfaat bagi kepentingan
kedua belah pihak. Kemudian Kebijakan publik sebagai serangkaian
tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam
suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada.
Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan
potensi sekaligus hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan
tertentu (Carl I.Friedrick,1963,79).
Sementara kebijakan publik yang terbaik adalah yang dapat
mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya
saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan kedalam
pola kebergantungan (Michael E. Porter, 1998). Karena keunggulan
kompetitif dari setiap negara ditentukan oleh seberapa mampu negara
tersebut menciptakan lingkungan yang menumbuhkan daya saing dari

64
Manajemen Sektor Publik

setiap aktor di dalamnya dalam upaya pencapaian tujuan nasional.


Dalam hal ini Pemerintah berperan sebagai steering rather than
rowing, yang dapat dimaknai tugas penting pemerintah lebih bersifat
mengarahkan salahsatunya melalui perumusan kebijakan publik
bukan rowing atau mengayuh, kegitan mengayuh dapat dilakukan oleh
swasta atau masyarakat (David Osborne dan Ted Gaebler, 2002.)
Dari seluruh pandangan tersebut, peran dan posisi pemerintah
sangat besar. Sementara itu dalam perumusan kebijakan publik,
konsistensi untuk menyelesaikan persoalan publik merupakan sesuatu
yang krusial yang harus menjadi perhatian. Untuk itu perlu dilakukan
kegiatan yang ditujukan untuk Melihat sejauhmana sisi kebijakan
publik mampu memuat nilai-nilai dan kepentingan publik khususnya
kelompok sasaran, Mengkritisi perumusan kebijakan publik yang
menyangkut, apakah kebijakan tersebut ditetapkan secara demokratis,
transparan, dan akuntabel dan bagaimana peran para aktor dan
stakeholder dalam perumusan kebijakan, Mengidentifikasi apa dampak
dari suatu kebijakan publik bagi individu, komunitas, dan masyarakat,
serta pemerintah. (Riant Nugroho, 2007).
Karena lingkup kegiatan perumusan kebijakan yang luas dan
kompleks, diperlukan system yang menuntun dan sekaligus mendukung
proses perumusannya, perlu ada mekanisme monitoring dan evaluasi.
Evaluasi lazimnya dimaksudkan untuk menilai sejauh mana efektivitas
suatu kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada publik
sebagai konstituen. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan
antara “harapan” dan “ kenyataan yang menjadi salah satu bentuk
pertimbangan bagi perumusan kebijakan berikutnya.
Menelaah perumusan kebijakan pada proses dan penetapan
kontennya dilakukan melalui tahapan baik proses pada ranah politik
dan teknokratik. Sehingga baik proses dan kontennya merupakan hasil
sharing kedua institusi, dan juga institusi – institusi terkait lainnya.
Pada tahapan dimanapun proses dan konten kebijakan sangat penting
untuk memiliki serangkaian nilai-nilai kebijakan yang sama. Nilai-
nilai dimaksud antara lain: nation-building, demokratisasi, partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, rule of law, yang keseluruhannya ditujukan
kepada kesejahteraan masyarakat.

65
Manajemen Sektor Publik

3. Faktor Individu
Proses perumusan kebijakan publik merupakan serangkaian aktifitas
intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang bersifat politis.
Aktifitas politis tersebut divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang
saling bergantung, yang diatur menurut urutan waktu yaitu nampak
dalam serangkaian kegiatan yang mencakup identifikasi permasalahan,
formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.
Pada setiap tahapannya mencerminkan aktivitas individu perumus
kebijakan yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu.
Sebagai perumus kebijakan, anggota DPR memiliki beban moril untuk
memperjuangkan kepentingan politik partainya dan kebutuhan daerah
pemilihannya. Kompleksitas permasalahan yang dijumpai dalam proses
perumusan kebijakan merupakan dilema yang sangat mempengaruhi
kualitas dan sekaligus pencapaian target kebijakan yang dihasilkan.
Dinamika posisi dan relasi antara para perumus kebijakan sebagai
individu maupun institusi DPR dan Pemerintah sebagai pemilik
kewenangan untuk merumuskan kebijakan publik menentukan konten
kebijakan yang ditetapkan. Faktor individu yang membawa kepentingan
masing-masing institusi maupun individu memiliki kecenderungan untuk
diakomodasi. Jika tidak maka perumusan kebijakan akan mengalami
“dead lock” Kondisi ini seringkali menimbulkan kesepakatan yang
“saling memahami” untuk menetapkan sebuah kebijakan yang menjadi
tidak efektif.Faktor pentingnya adalah bagaimana mempertemukan
kepentingan para aktor perumus kebijakan tersebut, baik pada sisi
eksekutif maupun legislatif. Maka harus ada perspektif yang sama
terhadap permasalahan, tujuan kebijakan dan komitmen politik diantara
para aktor perumus kebijakan. Perlu kontrol masyarakat terhadap proses
perumusan kebijakan sebagai penerapan prinsip-prinsip Democratic
Governance. Sejauh ini peran masyarakat lebih banyak diwakili oleh elit
politik dan massa.

4. Faktor Ekonomi dan Faktor Politik


Meski tidak secara tertulis, pada dasarnya dalam proses perumusan
kebijakan publik terdapat berbagai kepentingan ekonomi maupun
politik. Kedua faktor ini seringkali menjadi pertimbangan utama dan
sangat mempengaruhi proses dan konten kebijakan publik. Misi politik

66
Manajemen Sektor Publik

dari para perumus kebijakan tidak dapat dihindari. Pemahaman yang


mengenai sebuah kebijakan publik juga mempengaruhi sikap para
perumus kebijakan. Aktor perumus kebijakan sebagai bagian dari
sebuah system, memiliki self interest. DPR yang memiliki kekuasaan
membentuk kebijakan (UU) sesuai konstitusi, sekaligus memiliki fungsi
representasi, sehingga harus menomor-satukan kepentingan politik
rakyat di Dapilnya. Sedangkan Pemerintah seringkali menggunakan
azaz rasionalitas dengan melakukan kalkulasi atas kemampuan
keuangan negara sebagai konsekuensi ditetapkannya suatu kebijakan.
Perdebatan tersebut tercermin pada pandangan-pandangan yang
disampaikan dalam proses perumusan kebijakan publik. Pemerintah
yang umumnya memiliki data dan informasi yang cukup, sementara
DPR seringkali kesulitan mendapatkan data dan informasi sejenis
yang akurat. Sayangnya seluruh data dan informasi yang ada belum
dikomunikasikan dengan baik akurasinya maupun valuenya bagi
kebijakan yang akan dirumuskan bersama.
Pada proses maupun kontennya dalam perumusan kebijakan publik
menghadapi kesulitan dengan menerapkan democratic goverance, antara
lain: (1) sulitnya memperoleh informasi yang cukup, bukti-bukti yang
ada sulit disimpulkan; (2) adanya berbagai kepentingan yang berbeda-
beda antar perumus kebijakan yang mempengaruhi pilihan tindakan
yang berbeda-beda pula; (3) dampak kebijakan yang sulit dikenali; dan
(4) proses perumusan kebijakan tidak dipahami dengan benar oleh para
perumus kebijakan (Caiden, 1971). Sulitnya mendapatkan informasi
seringkali digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan
kebijakan menjadi ajang “bargaining” dengan para perumus kebijakan.
Hal inilah yang seharusnya dihindari.
Pemahaman terhadap modal sosial dan ekonomi yang diperlukan
oleh aktor perumus kebijakan, menjadi kesempatan emas bagi para
rent seeking untuk memanfaatkannya bagi kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Maka putaran kepentingan yang dibawa tidak terbatas
pada kepentingan politik untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi
juga pada faktor ekonomi. Hubungan yang bersifat transaksional
ini mempengaruhi konten kebijakan yang berpihak pada kelompok
tertentu.

67
Manajemen Sektor Publik

Kebijakan publik yang dikembangkan oleh lembaga dan pejabat


pemerintah semestinya memperhatikan dampak dan implikasinya,
yaitu: (Anderson, 1979:7).
a. Selalu mempunyai tujuan atau merupakan tindakan yang
berorientasi kepada tujuan dan berisi tindakan atau pola
tindakan pejabat pemerintah.
b. Merupakan sesuatu yang dilakukan atau menyatakan benar
akan dilakukan oleh pemerintah.
c. Bersifat positif, yakni bentuk tindakan pemerintah untuk
mengatasi suatu masalah.
d. Didasarkan pada aturan hukum dan kewenangan yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan publik dalam bentuknya yang positif, dibuat berdasarkan
hukum dan kewenangan tertentu. Maka kebijakan publik memiliki daya
ikat yang kuat terhadap masyarakat secara keseluruhan (comunity as a
whole), memiliki daya paksa tertentu yang tidak dimiliki kebijakan yang
dibuat oleh organisasi-organisasi swasta (Wahab, 1997:5-7). Kebijakan
publik sebagai keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan
pengulangan (repetitiveness) tingkah laku dari para perumus kebijakan
dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut (Heinz, Eulau dan
Kenneth, Prewit 1997:44). Untuk itu komitmen para perumus kebijakan
harus diarahkan pada implementasi prinsip-prinsip yang terkandung
dalam sistem democratic governance.
Cakupan pembahasan democratic governance meliputi: (a) cara
pandang baru, baik terhadap pengelolaan tata pemerintahan maupun
terhadap relasi antara negara, masyarakat dan pasar; (b) dinamika
empiris dan wacana akademis pengelolaan negara ketika berhadapan
dengan masyarakat dan pasar dalam konteks globalisasi, demokrasi
dan desentralisasi; (c) isu-isu governance reform yang berkaitan dengan
konsep good governance dan reinventing government (Grindle, 1977,
hal.89-90). Untuk itu DPR dan Pemerintah sebagai Institusi yang
memiliki kewenangan merumuskan kebijakan publik seharusnya secara
konsisten bersinergi, memperhatikan langkah-langkah perumusan
kebijakan publik sebagai berikut:

68
Manajemen Sektor Publik

» Problem identification, yaitu kegiatan melakukan identifikasi


masalah dengan melihat faktor-faktor internal dan eksternal
penyebab terjadinya masalah, untuk menemukan problema riil
yang sejelas-jelasnya, untuk dicarikan solusi melalui kebijakan
publik. Tahapan ini penting, karena policy problem bukan
sesuatu yang “given” dan selalu ada, tetapi harus digali untuk
ditentukan identitas masalahnya secara benar. Untuk itu perlu
melibatkan stake holders terkait, membuka akses publik untuk
menjaring masukan dan sosialisasi mengenai persoalan, tujuan
dan substansi kebijakan.
» Agenda setting, yaitu membuat masalah internal menjadi
masalah publik, diawali dengan mendefinisikan masalah secara
benar dan tepat agar bisa menjadi isu kebijakan dan menjadi
kebijakan publik secara formal. DPR mencermati apakah solusi
terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi harus melalui
kebijakan publik tertentu. Pada tahapan ini dipantau kondisi
dan situasi lingkungan yang menghasilkan catatan kebutuhan
riil dan ketidakpuasan rakyat atas permasalahan tersebut.
Pemerintah dan DPR memperhatikan dampak dan manfaat
yang lebih besar bagi pembangunan masyarakat, bangsa dan
negara.
» Policy problem formulation, adalah DPR dan pemerintah
melakukan upaya untuk menemukan permasalahan inti yang
dihadapi. Prinsipnya memberikan pilihan teknis berbagai
masalah yang paling mendesak, memberikan gambaran proses
identifikasi kebutuhan, pengembangan alternatif kebijakan,
makna dan prosedur dalam pilihan kebijakan yang paling tepat,
dan disepakati bersama. Dilakukan langkah uji publik terhadap
substansi kebijakan sebelum ditetapkan.
» Policy design, Penyusunan design kebijakan adalah kegiatan
yang disepakati bersama antara DPR dan Pemerintah untuk
menjadi solusi bagi problem yang dihadapi. Membuat desain
kebijakan merupakan kegiatan yang dilakukan bersama untuk
menyusun model kebijakan dan menetapkan rekomendasi
kebijakan yang implementatif, berdasarkan hasil kegiatan pada
tahap sebelumnya.

69
Manajemen Sektor Publik

Betapa pun kualitas kebijakan yang dihasilkan dipengaruhi


oleh profesionalisme perumus kebijakan. Substansi dari sebuah
kebijakan yang baik akan berperan menentukan hasil yang baik dalam
pelaksanaannya. Bahkan dikatakan kontribusi konsep mencapai 60%
dari keberhasilan, khususnya pada masa kini dimana data dan informasi
tentang masa depan sudah dengan mudah dapat diakses. Ini berarti
bahwa jika telah memiliki konsep yang baik, maka 60% keberhasilan
dapat diharapkan. Akan tetapi yang 60% tersebut akan hilang jika
yang 40% implementasinya tidak secara konsisten mendasarkan pada
konsep. Implementasi kebijakan publik dari perspektif produknya
mengandung konsepsi pengaturan pemerintah dengan tujuan
mendekatkan pembangunan pada kebutuhan rakyat dan memudahkan
tercapainya kesejahteraan rakyat. Suatu kerangka kebijakan publik
yang baik akan ditentukan oleh beberapa variabel sebagai berikut:
a. Tujuan yang akan dicapai, mencakup kompleksitas tujuan yang
akan dicapai,
b. Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam
pembuatan kebijakan,
c. Sumber daya yang mendukung kebijakan ( financial, material,
dan infrastruktur lainnya)
d. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan (
tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman
kerja, dan integritas moralnya).
e. Lingkungan yang mencakup aspek lingkungan sosial, ekonomi,
politik, dan sebagainya di tempat kebijakan tersebut akan
diimplementasikan.
f. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan melalui
implementasi yang efektif dan efisien.
Oleh karena itu untuk menjamin kemanfaatan suatu kebijakan
publik, perlu dukungan pihak-2 terkait dalam setiap tahapannya.
Frederick S. Lane menjelaskan tentang sistem kebijakan nasional
Amerika Serikat. Terdapat 8 (delapan) pihak yang terlibat dalam
proses formulasi kebijakan publik yang disebut ”policy making octagon”
yaitu bahwa terdapat unsur-unsur sistem kebijakan nasional Amerika
Serikat yang terlibat dalam proses interelasi dan interaksi dalam
formulasi kebijakan publik yaitu; The citizen; The Congress; The President;
70
Manajemen Sektor Publik

US Supreme Court and the court system; political parties; interest groups;
the press; the bureaucracy. Usulan kebijakan publik bisa saja datang dari
infrastruktur politik ataupun suprastruktur politik atau kedua-duanya.
Kedua komponen tersebut secara bersama-sama merumuskan kebijakan
publik.
Pandangan Lane tersebut tidak jauh berbeda dengan sistem
perumusan kebijakan publik di Indonesia. Kebijakan publik bertujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam proses perumusannya
melibatkan masyarakat, partai politik, media massa dan kelompok
kepentingan (interest group) lainnya, sebagai infrastruktur politik.
Suprastruktur politiknya adalah Presiden, DPR, DPD. Seluruh
komponen tersebut bersama-sama saling mengisi dan berkontribusi
sesuai peran masing-masing. Untuk perwujudannya, pemerintah
menggunakan “kekuasaan” yang demokratis yakni, melalui konsensus
di antara para elite yang memiliki peran dalam proses formulasi
kebijakan yang menentukan nasib bangsa dan negara (Agus Pramono
2005, hal.20).
Sedangkan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
formulasi kebijakan yang sah. Sedangkan elit politik mencakup semua
pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik. (Harold D Laswell
dan Kaplan,1950) Untuk itu harus ada kemauan dan komitmen politik
para perumus kebijakan untuk membangun kapasitas masyarakat agar
dapat berpartisipasi memberikan kontribusi positif terhadap proses
maupun konten kebijakan yang akan ditetapkan. Profesionalismen
para perumus kebijakan dapat dilakukan melalui peningkatan supporting
bagi perumusan kebijakan. Perlu dibangun sistem yang memudahkan
masyarakat, kelompok pakar dan ahli, kelompok swasta dan tokoh
masyarakat untuk melakukan uji publik terhadap kebijakan yang akan
ditetapkan.

D. Dynamic Governance
Konsep dynamic governance telah menjadi sangat popular di era
milenial yang sangat cepat mengalami perubahan di berbagai bidang
kehidupan, tidak terkecuali penyelenggaraan pemerintahan sebagai
akibat dari perkembangan yang begitu pesat dari teknologi informasi.
Namun, hal mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintahan tidak

71
Manajemen Sektor Publik

pernah beranjak dari tuntutan prosesnya yang harus efektif dan efisien.
Era milenial dengan ditandai dengan perubahan yang begitu cepat
pada akhirnya mengubah fokus mewujudkan efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya dilihat dari kemampuan
pemerintah untuk merumuskan, melaksanakan dan mengontrol
berbagai kebijakannya semata. Kompleksitas permasalahan yang
dihadapi oleh setiap pemerintahan dari berbagai Negara dewasa ini,
mengindikasikan bahwa good government dan good policies saja tidak
cukup.
Lebih dari itu, tantangan era milenial yang paling penting adalah
“dynamic, cut across many decisions, involve the need for continuous learning,
and rest on effective and rapid implementation (Porter, dalam Neo & Chen,
2007, p. viii). Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah pemerintahan
yang mampu menjawab tantangan itu. Dalam konteks inilah, konsep
dynamic governance menjadi tren saat ini sebagai sebuah jawaban jitu atas
tantangan yang dihadapi oleh pemerintah di berbagai negara. Neo dan
Chen (2007) dalam bukunya yang seminal meyakini bahwa dynamic
governance-lah yang menjadi kunci sukses Pemerintah Singapura saat
ini. Apa yang dimaksud dengan konsep dynamic governance? Mengapa
konsep ini penting? Bagaimana prakteknya yang efektif?.

1. Makna Dynamic Governance


Dinamisme (dynamism) pada hakekatnya merujuk pada kondisi
adanya berbagai idea baru, persepsi baru, perbaikan secara terus-
menerus, respon yang cepat, penyesuaian secara fleksibel dan inovasi-
inovasi yang kreatif (Neo & Chen, 2007, p. 1). Dengan kata lain,
dinamisme atau kondisi yang dinamis itu menggambarkan proses
belajar yang tiada henti, cepat dan efektif, serta perubahan yang tiada
akhir. Ketika kondisi dinamis itu menyangkut lembaga pemerintah
maka kondisi yang dinamis menyangkut proses lembaga yang secara
konstan atau konsisten melakukan perbaikan dan penyesuaian terhadap
lingkungan sosialekonomi dimana masyarakat, swasta dan pemerintah
berinteraksi.
Lembaga pemerintah yang dinamis ini mempengaruhi proses
pembangunan ekonomi yang tengah berjalan dan beragam perilaku
sosial melalui kebijakan-kebijakan, aturan-aturan dan struktur-struktur

72
Manajemen Sektor Publik

yang menciptakan insentif dan sekaligus pembatasanpembatasan untuk


beragam aktivitas yang berlangsung. Pada gilirannya, kemampuan ini
akan dapat menopang dan memperkuat pembangunan dan kesejahteraan
negara (Neo & Chen, 2007, p. 1).

2. Manfaat Dynamic Governance


Saat ini, semua negara di dunia menghadapi lingkungan yang
penuh dengan ketidakpastian dan perubahan yang begitu cepat dan
sulit diprediksi. Kemajuan yang diraih sekarang, tidak menjamin
keberlangsungan hidup di masa depan. Bisa jadi, seperangkat prinsip,
kebijakan dan praktek-praktek yang pada awalnya baik, governance yang
statis dan mempertahankan status quo pada akhirnya akan membawa
keadaan yang stagnan dan tidak berkembang. Tidak ada perencanaan
yang hati-hati akan menjamin relevansi dan efektivitas governance, jika
lembaga-lembaga pemerintahan tidak memiliki kapasitas untuk belajar,
berinovasi dan berubah di tengah lingkungan global yang terus berubah
dan sulit diprediksi (Neo & Chen, 2007, p. 1).
Tantangan lain yang dihadapi dunia saat ini adalah inovasi teknologi
yang berjalan begitu cepat, telah mengakibatkan banyak kebijakan
menjadi cepat usang (obsolescence) dan terbukanya peluang-peluang baru.
Demikian halnya dengan kondisi perubahan di masyarakat itu sendiri,
di mana semakin banyak dari mereka yang mengenyam pendidikan
yang lebih baik (well-educated) dan berinteraksi secara intensif dengan
perkembangan global, yang pada akhirnya menuntut untuk terlibat di
dalam proses perumusan dan implementasi berbagai kebijakan negara.
Tidak kalah penting adalah berbagai permasalahan di masyarakat yang
semakin kompleks, dengan dampaknya yang semakin tidak terduga
serta hubungan kausal yang semakin rumit, membutuhkan penyelesaian
yang multi-perspektif dan koordinasi dari multi-agency (Neo, 2019;
Neo & Chen, 2007, pp. 6–8). Dengan merujuk pengalaman Negara
Singapura, Neo dan Chen meyakini bahwa untuk menghadapi beragam
tantangan tersebut, Pemerintah menjadi elemen sentral.
Pemerintah lewat lembaga-lembaganya memainkan peran dalam
menciptakan kerangka hubungan antara pemerintah, masyarakat dan
dunia bisnis, serta kondisi untuk dapat memfasilitasi atau sebaliknya,
menghambat keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

73
Manajemen Sektor Publik

Meski Pemerintah tidak secara langsung menciptakan persaingan


industri, namun dapat berperan sebagai “a catalyst and a challenger in
shaping the context and institutional structure that stimulates business to gain
competitive advantages.”(Neo & Chen, 2007, pp. 2– 3). Di sinilah perlunya
dinamisme Pemerintah. Pemerintah melalui lembagalembaganya yang
dinamis menurut Neo dan Chen (2007, p. 1), “can enhance the development
and prosperity of a country by constantly improving and adapting the socio-
economic environment in which people, business and government interact.
Pemerintah dapat mempengaruhi dan mengendalikan pembangunan
ekonomi melalui beragam kebijakan, peraturan dan struktur-
struktur kelembagaan yang memberikan insentif atau pembatasan
atas beragam aktivitas yang beejalan. Dengan kata lain, kemampuan
untuk memperbaiki dan beradaptasi secara terusmenerus merupakan
kapasitas mendasar yang perlu dimiliki oleh Pemerintah (baca: lembaga-
lembaga Pemerintah) jika ingin memiliki sustained economic development
and prosperity.

3. Tantangan Dynamic Governance


Jika membahas pada tantangan dalam praktek Dynamic Governance
Apakah mungkin Pemerintah bisa dinamis? Ini adalah pertanyaan yang
sangat mendasar dan pada intinya mengungkap kontradiksi makna
dynamic governance itu sendiri (oxymoron). Gambaran tentang Pemerintah
pada umumnya sangat jauh dari perspektif dinamis. Sebaliknya,
Pemerintah – khususnya birokrasi pemerintah – seringkali dipahami
sebagai entitas yang lambat, birokrasi yang ketinggalam jaman, kaku
dan tidak memiliki perhatian baik terhadap kepentingan dan kebutuhan
individu maupun bisnis (Neo & Chen, 2007, p. 1). Kondisi ini bertolak
belakang sekali dengan makna dinamis sebagaimana diuraikan pada
bagian sebelumnya, yang dicirikan oleh ide-ide baru, persepsi-persepsi
yang kekinian, upaya perbaikan yang terus-menerus, tindakan yang
cepat dan responsif, daya adaptasi yang fleksibel, cepat dan eksekusi
tindakan yang efektif, serta perubahan yang terus-menerus.
Seperti contoh Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa
lembaga pemerintah dapat menjadi dinamis melalui pemanfaatan
landasan nilai dan keyakinan budaya yang bersinergi dengan kapabilitas
organisasi yang kuat untuk menciptakan dynamic governance system yang
memungkinkan perubahan yang terus-menerus. Sinergi kedua aspek
74
Manajemen Sektor Publik

tersebut menjadi hal yang sangat penting. Dijelaskan oleh Neo dan Chen
(2007, p. 3) bahwa Institutional culture can support or hinder, facilitate of
impede dynamism in policy-making and implementation. Institutional culture
involves how a nation perceives its position in the world, how it articulates
its purpose, and how it evolves the values, beliefs and principles to guide its
decisionmaking and policy choices. In addition, strong organizational capabilities
are needed to consider thoroughly major policy issues and take effective action.
Dynamic governance sebagai output dari sinergi kedua elemen
tersebut perwujudannya sangat bergantung pada upaya pemimpin
untuk menata interaksi sosial dan ekonomi untuk mencapai tujuan
nasional yang dicita-citakan. Dengan mengutip pendapat North, Neo
dan Chen (2007, p. 12) mengatakan bahwa pembangunan ekonomi
dan sosial yang berkelanjutan hanya akan terjadi manakala terdapat
“leadership intention, cognition and learning which involve continual
modification of perceptions, belief structures and mental models, particularly
when confronted with global development and technological change. Oleh
karenanya, dua hambatan utama untuk terwujudnya dynamic governance
adalah ktidakmampuan untuk menghadapi perubahan lingkungan dan
untuk melakukan penyesuaian atas kelembagaan yang dibutuhkan agar
tetap efektif.

4. Dynamic Governance menanamkan Budaya, Kapabilitas dan Agen


Perubahan
Institusi pemerintahan berpengaruh terhadap persaingan ekonomi
dan pembangunan sosial pada sebuah negara. Kedua hal tersebut
ditentukan oleh interaksi antara pemerintah dan rakyatnya dalam
memfasilitasi atau menghambat pertumbuhan dan pembangunan.
Hambatan ini dikarenakan fungsi monopoli pemerintah yang tidak
terbiasa dengan kompetisi pasar untuk memproduksi barang dan jasa.
Institusi pemerintah di Singapura melibatkan nilai-nilai kultur dan
keyakinan untuk bekerja bersama-sama dalam membangun system
pemerintahan dinamis yang bertumpu pada perubahan berkelajutan.
Pada negara maju seperti pemerintah Singapura menginstitusi-
onalisasikan budaya untuk mendukung atau menghambat dinamisme
dalam pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan atau untuk
menentukan posisi Singapura di mata dunia. Sehingga pemerintah

75
Manajemen Sektor Publik

dapat membuat kebijakan dan opsi kebijakan agar bertindak secara


efektif. Singapura menganggap bahawa dinamisme itu penting
untuk menciptakan good governance. Dinamisme mempertahankan
perkembangan sosial dan ekonomivdi dunia yang penuh ketidakpastian
dengan perubahan yang sangat cepat. Dinamisme harus didukung
dengan sophisticated society yang berisikan orang-orang terdidik dan lebih
terekspos terhadap globalisasi. Inilah yang membuat Singapura mampu
melakukan transformasi sosial dan ekonomi seiring waktu berjalan.
Sejak tahun 2005, ide Dynamic Governance ini telah menarik
perhatian para akademisi dan peneliti. Mereka menganggap serius hal ini
sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan, dianalisa dan membuahkan
hasil yakni sebuah kerangka berpikir yang mencakup semua isi buku
ini. Neo dan Chen mendiskusikan dan mengkonseptualisasikan tiga
kemampuan suatu pemerintahan. Pertama, think ahead - kemampuan
menganalisa kondisi di masa depan yang penuh dengan ketidakpastian
dari lingkungan eksternal dengan melihat peluang-peluang baru dan
potensi ancaman yang ada. Kemampuan ini membuat sebuah institusi
dapat memprediksikan perkembangan di masa depan. Hal ini akan
berdampak pada pencapaian tujuan dari institusi pemerintah untuk
mengatur negaranya.
Kedua, think again - kemampuan mengevaluasi dan mengidentifikasi
perubahan kebijakan yang telah ditetapkan agar memperoleh hasil
dan kualitas yang lebih baik. Sehingga intitusi dapat mengemukakan
permasalahan dan isu yang dihadapi, dan melihat bagaimana cara
untuk meningkatkan performa institusi tersebut. Hal ini membutuhkan
efesiensi dan efektifitas kebijakan yang telah dibuat dan juga ketepatan
dalam penjapaian tujuan dan penetapan strategi. Ketiga, think across -
kemampuan melintasi batas-batas tradisional untuk “berpikir diluar
batas”, juga untuk “belajar dari orang lain” apabila terdapat ide-ide bagus
yang dapat diadopsi dan diadaptasi sebagai inovasi baru dalam pembuatan
kebijakan. Itu seperti meng-copy aturan dan kegiatan/ praktek yang
telah berhasil diterapkan di suatu tempat. Hal ini mengizinkan
transfer pengetahuan antar negara dengan mengadopsi program dari
suatu negara dan disematkan kedalam institusi lokal dan lingkungan
kebijakan. Selain itu, kita harus mengerti bagaimana menerapkannya,
bagaimana itu bekerja dengan baik atau mengapa itu tidak bekerja

76
Manajemen Sektor Publik

dengan baik dan bagaimana kita menerapkannya dengan sudut pandang


yang berbeda dari ide dasarnya. Secara skematik kerangka kerja sistem
Dynamic Governance dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 4.2 Kerangka Berpikir Dynamic Governance

Sumber: Neo & Chen, 2007

Kerangka berpikir Dynamic Governance diperlihatkan pada gambar


1 (satu) diatas, dimana fondasi Dynamic Governance adalah budaya
yang diinstitusionalisasikan, dua pengaruh utama (able people and
agile processes) untuk mengembangkan 3 (tiga) kemampuan Dynamic
Governance ditunjukkan pada sisi kiri gambar. Faktor eksternal oleh Future
Uncertainties dan External Practices ditunjukkan pada bentuk kotak pada
sisi kiri gambar. Sejarah Singapura membentuk tujuan pemerintahan
negara tersebut. The Founding fathers juga memiliki peran penting sebagai
Perdana Menteri pertama Lee Kuan Yew dan Deputi kepercayaanya
Goh Keng Swee menyematkan nilai-nilai serta keyakinan sejak negara
tersebut memperoleh otoritas untuk memerintah negaranya sendiri
pada tahun 1959.
Kepercayaan diri terhadap kepemimpinan politik telah menciptakan
cara berpikir sistemik dan meritokrasi dalam perkembangan pelayanan
publik, sehingga kekuatannya memiliki pengaruh yang besar terhadap
nilai-nilai dan prinsip governance dalam sektor pelayanan publik.
Filsafat pemerintahan Singapura dan pendekatannya terhadap
formulasi kebijakan publik berasal dari nilai-nilai dan keyakinan yang
membentuk negara ini. Buku ini mengelaborasi lebih kepada bagaimana

77
Manajemen Sektor Publik

institusionalisasi kultur bekerja sebagai fondasi kebudayaan untuk


menciptakan Dynamic Governance di Singapura. Adaptasi kebijakan
bukanlah semata-mata reaksi pasif terhadap tekanan dari eksternal
tetapi merupakan sebuah pendekatan proaktif terhadap inovasi,
kontekstualisasi, dan eksekusi. Inovasi kebijakan berarti ide baru dan
segar yang diinjeksi ke dalam suatu kebijakan sehingga dapat dicapai
hasil yang berbeda dan lebih baik.
Ide-ide ini dikonversi menjadi suatu kebijakan sehingga masyarakat
akan menghargai dan mendukung kebijakan tersebut. Akan tetapi,
hal ini tidak hanya tentang ide dan desain kontekstual tetapi juga
eksekusi kebijakan yang membuat Dynamic Governance menjadi nyata.
Singapura adalah negara-kota yang berdiri diatas pulau kecil seluas
620 kilometer persegi dengan populasi penduduk sekitar dua juta saat
meraih kemerdekaannya. Singapura menyatakan kemerdekaannya dan
kemudian lahir menjadi negara baru pada tahun 1965 akibat pemisahan
secara paksa dari Malaysia. Negara ini dahulunya adalah negara diatas
pulau kecil yang miskin dan tidak memiliki sumber daya alam. Pada
tahun-tahun pertama Perdana Menteri Lee Kuan Yew memimpin
negeri, penduduk Singapura berpikir bahwa mereka tidak memiliki
harapan dan Singapura tidak dapat bertahan sebagai negara kecil dan
hampir tidak mungkin negara ini bisa berdiri sejajar dengan negara-
negara maju. Tetapi itu bukanlah akhir dari segalanya.
Karena tidak memiliki sumber daya alam, membuat pemimpin
Singapura memfokuskan diri pada sumber daya manusia sebagai
satu-satunya sumber daya yang strategis dan berharga bagi negara
ini. Sehingga pemimpin Singapura menaruh perhatian yang tinggi
dalam mengadopsi berbagai strategi imperatif untuk membangun good
governance: ketahanan ekonomi, stabilitas domestik, berpandangan
global, jaminan finansial, dan pengembangan sumber daya manusia.
Inilah jalan keluar bagi Singapura yang berdiri di atas pulau kecil
yang tidak memiliki apa-apa. Manusia adalah sumber daya utama bagi
negara. Itu berarti Singapura harus menginternalisasikan nilai-nilai
moral kepada penduduknya.
Sebuah pidato yang di sampaikan oleh salah satu pemimpin
Singapura yang berkata “…Dengan latar belakang budaya Asia-China,
nilai-nilai saya adalah untuk melindungi orang-orang, dan memberikan

78
Manajemen Sektor Publik

begitu banyak kesempatan kepada semua orang untuk meningkatkan


kualitas diri mereka di dalam lingkungan masyarakat yang stabil dan
teratur, dimana mereka bisa hidup dengan damai dan membesarkan
anak-anak mereka untuk menjadi lebih baik dari mereka sendiri.”
Disamping itu, nilai-nilai utama ini menciptakan bentuk pemerintahan
Singapura. Nilai-nilai ini adalah:
a. Integritas – ini adalah poin utama untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih. Goh Keng Swee berkata “…Orang-
orang seperti ini akan mendorong perkembangan ekonomi.
Pemerintah harus tidak korupsi…” sehingga dengan sense of
integrity yang tinggi dari orang-orang di dalam pemerintahan
akan menciptakan lingkungan yang tidak korupsi/
incorruptibility environtment.
b. Meritokrasi – manusia adalah kunci sumber utama karena
Singapura tidak memiliki sumber daya alam, ketahanan negara
ini bergantung pada kemampuan orang-orangnya dalam
bekerja. Untuk mempertahankan orang-orang yang memiliki
kualitas yang baik, masyarakat diberikan penghargaan
atas kerja keras yang telah dilakukan. Mereka diberikan
penghargaan melalui pencapaian prestasi kerja.
c. Orientasi kepada hasil – dengan kondisi yang merdeka secara
mendadak, bukanlah suatu kejutan apabila kebijakan yang
diambil tidak berdasarkan pertimbangan ideologis tetapi
berdasarkan perhitungan pragmatis yang mungkin berhasil.
d. Ketahanan diri – masyarakat selalu diingatkan bahwa “tidak
ada yang menanggung hidup kita”, inilah yang meningkatkan
kemandirian masyarakat Singapura. Bahkan dalam hubungan
internasional, “tidak ada teman yang permanen, tidak ada pula
musuh yang permanen, tetapi yang ada hanyalah kepentingan
yang permanen!
e. Stabilitas domestik – dalam hal ekualitas, setiap orang
diberikan hak yang sama. Perbedaan budaya dan keyakinan
diterima dan dipertahankan. Untuk memastikan stabilitas
sosial, pemerintah membangun saluran komunikasi melalui
dialog, dilakukan pendekatan yang aktif dan konsultasi apabila
terjadi konflik rasial dan agama.

79
Manajemen Sektor Publik

Ada tiga kunci keyakinan yang mendorong pembuatan kebijakan


sektor publik di Singapura. Pertama, keyakinan tentang ekonomi yang
kuat adalah hal mendasar untuk dilakukan dibandingkan kebijakan
yang lainnya, dan dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi yang
menjadi prioritas utama. Kedua, keyakinan tentang negara harus
berfokus pada stabilitas jangka panjang. Ketiga, keyakinan tentang
para pembuat kebijakan harus berorientasi masa depan untuk menjadi
efektif. Orientasi terhadap masa depan adalah respon dari kerentanan
Singapura sejak negara ini lahir khususnya secara fisik ukuran negara
ini yang kecil, tidak memiliki sumber daya alam, dan populasi penduduk
yang sedikit.
Eksekusi kebijakan memainkan peran utama untuk mencapai
berbagai tujuan nasional. Eksekusi kebijakan haruslah efektif. Sehingga
itu membutuhkan tiga kedisiplinan sebagaimana di sebutkan dalam buku
ini. Pertama, disiplin visi dan fokus yang strategis. Tanpa itu, usaha dan
sumber daya akan dipergunakan kepada pembuatan kebijakan yang
salah. Kedua, menghadapi kenyataan sebagaimana mestinya. Tanpa itu,
visi yang strategis akan tetap sebagai impian dan rencana yang mungkin
dibuat untuk mengesankan bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya!”
tanpa dampak atas upaya yang positif terhadap kehidupan rakyat
Singapura. Ketiga, disiplin untuk ikut-serta. Tanpa itu, sumber daya
yang ada akan sia-sia dan banyak kesempatan akan hilang, dan kapasitas
Singapura terhadap perubahan di masa depan akan berkurang. Orang-
orang boleh saja punya ide-ide cemerlang dan rencana yang strategis
untuk menjalankan negara, tetapi selama itu belum diubah menjadi
kebijakan dan belum dieksekusi, mereka akan tetap menjadi ide-ide dan
strategi yang tidak berdampak sama sekali terhadap negara.
Sementara itu, pelayanan publik harus mampu untuk mengadaptasi
kebijakan agar mampu mengubah keadaan dan berimprovisasi dan
berinovasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru. Ada enam area
pengembangan kebijakan pembangunan ekonomi, biomedical science,
kepemilikan mobil dan transportasi darat, pelayanan kesehatan, the
Central Provident Fund (Pusat Penghematan Anggaran) dan pekerja kelas
bawah mengilustrasikan dinamisme pemerintah terhadap publik untuk
belajar dan beradaptasi untuk mengubah kondisi dan memunculkan
isu. Sekali lagi, dunia yang cepat sekali berubah, tantangan yang tiada

80
Manajemen Sektor Publik

henti-hentinya bisa datang dari mana saja dan tidak dapat diprediksi.
Singapura telah banyak mengalami kemajuan selama 40 tahun sejak
kemerdekaannya.
Kekuatan kepemimpinan politis dan publik sektor Singapura tidak
langsung diperoleh dengan berbagai upaya. Tetapi ada peran administratif
secara keseluruhan yang bekerja dari belakang untuk menciptakan,
mengembangkan, mereview, dan menerjemahkan kebijakan-kebijakan
mulai dari persepsi kemudian di legislasi kemudian dipraktekkan.
Dengan cara ini pemerintah tahu bagaimana memikirkan efektifitas
dan efisiensi yang menjadi tujuan dari Dynamic Governance, Dampak
dari penanaman budaya, pengintegrasian kemampuan, dan selalu siap
mengahdapi perubahan membuat kepemimpinan yang dinamis dan
pemerintahan yang efektif di Singapura dan diakui di seluruh dunia.
Sehingga, itu dengan jelas menunjukkan kesuksesan Singapura dalam
penerapan Dynamic Governance.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penghargaan yang telah
diperoleh Singapura karena institusi publiknya secara konsisten
termasuk salah satu yang terbaik di dunia diantaranya;
a. Singapura termasuk sepuluh terbaik dengan kategori
“Governance” berdasarkan pada Laporan “Governance Matters”
dari Bank Dunia pada tahun 2006.
b. Institusi pemerintah Singapura mendapat peringkat
atas berdasarkan laporan Sub-index of the 2006 Global
Competitiveness
c. Singapura mendapat peringkat ke-lima sebagai negara yang
berdaya saing tinggi di dunia. Ranking tersebut berdasarkan dari
kecepatan, meritokrasi, dan inkoruptibilitas pemerintahan.
d. Pada bulan Juni 2006, studi dari Hong Kong berdasarkan
Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Singapura
memperoleh level ‘skor merah’ terendah dan memiliki standar
tertinggi dalam hal corporate governance di Asia.
e. Pada tahun 2006, PERC merating Hong Kong dan Singapura
sebagai dua negara terbaik dengan kualitas dan integritas
sistem yuridis yang mereka miliki, termasuk konsistensi dalam
penerapan hukum.

81
Manajemen Sektor Publik

f. The World Competitiveness Yearbook pada tahun 2006 meranking


Singapura termasuk dalam tiga besar dari 61 negara yang
bersaing dengan kategori “legal framework”, dan termasuk
top 15 dengan kategori “justice”. Transparency International
meranking Singapura sebagai salah satu diantara lima negara
di dunia dengan tingkat korupsi yang rendah berdasarkan studi
mereka pada tahun 2006 terhadap 163 negara.
Dynamic Governance melalui pembelajaran dan berbagai tantangan.
Ide dari Dynamic Governance ini dapat diterapkan dimana saja, bahwa
publik sektor harus menggunakan kemampuan yang sama yakni
thinking ahead, thinking again, dan thinking across untuk menguji fondasi
kebudayaaan terhadap pemerintaham. Untuk meraih kemajuan bangsa,
tentu dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas dalam rangka
mewujudkan pemerintahan yang “mengerti” rakyatnya. Dan untuk
itu pemerintahan yang dinamis menjadi salah satu faktor utama untuk
mewujudkan keadaan yang terus lebih baik ke depan. Jika kita cermati
bersama, hingga kini terbentuk stigma negatif bahwa kinerja birokrasi
di negara-negara berkembang umumnya dibalut dengan karakter
bertele-tele, perilaku yang sangat rule driven, produktivitas dan moril
yang rendah, serta tidak adanya pertanggungjawaban kepada publik.
Pendek kata, masalahnya bersifat multidimensional.
Dapat diartikulasikan bahwa secara umum prosedur pelayanan
yang berbelit-belit dan membutuhkan waktu lama merupakan ciri khas
layanan kantor pemerintah. Hal ini diperparah dengan kurangnya
koordinasi antar-sektor terkait, sehingga proses pelayanan publik
berlangsung tumpang tindih. Sementara. Secara komprehensif konsep
dynamic governance yang diperkenalkan oleh Prof. Boon Siong Neo,
Akademisi di Nanyang Technological University, Singapura. Beliau
memaparkan bahwa dynamic governance bukanlah konsep yang terpisah
dari good governance. Meski penting, prinsip-prinsip good governance
tidaklah memadai dalam menciptakan kondisi ideal suatu negara.
Menurut Boon Siong Neo, dynamic governance pada dasarnya berfokus
pada dua faktor kunci, yakni kapabilitas dan kultur.
Dua faktor inilah yang akan menggerakkan SDM dan proses menuju
perubahan kebijakan yang adaptif atau yang dicita-citakan sebagai
dynamic governance. Dynamic Governance merupakan pengalaman empiris

82
Manajemen Sektor Publik

Singapura yang diejawantahkan menjadi sebuah konsep, teori, dan pola


pikir untuk mencapai tata pemerintahan yang lebih baik. Tentunya,
implementasinya harus disesuaikan dengan kultur dan karakteristik
masing-masing beberapa negara. Guna mengimplementasikan
dynamic governance, buku ini menyajikan serangkaian gagasan guna
merekonstruksi tata kelola pemerintahan sesuai keunikan dan
kompleksitas tantangan yang dihadapi negeri ini. Dalam bidang
pendidikan misalnya, pendidikan nasional harus menciptakan manusia
yang bekerja habis-habisan dan memberikan kemampuan yang terbaik,
di dalam tugas yang sederhana maupun tugas yang maha penting.
Di Singapura, senantiasa berupaya melakukan yang terbaik ini
dikenal dengan istilah mentalitas Klasu. Diungkapkan pula bahwa
kepemimpinan transformatif merupakan kunci perubahan. Dalam era
yang kian dinamis saat ini, pemerintah daerah wajib menggalakkan
gerakan tata kelola pemerintahan yang dinamis (Dynamic Governance),
yang diyakini mampu mendorong Indonesia keluar dari lingkaran setan
buruknya tata kelola pemerintahan. Ciri pemerintahan dinamis antara
lain cepat, responsif, dan efisien. Untuk sampai ke sana, dibutuhkan
pemimpin, mampu berpikir ke depan dan antisipatif (think ahead),
pemimpin yang mampu mengkaji ulang hasil pemikiran (think again),
dan pemimpin yang mampu berpikir secara lateral, horizontal serta
lintas disiplin (think across).
Menurut pakar dari Magister Administrasi Publik UGM Agus
Pramusinto, ada tiga fase utama sebuah pemerintahan dinamis, yakni
perbaikan internal pemerintah, peningkatan layanan publik, dan
pemerintahan yang memperhatikan kebutuhan adaptif masyarakatnya
(greater democracy). Dikatakan demikian, pemerintahan yang adaptif
adalah pemerintahan yang mau mengerti kebutuhan rakyatnya secara
progresif. Pemerintahan ini mampu melihat berbagai masalah dengan
berbagai sudut pandang sehingga dapat menemukan penanganan yang
lebih efektif dan mengena bagi rakyat. Pemerintahan yang dinamis adalah
pemerintah yang bertindak progresif dan adaptif guna mewujudkan
hasil yang efektif bagi daerah dan masyarakat yang dipimpinnya.
Yang pasti, pemerintah harus bersikap aktif dalam membangun
wilayahnya, bukan menunggu hasil laporan lapangan dan kemudian
baru menentukan kebijakan. Penerapan good governance mampu

83
Manajemen Sektor Publik

mendorong Indonesia keluar dari lingkaran setan mengenai tata kelola


pemerintahan yang buruk. Guru besar Nanyang Technology University
Singapura, Neo mengatakan, kebutuhan masyarakat saat ini adalah
pemerintahan yang cepat, responsif, dan efisien. Jika ketiga kebutuhan
tersebut dapat dipenuhi, maka pemerintah terkait dapat disebut
telah berhasil menerapkan good governance dengan baik. Kalau tidak
mampu mengubah, maka hal tersebut bukanlah good governance. Setiap
pemerintahan membutuhkan pemimpin. Lalu dari mana pemimpin
yang mampu menerapkan good governance dapat dipilih? ada tiga kunci
sukses dalam menentukan pemimpin. Kunci sukses tersebut adalah
kualitas pemimpin yang mampu berpikir ke depan dan antisipatif (think
ahead), pemimpin yang mampu mengkaji ulang hasil pemikiran (think
again), dan pemimpin yang mampu berpikir secara lateral, horizontal
serta lintas disiplin (think across).
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa menciptakan dan
mempertahankan dinamisme di dalam pemerintahan, baik sektor
publik maupun sektor korporasi, merupakan upaya strategis jangka
panjang. Menciptakan sebuah sistem dynamic governance dan organisasi
yang mampu beradaptasi membutuhkan pemikiran secara mendalam,
dialog terbuka, komitmen dalam kepemimpinan dan eksekusi yang
efektif. Perubahan itu selalu rumit dan beresiko. Tetapi bukanlah
perubahan namanya kalau tidak lebih beresiko. Seorang pemimpin
perubahan harus bisa menciptakan “a sense of urgency”, membangun
koalisi perubahan, membuat visi, dan memberdayakan orang lain untuk
mencapai visi tersebut. Buku ini menyuguhkan banyak keunggulan
dalam merumuskan berbagai upaya merekonstruksi sebuah negeri
agar memilki performa pemerintahan yang elegan dan mengikuti
perkembangan namun tetap memilliki performa kepemimpinan yang
kuat.

84
Mengukur Kinerja Reformasi
Administrasi Publik

A. Terminologi Reformasi Administrasi


Terminologi reformasi administrasi (administrative reform),
menurut Fred W. Riggs (1971) dalam bukunya Frontiers of Development
Administration merupakan konsep yang dipergunakan oleh negara
berkembang dalam rangka melakukan upaya pembaharuan administrasi
pemerintah. Hal itu disebabkan administrasi pemerintah pada waktu itu
dianggap tidak mampu melaksanakan pembangunan yang disponsori
oleh lembaga-lembaga donor dunia. Bahkan sepuluh tahun sebelum
itu, yakni pada tahun 1961, Ralp Braibanti juga sudah mengemukakan
konsep administrative reform. Ia mengatakan bahwa upaya administrative
reform di negara berkembang terfokus pada peningkatan kemampuan
administrasi negara (development of administrative capabilities), yaitu
administrasi negara.
Sementara Caiden (1991), dalam bukunya Administrative Reform
Comes of Age mengemukakan nada yang sama mengenai konsep
administrative reform. Disini Caiden melihat bahwa latar belakang
dilakukan reformasi administrasi di negara berkembang karena
ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola pinjaman asing,
sehingga negaranegara pemberi bantuan menyarankan perlunya
reformasi administrasi, re-organisasi dan revitalisasi perusahaan
publik, dan modernisasi proses manajemennya. Tujuan akhir dari
aktivitas tersebut adalah memodernisasi administrasi pemerintah dalam
rangka meningkatkan kemampuan administrasi pemerintah untuk
pembangunan negara dan peningkatan kehidupan masyarakat yang

85
Manajemen Sektor Publik

lebih baik. Pandangan serupa dikemukakan oleh Ali Farazmand (2002)


dalam bukunya Adminisrative Reform in Developing Nations. Penekanannya
lebih tertuju pada pembaharuan dan perubahan mendasar dalam upaya
peningkatan kapasitas struktur dan proses sistem administrasi (the
structure and process of administrative systems capabilities).

B. Karakteristik Reformasi Administrasi


Dari ragam pemikiran para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
reformasi administrasi memiliki berbagai karakteristik. Pertama,
reformasi administrasi terkait dengan upaya membangun kemampuan
administrasi; Kedua, lokus yang ditekankan adalah administrasi
pemerintah; Ketiga tujuannya adalah meningkatkan kemampuan
administrasi pemerintah dalam pembangunan nasional dan kehidupan
masyarakat yang lebih baik. Meskipun demikian, menurut Illchman
dan Bhargava (Riggs 1971), karena karakteristik reformasi administrasi
ini terkait dengan pembangunan dalam pengertian yang luas maka
perlu dilihat bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah itu harus
didekatkan dengan pendekatan yang menyeluruh, sistemik dan
terintegrasi.
Hal itu karena pembangunan tergantung pula oleh tujuan politik,
sosial, ekonomi dan struktur sosial. sebab, perlu adanya keseimbangan
dalam proses reformasi administrasi. Artinya bahwa sistem administrasi
yang dibangun tidak hanya terdiri dari kumpulan subsistem (bagian)
yang terpisah, tetapi juga menyangkut interaksi (saling hubungan) dan
interdependensi (saling ketergantungan) antara subsistem. Beranjak
dari tataran inilah kita dapat melihat bahwa reformasi administrasi kita
mengalami proses yang lambat dan bahkan terkesan tidak bermakna
bagi masyarakat. Reformasi administrasi yang terintegrasi di atas dapat
dibenarkan apabila kita membaca pemikiran Farazmand (2002), bahwa
tuntutan dan kebutuhan dilakukannya reformasi administrasi di negara-
negara berkembang bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan
administrasi pemerintah tetapi juga oleh tekanan dan perubahan sosial,
ekonomi, politik dan lembaga-lembaga donor.
Oleh karena itu, ketika digalang kebijakan reformasi administrasi
maka pemerintah perlu melakukan serangkaian tindakan yang terpadu
dan terencana yang mencakup komponen-komponen dalam berbagai

86
Manajemen Sektor Publik

dimensi tersebut. Pandangan lain dikemukakan oleh Siagian dan


Waterston (Tjokroamidjojo, 1995) bahwa reformasi administrasi dapat
dilakukan dengan dua pendekatan, yakni reformasi secara menyeluruh
dan reformasi yang dilakukan secara sebagian-sebagian. Pendekatan
yang kedua ditekankan pada perbaikan dan penyempurnaan pada
bidang-bidang strategis, yang kemudian diharapkan dapat berkembang
dan diperluas pada bidangbidang yang lain. Ini sering disebut dengan
istilah nuclea approach atau island approach.
Namun, dari kedua pendekatan, umumnya yang diterapkan adalah
perencanaan perbaikan dan penyempurnaan administrasi yang bersifat
menyeluruh dalam dimensi waktu yang panjang, tetapi pelaksanaannya
dilakukan secara sebagian-sebagian sesuai dengan prioritasnya. Pada
tataran ini dikembangkan gagasan tentang pembangunan institusi
(institusional building). Pengembangan gagasan tersebut didasarkan
kepada suatu asumsi bahwa gerak pembaharuan dan pembangunan
yang lebih luas perlu dimulai dikembangkan oleh suatu institusi
pembaharu. Dalam hal ini, khusus untuk negara dunia ketiga adalah
birokrasi karena dianggap dari berbagai segi lebih siap dibandingkan
dengan institusi lainnya. Sampai pada tataran ini dapat diketahui
bahwa reformasi administrasi bukan reformasi birokrasi saja tetapi juga
menyangkut berbagai dimensi lain. Dengan pernyataan lain, reformasi
birokrasi adalah salah satu dari reformasi administrasi. Meskipun
demikian, diakui oleh Riggs (1971) bahwa banyak pakar cenderung
menyamakan birokrasi dan administrasi. Akibatnya mereka tidak bisa
membedakan antara pembaharuan administrasi (administrative reform)
dan pembaharuan birokrasi (bureaucratic reform).

C. Reformasi Birokrasi
Pengertian Reformasi Birokrasi Reformasi adalah mengubah
atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada.
Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk
didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke
arah kemajuan. (Susanto, 180). Birokrasi adalah sistem pemerintahan
yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada
hierarki dan jenjang jabatan. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian reformasi Birokrasi adalah suatu perubahan signifikan

87
Manajemen Sektor Publik

elemen-elemen birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya manusia


aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan
pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk memposisikan diri
(birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika
lingkungan yang dinamis.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
mencapai good governance dan melakukan pembaharuan dan perubahan
mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama
menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan
dan sumber daya manusia aparatur.L atar Belakang adanya Reformasi
Birokrasi yaitu
1. Krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1997, pada tahun
1998 telah berkembang menjadi krisis multidimensi.
2. Adanya tuntutan kuat dari segenap lapisan masyarakat terhadap
pemerintah untuk segera diadakan reformasi penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Sejak itu, telah terjadi berbagai perubahan penting yang
menjadi tonggak dimulainya era reformasi di bidang politik,
hukum, ekonomi, dan birokrasi, yang dikenal sebagai reformasi
gelombang pertama.
4. Perubahan tersebut dilandasi oleh keinginan sebagian besar
masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan demokratis
dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang
didasarkan pada nilai-nilai dasar sebagaimana tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Tahun 2004, pemerintah telah
menegaskan kembali akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip clean
government dan good governance yang secara universal diyakini menjadi
prinsip yang diperlukan untuk memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat Pada tahun 2011, seluruh kementerian dan lembaga (K/L)
serta pemerintah daerah (Pemda) ditargetkan telah memiliki komitmen
dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi Pada tahun 2014
secara bertahap dan berkelanjutan, K/L dan Pemda telah memiliki
kekuatan untuk memulai proses tersebut, sehingga pada Pada tahun
2025, birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi
dapat diwujudkan. Dimana Indonesia diharapkan berada pada fase yang
88
Manajemen Sektor Publik

benar-benar bergerak menuju negara maju. Tujuan reformasi birokrasi


di Indonesia yaitu :
1. Mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap
penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi
yang bersangkutan;
2. Menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy;
3. Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat;
4. Meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/
program instansi;
5. Meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan
semua segi tugas organisasi;
6. Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan
efektif.
Kondisi atau Situasi saat ini Reformasi dilakukan sejak terjadinya
krisis multidimensi tahun 1998 di Indonesia. Kondisi itu belum mampu
mengangkat Indonesia ke posisi yang sejajar dengan negara- negara
lain, baik negara-negara di Asia Tenggara maupun di Asia. Dalam hal
perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, masih banyak
hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi.
Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan
pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang
dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin
maju dan persaingan global yang semakin ketat sudah ada pelayanan
yang meningkat antara lain pelayanan kereta api Indonesia. Pelayanan
samsat. Dalam hal kemudahan berusaha (doing business), menunjukkan
bahwa Indonesia belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi
para investor yang berbisnis atau akan berbisnis di Indonesia. Dalam
kaitan dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, kondisinya
masih banyak dikeluhkan masyarakat.

D. Prinsip Reformasi Birokrasi


Prinsip-prinsip Reformasi Birokrasi Untuk mencapai tujuan
reformai birokrasi tersebut maka di perlukan adanya prinsip-prinsip.
Adapun Prinsip-prinsip Reformasi Birokrasi yaitu
1. Outcomes oriented. Seluruh program dan kegiatan yang
dilaksanakan dalam kaitan dengan reformasi birokrasi

89
Manajemen Sektor Publik

harus dapat mencapai hasil (outcomes) yang mengarah pada


peningkatan kualitas kelembagaan, tata laksana, peraturan
perundangundangan, manajemen SDM aparatur, pengawasan,
akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, perubahan pola pikir
(mind set) dan budaya kerja (culture set) aparatur. Kondisi ini
diharapkan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan
membawa pemerintahan Indonesia menuju pada pemerintahan
kelas dunia.
2. Terukur Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang
dengan outcomes oriented harus dilakukan secara terukur dan
jelas target serta waktu pencapaiannya.
3. Efisien. Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang
dengan outcomes orientedharus memperhatikan pemanfaatan
sumber daya yang ada secara efisien dan profesional.
4. Efektif. Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara efektif
sesuai dengan target pencapaian sasaran reformasi birokrasi.
5. Realistik. Outputs dan outcomes dari pelaksanaan kegiatan dan
program ditentukan secara realistik dan dapat dicapai secara
optimal.
6. Konsisten. Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara
konsisten dari waktu ke waktu, dan mencakup seluruh
tingkatan pemerintahan, termasuk individu pegawai.
7. Sinergi. Pelaksanaan program dan kegiatan dilakukan secara
sinergi. Satu tahapan kegiatan harus memberikan dampak
positif bagi tahapan kegiatan lainnya, satu program harus
memberikan dampak positif bagi program lainnya. Kegiatan
yang dilakukan satu instansi pemerintah harus memperhatikan
keterkaitan dengan kegiatan yang dilakukan oleh instansi
pemerintah lainnya, dan harus menghindari adanya tumpang
tindih antar kegiatan di setiap instansi.
8. Inovatif. Reformasi birokrasi memberikan ruang gerak yang
luas bagi K/L dan Pemda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pertukaran pengetahuan, dan
best practices untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik.

90
Manajemen Sektor Publik

9. Kepatuhan. Reformasi birokrasi harus dilakukan sesuai dengan


peraturan perundangundangan.
10. Dimonitor. Pelaksanaan reformasi birokrasi harus dimonitor
secara melembaga untuk memastikan semua tahapan dilalui
dengan baik, target dicapai sesuai dengan rencana, dan
penyimpangan segera dapat diketahui dan dapat dilakukan
perbaikan.

E. Kondisi Reformasi Administrasi di Negara Berkembang


Kondisi reformasi administrasi di negara berkembang kenyataan
tersebut memang tidak dapat disanggah sebab kebanyakan aktivitas
administrasi pemerintahan dilakukan oleh birokrasi, sehingga pada
tingkat tertentu tinjauan terhadap birokrasi tumpang tindih dengan
tinjauan terhadap administrasi. Namun kedua konsep tersebut
harus dipisahkan satu dari yang lainnya. Reformasi administrasi
menyangkut pembaharuan (paradigma dan tindakan nyata) dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang terkait dengan berbagai
bidang atau dimensi, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun
administrasi pemerintahan (birokrasi) itu sendiri. Sementara reformasi
birokrasi menyangkut proses perubahan yang dilakukan secara
berkesinambungan untuk mendesain atau mengkonstruksi birokrasi
agar mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul dalam
penyelenggaraan pemerintahan, khususnya bagi pelayanan masyarakat
dan penciptaan kesejahteraan masyarakat.
Dengan tidak mengurangi pemahaman terhadap reformasi
administrasi, fokus bahasan hanya dalam lingkup birokrasi pemerintah.
Hal ini bukan karena mengenyampingkan dimensi-dimensi lain tetapi
dilakukan secara faktual dan aktual bahwa di republik ini reformasi
birokrasi terlihat sangat lambat dan tertinggal jika dibandingkan
reformasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Menurut Kouzes
dan Posner (1997), birokrasi pemerintah tidak memiliki kredibilitas
dalam pembuatan kebijakan dan penyelenggaraan pelayanan. Alhasil
trust dari masyarakat akan kurang berpihak pada birokrasi dan pada
akhirnya melahirkan negative public image (King & Stivers, 1998: 6)
atau negative public-feelings (Kathi & Cooper, 2005: 3). Image tersebut
ditujukan terhadap tindakan dan perilaku birokrat pemerintah dalam

91
Manajemen Sektor Publik

penyelenggaraan pelayanan sehingga menimbulkan sikap sinisme


masyarakat (termasuk pelaku usaha) kepada birokrasi pemerintah.
Dalam kondisi seperti ini akan sangat membahayakan kelangsungan
negara. Hal itu sudah terbukti di negeri ini ketika runtuhnya rezim Orde
Baru. Saat itu terlihat jelas bahwa tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah dan birokrasi sangat rendah. Padahal dalam teori
tentang negara, birokrasi merupakan instrumen penting negara yang
kehadirannya tak mungkin terelakkan. Birokrasi menjadi unsur yang
sangat penting dalam kerangka konstelasi politik di negara berkembang
termasuk penyelenggaraan administrasi negara dalam upaya melakukan
perubahan sosial dan sosialisasi politik (Eiseinstad, 1965)7. Jadi sungguh
beralasan bahwa penekanan reformasi birokrasi dalam konteks
mengkonstruksi birokrasi dalam rangka perubahan menjadi penting
untuk dibahas. Birokrasi dalam kaitan dengan administrasi negara
merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
Dinegara berkembang, Birokrasi adalah sebuah konsekuensi
logis dari diterimanya hipotesis bahwa negara mempunyai misi suci
mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, negara terlibat langsung
dalam memproduksi barang dan jasa publik yang diperlukan rakyatnya.
Bahkan jika perlu negara melalui pemerintah yang memutuskan apa
yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara membangun sistem
administrasi negara yang bertujuan untuk melayani kepentingan
rakyatnya (Budiman, 1996). Dalam hal ini, birokrasi merupakan
instrumen pelaksananya, sebagaimana diungkapkan oleh Huntington
(1968): ”Derajat suatu pemerintahan diukur berdasarkan kemampuan
birokrasinya merealisasikan kebijakan pemerintah di lapangan”.
Birokrasi sebagai organisasi modern yang secara konseptual pada
awalnya dikembangkan oleh Max Weber merupakan bentuk organisasi
rasional yang sepenuhnya diserahkan kepada para aparat pemerintah
yang memiliki syarat-syarat tertentu bagi bekerjanya sistem
administrasi negara. Max Weber dengan cerdas membentuk seperangkat
karakteristik ideal (ideal type) dari suatu birokrasi legal-rasional yang
dapat menjadikannya sebagai alat yang dapat mengimplementasikan
tujuan-tujuan organisasi birokrasi secara efektif dan efisien.
Meskipun dalam penerapannya banyak mendapat kritikan dari
berbagai pakar organisasi yang muncul kemudian, seperti mereka yang

92
Manajemen Sektor Publik

masuk dalam kelompok pendekatan Neo-Klasik, Behavioral, Sistem,


Kontingensi, Modern ataupun Kontemporer. Namun, karakteristik
birokrasi Max Weber ini diakui masih mendominasi administrasi
negara dewasa ini, juga di Indonesia walau telah mengalami pergeseran
yang signifikan dari konsep Max Weber semula. Di Indonesia, menurut
Riggs, birokrasi Max Weber tersebut disebut sebagai “Birokrasi dalam
masyarakat Prismatic”, masyarakat transisi dari nilai-nilai tradisional
menuju nilai-nilai modern. Lepas dari berbagai kelemahannya, birokrasi
di dunia ketiga tetap diakui sebagai aktor yang memiliki peran yang
besar dalam kegiatan penyelenggaraan administrasi negara dan juga
tingkat kehidupan masyarakat modern secara keseluruhan (Eisenstaadt,
1965). Singkatnya, jika meminjam pemikiran Mas’oed (1994), birokrasi
dalam praktik administrasi negara di dunia ketiga adalah aktor yang
omnipoten, memiliki banyak peran dan mendominasi. Sebetulnya,
jika kita melihat perkembangan mengenai pentingnya peran birokrasi
dalam masyarakat modern (negara), studi yang dilakukan Eisenstaadt
(1965), Albrow (1970), Etzioni & Halevy (1985), Blau & Meyer (1987),
dan Frederickson (1999), memperlihatkan bahwa semenjak masyarakat
modern mengalami diferensiasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat,
peningkatan moneterisasi ekonomi, munculnya ekonomi kapitalis,
perkembangan rasionalitas dan demistifikasi dalam masyarakat,
serta demokratisasi dan modernisasi sosial-ekonomi, pada umumnya
menimbulkan masalah administratif yang semakin lama semakin
kompleks.
Dalam konteks inilah kemudian muncul birokrasi sebagai
tanggapan terhadap kebutuhan jaman. Dengan kata lain, suatu struktur
birokrasi muncul karena adanya fungsi-fungsi yang harus ditangani,
yaitu fungsi teknis-administratif untuk mengkoordinasikan berbagai
unsur yang makin lama makin kompleks dalam proses penyelenggaraan
negara. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Etzioni-Halevy
(1985: 31) berikut: ”Thus bureaucracy developed, because its rationality
and technical superiority made it the most appropriate tool for dealing with
the task and problems of complex, modern society”. Jadi, apabila mengikuti
alur pemikiran tersebut dapat disarikan bahwa semakin kompleks
persoalan dalam masyarakat modern, peran birokrasi dapat dikatakan
semakin penting. Birokrasi ada untuk melayani kebutuhan-kebutuhan
masyarakat modern. Hal itu dipertegas oleh pandangan kaum Pluralis,
93
Manajemen Sektor Publik

yang menyatakan bahwa birokrasi sebagai salah satu elemen negara


yang merupakan bagian terdepan yang menjalankan fungsi pelayanan
masyarakat yang dibebankan kepada negara melalui kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.
Lebih lanjut, peran penting birokrasi dalam administrasi negara,
tidak hanya dalam pelayanan masyarakat tetapi juga menyangkut
pengaturan, pengawasan atau pengendalian, penyelenggara
pemerintahan, agen pembangunan, dan pemberdaya masyarakat
(Bryant & White, 1987; Dwiyanto, 2005). Pada saat ini, dalam dunia
yang penuh dengan persaingan, lingkungan eksternal yang turbulen,
dinamis dan kompleks, peran birokrasi dianggap masih terlalu sulit
untuk ditinggalkan. Hal ini dapat terungkap dalam pemikiran Victor
(dalam Setiyadi, 2008), Nutt & Backoff (1993), Miller & Friesen
(1983), Osborne & Gaebler (1992) serta Moris & Jones (1999) yang
menyatakan bahwa pemerintah perlu memiliki peran yang penting
dan strategis untuk membantu negara dalam persaingan (Muhammad,
2006). Negara mampu memperoleh kemampuan untuk berdaya
saing, apabila birokrasi mampu meningkatkan kemampuan dan daya
inovasinya. Dengan pernyataan lain bahwa administrasi negara akan
menjadi baik apabila birokrasinya juga baik, yang mampu memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat. Jika hal-hal yang telah disebutkan
sebelumnya tidak terjadi, maka yang salah adalah birokrasi, karena
birokrasi adalah instrumen negara yang memiliki legitimasi yang kuat
untuk menjalankan administrasi negara dalam praktik (Albrow, 1970;
Caiden, 1982; Economic and Social Council UN, 2004).
Dalam administrasi negara, harusnya, tidak hanya sekedar konsep
tetapi meminjam istilah Peter Senge (1994) putting the ideas in practices.
Selama ini, birokrasi di negara-negara berkembang termasuk di
Indonesia, yang memiliki peran yang dominan, terlihat belum optimal
dalam praktiknya. Perhatian terhadap realita (kepentingan masyarakat/
public interest dan urusan masyarakat/public affairs) yang dihadapi
masyarakat sangat kurang, yang tampak hanyalah restrukturisasi,
reorganisasi, dan reengenering (Champy,1995 dalam Thoha, 2003).
Upaya yang hanya terfokus pada perbaikan struktur fisik tanpa melihat
seberapa jauh kaitan struktur fisik tersebut dengan stakeholders yang
mampu melahirkan pranata logis untuk kepentingan masyarakat (Lucas

94
Manajemen Sektor Publik

Jr, 1996). Secara teori, menurut Rhodes (2003), idealnya pembaharuan


birokrasi bertujuan untuk menciptakan tatakelola pemerintahan yang
baik (good governance). Namun dalam kenyataannya, misi itu belum
terwujud secara sempurna. Banyak sekali hambatan yang menghalangi
prosesnya. Menurut Leemans (1976) karena organisasi birokrasi
pemerintah itu kaku, tidak tertib dan koordinasinya kaku, tidak
menarik, otokratis, korup, pegawainya tidak sanggup beradaptasi
dengan kebutuhan dunia modern atau dengan arah pembangunan yang
menuntut perilaku dinamis dan inovatif, serta organisasinya cenderung
mendominasi semua organ politik dan terpisah dari masyarakat
(eksklusif).
Sementara menurut Caiden (1982) hal tersebut antara lain
disebabkan oleh kekurangan kompetensi administrator, warisan budaya
administrasi pemerintah terdahulu yang merasa cukup nyaman dengan
sesuatu yang telah ada, pendekatan administrator yang mementingkan
atasan, infrastruktur administrasi yang lemah, politisasi birokrasi, serta
lemah dan lambatnya usaha untuk keluar dari masa transisi. Demikian
juga menurut Tjokroamidjojo (1995), bahwa salah satu hambatan pokok
terhadap kemampuan administrasi negara untuk mendukung tugas-
tugas baru pelaksanaan pembangunan di dunia ketiga adalah karena
seringkali birokrasi itu sendiri sebagai produk dari lingkungannya
yang masih terbelakang. Berbagai ciri yang lekat padanya, seperti:
kemampuan pelaksanaan lebih ditujukan kepada segi ”memerintah”, dan
menjamin tertib pelaksanaan hukum (rule driven), sikap yang legalistis
dalam pemecahan masalah dan tidak inovatif, orientasi terhadap
senioritas dan status, dan masih terdapat banyak paternalisme dan ”spoil
system” dalam administrasi kepegawaian. Bahkan berbagai kajian yang
dilakukan belakangan juga menunjukkan hal-hal yang senada dengan
berbagai hambatan di atas (Mas’oed, 1994; Imawan,1997; Dwiyanto,
2002; Prasojo, 2004; Triguno, 2005).

95
Manajemen Sektor Publik

96
Diskursus Teoretis Reformasi
Administrasi dan Birokrasi

A. Strategi Reformasi Administrasi


Tujuan reformasi administrasi berikutnya adalah merumuskan
strategi yang terbaik untuk mencapai tujuan reformasi administrasi.
Menurut Mulgan (2009:19) ialah “Public strategy is the systemic use of
public resources and powers, by agenices, to achieve public goods” (diartikan
penggunaan sumber daya publik dan kekuasaan yang ada secara
sistematis oleh badan pemerintahan untuk menciptakan barang-barang
publik). Sedangkan menurut, Bastian (2016:9) mengungkapkan bahwa
strategi dalam sektor publik (negara) dimaknai sebagai rencana mengenai
serangkaian aktivitas mencakup seluruh elemen yang kasat mata
maupun yang tidak kasat untuk keberhasilan pencapaian kesejahteraan.
Pendapat hampir sama seperti apa yang diungkapkan oleh David dan
David (2016:155) bahwa konteks strategi dalam konsep manajemen
strategis secara umum dibutuhkan dan secara luas digunakan untuk
membuat organisasi pemerintah menjdi lebih efektif dan efisien. Apalagi
dalam hal ini reformasi administrasi haruslah merencanakan secara
tepat, terukur, dan terarah secara sistemik strategi apa yang digunakan
untuk mencapai tujuan reformasi administrasi yang telah ditetapkan.
Bukan hal yang tidak mungkin berhasil atau gagalnya reformasi yang
dijalankan sangat ditentukan strategi apa yang digunakan.
Lee (1970:14-18) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan reformasi
administrasi ada dua strategi yang dapat digunakan yaitu comprehensive
strategy dan incremental strategy. Comprehensive strategy dimaknai sebagai
suatu cara yang dilakukan oleh suatu badan reformasi tertentu yang

97
Manajemen Sektor Publik

berada di pusat kekuasaan yang berfungsi khusus dalam mengendalikan


beberapa aspek kegiatan reformasi seperti kepegawaian, anggaran, dan
kelembagaan. Sehingga dukungan dari pemimpin ekskutif dalam hal ini
presiden atau perdana menteri sangat dibutukan dalam menggunakan
comprehensive strategy mengingat dukungan dari legislatif atau partai
politik jarang memadai. Oleh karena itu, pollitical will dan pollitical
commitment dari ekskutif, legislatif, dan yudikatif menjadi hal penting
mengingat seluruh perencananaan reformasi administrasi yang akan
diproses dan dimplementasikan harus menjadi perhatian semua
pimpinan tinggi negara, sehingga tujuan dari reformasi administasi
akan tercapai. Sedangkan, incremental strategy ialah pendekatan strategi
yang melihat reformasi adminsitrsi sebagai suatu proses dimana strategi
yan dilakukan secara step-by-step (satu demi satu) sehingga nantinya
strategi ini membentuk pola langkah yang berurutan. Pendekatan
ini mengutamakan pelatihan dari berbagai pihak yang tidak hanya
melibatkan staff dari lembaga reformasi, tetapi juga berbagai pihak dari
lembaga publik lainnya.
Dror dalam Leemans (1979:48-59) juga membedakan beberapa
pendekatan yang saling berlawanan atau adanya polarisasi dalam
strategi reformasi administrasi yang akan digunakan, yaitu; strategi
struktural versus individu, strategic non collaborative versus colaborative,
strategi yang drastis versus piecemeal. Strategi struktul versus individu
ialah bahwa para ahli mencoba menjelaskan bahwa permasalahan
administrasi sehingga perlu direformasi ialah terletak pada individu
dan organisasi. Dalam hal ini pembenahan yang akan dilakukan
lebih mendahulukan organisasi dahulu atau individu terlebih dahulu.
Strategic non collaborative versus colaborative dapat dijelaskan bahwa
setiap pengambilan keputusan reformasi administrasi dapat dilihat dari
dua hal. Pada saat keputusan diambil hanya pada satu badan saja yang
tertutup, tidak adanya keterlibatan pihak lain diluar pemerintah, dan
strategi ini biasanya bersifat memaksa, maka dalam hal ini dinamakan
strategi non collaborative.
Sedangkan strategi colaborative lebih mengedepankan strategi
partispasi dengan seluruh stakeholders dari pemerintah, selain itu
merupakan strategi dimana subjek dari reformasi adalah hasil diskusi
dengan melibatkan seluruh unit organisasi sampai yang paling rendah.

98
Manajemen Sektor Publik

Strategi yang drastic versus piecemeal dapat dijelaskan bahawa strategi


mengacu kepada tiga hal besar. Seperti ruang lingkup perubahan bagian
dari birokrasi yang terkena dampak langsung, baik itu pendekatan yang
bersifat mikro, meso, maupun makro. Kedua, intensitas perubahan
apakah bersifat fundamental atau marginal. Ketiga, jangka waktu yang
telah ditetapkan dalam proses reorganisasi yang telah direncanakan.
Selain itu pendapat lain dari Turner dan Hulme menyatakan ada lima
strategi dari reformasi administrasi, yaitu partisipasi, sumber daya
manusia, akuntabilitas, restrukturisasi dan kerjasama publik-swasta
(1997:108-126).
1. Pertama, restrukturisasi sebagai salah satu strategi dari
reformasi administrasi meliputi: menghilangkan red tape,
melakukan downsizing, dan mendesentralisasikan kewenangan
serta peningkatan daya tanggap organisasi publik pada
masyarakat.
2. Kedua, partisipasi yaitu adanya tuntutan agar publik lebih
berpartisipasi dalam membentuk aktifitas birokrasi sebagai
penyedia layanan agar sesuai dengan yang dibutuhkan dan
yang diinginkan oleh publik.
3. Ketiga, pengembangan sumber daya manusia yaitu merupakan
strategi penting dalam reformasi administrasi. Fokus utama
para aktor reformasi ialah bagaimana menciptakan efektifitas
dan efiensiesi birokrasi.
Perhatian pada pengembangan sumber daya manusia dapat
dilakukan diantaranya ialah melalui seleksi pegawai, penerimaan
pegawai, penilaian pegawai, sistem penghargaa terhadap pegawai, dan
pengemnagan karir pegawai sehingga peningkatan keahlian dan kapasitas
dapat tercermin dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari yang lebih
efektif dan efisien. Keempat, akuntabilitas merupakan kekuatan yang
mendorong setiap aktor kunci reformasi administrasi agar lebih tanggap
dan memastikan adanya kinerja yang lebih baik. Kelima, kerjasama
antara pemerintah dan swasta dalam memberikan layanan publik.
Dahulu pemerintah sebagai aktor tunggal dalam memberikan pelayanan
publik dasar kepada masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, dan
kependudukan. Melalui reformasi administrasi, diperkenalkan upaya
kolaboratif yang melibatkan pemerintah dan lembaga swasta serta

99
Manajemen Sektor Publik

organisasi non pemerintah. Selain itu menurut H. Siedentopf dalam


Caiden (1982:XV) ada tiga strategi dari reformasi administrasi, yaitu
fiskal, struktural, dan program yaitu
1. Pertama, fiskal yaitu strategi yang digunakan untuk menekan
atau mengefisiensikan biaya dan pengeluaran belanja
pemerintah sekaligus memelihara pelayanan publik. Strategi
fiskal menekankan kepada rasionalisasi dan memoderinasi
perubahan struktur internal yang berdampak langsung kepada
masyarakat maupun birokrasi itu sendiri.
2. Kedua, struktural yaitu strategi yang berusaha untuk
mendorong dan meningkatkan produktivitas dari birokrasi
tanpa harus menambah anggaran pengeluaran. Point dari
strategi ini ialah pada struktur organisasi (kelembagaan),
pengambilan keputusan, prosedur operasional kegiatan, dan
profesionalitas dari birokrasi.
3. Ketiga, program yaitu strategi yang berusaha untuk
mengoptimalkan pemberian pelayan publik kepada masyarakat
yang lebih baik lagi baik dalam kualitas maupun kuantitas,
serta objektifitas kegiatan pemerintahan.
Strategi yang dilakukan ialah berusaha untuk mengurangi campur
tangan pemerintah dan menyederhanakan peraturan pemerintah.
Strategi ini juga dijalankan melalui program-program yang dapat
meningkatkan efektifitas maupun efisiensi pemerintah dalam
pemberian pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu menurut Fesler
dan Kettl (1996:80-81) ada tiga strategi dari reformasi administrasi
yaitu perampingan, merekayasa ulang, dan perbaikan berkelanjutan
dijelaskan bahwa ada tiga strategi utama reformasi administrasi yang
dapat diuraikan dalam lima aspek (tujuan, arahan, metodee, fokus
strategi, dan tindakan) untuk mencapai tujuan reformasi administrasi.
1. Pertama, perampingan yaitu berusaha dengan menurunkan
pengeluaran anggaran pemerintah dengan cara menganalisis
ukuran organisasi yang mana bisa disesuaikan (dirampingkan).
Hal ini dilakukan sebagai bentuk ketidakpuasaan masyarakat
terhadap pemerintah atas pemborosan anggaran yang
dilakukan. Untuk menyesuaikan organisasi yang tepat ukuran
dapat dilakukan dengan cara mengintervensi strategi program

100
Manajemen Sektor Publik

pelayanan yaitu mengecilkan ukuran organisasi yang sudah


ada. Artinya menunjukan lebih baik struktur organisasi yang
ramping namun kaya fungsi daripada sebaliknya.
2. Kedua, rekayasa ulang yaitu strategi yang berusaha untuk
meningkatkan efisiensi organisasi dengan melalukan perbahan
yang radikal. Dalam hal ini pimpinan tinggi berusaha
mengarahkan perubahan menentukan organisasi akan dibawa
kemana, menciptakan kompetisi yang kompetitif antara
pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan
hal tersebut diharapkan dapat mentransformasi organisasi.
3. Ketiga, perbaikan berkelanjutan yaitu strategi yang berusaha
untuk lebih responsif terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat
dengan meningkatkan kualitas pemberian layanan. Lebih
mengedepankan terciptanya hubungan interpersonal sesama
pegawai, ketika hubungan kuat antara pegawai sudah
terjalin maka perbaikan akan mudah terlaksana. Strategi ini
dibangun dari bawah ke atas atau dari antar pegawai baru
menuju ke pimpinan tinggi, sehingga hubungan interpersonal
antara pegawai lebih penting dari struktur dan proses dalam
organisasi.
Selain itu Osborne dan Plastrik (2000: 44-54) juga mengemukakan
lima strategi reformasi. Walaupun konsep yang digunakan oleh Osborne
dan Plastrik dalam konteks reinventing government, namun makna
yang bisa ditangkap dari pengertian konsep tersebut tidak terlalu
berbeda dengan makna dari konsep administrative reform ataupun
konsep public sector reform (Kamaruddin, 2017:37). Lima strategi yang
dikemukakan ditujukan untuk mewujudkan perubahan birokrasi
menuju pemerintahan wirausaha. Strategi tersebut terdiri dari strategi
inti, konsekuensi, pelanggan, pengendalian, dan budaya. Pertama,
strategi inti merupakan upaya untuk mendiagnosis tujuan dari sistem
organisasi pemerintah. Mendiagnosis kembali tujuan pemerintah
bertujuan memusatkan perhatian pada fungsi yang seharusnya
dilaksanakan dan menghapus fungsi-fungsi yang tidak lagi sesuai untuk
dilaksanakan. Kedua, strategi konsekuensi, berkaitan dengan sistem
insentif pemerintah. Kondisi yang diharapkan ialah kedepan insentif
yang diperoleh harus berdasarkan kinerja individu maupun organisasi.

101
Manajemen Sektor Publik

Ketiga, strategi pelanggan melihat aspek penting dari akuntabilitas atau


pertanggungajawaban.
Strategi ini menjelaskan tentang kepada siapa seharusnya
organisasi bertanggung jawab. Keempat, strategi pengendalian atau
kontrol yang menentukan letak kekuasaan pengambilan keputusan.
Strategi ini menggeser bentuk pengendalian yang digunakan dari
aturan-aturan yang rinci serta komando yang hirarkis ke misi bersama
dan sistem yang menciptakan akuntabilitas kinerja. Strategi ini
memberdayakan pegawai dengan mendorong wewenang pengambilan
keputusan, menanggapi pelanggan, dan memecahkan masalah mereka.
Kelima, Strategi budaya merupakan bagian penting terakhir dari sistem
pemerintah yang menentukan nilai-nilai, norma, sikap, dan harapan
pegawai. Aspek budaya sangat dipengaruhi oleh bagian DNA lainnya
yaitu tujuan organisasi, sistem insentif, sistem pertanggungjawaban,
dan struktur kekuasaan. Oleh karena itu, mengubah budaya bukan
persoalan yang mudah. Perlu komitmen yang tinggi dari semua anggota
organisasi untuk benar-benar ingin berubah dan mengadopsi budaya
baru.
Sedangkan menurut Thoha (2011:109-112) bahwa ada 3 (tiga) strategi
dalam upaya pembenahan dalam melakukan reformasi birokrasi yaitu
penataan kelembagaan birokrasi pemerintah, penataan sistem birokrasi
pemerintah, dan penataan sumber daya aparatur. Pertama, upaya yang
dilakukan ialah bagaimana menata kultur dan struktur. Dalam kultur
nantinya akan membedakan suatu boundary yang membedakan suatu
pemerintahan itu dengan pemerintahan lainnya. Sedangkan stuktur
merupaka kerangka yang dipergunakan sebagai aliran tata proses
bagaimana kultur itu bisa diterapkan dan diwujudkan dalam suatu
pemerintahan. Kedua, dari sistem ini diharapkan visi dan keinginan
politik intu menunjang tercapainya sistem yang menciptakan aparatur
yang menghargai ditegakkannya hukum, profesional, kompeten, dan
akuntabel. Merit sistem lebih dekat kearah cita-cita tersebut. Ketiga,
bagaimana mendorong peningkatan kesejahteraan pegawai, karena
keadaan tersebut menjadi tali menali dengan profesionalitas pegawai.
Pemilihan strategi reformasi administrasi pada suatu negara
tentunnya harus disesuikan dengan kondisi atau pengaruh dari hal mana
yang menjadi prioritas untuk dibenahi. Apakah sumber daya manusia

102
Manajemen Sektor Publik

terlebih dahulu atau organisasinya terlebih dahulu serta perangkat


sistemnya. langkah apapun yang akan ditempuh sangat dipengaruhi
dengan lingkungan ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan
teknologi. Hal ini menjadi penting untuk disesuaikan agar strategi
yang digunakan dapat efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Dari
berbagai macam strategi reformasi administrasi yang telah diurakan
diatas peran pemimpin lah yang pada prinsipnya akan menentukan
mana kira-kira strategi yang tepat untuk diimpelementasikan.
Determinan implementasi reformasi salah satunya ditentukan
dari peran kepemimpinan yang dijalankan (Kamaruddin, 2017:386).
Strategi pada dasarnya hanyalah alat untuk mencapai tujuan, bagaimana
alat itu dapat optimal saat digunakan tergantung dari bagaimana alat
itu digunakan dan dalam lingkungan seperti apa saat digunakan. Tugas
pemimpin lah yang memastikan bagaimana alat itu tepat dan optimal
saat digunakan.

B. Tipologi Strategi Reformasi


Hahn Been Lee dalam Leemans, mengatakan bahwa pada
prinsipnya tujuan setiap reformasi administrasi ada tiga yaitu: (1)
untuk peningkatan tata kelola; (2) untuk peningkatan metode; dan (3)
untuk peningkatan kinerja. Hahn Been Lee mengatakan bahwa bentuk
administrasi sebuah negara akan menentukan model reformasi birokrasi
yang akan dilakukannya. Hahn-Been Lee mengklasifikasikan bentuk-
bentuk birokrasi dari sudut reformasi administrasi di negaranegara
berkembang yaitu: (a) Closed Bureaucracy; (b) Mixed Bureaucracy; and (c)
Open Bureaucracy. Dalam pemerintahan dengan closed bureaucracy, ciri
utama dari model ini antara lain diperlihatkan oleh masih kentalnya
aspek pengaruh elit dan hak istimewa di dalamnya. Selain itu, para
pegawai memiliki budaya kerja yang bertanggung jawab atas pelayanan
yang diberikan serta memiliki semangat yang tinggi. Meskipun
demikian, para pegawai birokrasi model ini bekerja di bawah aturan
yang bersifat senioritas. Ciri lainnya, birokrasi model ini cenderung
tidak harmonis, seperti hubungannya dengan militer dengan kelompok
bisnis atau dengan pers.
Model birokrasi ini memiliki daya tahan terhadap gelombang
perubahan sosial yang akan terjadi, meskipun gejolak tersebut datang

103
Manajemen Sektor Publik

dari kelompok baru yang lebih memiliki posisi di mata masyarakat. Hal
ini dikarenakan besarnya kekuatan politik yang dapat digunakan oleh
mesin birokrasi untuk membendung tuntutan kelompok baru tersebut.
Dalam model mixed bureaucracy, dapat dilihat ciri antara lain terdapat
hubungan antara birokrasi dengan masyarakat, meskipun hubungan
tersebut terbatas. Hubungan tersebut terjadi ketika seseorang atau
individu ditugaskan untuk membantu pemerintahan yang lemah, seperti
pemerintahan yang membutuhkan keahlian statistik, perencanaan
ekonomi dan promosi. Individu dan tenaga ahli tersebut dapat berasal
dari universitas, lembaga penelitian atau unit militer. Keterlibatan
masyarakat tersebut selanjutnya membuat pemerintah semakin
fleksibel dalam proses rekrutmen. Perubahan yang mendasar dalam
struktur birokrasi model ini terjadi ketika ada pergolakan sosial dan
politik seperti perang, revolusi atau kudeta.
Pada titik tersebut, birokrasi akan menerima infusi yang besar dari
kelompok sosial lainnya. Ketika model ini diterapkan, banyak standar
dan prosedur rekrutmen serta promosi berubah guna mendukung
kelompok baru. Model selanjutnya yaitu open bureaucracy. Birokrasi
terbuka memiliki pola rekrutmen yang relatif fleksibel. Setiap orang
yang memenuhi syarat dapat masuk ke birokrasi. Selain itu, standar
masuk dalam hal pendidikan dan pengalaman tidak terlalu kaku.
Berbagai kontak dan pertukaran terjadi antara pemerintah dan industri.
Partai politik berkuasa dan pengaruh mereka terhadap birokrasi lebih
bersifat langsung. Birokrasi menjadi dipolitisir dan legislatif atau partai
sering mempengaruhi dan intervensi. Pintu birokrasi harus terbuka
lebar yang diikuti juga oleh pintu di luar itu birokrasi. Hal lain yang
harus diperhatikan dalam birokrasi terbuka yaitu prosedur baru dan
organisasi yang sederhana.

C. Reformasi Birokrasi Diskursus Teoretis dan Empiris


Pada dasarnya terdapat lima ciri umum yaitu pola dasar
administrasi publik bersifat elitis, otoriter, paternalistik, dan semakin
menjauh dari masyarakat dan lingkungannya, kemudian birokrasi
kekurangan sumber daya manusia berkualitas untuk menyelenggarakan
pembangunan. Lalu Birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain
daripada mengarah kepada substansi pembangunan yang benar-benar

104
Manajemen Sektor Publik

menghasilkan (performance oriented, selanjutnya adanya kesenjangan


yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan
dengan kenyataan; dan hingga Birokrasi lepas dari proses politik
dan pengawasan publik. Pada hakekatnya dalam buku “The Spirit
of Public Administration”, Frederickson memiliki dua tujuan untama
pada reformasi birokrasi yaitu pendekatan administrasi publik tidak
boleh bebas nilai tetapi harus menghayati, memperhatikan, serta
mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang
berkembang di dalam masyarakat dan Pendekatan administrasi publik
harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity),
masalah kewarganegaraan (citizenship), dan etika (ethics) sehingga
mengubah pola pikir lama yang menghambat terciptanya keadilan sosial

1. Patologi Birokrasi
Patologi Birokrasi adalah sebuah penyakit yang menggerogoti
sendi-sendi kehidupan dalam birokrasi. Penyakit ini bukan sesuatu yang
datang dengan tiba-tiba, tetapi sudah ada dan terpelihara sejak lama.
Birokrasi sudah terbiasa menjadi simbol kemakmuran dan kerajaan
bagi aparatnya untuk mendapatkan pelayanan dari masyarakat. Kultur
pangreh praja (rakyat mengabdi pada pemerintah/raja) sudah ada dan
bersemayam di birokrasi zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, dan
birokrasi yang diciptakan untuk melayani penguasa sudah terjadi sejak
zaman penjajahan Belanda sampai dengan sekarang (era reformasi).
Membangun sistem kontrol dan akuntabilitas publik menjadi signifikan
dalam memerangi patologi birokrasi. Sebagai “eksekutor” kekuasaan
birokrasi sangat mudah terbuai dan tergoda untuk melakukan “abuse of
power”. Untuk itu dalam menghadapi berbagai gejala empirik patologi
dalam birokrasi, sudah saatnya diupayakan agar birokrasi memiliki
daya tahan yang semakin tinggi terhadap berbagai penyakit yang
menyerangnya, juga reformasi birokrasi harus dilakukan secara radikal
dan komprehensip, karena pada dasarnya patologi birokrasi yang terjadi
tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga melibatkan para penegak
hukum para politisi dan yang lainnya.
Pada mulanya, istilah “patologi” hanya dikenal dalam ilmu
kedokteran sebagai ilmu tentang penyakit. Namun belakangan hari
analogi ini dikenal dalam birokrasi, dengan makna agar birokrasi
pemerintahan mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin
105
Manajemen Sektor Publik

timbul, baik yang bersifat politis, ekonomi, sosio kultural dan teknologi,
berbagai penyakit yang mungkin sudah dideritanya atau mengancam
akan menyerangnya perlu diidentifikasi untuk kemudian dicarikan terapi
pengobatan yang paling efektif. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi
yang sama sekali bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada
birokrasi yang menderita “penyakit birokrasi sekaligus”(Teruna,2007).
Dalam paradigma Actonian dinyatakan power tends to corrupt,
but absolute power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, tapi
kekuasaan yang absolut pasti korup) secara implisit juga menjelaskan
birokrasi dalam hubungannya dengan kekuasaan akan mempunyai
kecenderungan untuk menyelewengkan wewenangnya (Ismail,
2009). Dalam hal tersebut, selain sistem, bisa juga aparaturnya.
Contoh konkrit dari masalah tersebut, yaitu kasus yang lagi hangat-
hangatnya dibicarakan publik dewasa ini tentang bagaimana Gayus
Tambunan sebagai Pegawai Negeri Sipil Golongan III a dilingkungan
Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan mendadak menjadi
orang yang terkenal saat ini di Indonesia. Bukan karena prestasinya di
birokrasi meningkatkan penerimaan pajak, melainkan justru karena
perbuatannya telah memperkokoh keyakinan tentang buruknya
birokrasi di Indonesia.
Tidak semua birokrat seperti Gayus Tambunan, tetapi kelemahan
sistem organisasi seperti dituliskan oleh Caiden, seorang pakar ternama
reformasi administrasi, bahwa gejala tersebut mengidentifikasikan
telah terbentuk citra menyeluruh mengenai buruknya birokrasi di
Indonesia( Eko Prasojo,2010). Mal-administrasi yang saat ini mungkin
dapat disebut gayuisme atau nama lain yang barangkali akan segera
muncul sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual, tetapi
timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi birokrasi. Yaitu
kelemahan dan kegagalan organisasi dalam membentuk sistem yang
mencegah terjadinya penyakit-penyakit birokrasi (patologi birokrasi),
sehingga menyebabkan munculnya perilaku menyimpang yang diterima
secara kolektif. Fenomena Gayus, dan nama-nama birokrat lain yang
akan muncul serta menjadi bagian dari sindrom gayuisme adalah patologi
birokrasi yang sudah menahun dan sistemis. Patologi ini seperti gurita,
merusak sel-sel produktif dalam birokrasi dan melibatkan hampir semua
pejabat dalam semua strata. Ruang lingkup patologi birokrasi menurut

106
Manajemen Sektor Publik

Smith (1988) dalam Ismail (2009) dapat dipetakan dalam dua konsep
besar, yaitu:
a. Disfunctions of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur,
aturan, dan prosedur atau berkaitan dengan karakteristik
birokrasi atau birokrasi secara kelembagaan yang jelek,
sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau
erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi.
b. Mal-administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan
atau perilaku yang dapat disogok, meliputi: perilaku korup,
tidak sensitif, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias, atau
erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau
birokrat yang ada di dalam birokrasi.
Bentuk patologi birokrasi yang ditinjau dari perspektif perilaku
birokrasi merefleksikan bahwa birokrasi sebagai pemilik kewenangan
menyelenggarakan pemerintahan tentu memiliki kekuasaan “relatif”
yang sangat rentan terhadap dorongan untuk melakukan hal-hal
yang menguntungkan diri dan kelompoknya yang diformulasikan
atau diwujudkan dalam berbagai perilaku yang buruk. Suatu perilaku
dikatakan baik, bila secara universal semua orang bersepakat mengakui
suatu perbuatan yang menunjukkan tingkah laku seseorang memang
baik, sedangkan sebaliknya suatu perilaku dikata-kan buruk, bila
secara universal semua orang bersepakat menyatakan bahwa tingkah
laku seseorang itu buruk. Karena hakikatnya hanya dua jenis perilaku
yang ada dalam diri manusia, yaitu perilaku baik dan perilaku buruk,
yang kesemuanya itu tergantung dari manusianya sendiri. Dikaitkan
dengan patologi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
perspektif perilaku, maka yang dijadikan indikator adalah berbagai
perilaku buruk dari birokrasi itu sendiri.
Birokrasi diharapkan dapat mewujudkan suatu tata pemerintahan
yang mampu menumbuhkan kepercayaan publik, karena bagaimana
pun pada akhirnya pelayanan publik produk dari suatu pemerintahan
adalah terciptanya kepercayaan publik. Birokrasi tidak hanya sekedar
melaksanaan kekuasaan, tetapi juga memiliki tujuan moral, sebuah
birokrasi yang menghargai hak-hak masyarakat (Teruna, 2007). Proses
patologi birokrasi yang akut diIndonesia ini bukan sesuatu yang datang
tiba-tiba, tetapi terpelihara sejak lama. Birokrasi sudah terbiasa menjadi

107
Manajemen Sektor Publik

simbol kemakmuran dan kerajaan bagi aparatnya untuk mendapat


pelayanan dari masyarakat. Kultur pangreh praja (rakyat mengabdi
pada pemerintah/raja) ada di birokrasi zaman kerajaan-kerajaan di
Nusantara, dan birokrasi yang diciptakan untuk melayani penguasa
terjadi di zaman penjajahan.
Membangun sistem kontrol dan akuntabilitas publik menjadi
signifikan dalam memerangi patologi birokrasi. Sebagai “eksekutor”
kekuasaan birokrasi sangat mudah tergoda untuk melakukan abuse of
power. Dalam penelitian Teruna (2007) dinyatakan bahwa salah satu
ruang yang rentan terhadap patologi birokrasi berkenaan dengan proses
pembangunan, khususnya penjabaran program ke dalam proyek-proyek
pembangunan atau dikenal dengan istilah pengadaan barang dan jasa,
seperti: tindakan mark up, penggelapan, manipulasi, suap, penyunatan
dan sebagainya. Selanjutnya Siagian (1994) mengelompokkan patologi
birokrasi ke dalam 5 (lima) kategori, yaitu:
a. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial
para pejabat dilingkungan birokrasi, seperti: penyalahgunaan
wewenang dan jabatan; persepsi atas dasar prasangka;
mengaburkan masalah; menerima sogok; pertentangan
kepentingan; cenderung mempertahankan status quo;
empire building; bermewah-mewah; pilih kasih; takut pada
perubahan, inovasi, dan resiko; penipuan; sikap sombong;
ketidakpedulian pada kritik dan saran; tidak mau bertindak;
takut mengambil keputusan; sifat menyalahkan orang lain;
tidak adil; intimidasi; kurang komitmen; kurang koordinasi;
kurang kreativitas; kredibilitas trendah; kurangnya visi yang
imajinatif; kedengkian; nepotisme; tindakan tidak rasional;
bertindak diluar wewenang; paranoid; patronase; keengganan
mendelegasikan; ritualisme; keengganan pikul tanggung jawab;
dan xenophobia.
b. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya
pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai
kegiatan operasional, seperti: ketidakmampuan menjabarkan
kebijaksanaan pimpinan; ketidaktelitian; rasa puas diri;
bertindak tanpa berpikir; kebingungan; tindakan yang tidak
produktif; tidak adanya kemampuan berkembang; mutu hasil

108
Manajemen Sektor Publik

pekerjaan yang rendah; kedangkalan; ketidakmampuan belajar;


ketidaktepatan tindakan; inkompetensi; ketidakcekatan;
ketidakteraturan; melakukan tindakan yang tidak relevan;
sikap ragu-ragu; kurangnya imajinasi; kurangnya prakarsa;
kemampuan rendah; bekerja tidak produktif; ketidakrapian;
dan stagnasi.
c. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi
yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti: penggemukan
biaya; menerima sogok; ketidakjujuran; korupsi; tindakan
kriminal; penipuan; kleptokrasi; kontrak fiktif; sabotase; tata
buku tidak benar; dan pencurian.
d. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat
yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: bertindak
sewenang-wenang; pura-pura sibuk; paksaan; konspirasi;
sikap takut; penurunan mutu; tidak sopan; diskriminasi;
dramatisasi; sulit dijangkau; sikap tidak acuh; tidak disiplin;
kaku; tidak berperike- manusiaan; tidak peka; tidak sopan;
tidak peduli tindak; salah tindak; semangat yang salah tempat;
negativisme; melalaikan tugas; tanggungjawab rendah; lesu
darah; paparazi; melaksanakan kegiatan yang tidak relevan;
utamakan kepentingan sendiri; suboptimal; imperatif wilayah
kekuasaan; tidak profesional; sikap tidak wajar; melampaui
wewenang; vested interest; dan pemborosan.
e. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai
instansi dalam lingkungan pemerintahan, seperti: penempatan
tujuan dan sasaran yang tidak tepat; kewajiban sosial sebagai
beban; eksploitasi; tidak tanggap; pengangguran terselubung;
motivasi yang tidak tepat; imbalan yang tidak memadai; kondisi
kerja yang kurang memadai; pekerjaan tidak kompatibel;
tidak adanya indikator kinerja; miskomunikasi; misinformasi;
beban kerja yang terlalu berat; terlalu banyak pegawai; sistem
pilih kasih; sasaran yang tidak jelas; kondisi kerja yang tidak
nyaman; sarana dan prasarana yang tidak tepat; dan perubahan
sikap yang mendadak.

109
Manajemen Sektor Publik

Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang


bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi
lebih menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk, dan negatif.
Citra buruk atau negatif tersebut semakin diperparah dengan isu yang
sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan
dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam
bentuknya, lambatnya pelayanan, dan di ikuti dengan prosedur yang
berbelit-belit dan lain sebagainya. Sehinga keadaan tersebut merusak
hubungan antara manusia, menghancurkan komunitas politik,
dan meluluhlantakkan cita-cita negara hukum (Indrayana, 2008).
Diagnosis terhadap patologi birokrasi di Indonesia sebenarnya sudah
lama dilakukan. Bahkan, setiap masyarakat selalu merasakan dampak
dari penyakit birokrasi dalam pemerintahan, pembangunan, dan
pelayanan. Akan tetapi, tampaknya seperti orang yang sudah mengalami
ketergantungan pada obat, tidak mudah mengatasi penyakit-penyakit
birokrasi tersebut.
Problem dasar yang kita hadapi adalah komitmen politik untuk
melakukan terapi terhadap penyakit tersebut. Munculnya korupsi
ala Gayus yang telah menjadi isu nasional harus bisa dijadikan sebagai
momentum pengobatan penyakit birokrasi secara menyeluruh. Perintah
Presiden (Media Indonesia, 2010) untuk mengungkap tuntas kasus
mafia pajak dan mafia kasus tidak boleh hanya berhenti sekadar sebagai
sindrom paruh waktu, tetapi harus terus bergulir menjadi semangat dan
gerakan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Karena pada dasarnya
korupsi (atau turunannya) yang terjadi dalam birokrasi tidaklah berdiri
sendiri, melainkan juga melibatkan penegak hukum dan juga politisi,
maka pengobatan atau terapi reformasi birokrasi harus dilakukan secara
radikal. Reformasi birokrasi harus meliputi pengawasan yang ketat dan
konsisten terhadap para pejabat birokrasi, pejabat penegak hukum, dan
juga politisi dengan

2. Debirokratisasi dan Deregulasi


Debirokratisasi bermakna ‘tindakan atau proses mengurangi
tata kerja yang serba lamban dan rumit agar tercapai hasil dengan
lebih cepat’, sedangkan deregulasi bermakna ‘tindakan atau proses
menghilangkan atau mengurangi segala aturan’. Seperti contoh
deregulasi dan debirokratisasi penyelenggaraan pelayanan perizinan,
110
Manajemen Sektor Publik

Peningkatan pelayanan kepada masyarakat seperti yang terdapat dalam


agenda reinventing government adalah pengembangan organisasi yang
bermuara terwujudnya a smaller, better, faster and cheaper government.
Reinventing Government yang digagas oleh David Osborne dan Ted
Gaebler menemukan titik relevansinya dalam konteks optimalisasi
pelayanan publik.
Prinsip yang terkandung di dalamnya, yakni pemerintah seharusnya
lebih berfungsi mengarahkan ketimbang mengayuh, memberi
wewenang ketimbang melayani, menyuntikkan persaingan (kompetisi)
dalam pemberian pelayanan, digerakkan oleh misi bukan peraturan,
berorientasi pada hasil (outcome) bukan masukan (income), berorientasi
pada pelanggan bukan pada birokrasi, menghasilkan ketimbang
membelanjakan, mencegah ketimbang mengobati, desentralisasi dan
pemerintah berorientasi pasar, seharusnya diterapkan oleh pemerintah
untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Gagasan-
gagasan Osborne dan Gaebler tentang Reinventing Government
mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi. Adapun 10
prinsip tersebut (dikutip dari tulisan Ahmad Zaenal Fanani, Optimalisasi
Pelayanan Publik: Perspektif David Osborne dan Ted Gaebler, h; 4-8,
didownload dari http://www.badilag. net/data/ARTIKEL tanggal 31
Maret 2010) adalah:
a. Pertama, pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang
mengayuh. Artinya, jika pemerintahan diibaratkan sebagai
perahu, maka peran pemerintah seharusnya sebagai pengemudi
yang mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai
pendayung yang mengayuh untuk membuat perahu bergerak.
Pemerintah entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi
pada pembuatan kebijakan-kebijakan strategis (mengarahkan)
dari-pada disibukkan oleh hal-hal yang bersifat teknis pelayanan
(mengayuh). Cara ini membiarkan pemerintah beroperasi
sebagai seorang pembeli yang terampil, mendongkrak
berbagai produsen dengan cara yang dapat mencapai sasaran
kebijakannya. Wakil-wakil pemerintah tetap sebagai produsen
jasa dalam banyak hal, meskipun mereka sering harus
bersaing dengan produsen swasta untuk memperoleh hak
istimewa. Tetapi para produsen jasa publik ini terpisah dari

111
Manajemen Sektor Publik

organisasi manajemen yang menentukan kebijakan. Upaya


mengarahkan membutuhkan orang yang mampu melihat
seluruh visi dan mampu menyeimbangkan berbagai tuntutan
yang saling bersaing untuk mendapatkan sumber daya. Upaya
mengayuh membutuhkan orang yang secara sungguh-sungguh
memfokuskan pada satu misi dan melakukannya dengan baik.
b. Kedua, pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang
ketimbang melayani. Artinya, birokrasi pemerintahan yang
berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan
dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial
ekonomi mereka. Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus
diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri.
Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan,
organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari penyelesaian
masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini nantinya
akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk
mengontrol pemerintah dan menumbuhkan kesadaran bahwa
pemerintah sebenarnya adalah milik rakyat. Ketika pemerintah
mendorong kepemilikan dan kontrol ke dalam masyarakat,
tanggung jawabnya belum berakhir. Pemerintah mungkin tidak
lagi memproduksi jasa, tetapi masih bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan telah terpenuhi.
c. Ketiga, pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan
persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Artinya, berusaha
memberikan seluruh pelayanan tidak hanya menyebabkan
resources pemerintah menjadi habis terkuras, tetapi juga
menyebabkan pelayanan yang harus disediakan semakin
berkembang melebihi kemampuan pemerintah (organisasi
publik), hal ini tentunya mengakibatkan buruknya kualitas
dan efektifitas pelayanan publik yang dilakukan mereka. Oleh
karena itu, pemerintah harus mengembangkan kompetisi
(persaingan) di antara masyarakat, swasta dan organisasi
non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya
diharapkan efisiensi yang lebih besar, tanggung jawab yang
lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih inovatif.
Diantara keuntungan paling nyata dari kompetisi adalah
efisiensi yang lebih besar sehingga mendatangkan lebih banyak
112
Manajemen Sektor Publik

uang, kompetisi memaksa monopoli pemerintah (atau swasta)


untuk merespon segala kebutuhan pelanggannya, kompetisi
menghargai inovasi, dan kompetisi membangkitkan rasa harga
diri dan semangat juang pegawai negeri.
d. Keempat, pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah
organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Artinya,
pemerintahan yang dijalankan berdasarkan peraturan akan
tidak efektif dan kurang efisien, karena bekerjanya lamban dan
bertele-tele. Oleh karena itu, pemerintahan harus digerakkan
oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga akan berjalan
lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi
organisasi sebagai tujuan, birokrat pemerintahan dapat
mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang
memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai
misi organisasi tersebut. Diantara keunggulan pemerintah
yang digerakkan oleh misi adalah lebih efisien, lebih efektif,
lebih inovatif, lebih fleksibel, dan lebih mempuyai semangat
yang tinggi ketimbang pemerintahan yang digerakkan oleh
aturan.
e. Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil,
bukan masukan. Artinya, bila lembaga-lembaga pemerintah
dibiayai berdasarkan masukan (income), maka sedikit sekali
alasan mereka untuk berusaha keras mendapatkan kinerja
yang lebih baik. Tetapi jika mereka dibiayai berdasarkan
hasil (outcome), mereka menjadi obsesif pada prestasi. Sistem
penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya didasarkan
atas kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar
anggaran dan tingkat otoritas. Karena tidak mengukur hasil,
pemerintahan-pemerintahan yang birokratis jarang sekali
mencapai keberhasilan. Mereka lebih banyak mengeluarkan
untuk pendidikan negeri, namun nilai tes dan angka putus
sekolah nyaris tidak berubah. Mereka mengeluarkan lebih
banyak untuk polisi dan penjara, namun angka kejahatan terus
meningkat.
f. Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi
kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. Artinya, pemerintah

113
Manajemen Sektor Publik

harus belajar dari sektor bisnis di mana jika tidak fokus dan
perhatian pada pelanggan (customer), maka warga negara tidak
akan puas dengan pelayanan yang ada atau tidak bahagia.
Oleh karena itu, pemerintah harus menempatkan rakyat
sebagai pelanggan yang harus diperhatikan kebutuhannya.
Pemerintah harus mulai mendengarkan secara cermat para
pelanggannya, melaui survei pelanggan, kelompok fokus dan
berbagai metode yang lain. Tradisi pejabat birokrasi selama
ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika melayani
warga masyarakat yang datang keistansinya. Tradisi ini harus
diubah dengan menghargai mereka sebagai warga negara yang
berdaulat dan harus diperlakukan dengan baik dan wajar.
Diantara keunggulan sistem berorientasi pada pelanggan
adalah memaksa pemberi jasa untuk bertanggung jawab kepada
pelanggannya, mendepolitisasi keputusan terhadap pilihan
pemberi jasa, merangsang lebih banyak inovasi, memberi
kesempatan kepada warga untuk memilih di antara berbagai
macam pelayanan, tidak boros karena pasokan disesuaikan
dengan permintaan, mendorong untuk menjadi pelanggan
yang berkomitmen, dan menciptakan peluang lebih besar bagi
keadilan.
g. Ketujuh, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang
membelanjakan. Artinya, sebenarnya pemerintah mengalami
masalah yang sama dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan
akan keuangan, tetapi mereka berbeda dalam respon yang
diberikan. Daripada menaikkan pajak atau memotong program
publik, pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana
menjalankan program publik dengan dengan sumber daya
keuangan yang sedikit tersebut. Dengan melembagakan konsep
profit motif dalam dunia publik, sebagai contoh menetapkan
biaya untuk public service dan dana yang terkumpul digunakan
untuk investasi membiayai inovasi-inovasi di bidang pelayanan
publik yang lain. Dengan cara ini, pemerintah mampu
menciptakan nilai tambah dan menjamin hasil, meski dalam
situasi keuangan yang sulit.
h. Kedelapan, pemerintahan antisipatif: mencegah daripada
mengobati. Artinya, pemerintahan tradisional yang birokratis
114
Manajemen Sektor Publik

memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah.


Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai
perawatan kesehatan. Untuk meng-hadapi kejahatan, mereka
mendanai lebih banyak polisi. Untuk memerangi kebakaran,
mereka membeli lebih banyak truk pemadam kebakaran.
Pola pemerintahan semacam ini harus diubah dengan lebih
memusatkan atau berkonsentrasi pada pencegahan. Misalnya,
membangun sistem air dan pembuangan air kotor, untuk
mencegah penyakit; dan membuat peraturan bangunan, untuk
mencegah kebakaran. Pola pencegahan (preventif) harus
dikedepankan daripada pengobatan mengingat persoalan-
persoalan publik saat ini semakin kompleks, jika tidak diubah
(masih berorientasi pada pengobatan) maka pemerintah akan
kehilangan kapasitasnya untuk memberikan respon atas
masalah-masalah publik yang muncul.
i. Kesembilan, pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju
partisipasi dan tim kerja. Artinya, pada saat teknologi masih
primitif, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan
pekerja publik relatif belum terdidik, maka sistem sentralisasi
sangat diperlukan. Akan tetapi, sekarang abad informasi dan
teknologi sudah mengalami perkembangan pesat, komunikasi
antardaerah yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak
pegawai negeri yang terdidik dan kondisi berubah dengan
kecepatan yang luar biasa, maka pemerintahan desentralisasilah
yang paling diperlukan. Tidak ada waktu lagi untuk menunggu
informasi naik ke rantai komando dan keputusan untuk turun.
j. Kesepuluh adalah pemerintahan berorientasi pasar:
mendongkrak perubahan melalui pasar. Artinya, daripada
beroperasi sebagai pemasok masal barang atau jasa tertentu,
pemerintahan atau organisasi publik lebih baik berfungsi
sebagai fasilitator dan pialang dan menyemai pemodal pada
pasar yang telah ada atau yang baru tumbuh. Pemerintahan
entrepreneur merespon perubahan lingkungan bukan dengan
pendekatan tradisional lagi, seperti berusaha mengontrol
lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang inovatif untuk
membentuk lingkungan yang memungkinkan kekuatan
pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari hanya institusi
115
Manajemen Sektor Publik

politik, sehingga strategi yang digunakan adalah membentuk


lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan
menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama.
Dalam rangka melakukan optimalisasi pelayanan publik, 10 prinsip
di atas seharusnya dijalankan oleh pemerintah sekaligus, dikumpulkan
semua menjadi satu dalam sistem pemerintahan, sehingga pelayanan
publik yang dilakukan bisa berjalan lebih optimal dan maksimal. 10
prinsip tersebut bertujuan untuk menciptakan organisasi pelayanan
publik yang smaller (kecil, efisien), faster (kinerjanya cepat, efektif)
cheaper (operasionalnya murah) dan kompetitif. Dengan demikian,
pelayanan publik oleh birokrasi kita bisa menjadi lebih optimal dan
akuntabel. Paradigma pelayanan telah terjadi pembalikan metal model
pada birokrat dari keadaan yang lebih suka dilayani menuju pada lebih
suka melayani. Yang pertama menempatkan pemimpin puncak birokrasi
pada piramida tertinggi dengan warga negara (customer) berada pada
posisi terbawah. Sebaliknya yang kedua menempatkan warga negara
(customer) berada pada puncak primida dengan pemimpin birokrasi
berada pada posisi paling bawah. Hal ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6.1 Paradigma Lama dan Paradigma Baru

Sumber: Berbagai Sumber

Perubahan paradigma pemerintahan dari sentralitis menuju


desentralistis yang ditandai dengan kebijakan otonomi daerah membawa
nuasa baru dalam penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai upaya
untuk lebih memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakat.
Perubahan paradigma tersebut sekaligus mencirikan perubahan volume
atau beban tugas pemerintah daerah dalam menampung seluruh urusan
yang diserahkan yang nantinya akan diwadahi dalam struktur organisasi
116
Manajemen Sektor Publik

perangkat daerah. Reformasi birokrasi baik pada tingkat pemerintah


pusat maupun pemerintah daerah merupakan kebutuhan dalam upaya
untuk mewujudkan “good public governance”.
Tata kepemerintahan yang baik merupakan suatu konsepsi tentang
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif
sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat madani. Tata
kepemerintahan yang baik merupakan suatu bentuk pemerintahan
dan administrasi publik yang mampu bekerja secara efisien, yakni
mampu memenuhi kebutuhan rakyat. Reformasi birokrasi di tingkat
pemerintah daerah diarahkan untuk melakukan sebuah upaya
penyempurnaan terhadap semua kelemahan atau kekurangan yang
terjadi pada pelaksanaan kebijakan desentrali sasi sebagai ujung tombak
dalam mengem-bang fungsi utama birokrasi yaitu pelayanan publik
yang secara langsung menyentuh upaya pemenuhan kepen-tingan atau
kebutuhan masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
menjadi menurun ketika berurusan dengan dokumen perijinan yang
terkesan berbelit-belit.
Padahal dokumen perijinan yang seharusnya bisa diproses dengan
cepat menjadi lambat. Perijinan yang berbelit adalah penyakit lama
birokrasi. Reformasi sektor pelayanan perijinan dimulai dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor
24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (PPTSP). Pelayanan publik yang bersifat adminitratif,
yang meliputi pelayanan perijinan dan pelayanan non-perijinan.
Khusus untuk reformasi birokrasi untuk pelayanan perijinan juga telah
dikeluarkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman
Organisasi Dan Tatakerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah.
Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 ini merupakan pelaksanaan
dari Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah.
Semua produk hukum tersebut merupakan upaya untuk deregulasi
dan debirokratisasi perijinan. Deregulasi dan debirokratisasi perijinan
usaha merupakan kebijakan yang diambil untuk memperbaharui
proses penyelenggaraan pelayanan perijinan kepada masyarakat oleh
pemerintah, selama ini dirasakan menghambat atau tersendat, untuk
disempurnakan melalui proses percepatan pelayanan dengan memotong

117
Manajemen Sektor Publik

mata rantai pengaturan pelayanan dan unit organisasi yang terlibat.


Proses penyempurnaannya harus terpadu, lintas instansi, lintas sektor,
dan dikoordinasikan oleh satu instansi pemerintah yang memiliki
kompetensi dan kewenangan untuk mengambil kebijakan, mengurangi
aturan prosedur, dan rasionalisasi kelembagaan pemerintah.
Pelayanan perijinan terpadu adalah bentuk implementasi
reformasi birokrasi yang sedang dilaksanakan, karena birokrasi
telah menjadi lembaga yang boros, inefisien, dan lamban. Hal ini
kemudian memunculkan praktik pungli dan calo. Bahkan, dulu sering
ada sindiran “Kalau bisa lama kenapa mesti dipercepat?” maka perlu
dibuat pemangkasan birokrasi untuk memberi kemudahan pelayanan
bagi masyarakat agar lebih cepat, mudah, sederhana, dan transparan
dalam mengurus perizinan. Ini adalah upaya untuk mengintegrasikan
sistem pelayanan yang dulu tersebar di unit-unit, kini menjadi terpadu.
Problem pelayanan yang tidak transparan, sistem yang tertutup, tidak
ada standar pelayanan, membuat pelayanan sangat lamban.
Sebenarnya, trend pembentukan pelayanan terpadu sudah banyak
dijumpai di daerah sejak otonomi daerah digulirkan pada tahun 2001.
Modelnya biasanya berbentuk pelayanan satu atap. Bentuk lembaganya
bervariasi. Ada yang berbentuk Unit, Kantor, Badan, maupun Dinas.
Namanya pun bermacam-macam mulai Unit Pelayanan Terpadu
(UPT), Kantor Pelayanan Terpadu (BPT). Ada juga yang menamakan
Dinas Perijinan dan Penanaman Modal. Terhadap keberadaan
Penyelenggaraan Pela-yanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) terdapat dua
kelompok tanggapan. Kelompok pertama adalah yang mendukung
keberadaan pelayanan ini. Kelompok ini melihat pada respon yang baik
dari masyarakat maupun aparat pemerintah di beberapa kabupaten
atau kota terhadap keberadaan pelayanan terpadu. Contoh keberhasilan
itu adalah Kabupaten Sragen yang mendapatkan penghargaan untuk
mutu pelayanan terpadunya dan menjadi contoh bagi kabupaten atau
kota lain. Kebijakan pelayanan terpadu dapat mendukung terciptanya
aspek-aspek dalam good governance dan memperkecil kemungkinan
terjadinya kolusi dan korupsi. Kelompok kedua adalah kelompok yang
Deregulasi dan Debirokratisasi Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan
menentang keberadaan PTSP ini. Keberadaan pelayanan terpadu
tidak akan berjalan efektif karena instansi hanya memindahkan orang

118
Manajemen Sektor Publik

dan tempat. Bahkan di beberapa aspek menimbulkan kerugian bagi


masyarakat, misalnya yang semula letak pengurusan dekat, dengan
adanya kebijakan pelayanan terpadu satu pintu pengurusannya menjadi
lebih jauh. Karena tidak ada altenatif pengurusan, maka iklim kompetisi
dalam mem-berikan pelayanan menjadi tidak ada.

119
Manajemen Sektor Publik

120
Manajemen Pelayanan Publik

A. Konsep Pelayanan Publik


Pelayanan Publik merupakan bentuk jasa pelayanan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Pada dasarnya, Pelayanan publik bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan menanggulangi masalah yang ada di
masyarakat. Pelayanan publik merupakan ranah tempat bergantung
banyak pihak untuk menyelesaikan masalah publik secara rasional
dan dapat diterima oleh berbagai kelompok kepentingan yang terlibat.
salah satu cara untuk melaksanakan pelayanan publik adalah melalui
Kebijakan Publik. Kebijakan publik harus dikembangkan sebagai
alat untuk mengedepankan perubahan di sektor publik, sehingga
pergerakan reformasi di sektor publik dapat bergerak lebih cepat dari
yang diusahakan ol Menurut AG. Subarsono (Agus Dwiyanto,2005:
141) pelayanan publik didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas
yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan
warga pengguna. Pengguna yang dimaksud adalah warga negara yang
membutuhkan pelayanan publik, seperti pembuatan akta kelahiran,
pembuatan KTP, akta nikah, akta kematian, sertifikat.
Menurut Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas
barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009, ruang lingkup pelayanan publik

121
Manajemen Sektor Publik

meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan


administratif yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Dalam
ruang lingkup tersebut, termasuk pendidikan, pengajaran, pekerjaan
dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan
hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan,
sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnyaeh kebijakan
publik sebelumnya.

B. Manajemen Pelayanan Publik


Menurut Manulang sebagaimana dikutip oleh Ratminto & Atik
Septi Winarsih (2016:1) Mengemukakan bahwa manajemen adalah seni
dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan
pengawasan dari pada sumber daya manusia untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Tujuan dari perusahaan atau
lembaga pendidikan akan tercapai dengan baik apabila manajemennya
dikelola dengan baik pula. Kepuasan pelanggan dalam suatu perusahaan
atau lembaga pendidikan ditentukan salah satunya oleh manajemen
pelayanan yang bagus atau servis yang baik terhadap pelanggan.
Manajemen adalah inti dari administrasi, karena manajemen
merupakan alat pelaksana utama administrasi. Adapun pengertian
manajemen menurut para ahli diantaranya Gibson dan Donelly dan
Ivancevich dalam buku Ratmanto (2005:2) suatu proses yang dilakukan
oleh satu atau lebih individu untuk mengkoordinasikan berbagai
aktifitas lain untuk mencapai hasil-hasil yang tidak dicapai apabila satu
individu bertindak sendiri. Sedangkan menurut Ratminto dan Atik
Septi Winarsih. (2005:2). manajmen pelayanan dapat di artikan yaitu
sebuah proses penerapan ilmu dan seni untuk menyususn rencana,
mengimplementasikan rencana, mengkoordinasikan dan menyelesai
kan aktivitas-aktivitas pelayanan demi tercapainya tujuan-tujuan
pelayanan yang tegas dan ramah terhadap konsumen, terciptanya
interaksi khusus dan kontrol kualitas dengan pelanggan.
Manajemen publik seringkali diidentikan dengan manajemen
instansi pemerintah. Kemudian Rinaldi,, Runi. (2012:45) mengatakan
bahwa manajemen adalah suatu studi interdisispliner dari aspek-
aspek umum organisasi dan merupakan gabungan antara fungsi
manajemen yaitu seperti planning, organizing, dan controling di satu

122
Manajemen Sektor Publik

sisi sedangkan di sisi lain adalah SDM, keuangan, fisik, informasi dan
politik. Manajemen pelayanan publik juga dapat diartikan sebagai suatu
proses perencanaan dan pengimplementasian serta mengarahkan dan
juga mengkoordinasikan penyelesaian aktifitas-aktifitas pelayanan
publik demi tercapainya tujuan-tujuan pelayanan publik yang telah di
tentukan sebelumnya. Manajemen pelayanan publik yang baik tentu
saja akan berpengaruh dan memberikan pelayanan yang berkualitas,
sebaliknya buruknya kualitas pelayanan publik maka akan berpengaruh
pada tingkat kepercayaan masyrakat terhadap pemerintah. Dari uraian
diatas dapat di pahami bahwa pelayanan adalah suatu proses.
Dengan demikina Objek utama dari manajemen pelayanan
publik adalah pelayanan itu sendiri, jadi manajemen pelayanan publik
adalah manajemen proses, yaitu sisi manajemen yang mengatur dan
mengendalikan proses layanan, agar mekanisme kegiatan pelayanan
dapat berjalan dengan tertib, lancar, tepat sasaran, serta memuaskan
bagi pihak yang dilayani. Selanjutnya Rinaldi , Runi. (2012:45). Juga
Manyatakan bahwa: Pelayanan publik hampir secara otomatis akan
dapat membentuk citra ( image ) tentang kinerja birokrasi. Karena
kebijakan negara yang menyangkut pelayanan publik tidak lepas dari
birokrasi. Sehubungan dengan itu kinerja birokrasi secara langsung
berkaitan dengan masalah kualitas pelayanan yang diberikan oleh
aparatur.

C. Model Manajemen Pelayanan


Pelayanan yang baik hanya akan dapat terwujud apabila dalam
lingkungan internal suatu organisasi penyelenggara layanan kepada
msayarakat terdapat beberapa faktor yaitu, sistem pelayanan yang
mengutamakan kepentingan pelanggan, kultur pelayanan dalam suatu
organisasi pelayanan dan sumber daya manusia yang mengutamakan
kepentingan masyarakat dan sumber daya yang memadai. Seperti yang
tertuang dalam skema sebagai berikut :

123
Manajemen Sektor Publik

Gambar 7.1 Model Manajemen Segitiga Pelayanan

Sumber: Albrecht & Bradford ( 2009 ).

Penjelasan gambar di atas menurut teori dalam buku Ratminto,


bahwa pelayanan yang baik akan dapat diwujudkan apabila penguatan
posisis tawar pengguna jasa pelayanan (masyarakat/pelanggan)
mendapatkan prioritas utama. Dengan demikian pengguna jasa
pelayanan dapat prioritas utama dan dukungan dari berbagai faktor
di antaranya kultur organisasi pelayanan yang mengutamakan
kemudian kepentingan masyarakat khususnya pengguna jasa dan
sistem pelayanan dalam organisasi penyelenggara pelayanan serta
sumber daya manusia yang berorientasi pada pengguna jasa. Dari
pernyataan di atas dapat diketahui bahwa pelayanan yang baik akan
dapat diwujudkan apabila pengguna jasa atau masyarakat sebagai
pelanggan diletakkan dalam pusat yang mendapatkan dukungan dari
kultur organisasi yang berorientasi kepada kepentingan masayarakat
seperti visi misi, komitmen, serta pembagian kerja organisasi.
Selain itu pengguna jasa juga dapat dukungan dari sistem pelayanan
organisasi yang berorientasi kepada masyarakat, dalam hal ini bahwa
kemudahan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan seperti
penggunaan teknologi serta kejelasan suatu prosedur organisasi yang
tidak menyulitkan masayarakat. Selain itu pengguna jasa sebagai
tumpuan utama juga mendapatkan dukungan dari sumber daya manusia
yang berorientasi kepada kepentingan pelanggan. Dalam hal ini pemberi
jasa pelayanan harus meletakkan kepentingan pelanggan diatas
kepentingan pribadi, selain itu sumber daya manusia juga harus memiliki
kompetensi yang baik dalam hal melayanai kepentingan pelanggan. Jika
suatu organisai dapat melakukan hal tersebut dengan baik maka akan

124
Manajemen Sektor Publik

dapat dikatakan organisasi tersebut berorientasi kepada kepentingan


pelanggan.

D. Prinsip Pelayanan Publik


Dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus dilakukan dengan
prisip-prinsip pelayanan publik sebagai berikut:
1. Sederhana, standar pelayanan yang mudah dimengerti, mudah
diikuti, mudah dilaksanakan, mudah diukur, dengan prosedur
yang jelas dan biaya terjangkau bagi masyarakat maupun
penyelenggara.
2. Partisipatif, penyusunan standar pelayanan dengan melibatkan
masyarakat dan pihak terkait untuk membahas bersama dan
mendapatkan keselarasan atas dasar komitmen atau hasil
kesepakatan.
3. Akuntabel, Hal-hal yang diatur dalam standar pelayanan harus
dapat dilaksana kan dan dipertanggungjawabkan kepada pihak
yang berkepentingan.
4. Berkelanjutan, standar pelayanan harus terusmenerus
dilakukan perbaikan sebagai upaya peningkatan kualitas dan
inovasi pelayanan.
5. Transparansi, standar pelayanan harus dapat dengan mudah
diakses oleh masyarakat.
6. Keadilan, standar pelayanan harus menjamin bahwa pelayanan
yang diberikan dapat menjangkau semua masyarakat yang
berbeda status ekonomi, jarak lokasi geografis, dan perbedaan
kapabilitas fisik dan mental.

E. Inovasi Pelayanan Publik


Inovasi Pelayanan Publik adalah terobosan jenis pelayanan baik yang
merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi. Menurut
Peraturan Menteri PANRB No. 30/2014, inovasi pelayanan publik
adalah terobosan jenis pelayanan publik baik yang merupakan gagasan/
ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang memberikan
manfaat bagi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Inovasi ini tidak harus berupa suatu penemuan baru, melainkan pula

125
Manajemen Sektor Publik

mencakup pendekatan baru, perluasan maupun peningkatan kualitas


pada inovasi pelayanan publik yang ada.

1. Definisi Inovasi
Menurut Rogers (dalam Rina 2013) inovasi adalah sebuah ide,
praktik atau objek yang dianggap baru oleh individu satu unit adopsi
lainnya. Menurut Asian Development Bank inovasi adalah Sesuatu
yang baru, dapat diimplementasikan, dan memliki dampak yang
menguntungkan. Inovasi bukan sebuah kejadian ataupun aktivitas; ini
adalah konsep, proses, penerapan, dan kapabilitas yang menentukan
kesuksesan organisasi. Inovasi dapat membantu sektor publik untuk
membuat nilai untuk masyarakat. Menurut Damanpour dalam Yogi
Suwarno inovasi dapat berupa produk atau jasa yang baru, teknologi
yang baru, teknologi proses produksi yang baru, sistem struktur dan
administrasi baru atau rencana baru bagi anggota organisasi. Menurut
Rina Mei Mirnasari (2013) mengartikan inovasi di dalam pelayanan
publik bisa diartikan sebagai prestasi dalam meraih, meningkatkan, dan
memperbaiki efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas pelayanan publik
yang dihasilkan oleh inisiatif pendekatan, metodologi, dan atau alat
baru dalam pelayanan masyarakat.
Inovasi layanan dapat didefinisikan sebagai “suatu proses yang berisi
konsep-konsep baru dan produksi, pengembangan dan implementasi
perilaku . Ini juga merupakan metode , perubahan respon terhadap
lingkungan eksternal atau tindakan pertama akibat pengaruh lingkungan
terhadap transformasi organisasi.” (Lu and Tseng, 2010 apud Daft,
1978). Menurut Mulgan dan Albury dalam Muluk mengatakan bahwa
inovasi yang sukses merupakan kreasi dan implementasi dari proses,
produk, layanan, dan metode pelayanan baru yang merupakan hasil
pengembangan nyata dalam efisiensi, efektivitas, atau kualitas hasil.

2. Jenis-jenis Inovasi Pelayanan Publik


Menurut Agus Dwiyanto jenis-jenis inovasi pelayanan publik
terbagi menjadi empat jenis yaitu Inovasi pelayanan, Inovasi dalam
proses, Inovasi sistim, Inovasi konsepsual. Cara menerapkan inovasi
dapat diuraikan sebagai berikut;
a. Nilai. Pembatasan pihak yang cukup aneh, personil tidak
akan berinovasi tanpa lisensi: budaya inovatif membutuhkan

126
Manajemen Sektor Publik

pemerintahan pro inovasi dan dukungan dari atas untuk


memastikan ide-ide terangkut. Masalah kebijakan dan
perilaku: mengintip inovasi dalam setiap pesan. Memelihara
budaya kepercayaan di mana inovasi dipandang sebagai hal
yang alamiah, bahkan biasa, dan personil berkomunikasi secara
bebas dalam mendukung: ide-ide baru dan cara-cara baru dalam
melakukan sesuatu diperbolehkan. Menyelaraskan insentif
dan manfaat, memperbaiki disinsentif, dan memperkenalkan
inovasi dalam setiap bagian dari organisasi, misalnya, melalui
penghargaan, penentuan upah, dan bercerita. Tumbuhkan hal
yang bekerja untuk membuat budaya inovatif semakin kuat.
b. Sumber Daya. Sebuah sumber daya merupakan sumber atau
pasokan dimana sebuah organisasi mendapatkan keuntungan.
Letakkan inovasi pada inti strategi dan melengkapinya.
Mengidentifikasi bidang prioritas untuk inovasi. Memperbaharui
kebijakan sumber daya manusia untuk mengeluarkan yang
terbaik dari inovator. Membangun lingkungan fisik yang
membuat orang berpartisipasi. Mengeksploitasi perbedaan:
melibatkan personil yang bersemangat yang berpikir kreatif
dan melihat pola-pola baru, penggambaran pada teknologi baru
untuk menarik kebutuhan dan kemungkinan secara bersama-
sama. Membentuk tim khusus dan jaringan yang bertanggung
jawab untuk mempromosikan inovasi. Mendorong dan menarik
untuk menciptakan tekanan untuk inovasi, juga menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi. Mengelola persediaan dan
arus pengetahuan untuk memperkaya bahan baku pemikiran
kreatif. Inovasi keuangan untuk memastikan bahwa kurangnya
sumber daya bukanlah kendala serius. Alihkan sebagian kecil
dari anggaran untuk menghasilkan, memilih, melaksanakan,
dan menyebarkan inovasi, termasuk pelatihan. Dana untuk
hasil yang dicapai, bukan aturan yang dipatuhi. Mengambil
persediaan dengan menghargai pertanyaan, inspeksi, dan audit
dari apa yang bekerja, menjanjikan, atau muncul.
c. Proses. Sebuah proses bisnis adalah kumpulan yang saling
terkait, kegiatan atau tugas terstruktur yang melayani tujuan
tertentu: dimulai dengan tujuan misi dan berakhir dengan
pencapaian tujuan itu. Memberikan organisasi manajemen,
127
Manajemen Sektor Publik

operasional, proses dan pendukung yang meningkatkan


pengetahuan percaloan ide dari generasi ke seleksi,
implementasi, dan difusi. Membuat inovasi sebagai prasyarat
pekerjaan dan menentukan pekerjaan di sekitarnya. Berikan
waktu untuk berpikir. Membuka ruang untuk ide-ide dan
menarik ide tersebut dari orang-orang di semua tingkatan.
Mengembangkan daftar alat, metode, dan pendekatan untuk
mencoba hal-hal, termasuk inkubator, laboratorium, pencari
jalan, pilot, dan pekerjaan yang menipu. Bermain-main dan
mencoba dengan prototipe dan pilot. Mengevaluasi eksperimen.
menekankan menarik pengguna melalui teknologi pendorong
untuk mengkooptasi konsumen dalam inovasi. Berkolaborasi
dengan pihak luar untuk membantu memecahkan masalah.
Juga mencari informasi dari luar, misalnya dengan pembanding,
melakukan kunjungan situs, dan berpartisipasi dalam jaringan
profesional. Mengurangi prosedur berbasis bukti. Bentuk
bujukan untuk adopsi, pengskalaan, dan difusi oleh tim dan
jaringan. Menjadi pintar tentang risiko dan bagaimana mereka
dapat dikelola.

3. Proses Inovasi Pelayanan Publik


Menurut Rogers (1983 dalam Chitta et al, 2014) menyampaikan
teori difusi inovasi, dalam teori tersebut terdapat lima tahapan dalam
inovasi yaitu Knowledge (pengetahuan), Persuasion (kepercayaan),
Decision (keputusan), Implementation (penerapan) dan Confirmation
(konfirmasi). Selanjutnya untuk terwujudnya Inovasi Dalam Sebuah
Pelayanan Publik menurut Rogers (2003 dalam Ladiatno, 2013:9)
terdapat lima atribut yang dapat digunakan dalam melihat inovasi pada
sebuah instansi yaitu Relative Advantage (keuntungan relatif), Compability
(kesesuaian), Complexity (kerumitan), Triability (kemungkinan dicoba),
Observability (kemudahan diamati). Namun pasti juga ada hambatan
dalam inovasi menurut Geoff Mulgan dan David Albury (2003) terdapat
delapan penghambat dalam tumbuhnya inovasi diantaranya yaitu
a. Reluctance to close down failing program or organization (keengganan
untuk menutup program atau organisasi yang gagal)
b. Over-reliance on high performers as source of innovation (tingginya
ketergantungan pada salah satu pihak sebagai sumber inovasi)
128
Manajemen Sektor Publik

c. Technologies available but constraining cultural or organizational


arrangement (Teknologi tersedia tetapi tidak sesuai dengan
budaya organisasi).
d. No rewards or incentives to innovate or adopt innovations (Tidak
ada imbalan atau insentif untuk berinovasi atau mengadopsi
inovasi).
e. Poor skills in active risk or change management (rendahnya
kemampuan)
f. Short-term budget and planning horizons (perencanaan dan
penganggaran jangka pendek).
g. Delivery pressures and administrative burdens (adanya tekanan
administrasi)
h. Culture of risk aversion (budaya menghidari resiko).

F. Klasifikasi Pelayanan Publik


1. Kualitas Pelayanan
Penerapan sistem kualitas yang berfokus pada pelanggan dapat
berhasil guna apabila kita memahami lebih awal hambatan-hambatan
yang dihadapi. Salah satu hambatan yang selama ini ditemukan adalah
ketidakpedulian dan ketidakberdayaan aparatur dalam menerapkan
sistem kualitas yang berfokus pada pelanggan. Hasil studi dari berbagai
buku manajemen kualitas yang dilakukan oleh Masters (1996) yang
kemudian dikutip oleh Gaspersz (1997 : 265) menyatakan bahwa
hambatan pengembangan sistem manajemen kualitas pelayanan publik
adalah sebagai berikut :
a. Ketiadaan komitmen dari manajemen;
b. Ketiadaan pengetahuan atau kekurangpahaman tentang
manajemen kualitas;
c. Ketidakmampuan mengubah kultur;
d. Ketidaktepatan perencanaan kualitas;
e. Ketiadaan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan;
f. Ketidakmampuan membangun suatu learning organization;
g. Ketidakcocokan struktur organisasi serta departemen individu
yang terisolasi;

129
Manajemen Sektor Publik

h. Ketidakcukupan sumber daya;


i. Ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi
karyawan;
j. Ketidaktepatan mengadopsi prinsip-prinsip manajemen
kualitas ke dalam organisasi;
k. Ketidakefektifan teknik-teknik pengukuran dan ketiadaan
akses ke data dan hasil;
l. Berfokus jangka pendek dan menginginkan hasil yang tepat;
m. Ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan
internal dan eksternal;
n. Ketidakcocokan kondisi untuk implementasi manajemen
kualitas;
o. Ketidaktepatan menggunakan pemberdayaan dan kerja sama.
(Lukman, 1999 : 44)
Selanjutnya Gaspersz (1997 : 265) menyatakan bahwa keberhasilan
pengembangan manajemen kualitas suatu organisasi tergantung
pada dua hal pokok yaitu Keinginan besar manajemen puncak untuk
menerapkan prinsip-prinsip kualitas dalam organisasi, dan Prinsip
kualitas diakomodasi dalam sistem manajemen kualitas. Oleh karena itu
untuk mewujudkan pelayanan masyarakat yang berkualitas dibutuhkan
komitme dan partisipasi pimpinan puncak birokrasi pemerintah dan
seluruh anggotanya terhadap kepuasan masyarakat.
Dengan komitmen yang besar terhadap kualitas maka diharapkan
hambatan- hambatan yang muncul dalam pelayanan masyarakat dapat
diminimalisir. Karena komitmen merupakan kunci pokok (starting
point) untuk bertindak lebih lanjut. Komitmen pemerintah untuk
memperbaiki pelayanan masyarakat tampak dengan diterbitkannya
keputusan MENPAN Nomor.58/KEP/M.PAN/9/2002 tentang
Pedoman Pelaksanaan Penilaian dan Penghargaan Citra Pelayanan
Prima sebagai Unit Pelayanan Percontohan. Penilaian ini dimaksudkan
untuk menstimulasi dan memotivasi unit pelayanan agar mengerahkan
sumber daya nya dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas kinerja
pelayanan dan terpilih menjadi unit pelayanan percontohan yang dapat
dicontoh bagi unit pelayanan lain.

130
Manajemen Sektor Publik

2. Hakikat Pelayanan Publik


Keputusan MENPAN No.63 Tahun 2004 menyatakan bahwa
Hakikat Pelayanan Publik adalah pemberian pelayanan prima
kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur
pemerintah sebagai abdi masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan
hakekat pelayanan umum sebagai berikut
a. Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan
fungsi Instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.
b. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana
pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan
secara lebih berdayaguna dan berhasilguna.
c. Mendorong tumbuh kembangnya kreativitas, prakarsa,
dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
d. Pelayanan umum dilaksanakan dalam suatu rangkaian
kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar,
tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau.
Penyelenggaraan pelayanan publik adalah setiap institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk
berdasarkan undang- undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan
badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan
publik. Maka dapat dirumuskan yang menjadi unsur yang terkandung
dalam pelayanan publik yaitu:
a. Pelayanan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh suatu
badan atau lembaga atau aparat pemerintah maupun swasta.
b. Objek yang dilayani adalah masyarakat publik berdasarkan
kebutuhannya.
c. Bentuk pelayanan yang diberikan berupa barang atau jasa.
d. Ada aturan atau sistem dan tata cara yang jelas dalam
pelaksanaannya.

3. Standar Pelayanan Publik


Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik
dalam kerangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya
telah lama dilakukan. Upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan
terbitnya berbagai kebijakan seperti:
131
Manajemen Sektor Publik

a. Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyerdehanaan


dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha,
b. Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No. 81 Tahun 993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan
Umum,
c. Inpres No.1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan
Mutu Pelayanan Aparatur Pemerinta Kepada Masyarakat
d. Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98
tentang Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan
Masyarakat. Instruksi Mendagri No. 20/1996;
e. Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56 / MK. Wasbangpan /
6 /98; Surat Menkowas-bangpan No. 145/MK.Waspan/3/1999;
hingga Surat Edaran Mendagri No. 503/125/ PUOD/1999,
yang kesemuanya itu bermuara pada peningkatan kualitas
pelayanan.
f. Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman
Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
g. Kep. Menpan No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana
Pelayanan Umum
h. Surat Edaran Depdagri No. 100/757/OTDA tentang
Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan
Minimum, pada tahun 2002.
Sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud
masih lebih banyak berada pada tingkat konseptual, sedangkan
implementasinya masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari masih
buruknya kualitas pelayanan yang diberikan oleh berbagai instansi
pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik. Pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan
penduduk atas suatu barang dan jasa atau pelayanan administrasi
yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Standar
pelayanan publik adalah suatu tolak ukur yang dipergunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas
pelayanan sebagai komitmen atau janji dari penyelenggara pelayanan
kepada masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas.

132
Manajemen Sektor Publik

Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam


pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen
penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu
kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-
harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan.
Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi
jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan,
perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana
dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan.
Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai
standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi
mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya
proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah
informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya
manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan
yang akan ditanganinya.
Adapun manfaat dari adanya standar pelayanan publik ini antara
lain adalah sebagai berikut :
a. Memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka
mendapat pelayanan dalam kualitas yang dapat dipertanggung
jawabkan, memberi fokus pelayanan kepada pelanggan/
masyarakat. Menjadi alat komunikasi antara pelanggan dengan
penyedia pelayanan dalam upaya meningkatakan pelayanan,
menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi
alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan.
b. Melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan
kinerja pelayanan publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan
dalam kehidupan bernegara pelayanan publik menyangkut
aspek kehidupan yang sangat luas.
c. Meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan
dapat membantu unit-unit penyedia jasa pelayanan untuk
dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat
pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat
dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur
pelayanan, waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan,
133
Manajemen Sektor Publik

sehingga petugas pelayanan memahami apa yang seharusnya


mereka lakukan dalam memberikan pelayanan.
Berdasarkan uraian diatas, maka standar pelayanan menjadi faktor
kunci dalam upaya meningkatakan kualitas pelayanan publik. Upaya
penyediaan pelayanan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan
dengan memperhatikan ukuran-ukuran apa saja yang menjadi kriteria
kinerja pelayanan. Kemudian menurut LAN (2003), kritera-kriteria
pelayanan tersebut antara lain:
a. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat
diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-
belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pelanggan.
b. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap
dipertahankan dan menjaga saling ketergantungan antara
pelanggan dengan pihak penyedia pelayanan, seperti menjaga
keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam pencatatan
data dan tepat waktu.
c. Tanggung jawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi
pelayanan sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi
secepatnya apabila terjadi sesuatu yang perlu segera
diberitahukan.
d. Kecakapan para petugas pelayanan, bahwa para petugas
pelayanan menguasai keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan.
e. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak
pelanggan dengan petugas. Petugas pelayanan harus mudah
dihubungi oleh pelanggan, tidak hanya denga pertemuan
secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau internet. Oleh
karena itu lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus
diperhatikan.
f. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian, dan persahabatan
dalam kontak antara petugas pelayanan dan pelanggan.
Keramahan hanya diperlukan jika pelanggan termasuk dalam
konsumen konkret.
g. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh
informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan gambling,

134
Manajemen Sektor Publik

meiputi informasi mengenai tata cara, persyaratan, waktu


penyelesaian, biaya dan lain-lain.
h. Komunikasi antara petugas dan pelanggan
i. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan
dengan penyedia pelayanan.
j. Kejelasan dan kepastian yaitu mengenai tata cara, rincian
biaya layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu
penyelesaian layanan tersebut.
k. Keamanan, yaitu memberikan rasa aman dan bebas kepada
pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan.
l. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan
m. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari
pelayanan, beruapa fasilitas fisik.
n. Efisien yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi
pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapai sasaran
pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dengan produk pelayanan.
o. Ekonomis yaitu agra pengenaan biaya peleyanan harus
ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/
jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar.

135
Manajemen Sektor Publik

136
Hakikat Otonomi Daerah dalam
Pelayanan Publik

A. Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi berasal dari kata de dari bahasa Belanda artinya
lepas dan centerum yang arinya pusat. Sehingga desentralisasi
memiliki makna sesuatu yang terlepas dari pusat. Desentralisasi adalah
penyerahan Kekuasaan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom berdasarkan asas otonomi. pengertian ini sesuai dengan
Undang-undang nomor 23 tahun 2014. Dengan adanya desentralisasi
maka muncul otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana
di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya
dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir
ini sering kali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan
adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma
pemerintahan di Indonesia.
Menurut Rondinelli, definisi desentralisasi ialah penyerahan
keputusan atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada
lembaga swadaya masyarakat. Sedangkan Patrick Sills Pengertian
asas desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah,
Kemudian Jha S.N dan Mathur P.C mengatakan bahwa Desentralisasi
ialah sebuah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat dengan
cara devolusi kepada pejabat daerah. Lalu Irawan Soejipto berpendapat,
bahwa arti desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan
pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan. Sedangkan, menurut

137
Manajemen Sektor Publik

Koesoemahatmadja, ada dua bentuk desentralisasi, yaitu dekonsentrasi


dan desentralisasi politik.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi
berhubungan dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah
merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan
mengurus daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan
dari pemerintah pusat. Adanya desentralisasi akan berdampak positif
pada pembangunan daerah-daerah tertinggal dalam suatu negara
hingga daerah otonom tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat
memajukan pembangunan nasional. Menurut buku Hukum Pemda:
Otonomi Daerah dan Implikasinya (2013) karya Busrizalti, terdapat
dua kelompok besar untuk mendiskripsikan pengertian desentralisasi,
sebagai berikut:
1. Kelompok Anglo Saxon Dalam kelompok ini, desentralisasi
sebagai penyerahan wewenang dari pemerintah pusay, baik
kepada pejabat pusat yang ada di daerah atau kepada badan-
badan otonom daerah yang disebut devolusi. Devolusi sendiri
berarti sebagian kekuasaan diserahkan kepada badan-badan
politik di daerah yang diikuti dengan penyerahan kekuasaan
sepenuhnya untuk mengambil keputusan politis atau
administratif.
2. Kelompok Kontinental, Kelompok ini membedakan
desentralisasi menjadi dua bagian, yaitu dekonsentralisasi dan
desentralisasi ketatanegaraan.
Dekonsentralisasi atau desentralisasi jabatan adalah penyerahan
kekuasaan dari atas ke bawah terkait kepegawaian. Sedangkan
desentralisasi ketatanegaraan merupakan pemberian kekuasaan
untuk mengatur daerah di dalam lingkungannya untuk mewujudkan
demokrasi dalam pemerintahan negara. Bentuk desentralisasi dilansir
dari kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
desentralisasi dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Desentralisasi politik; Desentralisasi ini melimpahkan
kewenangan dari pemerintahan pusat yang meliputi hak
mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangga sendiri
bagi badan-badan politik di daerah yang dipilih oleh rakyat
dalam daerah-daerah tertentu.
138
Manajemen Sektor Publik

2. Desentralisasi fungsional; Desentralisasi fungsional adalah


pemberian hak kepada golongan tertentu untuk mengeurus
kepentingan golongan dalam masyarakat. Baik terikat maupun
tidak pada suatu daerah tertentu, seperti mengurus irigasi bagi
petani.
3. Desentralisasi kebudayaan; Desentralisasi kebudayaan
yaitu pemberian hak kepada golongan minoritas dalam
masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayaan sendiri,
seperti pendidikan, agama, dan lainnya. Dapat disimpulkan
bahwa desentralisasi adalah suatu proses penyerahan sebagian
wewenang dan tanggung jawab dari urusan yang semula.
Fungsi desentralisasi dilihat dari fungsi pemerintahannya,
desentralisasi memiliki segi positif, yakni:
1. Satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai
perubahan yang terhjadi begitu cepat.
2. Satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif
dan efisien
3. Satuan desentralisasi lebih inovatif
4. Satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang
tinggi, komitmen dan lebih produktif.
Tujuan desentralisasi dibedakan menjadi dua sudut pandang, yakni:
Kepentingan pemerintah pusat dalam kepentingan pusat ada empat
tujuan utama kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sebagai
berikut
1. Pendidikan politik pelatihan kepemimpinan penciptaan
stabilitas politik
2. Perwujudan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah
Kepentingan pemerintah daerah
3. Dilihat dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuannya
adalah: mewujudkan kesetaraan politik menciptakan
akuntabilitas (gagasan) lokal mewujudkan keresponsifan lokal
Secara garis besar tujuan uitama kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah adalah membuka akses yang lebih besar kepada
masyarakat sipil untuk berpartisipasi, baik dalam proses pengambilan
keputusan di daerah, maupun dalam pelaksanaannya.
139
Manajemen Sektor Publik

B. Perbedaan Desentralisasi dan Sentralisasi


Perbedaan desentralisasi ialah lebih kepada penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam
kerangka NKRI sedangkan Sentralisasi lebih ke pengaturan kewenangan
dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat untuk mengurus
rumah tangganya sendiri dalam kerangka NKRI. Dalam penerapan asas
sentralisasi, yang paling banyak menentukan keputusan mengenai suatu
permasalahan, baik di tingkat pusat ataupun di daerah, sedangkan dalam
penerapan asas desentralisasi setiap pengambilan keputusan mengenai
rumah tangga di daerahnya sendiri adalah hak dari pemerintah daerah.
Hal ini menyebabkan proses pengambilan keputusan jadi lebih cepat
dan bisa juga jadi lebih tepat, karena fokus pemerintah daerah yaitu
daerahnya sendiri. Perbedaan pemegang kekuasaan ini merupakan
suatu hal yang vital buat berlangsungnya otonomi daerah.

Gambar 8.1 Perbedaan Sentralisasi dan Desentralisasi

Sumber: Wikipedia

Ada ruang Lingkup yang berbeda dalam penerapan kedua asas pada
penerapan asas sentralisasi, banyak dipakai pada masa sebelum otonomi
daerah digulirkan. Saat itu, terjadi pemusatan seluruh wewenang pada
sejumlah kecil pemimpin. Akibatnya, ruang lingkup dari penerapan
asas sentralisasi ini begitu besar, yaitu seluruh wilayah negara. Sampai
sekarang, asas sentralisasi masih dipakai terutama dalam pengambilan
keputusan mengenai kebijakan ekonomi negara dan pengambilan
keputusan mengenai pertahanan serta keamanan negara. Sedangkan
kalau Pada penerapan asas desentralisasi mempunyai ruang lingkup
yang lebih kecil, yaitu wilayah suatu daerah tertentu. Dengan kecilnya
ruang lingkup ini, pengembangan daerah jadi lebih mudah dilakukan
karena daerah bisa lebih fokus dalam mengembangkan daerahnya dan
sekaligus memajukan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sana.

140
Manajemen Sektor Publik

Kemajuan pembagunan daerah berbeda dalam sentralisasi dan


desentralisasi. Pada penerapan sentralisasi penuh di negara ini,
pemusatan kekuasaan pengambilan keputusan menyebabkan terjadinya
kesenjangan pembangunan negara. Pembangunan infrastruktur dan
sosial budaya cuma terfokus di beberapa daerah aja. Hal ini menyebabkan,
tingkat kemajuan pembangunan berbeda diantara satu daerah dengan
daerah yang lainnya. Sedangkan Pada penerapan desentralisasi,
kemajuan pembangunan di daerah menjadi sangat meningkat. Penerapan
asas ini menyebabkan daerah bisa memaksimalkan potensi sumber daya
alam dan sumber daya manusia buat melaksanakan pembangunan di
daerah tersebut. Kemajuan pembangunan di daerah itu juga nantinya
akan berimbas positif pada kemajuan pembangunan suatu negara.
Besarnya struktur organisasi yang berbeda saat asas sentralisasi
diterapkan, segala kekuasaan dalam hal pengambilan keputusan berada
di tangan sekelompok penguasa. Hal ini menyebabkan ukuran organisasi
dari negara jadi lebih kecil dan terpusat. Hal yang sebaliknya terjadi
saat asas desentralisasi dipakai. Pada asas desentralisasi, karena terjadi
pelimpahan sebagian kekuasaan pada pemerintah daerah, maka ukuran
struktur organisasi negara jadi lebih besar dan bersifat menyebar. Respon
rakyat di daerah terhadap sentralisasi dan desentralisasi penggunaan
asas sentralisasi terbukti udah menjadikan kesenjangan pembangunan
sekaligus kesenjangan kesejahteraan di tengah masyarakat. Hal ini
menjadikan respon rakyat di daerah terhadap penerapan asas sentralisasi
jadi kurang baik dan menyebabkan sebuah fenomena kecemburuan di
antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Sedangkan, Saat
penggunaan asas desentralisasi, masyarakat lebih menyukai asas ini
karena dengan adanya asas desentralisasi ini.
Setiap daerah punya kesempatan yang sama dalam mengembangkan
daerahnya, jadi kesenjangan pembangunan diantara daerah-daerah
di Indonesia jadi bisa diminimalisir keberadaannya dan menimbulkan
iklim yang kondusif di tengah masyarakat tanah air ini. Kerumitan
birokrasi diantara asas sentralisasi dan desentralisasi Pada penerapan
asas sentralisasi, seluruh wewenang dalam hal pengambilan keputusan
dimiliki oleh para penguasa tertinggi. Makanya, saat terjadi suatu
hal di daerah yang memerlukan keputusan secepatnya dari penguasa
tertinggi. Birokrasi yang perlu dilaksanakan akan sangat rumit dan

141
Manajemen Sektor Publik

membutuhkan waktu yang panjang sampai tercapai proses pengambilan


keputusan. Belum lagi birokrasi yang berkenaan dengan lembaga atau
kementerian lainnya. Sedangkan pada penerapan asas desentralisasi,
birokrasi jadi lebih mudah dilaksanakan dalam hal pengambilan
keputusan. Hal ini memberikan pengaruh positif terutama, saat kasus
seperti yang udah disebutkan sebelumnya terjadi. Maka, pengambilan
keputusan bisa dengan cepat dilakukan dan penanganan atas berbagai
masalah di daerah juga bisa lebih cepat terjadi.

C. Perkembangan Otonomi Daerah


Otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung
jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sebelum
diberlakukannya otonomi daerah, seluruh pemerintahan daerah
di Indonesia begitu saja menerima program dari pemerintah pusat
sehingga ada keseragaman program disetiap daerah dan tidak terjadinya
pemerataan pembangunan yang hanya dipusat saja dan tidak relevan
sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Akan tetapi, setelah adanya
otonomi daerah, daerah memiliki kewenangan untuk mengatur
daerahnya sendiri karena pemerintah daerah lebih mengetahui
tentang kebutuhan dan pembangunan daerahnya dibandingkan dengan
pemerintah pusat yang mengatur banyak daerah sehingga tidak relevan
dan efektif dalam melaksanakan kebutuhan dan pembangunan daerah-
daerah. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, pengertian otonomi daerah adalah wewenang daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan
oleh pemerintah pusat dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut
asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan
memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Kebijakan desentralisasi yang
diwujudkan dalam pembentukan daerah otonom dan penyelenggaraan
otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah di indonesia telah
mengalami perkembangan dari masa ke masa dimulai pada era

142
Manajemen Sektor Publik

orde lama, orde baru, dan reformasi. Jelas telah nampak perubahan
dan kemajuan pada daerah-daerah diindonesia dengan banyaknya
pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pengelolaan tata
pariwisata dan kota sejak dimulai sistem desentralisasi tetapi dibalik
semua kemajuan dan perkembangan daerah-daerah yang berhasil dalam
memajukan daerahnya ada juga daerah yang tidak maju dan merasa
kurang diperhatikan dan menimbulkan konflik internal dan ancaman
bagi keutuhan negara kesatuan republik indonesia.
Sejak diberlakukan UU no 32 tahun 1999 yang kemudian disusul
dengan UU no 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang
secara subtansial memberikan otonomi kepada daerah provinsi dan
kabupaten serta pemerintahan kota suatu kewenangan serta otonomi
yang lebih luas dibandingkan era sebelumnya. Ada beberapa hal yang
menandai adanya otonomi daerah diindonesia misalnya: diserahkannya
berbagai urusan kepada daerah, pemilihan kepala daerah secara
langsung, semakin banyaknya daerah baru hasil dari pemekaran
daerah, dan lahirnya beberapa partai lokal. Memang tidak disangkal
lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif didaerah
dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena
sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah
sebagai sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau
terpingirkan.
Pada masa orde baru, pengerukan potensi daerah kepusat terus
dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan
tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis akan bisa mengubah
keadaan yang tidak menguntungkan tersebut. Akan tetapi apakah
dibalik optimisme itu terbersit kekhwatiran bahwa otonomi daerah
juga akan menimbulkan beberapa persoalan, yang jika tidak segera
dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk
mensejahterakan rakyatnya. Karena tanpa disadari beberapa dampak
yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah
terjadi. Ada beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan
berkepanjangan akan berdampak buruk pada susunan ketatanegaraan
indonesia. Setelah sekian lama otonomi berlangsung dengan ditandai

143
Manajemen Sektor Publik

dengan adanya diserahkannya berbagai urusan kepada daerah dan


pemilihan kepala daerah secara langsung ada beberapa permasalahan
yang muncul, yaitu semakin maraknya penyebaran korupsi diberbagai
daerah, money politic, munculnya fenomena pragmatis politik di
masyarakat daerah, legitimasi politik, stabilitas politik dan kesejahteraan
masyarakat belum sepenuhnya diwujudkan.
Nampak adanya pertimbangan yang rumit dibalik pemberian
otonomi pada masyarakat indonesia. Berbagai pertimbangan yang
kompleks telah membawa pelaksanaan otonomi daerah belum berjalan
tuntas. Hal tersebut dapat dicermati dengan seringnya berganti aturan
UU yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, ada
lebih 15 undang-undang yang pernah dibuat untuk mengatur masalah
otonomi daerah.

1. Sejarah Otonomi Daerah


Indonesia menggunakan sistem otonomi daerah dalam
melaksanakan pemerintahannya. Otonomi daerah merupakan
kewenangan untuk mengatur sendiri kepentingan masyarakat atau
kepentingan untuk membuat aturan guna mengurus daerahnya sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dilansir dari situs resmi Kementerian Dalam
Negeri Republik Indonesia, otonomi daerah menjadi permasalahan
yang hidup dan berkembang sepanjang masa. Sesuai dengan kebutuhan
dan perkembangan masyarakatnya. Adanya sistem otonomi daerah
ternyata sudah terbentuk bahkan sebelum Indonesia merdeka. Berikut
sejarah otonomi daerah dari masa ke masa;
a. Era kolonial; Dalam buku Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan (2002) karya Syaukani dkk, pada Pemerintahan
Hindia Belanda sudah mengeluarkan peraturan mengenai
otonomi daerah, yaitu Reglement op het Beleid der Regering van
Nederlandsch Indie (Peraturan tentang administrasi Negara
Hindia Belanda). Kemudian pada 1903, belanda mengeluarkan
Decentralisatiewet yang memberi peluang dibentuknya
satuan pemerintahan yang memiliki keuangan sendiri.

144
Manajemen Sektor Publik

Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada dewan di


masing-masing daerah. Namun kenyataannya, pemerintah
daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Bahkan hanya
setengah anggota dewan daerah yang diangkat dari daerah dan
sebagian lainnya pejabat pemerintah. Dewan daerah hanya
berhak membentuk peraturan setempat yang menyangkut
hal-hal yang belum diatur oleh pemerintah kolonial. Dewan
daerah mendapatkan pengawasan sepenuhnya dari Gouverneur-
General Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia.
Kemudian pada 1922 pemerintah Belanda mengeluarkan
peraturan baru mengenai administrasi. Dari ketentuan S 1922
No 216 munculah sebutan provincie (provinsi), regentschap
(kabupaten), stadsgemeente (kota) dan groepmeneenschap
(kelompok masyarakat). Sistem otonomi di era Belanda hanya
untuk kepentingan penjajah saja, agar daerah tidak mengganggu
koloni dalam meraup kekayaan di Indonesia. Namun ada
beberapa yang bisa dipelajari dari sistem otoni daerah era
Belanda, yaitu kecenderungan sentralisasi kekuasaan dan
pola penyelenggaraan pemerintah daerah yang bertingkat.
Hal inilah yang masih dipraktikkan dalam penyelenggaraan
pemerintah Indonesia dari masa ke masa.
b. Era Jepang; Meski hanya dalam waktu 3,5 tahun (1941-1945)
ternyata Pemerintah Jepang banyak melakukan perubahan
yang cukup fundamental. Pembagian daerah pada masa Jepang
jauh lebih terperinci ketimbang pembagian di era Belanda. Awal
mula masuk ke Indonesia, Jepang membagi daerah bekas jajahan
Belanda menjadi tiga wilayah kekuasaan. Wilayah tersebut
yaitu Sumatera di Bukittinggi, Jawa dan Madura dengan
kedudukan di Jakarta, serta wilayah timur, seperti Sulawesi,
Kalimantan, Sunda Kecil, dan Maluku. Di Jawa, Jepang
mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah dalam beberapa
bagian, dikenal dengan sebutan Syuu (tiga wilayah kekuasaan
Jepang) dibagi dalam Ken (kabupaten) dan Si (kota). Jepang
tidak mengenal provinsi dan sistem dewan. Pemerintah daerah
hampir sama sekali tidak memiliki kewenangan. Penyebutan
otonomi daerah pada masa itu bersifat menyesatkan. Namun,
struktur administrasi lebih lengkap bila dibandingkan dengan

145
Manajemen Sektor Publik

pemerintah Belanda. Struktur administrasi tersebut adalah:


panglima balatentara Jepang pejabat militer Jepang residen
Bupati Wedana asisten Wedana lurah atau Kepala Desa Kepala
Dusun Rt atau RW kepala rumah tangga sistem adminsitrasi
tersebut yang kemudian di wariskan ke pemerintah Indonesia
pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17
Agustus 1945.
c. Orde Lama; Untuk menyusun kembali Pemerintahan Daerah
di Indonesia, sementara pemerintah mengeluarkan Penetapan
Presiden No 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden tahun 1960.
Peraturan tersebut mengatur tentang pemerintahan daerah.
Di era orde lama, Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah
otonomi. Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkat
daerah, yaitu: Kotaraya Kotamadya Kotapraja
d. Orde Baru; pada era ini secara tegas menyebutkan ada dua
tingkat daerah otonom, yaitu Daerah Tingkat I dan Darah
Tingkat II. Selama orde baru berlangsung, pemerintah pusat
memperketat pengawasan atas pemerintah daerah sebagai
pengejawantahan dari pelaksanaan tanggung jawab pemerintah
pusat. Dalam era tersebut dikenal tiga jenis pengawasan, yaitu
pengawasan preventif, pengawasan represif, dan pengawasan
umum.
e. Era Reformasi; era awal reformasi pemerintah telah
mengeluarkan dua kebijakan tentang otonomi daerah,
yaitu: UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah UU
No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Kuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam perkembangannya,
kebijakan otonomi melalui undang-undang tersebut dinilai baik
dari segi kebijakan maupun implementasinya. Otonomi daerah
di Era Reformasi menjadi jawaban dari persoalan otonomi
daerah di Era Orde Baru. Seperti masalah desentralisasi politik,
desentralisasi administrasif, dan desentralisasi ekonomi. Agar
pelaksanaan otonomi daerah tidak kebablasan, pemerintah
melakukan beberapa revisi pada UU No 22 Tahun 1999 yang
kemudian dikenal dengan UU No 32 Tahun 2004. Untuk
mengatur keuangan di daerah, pemerintah mengeluarkan

146
Manajemen Sektor Publik

UU No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan


antara pemerintah pusat dan daerah. Dari situlah yang
dimaksud dengan otonomi seluas-luasnya adalah daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah
memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dalam
memberikan pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.

2. Konsepsi Pelaksanaan Otonomi Daerah


Secara konseptual, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi tujuan politik, tujuan
administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui
tujuan politik dalam pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah
upaya untuk mewujudkan demokratisasi politik melalui partai politik
dan dewan perwakilan rakyat daerah. Perwujudan tujuan administratif
yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah
adanya pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah,
termasuk sumber keuangan serta pembaharuan manajemen birokrasi
pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang ingin dicapai
dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya
peningkatan Indeks pembangunan manusia sebagai indikator
peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah dan masyarakat di suatu
daerah memiliki peranan yang penting dalam peningkatan kualitas
pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini terutama disebabkan
karena dalam otonomi daerah terjadi peralihan kewenangan yang pada
awalnya diselenggarakan oleh pemerintah pusat kini menjadi urusan
pemerintahan daerah masing-masing. Dalam rangka mewujudkan
tujuan pelaksanaan otonomi daerah, terdapat beberapa faktor penting
yang perlu diperhatikan, antara lain : faktor manusia yang meliputi
kepala daerah beserta jajaran dan pegawai, seluruh anggota lembaga
legislatif dan partisipasi masyarakatnya. Faktor keuangan daerah,
baik itu dana perimbangan dan pendapatan asli daerah, yang akan
mendukung pelaksanaan pogram dan kegiatan pembangunan daerah.
Faktor manajemen organisasi atau birokrasi yang ditata secara efektif

147
Manajemen Sektor Publik

dan efisien sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan pengembangan


daerah.

3. Tantangan Pelaksanaan Otonomi Daerah


Gagasan pelaksanaan otonomi daerah adalah gagasan yang luar
biasa yang menjanjikan berbagai kemajuan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang lebih baik. Namun dalam realitasnya gagasan tersebut
berjalan tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia pada gilirannya harus berhadapan dengan
sejumlah tantangan yang berat untuk mewujudkan cita-citanya.
Tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut datang dari
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Diantaranya adalah tantangan
di bidang hukum dan sosial budaya. Pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia dimulai segera setelah angin sejuk reformasi berhembus
di Indonesia. Masih dalam suasana euphoria reformasi dan dalam
situasi dimana krisis ekonomi sedang mencekik tingkat kesejahteraan
rakyat, Negara Indonesia membuat suatu keputusan pemberlakuan dan
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia di Judicial Review
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Judicial
review ini dilakukan setelah timbulnya berbagai kritik dan tanggapan
terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Judicial review
tersebut dilaksanakan dengan mendasarkannya pada logika hukum.
Pada gilirannya, pemerintahan daerah berhadapan dengan keadaan
dimana mereka harus memahami peraturan perundang-undangan hasil
judicial review. Tanpa adanya pemahaman yang baik dari aparatur, maka
bisa dipastikan pelaksanaan otonomi daerah di Kab/Kota di Indonesia
menjadi kehilangan maknanya. Hal ini merupakan persoalan hukum
yang sering terjadi dimana peraturan perundang-undangan tidak sesuai
dengan realitas hukum masyarakat sehingga kehilangan nilai sosialnya
dan tidak dapat dilaksanakan.

4. Belum Optimalnya Otonomi Daerah


Dari berbagai hasil kajian dapat disimpulkan bahwa salah satu
faktor penyebabnya adalah kelemahan aspek regulasi yang terkait
dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan implementasi
148
Manajemen Sektor Publik

regulasinya. UU Nomor 32 Tahun 2004 telah berhasil menyelesaikan


beberapa masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun
dalam pelaksanaannya, ketidakjelasan pengaturan dalam UU ini sering
menimbulkan permasalahan baru yang dapat menjadi sumber konflik
antarsusunan pemerintahan dan aparaturnya yang pada akhirnya
menyebabkan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah tidak
dapat berjalan secara efektif dan efisien. Sehingga kita memandang perlu
UU ini perlu diubah atau diganti. Untuk itu, RUU tentang Pemerintahan
Daerah (RUU Pemerintahan Daerah) sebagai pengganti UU Nomor 32
Tahun 2004 yang saat ini sedang dibahas dengan DPR, pada dasarnya
mencoba memperbaiki kelemahan UU Nomor 32 Tahun 2004.
RUU pemerintahan daerah dimaksudkan untuk memperjelas
konsep desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan memperjelas pengaturan dalam berbagai aspek penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Selain itu, RUU ini juga menambah pengaturan
baru sesuai dengan kebutuhan hukum untuk mengakomodir dinamika
pelaksanaan desentralisasi, antara lain pengaturan tentang hak warga
untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
adanya jaminan terselenggaranya pelayanan publik dan inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah

D. Otonomi Daerah di Negara Berkembang


Otonomi Daerah di Negara-Negara Berkembang seperti di Amerika
Latin, sebagian besar pemerintah telah “mendelegasikan sejumlah
fungsinya kepada pemerintah daerah” dalam berbagai bentuk. Seperti
negara lain di Asia dan Afrika, beberapa negara di Amerika Latin telah
mengalihkan kewenangannya dalam rangka demokratisasi. Kemudian
ada Kolombia pertama kali menerapkan otonomi daerah pada tahun
1960. Kolombia pertama kali menerapkan otonomi daerah pada tahun
Namun, realitasnya, praktik pemerintahannya masih sangat sentralistik
sampai tahun 1990-an. Kebijakan otonomi daerah di Colombia
diberlakukan lebih luas jangkauannya. Kolombia menjalankan proses
desentralisasinya dibawah sistem “partisipasi bersama”. Kemajuan
pokok yang dicapai dari proses otonomi daerah di Kolombia ialah
bahwa kotapraja-kotapraja di Kolombia telah beralih dari menerapkan
pendekatan berdasar penawaran (top-down) menjadi berdasar

149
Manajemen Sektor Publik

permintaan (bottom-up) dalam pelayanan publiknya. Lalu ada Mexico


yang telah lama concerned terhadap otonomi, namun penerapannya
sampai tahun masih lemah. Akhir-akhir ini, proses otonomi daerah
mendapatkan momentumnya dengan munculnya agenda pemerintahan
yang baik dan program demokratisasi. Mexico terlibat sepenuhnya
dalam proses otonomin daerah dan upaya demokratisasi serta
pembangunan. Mexico telah meredistribusikan proses pengambilan
kebijakan di sepanjang tiga level pemerintahan.
Di Mexico, penerapan otonomi daerah bukan lagi mengenai peraturan
otonomi daerah, namun menyatu dengan wacana mengenai modernisasi
dan program-program efisiensi. Pada Negara-Negara Afrika seperti
Ghana, mulai proyek desentralisasinya dengan melakukan reformasi
otonomi daerah berbasis distrik pada tahun 1989. Di banyak negara
afrika dorongan untuk melakukan otonomi daerah berasal dari faktor-
faktor internal, seperti persoalan politik dalam negeri dan juga tekanan
eksternal yang berasal dari lembaga – lembaga donor internasional.
Lalu ada Nigeria, memulai upaya desentralisasinya pada tahun 1970-
an, di dalam kerangka rezim militer. Nigeria berhasil mencantumkan
reformasi otonomi daerah yang menyangkut: 1) dibentuknya sebuah
lembaga permanen untuk menghimpun dan membagi pendapatan fiskal
diantara pemerintah federal, 2) pembentukan badan-badan khusus,3)
adopsi model manajemen SDM yang utuh. Pada saat ini di Asia ada
Tiga tren utama otonomi daerah di Asia: Otonomi daerah sebagai buah
ketidakpuasan politik, Pembangunan kemmapuan dan peran dewan
pembangunan daerah dan Efek multiguna otonomi daerah.

150
Kerjasama Pemerintah dalam
Community Development

A. Pengertian Community Development


Definisi Community Development Konsep Community Development telah
banyak dirumuskan di dalam berbagai definisi. Perserikatan Bangsa-
Bangsa mendefinisikannya: ” as the process by which the efforts of the people
themselves are united with those of governmental authorities to improve the
economic, social and cultural conditions of communities, to integrade these
communities into the life of the nations, and to enable them to contribute fully
to national progress”. (Luz. A. Einsiedel 1968:7). Definisi ini menekankan
bahwa pembangunan masyarakat, merupakan suatu “proses”
dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat
diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah,
untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan
mengintegrasikan masyarakat didalam konteks kehidupan berbangsa,
serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi
secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional.
US International Cooperation Administration mendeskripsikan
Community Development itu sebagai : ”a process of social action in which the
people of a community organized themselves for planning action; define their
common and individual needs and problems; make group and individual plans
with a maximum of reliance upon community resources; and supplement the
resources when necessary with service and material from government and non-
government agencies outside the community “. (The Community Development
Guidlines of the International Cooperation Administration, Community
Development Review, December, 1996, p.3). Definisi di atas lebih

151
Manajemen Sektor Publik

menekankan bahwa konsep pembangunan masyarakat, merupakan


suatu proses “aksi sosial” dimana masyarakat mengorganiser diri mereka
dalam merencanakan yang akan dikerjakan; merumuskan masalah dan
kebutuhan-kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu
maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama; membuat rencana-
rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap
sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu dapat
melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan
badan-badan nonpemerintah di luar masyarakat.
Seorang pakar Community Development (Arthur Dunham)
merumuskan definisi Community Development itu sebagai berikut.
“organized efforts to improve the conditions of community life, and the capacity
for community integration and self-direction. Community Development seeks
to work primarily through the enlistment and organization of self-help and
cooprative efforts on the part of the residents of the community, but usually
with technical assistance from government or voluntary organization. (Arthur
Dunham 1958: 3). Rumusan diatas menekankan bahwa pembangunan
masyarakat merupakan usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan
untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan
masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri.
Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari
organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-
individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan
teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.
Arthur Dunham membedakan “Community Development” dengan
“Community Organization” : community development is concerned with
economic life, roads, buildings, and education,as well as health and welfare, in the
narrower sense. On the other hand, community welfare organization is concerned
with adjustment of social welfare needs and resources in cities, states, and nations
as in rural villages. Jadi community development lebih berkonotasi dengan
pembangunan masyarakat desa sedangkan community organization
identik dengan pembangunan masyarakat kota. Lebih lanjut Dunham
mengemukakan empat unsur-unsur Community development sebagai
berikut:
1. Community development merupakan suatu proses pembangunan
yang berkesinambungan. Artinya kegiatan itu dilaksanakan

152
Manajemen Sektor Publik

secara terorganisir dan dilaksanakan tahap demi tahap dimulai


dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak
lanjut dan evaluasi follow up activity and evaluation. Community
Development bertujuan memperbaiki to improve kondisi
ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai
kualitas hidup yang lebih baik.
2. Community development memfokuskan kegiatannya melalui
pemberdayaan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga prinsip to
help the community to help themselve dapat menjadi kenyataan.
3. Community development memberikan penekanan pada prinsip
kemandirian. Artinya partisipasi aktif dalam bentuk aksi
bersama group action di dalam memecahkan masalah dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dilakukan berdasarkan
potensi-potensi yang dimiliki masyarakat.
4. Community development dengan segala kegiatannya dalam
pembangunan menghindari metode kerja “doing for the
community”, tetapi mengadopsi metode kerja “doing with
the community”. Metode kerja doing for, akan menjadikan
masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya,
bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan
pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi
bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing with, merangsang
masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu
mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya real needs,
felt needs dan expected need . Metode kerja doing with, sangat
sesuai dengan gagasan besar KI Hajar Dewantara tentang
kepemimpinan pendidikan di Indonesia “ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani”
yang berfokus akan perlunya kemandirian yang partisipatif di
dalam proses pembangunan.

1. Ciri-Ciri Community Development


Ciri-ciri Kegiatan Community Development Mempunyai tujuan yg
hendak dicapai Mempunyai wadah kegiatan yg terorganisir Aktivitas yg
dilakukan terencana, berlanjut serta harus sesuai dgn kebutuhan dan

153
Manajemen Sektor Publik

sumber daya setempat. Ada tindakan bersama dan keterpaduan dari


berbagai aspek terkait. Ada perubahan sikap pada masyarakat sasaran
selama tahap-tahap pengembangan. Ciri-ciri Kegiatan community
development diantaranya yaitu menekankan pada peningkatan partisipasi
masyakat, ada keharusan membantu seluruh lapisan masyarakat
pedesaan, khususnya masy lapisan bawah. Akan lebih efektif bila
program pengembangan masy pd awalnya memperoleh bantuan dan
dukungan pemerintah.
Selain itu sumber dari organisasi sukarela non pemerintah harus
dimanfaatkan. Sasaran Community Development Sasaran pengembangan
masyarakat adalah masyarakat, baik yang sudah terorganisir maupun
yang belum terorganisir. Proses community development adalah
suatu proses yg dinamis, artinya perubahan yang terjadi menuntut
adanya dinamika masyarakat untuk mengantisipasi keadaan di
masa mendatang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu
berupa Pendekatan terhadap tokoh masyakat, baik formal maupun non
formal serta lembaga-lembaga masy yg menjadi panutan masyakat. Yang
melibatkan lembaga atau tokoh- tokoh formal atau informal dlm setiap
proses kegiatan, selanjutnya masyarakat perlu dipandu agar terjadi
proses menolong diri sendiri. Kegiatan pengembangan masyarakat oleh
masyarakat bertujuan utk memecahkan permasalahan dan membuat
keputusan atau kesepakatan.
Masyarakat diarahkan agar menggali potensinya dan mengem-
bangkannya untuk mendukung kegiatan yang berkelanjutan.
Penumbuhan dan pembentukan wadah yaitu kegiatan pengembangan
masyarakat sebaiknya dilaksanakan pada tingkat cakupan masyakat
yang terkecil. Secara pendekatan community development mempunyai
pendekatan yang yang memandang masyarakat sebagai obyek di mana
masyarakat yang menjadi sasaran dipandang sbagai “benda mati”, tanpa
perlu di beri kesempatan untuk melakukan penelitian apakah ide dan
benda teknologi yg diperkenalkan itu berguna bagi mereka atau tidak.
Dalam Pendekatan community development sebuah Pedekatan
yang dilakukan dengan memberikan rangsangan & motivasi. Hal
ini dilakukan dengan memberikan rangsangan dan motivasi kepada
masyarakat yang dijadikan sasaran diffusi untuk memikirkan masalah

154
Manajemen Sektor Publik

utama yang dihadapi mereka dan diberikan kesempatan untuk


memikirkan dan menemukan cara pemecahan yang terbaik untuk
masalah yang mereka hadapi. Namun Pendekatan community development
memberikan Pendekatan Kombinasi, Pada hal-hal tertentu masyarakat
yang menjadi sasaran program diperlakukan sebagai obyek, tetapi pada
hal yang lain mereka dipandang sebagai subyek tergantung dari berbagai
pertimbangan masak yang dilakukan.

2. Prinsip Community Development


Prinsip penting dari Community Development adalah adanya pelibatan
pemberdayaan masyarakat dalam program yang dilaksanakan. Pelibatan
masyarakat dimulai dari perencanaan, pelaksanaan bahkan setelah
program selesai. Community Development memiliki tiga karakter utama,
yaitu berbasis masyarakat (community based), berbasis sumber daya
setempat (local resource based) dan berkelanjutan (sustainable). Community
development mengandalkan peran serta dan kekuatan masyarakat.
Karenanya, dalam proses Comdev mengidentifikasi potensi kekuatan
(sumber daya) masyarakat menjadi sangat penting untuk dilakuan
karena hal itu akan menjadi salah satu bentuk nyata peran serta
(kontribusi) dari masyarakat. Adanya peran serta inilah yang dapat
menjadi ‘jaminan’ bahwa program tersebut akan berkelanjutan walau
program telah dihentikan.
Community Development dengan berpijak pada kerangka konseptual
yang di kembangkan oleh teori-teori sosial kritis seperti Marxis
dan teori feminis dalam rangka mengkritisi praktik diskriminasi
dan mengungkapkan struktur dan ideologi yang mendasari praktik
diskriminasi. Secara garis besar ada 4 prinsip Community Development
(Kenny, Susan,1994: 17) :
a. Pertama, Pengembangan Masyarakat menolak pandangan
yang tidak memihak pada sebuah kepentingan (disinterest).
b. Kedua, Mengubah dan terlibat pada konflik.
c. Ketiga, Membebaskan, membuka masyarakat dan menciptakan
demokrasi parsipatori.
d. Keempat, Kemampuan mengakses terhadap program-program
pelayanan kemasyarakatan.

155
Manajemen Sektor Publik

Berdasarkan keempat prinsip diatas yang sifat nya sangat padat oleh
karena itu penulis pada bagian ini memilih pembahasan prinsip-prinsip
Community Development secara lebih detail dan mendalam. Menurut
Jim Ife Community Development antara lain satu prinsip sama yang lain
saling berkaitan dan saling melengkapi. Prinsip-prinsip ini diasumsikan
menjadi pertimbangan bagi sukses atau tidak nya suatu kegiatan
Community Development dan dianggap konsisten dengan semangat
keadilan sosial dan sudut pandang ekologis (Ife, Jim, 1997:178-198).
Prinsip-prinsip ini dimaksudkan sebagai seperangkat prinsip dasar yang
akan mendasari pendekatan Community Development bagi semua praktik
kerja masyarakat.

B. Pengertian Public-Private Partnertship


Menurut Abbas & Yafie Moch, private public partnership merupakan
konsep kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta atau
investor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Lebih jauh lagi,
public private partnership merupakan mekanisme pembiayaan alternatif
dalam pengadaan pelayanan publik yang telah digunakan secara luas
di berbagai negara yang khususunya dipakai di negara maju. PPP
merupakan hubungan berbasis kontrak yang menentukan secara rinci
mengenai tanggung jawab dan kewajiban masing-maisng mitra. Dilansir
dari sumber, didalam kerja sama tesebut juga tedapat kontrak antara
pemerintah dengan pihak swasta atau investor yaitu:
1. Pihak swasta melaksanakan sebagian fungsi pemerintah selama
waktu tertentu
2. Pihak swasta menerima kompensasi atas pelaksanaan fungsi
terebut, baik secara langsung maupun secara tidak langsung
3. Pihak swasta bertanggung jawab atas resiko yang timbul akibat
pelaksanaan fungsi tersebut
4. Fasilitas pemerintah, lahan atau aset lainnya dapat diserahkan
atau digunakan oleh pihak swasta selama masa kontrak.

1. Public-Private Partnertship di Indonesia


Kendala sarana dan prasarana untuk meningkatkan daya
saing perekonomian nasional dan memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara merata terutama disebabkan oleh kurang tersedia

156
Manajemen Sektor Publik

dan terpeliharanya sarana dan prasarana sehingga tidak dapat berfungsi


optimal. Hal ini disebabkan oleh kelembagaan, sumber daya manusia
dan terbatasnya kemampuan pembiayaan pemerintah. Pada saat ini
banyak lembaga yang terkait dengan pengelolaan sarana dan prasarana
sehingga menyulitkan koordinasi, sementara kualitas sumber daya
manusia masih rendah. Terkait dengan pembiayaan, investasi sarana
dan prasarana saat ini masih jauh dari kemampuan negara-negara
berkembang lainnya.
Pembangunan infrastruktur merupakan kewajiban pemerintah
untuk melaksanakannya, namun hal ini bukan berarti bahwa
pembangunan infrastruktur merupakan wewenang mutlak pemerintah.
Masyarakat harus dilibatkan dalam berbagai tahapan pembangunan,
mulai dari tahap perencanaan sampai ke tahap pelaksanaannya. Untuk
itulah, salah satu tujuan sistem perencanaan pembangunan nasional
dalam UU No. 25/2004 adalah untuk mendukung koordinasi antar
pelaku pembangunan dan mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
Saat ini masih diperlukan sumber dana lain selain pemerintah untuk
menutupi kesenjangan pembiayaan. Dengan kata lain, investasi swasta
menjadi tumpuan harapan. Prioritas pembangunan bidang sarana dan
prasarana 2010- 2014 adalah: (a) Menjamin ketersediaan infrastruktur
dasar untuk mendukung peningkatan kesejahteraan, yang difokuskan
pada: meningkatkan pelayanan sarana dan prasarana sesuai dengan
Standar Pelayanan Minimal (SPM); dan (b) Menjamin kelancaran
distribusi barang, jasa dan informasi untuk meningkatkan daya saing
produk nasional, yang difokuskan untuk: (i) mendukung peningkatan
daya saing sektor riil; dan (ii) Public-Private Partnertship. Public-Private
Partnertship akan memiliki peran penting dalam mewujudkan Visi 2025
mengingat sumber daya fiskal yang terbatas. Dengan pertumbuhan
ekonomi yang lebih cepat sebagai hasil dari MP3EI 2011-2025,
penerimaan pajak akan meningkat pula, dan anggaran fiskal Indonesia
akan berkembang.
Kerangka peraturan sebagai payung hukum implementasi Public
Private Partnertship bidang infrastruktur di Indonesia menggunakan
Perpres 67/2005 yang kemudian direvisi melalui Perpres 13/2010 dan
Perpres 56/2011 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha
Dalam Penyediaan Infrastruktur. Ini merupakan peraturan pemilihan

157
Manajemen Sektor Publik

badan usaha pembangunan infrastruktur yang kompetitif, terbuka,


dan transparan. Public Private Partnertship akan digunakan sebagai
alternatif sumber pembiayaan pada kegiatan pemberian layanan dengan
karakteristik layak secara keuangan dan memberikan dampak ekonomi
tinggi dan memerlukan dukungan dan jaminan pemerintah yang
minimum.
Public Private Partnertship merupakan kerjasama pemerintah
dengan swasta dalam penyediaan infrastruktur yang meliputi: desain
dan konstruksi, peningkatan kapasitas/rehabilitasi, operasional dan
pemeliharaan dalam rangka memberikan pelayanan. Pengembangan
Public Private Partnertship di Indonesia utamanya didasari oleh
keterbatasan sumber pendanaan yang bisa dialokasikan oleh pemerintah.
Prinsip Dasar Public Private Partnertship:
a. Adanya pembagian risiko antara pemerintah dan swasta
dengan memberi pengelolaan jenis risiko kepada pihak yang
dapat mengelolanya;
b. Pembagian risiko ini ditetapkan dengan kontrak di antara
pihak dimana pihak swasta diikat untuk menyediakan layanan
dan pengelolaannya atau kombinasi keduanya ;
c. Pengembalian investasi dibayar melalui pendapatan proyek
(revenue) yang dibayar oleh pengguna (user charge);
d. Kewajiban penyediaan layanan kepada masyarakat tetap pada
pemerintah, untuk itu bila swasta tidak dapat memenuhi
pelayanan (sesuai kontrak), pemerintah dapat mengambil alih.
Selanjutnya da juga berupa tujuan pelaksanaan Public-Private
Partnertship diantaranya:
a. Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan melalui
pengerahan dana swasta;
b. Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan
melalui persaingan sehat;
c. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam
penyediaan infrastruktur;
d. Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan
yang diterima atau dalam hal tertentu mempertimbangkan
kemampuan membayar pengguna.
158
Manajemen Sektor Publik

Selain itu yang paling terpenting adalah manfaat skema dari Public-
Private Partnertship yaitu
a. Tersedianya alternatif berbagai sumber pembiayaan;
b. Pelaksanaan penyediaan infrastruktur lebih cepat;
c. Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan risiko pemerintah;
d. Infrastruktur yang dapat disediakan semakin banyak;
e. Kinerja layanan masyarakat semakin baik;
f. Akuntabilitas dapat lebih ditingkatkan;
g. Swasta menyumbangkan modal, teknologi, dan kemampuan
manajerial.
Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa infrastruktur harus
dibangun menggunakan anggaran pemerintah sehingga pada kondisi
anggaran pemerintah yang terbatas, pola pikir tersebut berujung pada
kesulitan memenuhi kebutuhan infrastruktur yang memadai bagi
perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini telah didorong pola pikir
yang lebih maju dalam penyediaan infrastruktur melalui Public-Private
Partnertship. Dengan adanya Public-Private Partnertship maka Pemerintah
dapat memfokuskan diri untuk membangun infrastruktur yang tidak
bersifat komersial namun sangat diperlukan oleh masyarakat, seperti
pembangunan infrastruktur perdesaan, jalan arteri, drainase , dan
sebagainya yang berhubungan dengan infrastruktur. Peran pemerintah
adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi
insentif bagi dunia usaha untuk memberikan layanan infrastruktur
tersebut.
Insentif tersebut dapat berupa kebijakan pajak, bea masuk,
aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai
kesepakatan dengan dunia usaha. Tidak semua kegiatan pemberian
layanan di bidang infrastruktur melalui skema Public-Private Partnertship
memberikan tingkat pengembalian yang wajar (cost recovery or financially
viable). Untuk meningkatkan kelayakan finansial tersebut diperlukan
campur tangan pemerintah berupa pemberian dukungan pemerintah.
Pemberian dukungan pemerintah pada saat ini dilakukan dalam
bentuk penyediaan lahan dan pembangunan sebagian konstruksi.
Dalam rangka menjamin efisiensi dan efektifitas dalam penyediaan
infrastruktur, risiko dikelola berdasarkan prinsip alokasi risiko antara
159
Manajemen Sektor Publik

pemerintah dan badan usaha secara memadai dengan mengalokasikan


risiko kepada pihak yang paling mampu mengendalikan risiko serta
dilakukan dengan memperhatikan prinsip pengelolaan dan pengendalian
risiko keuangan dalam APBN/APBD.

2. Skema Public-Private Partnertship


Skema Public-Private Partnertship pada perusahaan pelaksana proyek
akan mendapat dana dari swasta untuk membiayai KPS. Biasanya,
dana tersebut diperoleh dari percampuran dana dari berbagai sponsor
(biasanya proporsi kecil dari semua tanggungan) dan pinjaman dari
pemberi pinjaman luar. Pemberi pinjaman akan masuk kedalam
Persetujuan Pembiayaan dan Persetujuan Keamanan. Selain itu,
terdapat Persetujuan Kelangsungan.

Gambar 9.1 Skema Public-Private Partnertship

Sumber: Data Olahan, 2019

Pembayaran yang dilakukan oleh sektor publik adalah satu-satunya


arus pendapatan dalam sebuah perusahaan pelaksana proyek, sehingga
jika persetujuan Konsesi habis akibat pemerintah memberhentikan
pembayaran atau terlambat, perusahaan pelaksana proyek tidak harus
membayar semua hutangnya. Jika sebuah proyek mulai terjadi kesalahan
dan hak sebuah perusahaan pelaksana proyek yang membuat sebuah
kontrak dalam bahaya, yang disebabkan oleh pihak sektor publik, maka
pemberi pinjaman dapat mengandalkan persetujuan kelangsungan yang
menjamin kelangsungan dan keamanan perusahaan pelaksana proyek
hingga pemberi pinjaman dapat kesempatan untuk “menyelinap” ke

160
Manajemen Sektor Publik

dalam kaki perusahaan pelaksana proyek dan memperbaiki situasi


tersebut.
Skema Public-Private Partnertship Untuk melengkapi komitmen
pemerintah dalam mendukung KPS di Indonesia, dibentuk beberapa
lembaga yang secara spesifik berperan dalam pelaksanaan Public-
Private Partnertship, seperti Indonesia Infrastructure Guarantee Fund
(IIGF), yang dibentuk untuk mencegah dan mengantisipasi resiko-
resiko tertentu yang terdapat pada pembangunan proyek infrastruktur.
Penjaminan pemerintah ini bersifat tidak langsung (non-recourse)
sehingga pola penjaminan dilakukan di luar neraca keuangan (off-balance
sheet), yang berarti neraca keuangan Pemerintah tidak terekspos secara
langsung. Risiko yang ditanggung adalah risiko yang tidak mungkin
ditanggung oleh pihak lain selain pemerintah, seperti pembebasan lahan
dan kepastian naiknya tarif secara berkala berdasarkan perjanjian
konsesi.

161
Manajemen Sektor Publik

162
Hakikat Governance

A. Pengertian Good Governance


Governance merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk
menggantikan istilah “government”, yang menunjukkan penggunaan
otoritas politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-
masalah kenegaraan. Istilah ini secara khusus menggambarkan
perubahan peranan pemerintah dari pemberi pelayanan (provider)
kepada “enabler” atau “facilitator”, dan perubahan kepemilikan yaitu
dari milik negara menjadi milik rakyat. Pusat perhatian utama dari
“governance” adalah perbaikan kinerja atau perbaikan kualitas. Good
governance menurut BAPPENAS meliputi;
1. Visi strategis: apakah pemerintahan yang ada memiliki visi
yang jelas, serta misi untuk mewujudkan visi tersebut.
2. Transparansi: apakah pemerintahan yang ada menyediakan
informasi ke publik secara terbuka sehingga publik dapat
mempertanyakan tentang mengapa suatu keputusan dibuat,
atau apa kriteria yang digunakan, sehingga masyarakat
publik dapat mengontrol, memonitor lembaga-lembaga publik
berserta proses kerjanya.
3. Responsivitas: apakah pemerintahan yang ada cepat tanggap
dalam melayani kepentingan dari semua stakeholders
4. Keadilan: apakah pemerintahan yang ada telah memberikan
semua orang kesempatan yang sama untuk memperbaiki
kesejahteraannya
5. Konsensus: apakah pemerintahan yang ada telah berperan
dalam menjembatani berbagai aspirasi guna mencapai
persetujuan bersama demi kepentingan masyarakat
163
Manajemen Sektor Publik

6. Efektivitas dan efisiensi: apakah pemerintahan yang ada telah


memenuhi kebutuhan dengan memanfaatan sumber daya
dengan cara yang paling baik, atau melalui manajemen sektor
publik yang efisien dan efektif.
7. Akuntabilitas: para pemerintahan yang ada harus bertanggung
jawab kepada publik dalam konteks kinerja lembaga dan
aparatnya baik di bidang manajemen, organisasi, maupun di
bidang kebijakan publik.
8. Kebebasan berkumpul dan berpartisipasi: apakah pemerintahan
yang ada telah memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk
berkumpul, berorganisasi, dan berpartisipasi secara aktif dalam
menentukan masa depannya.
9. Dukungan aturan dan hukum: apakah pemerintahan yang
ada telah menciptakan aturan dan hukum yang membentuk
situasi dan kondisi yang aman dan tertib, serta kondusif bagi
masyarakat.
10. Demokrasi: apakah pemerintahan yang ada mendorong proses
demokrasi di masyarakat.
11.
Kerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat:
apakah pemerintahan yang ada telah bekerjasama atau
mengikutsertakan lembaga-lembaga yang ada dalam
masyarakat dalam memecahkan masalah dan memberikan
pelayanan publik.
12. Komitmen pada pasar: apakah pemerintahan yang ada
mendorong kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pasar.
13. Komitmen pada lingkungan: apakah pemerintahan yang ada
memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan
kelestarian lingkungan.
14. Desentralisasi: apakah pemerintahan yang ada telah
mengembangkan dan memberdayakan unit-unit kelembagaan
lokal agar dapat mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan
dan situasi lokal.

B. Prinsip Good Governance


Negara dengan birokrasi pemerintahan dituntut untuk merubah
pola pelayanan diri birokratis elitis menjadi birokrasi populis. Dimana
164
Manajemen Sektor Publik

sektor swasta sebagai pengelola sumber daya di luar negara dan


birokrasi pemerintah pun harus memberikan konstribusi dalam usaha
pengelolaan sumber daya yang ada. Penerapan cita good governance pada
akhirnya mensyaratkan keterlibatan organisasi masyarakatan sebagai
kekuatan penyeimbang negara. Namun cita good governance kini sudah
menjadi bagian sangat serius dalam wacana pengembangan paradigma
birokrasi dan pembangunan kedepan. Karena peranan implementasi
dari prinsip good governance adalah untuk memberikan mekanisme dan
pedoman dalam memberikan keseimbangan bagi para stakeholders
dalam memenuhi kepentingannya masing-masing. Dari berbagai hasil
yang dikaji Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyimpulkan ada
sembilan aspek fundamental dalam perwujudan good governance yaitu:
1. Partisipasi; antara masyarakat khususnya orang tua terhadap
anak-anak mereka dalam proses pendidikan sangatlah
dibutuhkan. Karena tanpa partisipasi orang tua, pendidik (guru)
ataupun supervisor tidak akan mampu bisa mengatasinya.
Apalagi melihat dunia sekarang yang semakin rusak yang mana
akan membawa pengaruh terhadap anak-anak mereka jika
tidak ada pengawasan dari orang tua mereka.
2. Penegakan hukum; Dalam pelaksanaan tidak mungkin dapat
berjalan dengan kondusif apabila tidak ada sebuah hukum
atau peraturan yang ditegakkan dalam penyelenggaraannya.
Aturan-aturan itu berikut sanksinya guna meningkatkan
komitmen dari semua pihak untuk mematuhinya. Aturan-
aturan tersebut dibuat tidak dimaksudkan untuk mengekang
kebebasan, melainkan untuk menjaga keberlangsungan
pelaksanaan fungsi-fungsi pendidikan dengan optimal
mungkin.
3. Transparansi; Persoalan pada saat ini adalah kurangnya
keterbukaan supervisor kepada para staf-stafnya atas segala
hal yang terjadi, dimana salah satu dapat menimbulkan
percekcokan antara satu pihak dengan pihak yang lain, sebab
manajemen yang kurang transparan. Apalagi harus lebih
transparan di berbagai aspek baik dibidang kebijakan, baik
di bidang keuangan ataupun bidang-bidang lainnya untuk
memajukan kualitas dalam pendidikan.

165
Manajemen Sektor Publik

4. Responsif; Salah satu untuk menuju cita good governance adalah


responsif, yakni supervisor yang peka, tanggap terhadap
persoalan-persoalan yang terjadi di lembaga pendidikan,
atasan juga harus bisa memahami kebutuhan masyarakatnya,
jangan sampai supervisor menunggu staf-staf menyampaikan
keinginan-keinginannya. Supervisor harus bisa menganalisa
kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga bisa membuat suatu
kebijakan yang strategis guna kepentingan kepentingan
bersama.
5. Konsensus; Aspek fundamental untuk cita good governance adalah
perhatian supervisor dalam melaksanakan tugas-tugasnya adalah
pengambilan keputusan secara konsensus, di mana pengambilan
keputusan dalam suatu lembaga harus melalui musyawarah
dan semaksimal mungkin berdasarkan kesepakatan bersama
(pencapaian mufakat). Dalam pengambilan keputusan harus
dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak juga
dapat menarik komitmen komponen-komponen yang ada di
lembaga. Sehingga keputusan itu memiliki kekuatan dalam
pengambilan keputusan.
6. Kesetaraan dan keadilan; Asas kesetaraan dan keadilan ini
harus dijunjung tinggi oleh supervisor dan para staf-staf didalam
perlakuannya, di mana dalam suatu lembaga pendidikan yang
plural baik segi etnik, agama dan budaya akan selalu memicu
segala permasalahan yang timbul. Proses pengelolaan supervisor
yang baik itu harus memberikan peluang, jujur dan adil.
Sehingga tidak ada seorang pun atau para staf yang teraniaya
dan tidak memperoleh apa yang menjadi haknya.
7. Efektifitas dan efisien; Efektifitas dan efisien disini berdaya
guna dan berhasil guna, efektifitas diukur dengan parameter
produk yang dapat menjangkau besarnya kepentingan dari
berbagai kelompok. Sedangkan efisien dapat diukur dengan
rasionalitasi untuk memenuhi kebutuhan yang ada di lembaga.
Dimana efektifitas dan efisien dalam proses pendidikan, akan
mampu memberikan kualitas yang memuaskan.
8. Akuntabilitas; Asas akuntabilitas berarti pertanggung
jawaban supervisor terhadap staf-stafnya, sebab diberikan

166
Manajemen Sektor Publik

wewenang dari pemerintah untuk mengurus beberapa urusan


dan kepentingan yang ada di lembaga. Setiap supervisor harus
mempertanggung jawabkan atas semua kebijakan, perbuatan
maupun netralitas sikap-sikap selama bertugas di lembaga.
9. Visi Strategi; Visi strategi adalah pandangan-pandangan
strategi untuk menghadapi masa yang akan datang, karena
perubahan-perubahan yang akan datang mungkin menjadi
perangkap bagi supervisor dalam membuat kebijakan-kebijakan.
Disinilah diperlukan strategi-strategi jitu untuk menangani
perubahan yang ada.

C. Pilar-Pilar Good Governance


Konsep good governance adalah seluruh rangkaian proses pembuatan
yang mensinergikan pencapaian tujuan tiga pilar good governance, yaitu
pemerintah sebagai good public governance, masyarakat dan dunia usaha
swasta sebagai good corporate governance. Tiga pilar good governance
terdiri dari
1. Pemerintah berperan dalam mengarahkan, memfasilitasi
kegiatan pembangunan. Selanjutnya pemerintah juga memiliki
peran memberikan peluang lebih banyak kepada masyarakat
dan swasta dalam pelaksanaan pembangunan.
2. Swasta berperan sebagai pelaku utama dalam pembangunan,
menjadikan saha sektor non pertanian sebagai penggerak
pertumbuhan ekonomi wilayah, pelaku utama dalam
menciptakan lapangan kerja, dan kontributor utama
penerimaan pemerintah dan daerah.
3. Masyarakat berperan sebagai pemeran utama (bukan
berpartisipasi) dalam proses pembangunan, perlu pengembangan
dan penguatan kelembagaan agar mampu mandiri dan
membangun jaringan dengan berbagai pihak dalam melakukan
fungsi produksi dan fungsi konsumsinya, serta perlunya
pemberdayaan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan
kualitas produksinya.
Konsep good governance dapat dikatagorikan menjadi acuan untuk
proses dan struktur hubungan ekonomi politik dan sosial yang baik.
Sudah menjadi hal yang umum dalam hidup kita dipisahkan bahwa setiap
167
Manajemen Sektor Publik

manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok,


dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional.
Dalam rangka mewujudkan suatu kepentingan tersebut selalu terjadi
gesekan. Begitupun dalam hal merealisasikan “good governance” gesekan
kepentingan menjadi lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan
sekat antar individu serta kelompok yang membuat sulit tercapainya
kata “sepakat”.
Pemerintahan yang baik pada dasarnya adalah proses dalam
melahirkan keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan untuk
selanjutnya dipertangungjawabkan secara bersama-sama. Selanjunya
good governance lahir dari tangungjawab tersebut baik oleh pemerintah,
korporasi, maupun masyarakat sipil. Sedangkan Negara hanyanya
sebgai wadah dilahirkanya suatu kebijakan dari ibu good governance.
Suatu kebijakan tidak akan dapat mewujudkan good governance bilamana
3 pemangku kepentingan dalam suatu Negara tidak saling bekerjasama
yakni antara sipil, pemerintahan, dan korporasi. Ketiganya memiliki
peran masing-masing dalam mempertangung jawabakan kebijakan yang
telah dikeluarkan untuk mencapai good governanace. Sinkronisasi dan
harmonisasi antar pihak diatas menjadi harapan besar. Namun dengan
keadaan Indonesia saat ini masih belum bisa terjadi.

168
Standarisasi Manajemen
Pelayanan Publik

A. Evaluasi Pelayanan Publik


Penyelenggaraan pelayanan publik sampai saat ini belum
memenuhi harapan masyarakat. Berbagai upaya perbaikan terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik telah dilakukan oleh pemerintah,
namun hasilnya belum maksimal. Sementara itu, masyarakat menuntut
hak-hak mereka ketika berhubungan dengan penyelenggara pelayanan
publik agar memberikan pelayanan yang prima. Dalam rangka
memaksimalkan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik tersebut,
diperlukan evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara
periodik. Hal ini sejalan dengan Pasal 7 ayat (3) huruf c Undang Undang
Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik yang mengamanatkan
evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik. Evaluasi kinerja
penyelenggara pelayanan publik mengacu kepada Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
1 Tahun 2015 tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyelenggara
Pelayanan Publik.
Pedoman Evaluasi Kinerja Pelayanan Publik tersebut menjadi
acuan bagi pembina/penanggungjawab penyelenggara pelayanan publik
guna memperbaiki, dan menyempurnakan layanan yang sesuai dengan
aspek-aspek penyelenggaraan pelayanan publik. Tujuan dilakukan
evaluasi kinerja penyelenggara pelayanan publik, yaitu:
1. Mengetahui capaian kinerja penyelenggara pelayanan publik.
2. Memberikan saran perbaikan untuk peningkatan kualitas
pelayanan publik melalui pemanfaatan hasil evaluasi.
169
Manajemen Sektor Publik

3. Menjamin kualitas pelaksanaan evaluasi kinerja penyelenggara


pelayanan publiK mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pelaporan.
Maksud dilakukan evaluasi kinerja penyelenggara pelayanan publik
yaitu sebagai acuan bagi pembina atau penanggungjawab penyelenggara
pelayanan publik guna memperbaiki, dan menyempurnakan layanan
yang sesuai dengan aspek-aspek penyelenggaraan pelayanan publik.
Sedangkan tujuan dilakukan evaluasi kinerja penyelenggara pelayanan
publik, yaitu:
1. Mengetahui capaian kinerja penyelenggara pelayanan publik.
2. Memberikan saran perbaikan untuk peningkatan kualitas
pelayanan publik melalui pemanfaatan hasil evaluasi.
3. Menjamin kualitas pelaksanaan evaluasi kinerja penyelenggara
pelayanan publiK mulai dari perencanaan,pelaksanaan,
pelaporan.
Kemudian sasaran evaluasi pada pelayanan publik diantaranya
meningkatnya tingkat kepatuhan penyelenggara pelayanan publik;
meningkatnya publikasi pelayanan publik sesuai standar pelayanan;
terwujudnya kepuasan masyarakat serta , meningkatnya penyelesaian
pengaduan pelayanan publik. Hasil dari evaluasi kinerja penyelenggara
pelayanan publik digunakan untuk peningkatan kualitas pelayanan
publik dan untuk menghasilkan inovasi pelayanan publik menuju
terciptanya pelayanan prima. Evaluasi ini dapat dilakukan baik internal
maupun eksternal organisasi.

B. Birokrasi Pelayanan Publik


Pemerintah merupakan implementator kebijakan dalam
melaksanakan setiap program yang telah ditetapkan, dalam lingkup
pemerintahan secara integritas didalamnya terintegrasi sistem birokrasi
yang sistematis dan terstruktur. Birokrasi pemerintah merupakan
suatu sistem yang terstruktur dimana didalamnya merupakan cara atau
strategi dalam mengimplementasikan kebijakanpemerintah terutama
yang berorientasi pada pelayanan publik. Dengan adanya birokrasi yang
baik maka dapat menciptakan pelayanan publik yang baik terhadap
masyarakat. Namun demikian beberapa kendala yang terjadi saat ini
adalah munculnya permasalahan dalam pelayanan publi, dimana banyak
170
Manajemen Sektor Publik

pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh pihak birokrasi tidak


maksimal, hal ini diakibatkan para birokrat dalam pelaksanaan kerjanya
terintegrasi dengan keadaan politik di lingkungan kerjanya sehingga
tidak tercipta profesionalisme pelayanan dan tidak terinformasikannya
permasalahan pelayanan kepada masyarakat terhadap pemerintah,
dimana keadaan ini adalah sebagai bahan evaluasi pemerintah atas
kebijakan yang terimplementasi terutama dalam pelayanan publik.
Untuk lebih memaksimalkan pelayanan publik, pemerintah hendaknya
lebih membangun pemahaman tentang fungsi birokrasi dalam pelayanan
publik sehingga secara profesional sistem birokrasi berkembang dan
terfokus pada pelayanan masyarakat (publik).

1. Problematika Birokrasi Pelayanan Publik


Rendahnya kualitas pelayanan public merupakan salah satu sorotan
yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik di era-
reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, nemun dalam
perjalanannya, ternyata tidak mengalami perubahan yang siknifikan.
Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan
bahwa berbagai jenis pelayanan publik mengalami kemunduran yang
sebagian di tandai dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan
public tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit dan
sumber daya manusia yang lamban dalam memberikana pelayanan juga
merupakan aspek layanan public yang banyak disoroti.
Dalam bidang pelayanan publik, upaya-upaya telah dilakukan
dengan menetapkan standar pelayanan publik untuk mewujudkan
pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan. Namun upaya
tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut terkait
dengan pelaksanaan system dan prosedur pelayanan yang kurang
efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan,
dan lain-lain adalah sederetan atribut negative yang ditimpakan
kepada biroktasi. Bahkan untuk meningkatkan pengawasan terhadap
pelayanan public, pemerintah telah menetapkan terbentuknya Komisi
Pelayana Publik (KPP) yang independen dan berada di tingkat pusat
dan daerah. Akan tetapi, kenyataannya komisi ini tidak digunakan
masyarakat dan malah terpuruk dengan masalahnya sendiri, terutama
para komisionernya yang sibuk mengurusi tidak turunnya gaji mereka.
171
Manajemen Sektor Publik

Pelayanan publik seringkali menjadi ukuran paling mudah dipahami


sejauh mana kinerja pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya.
Pelayanan publik adalah salah satun fungsi penting pemerintah selain
regulasi, proteksi dan distribusi. Pelayanan publik merupakan proses
sekaligus output yang menunjukkan bagaimana fungsi pemerintah
dijalankan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat
dilihat dari keenggana masyarakat berhubungan dengan birokrasi
pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan keinginan sejauh
mungkin untuk menghindari dan bersentuhan dengan birokrasi
pemerintah apabila menghadapi urusan.
Fenomena “high cost” ketika berhubungan dengan birokrasi pe-
merintah menjadi suatu keniscayaan yang terpaksa diterima. Kondisi-
kondisi seperti ini sebagian besar ditemui pada keseluruhan level
organisasi public yang memberikan pelayanan. Kondisi ini menandakan
ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan
pelayanan terhadap public dinilai masih jauh dari optimal. Pemahaman
terhadap fakta lemahnya birokrasi dilihat sejauhmana kemampuan
mengaktualisasikan fungsi-fungsi pemerintah, yang berujung pada
sejauh mana pelayanan publik dapat dijalankan. Artinya, sejauhmana
pemerintah mampu dan dapat berprilaku transparan, akuntabel, dan
demokratis akan berdampak pada sejauh mana pelayanan public yang
akan dan sudah dilakukan.

2. Indikator Birokrasi Pelayanan Publik


Birokrasi dalam pemerintah sangat bersinergi dengan pemberian
pelayanan kepada masyarakat di berbagai sektor pelayanan.
Masyarakat sangat mebutuhkan kepuasan dalan pelayanan terutama
pelayanan yang langsung kepada masyarakat. Menurut Kumorotomo
(1996) indikator untuk menilai kinerja organisasi publik, antara lain,
yaitu : efisiensi, efektivitas, keadilan, dan daya tanggap. Indikator-
indikator yang digunakan untuk menilai kinerja organisasi sangat
bervariasi. Secara garis besar, berbagai parameter yang dipergunakan
untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi
dua pendekatan. Pendekatan yang pertama melihat kinerja pelayanan
publik dari perspektif pemberi layanan dan pendekatan kedua dari
perspektif pengguna jasa diantaranya:

172
Manajemen Sektor Publik

a. Akuntabilitas; Akuntabilitas dalam penyelanggaraan


pelayanan publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan
seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan
dengan ukuran-ukuran atau nilai-nilai dalam atau norma
eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh para
stakeholders. Rendahnya tingkat akuntabilitas aparat birokrasi
dalampemberian pelayanan publik erat kaitannya dengan pula
dengan persoalan struktur birokrasi yang diwarisi semenjak
masa orde baru berkuasa. Prinsip loyalitas kepada atasan lebih
dikenalkan daripada prinsip loyal kepada publik. Birokrasi di
Indonesia tidak pernah diajarkan untuk mempunyai pemikiran
bahwa kedaulatan berada pada publik, artinya bahwa
eksistensi pelayanan birokrasi akan sangat ditentukan oleh
pertanggungjawaban birokrasi terhadap publik.
b. Responsivitas; Responsivitas adalah kemampuan birokrasi
untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun kebutuhan
dan aspirasi masyarakat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
responsivitas ini mengukur daya tanggap birokrasi terhadap
harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan pengguna
jasa. Responsivitas sangat dibutuhkan dalam pelayanan publik
karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi
untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda
dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-
program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasi masyarakat (Dilulio, 1994). Organisasi yang memiliki
responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang
jelek juga (Osborne dan Plastrik, 1997).
c. Orientasi pada pelayanan; Orientasi pada pelayanan menunjuk
pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk
penyelenggarakan pelayanan publik. Sistem pemberian
pelayanan yang baik dapat dilihat dari besarnya sumber
daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara efektif di
dayagunakan untuk melayani kepentingan pengguna jasa.
Idealnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki
oleh aparat birokrasi hanya dicurahkan atau di konsentrasikan
untuk melayani kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa.

173
Manajemen Sektor Publik

Kemampuan dan sumber daya dari aparat birokrasi sangat


diperlukan agar orientasi pada pelayanan dapat dicapai.
d. Efisiensi Pelayanan; Efisiensi pelayanan adalah perbandingan
terbaik antara input dan output pelayanan. Secara ideal,
pelayanan akan efisien apabiila birokrasi pelayanan dapat
menyediakan input pelayanan, seperti biaya dan waktu
pelayanan yang meringankan masyarakat pengguna jasa.
Demikian pula dalam sisi output pelayanan, birokrasi, birokrasi
secara ideal harus dapat memberikan produk pelayanan yang
berkualitas, terutama dari aspek biaya dan waktu pelayanan.
Efisiensi pada sisi input dipergunakan untuk melihat seberapa
jauh kemudahan akses publik yang ditawarkan. Akses publik
terhadap pelayanan dipandang efisien apabila publik memiliki
jaminan atau kepastian menyangkut biaya pelayanan.

C. Maladministrasi Publik
Maladministrasi menurut UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia (“UU 37/2008”) diartikan sebagai
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang,
menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban
hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan
oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan
kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang
perseorangan. Menurut Hendra Nurtjahjo dkk dalam buku memahami
Mal-administrasi (hal. 11-12) yang kami akses dari laman Ombudsman
RI menjelaskan definisi maladministrasi yaitu:
1. Perilaku dan perbuatan melawan hukum,
2. Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang,
3. Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi
tujuan wewenang itu,
4. Kelalaian,
5. Pengabaian kewajiban hukum,
6. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
7. Dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan,

174
Manajemen Sektor Publik

8. Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial,


9. Bagi masyarakat dan orang perseorangan.

1. Bentuk-Bentuk Maladministrasi
Bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk maladministrasi yang
paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang,
penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak trans-
paran, kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan
informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan
salah pengelolaan. Kemudian Hendra dkk menjelaskan yang termasuk
bentuk tindakan maladministrasi adalah tindakan-tindakan yang
dilakukan aparatur pemerintah dikarenakan adanya;
a. Mis Conduct yaitu melakukan sesuatu di kantor yang ber-
tentangan dengan kepentingan kantor.
b. Deceitful practice yaitu praktek-praktek kebohongan, tidak
jujur terhadap publik. Masyarakat disuguhi informasi yang
menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk kepentingan
birokrat.
c. Korupsi yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang
yang dimilikinya, termasuk didalamnya mempergunakan
kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian
kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan
memperkaya dirinya, orang lain kelompok maupun korporasi
yang merugikan keuangan negara.
d. Defective Policy Implementation yaitu kebijakan yang tidak
berakhir dengan implementasi. Keputusan-keputusan
atau komitmen-komitmen politik hanya berhenti sampai
pembahasan undang-undang atau pengesahan undang-undang,
tetapi tidak sampai ditindak lanjuti menjadi kenyataan.
e. Bureaupathologis adalah penyakit-penyakit birokrasi ini antara
lain:
1) Indecision yaitu tidak adanya keputusan yang jelas atas
suatu kasus. Jadi suatu kasus yang pernah terjadi dibiarkan
setengah jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada
keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti
bila menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak dalam
praktik muncul kasus-kasus yang di peti es kan.
175
Manajemen Sektor Publik

2) Red Tape yaitu penyakit birokrasi yang berkaitan dengan


penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit, memakan
waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara
singkat.
3) Cicumloution yaitu Penyakit para birokrat yang terbiasa
menggunakan katakata terlalu banyak. Banyak janji tetapi
tidak ditepati. Banyak kata manis untuk menenangkan
gejolak masa. Kadang-kadang banyak kata-kata
kontroversi antar elit yang sifatnya bisa membingungkan
masyarakat.
4) Rigidity yaitu penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini
efek dari model pemisahan dan impersonality dari karakter
birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak,dalam pelayanan
birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku
menurut aturan, tanpa melihat kasus-perkasus.
5) Psycophancy yaitu kecenderungan penyakit birokrat untuk
menjilat pada atasannya. Ada gejala “asal bapak senang”.
Kecenderungan birokrat melayani individu atasannya,
bukan melayani publik dan hati nurani. Gejala ini bisa juga
dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada
publik.
6) Over staffing yaitu Gejala penyakit dalam birokrasi dalam
bentuk pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga
mengurangi efisiensi.
7) Paperasserie adalah kecenderungan birokrasi menggunakan
banyak kertas, banyak formulir-formulir, banyak laporan-
laporan, tetapi tidak pernah dipergunakan sebagaimana
mestinya fungsinya.
8) Defective accounting yaitu pemeriksaan keuangan yang
cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak sebagaiamana
mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan
mengelabuhi. Biasanya kesalahan dalam keuangan ini
adalah mark up proyek keuangan.

Masih bersumber dari buku yang sama, ada pendapat lain mengenai
bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh birokrat yaitu:

176
Manajemen Sektor Publik

a. Ketidakjujuran (dishonesty), berbagai tindakan ketidak jujuran


antara lain: menggunakan barang publik untuk kepentingan
pribadi, menerima uang dll.
b. Perilaku yang buruk (unethical behavior), tindakan tidak etis ini
adalah tindakan yang mungkin tidak bersalah secara hukum,
tetapi melanggar etika sebagai administrator.
c. Mengabaikan hukum (disregard of law), tindakan mengabaikan
hukum mencakup juga tindakan menyepelekan hukum untuk
kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya.
d. Favoritisme dalam menafsirkan hukum, tindakan menafsirkan
hukum untuk kepentingan kelompok, dan cenderung memilih
penerapan hukum yang menguntungkan kelompoknya.
e. Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini
cenderung ke perlakuan pimpinan kepada bawahannya
berdasarkan faktor like and dislike. Yaitu orang yang disenangi
cenderung mendapatkan fasilitas lebih, meski prestasinya tidak
begus. Sebaliknya untuk orang yang tidak disenangi cenderung
diperlakukan terbatas.
f. Inefisiensi bruto (gross inefficiency), adalah kecenderungan
suatu instansi publik memboroskan keuangan negara.
g. Menutup-nutupi kesalahan, kecenderungan menutupi kesalah-
an dirinya, kesalahan bawahannya, kesalahan instansinya dan
menolak diliput kesalahannya.
h. Gagal menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif
tetapi menunggu perintah dari atas, meski secara peraturan
memungkinkan dia untuk bertindak atau mengambil inisiatif
kebijakan.
2. Lembaga Ombudsman
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai
kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk
yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik
tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran

177
Manajemen Sektor Publik

pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan


belanja daerah. Tugas Ombudsman meluruskan pernyataan anda soal
kewenangan Ombudsman dalam menangani maladministrasi, kami
luruskan bahwa menangani maladministrasi bukanlah kewenangan
Ombudsman, melainkan tugas Ombudsman seperti yang disebut dalam
Pasal 7 UU 37/2008 Ombudsman bertugas:

a. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam


penyelenggaraan pelayanan publik;
b. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
c. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup
kewenangan Ombudsman;
d. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan
mal-administrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga
negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga
kemasyarakatan dan perseorangan;
f. Membangun jaringan kerja;
g. Melakukan upaya pencegahan mal-administrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik; dan
h. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.

Wewenang Ombudsman dalam menjalankan fungsi dan tugasnya,


Ombudsman berwenang:
a. Meminta keterangan secara lisan / tertulis dari pelapor,
terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang
disampaikan kepada Ombudsman;
b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain
yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan
kebenaran suatu Laporan;
c. Meminta klarifikasi salinan atau fotokopi dokumen yang
diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan
dari instansi Terlapor;
d. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak
lain yang terkait dengan Laporan;

178
Manajemen Sektor Publik

e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas


permintaan para pihak;
f. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan,
termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau
rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan,
kesimpulan, dan Rekomendasi;
h. Menyampaikan saran kepada presiden, kepala daerah, atau
pimpinan penyelenggara negara lainnya guna perbaikan dan
penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan
publik;
i. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat,
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau
kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan
perundangundangan lainnya diadakan perubahan dalam
rangka mencegah mal administrasi.

179
Manajemen Sektor Publik

180
Pengembangan Manajemen SDM
Menuju Birokrasi Berkualitas

A. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia


Sumber Daya Manusia (SDM) Birokrasi merupakan elemen
terpenting dari organisasi pemerintahan daerah, berperan sebagai
penggerak utama dalam mewujudkan visi dan misi serta tujuan
organisasi. Mengingat begitu pentingnya sumber daya manusia
birokrasi, maka perlu manajemen sumber daya manusia guna mengelola
secara sistematis, terencana, dan terpola agar tujuan yang diinginkan
organisasi baik di masa sekarang maupun di masa depan dapat tercapat
secara optimal. Tantangan globalisasi dari waktu ke waktu semakin
menghadapkan sumber daya manusia terutama birokrat pada persaingan
bebas (sains, teknologi, ekonomi), kultur, dan bentrokan peradaban.
Perlu kita pahami bahwa manajemen sumber daya manusia birokrasi
di tingkat lokal bukan saja melibatkan aparat pemerintahan atau
birokrasi semata, akan tetapi juga melibatkan swasta (private sector) dan
masyarakat (society). Ketiga komponen tersebut merupakan wujud dari
komitmen pelaksanaan kepemerintahan yang baik (good governance).
Sehingga sumber daya manusia birokrasi lokal dalam hal ini merupakan
bagian dari manajemen pembangunan daerah.
Sejumlah fakta lain juga telah memberi keyakinan bahwa manajemen
sumber daya manusia sektor publik tidak hanya ampuh bagi birokrasi
yang ada di negara-negara maju baik di Eropa, Asia, Australia,
maupun Amerika. Di Afrika pun manajemen sumber daya manusia
sektor publik juga menjadi suatu pendekatan efektif khususnya dalam
rangka meningkatkan produktifitas sektor publik sebagaimana pernah

181
Manajemen Sektor Publik

diteliti oleh Hope (1999) di Botswana sebagai salah satu representasi


negara berkembang. Jacob& Washington (2003) bahwa pengembangan
kualitas sumber daya manusia berdasarkan hasil sejumlah riset diyakini
Gary, (2000). dinyatakan bahwa penyelenggaraan manajemen sumber
daya manusia harus mengkaitkan dengan strategi organisasi untuk
meningkatkan kinerja, mengembangkan budaya korporasi yang
mendukung penerapan inovasi dan fleksibilitas dapat meningkatkan
kinerja organisasi. anajemen sumber daya manusia ini merupakan suatu
proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan,
pegawai, buruh, manajer dan atau semua tenaga kerja yang menopang
seluruh aktivitas dari organisasi, lembaga atau perusahaan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Divisi HR merupakan divisi
yang mengelola manajemen sumber daya manusia ini akan menyediakan
pengetahuan (tentang perusahaan), peralatan yang dibutuhkan,
pelatihan, layanan administrasi, pembinaan, saran hukum, serta
pengawasan dan manajemen talenta. Semua hal tersebut dibutuhkan
demi mencapai tujuan perusahaan. Tak hanya itu, divisi ini juga
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan perusahaan
dengan menerapkan seluruh nilai dan budaya perusahaan. Dan juga
memastikan bahwa perusahaan memiliki tim yang baik dan solid dan
memahami pemberdayaan karyawan

1. Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia


Adapun beberapa fungsi yang dimiliki oleh manajemen sumber
daya manusia yang perlu anda ketahui dan dapat dipraktekkan dalam
perusahaan, yaitu;
a. Mengatur dan Mengelola Pekerja; Fungsi ini memiliki tiga
langkah penting, yaitu perencanaan, penarikan dan seleksi.
Ketiga tahap ini dilakukan agar mendapatkan tenaga kerja yang
berkualitas sehingga dapat bekerja maksimal sesuai dengan job
desc-nya.
b. Penilaian; Divisi sumber daya manusia bertanggung jawab
terhadap rangkaian pembinaan, pengawasan hingga evaluasi
terhadap calon ataupun karyawan yang telah dipilih. Evaluasi
dilakukan dengan mengacu pada standar kinerja yang telah
disusun sebelumnya oleh divisi sumber daya manusia.

182
Manajemen Sektor Publik

c. Penggantian atau Kepuasan; Manajemen sumber daya manusia


juga memiliki fungsi memberikan penghargaan atau pemberian
balas jasa secara langsung atau tidak langsung, yang berbentuk
uang maupun barang kepada karyawan sebagai bentuk imbal
jasa dari perusahaan. Pemberian penghargaan yang baik dan
adil akan mempengaruhi iklim kerja dalam sebuah perusahaan.
d. Pusat pelatihan dan penasihat; Pelatihan atau training ini
merupakan suatu proses pembelajaran untuk memperoleh
suatu keahlian, peraturan, konsep atau sikap untuk
meningkatkan kinerja para karyawan. Bahkan pelatihan itu
sendiri sudah diatur dalam undang-undang pada tahun 2003.
Tak hanya melakukan pelatihan, tetapi manajemen juga harus
mencari solusi terhadap kendala yang dialami oleh sumber daya
manusia agar kinerja tetap maksimal dan berkualitas.
e. Membuat relasi; Manajemen juga memiliki tugas
untukmembangun hubungan dengan pihak luar terkait dengan
sumber daya manusia, seperti serikat pekerja atau sejenisnya.
Dengan tujuannya agar iklim kerja menjadi kondusif karena
dapat menyelesaikan permasalahan dengan baik dan tanpa
perlu melakukan tindakan yang berlebihan.
f. Mengatasi permasalahan; Divisi sumber daya manusia
memiliki tanggung jawab dalam mengatasi permasalahan
yang sering timbul pada karyawannya. Melakukan analisis
pada setiap permasalahan dan mencari solusi terbaik untuk
menyelesaikannya.
g. Menangani kesehatan dan keselamatan pekerja; Manajemen
sumber daya manusia bertugas untuk menciptakan kondisi
yang aman dan sehat, guna menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan dan beresiko seperti kecelakaan yang dialami
pekerja. Keselamatan kerja dan kesehatan semua karyawan
menjadi tanggung jawab divisi ini.

2. Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia


Menurut Sedarmayanti, penulis buku Sumber Daya Manusia Dan
Produktivitas Kerja (2009) tujuan manajemen sumber daya manusia
terdapat 4 tujuan, yakni:

183
Manajemen Sektor Publik

a. Tujuan Sosial; Tujuan ini adalah organisasi bertanggung jawab


secara sosial terhadap tantangan dan keperluan yang terjadi
di masyarakat khususnya di ruang lingkup organisasi dan
mengurangi efek dampak negatif atau merugikan yang akan
muncul.
b. Tujuan Organisasional; Tujuan manajemen sebagai
organisasional adalah sasaran-sasaran formal yang disusun
guna membantu perusahaan dalam mencapai tujuannya.
Tujuan ini mengenalkan bahwa manajemen sumber daya
manusia itu ada (exist).
c. Tujuan Fungsional; Tujuan manajemen sumber daya manusia
selanjutnya adalah tujuan fungsional atau functional objective.
Yakni untuk mempertahankan kontribusi dari sumber daya
manusia di tiap departemen perusahaan yang dibutuhkan.
Sumber daya tersebut dipelihara agar memberikan kontribusi
yang optimal.
d. Tujuan Individu Atau Tujuan Pribadi; Dalam organisasi juga
harus diperhatikan oleh setiap manajer, terutama manajemen
sumber daya manusia, dan harus diarahkan dengan tujuan
organisasi secara keseluruhan (overall, organizational objectives).

3. Prinsip Dasar Manajemen Sumber Daya Manusia


Sektor publik memiliki asas yang sama dengan sektor privat dalam
melakukan fungsi manajerial. Sejak lingkungan organisasi berkembang
dengan dinamika yang sangat intensif pada dekade 1990-an, fungsi
manajerial diarahkan pada pengembangan perilaku individu dengan
mengacu pada panduan umum yang oleh Wright & Rudolph (1994)
ditekankan pada lima aspek yaitu: (1) Emphasis on people; (2) Participative
leadership; (3) Innovative workstyles; (4) Strong client orientation; dan (5)
A mindset that seeks optimum performance. Secara alamiah, organisasi
diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sementara dalam
melakukan utilisasi sumber daya manusia, organisasi secara eksplisit
menunjukkan adanya pemosisian manusia sebagai unsur utama
di dalamnya. Dengan demikian unsur manusia dalam organisasi
tidak hanya sekadar bersifat pasif, namun lebih bersifat aktif untuk
menghadapi sejumlah tantangan dan siap mengembangkan diri demi

184
Manajemen Sektor Publik

kelangsungan organisasi itu sendiri. Sebagaimana telah diidentifikasi


oleh Jacob & Washington (2003) bahwa pengembangan kualitas
sumber daya manusia berdasarkan hasil sejumlah riset diyakini dapat
meningkatkan kinerja organisasi.
Manajemen sumber daya manusia memiliki prinsip kepemimpinan
yang bersifat partisipatif. Jika mencermati prinsip manajemen sumber
daya manusia pertama yang memposisikan unsur manusia sebagai
pihak yang bersifat aktif, prinsip kedua inipun juga memposisikan figur
pemimpin sebagai pihak yang aktif dan tidak sekadar bersifat situasional.
Secara teoritis, kepemimpinan terbaik adalah dengan menyesuaikan diri
terhadap semua perubahan bentuk situasional. Namun kepemimpinan
yang terbaik dari yang terbaik adalah kemampuan penyesuaian diri
pemimpin secara aktif disertai tingkat pelibatan diri pada semua
level organisasi secara intensif dan dengan kemampuan membentuk
lingkungan yang kreatif (Amabilea:2004). Prinsip dasar ketiga
manajemen sumber daya manusia merujuk pada perilaku inovatif yang
tidak berhenti maknanya pada hasil yang telah dapat dicapai seorang
individu. Prinsip ketiga ini merujuk pada kemampuan individu untuk
dapat merefleksikan diri pada kinerja (Vaughan 2003) yang telah
dicapai dan kemudian mempelajarinya sedemikian rupa sehingga akan
dapat mencapai tingkat yang lebih baik di masa mendatang.
Akibat tingkat persaingan yang kian intensif, orientasi organisasi
lebih cenderung bersifat outward looking. Dalam konteks yang demikian
inilah kepuasan pelanggan (untuk sektor pribadi) dan masyarakat
(untuk sektor publik) tidak hanya merupakan tujuan namun juga
sekaligus sebagai “instrumen” bagi organisasi untuk mencapai
sustained competitive advantage (SCA) atau keunggulan bersaing secara
berkelanjutan (Chan et al. 2004). Prinsip keempat manajemen sumber
daya manusia memegang peranan yang sangat penting dalam era scarcity
resources yakni sumber daya yang tersedia semakin terbatas sementara
tuntutan masyarakat pengguna produk dan jasa organisasi semakin
bervariasi sehingga kebutuhan akan sumber daya menjadi meningkat
(Wang & Lo 2003).
Sementara prinsip kelima dalam manajemen sumber daya manusia
tetap memposisikan figur sentral individu sebagai pihak yang memegang
teguh sejumlah nilai luhur yang dapat mengarahkan dirinya pada

185
Manajemen Sektor Publik

berbagai upaya perbaikan. Mindset menjadi konsep yang sangat penting


untuk menunjukkan bahwa persepsi, sikap, dan perilaku individu
memiliki kejelasan arah dalam membangun kesuksesan organisasi.
Pengalaman di negara lain membuktikan bahwa keunggulan organisasi
dapat dicapai melalui pengembangan sumber daya manusia (Pattanayak
2003) sebagai instrumen dalam memenangkan persaingan dan mencapai
keberhasilan. Kelima prinsip manajemen sumber daya manusia tersebut
menjadi pelajaran penting dalam membangun organisasi bermutu yang
berpusat pada pengembangan sumber daya manusia. Prinsip-prinsip
manajemen sumber daya manusia tersebut juga menegaskan kembali
bahwa tanpa SDM bermutu, organisasi dipastikan tidak dapat mencapai
keberhasilan.

B. Manajemen Sumber Daya Manusia Sektor Publik


Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan salah satu instrumen
penting bagi organisasi dalam mencapai berbagai tujuannya. Bagi sektor
publik, tanggung jawab besar birokrasi dalam memberi pelayanan
kepada masyarakat harus didukung oleh sumber daya manusia aparatur
yang profesional dan kompeten. Dalam konteks reformasi birokrasi,
manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu pilar perbaikan
di samping aspek kelembagaan dan sistem (lihat Kompas edisi 06
Juni 2011). Utilisasi sumber daya manusia aparatur secara efektif dan
efisien menjadi fungsi utama manajemen sumber daya manusia bagi
birokrasi mulai dari perencanaan hingga tahap terminasi sumber daya
manusia. Sebagaimana terdapat dalam berbagai literatur manajemen,
pencapaian tujuan organisasi secara manajerial diawali dengan fungsi
perencanaan (Ivancevich et al. 2004:66-87). Keterlibatan aparatur
dalam perencanaan memiliki peran signifikan terutama berkaitan
dengan sikap dan perilakunya.
Seperti telah diidentifikasi oleh Boyne & Gould Williams (2003),
sikap aparatur yang terlibat dalam perencanaan berperan penting bagi
pencapaian kinerja organisasi sektor publik di samping adanya pengaruh
sejumlah variabel teknis lainnya. Jika dalam tahap perencanaan sumber
daya manusia bermutu memiliki peran penting dalam mencapai target
yang ditetapkan, maka proses manajerial birokrasi selanjutnya dalam
bentuk pengarahan, pelaksanaan, dan evaluasi pun harus didukung oleh

186
Manajemen Sektor Publik

aparat yang bermutu. Dalam konteks yang demikian itulah, manajemen


sumber daya manusia mendapat tantangan untuk menjawab masalah
peningkatan mutu aparat. Hingga saat ini mutu aparat birokrasi dalam
memberikan layanan publik di Indonesia masih menjadi persoalan
yang sangat serius. Masyarakat sebagai pengguna layanan birokrasi
acapkali mengeluhkan mutu aparat dalam menjalankan fungsinya.
Berbagai bentuk keluhan muncul mulai dari proses pelayanan, waktu
yang dibutuhkan dalam penyelesaian urusan, sikap dan perilaku aparat,
hingga berkaitan dengan kualitas hasil layanan.
Permasalahan serius yang tak kunjung teratasi tersebut pada
ahirnya memposisikan Indonesia sebagai negara yang tidak kondusif
bagi pelayanan publik. Peran manajemen sumber daya manusia di sektor
publik menjadi sangat kritis dan berbeda kondisinya dengan sektor
privat (lihat Boselie et al. 2003). Secara historis konsep-konsep yang
berkembang dalam manajemen sumber daya manusia memang berawal
dari kegiatan usaha sektor privat. Bagi perusahaan, manajemen sumber
daya manusia tidak hanya sekadar merupakan instrumen utilisasi
pegawai. manajemen sumber daya manusia di sektor privat sebagaimana
dikatakan Stroh & Caligiuri (1998) sekaligus merupakan sumber
kekuatan bagi perusahaan dalam mencapai keunggulan bersaing di era
global seperti saat ini. manajemen sumber daya manusia dapat berfungsi
secara efektif di sektor privat, sementara tidak demikian halnya di
sektor publik. Salah satu faktor penentu efektifitas manajemen sumber
daya manusia. berkaitan dengan budaya organisasi sektor privat yang
sangat kontras dengan sektor publik. Selain budaya, iklim organisasi
yang tidak kondusif dan nilai-nilai manajerial yang tidak relevan dengan
perubahan menjadi ganjalan birokrasi dalam mencapai efektifitas
organisasi sebagaimana pernah diidentifikasi oleh Wallace et al. (1999)
yang meneliti organisasi sektor publik dan kepolisian di Australia.
Sangat penting artinya bagi dunia ilmu pengetahuan dan praktisi
untuk menguraikan manajemen sumber daya manusia dalam budaya,
iklim organisasi dan nilai-nilai manajerial khas birokrasi yang berbeda
dengan perusahaan yang merepresentasikan sector privat. Dengan
keyakinan terhadap pandangan bahwa budaya dan iklim organisasi
serta nilai-nilai manajerial dapat mendukung pencapaian keunggulan
bersaing organisasi sebagaimana dikembangkan Glonaz & Lees (2001),

187
Manajemen Sektor Publik

maka tulisan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan fenomena dan


pengantar pengembangan model manajemen sumber daya manusia
dalam sektor publik sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk
membangun birokrasi yang kuat dalam memberi pelayanan yang
mendukung peningkatan daya saing bangsa Indonesia.

1. Peran Dominan di MSDM Sektor Publik


Secara klasik MSDM sektor publik telah menjadi bagian penting
dari setiap upaya reformasi birokrasi dalam menyajikan pelayanan
bagi pemenuhan kebutuhan serta akomodasi berbagai kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat. Di Inggris, misalnya, dua hal dicatat oleh
Dorman B. Eaton (1880) tentang MSDM yaitu “(1) .... in filling offices,
it is the right of the people to have the worthiest citizens in the public service fo
the general welfare,...... of character and capacity which qualify him for such
service; dan (2) the ability, attaintments, and character requisite for the fit
discharge of official duties of any kind, - in other words, the personal merits of
the candidate – are themselves the highest claim upon an office”. Keberhasilan
reformasi birokrasi dapat diawali dari keseriusan birokrasi itu sendiri
dalam mengelola SDM aparaturnya. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi
birokrasi di Indonesia untuk tidak lagi kompromistis dalam melakukan
rekrutmen, pemilihan dan penempatan pekerjaan atau jabatan bagi staf
dan pejabat, penilaian kinerja, rotasi dan mutasi hingga membangun
kapasitas, karakter, dan kompetensi individu.
Semua fungsi MSDM harus dengan tegas dijalankan secara rasional
dan obyektif. Sementara itu, Henry (2004: 290-291) juga telah
menguraikan peran dominan MSDM sektor publik yang telah mewarnai
birokrasi Amerika Serikat (AS) sedemikian rupa sehingga memberi
corak yang khas dalam memberikan layanan publik. Dengan MSDM
tersebut, Henry menambahkan bahwa pemerintahan AS bersifat
“.... more honest and more accountable”, sementara peran MSDM dalam
birokrasi digambarkannya secara ilustratif sebagai: “ .... public human resource
management was used to pry open public jobs for women, people of color, and
older and disabled Americans. .... and continuing into our own time, it is being
used to improve the management of government”. Dengan segala perubahan
yang terjadi baik dalam masyarakat maupun birokrasi, Henry kemudian
optimistis bahwa MSDM sektor publik memiliki prospek masa depan
yang cerah dengan segala penyesuaian yang harus dilakukan untuk
188
Manajemen Sektor Publik

membuat birokrasi pemerintahan menjadi bernilai tambah. Sejumlah


fakta lain juga telah memberi keyakinan bahwa MSDM sektor publik
tidak hanya ampuh bagi birokrasi yang ada di negara-negara maju baik
di Eropa, Asia, Australia, maupun Amerika.
Di Afrika pun MSDM sektor publik juga menjadi suatu pendekatan
efektif khususnya dalam rangka meningkatkan produktifitas sektor
publik sebagaimana pernah diteliti oleh Hope (1999) di Botswana
sebagai salah satu representasi negara berkembang. Jika dikaitkan
dengan berbagai situasi yang harus dihadapi birokrasi, maka MSDM
dapat diandalkan oleh sektor publik sebagai instrumen utama dalam
membangun kekuatan birokrasi. Dalam situasi lingkungan organisasional
yang sedang dan selalu berubah Pynes (2004) mengingatkan bahwa:
“Public and nonprofit organizations are finding themselves having to confront
a variety of economic, technological, legal, and cultural changes with which
they must cope effectively if they are to remain viable”. Dalam kondisi
yang demikian itulah selanjutnya Pynes menegaskan bahwa: “The
key to viability is well-trained and flexible employees. To be responsive to
the constantly changing environment, agencies must integrate their human
resources management (HRM) needs with their long-term strategic plans. Dari
berbagai catatan inilah dapat ditarik sebuah nilai penting bahwa telah
dan akan ada banyak persoalan yang harus diatasi birokrasi ternyata
dapat mengandalkan peran MSDM sebagai titik tumpuannya (Irianto
2009).

2. Permasalahan MSDM Sektor Publik


Terdapat berbagai masalah yang ada dalam birokrasi di Indonesia
khususnya berkaitan dengan pengelolaan SDM aparatur. Permasalahan
tersebut dapat dilihat baik dari perhitungan statistik jumlah
SDM aparatur atau Pegawai Negeri Sipil (PNS), maupun dari sisi
kualitatifnya. Dari sisi kuantitatif, jumlah PNS pada tahun 2010 sudah
mencapai 4.598.100 (lihat: www.bkn.go.id). Menurut versi Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan &
RB) EE. Mangindaan, jumlah PNS tersebut termasuk dalam kategori
“cukup moderat”. Dengan total jumlah penduduk Republik Indonesia
(RI) saat ini yang mencapai sekitar 224 juta jiwa, maka rasio jumlah PNS
terhadap jumlah penduduk adalah 1,94 persen. Persoalan PNS dalam
birokrasi bukanlah sekadar terletak pada hasil perhitungan kuantitatif.
189
Manajemen Sektor Publik

Berbagai pertanyaan kritis yang patut dikedepankan sehubungan


dengan perhitungan jumlah PNS tersebut diantaranya adalah: (1) Apakah
beban kerja (work-load) PNS telah dianalisis secara benar sedemikian
rupa sehingga mampu menghasilkan angka ketersediaan dan kebutuhan
(supply and demand) PNS yang tepat?; (2) Apakah PNS telah tersebar
secara merata dan proporsional baik dari sisi demografis maupun per
satuan atau unit kerja?; (3) Apakah semua PNS telah benar-benar
bekerja sesuai dengan kebutuhan organisasi?; dan (4) Apakah telah ada
perhitungan secara eksak dan rasional atas kontribusi dan kinerja PNS
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan negara
RI? Daftar pertanyaan skeptis tersebut dapat saja terus bertambah.
Oleh karena itu respon strategis sangat diperlukan baik berupa kajian
ataupun penelitian ilmiah secara terus menerus untuk mendapat
menjawab semua permasalahan kepegawaian.
Secara normatif semakin besar jumlahnya, PNS seharusnya mampu
memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat. Dengan jumlah
yang sangat besar, PNS harus pula dapat memposisikan diri secara lebih
dekat lagi dengan (kepentingan) masyarakat. Namun demikian realitas
menunjukkan bahwa meskipun jumlahnya besar, ternyata kualitas PNS
berada pada tingkat yang rendah dan pada akhirnya mempengaruhi
level efektifitas pemerintahan. Permasalahan kualitas SDM birokrasi
di Indonesia tampaknya juga diperberat dengan perilaku menyimpang
para aparat. Berbagai media massa baik tulis maupun cetak menyajikan
pemberitaan yang sangat tidak sedap tentang perilaku negatif aparat
dalam bertugas mulai dari kasus korupsi (lihat misalnya Koran Tempo
edisi 16 November 2010) hingga kasus penggelapan pajak yang
mewarnai mayoritas berita nasional (lihat misalnya Suara Pembaruan
edisi 7 Januari 2011) serta bermacam-macam berita negatif lainnya.
Sementara di sisi lain, ternyata negara ini juga telah banyak
menyedot anggaran untuk menggaji aparatnya dalam jumlah yang
sangat besar sehingga pembangunan berbagai sektor utama lain
menjadi tersendat (lihat misalnya Kompas edisi 4 Januari 2011). Semua
pemberitaan tersebut mengirimkan suatu pesan yang sama bahwa
perilaku PNS dan kinerja PNS berada pada tingkat yang mengkuatirkan.
Di tengah berbagai kekuatiran dan keprihatinan terhadap kinerja
birokrasi dan perilaku aparat tersebut, ternyata ada satu berita yang

190
Manajemen Sektor Publik

menggembirakan. Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan


oleh GlobeScan bekerjasama dengan Program on International Policy
Attitudes di University of Maryland untuk BBC Extreme World Series,
Indonesia masuk dalam kategori sebagai negara terbaik dalam memulai
usaha. Survei tersebut mengukur empat dimensi yaitu (1) penghargaan
terhadap inovasi dalam berbisnis, (2) tingkat kesulitan untuk memulai
usaha, (3) penghargaan terhadap upaya-upaya para pebisnis yang
memulai berusaha, dan (4) kemudahan mengimplementasikan ide-ide
inovatif dalam hal bisnis.
Satu hal paling menarik dari survei ini adalah tentang posisi
Indonesia melampaui negara-negara yang selama ini dianggap “super”
yakni Amerika Serikat, Kanada, India dan Australia. Sekalipun
demikian, semua pihak tetap harus diingatkan bahwa hasil survei bisa
saja mengalami pembiasan dan oleh karena itu jangan membuat bangsa
Indonesia terlena seolah sudah tidak ada masalah lagi (lihat Kompas
edisi 04 Juni 2011). Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) Anton Supit, setiap hari di berbagai media muncul aneka
keluhan dari para pengusaha sehingga bisa jadi hasil survei tersebut
dapat menyesatkan. Berbagai permasalahan baik secara kuantitatif
(memastikan bahwa jumlah PNS tergolong “properly”) maupun kualitatif
(perilaku dan kinerja PNS) yang terjadi dalam birokrasi di Indonesia
harus mendapat perhatian serius. Jika tidak, birokrasi tidak lagi enabling
bagi RI untuk dapat bersaing dengan negara lain. RI dalam berbagai
bidang telah ketinggalan bahkan dengan negara tetangga sekalipun,
misalnya dalam menggaet investor dan menarik sejumlah wisatawan.
Dengan kata lain RI bukanlah negara yang “memikat” untuk dilirik.
Mutu birokrasi dan perilaku SDM aparatur dalam memberi pelayanan
menjadi salah satu determinan bagi hadirnya fenomena tersebut.

3. Model-Model MSDM Sektor Publik


Secara klasik, terdapat berbagai model dalam MSDM. Berdasarkan
identifikasi yang telah dilakukan Figen Cakar et al (2003) upaya
pengembangan model MSDM telah dilakukan sejak dekade 1980-an
hingga 1990-an. Pada dekade 1990-an misalnya, tiga ahli MSDM yaitu
Karen Legge (1995), S. Tyson (1995), dan J. Storey (1994) masing-masing
mengembangkan model MSDM yang berbeda. Legge mengembangkan
model MSDM yang dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) jenis yaitu
191
Manajemen Sektor Publik

Normative, Descriptive-functional, Descriptive behavioural, and Critical-


evaluative. Sementara klasifikasi model MSDM dari Tyson terdiri dari
3 (tiga) jenis yaitu Normative, Desciptive, dan Analytical. Sama dengan
model dari Tyson, klasifikasi model MSDM yang dikembangkan Storey
juga terdiri dari 3 (tiga) jenis namun berbeda konsepnya yaitu Conceptual,
Descriptive, dan Prescriptive.
Selain ketiga ahli tersebut, para ahli MSDM lainnya juga telah
mengembangkan model MSDM dengan versi yang berbeda. Diantara
model MSDM versi lainnya justru dikembangkan pada dekade 1980-an
hingga awal dekade 1990-an yang dapat diidentifikasi dalam 4 (empat)
model lain yaitu:
a. Michigan model (Fombrun et al. 1984), yang dterdiri dari 2
(dua) perspektif yaitu the strategic and environmental perspective
dan the human resource perspective. Perspektif strategis dan
lingkungan menunjukkan adanya hubungan antara strategi
MSDM dengan strategi organisasi secara keseluruhan dalam
rangka menghadapi berbagai tekanan dari faktor-faktor politik,
ekonomi, dan budaya yang mendeterminasi organisasi. Strategi
MSDM dan strategi organisasi bersifat interaktif. Strategi
MSDM menyajikan suatu kerangka kerja bagi organisasi
untuk melakukan seleksi SDM, penilaian kinerja, penyusunan
skema penghargaan dan pelatihan, serta tindakan yang harus
dilakukan untuk merespon hasil penilaian kinerja;
b. Harvard model (Beer et al. 1984) yang terdiri dari 2 (dua)
bagian yaitu: the human resource system dan a map of the HRM
territory. Bagian pertama, yaitu sistem SDM merepresentasikan
perspektif labour relations dan administrasi kepegawaian
(personnel administration) berdasarkan 4 (empat) kategori
SDM yaitu employee influence, human resource flow, rewards, dan
work systems. Sedangkan bagian kedua yaitu a map of the HRM
territory yang menunjukkan adanya kedekatan hubungan
yang sangat intensif antara MSDM baik dengan lingkungan
eksternal (misalnya kepentigan stakeholder) maupun
lingkungan internal (misalnya berbagai faktor situasional yang
terjadi di dalam organisasi).

192
Manajemen Sektor Publik

c. Guest’s (1987) model yang tediri dari 7 (tujuh) kebijakan MSDM


untuk dapat mencapai 4 (empat) outcomes SDM. Menurut
Guest, ke-empat outcomes tersebut akan mengarahkan pada
hasuil yang diinginkan organisasi. Dalam konteks seperti ini,
model MSDM dari Guest memiliki kesamaan dengan model
MSDM dari Harvard, sekalipun berbeda dalam konsep dan
jumlah komponen dalam masing-masing mdel. Model dari Guest
memiliki 7 (tujuh) kategori yang mirip dengan model Harvard
dengan 4 (empat) kategori. Kemiripan itu dapat ditunjukkan
misalnya yaitu human resource flow dalam model Harvard sama
dengan manpower flow and recruitment, selection, dan socialisation;
sementara dalam model Harvard model terdapat work systems,
dalam model Guest tersaji organisational and job design. Kedua
model MSDM ini juga mengandung unsur sistem penghargaan
(reward systems). Dengan demikian dapat diidnetifikasi bahwa
model MSDM dari Guest memiliki tambahan 3 (tiga) kategori
yaitu policy formulation & management of change; employee
appraisal, training & development; serta communication systems.
d. Warwick model (Hendry and Pettigrew, 1992) yang terdiri
dari 2 (dua) konteks yakni inner dan outer context. Model ini
dikembangkan berdasarkan substansi dari Model MSDM
Harvard, namun menekankan pada aspek strategi. Untuk
membandingkan antara kedua model ini dapat diilustrasikan
sebagai berikut: Jika model MSDM dari Harvard mengandung
policy choices yang terdiri dari employee influence, human resource
flow, reward systems, work systems; maka model MSDM dari
Warwick mengkonseptualisasikannya dengan HRM context,
yang terdiri dari human resource flows, work systems, reward
systems dan employee relations. Contoh lainnya adalah jika dalam
model Harvard terdapat business strategy dalam berbagai faktor
situasional, maka dalam model Warwick dapat ditemukan
adanya business strategy content, dan seterusnya.
Berbagai uraian telah disajikan untuk menjelaskan makna masing-
masing klasifikasi model MSDM. Namun demikian, eksplanasi atas
setiap model MSDM tersebut justru semakin membingungkan dan
pada akhirnya tidak dapat membedakannya secara tegas. Model-model

193
Manajemen Sektor Publik

MSDM yang lahir sejak dekade 1980-an sifatnya tumpang tindih


sehingga tidak memiliki garis demarkasi dan perbedaan yang jelas.
Menurut Figen Cakar et al. (2003) harus dikembangkan model MSDM
alternatif yang bersifat komprehensif yakni model MSDM berdasarkan
model bisnis (HRM business process model). HRM business process model
yang diusulkan Figen Cakar dan kawan-kawan tersebut terdiri dari
3 (tiga) komponen strategi yaitu (1) perumusan strategi MSDM; (2)
implementasi strategi MSDM; dan (3) pemantauan dampak atas hasil
yang dicapai organisasi (business results).
Menurut Figen Cakar dan kawan-kawan masing-masing komponen
tersebut dapat dijelaskan berikut: yang pertama Perumusan strategi
MSDM. Sub-proses ini dilakukan untuk merumuskan suatu strategi
MSDM secara terpadu, digunakan strategi dan tujuan organisasi serta
berbagai proses utama dalam organisasi. Perumusan strategi MSDM
terpadu dilakukan dengan menetapkan tujuan dan sasaran, menghitung
dan menetapkan kapabilitas (establishing current capabilities),
melakukan negosiasi kecukupan anggaran untuk mengimplementasikan
perencanaan secara ralistis dan menetapkan kebijakan SDM. Dalam
tahapan perumusan strategi MSDM ini ditentukan batas-batas tentang:
a. Objective activity, yakni melakukan intepretasi terhadap strategi
dan tujuan organisasi serta berbagai proses kegiatan utama
dalam organisasi dikaitkan dengan kebutuhan dan tujuan
MSDM
b. Establish current capability activity, yakni menentukan kapabilitas
SDM yang ada dalam organisasi dikaitkan dengan berbagai
proses utama dalam organisasi untuk mencapai berbagai tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan
c. Plan activity, yakni mengembangan suatu rencana, termasuk di
dalamnya anggaran
d. Negotiate budget activity, yakni menggunakan perencanaan
untuk melakukan negosiasi dalam rangka memperoleh
anggaran yang memadai yang dapat diyakini sebagai instrumen
meraih keberhasilan implementaasi strategi MSDM;
e. Set HR policies activity, yakni menentukan jenis-jenis kompensasi,
metode staffing, metode penilaian kinerja, membentuk skema
pelatihan dan pengembangan, serta menciptakan situasi dan
194
Manajemen Sektor Publik

kondisi kerja yang kondusif dan relevan dengan kebutuhan


implementasi strategi; yang kedua Implementasi Strategi
MSDM.
Sub-proses implementasi strategi MSDM dilakukan dengan
pengendalian terhadap perencanaan SDM, pemantauan atau monitoring,
utilisasi, rekrutmen, penilaian dan pemilihan the right people dalam
rangka mengembangan (to develop), melatih (to train), dan mendidik (to
educate) SDM. Kesemuanya itu juga dilakukan dengan mengelola kinerja
SDM melalui performance review dan appraisal. Implementasi startegi
akan menghasilkan redeployment SDM yang meliputi:
a. Control HR, yakni memastikan bahwa SDM sudah terencana,
terlaksana dan terpantau secara tepat dan benar dalam
kaitannya dengan tujuan dan sasaran yang diinginkan
organisasi;
b. Recruit activity, yakni perhatian terhadap posisi SDM yang
in line dengan kebutuhan organisasi baik berasal dari sumber
dalam maupun luar untuk memperoleh SDM yang tepat;
c. Train, educate, develop, yakni kegiatan yang diarahkan untuk
melakukan upgrading kapabilitas bagi semua SDM yang ada
sesuai dengan kebutuhan organisasi;
d. Manage HR performance, yakni kegiatan yang diarahkan untuk
menentukan berbagai target individual, pemantauan terhadap
kemajuan dan perkembangan berdasarkan target yang telah
ditentukan serta melakukan identifikasi tentang kebutuhan
pelatihan, pengembangan, dan pendidikan sebagai respon atas
hasil penilaian kinerja sebelum menentukan tindakan baik
dalam bentuk reward maupun discipline action;
e. Manage redeployment, yakni kegiatan untuk mengidentifikasi
defisiensi posisi pekerjaan yang tidak dapat diatasi (rectified)
baik melalui pelatihan, pengembangan ataupun pendidikan
yang diarahkan pada redeployment bagi pemegang pekerjaan
atau jabatan baik di dalam maupun di luar organisasi;
f. Negotiation for working conditions, yakni kegiatan yang diarahkan
untuk memenuhi kebutuhan SDM dan pencapaian tujuan
organisasi;

195
Manajemen Sektor Publik

Yang ketiga pemantauan dampak atas hasil organisasi. Sub-proses


ini dilakukan untuk memantau dampak proses MSDM terhadap kinerja
organisasi melalui monitoring konribusi MSDM terhadap pencapaian
strategi dan tujuan organisasi serta berbagai proses utama lainnya. Sub-
proses ini dilakukan secara rinci dengan:
a. Monitor impact on business strategy, yakni pemantauan dampak
strategi SDM terhadap strategi serta kinerja organisasi;
b. Monitor impact on people satisfaction, yakni kegiatan yang
dimasudkan untuk menentukan tingkat kepuasan SDM;
c. Monitor impact on manage process, yakni kegiatan yang berkaitan
dengan monitoring kadar strategi MSDM dan implementasinya
sehingga dapat memenuhi semua kebutuhan dalam pengelolaan
proses kegiatan;
d. Monitor impact on operate process, yakni kegiatan berkaitan
dengan monitoring kadar kualitas strategi MSDM dan
implementasinya dapat memenuhi semua kebutuhan
proses kegiatan (operate processes) yang terdiri dari get order,
developproduct, fulfil order, dan support product;
e. Monitor impact on support process, yakni kegiatan yang berkaitan
dengan monitoring kadar kualitas strategi MSDM dan
implementasinya sehingga dapat memenuhi semua kebutuhan
proses pendukung (support processes) yang terdiri dari keuangan
dan Teknologi Informasi (TI) yang dapat mendukung
berjalannya fungsi proses.
Model yang ditawarkan Figen Cakar dan kawan-kawan tersebut
tentu dapat dikembangkan sesuai konteks dan kebutuhan. Model MSDM
berdasar konteks tersebut dapat dibangun dengan memanfaatkan semua
informasi yang tersaji dalam berbagai literatur serta selanjutnya dapat
terus dikembangkan dengan melibatkan para ahli dan praktisi.

196
Manajemen Pemberdayaan
Masyarakat

A. Paradoks Pembangunan Indonesia


Kemiskinan absolut di Indonesia pada tahun 2010 sebesar
31.000.000, pada tahun 2011 menurun menjadi 30.000.000, hingga
pada tahun 2014 menurun kembali menjadi 28.000.000. kemiskinan
relatif yang menunjukkan tren penurunan di tiap tahunnya, persentase
angka kemiskinan relatif di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015
secara berturut-turut adalah 13,3%, 12,5%, 11,7%, 11,5%, 11%, dan pada
bulan September 2015 meningkat tipis sebesar 11,31%. Berbeda halnya
dengan besaran koefisien gini/rasio gini Indonesia dalam lima tahun
terakhir sejak 2010 sampai 2015, yaitu 0,38; 0,41; 0,41; 0,41; 0,41; dan
0,40. Peningkatan koefisien gini/rasio gini tersebut memperlihatkan
bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia cenderung meningkat
dalam beberapa tahun terakhir. Pencapaian PDB Indonesia yang
tinggi ternyata masih belum mampu menangkap dan menggambarkan
fenomena penting bagi kualitas hidup rakyat.
Pembangunan ekonomi saat itu terlalu menitikberatkan pada
pertumbuhan yang semata mengandalkan pada kinerja ekonomi makro,
dengan harapan dapat mengatasi kemiskinan melalui mekanisme
‘trickle down effect’. Sepintas harapan tersebut seperti terpenuhi dengan
adanya penurunan angka kemiskinan. Tetapi, pada saat yang sama,
kesenjangan ekonomi semakin melebar, dan praktek ekonomi semu
yang melahirkan ekonomi buih (bubble) pun terjadi. Tingkat kerusakan
ekonomi Indonesia akibat krisis 1997 lebih dari yang diderita negara
lain, mengkonfirmasi adanya kelengahan yang sifatnya mendasar

197
Manajemen Sektor Publik

tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang kerapkali diukur berdasarkan


Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP), telah
mengalami penguatan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir namun hal
tersebut tidak berkorelasi terhadap pengentasan masyarakat miskin,
dengan kata lain yaitu sebagian besar manfaat yang ada hanya dinikmati
oleh kalangan elit (World Bank, 8/12/2015).

1. Pergerakan Sektor Riil


Keberhasilan dalam penguatan ekonomi makro perlu dikaitkan
dengan penguatan sektor riil yang dapat memberi kontribusi konkret
dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran.
Menggerakan sektor riil bukan sekadar meningkatkan kegiatan
produksi barang dan jasa, akan tetapi sekaligus membuka kesempatan
kerja serta menciptakan devisa dari kegiatan ekspor dan memperbaiki
posisi neraca pembayaran. Oleh karena itu secara khusus, perhatian
harus diberikan pada bidang-bidang yang memiliki peluang dan
keunggulan komparatif maupun kompetitif seperti pertanian, industri
berbasis pertanian, pariwisata, serta pasar tenaga kerja di manca negara
yang harus dialihkan dari pembantu rumah tangga pada tenaga-tenaga
terlatih.
Pertumbuhan sektor riil saat ini boleh dikatakan mengalami
stagnasi, seperti diindikasikan pada perlambatan pertumbuhan kredit
perbankan dari 25 persen di tahun 2005 menjadi 13 persen tahun
2006. Perbankan tampaknya lebih suka menyimpan dana sebagai
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dibanding menyalurkannya sebagai
kredit. Kini diperkirakan sekitar Rp 80 triliun komitmen kredit yang
belum direalisasikan. Dana tersebut praktis menganggur bersama dana-
dana lainnya sebagai SBI, yang bunganya harus menjadi tanggungan
negara, sementara sektor riil sangat kekurangan modal. Maka upaya
yang sangat penting bagi tumbuhnya sektor riil adalah memecahkan
kebuntuan kredit perbankan, disatu pihak kelebihan likuiditas di bank-
bank dan dilain pihak adanya kebutuhan sektor riil akan modal untuk
bisa bergerak lebih cepat.
Syarat penting untuk menggerakan sektor riil adalah tersedianya
investasi. Terutama investasi langsung, baik dari pihak asing maupun
dari dalam negeri. Saat ini kepercayaan investor untuk menanamkan

198
Manajemen Sektor Publik

modal secara langsung pada sektor riil masih sangat rendah. Para
penyandang modal besar masih lebih memilih untuk menginvestasikan
dananya dalam bisnis finansial dan pasar modal yang tidak berdampak
banyak bagi sektor riil, dan tidak pula menyerap tenaga kerja. Berbagai
persoalan di bidang investasi masih menghambat pengembangan sektor
riil, di antaranya masalah perizinan, ketidakpastian dalam penyediaan
energi, persoalan ketenagakerjaan yang belum didasarkan pada
ketentuan berprinsip win-win, serta ketidakpastian penegakan hukum.
Prakarsa Pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang
Investasi yang ditujukan untuk meningkatkan investasi baik yang
berasal dari dalam negeri maupun asing layak dihargai. Namun muatan
dari rancangan tersebut hendaklah lebih mengedepankan kepentingan
bangsa, dan jangan member kesempatan yang terlalu leluasa kepada pihak-
pihak luar untuk menguasai ekonomi nasional dengan dalih ”globalisasi
ekonomi tidak bisa dihindari”. Oleh karena itu, RUU Investasi yang
diprakarsai Pemerintah tersebut harus memiliki ketegasan terhadap
upaya membangun kemandirian bangsa dan memperkokoh kedaulatan
di bidang ekonomi. UU Investasi juga harus mampu mengembangkan
level playing field bagi semua pelaku bisnis hingga rasa keadilan dalam
berekonomi dirasakan oleh seluruh masyarakat. Juga harus terkait
dengan upaya desentralisasi dan penguatan otonomi daerah. Ijin-ijin
investasi tidak perlu dipusatkan tetapi harus didelegasikan ke daerah.
Pemerintah cukup memberi rambu-rambu atau guidelines.
Konsep utuh pengembangan sektor riil perlu melibatkan berbagai
perspektif sekaligus, termasuk perspektif otonomi daerah. Upaya
mengatasi kemiskinan dan pengangguran melalui pengembangan sector
riil tidak dapat hanya dilakukan ditingkat pusat, melainkan juga harus di
daerah. Daerah apabila diberi kesempatan, dorongan, dan insentif dapat
mengembangkan inisiatif untuk membangun sektor riil berbasis potensi
lokal, termasuk pertanian dan industri berbasis pertanian sebagai sektor
yang paling banyak menampung tenaga kerja, dengan mengaitkannya
pada kebutuhan pasar nasional dan global, sebagaimana pengembangan
industri pedesaan di China maupun Thailand dan bahkan Vietnam.
Kinerja daerah dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran
semestinya langsung dikaitkan dengan kebijakan desentralisasi fiskal
yang meningkatkan alokasi anggaran bagi daerah. Dengan demikian,

199
Manajemen Sektor Publik

setiap tambahan alokasi dana akan mempunyai pengaruh nyata bagi


penurunan angka kemiskinan dan pengangguran.
Secara khusus otonomi daerah yang riil akan lebih mendukung
pengembangan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi non-pemerintah
dan non-modal besar dan berbasis sumber daya lokal dan kekuatan
masyarakat itu sendiri. Sektor riil berskala mikro, kecil, dan menegah,
utamanya yang telah berbentuk koperasi (selanjutnya disebut UMKMK)
ini memiliki tantangan yang lebih rumit. Persoalan UMKMK bukan
sekadar persoalan iklim investasi, melainkan juga masalah permodalan,
keterkaitan dengan sistem pasar, sampai pada persoalan teknologi dan
SDM. Padahal UMKMK memiliki kesempatan lebih langsung untuk
menciptakan lapangan kerja dan mengatasi kemiskinan dibanding
usaha-usaha padat modal. Jumlah usaha kecil dan rumah tangga
mencapai 99,8 persen, sedangkan kemampuan menyerap tenaga kerja
dari usaha kecil hingga menengah mencapai 99,4 persen dari angkatan
kerja.
Menurut sebuah data pada tahun 2005, UMKMK yang tersebar
luas di seluruh daerah menyerap 77,7 juta tenaga kerja, dan dalam
pembentukan produk domestik bruto (PDB) menyumbang 54,2
persen. Aspek permodalan merupakan salah satu penghambat terbesar
pengembangan UMKMK seperti juga sektor riil pada umumnya.
Namun pada khususnya perbankan enggan melayani UMKMK karena
memerlukan pekerjaan yang lebih banyak untuk dapat menyalurkan
dana yang sama dibanding pada usaha berskala besar. Untuk mengatasi
ketimpangan itu, perlu kebijakan Bank Indonesia untuk menerapkan
sistem insentif dan disinsentif yang lebih tegas agar fungsi intermediasi
perbankan dapat berjalan khususnya bagi usaha kecil. Perbankan perlu
didorong untuk lebih banyak menyalurkan kredit pada pengembangan
UMKMK, dimulai dari yang berada di sekitar kantor cabang masing-
masing bank. Insentif khusus perlu diberikan kepada perbankan yang
bisa menjemput bola dengan menyalurkan kredit bagi kegiatan usaha
yang berkontribusi pada upaya penurunan angka pengangguran dan
kemiskinan. Upaya tersebut semestinya merupakan bagian dari sebuah
konsep utuh pengembangan sektor riil secara nasional.

200
Manajemen Sektor Publik

2. Technology and Knowledge Based Economy


Pemberian Hadiah Nobel Perdamaian 2006 bagi Prof. Mohammad
Yunus dan Grameen Bank dari Bangladesh memberi pelajaran berharga
bagi pengelolaan ekonomi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Pelajaran itu adalah bahwa pendekatan ekonomi makro harus diimbangi
dengan pendekatan mikro melalui konsep-konsep pemberdayaan yang
dapat membangkitkan perekonomian dan kemandirian rakyat. Di
beberapa kawasan Asia seperti Jepang maupun Taiwan, perekonomian
rakyat berkembang sehat dan terkait erat dengan sistem perekonomian
secara nasional. Secara kelembagaan, perekonomian rakyat tersebut
diwakili oleh usaha-usaha kecil yang ditumbuhkan dengan kekuatan
yang berbasis pengetahuan dan teknologi (technolgy and knowledge
based economy-TKBE) sehingga memiliki daya saing yang kukuh.
Usaha-usaha kecil seperti itulah yang perlu ditumbuhkembangkan di
setiap daerah diseluruh Indonesia secara serentak. UMKMK tidak harus
berkonotasi ekonomi kumuh, terisolasi dan terbelakang, tetapi dapat
berupa ekonomi yang modern, menguasai teknologi, meskipun skalanya
kecil dan berlatar belakang budaya dan kearifan lokal. World Economic
Forum, 2000 mendefinisikan Knowledge-based economy adalah sebuah
sistim ekonomi dimana penciptaan dan eksploitasi pengetahuan
merupakan bagian utama untuk mencapai kesejahteraan (United
Kingdom Department of Trade and Industry, 1998) dan merupakan
sistem ekonomi yang menciptakan, mendiseminasi dan menggunakan
pengetahuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya
saing.

3. Peranan Lembaga Keuangan Mikro


Penumbuhkembangan usaha-usaha kecil seperti itu harus
dilakukan dengan cara memecahkan berbagai tantangan teknis maupun
struktural. Kualitas dasar SDM serta kapasitas dalam manajemen
dan kewirausahaan menjadi persoalan dalam teknik pengembangan
usaha-usaha kecil. Demikian pula dalam aspek teknologi. Untuk itu,
perlu dilakukan pembinaan baik berupa pelatihan, pendampingan,
maupun pemagangan yang dikaitkan dengan struktur atau bangunan
sektor riil secara keseluruhan. Dengan demikian upaya pengembangan
ekonomi rakyat langsung dikaitkan dengan pemberdayaan SDM serta

201
Manajemen Sektor Publik

kelembagaannya sekaligus. Pengalaman Grameen Bank dan program


pembangunan kita sendiri di masa lalu mengajarkan bahwa upaya
pemberdayaan perlu lebih difokuskan pada pemberdayaan perempuan
agar memberikan hasil yang lebih efektif bagi upaya mengatasi
kemiskinan dan pengangguran melalui penguatan ekonomi rumah
tangga dan ekonomi masyarakat di lapisan yang paling bawah. Upaya
pemberdayaan tersebut perlu dikaitkan dengan pembentukan dan
pengembangan kelompok-kelompok masyarakat sebagai cikal bakal
pengembangan kelompok usaha bersama.
Tantangan yang lebih berat adalah dalam mengatasi persoalan
struktural, termasuk masih terabaikannya secara politis sektor
pertanian, perikanan, industri rumah tangga dan industri kecil, dari
pusat kendali ekonomi dan politik negara. Di sektor keuangan, tidak ada
perbankan yang khusus menggarap kalangan tersebut. LKM berbentuk
bank maupun koperasi telah memiliki landasan hukum yang kuat dalam
berntuk undang-undang, akan tetapi LKM Bukan Bank Bukan Koperasi
(LKM B3K) yang saat ini memiliki jumlah lebih besar masih belum
memiliki perangkat hukum kuat. Sebagai contoh LKM yang berbasis
syariah seperti Baitul Mal wa Tamwil (BMT) yang memiliki potensi
besar melayani usaha-usaha kecil termasuk sektor informal, hingga kini
belum memiliki payung hukum yang dapat melindungi eksistensi dan
kegiatannya.

4. Keberpihakan Pada Usaha Kecil


Persoalan struktural lainnya adalah lemahnya ketentuan yang
mengatur persaingan usaha, terutama menyangkut usaha dengan
skala berbeda. Sejauh ini, Indonesia cenderung untuk menyerahkan
persaingan pada persaingan bebas tanpa lebih dahulu memberikan
kesempatan bagi usaha-usaha kecil untuk mampu membangun pijakan
yang lebih kuat bagi terwujudnya mekanisme pasar yang sehat. Misalnya,
pembatasan luas lahan perkebunan untuk dapat menumbuhkan bisnis
perkebunan berskala menengah banyak dilanggar untuk memberi jalan
pintas bagi pengendali kekuatan modal untuk menguasai lahan secara
berlebihan. Contoh lain di sektor retail, ketidakjelasan ketentuan
mengenai pengaturan antar usaha berskala besar, menengah, dan kecil
telah menimbulkan persaingan tidak sehat yang mematikan banyak
usaha kecil di tingkat rakyat. Antara lain bergugurannya toko-toko
202
Manajemen Sektor Publik

kelontong dan warung-warung tradisional, oleh karena tidak mampu


bersaing dengan toko-toko yang dimiliki oleh jaringan pengusaha besar
waralaba seperti Giant, Carrefour, Indomaret, Alfamart, yang sudah
mulai mendesak masuk ke wilayah di luar perkotaan.
Keberpihakan secara tegas untuk membangkitkan perekonomian
rakyat melalui penguatan sector riil tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Keberpihakan tersebut adalah bagian dari upaya membangun ketahanan
dan kemandirian ekonomi seluruh bangsa. Itulah yang akan menjadi
kunci kebangkitan ekonomi Indonesia secara menyeluruh, baik melalui
peningkatan kegiatan produksi dan jasa maupun juga peningkatan daya
beli, hingga melahirkan struktur usaha yang benar-benar kukuh dan
memberi ruang kehidupan yang sehat dan saling menunjang baik bagi
usaha kecil maupun bagi usaha besar.

5. Kebijakan Fiskal
Semua kebijakan ekonomi harus diarahkan untuk mencapai tujuan
tersebut. Termasuk kebijakan fiskal yang harus dapat digunakan
sebagai instrumen pengendali perekonomian ke arah yang dikehendaki.
Pemerintah harus sudah mulai menggunakan kebijakan fiskal yang
berpihak pada pertumbuhan sektor riil yang mampu berperan dalam
penyerapan tenaga kerja dan penanggulangan kemiskinan. Ada
sementara pakar yang menilai bahwa sejak tahun 2001 anggaran terus
menerus mengalami kontraksi, karena sebagian yang cukup besar dari
dana. Anggaran harus digunakan untuk membayar hutang. Memang
dampaknya seakan baik dalam rangka pengendalian inflasi. Namun
harus dipertimbangkan apa dampaknya bagi sektor riil. Banyak ahli
berpendapat bahwa dalam masa krisis ekonomi, yang bagi kita belum
sepenuhnya berakhir, anggaran justru harus bersifat ekspansif guna
memberi ruang gerak yang memadai buat sektor riil, termasuk upaya
mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Disisi lain Pemerintah masih menyediakan subsidi yang sifatnya
konsumtif seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau dulu disebut
dengan Santuan Langsung Tunai (SLT). Paket subsidi semacam itu
sudah selayaknya ditinggalkan karena hanya akan mengakibatkan
ketergantungan dan melemahnya semangat dan daya juang masyarakat.
Namun demikian, sejak tahun 2007, Pemerintah memulai program

203
Manajemen Sektor Publik

yang lebih bermartabat dengan meluncurkan dengan Program Nasional


Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Dari tahun 2007 s.d
tahun 2009 ini, Pemerintah menyediakan anggaran PNPM Mandiri
untuk waktu tiga tahun tersebut sebesar Rp14,4 triliun. Presiden
SBY pada tahun anggaran 2007 juga menyatakan, Pemerintah akan
menyediakan Rp. 60 Triliun untuk program mengatasi kemiskinan
dan pengangguran. Yang harus dicermati adalah seberapa efektif dana
itu termanfaatkan dan bagaimana mekanismenya agar benar-benar
berjalan dan menghasilkan sesuai yang diharapkan, dan jangan sampai
sebagian besar digunakan untuk biaya “overhead”.

B. Paradigma Baru Pembangunan


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan
ekonomi tidak lagi memadai dengan hanya bertumpu pada pendekatan
ekonomi makro. Keberhasilan secara makro saja tidak akan mampu
mengatasi persoalan ekonomi yang mendasar seperti kemiskinan
dan pengangguran. Oleh karena itu, pemerintah perlu bersikap tegas
untuk menggunakan pendekatan ekonomi alternatif yang bersifat
pemberdayaan dengan menumbuhkan kemandirian masyarakat.
Kesadaran untuk menerapkan pendekatan ekonomi alternatif
yang bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan
meningkatkan pertumbuhan hendaknya tidak berhenti pada tataran
gagasan, melainkan harus dapat diimplementasikan secara konkret.
Teori-teori ekonomi makro, yang umumnya bersandar pada peran
pasar dalam alokasi sumber daya, serta dengan pra anggapan bahwa
kebijaksanaan ekonomi makro yang tepat akan menguntungkan semua
lapisan masyarakat, dalam kenyataannya tidak dapat menghasilkan
jawaban yang memuaskan bagi masalah kesenjangan. Kekuatan
sosial yang tidak berimbang, menyebabkan kegagalan pasar untuk
mewujudkan harapan itu (Donald Brown, 1995). Oleh karena itu,
diperlukan intervensi yang tepat, agar kebijaksanaan pada tingkat
makro mendukung upaya mengatasi kesenjangan yang harus dilakukan
dengan kegiatan yang bersifat mikro dan langsung ditujukan pada
lapisan masyarakat terbawah. Maka berkembang konsep alternatif yang
bertumpu pada keberpihakkan (affirmative policy) dan pemberdayaan
masyarakat (enabling dan empowering) dapat dipandang sebagai jembatan
bagi konsep-konsep pembangunan makro dan mikro.
204
Manajemen Sektor Publik

Dalam kerangka pemikiran itu berbagai input seperti dana,


prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui
berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan
untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses
ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity
building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang
dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang
dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi itu harus digerakkan
oleh masyarakat sendiri. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory,
empowering, and sustainable” (Chamber, 1995). Konsep ini berkembang
dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang disebut
alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy,
appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”
(Friedmann, 1992).
Konsep yang ingin kita kembangkan di Indonesia tentunya
disesuaikan dengan kondisi kita sendiri, tidak mempertentangkan
pertumbuhan dengan pemerataan, karena keduanya tidak harus
diasumsikan sebagai “incompatible or antithetical” (Donald Brown, 1995).
Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game”
dan “trade off”. Seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995), “the
pattern of growth is just as important as the rate of growth”. Yang dicari
adalah seperti dikatakan Ranis, “the right kind of growth”, yakni bukan
yang vertikal menghasilkan “trickle-down”, seperti yang terbukti tidak
berhasil, tetapi yang bersifat horizontal (horizontal flows), yakni “broadly
based, employment intensive, and not compartmentalized” (Ranis, 1995).
Pendekatan pembangunan alternatif ini sekarang telah mulai
memasuki arus utama (mainstream) pemikiran ekonomi antara lain
dengan telah disuarakan pula oleh Joseph Stiglitz, pemenang hadiah
Nobel bidang ekonomi tahun 2001, dan diperkuat dengan pemberian
hadiah Nobel yang sama untuk tahun 2006 kepada Muhammad Yunus.
Stiglitz mengatakan bahwa “Development is not about helping a few people
get rich or creating a handful of pointless protected industries that only benefit
the country’s elite”, tetapi “Development is about transforming societies,
improving the lives of the poor, enabling everyone to have a chance at success
and access to health care and education”. Paradigma baru ini bertitik

205
Manajemen Sektor Publik

tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan justru akan tercipta


landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin
pertumbuhan yang berkelanjutan, karena didukung oleh basis yang
kuat dan luas. Konsep serupa ini telah menjadi semacam consensus
dikalangan Dewan Pakar ICMI sebagai pendekatan pembangunan
yang bermartabat, berkeadilan, menuju kemandirian dan menjamin
berkelanjutan.

C. Pemberdayaan dalam Paradigma Pembangunan


Paradigma pemberdayaan adalah paradigma pembangunan manusia,
yaitu pembangunan yang berpusat pada rakyat yang merupakan
proses pembangunan yang mendorong prakarsa masyarakat berakar
dari bawah (Goulet, 2011:29). Berikut keterkaitan pemberdyaaan
masyarakat pada paradigma pembangunan sebagai berikut;

1. Konsep-Konsep Pembangunan
Sebelum kita membahas hal-hal pokok mengenai konsep
pemberdayaan, ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu konsep
pembangunan yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia dalam arti yang luas. Pembangunan menurut
literatur-literatur ekonomi pembangunan seringkali didefinisikan
sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan
pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas
sumber daya. Dari pandangan itu lahir konsep-konsep Mengenai
pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi. Teori mengenai
pertumbuhan ekonomi dapat ditelusuri setidak-tidaknya sejak abad ke-
18. Menurut Adam Smith (1776) proses pertumbuhan dimulai apabila
perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (division of labor).
Pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya
akan meningkatkan pendapatan. Adam Smith juga menggarisbawahi
pentingnya skala ekonomi.
Dengan meluasnya pasar, akan terbuka inovasi-inovasi baru
yang pada gilirannya akan mendorong perluasan pembagian kerja
dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Setelah Adam Smith muncul
pemikiran-pemikiran yang berusaha mengkaji batas-batas pertumbuhan
(limits to growth) antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917). Setelah

206
Manajemen Sektor Publik

Adam Smith, Malthus, dan Ricardo yang disebut sebagai aliran klasik,
berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern dengan berbagai
variasinya yang pada intinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang
menekankan pentingnya akumulasi modal (physical capital formation)
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital). Salah
satu pandangan yang dampaknya besar dan berlanjut hingga sekarang
adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948)
dan Domar (1946). Pada intinya model ini berpihak pada pemikiran
Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam
mendorong pertumbuhan jangka panjang. Dalam model Harrod-Domar,
pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu
tingkat tabungan (investasi) dan produktivitas modal (capital output
ratio). Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, masyarakat dalam
suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang merupakan
sumber investasi. Makin besar tabungan, yang berarti makin besar
investasi, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, makin rendah produktivitas kapital atau semakin
tinggi capital output ratio, makin rendah pertumbuhan ekonomi. Berbeda
dengan Harrod-Domar yang memberikan tekanan kepada pentingnya
peranan modal, Arthur Lewis (1954) dengan model surplus of labornya
memberikan tekanan kepada peranan jumlah penduduk. Dalam model
ini diasumsikan terdapat penawaran tenaga kerja yang sangat elastis.
Ini berarti para pengusaha dapat meningkatkan produksinya dengan
mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak tanpa harus menaikkan
tingkat upahnya. Meningkatnya pendapatan yang dapat diperoleh oleh
kaum pemilik modal akan mendorong investasi-investasi baru karena
kelompok ini mempunyai hasrat menabung dan menanam modal
(marginal propensity to save and invest) yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggi pada gilirannya
akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu berkembang sebuah model pertumbuhan yang disebut
neoklasik. Teori pertumbuhan neoklasik mulai memasukkan unsur
teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi
suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap
sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua
negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, di mana semua

207
Manajemen Sektor Publik

faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat


dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di
dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang. Teori
pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di
luar modal dan tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
Salah satu teori berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia
mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas.
Menurut Becker (1964) peningkatan produktivitas tenaga kerja
ini dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan serta peningkatan
derajat kesehatan. Teori human capital ini selanjutnya diperkuat dengan
berbagai studi empiris, antara lain untuk Amerika Serikat oleh Kendrick
(1976). Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara negara-
negara yang membangun melahirkan pandangan mengenai teknologi
bukan sebagai faktor eksogen, tapi sebagai faktor endogen yang dapat
dipengaruhi oleh berbagai variabel kebijaksanaan (Romer, 1990).
Sumber pertumbuhan dalam teori endogen adalah meningkatnya
stok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yang mendorong
tumbuhnya daya cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan
inovatif dan produktif. Ini semua menuntut kualitas sumber daya
manusia yang meningkat. Transformasi pengetahuan dan ide baru
tersebut dapat terjadi melalui kegiatan perdagangan internasional,
penanaman modal, lisensi, konsultasi, komunikasi, pendidikan, dan
aktivitas R & D.

2. Masalah Kesenjangan Pemberdayaan


Kenyataan menunjukkan bahwa meskipun telah banyak hasil
dicapai dalam PJP I, masalah kesenjangan secara mendasar belum dapat
kita pecahkan. Satu dari setiap tujuh orang Indonesia miskin sekali.
Dari Sensus Penduduk tahun 1990 diketahui 3,2 persen angkatan kerja
menganggur, sekitar 36,6 persen dari jumlah penduduk yang bekerja,
bekerja kurang dari 35 jam per minggu atau setengah menganggur, dan
lebih dari 77 persen pekerja hanya berpendidikan sampai Sekolah Dasar.
Lebih dari 97 persen unit usaha pada tahun 1992 beromzet kurang dari
Rp 50 juta per tahun. Satu di antara dua (51,6 persen) rumah tangga
petani adalah petani gurem, yang menguasai lahan pertanian kurang
dari setengah hektar. Jumlah petani gurem ini bukannya berkurang,
tetapi bahkan bertambah. Rakyat di daerah perdesaan dan di kawasan
208
Manajemen Sektor Publik

kawasan tertinggal seperti di banyak bagian kawasan timur Indonesia


dan juga di beberapa bagian kawasan barat, hidup di dunia lain, yang
sangat terbelakang dan sangat jauh dari kehidupan modern.
Dari sisi distribusi pendapatan masyarakat yang diukur dengan
pengeluaran konsumsi rumah tangga, nampak bahwa tingkat
pendapatan masyarakat berpendapatan tinggi meningkat lebih cepat
dibanding kenaikan pendapatan kelompok penduduk berpendapatan
rendah. Data susenas menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan
pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk 40 persen penduduk
terendah pendapatannya perbulan dalam periode 1984-1993 adalah 3,8
persen pertahun, sedangkan rata-rata pengeluaran konsumsi rumah
tangga secara nasional selama kurun waktu yang sama meningkat 4,8
persen pertahun. Lebih lanjut data sistem neraca sosial ekonomi (SNSE)
tahun 1980 dan 1990 menunjukkan tidak terjadi pergeseran yang berarti
dalam persentase jumlah penduduk golongan atas dan golongan bawah.
Persentase jumlah penduduk golongan atas tetap sekitar 42 persen dan
jumlah penduduk golongan bawah sekitar 58 persen.
Apabila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata penduduk
miskin, dengan garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran rata-rata
per kapita per bulan sekitar Rp 13.300 di perdesaan dan Rp 20.600 di
perkotaan pada tahun 1990, maka terdapat jumlah penduduk miskin
sebanyak 27,2 juta (15,1 persen). Pada tahun 1993 dengan garis
kemiskinan per kapita per bulan sekitar Rp 18.250 di perdesaan dan
Rp 27.900 di perkotaan, jumlah penduduk miskin berkurang menjadi
25,9 juta jiwa (13,7 persen). Meskipun jumlah penduduk miskin terus
menurun, namun masih cukup besar, karena satu dari setiap tujuh
orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di samping
itu, laju penurunannya semakin lambat, selama tiga tahun hanya terjadi
penurunan sebanyak 1,3 juta, dan dari segi persentase turunnya hanya
1,4 persen.
Dengan membandingkan angka-angka itu dapat ditarik kesimpulan
bahwa, pertama, jumlah penduduk miskin berkurang; kedua, persentase
penduduk golongan bawah dan golongan atas tidak banyak berubah;
dan ketiga, tingkat pendapatan golongan penduduk miskin meningkat
tetapi golongan penduduk berpendapatan tinggi naik lebih cepat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun pembangunan

209
Manajemen Sektor Publik

telah banyak menunjukkan keberhasilan, namun terdapat kesenjangan


pendapatan antargolongan penduduk yang dirasakan makin melebar.
Masalah-masalah kesenjangan ini harus kita hadapi dalam PJP II.
Padahal dalam PJP II kita sudah memasuki jaman dunia baru, yang
berbeda dengan yang kita kenal selama ini. Jaman baru ini akan ditandai
oleh keterbukaan dan persaingan, yang peluangnya belum tentu dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh golongan yang ekonominya lemah.
Dalam keadaan demikian, besar sekali kemungkinan makin
melebarnya kesenjangan. Iwan Jaya Azis, misalnya, dalam pidato
pengukuhannya sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia menunjukkan pula kerisauannya bahwa perdagangan
bebas tidak harus akan bermanfaat terhadap perbaikan distribusi
pendapatan (Azis, 1996). Padahal kita memikul tanggung jawab untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai salah satu
tujuan kita membuat negara yang merdeka. Kalau UUD 1945 dibaca
dengan baik, dipahami sejarah penyusunannya, serta dipelajari latar
belakang pemikiran para penyusunnya, jelas bahwa republik ini disusun
berdasarkan semangat kerakyatan. Dalam bidang ekonomi tegas
diamanatkan Demokrasi Ekonomi. Demokrasi Ekonomi secara harfiah
berarti kedaulatan rakyat di bidang kehidupan ekonomi. Dengan lebih
tegas lagi, demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi dilaksanakan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Atau dengan rumusan UUD
45: “Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan
atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran
orang seorang”. Kemajuan yang ingin diupayakan melalui pembangunan
nasional, khususnya pembangunan ekonomi, haruslah meningkatkan
kemakmuran atas dasar keadilan sosial, atau menurut kata-kata UUD
45: “kemakmuran bagi semua orang!” Arah perkembangan ekonomi
seperti yang dikehendaki oleh konstitusi itu tidak dapat terjadi dengan
sendirinya. Artinya, kemajuan yang diukur melalui membesarnya
produksi nasional tidak otomatis menjamin bahwa pertumbuhan tersebut
mencerminkan peningkatan kesejahteraan secara merata. Masalah
utamanya, seperti telah ditunjukkan diatas, adalah ketidakseimbangan
dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang
terbuka dalam proses pembangunan. Dengan proses pembangunan yang

210
Manajemen Sektor Publik

terus berlanjut, justru ketidakseimbangan itu dapat makin membesar


yang mengakibatkan makin melebarnya jurang kesenjangan.
Dalam upaya mengatasi tantangan itu diletakkan strategi
pemberdayaan masyarakat. Dasar pandangannya adalah bahwa upaya
yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya,
yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal
dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan
mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain,
memberdayakannya. Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan
sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini
akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya
manusia maupun sumber daya alam disekitar keberadaan rakyat dapat
ditingkatkan produktivitasnya.
Dengan demikian, rakyat dan lingkungannya mampu secara
partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis.
Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan
secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya,
tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya.
Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja
menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga
nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Jadi, partisipasi rakyat
meningkatkan emansipasi rakyat.

3. Pertumbuhan dan Pemerataan Pemberdayaan


Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan
ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan
paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered,
participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep
ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses
pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan
ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap
konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang
dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara
lain oleh Friedman (1992) disebut alternative development yang
menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender
equality and intergenerational equity”.
211
Manajemen Sektor Publik

Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan


pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Donald Donald Brown
(1995), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompatible or
antithetical”. Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-
sum game” dan “trade off”. Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan
pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan
yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu,
seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995), “the pattern of growth is just
as important as the rate of growth”. Yang dicari adalah seperti dikatakan
Ranis, “the right kind of growth”, yakni bukan yang vertikal menghasilkan
“trickle-down”, seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat
horizontal (horizontal flows), yakni “broadly based, employment intensive,
and not compartmentalized” (Ranis, 1995).
Hasil pengkajian berbagai proyek yang dilakukan oleh International
Fund for Agriculture Development (IFAD) menunjukkan bahwa
dukungan bagi produksi yang dihasilkan masyarakat di lapisan bawah
telah memberikan sumbangan pada pertumbuhan yang lebih besar
dibandingkan dengan investasi yang sama pada sektor-sektor yang
skalanya lebih besar. Pertumbuhan itu dihasilkan bukan hanya dengan
biaya lebih kecil, tetapi dengan devisa yang lebih kecil pula (Donald
Brown, 1995). Hal terakhir ini besar artinya bagi negara-negara
berkembang yang mengalami kelangkaan devisa dan lemah posisi
neraca pembayarannya. Pengalaman Taiwan menunjukkan bahwa
pertumbuhan dan pemerataan dapat berjalan beriringan. Taiwan adalah
salah satu negara dengan tingkat kesenjangan yang paling rendah
ditinjau dengan berbagai ukuran (tahun 1987, Gini rationya 0,30,
termasuk yang terendah di dunia), tetapi dengan tingkat pertumbuhan
yang tinggi yang dapat dipeliharanya secara berkelanjutan (Brautigam,
1995).
Konsepnya adalah pembangunan ekonomi yang bertumpu pada
pertumbuhan yang dihasilkan leh upaya pemerataan, dengan penekanan
pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam kerangka
pikiran itu, upaya memberdayakan masyarakat, dapat dilihat dari tiga
sisi yaitu;
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya

212
Manajemen Sektor Publik

adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat,


memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak
ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau
demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya
untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan
dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya
serta berupaya untuk mengembangkannya.
2. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh
masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan
langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan
iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah
nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin
berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat
pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat
kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja,
dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut
pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik, seperti
irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas
pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat
pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-
lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan,
di mana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat
kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat
yang kurang berdaya, karena program-program umum
yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh
lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi
penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-
pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti
kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban
adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini..
3. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi.
Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah
menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan
dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan
213
Manajemen Sektor Publik

dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya


dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak
berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal
itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang
lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi
yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan
membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai
program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap
apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang
hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan
demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat,
memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan
diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung.

214
Manajemen Perubahan Sektor
Publik

A. Konsep Manajemen Perubahan


Manajemen perubahan atau Management of Change adalah sebuah
upaya dan pendekatan yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis
yang dimanfaatkan guna membantu individu, tim ataupun organisasi
dengan menerapkan sarana, sumber daya dan pengetahuan dalam
merealisasikan perubahan dari kondisi sekarang menuju suatu kondisi
yang lebih baik secara efisien dan efektif untuk memperkecil dampak
dari proses perubahan itu. Manajemen perubahan adalah bentuk usaha
yang dilakukan guna mengelola seluruh akibat yang dihasilkan karena
adanya perubahan dalam suatu perusahaan. Manajemen perubahan
adalah alat, proses, dan juga teknik untuk mengelola manusia pada sisi
proses perubahan dalam menggapai hasil yang dibutuhkan dan demi
mewujudkan perubahan secara efektif pada suatu tim, individu, dan
sistem yang lebih luas. Pada hakikatnya, manajemen perubahan adalah
sebuah proses yang mengadopsi pendekatan manajemen, yakni planning,
organizing, actuating, dan controlling guna melakukan suatu perubahan
pada suatu perusahaan.
Manajemen perubahan dilakukan untuk menghasilkan solusi
bisnis yang dibutuhkan agar bisa lebih sukses dengan cara yang juga
lebih terorganisir melalui metode pengelolaan dampak perubahan
pada mereka yang berada di dalamnya. Beberapa ahli mendefinisikan
Coffman dan Lutes (2007) menjelaskan bahwa manajemen perubahan
adalah pendekatan yang terstruktur dan digunakan untuk membantu
tim, individu ataupun organisasi untuk perubahan dari kondisi sekarang

215
Manajemen Sektor Publik

ke kondisi yang lebih baik. Winardi (2011) dalam bukunya menjelaskan


bahwa manajemen perubahan adalah suatu usaha yang dilakukan
oleh manajer untuk mengelola perubahan secara lebih efektif, yang
di dalamnya memerlukan pengetahuan terkait motivasi, kelompok,
kepemimpinan, konflik, dan komunikasi.
Wibowo (2012) berpendapat bahwa manajemen perubahan adalah
suatu proses yang dibuat secara sistematis dalam menerapkan sarana,
sumber daya dan pengetahuan yang dibutuhkan dalam memengaruhi
perubahan pada mereka yang akan terkena efek dari proses tersebut.
Sedangkan Nauheimer (2007) mengatakan bahwa manajemen
perubahan adalah suatu proses, teknik, dan alat yang digunakan untuk
mengelola proses perubahan pada sisi individu untuk mencapai suatu
hasil yang dibutuhkan dan untuk menerapkan perubahan secara lebih
efektif dengan agen perubahan, sistem, dan tim yang lebih luas.

B. Pendekatan Manajemen Perubahan


Davidson (2005) dalam bukunya mengatakan bahwa terjadinya
perbedaan budaya pada suatu organisasi akan memengaruhi penyusunan
rencana perubahan yang akan dilakukan secara tepat. Perusahaan bisa
memilih salah satu dari empat pendekatan manajemen perubahan,
yaitu pendekatan rasional-empiris, pendekatan normatif-reedukatif,
pendekatan kekuasaan-koersif dan pendekatan lingkungan-adaptif
Berikut ini adalah penjelasan dari keempat pendekatan tersebut.
1. Pendekatan Rasional-Empiris; Pendekatan rasional-empiris
digunakan dengan dasar keyakinan bahwa perilaku orang
mampu diprediksi dan mereka akan memberikan perhatian
khusus atas kepentingannya sendiri. Dengan memahami
perilaku tersebut, maka akan memberikan manajer perubahan
pada suatu strategi yang berguna untuk melangkah. Beberapa
komponen atas pendekatan ini meyakini bahwa seluruh target
perubahan akan terselimuti oleh beragam mitos, ketidak tahuan,
kebenaran semu, walaupun tetap memelihara rasionalitasnya.
Seluruh target perubahan tersebut akan mengikuti diri mereka
sendiri jika itu dikatakan pada mereka yang berarti, dan
seringkali mereka tidak memahami apa yang terbaik untuk
mereka. Mereka akan berubah dengan sendirinya saat mereka

216
Manajemen Sektor Publik

menerima komunikasi yang lebih informatif, efektif dan saat


ada insentif pada perubahan yang mereka nilai lebih memadai.
2. Pendekatan Normatif-Reedukatif; Pendekatan ini akan lebih
fokus pada bagaimana seorang manajer perubahan mampu
memberikan pengaruh atau bertingkah laku dengan berbagai
cara tertentu, agar selanjutnya para anggota manajer mampu
melakukan perubahan. Pada dasarnya, manusia akan berubah
saat ada suatu perusahaan tersendiri bahwa perubahan adalah
demi kepentingan yang terbaik. Perubahan tersebut akan paling
siap terjadi saat satu orang dalam kelompok tersebut masuk
dalam perubahan dan menganut sistem nilai dan keyakinan
kelompoknya.
3. Pendekatan Kekuasaan-Koersif; Pendekatan ini akan memaksa
pihak manajemen perubahan untuk melakukan caranya secara
semena-mena oleh sebagian pihak secara naif oleh sebagian
yang lain, dan sering menjadi bentuk standar dalam manajemen
perubahan. Premis utama dari pendekatan ini adalah mereka
yang pada dasarnya patuh akan siap untuk melakukan apapun
yang diperintahkan dengan tanpa atau sedikit usaha dalam
meyakinkan. Dalam hal ini, membuat orang-orang untuk
berubah dilakukan dengan dasar penegakan kewenangan,
ancaman, atau adanya sanksi atas performa yang buruk.
Pendekatan ini bisa juga disebut sebagai pendekatan kekuatan
penindas. Pendekatan ini memiliki risiko yang besar dan
potensi balasannya pun sangat besar.
4. Pendekatan Lingkungan-Adaptif; Premis utama yang
digunakan dalam pendekatan manajemen ini adalah bahwa
walaupun mereka berubah berdasarkan insting, namun mereka
berusaha menghindari segala bentuk kerugian, jadi sebenarnya
mereka mempunyai kemampuan dalam beradaptasi dengan
berbagai kondisi dan situasi baru.
Harischandra (2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis
perubahan dalam suatu organisasi berdasarkan sifatnya, yakni:
1. Smooth incremental change, perubahan akan terjadi secara lambat,
sistematis, dan bisa diprediksi serta mencakup atau seluruh
rentetan perubahan dalam kecepatan yang cenderung konstan.

217
Manajemen Sektor Publik

2. Bumpy incremental change, adalah perubahan yang mempunyai


periode relatif tenang dan sesekali disela dengan percepatan
gerakan perubahan dengan dipicu oleh perubahan lingkungan
organisasi dan bisa juga berasal dari internal, seperti adanya
tuntutan dalam meningkatkan efisiensi dan perbaikan metode
kerja.
3. Discontinuous change, adalah perubahan yang ditandai dengan
adanya pergeseran cepat terhadap struktur, budaya, strategi
dan ketiganya secara bersamaan. Perubahan ini lebih bersifat
revolusioner dan juga cepat.
Haines (2005) mengatakan terdapat beberapa fase yang dapat
ditempuh dalam melakukan manajemen perubahan, yaitu:
1. Fase A: Positioning Value (menentukan posisi strategis). Fase ini
adalah tahapan dalam suatu sistem berpikir dimana apa yang
menjadi tujuan atau posisi strategis perusahaan bisa dijelaskan
secara gamblang. Posisi ini yang akan dicapai dalam suatu
perubahan perusahaan atau organisasi.
2. Fase B: Measures Goals (mengukur tujuan). Fase ini akan
menentukan berbagai ukuran dan mekanisme yang diperlukan
untuk menilai apakah tujuannya bisa atau telah tercapai.
3. Fase C: Assessment Strategy (Strategi Asesmen). Dalam fase
ini akan ditentukan kesenjangan antar situasi terkini dengan
situasi yang memang diinginkan, sehingga dapat ditentukan
kebijakan untuk mencapai seluruh situasi dan kondisi secara
lebih baik.
4. Fase D: Actions Level-level (aktivitas perubahan). Fase ini adalah
fase penerapan dan penjelasan strategi yang selanjutnya
akan diintegrasikan seluruh kegiatan, proses, hubungan dan
perubahan yang diperlukan untuk bisa mengurangi kesenjangan
atau untuk menerapkan tujuan yang sudah ditetapkan pada
fase A.
5. Fase E: Environment Scan (identifikasi lingkungan eksternal).
Fase ini akan melakukan seluruh identifikasi lingkungan
eksternal yang mampu memengaruhi perubahan. Hasil dari
identifikasi akan memberikan arah dan perubahan yang kelak
akan dilakukan.
218
Manajemen Sektor Publik

Manajemen perubahan atau Management of Change adalah sebuah


upaya dan pendekatan yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis
yang dimanfaatkan guna membantu individu, tim ataupun organisasi
dengan menerapkan sarana, sumber daya dan pengetahuan dalam
merealisasikan perubahan dari kondisi sekarang menuju suatu kondisi
yang lebih baik secara efisien dan efektif untuk memperkecil dampak dari
proses perubahan itu. Pada hakikatnya, manajemen perubahan adalah
sebuah proses yang mengadopsi pendekatan manajemen, yakni planning,
organizing, actuating, dan controlling guna melakukan suatu perubahan
pada suatu perusahaan. Davidson dalam bukunya mengatakan bahwa
terjadinya perbedaan budaya pada suatu organisasi akan memengaruhi
penyusunan rencana perubahan yang akan dilakukan secara tepat.
Perusahaan bisa memilih salah satu dari empat pendekatan manajemen
perubahan, yaitu pendekatan rasional-empiris, pendekatan normatif-
reedukatif, pendekatan kekuasaan-koersif dan pendekatan lingkungan-
adaptif.
Jenis-jenis manajemen perubahan yang bisa dipilih oleh perusahan
adalah smooth incremental change, bumpy incremental change, dan
discontinuous change. Sedangkan fase-fase yang bisa dipilih adalah
positioning value, measures goal, assesment strategy , actions level-level, dan
environment scan. Namun, manajemen ini tidak akan berjalan sukses
jika tanpa dilakukan manajemen keuangan yang lebih baik dan akurat.
Untuk itu, Anda bisa menggunakan software akuntansi dari Accurate
Online untuk membantu Anda dalam melakukan manajemen keuangan
secara real-time. Selain itu, Anda bisa mengatur biaya produk,
mengontrol stok barang, dan memantau laporan keuangan bisnis Anda
secara mudah dan tepat.

C. Manajemen Perubahan dalam Sektor Publik


Perubahan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia.
Dimulai dari dunia usaha yang lebih dulu menyadari pentingnya
perubahan bagi peningkatan kualitas produksi yang dihasilkan.
Perubahan memang selalu terjadi dan pasti akan terus terjadi. Pimpinan
organisasi baik organisasi pemerintahan maupun organisasi non-
pemerintahan disamping harus memiliki kepekaan terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi diluar organisasi dan mampu memperhitungkan

219
Manajemen Sektor Publik

serta mengakomodasikan dampak dari perubahan-perubahan yang


terjadi. Manajemen perubahan adalah upaya yang dilakukan untuk
mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan
dalam organisasi. Manajemen perubahan adalah strategi untuk
mempersiapkan, melengkapi dan mendukung individu dalam organisasi
agar berhasil mengadopsi perubahan untuk mendorong keberhasilan
organisasi.
Perubahan dapat terjadi karena sebab-sebab yang berasal dari
dalam maupun dari organisasi tersebut. Tidak banyak orang yang
menyukai akan suatu perubahan, namun walaupun begitu perubahan
tidak dapat dihindari, tetapi harus dihadapi. Karena pada hakikatnya
memang seperti itu, maka diperlukan sutu manajemen perubahan agar
proses dan dampak dari perubahan tersebut dapat mengarah pada titik
positif. Manajemen perubahan dalam hal ini memberikan pendekatan
untuk mendorong adopsi dan penggunaan sistem baru dalam sebuah
organisasi, sehingga memberikan hasil yang diharapkan. Dalam dunia
yang terus berubah seperti halnya pasar yang mendunia dan teknologi
baru, maka sangatlah esensial dunia bisnis juga harus sanggup berubah
agar terus sukses.
Perusahaan yang sukses adalah perusahaan yang mampu
beradaptasi baik secara dinamis maupun inovatif terhadap setiap
tantangan-tantangan baru. Perubahan yang berhasil diciptakan
tidak lahir begitu saja. pihak manajemen membutuhkan pendekatan-
pendekatan yang terstruktur untuk perencanaan perubahan perilaku
atau SDM karyawan. Manajemen perubahan menyediakan pendekatan
terstruktur untuk mendukung individu-individu yang berada dalam
organisasi untuk beralih dari status mereka saat ini ke status mereka
dimasa depan. Terdapat 3 (tiga) tingkat manajemen perubahan:
1. Manajemen perubahan individu; Menolak suatu perubahan
sejatinya merupakan sebuah reaksi psikologis dan fisiologis
alami dari manusia. Kita sebenarnya adalah makhluk yang
cukup tangguh. Ketika didukung melalui masa-masa perubahan,
maka kita dapat menjadi sangat adaptif dan sukses. Manajemen
perubahan individu membutuhkan pemahaman bagaimana
orang mengalami perubahan dan apa yang mereka butuhkan
untuk berhasil berubah. Diperlukan juga pengetahuan mengenai

220
Manajemen Sektor Publik

apa yang akan membantu individu tersebut untuk sukses dalam


melewai masa transisi. Pesan-pesan apa yang perlu didengar
orang, kapan dan dari siapa, kapan waktu yang optimal
untuk mengajarkan keterampilan baru kepada seseorang,
bagaimana melatih individu untuk menunjukkan perilaku
baru dan apa yang membuat perubahan tersebut dapat melekat
dalam pekerjaan seseorang. Manajemen perubahan individu
emmerlukan kerangka kerja yang dapat ditindaklanjuti untuk
mengukur kemajuan perubahan individu.
2. Manajemen perubahan organisasi / inisiatif; Manajemen
perubahan organisasi melibatkan identifikasi kelompok dan
orang-orang yang perlu berubah sebagai hasil dari proyek dan
dengan cara apa mereka perlu berubah. Manajemen perubahan
organisasi kemudian melibatkan pembuatan rencana yang
disesuaikan untuk memastikan karyawan yang terkena
dampak menerima kesaran, kepemimpinan, pelatihan dan
pelatihan yang mereka butuhkan untuk berubah dengan sukses.
Mempersiapkan transisi yang berhasil harus menjadifokus
utama pada kegiatan dalam manajemen perubahan organisasi.
Manajemen perubahan organisasi merupakan pelengkap bagi
manajemen proyek kita. Manajemen proyek memastikan
solusi proyek kita dirancang, dikembangkan dan dikirimkan.
Sementara manajemen prubahan memastikan solusi proyek
kita dilakukan, diadopsi dan digunakan secara efektif.
3. Manajemen perubahan perusahaan; Manajemen perubahan
perusahaan merupakan kompetensi inti organisasi yang
memberikan diferensiasi kompetitif dan kemampuan untuk
secara efektif beradaptasi dengan dunia yang terus berubah.
Kemampuan manajemen perubahan yang efektif tertenam
dalam peran, struktur, proses, proyek dan kompetensi
kepemimpinan organisasi kita. Proses manajemen perubahan
secara konsisten dan efektif diterapkan pada inisiatif, para
pemimpin memiliki keterampilan untuk memandu tim mereka
melalui perubahan-perubahan. Sehingga karyawan mengetahui
apa yang harus diminta menjadi sukses.

221
Manajemen Sektor Publik

Suatu perubahan terjadi melalui tahapa-tahapnya. Pertama-tama


adanya dorongan dari dalam (dorongan internal), kemudian adanya
dorongan dari luar (dorongan eksternal). Untuk manajemen perubahan
perlu diketahui adanya tahapan perubahan. Berikut tahapan-tahapan
manajemen perubahan;
1. Tahap Identifikasi Perubahan, pada tahap ini diharapkan
seseorang dapat mengenal perubahan apa yang akan dilakukan
atau perubahan yang akan terjadi. Dalam tahap ini seseorang
atau kelompok dapat mengenal kebutuhan perubahan dan
mengidentifikasi tipe-tipe perubahan.
2. Tahap Perencanaan Perubahan, pada tahap ini harus dianalisis
mengenai diagnostik situasional teknik, pemilihan strategi
umum dan pemulihan
3. Dalam proses ini perlu dipertimbangkan adanya faktor
pendukung, sehingga perubahan dapat terjadi dengan baik.
4. Tahap Implementasi Perubahan, pada tahap ini terjadi proses
pencairan, perubahan dan pembekuan yang diharapkan.
Apabila suatu perubahan sedang terjadi kemungkinan timbul
masalah. Untuk itu perlu dilakukannya mentoring perubahan.
5. Tahap Evaluasi dan Umpan Balik, untuk melakukan evaluasi
maka diperlukan data. Oleh karena itu, dalam tahap ini
dilakukan pengumpulan data dan evaluasi data tersebut. Hasil
evaluasi ini dapat dijadikan umpan balik pada tahap 1 yaitu
tahap identifikasi perbuhaan. Sehingga dapat memberi dampak
pada perubahan yang diinginkan berikutnya.
Manajemen perubahan sangat penting, karena manajemen
perubahan dalam hal ini memberikan pendekatan untuk mendorong
adopsi dan penggunaan sistem baru dalam sebuah organisasi. Sehingga
memberikan hasil yang diharapkan. Berikut beberapa hal yang menjadi
alasan kita memerlukan manajemen perubahan;
1. Berkembang di dunia yang selalu berubah; Organisasi
menghadapi perubahan yang lebih cepat, lebih kompleks, lebih
saling tergantung dan lebih fungsional daripada sebelumnya.
Mampu memberikan hasil pada beberapa perubahan
memungkinkan organisasi untuk mencapai visi strategis

222
Manajemen Sektor Publik

mereka dan berkembang dalam bisnis yang berubah saat ini.


Menerapkan manajemen perubahan memungkinkan organisasi
untuk memberikan hasil pada setiap perubahan secara lebih
efektif dan membangun kompetensi yang menumbuhkan
kapasitas organisasi untuk menangani lebih banyak perubahan
dalam satu waktu.
2. Tutup kesenjangan antara persyaratan dan hasil; Terlalu
sering, perubahan organisasi memenuhi persyaratan tapi tanpa
memberikan hasil yang diharapkan. Mereka memberikan
hasil yang diperlukan tanpa memenuhi hasil yang diharapkan.
Fokus dari upaya perubahan memungkinkan penutupan celah
ini dengan secara efektif mendukung dan melengkapi orang-
orang yang terkena dampak dari perubahan agar berhasil
mewujudkannya dalam cara mereka bekerja.
3. Mengurangi risiko; Mengabaikan sisi perubahan individu sama
dengan menciptakan risiko. Ketika adopsi dan penggunaan
solusi diabaikan dan fokusnya khusus pada pemenuhan
persyaratan teknis, maka hasilnya adalah risiko dan biaya yang
berlebihan. Gagal merencanakan dan mengatasi sisi perubahan
seseorang adalah biaya yang mahal. Manajemen perubahan
adalah disiplin untuk membantu mengurangi risiko tersebut.
4. Pelakukan dengan benar; Beberapa kali kita mendengar bahwa
karyawan adalah aset yang paling penting. Ketika tiba saatnya
perubahan diterapkan, karyawan dikirimi email pada hari senin
untuk melakukan pelatihan pada hari selasa untuk digunakan
keseluruhannya pada hari rabu. Hal ini bukanlah cara yang
tepat untuk memperlakukan orang, terumata orang-orang
yang merupakan aset kita paling berharga. Dengan melibatkan
dan mendukung orang secara proaktif di saat perubahan, kita
perlu menunjukkan dalam tindakan bahwa kita menghargai
mereka.

223
Manajemen Sektor Publik

224
Daftar Pustaka

Amabilea TM, Schatzela EA, Monetaa GB & Kramer SJ (2004) Leader


behaviors and the work environment for creativity: Perceived
leader support. The Leadership Quarterly 15:5-32.
Anderson, J. (1994). Public policymaking. Houghton Mifflin.
BAPPENAS (2002) Public Good Governance: Sebuah Paparan Singkat,
Jakarta: Sekretariat Pengembangan Public Good Governance
BAPPENAS.
Bastian, Indra. (2016). Strategi Manajemen Sektor Publik. Jakarta:
Salemba Empat.
Beer M, Spector B, Lawrance P, Quinn MD and Walton R (1984)
Managing human assets: The ground-breaking Harvard Business
School Program. New York: The Free Press.
Bhuiyan, Shahjahan H dan Francis Amagoh. (2011). “Public sector
reform in kazahstan: issues and perspective”. International Journal
of Public Sector Management. Vol 24 Issue: 3. Page 227-249.
Bisri, M. Chatib. (2009). Wajah Murung Ketenagakerjaan Kita. Kompas
:25-1-02
Boselie P, Paauwe J and Richardson R (2003) Human resource
management, institutionalization and organizational performance:
a comparison of hospitals, hotels and local government. International
Journal of Human Resource Management 14 (8):1407-1429.
Bovaird, T & Elke, L. (2003). Public Management and Governance, New
York: Routledge

225
Manajemen Sektor Publik

Boyne G and Gould-Williams JS (2003) Planning and performance in


public oganizations: an empirical analysis. Public Management
Review 5 (1):115-132.
Brown K (2004) Human resource management in the public sector.
Public Management Review 6 (3):303-309.
Brown, D. (1995) “Poverty-Growth Dichotomy”, dalam Üner Kirdar dan
Leonard Silk (ed.). People: From Impoverishment to Empowerment.
New York: New York University Press.
Caiden, Gerald E. (1969). Administrative Reform. London: Allen Lane
The Penguin Press.
Cakar F, Bititci US and MacBryd J (2003) A business process approach
to human resource management. Business Process Management
Journal 9 (2):190-207.
Chalid, Hamid. (Eds). (2010). Reformasi Birokrasi Peta Masalah dan
Alternatif Solusi. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia.
Chamber, R. (1995). “Poverty and Livelihoods: Whose Reality
Counts?”, dalam Üner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). People:
From Impoverishment to Empowerment. New York: New York
University Press.
Chan LLM, Shaffer MA and Snape E (2004) In search of sustained
competitive advantage: the impact of organizational culture,
competitive strategy and human resource management practices
on firm performance. International Journal of Human Resource
Management 15 (1):17-35.
Damanhuri, Didin S. (2006). Korupsi, Reformasi Birokrasi & Masa
Depan Ekonomi Indonesia. Jakarta: LPFE Universitas Indonesia
David, Fred R. dan Forest R. David. (2016). Manajemen Strategi: Suatu
Pendekatan Keunggulan Bersaing-Konsep. (Terj). Novita Puspasari
dan Liza N. Puspitasasri. Edisi Kelima Belas. Jakarta: Salemba Empat
Drechsler, W, (2005). The Rise and Demise of the New Public
Management, post-autistic economics review, Issue No. 33,
Available Online: http://www.paecon.net/PAEReview/issue33/
Drechsler33 htm

226
Manajemen Sektor Publik

Dror. Yehezkel. (1976). “Strategies for Administrative Reform”, dalam


AF Leemans, ed, The Management of Change in Government. The
Hague: Martinus Nijhoff
Dwiyanto, Agus. (2015). Reformasi Birokrasi Kontekstual Kembali Ke
Jalur Yang Benar. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dwiyanto, Agus. (2016). Memimpin Perubahan di Birokrasi
Pemerintahan Catatan Kritis Seorang Akademisi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Dzulfaroh, A. (2019). Kiprah Habibie untuk HAM, Pembebasan tapol
dan pencabutan DOM di Aceh. Kompas.Com. https://www.kompas.
com/tren/read/2019/09/12/161504365/kiprah-habibie-untuk-
ham-pembebasan-tapol-dan-pencabutan-dom-di-aceh?page=all
Eastern Regional Organization for Public Administraion (EROPA),
Seminar on Administrative Reform and Innovations, Vol.2: (Kuala
Lumpur, Juni 1968).
Eaton, DB (2004) Civil service reform in Great Britain: A history of
abuses and reforms and their bearing upon American politics.
Dalam Shafritz, JM, Hyde, AC and Parkes, SJ Classics of Public
Administration. Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning.
Economic and Social Council United Nations (2004). Revitalizing
public administration as a strategic action for sustainable human
development: an overview, Report of the Secretariat,
Available Online:http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/
documenun/unpan015105.pdf
Effendi, Taufiq. (2013). Reformasi Birokrasi dan Iklim Investasi.
Jakarta: Konstitusi Press.
Ewalt, G. (2001). Theories of Governance and New Public Management:
Links to Understanding Welfare Policy Implementation, paper
prepared for presentation at the Annual Conference of the
American Society for Public Administration, Av a i l a b l e
Online: http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/
ASPA/UNPAN00056 3.pdf
Farazmand A (2004) Sound governance: Policy and administrative
innovations. Westport, CT: Praeger Publishers.

227
Manajemen Sektor Publik

Farazmand, Ali. (Eds). (2002). Administrative Reform in Developing


Nations. Westport: Praeger Publisher.
Fesler, James W dan Donald F Kettl. (1996). The Politics of The
Administrative Process. Second Edition. New Jersey: Chatham
House Publishers Inc.
Fombrun CJ, Tichy NM and Devanna MA (1984) Strategic human
resource management. New York: John Wiley & Sons.
Frederickson, G. (2004). Whatever Happened to Public Administration?
Governance, Governance Everywhere, Working Paper, QU/
GOV/3/2004, Institute of Governance Public Policy and Social
Research, Queen’s University, Available Online: http://www.
governance.qub.ac.uk/bp20043.pdf
Friedman, J. (1992) Empowerment: The Politics of Alternative
Development. Cambridge: Blackwell.
Ginandjar, K. (2006). Artikel : Menggerakkan Sektor Riil Untuk
Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran. Akses tanggal 13
Oktober 2009 dari www.ginanjar.com.
Goetz, M. (2004). Managing Successful Governance Reforms:
Lessons of Design and Implementation, Conceptual Framework,
Available Online: http://www1.worldbank.org/publicsector/
PoliticalEconomy/GovernanceRefor mIDSconceptpaper.doc
Gonzalez SM and Tacorante DV (2004) A new approach to the best
practices debate: are best practices applied to all employees in the
same way? International Journal of Human Resource Management
15 (1):56-75.
Grosso, Ashley L dan Gregg G Van Ryzin. (2012). Public management
reform and citizen perceptions of the UK Health System.
International Review of Administrative Sciences. Vol 78 Issue: 3.
Page 494-513.
Guest, DE (1987) Human resource management and industrial relations.
Journal of Management Studies 24 (5):503-521.
Guo, Baogang. (2017). “China’s Administrative Governance Reform in
the Era of “New Normal”. Journal of Chinese of Political Science.
Vol 22. Page 357-373.

228
Manajemen Sektor Publik

Hamdi, Muchlis dan Halilul Khairi. (2014). “Reformasi Birokrasi:


Menuju Peningkatan Pelayanan Publik, dalam Jurnal Ilmu
Pemerintahan Edisi 45, Agustus 2014.
Haning, Mohamad Tharir. (2015). Reformasi Birokrasi: Desain
Organisasi yang Mendukung Pelayanan Publik di Indonesia.
Yogyakarta: Ilmu Giri.
Hendry C and Pettigrew A (1992) Patterns of strategic change in the
development of human resources management. British Journal of
Management 3 (3):137-56.
Henry N (2004) Public administration and public affairs, 9th ed. Upper
Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc.
Hope, KR Sr. (1999) Human resource management in Botswana:
approaches to enhancing productivity in the public sector. The
International Journal of Human Resource Management 10 (1): 108-
121.
Irianto J (2009) Manajemen SDM sebagai titik tumpu perubahan
birokrasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang
Ilmu Manajemen SDM. Universitas Airlangga, Surabaya.
Ivancevich JM, Donnely JH Jr. and Gibson JL (2004) Management:
Principles and functions, 4th ed. New Delhi: Richard D. Irwin, Inc.
Jacobs RL and Washington C (2003) Employee development and
organizational performance: a review of literature and directions
for future research. Human Resource Development International 6
(3):343-354.
Juwono, Vishnu. (2018). Melawan Korupsi Sejarah Pemberantasan
Korupsi di Indonesia 1945-2014. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Kamaruddin. (2017). Determinan Keberhasilan Implementasi Reformasi
Administrasi Pada Lembaga Administrasi Negara Periode 2012-
2014. Disertasi: FISIP Universitas Indonesia, Jakarta.
Kasim, A. (2001). “Perubahan Pendekatan Ilmu Administrasi Publik
dan Implikasinya terhadap Studi Kebijakan”, Bisnis & Birokrasi,
Vol. IX, No.3, September

229
Manajemen Sektor Publik

Kasim, Azhar. (1998). Reformasi Administrasi Negara sebagai Prasyarat


Upaya Peningkatan Daya Saing Nasional. Pidato Pengukuhan Guru
Besar, FISIP-Universitas Indonesia. Jakarta: FISIP-Universitas
Indonesia. Jakarta, 21 Maret 1998.
Kasim, Azhar. (2011). “Kerangka Dynamics Governance Bagi Reformasi
Administrasi Negara”. Jurnal Ilmu Administrasi Negara dan
Manajemen Publik. Vol 1. No.1. Hal.7-13.
Keenoy T and Anthony P (1992) HRM: metaphor, meaning and morality.
Dalam: Blyton, P. & Turnbull P (eds.). Reassesing human resource
management. New York: Sage Publication.
Kelik, P. (2009). Pengangguran Terdidik Melonjak, Pekerjaan Kurang
Bermutu. Rabu, 19 Agustus 2009 15:08
Kim, Sunhyuk dan Chonghee Han. (2015). “Administrative reform
in South Korea: New Public Management and the bureaucracy”.
International of Administrative Science. Vol 8. Issue: 4. Page: 694-
712.
Kirdar, K. Üner, U. & Silk, L. (ed.), 1995. People: From Impoverishment.
New York: New York University Press.
Komarudin. (2014). Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik. Jakarta:
Genesido.
Larbi, G. (1999). The New Public Management Approach and Crisis
State, UNRISD Discussion Paper, No. 112, United Nations Research
Institute for Social Development.
Lee, Hahn Been (1970). “The Concept, Structure and Strategy of
Administrative Reform: An Introduction”, dalam Hahn Been Lee dan
Abelrado G Samonte, ed, Administrative Reform in Asia. Manila:
The Eastern Regional Organization for Public Administraion
(EROPA).
Lee, Hahn Been. (1976). “Bureaucratic Models and Administrative
Reform”, dalam AF Leemans, ed, The Management of Change In
Government. The Hague: Martinus Nijhoff.
Leemans, Arne F. (1976). “Overview”, dalam AF Leemans, ed, The
Management of Change In Government. The Hague: Martinus
Nijhoff.

230
Manajemen Sektor Publik

Legge K (1995) Human resources management: Rhetorics and realities.


London: Macmillan.
Lengnick-Hall ML and Lengnick-Hall CA (2003) Human resource
management in the knowledge economy. San Fransisco: Berrett-
Kohler Publishers Inc. Mathis RL and Jackson JH (2008) Human
resource management, 12th ed. Mason, Ohio: Thomson South
Western.
Loffler (2001). Emerging Trends in Public Management and
Governance”, BBS Teaching and Research Review, Issue 5, Bristol
Business School, University of the West of England.
Lumanauw, N. (2014). SBY: Pelestarian Lingkungan Bagian dari Strategi
Pembangunan Indonesia. Beritasatu. https://www.beritasatu.com/
archive/182050/sby-pelestarian-lingkungan-bagian-dari-strategi-
pembangunan-indonesia
Maksum, Irfan Ridwan. (2010). Organisasi Negara Amuba: Jalinan
Sistemik Administrasi Publik, Reformasi Administrasi dan
Pemerintahan Daerah. Depok: Departemen Ilmu Administrasi-
FISIP UI.
Maksum, Irfan Ridwan. (2014). “Strategi Reformasi dalam
Pemerintahan Republik Indonesia”. Jurnal Ilmu Pemerintahan:
Reformasi Birokrasi. Edisi 45. Hal:59-69.
Mariana, Dede, dkk. (2010). Reformasi Birokasi dan Paradigma Baru
Administrasi Publik di Indonesia, dalam Falih Suaedi dan Bintoro
Wardiyanto, ed, Revitalisasi Administrasi Negara Reformasi
Birokrasi dan E-Governancce. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Marliani, L. (2019). Definisi administrasi dalam berbagai sudut pandang.
Dinamika : Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 5(4), 17–21.
https://doi.org/10.25157/DINAMIKA.V5I4.1743
Meehan, E. (2003). From Government to Governance, Civic Participation
and ‘New Politics’; the Context of Potential Opportunities for the
Better Representation of Women”, Occasional Paper, No. 5, Centre
for Advancement of Women in Politics, School of Politics and
International Studies, Quuen’s University.

231
Manajemen Sektor Publik

Muhibin, M. (2008) Quo Vadis Pendidikan Kita. Monday, 01 September


2008
Mulgan, Geoff. (2009). The Artof Public Strategy: Mobilizing, Power,
and Knowledge for The Common Good. New York: Oxford
University Press.
Muzammil, A. (2016). Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
dari orde lama sampai orde baru; Suatu tinjuan historis.
Potensia: Jurnal Kependidikan Islam, 2(2), 183–198. https://doi.
org/10.24014/potensia.v2i2.2537
Nasucha, Chaizi. (2004). Reformasi Administrasi Publik Teori dan
Praktik. Jakarta: Grasindo.
Oluwu, D. (2002). “Introduction New Public Management: An African
Reform Paradigm?”, Africa Development, Vol. XXVII, No. 3 & 4.
Ongaro, Edoardo dan Giovanni Valotti. (2008). “Public management in
italy: explaining the implementation gap”. International Journal of
Public Sector Management. Vol. 21. Issue: 2. Page 174-204.
Osborne, David dan P. Plastrik. (2000). Memangkas Birokrasi: Lima
Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. (Terj). A. Rosyid dan
Ramelan. Cetakan Kedua. Jakarta: PPM Manajemen.
Pattanayak B (2003) Gaining competitive advantage and business
success through strategic HRD: an Indian experience. Human
Resource Development International 6 (3):405-411.
Plumptre, G. (1999). Governance and Good Governance: International
and Aboriginal Perspectives, Institute on Governance.
Pollit, Christopher dan Geert Bouckaert. (2000). Public Management
Reform: A Comparative Analysis Oxford: Oxford University Press.
Pollit, Christopher dan Geert Bouckaert. (2011). Public Management
Reform: A Comparative Analysis New Public Management,
Governance, and The Neo Weberian State. Third Edition. Oxford:
Oxford University Press.
Prasojo, E. (2003). Agenda Politik dan Pemerintahan di Indonesia:
Desentralisasi Politik, Reformasi Birokrasi dan Good Governance,
Bisnis & Birokrasi, Vol. XI, No.1.

232
Manajemen Sektor Publik

Prasojo, E., Maksum. I. R. & Kurniawan, T. (2006). Desentralisasi &


Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi
Struktural, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.
Prasojo, Eko dan Defny Holidin. (2018). ”Leadership and Public Sector
Reform in Indonesia” dalam Evan Berman dan Eko Prasojo, ed,
Leadership and Public Sector Reform in Asia. London: Emerald
Publishing Limited.
Prasojo, Eko. (2006). “Reformasi Birokrasi di Indonesia: Beberapa
Catatan Kritis”. Jurnal Bisnis dan Birokrasi. Vol. XIV. No. 1. Hal
295-304.
Prasojo, Eko. (2009). Reformasi Kedua Melanjutkan Estafet Reformasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
Pynes JE (2004) Human Resources Management for Public and
Nonprofit Organizations, 2nd ed., San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Quah, Jon S.Tien. (2010). Public Administration Singapore Style.
United Kingdom:Emerald Group Publishing Limited. The Florida
State University, USA
Rahman AI and Eldridge D (1998) Reconceptualising human resource
planning in response to institutional change. International Journal
of Manpower 19 (5):343-357.
Rahman, M. (2017). Ilmu administrasi.
Ramadhani Haryo Seno (Strategi Reformasi Administrasi dan
Kepemimpinan Strategies Admisnistrative …)
Ranis, G. (1995). Reducing Poverty: Horizontal Flows Instead of
Trickle Down, dalam Uner Kirdar dan Leonard Silk (ed.). People:
From Impoverishment To Empowerment. New York: New York
University Press.
Rasyid, M. Ryaas. (2013). “Membangun Pemerintahan Yang Baik
Melalui Reformasi Administrasi dan Birokrasi”, dalam Adriana
Elisabeth, dkk, ed, Evaluasi Reformasi Birokrasi Di Indonesia.
Jakarta: AIPI.
Real, Isabel Corte. (2008). “Public management reform in portugal.
successess and failure”. International Journal of Public Sector
Management. Vol. 21 Issues: 2. Page: 205-229.

233
Manajemen Sektor Publik

Rosidi, Ajip. (2015). Korupsi dan Kebudayaan. Cet-3. Bandung: Dunia


Pustaka Jaya.
Sadri G and Lees B (2001) Developing corporate culture as a competitive
advantage. Journal of Management Development 20 (10):853-859.
Salomo, R. (2002). E-Government: Suatu Inovasi dalam Kerangka Good
Governance, Bisnis & Birokrasi, Vol. X, No.2, Mei.
Salomo, R. V. (2006). Scenario Planinng Reformasi Administrasi
Pemerintah Subnasional di Indonesia: Sebuah Grand Strategy
Menuju Tahun 2025. Disertasi: FISIP Universitas Indonesia,
Jakarta.
Samaratunge, R & Bennington, L. (2002) “New Public Management:
Challenge for Sri Lanka”, Asian Journal of Public Administration,
Vol. 24, No. 1, June.
Samodra, S. (2005). Peluang Penerapan New Public Management untuk
Kabupaten di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Schwab, B & Kubler, D. (2001). “Metropolitan Governance and the
‘democratic deficit’: Theoretical Issues and Empirical Findings”,
Paper in Conference Area-based initiatives in contemporary urban
policy, Copenhagen, May 2001.
Sedarmayanti. (2009). Reformasi Administrasi Publik, Reformasi
Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan
Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Refika Aditama.
Shafritz, J. M & Hyde, A. C. (1997). Classics of Public Administration,
Fourth Edition, Fort Worth: Hartcourt Brace College Publishers.
Siddiquee, Noore Alam. (2006). “Public management reform in
malaysia: recent initiatives and experience”. International Journal
of Public Sector Management. Vol 19. Issue: 4. Page: 339-358.
Stoker, G. (2004). New Localism, Participation and Networked
Community Governance.
Storey J (1994) Developments in the management of human resources.
Oxford: Basil Blackwell.

234
Manajemen Sektor Publik

Stroh LK and Caligiuri PM (1998) Strategic human resources: a


new source for competitive advantage in the global arena. The
International Journal of Human Resource Management 9 (1):1-17.
Supriyanto, S. (2010). Potret masa depan ilmu administrasi di Indonesia.
Sosialita, 1(1), 1–14.
Tamin, F. (2002). Pengembangan SDM Aparatur dalam Meningkatkan
Kinerja Birokrasi”, Bisnis & Birokrasi, Vol. X, No.2, Mei Wibawa.
Thoha, Miftah. (2011). Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era
Reformasi. Cet-3. Jakarta: Kencana
Toonen, Theo A.J. (2003). Administrative Reform, dalam B Guy Peters
dan Jon Pierre, ed, Handbook of Public Administration. California:
Sage Publication.
Turner Mark dan David Hulme. (1997). Governance, Administration,
and Development: Making the State Work. London: Macmillan
Press Ltd.
Tyson S (1995) Human resource strategy: Towards a general theory of
human resource anagement. London: Pitman.
Vaughan S (2003) Performance: self as the principal evaluator. Human
Resoruce Development International 6 (3):371-385.
Vries, Michiel De dan Juraj Nemec. (2013). “Public sector reform: an
overview of recent literature and research on NPM and alternative
paths”. International Journal of Public Sector Management. Vol. 26
Issue: 1. Page: 4-16.
Wallace J, Hunt J and Richards C (1999) The relationship between
organizational culture,organisational climate and managerial
values. The International Journal of Public Sector Management 12
(7):548-564.
Wang Y and Lo HP (2003) Customer-focused performance and the
dynamic model for competence building and leveraging A resource-
based view. Journal of Management Development. 22 (6):483-526.
Way SA and Johnson DE (2005) Theorizing about the impact of strategic
human resource management. Human Resource Management
Review 15 (1):1-19.

235
Manajemen Sektor Publik

Wijayanti, Y. (2019). Kebijakan pemerintah Indonesia masa orde lama


dibidang ekonomi terhadap orang cina. Jurnal Artefak, 3(2), 113–
118. https://doi.org/10.25157/JA.V3I2.1094
Wright PC and Rudolph JJ (1994) HRM trends in the 1990s: Should
local government buy? International Journal of PublicSector
Management 7 (3):27-43.
Zulkarnain, A., & Harris, S. (2017). Fenomena blusukan dalam model
kepemimpinan politik Joko WIdodo. POLITIK; Jurnal Kajian Politik
Dan Masalah Pembangunan, 13(1), 1928–1942.

236
Indeks

A Arthur Lewis 207


Asia 49, 78, 81, 89, 149, 150, 181,
abolisi 12
189, 201
Aceh 13, 37, 53
astronomis 2
Adam Smith 206, 207
Atik Septi Winarsih 122
adaptif 82, 83, 216, 219, 220
Australia 5, 181, 187, 189, 191
Administrasi ix, x, 2, 3, 7, 8, 9, 19,
20, 21, 22, 27, 35, 42, 43, 44,
46, 48, 53, 58, 83, 85, 86, 91, B
97, 165 Babilonia 1, 3
adopsi 126, 128, 150, 220, 222, Baptista Ximenes 12
223
Barzelay 23
akuntabilitas 34, 45, 48, 53, 57,
Bastian 97
60, 61, 64, 65, 88, 89, 90,
Belanda 10, 41, 105, 137, 144, 145
99, 102, 105, 108, 126, 139,
166, 173 Bendito Amaral 12
Akuntabilitas 27, 28, 33, 34, 56, Bernadino Simao 12
64, 159, 164, 166, 173 Bhargava 86
Albury 126, 128 birokrasi ix, 19, 20, 23, 24, 25,
Amerika Serikat 7, 19, 23, 25, 70, 26, 29, 30, 36, 37, 38, 42, 43,
188, 191, 208 54, 74, 82, 87, 88, 89, 90, 91,
92, 93, 94, 95, 99, 100, 101,
amnesti 12
102, 103, 104, 105, 106, 107,
Antonio Freitas 12
108, 109, 110, 111, 112, 113,
Aristoteles 1 116, 117, 118, 121, 123, 130,
Arthur Dunham 152 141, 147, 164, 170, 171, 172,

237
Manajemen Sektor Publik

173, 174, 175, 176, 181, 186, Devolusi 138


187, 188, 189, 190, 191 diagnostik 222
birokrat 16, 20, 36, 37, 43, 48, 91, Dilulio 173
106, 107, 109, 113, 116, 171,
Dinamisme 72, 76
175, 176, 181
Domingos da Silva, Silvereiro 12
Boon Siong Neo 82
Donald Brown 204, 205, 212
Botswana 182, 189
Donald Donald Brown 212
Boyne 186
Donelly 122
Brautigam 212
Bryan 64
Bukittinggi 145
E
efisiensi 14, 20, 21, 22, 33, 43, 46,
56, 72, 81, 89, 100, 101, 112,
C 126, 150, 158, 159, 167, 172,
Cancio AH Guterres 12 176, 218
Chambers 211 eksekutif 19, 49, 66
Charles Barbage 6 ekspor 5, 11, 198
Chen 72, 73, 74, 75, 76, 77 empiris 42, 68, 82, 208, 216, 219
China 10, 17, 78, 199 Eropa 41, 181, 189
Christopher Hood 23 E.S.Overman 23
Coffman 215 Eulau 68
Colombia 149
F
D Farazmand 86
Damanpour 126 Firaun 4
David 65, 97, 111, 128 fleksibel 43, 72, 74, 104, 113, 139,
demokrasi 4, 10, 11, 32, 33, 52, 53, 176
58, 61, 68, 138, 155, 164, 210 formalistik 61
Demokrasi 14, 27, 52, 164, 210 Fransisco de Deus 12
demos 4 Fransiskus 41
Denhardt 21, 27, 28 Frederick S. Lane 70
Desentralisasi 25, 28, 137, 138, Frederickson 20, 93, 105
139, 140, 164 Fredrick Winslow Taylor 6

238
Manajemen Sektor Publik

fundamental 46, 99, 145, 165, 166 Hope 182, 189


F.W. Taylor 6, 7 Hulme 99

G I
Gaebler 23, 25, 53, 65, 94, 111 identifikasi 23, 66, 69, 133, 191,
Ganie-Rochman 50 195, 218, 221, 222
Gary 182 Ife 156
Gaspersz 129, 130 Ignatius Loyola 41
Gayus Tambunan 106 Illchman 86
G.D.Garson 23 Implementasi 70, 195, 222
Geoff Mulgan 128 Indonesia ix, 8, 9, 10, 11, 12, 13,
14, 15, 22, 25, 29, 30, 33, 35,
George Von Zincke 6
36, 37, 38, 39, 41, 48, 52, 53,
Ghana 150
54, 71, 83, 84, 88, 89, 90, 93,
Gibson 122 94, 106, 110, 131, 137, 138,
globalisasi 9, 42, 68, 76, 181, 199 141, 142, 144, 145, 146, 147,
Goh Keng Swee 77, 79 148, 149, 153, 156, 157, 158,
161, 168, 173, 174, 187, 188,
Gould Williams 186
189, 190, 191, 197, 198, 200,
Goulet 206
201, 202, 203, 205, 208,
grasi 12 209, 210
Inggris 5, 6, 7, 23, 24, 25, 41, 42,
H 53, 188

Habibie 12 Irawan Soejipto 137

Hahn Been Lee 103 irigasi 4, 139, 213

Harrod 207 Ivancevich 122, 186

Heinz 68
Hendry Fayol 6, 7 J
Heri Herdiawanto 55 Jacob 182, 185
Hermenigildo da Costa 12 Jawa 145
historical 3 Jepang 145, 201
Hoki 10 Jerman 5
hong sui 10 Jim 156

239
Manajemen Sektor Publik

Joan Nelson 64 kratos 4


Joko Widodo 13, 14 Kristiani 1
Jones 94 kuantitatif 189, 191
J. Storey 191
Juvenal do Santos Monis 12 L
Lampung 13
K Lee Kuan Yew 77, 78
Kalimantan 53, 145 Leemans 46, 95, 98, 103
kameralisme 5 legislatif 66, 98, 104, 147
kapitalisme 17, 49 liberalisme 17
Karen Legge 191 loyalitas 173, 176
Kebijakan 1, 2, 9, 10, 11, 13, 14, 15, Lutes 215
16, 21, 22, 57, 58, 59, 61, 64,
68, 71, 118, 121, 142, 149,
203
M
kebijakan publik 2, 16, 17, 22, 32, Madura 145
34, 38, 48, 49, 52, 57, 58, 59, Maluku. 145
60, 61, 62, 64, 65, 66, 67, manajemen ix, x, 6, 7, 19, 21, 23,
68, 69, 70, 71, 77, 122, 164 24, 53, 55, 61, 62, 90, 97,
kebijakan publik. 16, 17, 22, 38, 112, 122, 127, 129, 130, 133,
48, 57, 58, 59, 60, 62, 66, 147, 150, 164, 165, 181, 182,
69, 71, 164 183, 184, 185, 186, 187, 201,
Kenneth 68 215, 216, 217, 218, 219, 220,
221, 222, 223
Khan 42
Manan Effendi 12
kompleks 20, 46, 58, 65, 73, 93,
94, 115, 144, 222 marginal 99, 207

kondusif 57, 141, 164, 165, 187, Martin Luther 41


195 Masters 129
konsensus 55, 56, 71, 166 Max Weber 92, 93
konstituen 16, 65 merkantilisme 5
kontroversi 2, 176 Mesir 4
korporasi 84, 131, 168, 175, 182 Mesopotamia 1, 3
Kouzes 91 Mexico 150

240
Manajemen Sektor Publik

modern 2, 3, 4, 7, 9, 58, 92, 93, Osborne 23, 25, 44, 53, 65, 94,
95, 201, 207, 209, 213 101, 111, 173
Moris 94 otoriter 35, 61, 104
Muhammad Yunus 205
multidimensional 82 P
Muluk 126 Partisipasi 55, 64, 165
Myanmar 13 partisipatif 24, 28, 58, 62, 153,
185, 211
N pemberdayaan 10, 130, 147, 153,
155, 167, 182, 201, 204, 206,
Nauheimer 216
211, 213
Neo 72, 73, 74, 75, 76, 77, 82, 84,
perancis 6
93
Perancis 5
nepotisme 36, 108
physiocratism 5
Nigeria 150
Pius V 41
North 75
Plato 1
Politik x, 12, 21, 27, 66
O
politis 20, 27, 34, 37, 41, 47, 60,
Oluwu 20 64, 66, 81, 106, 138, 202
organisasi ix, 5, 8, 9, 16, 19, 20, Posner 91
21, 22, 23, 27, 28, 43, 44, 45,
pragmatis 79, 144
46, 47, 51, 54, 62, 68, 74, 84,
88, 89, 92, 95, 97, 98, 99, prancis 5
100, 101, 102, 104, 106, 111, prasejarah 3
112, 113, 115, 116, 118, 122, Prasetyo 15
123, 124, 126, 127, 128, 129, Prasojo 33, 58, 95, 106
130, 141, 147, 152, 153, 154,
preventif 115, 146
164, 165, 170, 172, 173, 179,
181, 182, 184, 185, 186, 187, Prewit 68
190, 192, 193, 194, 195, 196, privasi 2
215, 216, 217, 218, 219, 220, proaktif 78, 89, 223
221, 222, 223 profesionalisme 19, 30, 70, 171
Organisasi 27, 28, 32, 62, 117, 141, profesionalitas 100, 102
173, 222
proteksionalisme 5

241
Manajemen Sektor Publik

Pudjo Prasetyo 12 sentralisasi 115, 140, 141, 145


Pynes 189 Siagian 87, 108
Singapura 13, 72, 73, 74, 75, 77,
R 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84
sinisme 92
radikal 101, 105, 110
skeptis 190
rasionalitas 20, 21, 22, 27, 48, 67,
93 Solow 207

Ratmanto 122 S. Tyson 191

reformasi ix, 10, 11, 19, 35, 36, 37, Substansi 70


41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, Suharto 11
54, 58, 61, 85, 86, 87, 88, 89, Sulawesi 53, 145
90, 91, 92, 97, 98, 99, 100, Sunda Kecil 145
101, 102, 103, 105, 106, 110,
Suprastruktur 71
117, 118, 121, 143, 146, 148,
150, 171, 186, 188 supremasi 55

rehabilitasi 12, 158, 179 Susanto 87

Responsivitas 27, 163, 173 Susilo Bambang Yudhyono 13

Rhodes 95
Riant Nugroho 65 T
Riau 37, 53 Taiwan 201, 212
Rinaldi 122, 123 Teresa 41
Rina Mei Mirnasari 126 terminasi 186
R. Nugroho Dwijowiyoto 30 Teruna 106, 107, 108
Rogers 126, 128 Thailand 199
Romawi 1, 4 Thoha 94, 102
Rondinelli 137 Thomas Agusto 12
Runi 122, 123 Thomas Alfa Edison 2
Timor Timur 12, 13
S Tiongkok 4

Sarinah 54 transformasi 42, 76, 126, 205

sektor publik ix, x, 24, 28, 55, 80, Transparansi 55, 56, 125, 163, 165
84, 97, 121, 126, 160, 164, Turner 99
181, 185, 186, 187, 188, 189

242
Manajemen Sektor Publik

U White 64, 94
Winardi 216
Ulrich Zwingli 41
Universitas Cambridge 6
Y
V Yohanes 41
Yunani 1, 2, 4
variabel 52, 70, 186, 208
yuridis 81
Vicente Marques 12

W
Washington 182, 185
Waterston 87

243
Manajemen Sektor Publik

244
Profil Penulis

Fitri Kurnianingsih, Lahir di Tanjugngpinang pada 16


Maret 1987. Memulai perjalanan pendidikan tingginya
mulai tingkat sarjana starata satu (S1) Sarjana Sosial
(S.Sos) di Univeritas Pasundan Bandung tahun 2004 dan
Menyelesaikan pada tahun 2008. Kemudian lanjut studi
S2 tahun 2008 dan menyelesaikan di tahun 2010 di Universitas yang
sama dengan gelar Magister Sains (M.Si). Di kampus ini juga beliau
melanjutkan studi Program Doktoralnya (Dr) yang di mulai tahun 2013
dan selesai pada tahun 2016. Keseluruhan bidang kajian studinya adalah
linear di bidang Ilmu Admnistrasi Publik dan merupakan Doktor
Termuda (usia 29) tahun di lingkungan tugasnya Universitas Maritim
Raja Ali HajI.

Irwanto, Lahir di Lebuh, Kabupaten Karimun pada 10


Maret 1972. Menempuh pendidikan S1 (S.Pd) di Program
Studi Administrasi Pendidikan di Universitas Riau
Pekanbaru yang selesai pada tahun 2004. Kemudian
melanjutkan pendidikan S2 Program Studi Administrasi
Publik, STIA Yappan, Jakarta dengan gelar (M.Si) lulus pada tahun
2007. Lalu melanjutkan pendidikan Doktoral S3 (Dr) di Univeritas
Pasundan Bandung pada tahun 2016. Di bidang akademik, pernah
menjadi Dosen Fisipol dan FKIP Universitas Karimun pada tahun 2008
- 2012 , Dosen Tamu Pascasarjana Adm Publik UNPAS di Bandung tahun
2017 dan Tutor di Universitas Terbuka kelas Karimun pada tahun 2017
- 2018 dengan mata kuliah Kebijakan Publik dan Metodelogi Penelitian.

245
Manajemen Sektor Publik

246
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai