Anda di halaman 1dari 14

BELT AND ROAD INTITIATIVE DI ANTARA KERJASAMA

MULTILATERAL DAN PERANGKAP FINANSIAL


(Oleh : Depatemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UB 2019)

Belt and Road Initiative (BRI) atau yang lebih dikenal dahulu dengan istilah One
Belt One Road (OBOR) merupakan sebuah inisatif yang digagas oleh pemerintah
China berupa kerjasama multilateral antar negara dengan tujuan pembangunan jalur
perekonomian yang melibatkan dan menghubungkan sejumlah negara di kawasan
Asia, Afrika, dan Eropa. Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk mewujudkan
pembangunan negara yang saling berintegrasi satu sama lain sehingga terciptanya
iklim ekonomi yang sehat. Namun di tengah situasi ekonomi dan politik global yang
sedang memanas, muncul indikasi bahwasanya inisatif ini hanyalah untuk
memperkokoh pengaruh China secara global melalui skema perangkap finansial. Hal
ini pastinya memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat internasional tak
terkecuali Indonesia terkait dampak yang ditimbulkan dari adanya BRI ini.

Kelahiran Gagasan BRI

Kebijakan BRI ini pertama kali disampaikan pada tahun 2013 oleh presiden
China, Xi Jinping, saat menyampaikan pidato pada kunjungan kenegaraan di
Kazakhstan dan Indonesia. Namun yang perlu diingat bahwa jauh sebelum lahirnya
inisiatif ini, China pada masa dahulu kala pernah menginisiasi konsep serupa yang
dikenal dengan sebutan ‘Jalur Sutra Kuno’ atau ‘The Silk Road’, tepatnya pada era
Dinasti Han dalam rentang tahun 206 SM-220 M. Di zaman tersebut, jalur ini berhasil
menjadi sarana penghubung antar negara melalui perdagangan yang terbentang dari
Asia hingga Eropa dan memiliki peran penting dalam membangun peradaban dan
membuka interaksi antar negara baik dalam segi ekonomi, budaya, dan ilmu
pengetahuan. Hal inilah yang memotivasi pemerintah China saat ini untuk membangun
konsep yang serupa dalam rangka mengembalikan kejayaan jalur sutra kuno dan
menghubungkan perekonomian antar negara agar saling bekerjasama satu sama lain.

Sumber : https://silkroadfestival.org/festival/

Pada dasarnya, kebijakan Belt and Road Initiative merupakan implementasi dari
prinsip ‘Community of Common Destiny’ yang pertama kali digagas pada tahun 2007
oleh presiden China saat itu, Hu Jintao, dan berlanjut hingga masa kepemimpinan
presiden Xi Jinping. Hal ini akan mewujudkan ‘China’s Dream’ dalam konteks
internasional dan mewujudkan ‘The Great Rejuvenation of The Chinese Nation’.
Prinsip Community of Common Destiny dalam kebijakan luar negeri China bermaksud
untuk membentuk komunitas kepentingan, komunitas pembangunan dan tanggung
jawab, dan komunitas takdir bersama dengan negara-negara lain dalam rangka
membangun dunia yang lebih baik bersama-sama. Hal ini menggarisbawahi kesadaran
negara bahwa masyarakat yang hidup di dunia memiliki takdir yang sama sehingga
negara memiliki tanggung jawab bersama untuk bersatu mengatasi masalah,
mengupayakan pembangunan bersama, dan perdamaian abadi. Prinsip ini merupakan
interpretasi dari nilai-nilai konfusianisme yang merupakan aliran filsafat China yang
mengajarkan bahwa setiap manusia berkewajiban untuk memberikan kemampuan
terbaiknya dalam berbuat baik kepada negara dan bertanggung jawab atas perdamaian
dunia. Prinsip inilah yang kemudian didukung oleh PBB melalui Majelis Umum pada
agenda Pertemuan Tingkat Tinggi yang membahas tentang “Building The Community
of Common Destiny of Mankind.” Majelis Umum PBB mengatakan bahwa konsep ini
telah menginspirasi negara-negara anggota PBB akan pentingnya menjaga perdamaian
dunia dan pembangunan berkelanjutan secara bersama-sama sebagai tanggung jawab
bersama. Negara-negara harus bekerjasama menemukan solusi untuk tantangan global,
seperti perang dan konflik, terorisme dan kekerasan, termasuk juga isu ringan seperti
ketidaksetaraan, kemiskinan, dan perubahan iklim.

Konsep dan Mekanisme BRI

Secara garis besar, kebijakan BRI ini terdiri dari dua inisiatif utama yang menjadi
konsep penerapannya yaitu Silk Road Economic Belt (Sabuk Ekonomi Jalur Sutra) dan
21st Maritime Silk Road (Jalur Sutra Maritim Abad 21). Kedua konsep tersebut
memiliki sasaran yang berbeda namun dengan tujuan yang saling berhubungan satu
sama lain. Konsep Silk Road Economic Belt (SREB) memiliki sasaran untuk
menghubungkan China, Asia Tengah, Rusia, dan Eropa melalui jalur transportasi darat.
Sedangkan konsep 21st Maritime Silk Road (MSR) memiliki sasaran utama untuk
menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa melalui jalur transportasi laut yang
terbentang dari Eropa hingga kawasan Pasifik Selatan. Jika ditelaah secara spesifik,
jalur sutra modern yang hendak dibangun China melalui kebijakan BRI ini terdiri dari
6 koridor yaitu :
1. New Eurasia Land Bridge
2. China-Mongolia-Rusia
3. China-Asia Tengah-Asia Barat
4. China-Indochina-Peninsula
5. China-Pakistan
6. Bangladesh-China-India-Myanmar

Sumber : https://www.forbes.com/

Dalam implementasinya, konsep BRI akan terlaksana melalui 3 fase kronologis,


yaitu fase penjajakan, fase konsolidasi, dan fase pelaksanaan. Diawali dari fase pertama
yaitu fase penjajakan, seluruh negara yang terlibat akan menggunakan waktu dan
tenaga mereka untuk meningkatkan interaksi untuk mengkoordinasikan berbagai
standar teknis dalam rangka pembangunan infrastruktur, minimalisasi hambatan
perdagangan, dan menginisiasi kerja sama dan integrasi keuangan. Kemudian di fase
kedua yaitu fase konsolidasi, negara-negara yang tergabung dan ikut berpartisipasi
dalam kerjasama BRI ini akan mulai menerapkan berbagai mekanisme pendanaan dan
pembagian kerja pada tataran multilateral yang mana setiap negara dihimbau untuk
terlibat aktif dalam kerjasama ini. Dan puncaknya pada fase pelaksanaan, penduduk
setiap negara akan menyaksikan mobilisasi barang, uang, dan jasa tampak bebas
melintas antar negara bahkan benua demi mewujudkan pembangunan negara yang
saling terintegrasi satu sama lain.

Kebijakan Belt and Road Initiative yang digagas oleh pemerintah China
merupakan langkah untuk membuat cadangan devisa negara tersebut yang berlebih
menjadi lebih produktif. Tercatat pada bulan Juli 2018, jumlah cadangan devisa China
mencapai angka USD 3,2 Triliun. Oleh karena itu, kelebihan cadangan devisa tersebut
dialokasikan untuk pendaanaan proyek BRI. Mekanisme pendanaan proyek BRI akan
dikucurkan melalui 3 institusi keuangan utama, yaitu the Export-Import Bank of China,
Asia Infrastructure Investment Bank, dan the Silk Road Fund. Menurut data World
Bank¸jumlah dana yang telah diinvestasikan dalam proyek ini mencapai angka USD
575 Miliar. Diperkirakan total estimasi dana yang akan dikucurkan untuk proyek ini
berjumlah USD 4,4 Triliun dengan rincian USD 1,4 Triliun untuk proyek SREB dan
sisanya USD 3 Triliun untuk proyek MSR. Secara umum, BRI bekerja dengan cara
membuka proposal kerjasama dari negara-negara yang menjadi objeknya. Negara yang
tidak terlewati juga dapat mengajukan proposal kerjasama untuk makin memperluas
cakupan proyek ini. Sampai tahun 2018, BRI telah berhasil mencakup 68 negara untuk
mendanai proyek-proyek sedang dibangun dengan skema pinjaman atau utang. Konsep
pinjaman di bawah payung BRI diturunkan berupa proyek infrastruktur jalan,
jembatan, bandara, pelabuhan laut dan fasilitas penunjang lain serta kawasan
industri yang pembangunannya akan melibatkan perusahaan-perusahaan China.
Kekhawatiran atas Perangkap Utang BRI

Dalam agenda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Initiative ke-2
pada tanggal 24-27 April 2019, sebanyak 126 negara dan 29 organisasi internasional
ikut berpartisipasi dalam pembahasan megaproyek ini. Sejauh ini, sebanyak 68 negara
telah menyepakati kontrak kerjasama dalam BRI dalam rangka mendanai berbagai
proyek pembangunan yang hendak dibangun oleh setiap negara. 68 negara tersebut
tersebar di berbagai regional benua yang diklasifikasikan sebagai berikut :

 14 negara di Asia Timur dan Tenggara : Brunei, China, Indonesia, Malaysia,


Mongolia, Myanmar, Kamboja, Laos, Filipina, Singapura, Korea Selatan,
Thailand, Timor-Leste, dan Vietnam.
 13 negara di Asia Tengah dan Selatan : Afghanistan, Bangladesh, Bhutan,
India, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Maladewa, Nepal, Pakistan, Sri Lanka,
Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
 17 negara di Timur Tengah dan Afrika : Bahrain, Djibouti, Mesir, Ethiopia,
Iran, Irak, Israel, Yordania, Kenya, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, Saudi
Arabia, Syria, Uni Emirat Arab, dan Yaman.
 24 negara di Eropa : Albania, Armenia, Azerbaijan, Belarus, Bosnia-
Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Estonia, Georgia, Hungaria,
Latvia, Lithuania, Macedonia, Moldova, Montenegro, Polandia, Rumania,
Rusia, Serbia, Slovakia, Slovenia, Turki, dan Ukraina.

Namun yang menjadi sebuah polemik adalah sejumlah negara yang tergabung
dalam proyek ini cenderung beresiko terkena perangkap finansial yang mana mereka
tidak mampu melunasi pinjaman yang telah diberikan melalui mekanisme pendanaan
yang telah disepakati. Tercatat, sebanyak 33 dari 68 negara yang terlibat dalam proyek
BRI merupakan negara dengan peringkat investasi rendah bahkan tanpa peringkat.

25

20
Number of Countries

15

10

0
AAA/Aaa AA/Aa A BBB/Baa BB/Ba B Not Rated

Dari 33 negara tersebut, 10 di antaranya (Brunei, Iran, Myanmar, Nepal,


Moldova, Timor-Leste, Turkmenistan, Uzbekistan, Syiria, dan Yaman) merupakan
negara kaya aset atau tidak memiliki utang publik yang begitu banyak sehingga dapat
dianggap tidak beresiko tinggi untuk terlilit utang. Itu artinya masih terdapat 23 negara
yang berpotensi terlilit utang melihat dari kondisi finansial negaranya saat ini. Jika
ditinjau secara lebih spesifik, di antaranya terdapat 8 negara yang sangat beresiko besar
terjebak perangkap utang ditinjau dari rasio utang negara terhadap PDB saat ini. 8
negara tersebut yaitu Mongolia, Montenegro, Pakistan Maladewa, Djibouti, Laos,
Kyrgyzstan, dan Tajikistan yang mana seluruhnya memiliki rasio utang di atas 50%
berdasarkan data yang dihimpun dari IMF.

GOVERNMENT DEBT RATIO (% of GDP)


2015 2016 2017 2018
World 80.6 83.6 83.1 82.8
MICs 44.5 47.4 48.6 49.8
Mongolia 62.1 87.6 85.3 89.0
Montenegro 76.8 78.0 79.7 80.9
Pakistan 65.7 70.0 69.1 67.6
LICs 36.1 40.4 41.9 41.6
Maldives 73.1 83.1 96.5 109.0
Djibouti 72.1 86.6 88.1 87.5
Laos 65.8 67.8 69.0 70.3
Kyrgyz Republic 65.0 62.1 64.2 65.5
Tajikistan 33.4 44.8 51.8 56.8

Beberapa negara telah menjadi bukti sebagai korban perangkap finansial dari
adanya utang atau pinjaman ke China. Di antaranya yang terparah adalah Zimbabwe
dan Angola yang mengalami krisis finansial dan harus mengganti mata uangnya
mengikuti mata uang China sebagai kompensasi dari kegagalan membayar utang tepat
waktu pada China. Sejak akhir tahun 2015, Zimbabwe secara resmi mengganti mata
uangnya menjadi Yuan menyusul penghapusan utang mereka sejumlah USD 40 juta
yang gagal dilunasi. Berbeda halnya dengan kedua negara tersebut, terdapat juga
negara yang harus rela menyerahkan kedaulatan wilayahnya ke China karena sebab
yang sama. Pada tahun 2011, Tajikistan telah menyerahkan tanah di perbatasannya
yang disengketakan dengan China sebagai bentuk pembayaran utang. Sedangkan
Djibouti terpaksa merelakan wilayahnya dijadikan pangkalan militer oleh China untuk
mengatasi tekanan utang yang melonjak dari angka rasio 50% dari PDB menjadi 85%
pada tahun 2016. Cerita lain dialami Srilanka yang harus rela menyerahkan
kepemilikan saham sebesar 70% dari Pelabuhan Hambantota yang merupakan aset
negara kepada China dan berkewajiban menyewanya kembali dengan durasi kontrak
selama 99 tahun terhitung sejak tahun 2017. Hal ini merupakan konsekuensi dari
kegagalan pelunasan utang kepada China sejumlah USD 1,5 Miliar yang digunakan
untuk pembangunan pelabuhan tersebut.

Polemik inilah yang menjadikan BRI dianggap sebagai langkah agresif


pemerintah China sehingga mendapat kritik tajam dari berbagai negara serta lembaga
pemerhati ekonomi di dunia karena dinilai rentan meningkatkan resiko perangkap
utang bagi sejumlah negara berkembang yang terlibat dalam proyek OBOR ini.
Keterlibatan berbagai negara yang secara jelas memiliki resiko finansial yang tinggi
sebagai objek dari proyek BRI mengindikasikan bahwa China memiliki maksud
tertentu untuk menguasai negara-negara tersebut dan memperkokoh pengaruhnya di
dunia melalui skema utang dalam proyek BRI ini, yang mana negara-negara tersebut
kemungkinan besar tidak mampu melunasi pinjamannya ditinjau dari tingkat rasio
utang yang tinggi sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain menyerahkan aset
negaranya kepada China sebagai konsekuensi dari kegagalan pelunasan utang.

Terbukti sejumlah negara hendak menarik diri dari proyek BRI ini sebagai
bentuk kekhawatiran atas adanya perangkap utang dari China. Misalnya, Malaysia
yang menghentikan proyek Rail Link di Pantai Timur senilai USD 20 Miliar. Selain
itu, ada juga Pakistan yang memotong pinjaman senilai USD 2 Miliar untuk
pembangunan proyek kereta serta Myanmar yang memotong pinjaman senilai USD 6
Miliar yang hendak digunakan untuk pembangunan pelabuhan Rakhine. Langkah ini
dilakukan oleh sejumlah negara tersebut untuk meninjau kembali dan mencegah diri
mereka dari bahaya perangkap utang yang kemungkinan terjadi. Hal inilah yang harus
dijadikan pertimbangan bagi seluruh negara sebelum menyepakati kontrak kerjasama
dengan China dalam proyek BRI ini agar tidak terlalu memberatkan negara dan
mencapai titik efisien dari pengalokasian dana untuk pembangunan.

Meninjau Kerjasama Indonesia-China dalam Proyek BRI

Melihat dari daftar negara yang menjadi objek BRI, Indonesia sendiri tidak
terlepas dari keterlibatan dalam skema megaproyek ini. Dalam agenda KTT BRI pada
tanggal 24-27 April yang lalu, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Wakil Presiden
Jusuf Kalla serta Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan telah berhasil
menyepakati kontrak kerjasama dengan China dalam pembangunan 23 proyek dari
total 28 proyek yang diajukan. Tercatat total dana yang hendak dikucurkan untuk
pembiayaan proyek tersebut mencapai angka USD 91,1 Miliar atau setara dengan Rp
1.296,9 Triliun. Dalam kerjasama proyek BRI ini, pemerintah Indonesia telah
mengklasifikasikan pembangunan menjadi 4 koridor, yaitu Sumatera Utara,
Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali. Daftar proyek tersebut secara lebih rinci
adalah sebagai berikut :

Koridor Sumatera Utara :

1. Kawasan industri dan pelabuhan internasional Kuala Tanjung


2. Kawasan indutsri Sei Mengkei
3. PLTG Sei Mengkei
4. Kemitraan Strategis Bandara Internasional Kualanamu

Koridor Kalimantan Utara :

1. Kawasan Industri Tanah Kuning


2. Zona ekonomi terpadu Indonesia Strategis Industri (ISI) Tanah Kuning
3. Taman Industri ASK Gezhouba Tanah Kuning
4. Infrastruktur dan fasilitas umum Tanah Kuning
5. Pelabuhan laut internasional Tanah Kuning
6. Kawasan Mentarang Induk dan Kabama Induk
7. PLTA Kayan
8. PLTA Sembakung
9. PLTU Tanah Kuning
10. PLTA Idhei & Gezhouba
11. PT Prime Steel Indonesia
12. Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Dimetyl Ether
13. Proyek Kluster Aluminium PT Inalum

Koridor Sulawesi Utara :

1. Kawasan pariwisata Likupang


2. Kawasan industry Bitung

Koridor Bali :

1. Taman Teknologi Pulau Kura-kura

Non-Koridor :

2. PLTU Celukan Bawang


3. PLT Skala Menengah di berbagai lokasi di Pulau Jawa
4. PLTU Kalselteng 3 dan Kalselteng 4
5. Gedung Signature Tower
6. Kawasan Ekonomi Khusus Jonggol
7. Kawasan Industri Ketapang
8. Penanaman kelapa sawit
9. Kolaborasi internasional Meikarta

Dalam pembangunan proyek-proyek tersebut, pemerintah memberikan beberapa


syarat kepada China agar diterima melakukan investasi. Pertama, harus menggunakan
tenaga kerja asal Indonesia. Kedua, harus memproduksi barang yang menghasilkan
nilai tambah. Ketiga, harus melakukan transfer teknologi terbarukan kepada para
pekerja lokal. Keempat, jenis usaha yang dibangun harus ramah lingkungan. Kelima,
memprioritaskan konsep investasi melalui Business to Business (B2B) bukan
Government to Government (G2G). Kelima syarat tersebut harus dapat dipenuhi untuk
melakukan investasi di wilayah Indonesia.

Dapat dilihat bahwa persyaratan tersebut dapat dianggap berdampak baik bagi
perekonomian Indonesia kedepannya. Namun ditinjau dari realita yang terjadi di
lapangan, terdapat berbagai kejanggalan dalam pelaksanaannya. Misalnya, investasi di
sektor energi masih didominasi oleh pembangkit listrik berbahan baku batubara dengan
porsi mencapai 42%. Hal ini tentu tidak linear dengan persyaratan ramah lingkungan
yang mana bertentangan dengan upaya global untuk menurunkan emisi terutama dari
sektor energi. Selain itu pada pembangunan PLTU Celukan Bawang masih ditemukan
tenaga kerja asing sejumlah 152 orang (37%) dari total pekerja sebanyak 409 orang.
Yang tak luput dari kekhawatiran adalah kondisi utang luar negeri Indonesia saat ini.
Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia (BI) melalui Statistik Utang Luar Negeri
Indonesia (SULNI) April 2019, menunjukkan status terakhir posisi utang luar negeri
pada Februari 2019 dari Pemerintah China sebesar USD 17,7 miliar atau setara dengan
Rp 248,4 triliun dengan kurs Rp 14.000. Lebih spesifik utang yang dikelola pemerintah
sebesar Rp 22,8 triliun dan swasta sebesar Rp 225,6 triliun. Terbaru, Indonesia
mendeapat suntikan pinjaman dari Bank Pembangunan China (CDB) sebesar USD 4,5
Miliar untuk pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang juga merupakan
salah satu bagian dari proyek BRI.

Rekomendasi untuk Menghindari Perangkap Finansial BRI

Melihat berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan, persyaratan yang telah


ditetapkan pemerintah bagi investor belum mampu menjamin terlaksananya kerjasama
yang sehat bagi perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah lebih
peka dan berhati-hati dalam melakukan kerjasama dengan memperhatikan hal-hal
berikut terlebih dahulu :

1. Menjaga rasio utang negara agar tetap berada pada batas aman
2. Memastikan bahwa dana yang dimiliki perusahaan nasional yang terlibat cukup
untuk membiayai proyek yang dibangun, sehingga persentase kepemilikan saham
tetap didominasi oleh perusahaan nasional.
3. Tidak menyertakan aset negara untuk memenuhi kebutuhan pendanaan, sebagai
langkah pencegahan terjadinya akuisisi kepemilikan aset oleh investor asing akibat
kegagalan pendanaan.
4. Memastikan penggunaan tenaga kerja lokal sepenuhnya dalam pembangunan
seluruh proyek yang berjalan.
5. Mengutamakan proyek yang menghasilkan barang produktif dan bernilai tambah
bagi perekonomian negara.
6. Tetap memperhatikan faktor ramah lingkungan dalam pembangunan setiap proyek
untuk menjaga kelestarian alam Indonesia.
Daftar Pustaka

Kurniawan, Yandri. One Belt One Road (OBOR) : Agenda Keamanan Liberal
Tiongkok ?. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia.
2016.
Fatmasiwi, Laras Ningrum. Community of Common Destiny Sebagai Platform
Kebijakan Luar Negeri China dalam Proyek One Belt One Road. Departemen
Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2018.
Hurley, Jhon. Scott Morris, dan Gailyn Portelance. Examining the Debt Implications
of the Belt and Road Initiative from a Policy Perspective. Center for Global
Development. 2018.
Baderi, Firdaus. 2019. Jalur Sutera China, Berkah atau Bencana ?. Diakses dari :
http://neraca.co.id/article/112420/jalur-sutera-china-berkah-atau-bencana
Ibrahim, Farid M. 2018. Pinjaman Lunak China Kini Dikhawatirkan sebagai Jebakan
Utang. ABC Australia. Diakses dari : https://news.detik.com/abc-australia/d-
4304318/pinjaman-lunak-china-kini-dikhawatirkan-sebagai-jebakan-utang
Bhaskara, Adhi. 2019. Ekspansi Proyek OBOR China, Indonesia Diminta Waspadai
Jebakan Utang. Diakses dari : https://tirto.id/ekspansi-proyek-obor-cina-
indonesia-diminta-waspadai-jebakan-utang-dnpo
CNN Indonesia. 2019. Daftar 28 Proyek Rp 1.296 T yang Bakal Dijual ke China.
Diakses dari : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190320203641-92-
379253/daftar-28-proyek-rp1296-t-yang-bakal-dijual-ke-china
Chandran, Nyshka. 2019. Fears of excessive debt drive more countries to cut down
their Belt and Road investments. Diakses dari :
https://www.cnbc.com/2019/01/18/countries-are-reducing-belt-and-road-
investments-over-financing-fears.html

Anda mungkin juga menyukai