Anda di halaman 1dari 98

BUKU AJAR

GLOBAL VALUE
CHAIN (GVC)
Global Value Chain(GVC)

ii Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

BUKU AJAR

GLOBAL VALUE
CHAIN (GVC)

ALFIAN HIDAYAT
PURNAMI SAFITRI

Mataram University Press

Global Value Chain(GVC) iii


Global Value Chain(GVC)
Judul:
BUKU AJAR GLOBAL VALUE CHAIN ( GVC )

Penulis:
Alfian Hidayat : Purnami Safitri

Layout:
Tim Mataram University Press

Design Sampul:
Tim Mataram University Press

Design Isi:
Aysa Rahmah

Penerbit:
Mataram University Press
Jln. Majapahit No. 62 Mataram-NTB
Telp. (0370) 633035, Fax. (0370) 640189, Mobile Phone
+6281917431789
e-mail: upt.mataramuniversitypress@gmail.com
website: www.uptpress.unram.ac.id.

Cetakan Pertama, Desember 2018

Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Buku Ajar Global Value Chain (GVC)
= Alfian Hidayat : Purnami Safitri
Pustaka Bangsa, 2018
95 + XVii hlm. 15,3 cm x 23,5 cm
ISBN: Proses

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak,


sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun, tanpa izin penulis dan penerbit.

iv Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Wr, Wb.


Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan buku
ajar ini dengan baik. Buku ajar ini disusun untuk
memenuhi kelengkapan kepustakaan dan rujukan
perkuliahan pada mata kuliah Global Value Chain pada
Program Studi Hubungan Internasional Universitas
Mataram.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan
buku ajar ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati penulis ingin mengucapkan banyak
terima kasih kepada seluruh civitas akademika Prodi HI
Unram.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan buku
ajar ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
kritik dan sara serta koreksi sangat penulis harapkan
untuk kesempurnaan. Dan akhirnya buku ajar ini
nantinya dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu penge-
tahuan.
Wassalaamu’alaikum. Wr, Wb
Mataram, Juni 2017
Penulis ,

Global Value Chain(GVC) v


Global Value Chain(GVC)

IDENTITAS MATA KULIAH


1. Nama Program Studi : Ilmu Hubungan
Internasional
2. Nama Mata Kuliah : Global Value Chain
(GVC)
3. Semester/Jumlas SKS : VI / 3 Sks
4. Dosen Pembina : Alfian Hidayat S.IP MA
Purnami Safitri, S.IP
MA

vi Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

TINJAUAN MATA KULIAH


Buku ajar ini disusun untuk memperlihatkan dan
meninjau beberapa hal yang akan diungkap dalam mata
kuliah Global Value Chain. Buku ajar ini akan dibagi
menjadi enam bagian yang saling terkait.
Pada bagian pertama dipaparkan mengenai konteks
ekonomi perdagangan internasional. Bagian ini menjelas-
kan mengenai 3 hal mendasar yakni produksi interna-
sional, distribusi dan alokasi internasional. Pada bagian
kedua, Buku ajar ini akan membahas mengenai GVC
sebagai kerangka metode dalam perdagangan interna-
sional. Pada bagian ketiga, akan dipaparakan mengenai
daya saing, meliputi Up grading proses dalam rantai
produksi. Pada bab selanjutnya akan dipaparkan
mengenai sinergitas dalam kerangka metode GVC. Pada
bab kelima, buku ini akan menjelaskan bentuk
pemetaan sebagai peta jalan dalam memenangi
persaingan produksi internasional. Keenam dipaparkan
dalam buku ini mengenai beberapa contoh kasus yang
memperlihatkan proses metode GVC berlangsung di
beberapa wilayah dan beberapa sektor komoditas
perdagangan yang ada.
Pada bagian terkahir akan dimuat kesimpulan yang
berisi rangkuman atau kesimpulan bab-bab pembahasan
serta merupakan pembahasan terakhir dan penutup dari
buku ajar ini.
PETUNJUK PENGGUNAAN BUKU AJAR
Buku ajar Global Value Chain disusun untuk
membantu mahasiswa program studi S1 Hubungan
Internasional Unram dalam memahami Ekonomi Politik
Internasional khususnya mengenai Global Value Chain.
Buku Ajar ini merupakan penunjang dari mata kuliah
Global Value Chain. Mata kuliah ini merupakan mata
kuliah wajib konsentrasi dalam kajian konsentrasi
Ekonomi Politik Internasional. Pemahaman dan pengem-
bangan wacana tentang dimensi Global Value Chain
sangat penting dimiliki oleh sarjana hubungan interna-
sional dikarena intensitas dan kompleksitas isu perdaga-
ngan yang semakin kompetitif. Setelah membaca, mem-

Global Value Chain(GVC) vii


Global Value Chain(GVC)
pelajari, dan mendiskusikan buku ini, para mahasiswa
diharapkan memiliki pemahaman yang komprehensif
terhadap isu-isu perdagangan internasional.
CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KULIAH
Setelah mengikuti seluruh kegiatan perkuliahan
melalui inquiry discovery, pemeberian tugas, diskusi,
presentasi, dan mengkaji isi pesan buku ini, ini peserta
kuliah memiliki kemampuan untuk memahami dan
menganalisis metode Global Value Chain dalam pendeka-
tan ilmu hubungan internasional.
KEMAMPUAN AKHIR YANG DIPEROLEH
1. Memahami konteks Perdagangan dan ekonomi
Internasional
2. Memahami Metode Global Value Chain
3. Menjelaskan Daya Saing, Up Grading Proses
4. Menjelaskan mengenai Sinergitas
5. Menjelaskan mengenai Pemetaan dalam Kerangka
GVC
6. Menjelaskan mengenai contoh kasus penerapan GVC
sebagai sebuah metode

KA
KA 66
Menjelaskan
Menjelaskan mengenai
mengenai
contoh
contoh kasus penerapan GVC
kasus penerapan GVC
sebagai
sebagai sebuah
sebuah metode
metode

KA
KA 44 KA
KA 55
KA
KA 22 KA
KA 33 Menjelaskan
Menjelaskan Menjelaskan
Menjelaskan
Memahami
Memahami Menjelaskan
Menjelaskan Daya
Daya
Metode
mengenai
mengenai mengenai
mengenai
Metode Global
Global Saing,
Saing, Up
Up Grading
Grading Pemetaan
Value Sinergitas
Sinergitas Pemetaan dalam
dalam
Value Chain
Chain Proses
Proses Kerangka
Kerangka GVC
GVC

KA
KA 11
Memahami
Memahami konteks
konteks Perdagangan
Perdagangan dan
dan
ekonomi
ekonomi Internasional
Internasional

viii Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.........................................................i
KATA SAMBUTAN..........................................................vi
DEKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS
MATARAM.....................................................................vi
KATA PENGANTAR.......................................................viii
DAFTAR ISI....................................................................x
DAFTAR TABEL............................................................xiv
DAFTAR GAMBAR........................................................xvi
BAB I. PENDAHULUAN.............................................1
A. Definisi Gulma........................................1
B. Hubungan Ilmu Gulma dengan
Ilmu-ilmu Lain........................................3
C. Hubungan antara Gulma dengan
Jasad Pengganggu dan Organisme
Lain.........................................................4
D. Peranan Gulma dalam
Agroekosistem........................................5
1. Hubungan Gulma dengan
Tumbuhan lain..................................5
2. Hubungan Gulma dengan Jasad
Renik.................................................6

Global Value Chain(GVC) ix


Global Value Chain(GVC)
3. Hubungan Gulma dengan
Serangga Hama........................................6
4. Hubungan Gulma dengan
Serangga Berguna...................................7
5. Hubungan Gulma dengan
Mamalia Pengganggu..............................7
E. Kerugian dan Manfaat Adanya
Gulma.......................................................7
1. Kerugian Akibat Gulma......................8
2. Menurunkan kuantitas hasil
pertanian...........................................8
3. Menurunkan kualitas hasil
pertanian...........................................8
4. Sebagai inang alternatif berbagai
hama dan patogen penyebab
penyakit tanaman..............................8
5. Menimbulkan keracunan pada
tanaman............................................9
6. Menghambat pekerjaan dan
merusak alat-alat pertanian...............9
7. Mengurangi debit dan
menurunkan kualitas air...................9
8. Menghambat aliran air irigasi............9
9. Menyebabkan pendangkalan
perairan.............................................9
10. Menambah biaya produksi...............10
11. Beberapa manfaat gulma yang
telah diketahui antara lain :.............10
F. Sifat Khusus Gulma...............................12
BAB II. POTENSI GULMA DAN HIJAUAN
LAINNYA (FORAGE) SEBAGAI BAHAN
BAKU PAKAN TERNAK.................................15

x Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

A. Potensi Gulma pada Tanaman


Budidaya Sebagai Pakan Ternak...........15
B. Ragam Gulma pada Tanaman
Budidaya.................................................18
C. Gulma dan Forage Lainnya yang
Dimanfaatkan Sebagai Pakan
Ternak....................................................24
D. Kapasitas Tampung Lahan Pertanian
untuk Peternakan Sapi.........................30
BAB III. TEKNIK PEMBUATAN PAKAN TERNAK
AWETAN HAY DAN SILASE..........................35
A. Teknik Pembuatan Hay...........................35
1. Pengertian Hay...................................35
2. Proses Pembuatan Hay.......................36
3. Faktor-faktor Utama yang Harus
Diperhatikan dalam Pembutan
Hay..................................................43
B. Teknik Pembuatan Silase.......................46
1. Pengertian Silase..............................46
2. Beberapa Tahapan dalam
pembuatan silase.............................47
C. Tahapan Pembutan Silase dalam
Gambar...................................................48
D. Proses Mendapatkan Produk Hay
dan Silase Terunggul.............................50
BAB IV. TEKNIK PEMBUATAN PUPUK ORGANIK
....................................................................55
A. Pupuk Organik Padat.............................55
1. Pengertian Pupuk Organik Padat........55
2. Tahapan pembuatan pupuk
organik Padat...................................56

Global Value Chain(GVC) xi


Global Value Chain(GVC)
3. Pengumpulan dan pengolahan
bahan..............................................56
4. Pengomposan bahan........................57
5. Sortasi, pembersihan dan peng-
halusan kompos...............................57
6. Dekomposisi kompos dengan
decomposer......................................57
7. Proses Pengujian untuk Menda-
patkan Produk Terunggul.................58
B. Pupuk Organik Cair...............................66
1. Pengertian Pupuk Organic Cair........66
2. Teknik Pembuatan Pupuk Orga-
nik Cair dari Gulma dan Limbah
Pertanian.........................................68
4. Persiapan wadah tempat fermen-
tasi dan Dekomposisi.......................69
5. Pengumpulan bahan baku...............69
C. Proses Pengujian untuk Mendapat-
kan Produk Pupuk Cair Terunggul
................................................................72
DAFTAR PUSTAKA........................................................86

xii Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Beberapa jenis gula penting pada


tanaman budidaya dan perairan..........19
Tabel 2.2. Beberapa jenis gulma penting
beserta nama botanis dan nama
lokalnya...............................................21
Tabel 2.3. Nilai skor dan tingkat kesukaan
ternak sapi (palatable) terhadap
pakan hijauan......................................26
Tabel 2.4. Jenis gulma dan hijuan laiannya
(forage) yang dimanfaatkan sebagai
pakan ternak........................................27
Tabel 4.1. Bobot biomas kering tanaman (kg
m-2), nisbah pupus akar dan bobot
biji kerting tanaman (kg m-2) pada
berbag i sistem pola tanam bergilir
dan dosis pupuk oganik cair................75
Tabel 4.2. Pengaruh pola tanam dan aplikasi
dosis pupuk organik cair terhadap
pH-tanah, N-total dan C-organik
tanah...................................................78
Tabel 4.3. Pengaruh pola tanam dan aplikasi
dosis pupuk organik terhadap K-
total, P-total, dan KTK tanah................80

Global Value Chain(GVC) xiii


Global Value Chain(GVC)
Tabel 4.4. Pengaruh pola tanam dan aplikasi
dosis pupuk organik cair terhadap
serapan K oleh tanaman, efisiensi
penggunaan air (EPA) dan
kandungan air relatif pada daun
(KAR)....................................................82
Tabel 4.5. Pengaruh pola tanam dan aplikasi
dosis pupuk organik cair terhadap
populasi cacing tanah (m2) dan rata-
rata populasi bakteri per gram
tanah (Jumlah sel bakteri x106 per
gram tanah).........................................84

xiv Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Skema Hubungan antara Ilmu


Gulma dengan Ilmu-Ilmu lain
(Klingman et al., 1975)................... Error:
Reference source not found
Gambar 1.2. Hubungan antara Gulma dengan
Komponen Biotik dan Abiotok
(Klingman et al., 1975)................... Error:
Reference source not found
Gambar 3.1. Performance hay yang disimpan
selama 6 bulan (gbr. kiri) dan hay
yang disimpan selama 2 bulan (gbr.
kanan) (Ngawit dkk., 2017)............ Error:
Reference source not found
Gambar 3.2. Gulma berdaun lebar kurang baik
untuk bahan.................. Error: Reference
source not found
Gambar 3.3. Forage dari gulma kirambat tidak
baik untuk hay (gbr. kiri) dan
Gulma kacangan (Lucaena) dapat
dijadikan bahan baku untuk hay
(gbr. kanan) (Ngawit dkk., 2017)
Error: Reference source not found
Gambar 3.4. Gulma rumput-rumputan yang
terbaik untuk bahan baku hay
(Ngawit dkk., 2017)...................... Error:
Reference source not found

Global Value Chain(GVC) xv


Global Value Chain(GVC)
Gambar 3.5. Gulma jenis Clidemia sp., (gbr. kiri)dan
Borreria alata (gbr. kanan) tidak disukai
ternak dan tidak baik untuk hay (Ngawit
et al. 2017)......................................
Error: Reference source not found
Gambar 3.6. Gulma jenis Vebielia costa (gbr.
kiri)danOxalis coaniculata (gbr. kanan)
tidak disukai ternakdan tidak baik untuk
hay (Ngawit dkk., 2017)...............
Error: Reference source not found
Gambar 3.7. Gulma jenis Aalang-alang (gbr. kiri)
dan Themeda gigantean (gbr. kanan)
kurang disukai ternak saat masih
segar tetapi sangat disukai setelah
dijadikan hay (Ngawit dkk., 2017)
Error: Reference source not found
Gambar 3.8. Pemotongan forage cara modern
menggunakan alat mesin (gbr.
kanan) (Robin Odach, 2011); dan
pemotongan forage cara manual
dengan sabit (gbr. kiri) (Ngawit dkk.,
2017)............ Error: Reference source not
found
Gambar 3.9. Penjemuran manual dengan cara
gulma diikat kemudian ditumpuk di
lapang dan disang-sang, diperoleh
hasil hay buruk (Ngawit dkk., 2017)
Error: Reference source not found
Gambar 3.10. Penjemuran manual dengan cara
gulma ditebar tipis merata (gbr. kiri)
dan cara ditumpuk seperti Piramid
(gbr kanan) diperoleh hasil hay yang
cukup baik (Ngawit dkk., 2017)
Error: Reference source not found
Gambar 3.11. Forage yang dicacah sebelum dijemur tipis
Merata dengan hasil terbaik (gbr. kiri) dan
penjemuran cara pyramid dengan hasil
yang cukup baik (gbr. kanan) (Ngawit

xvi Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

dkk., 2017) ........................................


Error: Reference source not found
Gambar 3.12. Penjemuran ditebar tipis merata dengan
hasil terbaik (gbr. kiri) dan cara pyramid
dengan hasil cukup baik (gbr. kanan)
(Ngawit dkk., 2017) Error: Reference
source not found
Gambar 3.13. Pengepakan Hay dengan peralatan modern
menggunakan mesin dan alat pres (Robin
Odach, 2011) Error: Reference source
not found
Gambar 3.14. Alat pak sederhana dari papan kayu (gbr.
kiri) (Robin Odach, 2011); dan pengepakan
dengan dipres menggunakan karung goni
(gbr. kanan) (Ngawit dkk., 2017)
Error: Reference source not found
Gambar 3.15. Produk hay hasil pak sederhana
dari papan kayu yang disimpan 2
bulan (gbr. kiri) dan disimpan 6
bulan (gbr. kanan) (Ngawit dkk.,
2017).............Error: Reference source not
found
Gambar 3.16. Penyimpanan sementara hay di
lapang terbuka hanya ditutupi
dengan terpal (Robin Odach, 2011)
............Error: Reference source not found
Gambar 3.17. Penyimpanan di dalam gudang di
atas para-para memberikan hasil
terunggul (Robin Odach, 2011)
............Error: Reference source not found
Gambar 3.18. Bal-bal produk hay yang disimpan
sementara di lapang (Robin Odach,
2011).............Error: Reference source not
found
Gambar3.19. Forage yang telah dipotong-potong ,
dicampur berbagai macam bahan dan
dilayukan siap untuk diensilase (Ngawit
dkk., 2017) Error: Reference source not
found

Global Value Chain(GVC) xvii


Global Value Chain(GVC)
Gambar 3.20. Forage dan bahan campuran lainnya
yang telah diperlakukan
dimasukkan ke dalam pit silo
dengan dipadatkan agar kandungan
O2bahan sangat rendah(Ngawit
dkk., 2017)..........Error: Reference source
not found
Gambar 3.21. Pit silo ditutup rapat dengan cara dilak
ban agar tidak ada udara (O2) yang masuk
(kedap udara) (Ngawit dkk., 2017
Error: Reference source not found
Gambar 3.22. Pit silo yang telah tertutup rapat siap
dimasukkan ke dalam lubang untuk
mengalami proses ensilase (Ngawit
dkk.,2017)...........Error: Reference source
not found
Gambar 3.23. Pit silo yang telah dimasukkan ke dalam
lubang selanjutnya ditimbun dengan
tanah padat untuk proses ensilase
(Ngawit et al. 2017) Error: Reference
source not found
Gambar 3.24. Proses ensilase berlangsung sesuai
lama perlakuan (Ngawit dkk., 2017)
............Error: Reference source not found
Gambar 3.25. Panen silase setelah mengalami
masa ensilase selama satu
bulandengan cara mengangkat pit
silo (Ngawit dkk., 2017)..................Error:
Reference source not found
Gambar 3.26. Silase yang telah diangkat dari lubang pit
silo siap dibuka dan diamati hasilnya
(Ngawit dkk., 2017) Error: Reference
source not found
Gambar3.27. Proses ensilase yang kurang baik
sehingga menghasilkan silase yang
berkualitas buruk, namun masih dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak

xviii Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

(Ngawit dkk., 2017) Error: Reference


source not found
Gambar3.28. Proses ensilase yang baik menghasilkan
produk silase yang berkualitas baik,
dengan flafor wangi madu, segar, tidak
berjamur dan sangat disukai sapi (Ngawit
dkk., 2017) Error: Reference source
not found
Gambar 4.1. Limbah kandang ternak, seresah
tanaman, gulma dan limbah
pertanian lainnya yang siap
dikomposkan pada lubang tanah
(Ngawit dkk., 2017).........Error: Reference
source not found
Gambar 4.2. Kompos hasil dekomposisi limbah
kandang ternak, seresah tanaman,
gulma dan limbah pertanian lainnya
selama 28 hari (Ngawit dkk., 2017).
............Error: Reference source not found
Gambar 4.3. Kompos yang siap didekomposisi
kembali dengan decomposer untuk
mendapatkan pupuk organic yang
matang dan berkualitas (Ngawit dkk.,
2017) Error: Reference source not
found
Gambar 4.4. Tanaman kacang panjang dan
jagung yang tumbuh subur pada
tanah yang diberi pupuk organic
(Ngawit dkk., 2017).........Error: Reference
source not found
Gambar 4.5. Produk pupuk organik (Ngawit dkk.,
2017).............Error: Reference source not
found
Gambar 4.6. Pengaruh jenis decomposer dan lama
dekomposisi terhadap kadar Carbon pupuk
organik (Ngawit dkk., 2017) Error:
Reference source not found
Gambar 4.7. Pengaruh jenis biakan murni decomposer

Global Value Chain(GVC) xix


Global Value Chain(GVC)
dan lama dekomposisi kompos terhadap
kadar C/N-ratio pupuk organik (Ngawit
dkk., 2017) Error: Reference source not
found
Gambar 4.8. Pengaruh jenis biakan murni
decomposer dan lama dekomposisi
kompos terhadap kadar N (%)pupuk
organic (Ngawit dkk., 2017).............Error:
Reference source not found
Gambar4.10. Pengaruh jenis biakan murni decomposer
dan lama dekomposisi kompos terhadap
kadar K (%) pupuk organic (Ngawit dkk.,
2017) Error: Reference source not found
Gambar 4.11. Pembuatan penyangga saringan di dalam
dasar gentong dengan pipa paralon. Proses
melobangi dan memasang kaki penyangga
saringan di dalam gentong dekomposisi
(gbr 1, 2 dan 3) (Ngawit dkk., 2018)Error:
Reference source not found
Gambar 4.12. Gentong yang telah bersisi saringan
siap diisi bahan...............Error: Reference
source not found
Gambar4.13. Panen dilakukandengan cara membuka
kran penutup saluran yang ada di dasar
gentong (gbr. 7); Penampungan hasil
saringan secara bertahap (gbr. 8);
Pengemasan sementara pupuk cair yang
siap diuji di laboratorium dan lapang
Ngawit dkk., 2018)Error: Reference source
not found
Gambar 4.14. Pengaruh dosis aplikasi pupuk cair
terhadap total bobot iomassa
tanaman jagung, kacang tanah dan
padi gogo yang ditatam secara
monocrop dan bergilir (Ngawit dkk.,
2018).............Error: Reference source not
found
Gambar 4.15. Pengaruh dosis aplikasi pupuk cair

xx Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

terhadap bobot biomassa tanaman (g/m2),


nilai pupus akar (NPA) dan total bobot biji kering
tanaman (g/m2) (Ngawit dkk., 2018) Error:
Reference source not found

Gambar 4.16. Pengaruh pola tanam berglir


terhadap bobot biomassa tanaman (g/m2), nilai pupus
akar (NPA) dan total bobot biji kering tanaman (g/m2)
(Ngawit dkk., 2018) Error: Reference source not found

Global Value Chain(GVC) xxi


BAB I
KONTEKS PERDAGANGAN
DAN
EKONOMI INTERNATIONAL

Kompetensi Akhir Yang Diperoleh


Setelah mempelajari, membahas, mengkaji dan
mendiskusikan isi bab ini, mahasiswa diharapkan memi-
liki kemampuan untuk dapat memahami pemaknaan
dan skup perdagangan dan ekonomi internasional
A. Pengantar
Untuk memahami pendekatan Global Value Chain
(GVC) sebagai sebuah alternatif dari kompetisi perdaga-
ngan internasional, terlebih dahulu untuk melihat
konteks ekonomi dan perdagangan internasional itu
sendiri. Untuk memhami hal tersebut sekiranya ada 3
hal yakni sistem produksi internasional, sistem distribusi
internasional dan alokasi internasional. Pada sistem
produksi, kita akan memperlihatkan bagaimana produk-
si internasional dihadapkan pada 3 wajah yakni, MNC,
Negara dan Globalisasi. Pada distribusi internasional,
dihadapkan pada wajah perdagangan yang sangat
proteksionis, serta wajah rezim perdagangan itu sendiri
yakni WTO. Dan pada alokasi dihadapkan pada wacana
mengenai bagaimana pengelolaan keuangan itu berjalan.
Global Value Chain(GVC)
B. Konteks Produksi Internasional : Fordism, MNC
dan Negara
Waters (1995) dalam artikelnya yang berjudul
Wither The State? Globalizing Politics (1995), menjelaskan
bahwa globalisasi menjadi suatu ancaman bagi negara
karena memperlemah dominasinya. Globalisasi justru
melahirkan aktor baru yang menggeser peran
pemerintah seperti Multinational Corporation (MNC),
International Govermental Organization dan non-
governmental organization. Waters (1995) menjelaskan
tentang posisi negara yang diperlemah akibat adanya
globalisasi dengan mengadopsi pemikiran Held (1991
dalam waters 1995) yaitu (1) meningkatnya hubungan
ekonomi dan budaya yang mereduksi kekuatan negara.
Sehingga kontrol pemerintah dalam kebijakan internal
menjadi tidak efektif; (2) munculnya kekuatan baru
seperti aktor non-negara dianggap lebih memiliki
kekuatan dibanding pemerintah. Jadi, berdasarkan
pemikiran tersebut jelas bahwa kontur dan postur
negara dalam globalisasi melemah akibat munculnya
berbagai sistem maupun kekuatan baru akibat hasil dari
fenomena globalisasi (Lutfiana, 2014).
Pada dasarnya konteks produksi internasional saat
ini, diwarnai dengan hadirnya sistem produksi masal
yakni fordisme. Fordisme merupakan sistem produksi
barang dan jasa yang dipelopori oleh Hendry Ford,
dikembangkan oleh Frederick Charles Taylor. Pada tahun
1903 Henry Ford mulai mengembangkan inovasi
produksi mobil Ford. Namun baru disahkan menjadi
sistem produksi tahun 1908, dan menjadi tonggak awal
revolusi dunia manufaktur produksi massa. Sistem ini
diadopsi untuk memproduksi barang industri yang
kompleks
Sistem produksi fordisme dapat dilihat dari beberap
ahal dibawah ini :
Mekanisme Assembly line yakni pembagian kerja
dalam satu koordinasi. Ini merupakan bentuk dari
efisiensi waktu yang pada saat itu terisnpirasi oleh
rumah pemotongan hewan, yang menerapkan model
pemotongan dengan mekanisme ini. Assembly stages-to
make the parts fit prior to Assembly. Selanjutnya yakni

2 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

standarisasi produksi, mekanisme ini mengisyaratkan


adanya standarisasi dai setiap produk yang pada
akhirnya membawa kepada hasil produksi yang sesuai.
Saat ini standarisasi merupakan hal yang utama dalam
memproduksi produk. Kemudian Spesialisasi keahlian
produksi bagi pekerja dan proses otomatisasi dengan
menggunakan mesin lebih besar dibndingkan dengan
tenaga manusia sehingga menghasilkan Produksi missal.
Revolusi ini menimbulkan lompatan besar bagi
kemajuan produksi barang dan jasa pada massa itu.
Fordisme mencapai puncak kejayaannya, namun
sekaligus menjadi titik kehancurannya. pada tahun 1973
terjadi krisis minyak dunia, kemerosotan industri mobil
AS dan bangkitnya sistem produksi Toyota. Pada sisi lain
Fordisme secara politik di dukung oleh embended
liberalism (keynessian) dengan Mengoptimalkan
partisipasi negara dalam perekonomian domestik.
Perluasan sistem produksi melahirkan aktor baru
dalam sistem produksi internasional yakni Multi National
Corporation (MNC). Pada dasarnya, definisi mengenai
MNC atau Perusahaan multi Nasional (PMN) beragam,
yang tidak hanya melihat dari sisi aktifitasnya saja,
tetapi juga bagaimana dan siapa aktor yang mengope-
rasikannya. Secara umum, MNC atau PMN dipahami
sebagai suatu korporasi atau organisasi ekonomi yang
melibatkan diri dalam kegiatan produktif di dua atau
lebih negara. Sedangkan Dicken (2007: 106) mengaju-
kan definisi bahwa MNC atau perusahaan transnasional
adalah suatu korporasi, firma yang memiliki kapasitas
koordinasi dan kontrol operasi atau aktifitas perusahaan
di lebih satu negara. Atau dengan lebih sederhana, PMN
diartikan sebagai suatu perusahaan atau korporasi yang
memproduksi barang di lebih dari satu negara melalui
pendirian cabang-cabang di luar negeri namun diawasi
atau dikontrol di negara utama yang menjadi markas
besaranya (head office). Dicken (ibid.,) juga memaparkan
tiga karakteristik utama PMN/PTN:
1. Kapasitasnya untuk melakukan koordinasi dan
kontrol terhadap berbagai proses dan transaksi dalam
jejaring produksi transnasional, baik di suatu negara
maupun dalam negara yang berbeda.

Global Value Chain(GVC) 3


Global Value Chain(GVC)
2. Kapasitas potensialnya untuk mengekstraksi keun-
tungan dari perbedaan geografis dalam distribusi
faktor produksi (misal sumber daya alam, kapital dan
buruh) maupun dalam sektor kebijakan negara
(kebijakan mengenai pajak, hambatan perdagangan,
kuota, subsidi, dan lain sebagainya.
3. Potensi fleksibilitas geografis yakni kemampuan
untuk memindahkan sumber daya dan produksinya
dalam skala internasional maupun global.
Pada umumnya, meski operasi PMN melingkupi
banyak negara atau berskala internasional, biasanya
markas besar mereka berada di negara asal. Perusahaan
ini melakukan ekspansi ke seluruh dunia dengan
berbagai cara, misalnya sebagaimana yang telah
disebutkan, melalui FDI yakni keterlibatan langsung
dalam kegiatan produktif di luar negeri berupa pendirian
pabrik; atau internasionalisasi investasi tidak langsung
atau internasionalisasi finansial dan upaya-upaya
korporat lainnya, seperti merger, akuisisi, joint venture,
stock sharing dan lain sebagainya.
Perdebatan mengenai PMN dalam studi internasio-
nal dimulai pada awal dekade 1980-an. PMN bukanlah
suatu bentuk aktifitas korporasi yang baru karena cikal
bakan MNC dapat ditelusuri sejak tahun 2000 SM, yakni
pada masa kerajaan Asiria hingga pada masa Yunani
Kuno dan zaman kekaisaran Roma. Namun perhatian
terhadapnya dimulai dari fenomena perkembangannya
yang pesat.
Pertumbuhan PMN bermula pada awal pertengahan
abad ke-19 (1880-1914) dan tumbuh dengan kecepatan
eksponensial mulai pada decade 1980-an. Pada decade
1990-an, tercatat sekitar 37 ribu PMN yang mengendali-
kan sekitar 170 ribu organisasi yang terafiliasi (Hirst &
Thompson, 1996, dalam Winarno, 2007: 99). Dan pada
tahun 2004, UNCTAD (United Nations Conference on
Trade and Development), mencatat ada sekitar 61.000
PMN yang memiliki lebih dari 900.000 organisasi yang
terafiliasi. Namun dari data-data tersebut, tercatat juga
bahwa sekitar 70 persen bermarkas atau dikendalikan
dari empat belas negara maju anggota OECD, dan 90
persen bermarkas di negara-negara maju (Ruigrok,

4 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

dalam Stubbs & Underhill (ed), 2006: 198). Bersamaan


dengan pertumbuhan PMN tersebut, aliran FDI pun
semakin tinggi melintasi batas negara. Sejak tahun
1980-an, pertumbuhan FDI atau PMA-langsung
mencapai 28,9 persen pertahun dan terus tumbuh sejak
tahun 1990-an. Pertumbuhan aliran atau aktifitas PMA-
langsung ini sangat pesat dan tinggi yang bahkan
diperkirakan tiga hingga tujuh kali lebih besar dari
volume perdagangan dunia dan telah berperan utama
dalam mengintegraskan ekonomi dunia (Froot, 1993
dikutip oleh Mas’oed, 1997: 4).
Tetapi data statistik yang dapat disebut sebagai
capaian PMN itu melahirkan persoalan lain. Data yang
ditunjukkan Ruigrok misalnya melihat bagaimana
ekspansi PMN mengarah pada bentuk monopoli dan
konsentrasi kekayaan. Pada tahun 2004 misalnya, ada
sekitar 100 PMN besar dunia atau sekitar 0,2 persen dari
total PMN dunia mengontrol dan menguasai sekitar 14
persen total perdagangan dunia, 12 persen kepemilikan
terhadap asset global, dan memperkerjakan sekitar 13
persen dari total buruh dunia. Selain itu, aliran PMA-
langsung yang sekiranya dapat menjadi poin penting
dalam proses pembangunan di negara dunia ketiga
justru hanya menerima 15 persen dari total aliran PMA-
langsung dunia, bahkan negara-negara yang paling
terbelakang yang sebenarnya sangat membutuhkan
investasi hanya menerima sangat sedikit aliran investasi
global ini. Aliran PMA-langsung itu pada kenyataannya
hanya terkonsentrasi di negara-negara maju, yakni
Amerika Serikat yang menempati ranking pertama, Cina
pada posisi ke dua, dan negara-negara industri lainnya.
Kenyataan ini menguatkan asumsi kelompok yang
pesimis terhadap MNC yang menyatakan peranan MNC
dalam pembangunan negara berkembang kerap dilebih-
lebihkan oleh pendukuknya. Pada kenyataannya,
kehadiran MNC justru mempertegas dan meningkatkan
kesenjangan ekonomi secara global.
Penjelasan secara sederhana diatas, MNC merupa-
kan sebuah aktor dalam sistem produksi internasional
saat ini yang paling dominan. Penguasaan teknologi,
sumber daya manusia serta sumber pendanaan yang

Global Value Chain(GVC) 5


Global Value Chain(GVC)
besar. Hal inilah yang kemudian memberikan negara
efek inferioritas terhadap MNC.
Kondisi diatas kemudian menunjukkan 3 wajah
negara dalam konteks sistem produksi global. pertama,
Negara yang menguasai rantai global (Teknologi, SDM
,Modal). Kedua, Negara yang tidak memiliki SDM namun
teknologi mereka maju dan ketiga, Negara yang tidak
memiliki teknolgi, modal dan SDM
C. Sistem Distribusi Internasional
Point utama dalam mengupas sistem distribusi
internasional adalah bagaimana model aturan main itu
berlangsung? Isu yang terkait dengan hal tersebut
adalah proteksionisme dan rezim perdagangan global.
Berbicara mengenai isu dalam ekonomi internasional
kita akan dihadapakan pada satu isu yang paling
menarik untuk dbicarakan yakni masalah
proteksionasime dalam perdgangan internasional.
Berikut pernyataan mengenai pedagangan yang
diungkapkan oleh
David Ricardo : “Kemakmuran bersama dua atau
lebih negara akan semakin besar bila perdagangan bebas
berlangsung diantara mereka ; dari pada bila keduanya
menerapkan kebijakan pembatasan terhadap perdagang-
an dan hanya memproduksi untuk kebutuhannya
sendiri”. Inilah yang kita sebut sebagai isu yang
menarik, walaupun argument Ricardo mengenai pedaga-
ngan begitu mearik tetapi tidak lepas dari banyak
masalah.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an, Negara-negara
industri menghadapi berbagai masalah dalam perdaga-
ngan. Secara umum diakui bahwa perdagangan
internasional menimbulkan berbagai konflik kepentingan
yang harus didamaikan demi terciptanya ekonomi politik
internasonal yang fungsional dan menguntungkan,
diantaranya persoalan Proteksionis. Dengan kata lain,
kebijakan perdagangan masih merupakan isu yang
menjadi pertikaian yang serius diantara negara-negara
industri. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi
mereka semakin tergantung pada kegiatan perdagangan.
Lalu apa itu proteksionisme yang dimaksudkan
sebagai sebuah hambatan yang serius dalam perdaga-

6 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

ngan internasional saat ini. proteksionisme merupakan


Kebijakan suatu negara dalam perdagangan internasio-
nal untuk melindungi industri dalam negeri akibat
adanya impor dari negara lain atau dengan sederhana
yakni menghalangi masuknya barang impor ke suatu
negara. Tentunya ini menjadi dilemma karena hakikat
perdagangan yang sehusnya saling menguntungkan
berbalik menjadi sebuah saran untuk menjatuhkan
dalam dimensi perdagangan. Tujuannya adalah
memberlakukan proteksionisme adalah memberi ruang
untuk bernapas industri domestik ketika kondisi pasar
berubah atau ketika adanya kompetitor baru di pasar
dalam negeri. Proteksionis ini memberi waktu kepada
industri dalam negeri untuk beradaptasi dengan
lingkungan pasar yang berubah.
Selanjutnya bagiamana proteksionisme ini menjadi
semakin meningkat pada tahun 1970-an dan 1980-an?.
Setidaknya kita dapat melihati beberap hal pertama,
menyangkut Peran AS sebagai negeara hegemon.
Proteksionisme itu berkembang karena AS tidak bersedia
menanggung beban kepemimpinan hegemonik.
Hegemoni politik dan ekonomi AS telah merosot akibat
peningkatan pengaruh politik dan ekonomi negara-
negara dalam Uni Ekonomi, Jepang dan Negara-negara
Industri Baru. Pada tahun 1970-an negara-negara Eropa
Barat semakin enggan menerima pasar bebas sebagai
patokan praktek pertukaran. Hal ini didasari dengan
suatu asumsi bahwa dengan diterapkannya pasar bebas
maka yang akan diuntungkan dalam hal ini hanya yang
melakukan hegemoni (AS) dan negara-negara lain tidak
mungkin untuk melakukan persaingan. Atas dsar demi
mendukung perekonomian yang akan tumbuh, negara-
negara Eropa Barat dengan terpaksa menerapkan
kebijakan perdagangan proteksionisme. Kedua
dikarenakan oleh Peningkatan harapan di kalangan
kelompok-kelompok yang diuntungkan maupun yang
dirugikan oleh perdagangan, dan dari negara yang
dipaksa untuk mengelola perdagangan sehingga sesuai
dengan bagian-bagian lain dari ekonomi. (Mohtar
Maso’oed, 1997)

Global Value Chain(GVC) 7


Global Value Chain(GVC)
D. Betuk Proteksionisme.
1. Tarif, Bea Impor atau Pajak-pajak Impor Lainnya.
Hal ini dirancang untuk memperbesar harga beli
barang-barang impor secara relatif terhadap harga
barang buatan dalam negeri. Bila sebuah mobil kecil
Jepang seharusnya dijual dipasar Amerika $200 lebih
murah dari pada mobil dalam kelas yang samabuatan
Amerika, pengenaan pajak impor $300 terhadap mobil
Jepang, itu akan menaikkan angka penjualan produk
Amerika dan menurunkan angka penjualan impor.
2. Pemberlakuan Pajak Preferensial bagi Produsen
Domestik.
Salah satu alasan mengapa impor menjadi
ancaman bagi para produsen domestik adalah adanya
berbagai perbedaan tingkat investasi modernisasi di
setiap negara. Bila suatu industri di negara A terus saja
menghasilkan suatu komoditas dengan sarana-sarana
sudah tidak up to date, harga komoditi itu akan terlalu
tinggi. Apabila pada saat itu industri yang sama di
negara B sudah menerapkan berbagai sarana produksi
inovatif, maka ia mampu untuk menekan harga sehingga
mmpu untuk memasuki pasara domestik A. Tanggapan
rasional negara A adalah melakukan investasi secara
besar-besaran dalam teknik-teknik produksi modern dan
mencoba sekali lagi untuk mengungguli efisiensi
produsen negara B. Tetapi bila investasi ini mengurangi
keuntungan pemegang saham sementara, penjualan
terdesak, investasi ini memerlukan insentif. Biasanya,
insentif yang diinginkan industri itu adalah
pemberlakuan pajak preferensial untuk para produsen
disektor tertentu, agar mereka dapat mengalihkan dolar
yang seharusnya menjadi setoran pajak, ke upaya
peningkatan produksi.
3. Pembatasan dan Larangan Impor.
Mekanisme ini, yang secara terang-terangan
mencegah atau membatasi impor komoditi yang menga-
0ncam, hampir selalu mengakibatkan keretakan hubu-
ngan antar negara yang bersangkutan. Ini merupakan
tindakan sepihak tanpa ada kompromi yang sangat
merusak hubungan internasional, walaupun barangkali
ini bisa dimaklumibila dilakukan dalam kondisi men-

8 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

desak. Dampaknya terhdap kebijakan ketenaga kerjaan,


investasi negara yang menjadi korban tercipta seketika
dan sangat parah, sehingga dapat memancing pembalas-
an ekonomi dan eskalasi berikutnya.
4. Pembatasan Izin dan Iklan.
Merupakan sarana yang lebih halus untuk
mengurangi ancaman persaingan impor dari para
saingan asing di pasaran domestik. Para importir
domestik dilarang mengimpor barang-barang tertentu
dari beberapa atau semua negara. Hal ini bisa berakibat
para eksportirnya pun akan dihambat oleh negara lain
untuk menjual barangnya di pasaran mereka.
Pembatasan iklan juga mampu melawan ancaman
produk asing. Karena, meskipun produk asing diizinkan
masuk, produk-produk tidak laku bila iklannya dibatasi.
5. Peraturan Produksi.
Langkah ini dimaksudkan untuk menagkal persai-
ngan penjualan yang diwujudkan berupa penetapan
standar secara ketat terhadap produk dan produksi, baik
yang dijual dalam pasar impor maupun yang tidak.
Umumnya, ini dikenakan pada imporbahan pangan;
biasanya berupa penetapan standar kesehatan umum.
Dalam industri mobil, proteksi acapkali diberlakukan di
Amerika Serikat untuk melindungi para pabrikan
domestik, caranya adalah menaikkan secara tiba-tiba
standar keamanan lingkungan yang membuat ribuan
mobil impor tak dapat dijual, serta harus dirancang
ulang dan ditarik kembali ke negara asalnya. Alat-alat
proteksi ini hanya berlaku dalam hubungan ekonomi
antar negara secara bilateral, dan tidak banyak
mempengaruhi hubungan antar kelompok negara
Selain bentuk diatas yang mampu direduksi dalam
perdagangan internasional, muncul bentuk baru dalam
proteksionisme perdagangan internasional. Penggunaan
isu-isu non trade-seperti kesehatan, agama, perlindung-
an buruh, dan lingkungan-menunjukkan bagaimana
proteksionisme masih dan kemungkinan akan terus
menjadi underlying issues dalam perdagangan antar
negara. Proteksionisme tidak akan benar-benar hilang
karena hal ini sudah menjadi naluri negara untuk
melindungi dirinya. Hambatan perdagangan non tarif

Global Value Chain(GVC) 9


Global Value Chain(GVC)
bisa menjadi bentuk proteksionisme yang terselubung
yang berusaha dilakukan oleh negara-negara untuk
melindungi kepentingan nasionalnya. Salah contoh
berkaitan dengan isu lingkungan, muncul sebuah
wacana baru bahwa isu lingkungan telah dijadikan
negara-negara sebagai dasar atas penerapan regulasi
yang panjang dan berbelit ketika suatu produk akan
masuk ke negaranya. Biasanya negara besar terutama
AS menerapkan sebuah standar ramah lingkungan yang
harus dipenuhi oleh produk-produk yang akan masuk ke
negaranya. Jika sebuah produk tidak memenuhi
standar, maka AS akan menolak produk tersebut.

10 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

BAB 2
GLOBAL VALUE CHAIN :
SEBUAH METODE

Kompetensi Akhir Yang Diperoleh


Setelah mempelajari, membahas, mengkaji dan
mendiskusikan isi bab ini, mahasiswa diharapkan
memiliki kemampuan untuk dapat memahami kerangka
metode global value chain dalam perdagangan interna-
sional.
A. Pengantar
Persoalan GVC tidak dapat dilepaskan dari
pembahasan mengenai globalisasi, karena studi GVC
lahir sesungguhnya tidak hanya sebagai suatu cara
pandang terhadap globalisasi namun juga sebagai studi
untuk merespon globalisasi yang diasumsikan sebagai
suatu proses yang inexorable atau sesuatu yang tidak
bisa ditawar. Namun sebelum jauh membahas mengenai
GVC ada baiknya pemahaman dimulai dengan pengerti-
an mengenai globalisasi itu sendiri.
Sejak tahun 1990-an, wacana globalisasi menjadi
tema sentral dalam perdebatan hubungan internasional.
Globalisasi menjadi buzzword dalam analisa berbagai
perubahan yang terjadi dalam konteks global. Tetapi
globalisasi sesungguhnya tidak memiliki makna maupun
pengertian yang baku, atau dengan kata lain belum
adanya kesepakatan mengenai definisi globalisasi itu

Global Value Chain(GVC) 11


Global Value Chain(GVC)
sendiri. Pada umumnya, para penstudi globalisasi
cenderung mendefinisikan globalisasi dengan lebih
menekankan aspek-aspek tertentu yang dipentingkan
menurut minat dan fenomena yang hendak dijelaskan,
sementara pada saat yang sama cenderung mengabaikan
aspek-aspek yang lain (lih. Budi Winarno:2004).
Diantara beragamnya pengertian mengenai globali-
sasi, dalam tulisan ini akan dikemukakan tiga pandang-
an utama mengenai globalisasi, yakni hiperglobalis,
skeptis dan moderat.
Globalisasi adalah buah dari revolusi teknologi,
dimana dunia memasuki era baru yang disebabkan
karena perkembangan teknologi transportasi dan
komunikasi sehingga menyebabkan dunia mengalami
apa yang disebut sebagai fenomena ‘penyempitan atau
pemampatan dunia’ (flattening world). Bagi Thomas L.
Friedman dalam bukunya The Lexus and the Olive Tree,
konsekuensi globalisasi adalah hilangnya halangan
terhadap aliran barang, jasa, kapital, informasi maupun
mobilisasi manusia di seluruh dunia. Integrasi pasar
global adalah wujud nyata globalisasi, maka siapapun
yang berusaha mencegahnya dengan masih menerapkan
restriksi perdagangan global, diibaratkan seperti
pemburu yang memasang jebakan untuk dirinya sendiri
(pandangan hiperglobalis).
Kelompok hiperglobalis meyakini bahwa globalisasi
menguntungkan semua pihak, selama ia terbuka
terhadap proses globalisasi itu sendiri. Bagi kelompok
ini, satu-satunya cara meraih manfaat dan mendapatkan
keuntungan globalisasi adalah menerapkan sistem
ekonomi pasar dan menerapkan kebijakan yang
dianggap market friendly, yakni liberalisasi, deregulasi
dan privatisasi. Kelompok hiperglobalis mengingatkan
meski globalisasi menguntungkan, namun secara
mendasar ada dua kelompok aktor dalam globalisasi,
yakni sang pemenang (the winner) dan sang pecundang
(the loser). Agar tidak menjadi pecundang, negara harus
terbuka terhadap mekanisme ekonomi pasar,
sebagaimana yang telah disebutkan.
Kelompok skeptis memandang secara berbeda
terhadap globalisasi. Bagi kelompok ini, globalisasi tidak

12 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

boleh hanya diartikan sebatas fenomena atau proses


yang bebas nilai(value free) dan hadir dengan sendirinya
(sui generis). Bagi kelompok ini, globalisasi bukanlah hal
yang baru karena perdagangan antar dunia telah dimulai
sejak berabad-abad yang lalu.Bahkan perdagangan
global di masa lampau jauh lebih baik dibandingkan
globalisasi masa kini, yang dinilai sebagai suatu proyek
ideologisasi ekonomi pasar Barat yang dipenuhi dengan
praktek-praktek neo-merkantilis dan bercorak imperialis.
Kelompok skeptis berargumen bahwa globalisasi
sebagai sebuah proyek ideologi liberalisasi ekonomi
dimana pelakunya baik negara maupun individual
semakin intens terintegrasi ke dalam kekuatan pasar
(Lihat P. McMichael dalam Development and Social
Change: 2000; P. Hirst and G. Thompson dalam
Globalization in Question: 1996) Dengan kata lain,
globalisasi bukanlah sesuatu yang terjadi secara
alamiah, tetapi lebih diartikan sebagai suatu proyek
integrasi global yang berbasis pada aturan pasar (P.
McMichael dalam Development and Social Change, 2000).
Maka, dapat dipastikan siapa yang menjadi pemenang
dan siapa yang menjadi pecundang. Para skeptis
tentunya meyakini bahwa globalisasi merupakan desain
proyek sang pemenang sebagai suatu mekanisme yang
melanggengkan eksploitasi para negara imperialis, yakni
Amerika dan negara kaya Barat. Hal ini dapat dilihat dari
bagaimana sang pemenang menerapkan standar ganda
liberalisasi ekonomi, misalnya AS terbukti melakukan
kebijakan proteksionisme dalam sektor tertentu, namun
pada saat yang sama justru mendesak negara
berkembang melakukan liberalisasi secara masif.
Pandangan terakhir, yakni pandangan moderat
yang sebenarnya masih dapat dikategorikan sebagai
perspektif liberal namun juga dapat dikatakan tidak
‘senaif’ kelompok hiperglobalis yang mengandaikan
globalisasi menguntungkan semua pihak dengan
prasyarat ekonomi pasar,namun juga tidak se-pesimis
kelompok skeptis dimana globalisasi dianggap sebagai
proyek ideologis nan ambisius kelompok negara Barat.
Pandangan prinsipil kelompok moderat, adalah
globalisasi merupakan suatu proses dan bagian dari

Global Value Chain(GVC) 13


Global Value Chain(GVC)
fenomena yang menyejarah. Kelompok ini menolak
gagasan hiperglobalis yang menyatakan bahwa dalam era
globalisasi, peran negara tidak lagi dibutuhkan.
Minimalisasi peran negara oleh kelompok hiperglobalis
dinyatakan sebagai suatu keniscayaan untuk
mendukung integrasi pasar global; karena batas-batas
artifisial yang dibuat negara yakni bea, pajak, kuota
ataupun instrument proteksionisme kian tidak relevan.
Kelompok moderat mengakui bahwa disamping
manfaatnya, globalisasi juga membawa persoalan-
persoalan baru.Adanya perbedaan daya respon terhadap
globalisasi diyakini sebagai salah satu penyebab tidak
meratanya ekses-ekses positif globalisasi bagi setiap
individu, kelompok bahkan negara bangsa. Integrasi dan
keterbukaan ekonomi yang masif tanpa didukung oleh
kemampuan merespon perubahan hanya akan
membuahkan buah pahit globalisasi.
Pada dasarnya, globalisasi dan integrasi ekonomi
telah merubah struktur relasi perdagangan internasional
dan organisasi internasional. Mendapatkan keuntungan
dari globalisasi memastikan kemampuan yang memadai
dalam hal kompetisi, yakni kemampuan industrial baik
dalam hal inovasi dan strategi produk, marketing, dan
lain sebagainya. Kemampuan ini merupakan penentu
kapasitas atau daya saing aktor dalam globalisasi dan
penentu apakah ia bisa menjadi pemenang ataukah
sebaliknya.
Kompetisi dalam globalisasi bukanlah sesuatu yang
bersifat taken for granted atau alamiah. Bagaimanapun
juga ada suatu struktur yang bersifat asimetris, baik itu
menyangkut kekuasaan atau kepemilikan sumber daya
dan kapasitas atau daya saing.Terintegrasi secara global
membutuhkan suatu kapasitas agar dapat bersaing
secara setara. Oleh karenanya, kelompok moderat
menyatakan bahwa pemupukan kapasitas daya saing
tidak lah datang dengan sendirinya, namun justru
membutuhkan asistensi peran negara yang efektif, baik
berupa kebijakan, penyediaan infrastruktur, sistem
proteksi, dan lain sebagainya.

14 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

B. Global Value Chain


Secara sederhana, studi rantai nilai merupakan
suatu studi yang digunakan dalam studi ekonomi.
Rantai nilai pada dasarnya merupakan suatu konsep
yang menggambarkan rentang aktifitas untuk
menghasilkan suatu produk ke konsumen, yang
melibatkan berbagai fase produksi, baik mulai dari fase
perencanaan (konsepsi) hingga pada fase konsumsi.
Rentang aktifitas yang dimaksud bermula baik dari
desain, produksi, pemasaran, penyimpanan atau logistik
hingga pada aktifitas distribusi produk kepada para
konsumen. Rentang aktifitas ini pun bisa dilakukan
dalam suatu firma atau bahkan tersebar atau
terdistribusi kepada beberapa firma yang berbeda. Dalam
setiap rentang aktifitas ini terdapat nilai yang berbeda,
yang dapat ditingkatkan melalui proses upgrading dan
setiap firma dapat berada pada satu rantai nilai. Dengan
demikian, rantai nilai tidak saja mengenai bagaimana
menghasilkan produk secara efisien dalam dalil ekonomi
umum, namun juga bagaimana menjadikan suatu
produk kompetitif dengan mempertimbangkan
pertambahan nilai dalam setiap rentang aktifitas
produksi dengan tujuan akhir, tentunya profit.

Gambar 1: Struktur Rantai Nilai Sederhana

Global Value Chain(GVC) 15


Global Value Chain(GVC)
Dalam gambar 1 mengenai struktur rantai nilai
sederhana, terdapat pembagian beberapa sektor aktifitas
yang disebut dengan rantai nilai. Setiap rantai nilai
terdiri dari beberapa rentang aktifitas, misalnya rantai
nilai produksi terdiri dari penyediaan logistic (bahan
baku), transformasi bahan baku hingga pada proses
pengemasan. Dalam struktur rantai nilai yang
sederhana, biasanya satu rantai nilai dengan rantai nilai
yang lain memiliki hubungan one-way nature atau
memiliki hubungan pengaruh satu jalan yakni suatu
rentang aktifitas dapat memengaruhi rentang aktifitas
dalam struktur rantai nilai tersebut. Namun kemudian,
hubungan pengaruh antar rentang aktifitas justru
bersifat dua arah (two-way nature), misalnya perubahan
dalam aktifitas desain tidak saja berpengaruh terhadap
sifat atau bentuk (nature) proses produksi dan
pemasaran, namun kerap perubahan dalam sektor atau
rantai desain juga dipengaruhi perubahan atau batasan
(constrain) pada sektor hilir, misalnya berkaitan dengan
perubahan selera konsumen, struktur regulasi, dan lain
sebagainya.
Sedangkan dalam struktur rantai nilai yang lebih
kompleks, setiap rantai nilai memiliki tautan (link)
dengan mata rantai nilai yang lain, baik secara interen
(intra-chain) maupun secara eksteren (extra-chain). Dalam
gambar 2, misalnya dapat dilihat struktur rantai nilai
yang cukup kompleks dalam industri furniture.
Katakanlah dalam suatu industri furniture, rantai
aktifitas terjadi mulai dari pengadaan peralatan mesin,
pengadaan bahan baku melalui sektor kehutanan
(forestry) pemrosesan bahan baku melalui sektor
penggergajian dan pemotongan kayu, tahap transformasi
dan produksi produk melalui sektormanufaktur hingga
pada tahap distribusi produk kepada konsumen setelah
melalui fase intermediari. Tetapi, dalam struktur rantai
nilai yang kompleks, setiap rantai nilai atau rantai
aktifitas ini memiliki keterkaitan (link) dengan sektor
industri yang lain. Misalnya saja, dari sektor kehutanan
dapat melibatkan industri yang memiliki kompetensi
pengadaan benih. Sektor pengadaan benih dapat
merupakan bagian dari firma yang sama atau bisa juga

16 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

berasal dari firma yang berbeda (extra-chain). Begitu pula


dengan aktifitas pemupukan dan pengairan hingga pada
jasa perawatan pohon yang menjadi bahan baku
furniture. Lalu kemudian pada tahap manufaktur, input
bahan baku didapatkan dari rantai kehutanan, namun
juga proses transformasi bahan baku melibatkan rantai
yang lain juga, baik itu desain produk, ataupun sektor
jasa konsultasi kualitas produk. Dalam rantai nilai yang
kompleks ini, perubahan yang terjadi pada satu rantai
dapat memengaruhi beberapa sektor rantai atau bahkan
mengubah struktur rantai nilai itu sendiri.
Lalu bagaimana memahami GVC? Penjelasan
mengenai rantai nilai diatas pada dasarnya juga
merupakan penjelasan mengenai GVC secara seder-
hana.Dalam rantai nilai konvensional, semua rentang
nilai ini terjadi dalam satu firma atau dalam berbagai
firma dengan skala lokal dan regional. Sedangkan dalam
GVC, rentang aktifitas produksi ini tersebar secara
global. Setiap aktor memiliki peran dalam setiap atau
beberapa rentang aktifitas atau rantai nilai produksi
suatu produk.

Global Value Chain(GVC) 17


Global Value Chain(GVC)

Gambar 2: Rantai Nilai pada Industri Furniture


Dengan pemahaman ini, setiap aktor dalam suatu
rantai aktifitas memiliki peluang untuk meningkatkan
nilai tambah produk mereka agar berada pada posisi
rantai nilai yang lebih menguntungkan. Namun tentunya
diingat, bahwa setiap rentang dan setiap aktifitas
berkaitan dengan struktur rantai nilai pada sektor yang
berbeda. Hal ini pula menjadikan rantai nilai sebagai
sesuatu yang dinamis.
Untuk lebih memahami secara sederhana, katakan-
lah industri furniture itu bersifat global. Secara konven-
sional, suatu firma dapat saja melakukan semua
aktifitas di semua rantai nilai itu atau secara sederhana
firma itu menguasai mulai dari sektor hulu hingga hilir.
Dalam GVC, setiap rantai dikuasai atau dilakukan oleh

18 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

setiap firma yang berbeda di lokasi yang berbeda.


Misalnya saja, rantai forestry di Indonesia, manufaktur
juga di Indonesia namun desain dilakukan di negara lain
yang menjadi pemesan, misalnya AS atau Eropa. Hingga
pada tahap intermediary, dapat dilakukan oleh aktor
yang berbeda misalnya melalui industri brand. Dalam
GVC, diyakini bahwa setiap rantai ini pada dasarnya
kompetitif dan memberikan peluang manfaat jika para
aktor dapat memiliki kapasitas untuk menambah nilai.
Misalnya saja dari sektor kehutanan, tidak saja
menyediakan bahan baku tetapi juga menyediakan kayu
potong yang memiliki nilai tambah lebih baik.
Aliran GVC—konsep-konsep utama:
 I2P: Importing to produce: aktifitas import barang
intermediate sebagai input produksi termasuk
bahan mentah dan jasa
 I2E: Importing to Export: barang intermediate yang
berasal import digunakan untuk memproduksi
barang yang kemudian diekspor.
 Value added trade: perdagangan dengan komoditas
yang memiliki pertambahan nilai: I2E merupakan
konsep yang berulang sehingga perhitungan ganda
mungkin dibutuhkan
 Barang intermediate yang diimpor oleh suatu negara
(pihak pertama) biasanya berasal dari negara mitra
yang juga dalam barang tersebut terkandung unsur
import barang intermediate dari negara pihak
ketiga, atau bahkan dari negara pihak pertama.
 Ketika pengulangan proses terjadi secara penuh,
maka asal dari input faktor utama eksport dapat
diidentifikasi

GVC atau global value chain dikembangkan oleh


peneliti Inggris dari Institut Studi Pembangunan (The
Institute Development Studies). Gary Gereffi mengguna-
kan konsep GVC untuk mensimplifikasi pemahaman
mengenai integrasi ekonomi global—globalisasi—
terutama pada sektor industri peripheral dan negara
berkembang (Gereffi:1994,1999,2003; Sturgeon: 2001;
Schmitz: 2004; Schmitz, Knorringa:1999).
Upaya penyederhanaan pengertian ini bukan
berarti menyederhanakan persoalan dalam globalisasi.

Global Value Chain(GVC) 19


Global Value Chain(GVC)
Dalam pemahaman Gereffi, internasionalisasi dan
globalisasi memiliki pemaknaan yang berbeda; dimana
konsep yang terakhir dianggap memiliki dampak yang
lebih kompleks dan masif. Internasionalisasi merupakan
suatu fenomena distribusi aktifitas ekonomi yang
melintasi batas-batas geografis (geographical cross-
borders) yang juga telah dimulai sejak abad ke-17.
Sedangkan globalisasi selain berarti distribusi barang,
jasa, manusia dan aktifitas ekonomi yang melintasi batas
negara namun juga mengenai integrasi fungsional
aktifitas ekonomi yang terdispersi secara internasional
(Gereffi: 1999). Dengan demikian, globalisasi tidak saja
mengenai volume dan lokasi produksi secara
internasional namun juga berkaitan dengan jenis dan
bentuk jejaring (networks) antar aktor atau perusahaan
dan juga mengenai fungsi jejaring transnasional tersebut
(transnational networks)(Sturgeon, 2001: 2).
Pada dasarnya, konsep GVC mengintegrasikan
antara komponen produksi dan nilai tambah disuatu
territorial dengan skala global. GVC menggambarkan
tahapan atau urutan aktifitas produksi (yang
menghasilkan nilai tambah) yang memimpin atau
mendukung penggunaan akhir suatu kelompok produk
atau jasa yang memiliki keterkaitan secara resiprokal,
termasuk di dalamnya perusahaan yang memimpin atau
menjadi komando dalam rantai tersebut. (Sturgeon,2001:
.2). Dengan demikian, GVC juga mengintegrasikan
aktifitas seperti perencanaan, desain, produksi dan
pemasaran suatu produk, yang melibatkan berbagai
sistem dan jejaring produksi. Namun dikatakan sekali
lagi, persoalan GVC melampaui mengenai dimensi dan
jenis aktifitas produksi namun juga berkaitan dengan
skala spasial suatu produksi. Maka, jika
internasionalisasi berkaitan jejaring produksi yang
memiliki karakter internasional yakni jaringan yang
melintasi batas territorial negara dan regional, maka
GVC dalam makna globalisasi memiliki artian
supranasional yakni jejaring itu melibatkan perlintasan
batas antar benua.
Kemunculan GVC dilatarbelakangi oleh beberapa
fenomena, antara lain liberalisasi dan integrasi global,

20 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

perkembangan teknologi informasi dan transportasi dan


pola persebaran investasi global. Kesemua hal ini tidak
saja berdampak pada pola perilaku dan produksi oleh
perusahaan multinasional namun juga mengubah pola
perdagangan dunia secara global. Dalam konteks
konvensional, pada tahun 1970-anhingga dekade 90-an
produksi suatu produk yang berorientasi internasional
(ekspor) kerap dilakukan dalam satu lokasi negara
dengan sistem produksi satu atap. Salah satu contohnya
adalah sistem produksi Fordisme, dimana semua
aktifitas produksi (dari hulu ke hilir) dikoordinasi dan
dilakukan dalam satu perusahaan (one roof), yang
kemudian produk siap konsumsi siap dipasarkan di
pasar internasional. Pada perkembangan selanjutnya,
MNC ini kemudian membuka cabang (subsidiaries) di
negara lain dengan alasan restrukturasi global dan
rasionalisasi produksi. Kebanyakan perusahaan
multinasional membangun operasi mereka yang bersifat
labour-intensive di negara-negara berkembang yang
dianggap memiliki pasar buruh yang lebih murah dan
regulasi yang cukup lunak. Namun dalam sistem
ini,operasi di luar negeri masih menjadi bagian dari satu
perusahaan. Selanjutnya, perusahaan-perusahaan luar
negeri yang dibangun di berbagai lokasi kemudian
memiliki fungsi tertentu atau menduduki posisi pada
rantai produksi tertentu. Jejaring produksi ini kemudian
disebut sebagai intra-firm production network (lihat
gambar 3). Studi kasus perusahaan Denso pada gambar
3 menggambarkan jenis jejaring ini. Dalam gambar
terlihat perusahaan Denso memiliki cabang di berbagai
negara dan setiap cabang memiliki peran tertentu dalam
suatu rantai produksi. Misalnya saja, kantor Denso di
Jepang berperan sebagai kantor induk (headquarters),
dan kantor di Singapore sebagai koordinasi regional yang
mengkoordinir kantor-kantor Denso di kawasan Asia
Tenggara dan Asia Timur.

Global Value Chain(GVC) 21


Global Value Chain(GVC)

Gambar 3: Studi kasus perusahaan

Kantor atau cabang di negara lain memiliki peran


memproduksi komponen-komponen tertentu yang
kemudian diekspor dan kemudian dirakit di negara lain
menjadi produk jadi Denso.
Namun jejaring intra-firm ini hanyalah salah satu
bentuk jejaring dalam GVC. Ada pula jejaring yang
berbentuk inter-firm dimana setiap rantai nilai produksi
dikelola dan dikuasai oleh suatu atau sekelompok firma
atau perusahaan yang berbeda di lokasi yang berbeda
pula. Salah satu kasus yang menjadi penelitian awal
GVC adalah perusahaan garmen atau industri pakaian.
Industri celana jeans “Levi’s” misalnya, anda akan
menemukan label keterangan “assembled in the
Dominican Republic of components manufactured in the

22 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

United States.” Dalam produksi suatu celana jeans saja


melibatkan begitu banyak aktor dan firma; misalnya
pembelian kapas di Korea yang juga disupplai oleh firma
lokal Korea; kapas kemudian dipintal atau ditenun dan
dicelup untuk menjadi lembaran kain di Taiwan. Dari
Taiwan, lembaran tekstil dipotong dengan pesanan pola-
pola tertentu oleh perusahaan sub-kontraktor lokal, yang
kemudian dijahir (assembled) di Bangladesh. Dari
Bangladesh, produk ini bergerak ke Jepang untuk
dipasangi resleting yang juga disuplai oleh subkontraktor
lokal Jepang. Di Jepang setelah produk dihasilkan
secara utuh, produk celana jeans dari Jepang kemudian
dikirim ke retailer atau perusahaan clothing-brand di
Eropa atau AS yang kemudian akan mendistribusikan-
nya ke berbagai pasar di berbagai belahan dunia. Inilah
bentuk integrasi fungsional yang disebut oleh Gereffi.
Lalu apa dampak perubahan ini terhadap negara
berkembang? GVC melihat dalam globalisasi ada
kecenderungan perusahaan multinasional melakukan
disintegrasi vertikal dan melakukan outsourcing berbagai
sumberdaya dan aktifitas produksi, yang tujuannya
tidak saja untuk menjadikan proses produksi efisien
namun juga rasional dan kompetitif. Fenomena ini pun
berdampak pada pola produksi dan perdagangan dunia,
dimana basis kompetensi produksi pun kian tersebar
(difused) dan tidak mesti dimonopoli oleh suatu
perusahaan.
Fragmentasi produksi secara global membawa
beberapa implikasi, pertama, karena pola produksi
fordisme (integrasi dan monopoli sektor hulu-hilir) mulai
ditinggalkan, setiap perusahaan dapat lebih memiliki
peluang untuk masuk dalam rantai perdagangan global
cukup dengan penguasaan basis kompetensi di sektor
tertentu. Berbeda pada model integrasi vertikal, suatu
perusahaan harus memiliki kompetensi di berbagai
aspek untuk dapat menjadi cukup kompetitif. Misalnya
saja di sektor industri teknologi komputer. Suatu negara
atau produsen tidak perlu memiliki kemampuan dan
kapasitas untuk membuat komputer secara utuh untuk
dapat berpartisipasi dalam perdagangan global, dalam
fase integrasi fungsional yang terfragmentasi, suatu

Global Value Chain(GVC) 23


Global Value Chain(GVC)
negara yang dapat disebut sebagai ‘pemain baru’ dapat
memilih memproduksi salah satu komponen komputer
saja, seperti transistor dan menjadi supplier global untuk
pasar komputer.
Analisa GVC sesungguhnya ‘menengahi’ perdebatan
mengenai dampak globalisasi, terutama di negara
berkembang. Dalam struktur perdagangan konvensional,
kerap negara berkembang seolah memiliki ‘posisi abadi’
dalam rantai produksi global yakni sebagai supplier
bahan mentah dan lokasi produksi yang padat modal
dan buruh. Pesimisme kelompok skeptis pada globalisasi
disebabkan adanya semacam struktur kekuasaan yang
laten antara negara berkembang dan negara maju dalam
perdagangan dunia. Kelompok ini menyatakan, kompetisi
negara maju dan berkembang dalam globalisasi sama
halnya menyaksikan pertarungan tak imbang antara
Goliath dan David. Dalam pandangan GVC, negara
berkembang tidak perlu menjadi ‘Goliath’ terlebih dahulu
untuk menang, namun cukup menjadi David yang cerdik
dan lihai; karena fragmentasi produksi global mencipta-
kan peluang bagi negara berkembang disebabkan men-
ghilangnya keharusan kepemilikan kompetensi di semua
aspek hanya untuk dapat meraih keuntungan dari
globalisasi. Fragmentasi ini juga memvariasi ceruk pasar
pada suatu produk, baik lokal dan regional, dan bahkan
juga membuka peluang bagi pemain kecil seperti UKM
untuk dapat berpartisipasi dalam fora perdagangan
global karena setiap komponen kecil yang diproduksi
dapat ditujukan untuk pasar regional bahkan global.
C. Urgensi Analisa GVC
Bagi para penstudi kerap mempertanyakan apa
manfaat praktis dari analisa GVC? Pertanyaan ini
muncul karena analisa GVC merupakan alat analisa
yang relatif baru digunakan oleh para penstudi HI.
Konsep rantai nilai selama ini cukup umum digunakan
oleh para penstudi ekonomi. Namun karena perkem-
bangan globalisasi yang bercorak fragmentatif, studi HI
kiranya perlu untuk memperbaharui khazanah keilmu-
annya.
Secara konseptual, analisa GVC dapat membantu
para penstudi mendapatkan gambaran bagaimana

24 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

proses penciptaan dan pertambahan nilai suatu produk.


Agaknya perlu ditegaskan kembali bahwa, dalam
konsepsi GVC aktifitas produksi produk tidak semata
berkaitan dengan proses penciptaan nilai, namun
pertambahan nilai suatu produk (value added). Semakin
baik pertambahan nilai suatu produk, maka semakin
baik pula keuntungannya. Jadi untuk merengkuh
manfaat globalisasi, kiranya perlu ditekankan satu hal,
yakni kapasitas firma melakukan pertambahan nilai atau
yang disebut dengan upgrading. Kedua, analisa GVC
memberikan pengertian bahwa ada beberapa rantai
aktifitas yang dikategorikan sebagai rantai yang memiliki
pertambahan nilai yang lebih baik, yakni desain dan
pemasaran. Pergerakan dari sektor dengan pertambahan
nilai yang rendah ke sektor dengan pertambahan nilai
yang lebih tinggi memastikan juga keuntungan dan
manfaat yang lebih baik. Ketiga, analisa GVC membantu
memahami bagaimana sesungguhnya operasi dan
struktur perdagangan dunia dewasa ini dan bagaimana
mekanisme produksi global berjalan. Dan tentunya,
analisa GVC membantu para penstudi memahami dan
menganalisa persoalan yang menjadi rantai terlemah
(weaker links) yang menghambat proses pertambahan
nilai suatu produk. Ketika masalah ini dapat
diidentifikasi, maka dapat juga dicari pemecahan
persoalannya.
Untuk memperjelas bagaimana manfaat studi
GVC, ada kiranya lima area yang menunjukkan urgensi
studi GVC
1. Pemahaman persoalan mengenai akses pasar; bah-
kan meski ketika suatu negara telah melakukan
liberalisasi perdagangan dengan mengurangi tarif
atau rintangan perdagangan lainnya, negara tersebut
kerap tidak bisa secara otomatis dapat mengakses
pasar global. Hal ini dikarenakan beberapa rantai
untuk pasar seperti AS dan Eropa tergabung dalam
jejaring tertentu dan bersifat langsung. Agar dapat
mengaksesnya, negara harus memiliki akses terhadap
firma utama (lead firm). Biasanya perusahaan besar
memiliki koneksi internasional yang berarti peluang
yang lebih baik untuk mengakses jejaring ini.

Global Value Chain(GVC) 25


Global Value Chain(GVC)
2. Peningkatan kapabilitas produksi; setelah suatu aktor
dapat mengakses rantai dalam firma utama, maka
produsen harus bersiap meningkatkan kapabilitas
mereka dengan segera. Pasalnya, kerap firma utama
menentukan berbagai ketentuan produksi, misalnya
efisiensi biaya, peningkatan kualitas dan tingkat
kecepatan produksi. Namun tidak perlu khawatir,
meski menetapkan tuntutan yang tinggi, firma utama
juga memberikan dukungan untuk meningkatkan
kapabilitas produksi. Hal ini dilakukan baik melalui
memberikan saran atau konsultasi atau bahkan
memberikan semacam pelatihan untuk meningkatkan
dan mengelola rantai produksi. Firma utama cukup
fokus untuk mentransmisikan keahlian dan
kapasitas produksi di negara berkembang. Inilah
mengapa, kawasan yang tadinya kurang berkembang
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Namun
disisi lain, fokus pada kapasitas dan kapabilitas
produksi kerap menjadi alasan mengapa negara
berkembang sulit mengalami kemajuan di sektor
desain dan marketing yang sesungguhnya memiliki
nilai yang lebih baik.
3. Pemahaman pola dan bentuk distribusi keuntungan
di keseluruhan rantai. Mengetahui bagaimana dan
siapa yang memimpin (who governs) suatu rantai
dapat membantu memahami distribusi keuntungan
antar firma yang terlibat rantai tersebut. Biasanya
firma yang menjadi lead firms atau menduduki rantai
teratas merupakan firma yang memiliki kompetensi
disektor desain, branding dan pemasaran. Sektor ini
disebutkan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi
(high returns) namun juga merupakan sektor yang
cukup kompleks dan sulit untuk dikuasai oleh negara
berkembang yang kerap terjebak pada aktifitas
produksi semata. Semakin banyak firma dapat
menguasai sektor utama ini, maka kompetisi juga
semakin intens dan dinamis, dan keuntungan pun
semakin mengecil. Hal ini pun mengakibatkan
beberapa firma utama mengunci atau menginsulasi
kapasitas desain agar tetap kompetitif dan menjamin

26 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

keuntungan yang lebih baik. Dengan demikian,


kapasitas desain menjadi sumberdaya yang langka.
4. Kebijakan dan inisiatif pengorganisasi sebagai daya
ungkit. Memahami bagaimana suatu rantai ber-
operasi dapat membantu mengidentifikasi kebijakan
atau bentuk pengorganisasian yang tepat untuk me-
ningkatkan distribusi keuntungan. Analisa rantai
dapat membantu menjawab pertanyaan seperti “siapa
yang memiliki kekuasaan untuk mengubah rantai?”
atau “aktor mana yang bisa ditekan untuk melakukan
perubahan?” Sebagai contoh misalnya para aktifits
yang mendorong isu upah buruh dan lingkungan.
Mereka menemukan fakta bahwa beberapa rantai
dikuasai oleh suatu firma yang berasal dari negara
maju. Firma-firma ini disebutkan amat sensitive
terhadap opini publik di negara asal mereka (home
countries). Para aktifis pun melihat bawa dengan
mendesakkan tekanan yang tepat, mereka mendapat
respon dari tuntutan mereka mengenai peningkatan
upah buruh dan standard lingkungan. Para pekerja
pun melihat pentingnya kerja pengorganisasi dan
advokasi untuk mendesakkan tuntutan.
5. Mengidentifikasi saluran untuk asistensi teknis;
agensi donor multilateral maupun bilateral kerap
menyediakan asistensi teknis bagi produsen negara
berkembang mengenai rantai nilai agar
mempertimbangkannya sebagai analisa dalam
menyusun strategi untuk meraih akses pasar global.
Pada dasarnya, asistensi teknis tidak saja bertujuan
untuk membantu efisiensi produksi namun juga
membuka konektifitas karena asistensi teknis ini
diharapkan menjadi jalan masuk (entry point) bagi
firma utama untuk merangkul kelompok produsen
dengan skala industri kecil dan menengah (UKM).

Global Value Chain(GVC) 27


Global Value Chain(GVC)

BAB 3
GLOBAL VALUE CHAIN :
PERANGKAT ANALISA

Kompetensi Akhir Yang Diperoleh


Setelah mempelajari, membahas, mengkaji dan
mendiskusikan isi bab ini, mahasiswa diharapkan memi-
liki kemampuan untuk dapat memahami beberapa sub
analisa kajian yang akan melengkapi metode gvc secara
utuh.
A. Pengantar
GVC adalah sebuah metode yang kompleks yang
terdiri dari beberapa tahapan dan perangkat. Value
chain atau rantai pertambahan nilai adalah seluruh
rangkaian atau aktivitas yangdibutuhkan untuk
menghasilkan suatu produk atau jasa yang masih
berupa rancangan atau pemikiran, melalui fase-fase
produksi yang berbeda (termasuk kombinasi dan
transformasi fisik dan input dari berbagai layanan
produsen lainya), sampai berhasil menuju ke tangan
konsumen hingga pembuangan akhir pada ujungnya.
Jadi, secara Umum Global value chain merupakan
sebuah model yang terdiri atas kumpulan aktivitas atau
kegiatan spesifik bisnis yang terjadi dalam sebuah
perusahaan untuk mendesain, memroduksi, memasar-
kan, mengirimkan dan yang mendukung sebuah produk.

28 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

B. Perangkat Analisa GVC


Dalam studi GVC ada beberapa konsep elementer
yang menjadi perangkat analisa GVC, antara lain
1. Rente
2. Upgrading
3. Governance
4. Jenis atau tipe GVC
1. Rente
Meski dikatakan sebelumnya bahwa dalam perkem-
bangan dewasa ini, setiap produsen bahkan dengan
skala UKM pun dapat berpartisipasi globalisasi namun
pertanyaan selanjutnya adalah “Bagaimana melakukan
integrasi global tersebut?.” Analisa GVC membantu para
penstudi untuk membangun pemahaman mengenai
distribusi keuntungan yang berbeda dari aktifitas desain,
produksi, marketing, koordinasi dan daur ulang. Secara
mendasar, setiap aktor dapat memiliki peluang
mendapatkan keuntungan yang lebih baik, selama ia
memiliki kapasitas untuk tetap kompetitif dan
melindungi dirinya dari perubahan struktur persaingan
itu. Untuk dapat tetap kompetitif dan memastikan
keuntungan yang maksimal, analisa GVC menekankan
kapasitas upgrading atau pertambahan nilai. Namun
demikian, kapasitas untuk berkompetisi ini kerap
diasosiasikan dengan kepemilikian rente yakni
kepemilikan sumber daya yang langka
Pemahaman mengenai rente diawali dengan tesis
dari ekonom klasik yakni David Ricardo yang
menyatakan bahwa rente ekonomi tumbuh berdasarkan
ketidaksetaraan kepemilikan atau akses terhadap
sumber daya yang langka, misalnya tanah. Semakin
banyak sumber daya langka yang dimiliki, semakin baik
pula rente yang dimiliki. Namun demikian, rente tidak
mesti bersifat alamiah dan taken for granted karena tidak
semua sumber daya langka merupakan sumber daya
alam. Ada pula renta yang dapat diciptakan atau timbul
karena upaya inovasi entrepreunial.Kepemilikan rente
berkaitan dengan peluang peningkatan kapabilitas
produksi, dan semakin baik kapabilitas produksi maka
semakin pudar pula barrier to entry atau batasan suatu
firma untuk berintegrasi dengan pasar global.

Global Value Chain(GVC) 29


Global Value Chain(GVC)
Dalam studi GVC, ada beberapa jenis rente, yakni
a. Rente ekonomi yang muncul karena aspek
perbedaan produktifitas
b. Rente ada yang bersifat endogenous dan ada juga
yang diciptakan atau dikonstrusi oleh firma;
1) Rente teknologi—kepemilikan kapasitas
teknologi yang langka
2) Renta sumber daya manusia—kepemilikan
akses terhadap sumber daya terampil yang lebih
baik daripada competitor
3) Rente organisasional—memiliki bentuk dan
strategi pengorganisasi internal yang superior
4) Rente marketing—memiliki kapabilitas
pemasaran yang lebih baik atau memiliki atau
bernaung dalam suatu label nama yang bernilai.
5) Rente relasional—memiliki relasi yang
berkualitas dengan supplier dan konsumen
c. Ada juga rente yang bersifat exogenous dan secara
alamiah ada, yakni rente sumber daya—yakni akses
terhadap sumber daya alam yang langka
d. Produser juga bisa mendapatkan manfaat dari rente
yang telah disediakan oleh pihak lain dari luar
rantai
1) Rente kebijakan—kehadiran pemerintahan yang
efisien dan efektif yang menghasilkan kebijakan
tertentu yang juga dapat dipertimbangkan
sebagai barriers to entry bagi competitor.
2) Rente infrastruktur—akses terhadap infrastruk-
tur utama seperti telekomunikasi
3) Rente finansial—akses terhadap finansial yang
lebih baik daripada competitor misalnya akses
terhadap kredit.
2. Up Grading
Upgrading yang merupakan konsep inti yang kedua
dalam GVC, secara sederhana dipahami sebagai suatu
strategi yang meliputi usaha memproduksi produk yang
lebih baik, proses penambahan nilai pada produk (value
added product), upaya memproduksi secara lebih efisien,
atau bahkan beralih pada aktivitas produksi yang
berbasis pada keterampilan dan keahlian yang lebih baik
(more skilled activities),(Schmitz (ed), 2004) atau secara

30 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

lebih sederhana upgrading diartikan sebagai kemampuan


suatu pelaku industri lokal untuk melaksanakan inovasi
dengan tujuan peningkatan dan penguatan daya saing di
pasar global. Syarat suatu upgrading agar berhasil
antara lain; melakukan perubahan dan perbaikan dalam
proses produksi, kemampuan merespon inovasi pihak
lain, dan proses upgrading harus dilakukan secara terus-
menerus, dalam artian tidak saja menjadi suatu rencana
jangka pendek, melainkan suatu proses yang harus
dilalui oleh firma atau industri lokal yang bersangkutan.
Ada dua tipe upgrading, yakni:
a. Upgrading yang bersifat statis
Memberikan sesuatu kepada produk agar tetap
unik, sulit ditiru dan dapat bertahan lama, misalnya
penambahan variable-ornamen khas pada produk,
menciptakan produk unik dan sulit ditiru serta
memberikan hal-hal yang dapat diperhitungkan sebagai
nilai tambah di mata konsumen, misalnya pelayanan
tepat waktu, pengiriman yang mudah, dsb.
b. Upgrading yang bersifat dinamis
Berkaitan dengan cara agar perusahaan
lokal memiliki kemampuan untuk memperbaiki
daya saingnya secara dinamis dan terus-
menerus. Upgrading dinamis terbagi atas empat
tipe, yakni:

1) Process Upgrading
Meningkatkan efisiensi proses internal di dalam
perusahaan sehingga menjadi lebih baik dari
para pesaingnya.

Global Value Chain(GVC) 31


Global Value Chain(GVC)

2) Product Upgrading
Memperkenalkan produk baru atau
memodifikasi produk lama lebih cepat dari
pesaingnya.

3) Functional Upgrading
Meningkatkan nilai barang dengan mengubah
GVCs dan Spesialisasi Pintar (Smart Specialization) (Cattaneo
aktivitas dalam satu perusahaan atau dengan
et al, 2013)
 Perdagangan dan partisipasi dalam GVC merupakan
mengubah
tujuan menengah.posisinya
Pertanyaan di utamanya
dalam adalah
rantai GVC.
seberapa banyak
Misalnya nilai (lapangan
transisi pekerjaan,
dari rantai OEM (original
pendapatan, difusi teknologi, pembangunan
equipment
berkelanjutan, manufacture)
dan lain sebagainya)ke yang
ODMmampu (own-design
diperoleh oleh suatu negara
manufacture) menjadi OBM (Own-brand
 Kemampuan suatu negara untuk ikut berpartisipasi
dalam perdaganganatau
manufacture) global danyang
manfaattadinya
yang akan hanya
didapatkan untuk mendorong pertumbuhan dan
memproduksi barang pertanyaan
pembangunan merupakan sesuai pesanan,
yang terkaitberalih
dengan kapasitas
menjadi negara untuk
perusahaan bergabung
yang dalam
mendesain dan
rantai nilai global
 kemudian beralih
Daya saing tidak diukur menjadi perusahaan
oleh kapasitas negara dalamyang
mengembangkan suatu industri yang terintegrasi,
memiliki brand atau merek.
namun justru diidentifikasi dengan posisi terbaik
suatu negara dalam rantai nilai global. Daya saing
4) Chain
negara diukur Upgrading
oleh tiga level:
o Kapasitas untuk bergabung ke dalam GVC
Berpindah pada rantai GVC baru, misalnya dari
(capacity to join)
semula Kapasitas
o untuk bertahan
memproduksi dan menjadi
transistor kebagian
rantai
dalam GVC (capacity to remain part)
produksi radio, menjadi
o Kapasitas untuk pindah TV, menjadi monitor
posisi rantai
dalam
computer GVCakhirnya
dan menjadi produsen
laptop.
Capacity to Join Capacity to remain Capacity to move
part up th gvc
 Memastikan  Mengidentifikasi  Upgrading
resiko dan peluang dan (proses,
biaya daya tantangan produk,fungsion
saing  Merespon al, chain
 Meningkatkan prioritas dan upgrading)
konektifitas strategi bisnis  Task bundling
dengan pasar  Mendesain  Kekuatan
internasional strategi jangka pekerja dalam
 Meningkatkan panjang bidang
iklim bisnis pengembangan
32 Alfian hidayat:purnami safitri
dan investasi dan inovasi
 Menguatkan (R&D)
kapasitas
inovasi
Alfian hidayat:purnami safitri

c. Aktifitas Upgrading dalam GVC dan relevant


intangibles

Global Value Chain(GVC) 33


Global Value Chain(GVC)

Gambar 4: Aktivitas upgrading dalam GVC

d. Kurva Senyum: Nilai Tambah dalam GVC


(OECD, 2013)
Gambar 5: Kurva Senyum

Strategi upgrading sangat berkaitan


dengan sinergi antara pemerintah (pusat dan
daerah), sektor swasta dan masyarakat dan
ketersedian rente. Rente ini bisa berasal dari
internal perusahaan maupun berasal dari
eksternal firma itu sendiri. Rente-rente yang
dimaksudkan, misalnya antara lain, teknologi,
SDM, organisasional, serta rente pemasaran
(kemampuan memasarkan). Sedangkan rente
yang berasal dari luar perusahaan, yang

34 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

misalnya disediakan oleh pemerintah, antara


lain infrastruktur, finansial, serta rente
kebijakan yang dapat berupa pemerintah atau
birokrasi yang efisien serta berbagi kebijakan
yang supportive terhadap perkembangan daya
saing perusahaan lokal

Global Value Chain(GVC) 35


Global Value Chain(GVC)

Tabel 1

3. Governance

Governance secara umum dipahami sebagai


model posisi pelaku atau firma dalam suatu rantai
nilai (value chain), dan tipe governance dapat
berubah tergantung pada strategi upgrading yang
dijalankan. Fokus governance adalah bagaimana
sesungguhnya kekuasaan beroperasi dalam suatu
rantai nilai dalam artian melihat bahwa ada
semacam relasi kekuasaan yang asimetris antar
pelaku atau firma dalam suatu rantai nilai. Secara
sederhana, governance ini digambarkan melalui
hubungan antar firma atau inter-firma di mana
salah satu pelaku merupakan penentu atau
pengontrol dari rantai nilai tersebut dalam suatu
proses produksi. Proses produksi ini ditentukan

36 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

oleh setidaknya empat parameter, dan parameter-


parameter tersebut ditentukan oleh salah satu
aktor yang berada pada posisi pemenang dalam
suatu rantai (John Humphrey & Hubert Schmitz,
2001):

a. Apa yang harus diproduksi.


b. Bagaimana memproduksi, termasuk
didalamnya elemen-elemen mengenai
penentuan penggunaan suatu teknologi, sistem
kualitas, serta penerapan standardisasi seperti
standar ketenagakerjaan dan standar
lingkungan.
c. Kapan suatu barang mesti di produksi
d. Dan berapa jumlahnya.

Menurut Humphrey dan Schmitz, selain empat


parameter diatas ada satu parameter yang seringkali
secara langsung menjadi variable dalam suatu rantai
nilai, yakni harga. Penentuan harga ini tidak serta merta
dilakukan, tetapi juga dilakukan secara tidak langsung
misalnya melalui penentuan kualitas dan desain kepada
supplier oleh buyer atau pembeli agar target harga
tercapai.

Governance dapat terjalin secara intra-firm ataupun


inter-firm.Menurut Humphrey dan Schmitz (2004), ada
empat tipe inter-firm governance dalam GVC:

1. Arms-length market relation; atau Relasi pasar


sepanjang lengan yakni ketika buyer dan

Global Value Chain(GVC) 37


Global Value Chain(GVC)
supplier atau produsen dan pembeli tidak
mengembangkan suatu hubungan yang relatif
dekat karena standar produk sangat mudah
disesuaikan; beberapa produsen atau supplier
memiliki kapasitas untuk memproduksi
barang yang sesuai dengan tuntutan buyer.
Oleh karenya, resiko dan biaya beralih partner
sangat rendah bagi kedua belah pihak.
2. Networks: firma bekerja sama dalam relasi
dengan nuansa informasi yang intensif
(intensive-information) dan kedua belah pihak
biasanya memiliki kompetensi rantai nilai
yang esensial. Interaksi dikoordinasi dan relasi
dicirikan oleh adanya ketergantungan yang
resiprokal. Buyer bisa saja menspesifikasi
performa atau standar atau proses suatu
produk, dan tuntutan ini disambut dengan
kemampuan atau kapabilitas firma produsen
untuk memproduksi barang sesuai tuntutan
buyer.
3. Quasi-hierarchy: suatu relasi dimana firma
utama memiliki derajat kontrol terhadap firma
lain dalam suatu rantai produksi. Kerap
bentuk kontrol ini berkaitan karakteristik
produk yang harus diproduksi, dan juga
bagaimana proses produksi berjalan. Level
kontrol ini bukan saja dapat ditentukan oleh
peran firma utama dalam menentukan produk

38 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

namun juga dari perhitungan potensi resiko


dan kerugian yang dapat dialami oleh firma
utama dikarenakan kegagalan supplier dalam
memproduksi barang sesuai tuntutan buyer.
Dengan kata lain, ada semacam keraguan
terhadap kompetensi supplier dalam rantai
produksi tersebut, oleh karenanya firma
utama menerapkan mekanisme kontrol tidak
saja terhadap supplier-nya tetapi juga
mengontrol rantai selanjutnya.
4. Hierarchy: firma utama memiliki kepemilikan
secara langsung terhadap beberapa operasi
dalam rantai nilai. Perdagangan intra-firm
dalam suatu perusahaan transnasional dan
cabangnya di negara lain, dapat menjadi
contoh jenis relasi GVC ini.

Sedangkan Sturgeon dan Lee (2001)


mengklasifikasikan tiga tipe relasi suplai (supply
relationship) berdasarkan derajat standardisasi produk
dan proses.

1. The commodity supplier: dalam tipe ini buyer


menentukan standar produk melalui relasi
arms-length atau relasi sepanjang lengan.
Dalam tipe hubungan sepanjang lengan atau
arms-length tidak ada suatu hubungan yang
bersifat kompleks antara supplier dan buyer.
Misalnya saja, buyer hanya memesan suatu

Global Value Chain(GVC) 39


Global Value Chain(GVC)
produk dengan spesifikasi tertentu tanpa ada
suatu regulasi atau ketentuan yang melebihi
spesifikasi pesanan itu.
2. Captive supplier; dalam tipe ini, buyer tidak
menentukan standar tertentu, namun
menentukan bagaimana suatu barang itu
diproses misalnya dengan meminta supplier
menggunakan suatu peralatan yang sudah
ditentukan dan didesain untuk menghasilkan
produk yang sesuai dengan permintaan
konsumen atau buyer.
3. Turn-key supplier: yakni dimana supplier
memproduksi suatu produk sesuai dengan
pesanan (customized products) namun
menggunakan peralatan atau permesinan
yang fleksibel untuk memenuhi tuntutan atau
pesanan buyer atau konsumen yang berbeda.

Sedangkan menurut Gereffi, Humprey dan Sturgeon


(2005) ada lima tipe governance, yakni market, modular,
relational, captive, dan hierarchy.

1. Market: tipe governance market dapat


berlangsung atau terbentuk kapan saja,
dikarenakan adanya transaksi yang berulang.
Namun demikian, tipe governance ini tidak
mesti bersifat sementara, namun juga tidak
memiliki jaminan tipe ini akan berlangsung
selamanya. Poin utama dalam relasi
governance ini adalah biaya untuk beralih

40 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

pada parner yang berbeda sangat rendah,


sehingga jika dianggap memungkinkan
seorang aktor dapat saja beralih kepada mitra
bisnis yang berbeda.
2. Modular; dalam tipe rantai nilai ini biasanya
supplier akan membuat barang atau produk
sesuai dengan spesifikasi konsumen, baik
secara mendetail ataupun tidak. Namun
ketika beralih ke bentuk turn-key services,
supplier mengambil tanggung jawab penuh
atas kompetensi terkait dengan teknologi
proses produksi, yakni menggunakan
peralatan atau mesin yang biasa atau umum
untuk membatasi investasi spesifik-transaksi
dan membuat pengeluaran atau pembelanjaan
terhadap komponen dan material atas
kepentingan para konsumen.
3. Relational value chain; dalam jejaring ini kita
akan melihat adanya interaksi yang kompleks
antara buyer dan supplier, dimana kerap
melahirkan semacam relasi saling-
ketergantungan (mutual dependence) dan level
tinggi kekhususan asset. Tipe rantai nilai ini
juga kerap dikukuhkan oleh reputasi, jaringan
keluarga atau bahkan etnis. Beberapa peneliti
menekankan peran kedekatan yang berjarak
(spatial proximity) dalam menyokong tipe
rantai nilai ini, namun kepercayaan dan

Global Value Chain(GVC) 41


Global Value Chain(GVC)
reputasi dianggap lebih berperandalam
jejaring yang tersebar ini dimana relasi
dibangun setiap saat berdasarkan ikatan
kekeluargaan dan kelompok sosial.
4. Captive value chain; dalam jejaring ini,
supplier atau produsen kecil sangat
bergantung kepada buyer besar. Resiko kerap
lebih banyak ditanggung oleh produsen,
terutama ketika buyer beralih kepada mitra
lain. Oleh karenanya, tipe rantai nilai ini kerap
warnai dengan adanya derajat monitoring dan
kontrol yang tinggi oleh lead firms.
5. Hierarchy; tipe governance ini dicirikan oleh
adanya integrasi vertical organisasional, yang
ditandai adanya dominasi dari struktur atas
ke struktur yang lebih inferior. Bentuknya
adalah adanya kontrol manajerial, dari
manajer ke bawahan, atau dari kantor
pusat/induk (headquarters) ke kantor cabang
(subsidiaries) dan jaringan yang terafiliasi
suatu korporasi.

42 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

Gambar 6

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana tipe-tipe


governance ini muncul? Dalam situasi atau kondisi apa
kita bisa mengharapkan tipe market, modular, relational,
captive atau hirarki muncul. Setidaknya ada tiga faktor
yang menentukan tipe governance dalam rantai nilai:

a) Kompleksitas transfer informasi dan


pengetahuan yang dibutuhkan untuk
melanggengkan transaksi tertentu.
b) Tingkat kepastian bagaimana informasi dan
pengetahuan tersebut bisa dikodifikasi.
c) Kapabilitas actual dan potensial supplier untuk
memenuhi persyaratan atau ketentuan yang
berlaku.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, didapatkan


bagaimana setiap tipe governance itu muncul;

Global Value Chain(GVC) 43


Global Value Chain(GVC)
1. Tipe market muncul ketika transaksi
dikodifikasi dengan mudah, spesifikasi produk
relatif sederhana, dan supplier memiliki
kapabilitas untuk memproduksi barang, meski
hanya dengan sedikit masukan dari buyer dan
kekhususan aset tidak terakumulasi. Selain itu,
dalam tipe ini buyer merespon specifikasi dan
harga yang telah ditentukan oleh produsen
karena kompleksitas informasi relatif rendah
dan transaksi bisa dikelola meski derajat
koordinasi yang rendah.
2. Tipe modular sesungguhnya hampir sama
dengan tipe market, yakni umumnya kodifikasi
spesifikasi produk lebih mudah dan asimetri
informasi dan pengetahuan juga rendah. Dalam
tipe modular, produk biasanya memiliki tipe
modular yakni desain produk tidak terlalu kaku
(loose), dan elemen-elemen didalamnya didesain
dapat bersifat independen, sehingga lebih
fleksibel untuk dimodifikasi, digabungkan atau
bahkan kerap dapat dilakukan sedikit
perubahan. Hal utamanya adalah supplier
menentukan main building blocks suatu produk,
namun tidak menutup kemungkinan produsen
melakukan penyesuaian untuk memenuhi
beberapa requirement, misal harga atau
spesifikasi lainnya. Produsen bisa saja
melakukan penyesuain dalam proses produksi.

44 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

Dalam tipe ini kerap tidak dibutuhkan monitor


dan kontrol ketat dan langsung oleh lead firms,
karena produksi dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang telah dikodifikasi, dan tentunya
produsen memiliki kapabilitas memproduksi
atau mensuplai produk secara penuh atau
sesuai dengan modul. Dalam tipe modular,
resiko atau biaya yang ditanggung kedua belah
pihak terkait dengan peralihan (switching)
mitra, tetap rendah.
3. Sedangkan tipe relational muncul ketika
spesifikasi produk tidak bisa dikodifikasi,
transaksi cenderung kompleks namun
kapabilitas supplier tergolong cukup tinggi. Hal
ini dikarenakan pengetahuan implisit (tacit)
yang tidak dikodifikasi harus dipertukarkan
(exchange) diantara kedua belah pihak. Selain
itu, supplier yang dianggap kompeten adalah
supplier yang mampu memotivasi lead firms
untuk melakukan outsourcing dengan tujuan
meraih kompetensi tambahan. Kesaling-
tergantungan akan muncul jika relasi itu
dikelola berdasarkan reputasi, sosial dan
kedekatan yang berjarak, jaringan keluarga
maupun etnis. Rantai ini juga dikelola melalui
mekanisme yang menentukan resiko dan biaya
pada pihak yang melanggar kontrak.
Pertukaran kompleks akan informasi yang

Global Value Chain(GVC) 45


Global Value Chain(GVC)
implisit dapat terjalin melalui interaksi saling
berhadapan secara langsung atau face-to-face
yang cukup intensif. Tipe ini biasanya juga
memerlukan koordinasi langsung dengan
derajat yang cukup tinggi yang membuat biaya
dan resiko berganti mitra juga tinggi.
4. Tipe Captive muncul ketika kodifikasi berbentul
instruksi yang mendetail dan kompleksitas
spesifikasi produk juga tinggi namun
kapabilitas supplier atau produsen untuk
memproduksi rendah. Hal ini dikarenakan
kompetensi produsen untuk memproduksi
produk yang kompleks dengan spesifikasi yang
juga kompleks membutuhkan intervensi dan
kontrol yang cukup intens dari lead firms.
Dalam tipe ini, produsen sangat bergantung
kepada lead-firms. Dan untuk melanggengkan
hubungan tergantung yang sepihak (asimetris)
ini, buyer biasanya berusaha ‘mengunci’
supplier untuk memastikan pihak lain tidak
bisa mengambil keuntungan dari usaha
mereka, termasuk mengunci semua sumber
daya dan sumber pengetahuan terkait dengan
proses produksi. Ini pun membuat posisi
produsen tersandera layaknya tahanan (captive)
dan menanggung resiko yang sangat tinggi jika
buyer beralih mitra. Dalam tipe ini, produsen
biasanya hanya melakukan tugas produksi

46 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

sederhana yang spesifik, misalnya hanya


melakukan perakitan, dan amat bergantung
kepada lead-firms yang menguasai desain,
logistik, pembelian komponen, dan proses
penambahan nilai (upgrading) teknologi. Tipe
captive mengontrol oportunisme yang mungkin
muncul melalui dominasi penuh oleh lead-
firms, namun pada saat yang sama
menyediakan sumber daya dan akses pasar
kepada firma subordinat agar pilihan keluar
dari rantai atau jejaring itu menjadi pilihan
yang tidak rasional dan tidak menarik.
5. Tipe kelima, yakni hirarki muncul ketika
spesifikasi produk tidak bisa dikodifikasi,
produk yang diproduksi merupakan produk
yang kompleks, dan supplier yang memiliki
kompetensi produksi, amat jarang atau sulit
ditemukan. Hal ini pun menyebabkan lead-firm
membangun dan mengembangkan sektor
manufaktur dalam internal firma mereka
(manufacture in-house). Tipe governance ini
biasanya didorong oleh adanya kebutuhan
untuk bertukar pengetahuan yang bersifat
rahasia (tacit) antara aktifitas rantai nilai dan
juga kebutuhan untuk mengelola secara efektif
jejaring masukan dan keluaran (input-output)
yang kompleks dengan tujuan mengontrol
sumber daya, terutama kekayaan intelektual.

Global Value Chain(GVC) 47


Global Value Chain(GVC)

Untuk lebih menyederhankan, ciri kelima tipe


governance dapat dilihat dalam gambar 3.

4. Tipe GVC

Ada dua tipe GVC atau rantai nilai (Gereffi


1994), yakni producer-driven dan buyer-driven. Pada
tipe pertama, seperangkat parameter ditentukan
oleh firma atau produsen itu sendiri. Struktur
governance ini dapat terjadi ketika firma dianggap
independen, mampu memenuhi critical success
factors (kualitas, harga, desain, dan tuntutan
standardisasi) karena kepemilikan sumber
teknologi, pengetahuan dan strategi pemasaran
yang efektif.Sedangkan pada rantai buyer-driven,
produsen atau supplier dianggap tidak memiliki
kemampuan seperti pada firma di producen-driven,
dimana penentu aturan atau parameter produksi
adalah pembeli atau buyer, yang biasanya

48 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

merupakan firma retailer dan brand-name firms.


Parameter ini menurut Humphrey & Schmitz, dapat
memiliki spesifikasi yang bervariasi misalnya ada
buyer yang menekankan hanya pada aspek
marketing dan desain sehingga supplier membuat
produk sesuai desain yang diinginkan oleh pembeli
atau hanya menentukan parameter proses produksi
seperti pemenuhan standardisasi, sistem kualitas
atau bahkan pada saat yang bersamaan
menentukan keduanya.

Global Value Chain(GVC) 49


Global Value Chain(GVC)

a. Perbandingan Rantai Producer-driven dan


Buyer-Driven (Gereffi, 1999b)

“Producer-driven commodity chains merupakan tipe


GVC dimana, biasanya perusahaan manufaktur
besar transnasional memainkan peran utama dalam
aspek koordinasi jejaring produksi (termasuk jalinan
industri backward dan forward/hulu-hilir). Sektor
industri tipe ini melingkupi industri yang berbasis
teknologi (technology intensive industries) dan kapital
seperti otomotif, industri pesawat terbang, semi
konduktor dan industri permesinan berat”
“Sedangkanbuyer-driven commodity chain merujuk
pada industri dimana retailers, pemasar (marketers)
dan perusahaan brand memainkan peran inti dalam
menentukan jejaring produksi yang terdesentralisasi
ke beberapa negara pengekspor, yang biasanya
berlokasi di negara berkembang. Pola industri
berbasis perdagangan ini dicirikan oleh industri
padat karya (labor intensive) dan sektor industri
produksi kebutuhan sehari-hari dan rumah tangga,
yang mencakup industri mainanan anak, sepatu,
garmen, peralatan rumah tangga, elektronik, dan
berbagai jenis kerajinan. Produksi biasanya
dilakukan dengan jejaring yang bertingkat dimana
produsen (contractor) negara dunia ketiga membuat
barang jadi untuk pembeli (buyer)luar negeri.
Spesifikasi produk ditentukan oleh retailer atau
marketersbesar yang memesan barang tersebut.”

50 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

BAB 4
GVC : SINERGITASA AKTOR

Kompetensi Akhir Yang Diperoleh

Setelah mempelajari, membahas, mengkaji dan


mendiskusikan isi bab ini, mahasiswa diharapkan
memiliki kemampuan untuk dapat memahami bentuk
keterkaitan diatara aktor yang harus terlibat, yakni,
pemerintah, pebisnis dan masyarakat.

A. Pengantar

Rantai nilai adalah proses up grading inilah hakikat


utama dari metode GVC itu sendiri. Untuk menjamin
berlangsungnya proses tersebut, maka harus terjalin
hubungan yang sirama diantara aktor-aktor yang
terlibat, pemerintah sebagai perumus kebijakan, pebisnis
dan masyarakat menjadi komponen eksekutor dan
pendukung kebijakan tersebut. Pada bab ini akan

Global Value Chain(GVC) 51


Global Value Chain(GVC)
ditelaah mengenai hubungan sinergitas sebagai salah
satu komponen utama mengembangkan daya saing.

B. Sinergitas

Dalam mengembangkan kebijakan upgrading


tentunya dibutuhkan sinergitas yang kuat diantara
ketiga komponen aktor (masyarakat, pemerintah dan
pebisnis). Beberapa perihal yang dapat memperlihatan
urgenitas sinergi adalah pertama, senergitas dibutuhkan
untuk mengefektifkan usaha-usaha “upgrading” dalam
rangka menerapkan metode GVCs untuk merengkuh
pasar global, yaitu meningkatkan posisi industri lokal
dalam mata rantai global. Kedua, sinergitas dibutuhkan
Untuk merancang kebijakan industri yang dapat diambil
oleh pemerintah daerah. Kebijakan industri merupakan
wadah sinergi antara pemerintah daerah dan dengan
kelompok bisnis demi merebut peluang global.

C. Bentuk Sinergi

Guna mendukung proses peningkatan nilai tambah


tentunya dibutuhkan sebuah sinergitas yang baik
diantara actor-aktor pelaku industri. Beberapa diantara
bentuk sinergi yang dapat ditelaah diantaranya:

1. Disciplined Support [Dukungan Berdisiplin]

Pemerintah sebagai regulator dalam peta


industri harus mampu memberikan kemudahan
bagi kelompok bisnis, selain itu pemerintah juga

52 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

harus mampu memberlakukan peraturan dan


monitoring yang ketat terhadap perusahan yang
telah diberi kemudahan.

2. Public Risk Absorption

Pemerintah harus mampu memberikan


ransangan terhadap munculnya kreatifitas bagi
masyarakat untuk mendirikan industri baru.
disamping itu Pemerintah menyerap sebagian atau
keseluruhan kerugian.

3. Private Sector Governance

Pada bentuk sinergitas ketiga ini pelaku usaha


harus mampu aktif memberikan inisiatif kepada
pemerintah daerah sehingga model yang terbentuk
adalah bottom up atau masukan kepada
pemerintah untuk melakukan upaya-upaya yang
dibutuhkan oleh pelaku bisnis. pada bentuk ini
pemerintah harus menyediakan akses informasi
yang diperlukan oleh pelaku usaha

4. Aliansi Inovasi Pemerintah-Bisnis

Bentuk yang terakhir adalah pemerintah


daerah dan kelompok bisnis membentuk kelompok
riset terpadu yang terdiri dari perusahaan-
perusahaan. Pemerintah menentukan tujuan utama
pembangunan, menentukan teknologi dan industri
mana yang akan dipromosikan.

Global Value Chain(GVC) 53


Global Value Chain(GVC)
Bisnis diharapkan dan didukung untuk
mempersiapkan diri menghadapi kompetisi yang
ketat, baik dalam pasar domestik maupun pasar
luar negeri. Jaringan yang terbentuk antara
pemerintah dan perusahaan akan mendisiplinkan
dan membangun kapabilitas publik melalui
persyaratan yang telah ditentukan oleh pemerintah

54 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

BAB 5
GVC : KERANGKA
PEMETAAN

Kompetensi Akhir Yang Diperoleh

Setelah mempelajari, membahas, mengkaji dan


mendiskusikan isi bab ini, mahasiswa diharapkan
memiliki kemampuan untuk dapat memahami pemetaan
dalam kerangka GVC.

A. Pengantar

Dalam rangka mengembangkan daya saing sebagai


pondassi utama metode GVC, tentunya tidak terlepas
dari pemeta jalan atau roadmap. Metode GVC
menwarkan beberapa model pemetaan yang akan
memberikan jalan menuju peningkatan daya saing.
Beberapa model peta yang akan dibahas pada bab ini
adalah, peta Global Value Chain, Peta Karakteristik
Pasar Global Peta analisis bagaimana industri lokal bisa

Global Value Chain(GVC) 55


Global Value Chain(GVC)
tersambung ke pasar global, Peta aturan main
internasional sebagai tantangan dan hambatan, Peta
kekuatan bisnis internasional sebagai tantangan dan
hambatan.

B. Peta Global Value Chain

Peta global value Chain merupakan peta


peningkatan rantai nilai. Analisis pemetaan ini akan
pada akhirnya akan menunjukkan persentase rantai
nilai dalam sebuah produk. Tujuan peta ini mengupas
setiap rantai dalam komponen rantai-rantai nilai dalam
sebuah produk, sehingga memudahkan bagi produsen
dalam menentukan arah kebijakan perdagangan.

Contoh :

Gambar 7: Tahap dalam GVC

Peta diatas menunjukkan aktivitas rantai nilai baik


dari tahapan desain sampai pada tahapan pemasaran.

56 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

Konteks peta diatas memperlihatkan bahwa sebagian


besar aktivitas penambahan nilai terjadi pada rantai
pemasaran. Hal ini berarti ada sekita 57.1 persen rantai
nilai dinikmati oleh luar Indonesia.

C. Peta Kharakteristik Pasar Global

Peta karakteristik pasar global terdiri dari 3 bentu


peta, diataranya; segmentasi pasar, peta cricle Success
Factors (CSFs), Peta Volating of the market, dan Peta
order qualiying and order winning.

Pertama peta segmentasi pasar : peta ini


memberikan jalan tentang karakter segmentasi pasar
global tertentu yang menjadi andalan daerah misalnya
pada prosuk makanan olahan : terdapat boneka
segmentasi seperti makanan murah, makann
organik,makanan etnis lokal, makanan kesehatan. Peta
segmentasi industri makanan olahan : siapa pembelinya?
Berapa daya serapnya? siapa pesaingnya? apakah
peluang pertumbuhannya masih tersedia?

Kedua, peta critical Success Factors (CSFs) : peta


informasi tentang faktor-faktor apa yang membuat
peroduk laku di pasaran. Misalnya: untuk tujuan ekspor
ke negara berkembang, maka harga menjadi penting.
Sedangkan untuk tujuan ekspor negara maju selain
harga juga harus memikirkan inovasi, kualitas,
keunikan, branding, packaging, dll. Dibawah ini contoh
formulir peta CfCs

Global Value Chain(GVC) 57


Global Value Chain(GVC)

Tabel 2: Klasifikasi CSF

Formulir diatas menujukkan klasifikasi


karektiristik penting, cukup penting, penting dan sangat
penting. Klasifikasi tersebut kemudian di analisa
terhadap beberapa indikator seperti, kualitas, harga,
inovasi sampai pada akses penunjang barang tersebut.

CSF di pasar negara maju dan negara


berkembang untuk tekstil

Gambar 8

58 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

CSF produk suku cadang mobil

Gambar 9

Ketiga, Peta Volating of the market. Peta ini akan


menujukkan dinamika yang terjadi dalam pasar
perdagangan internasional, Kondisi segmentasi dan
karakteristik pasar (CSFs) terus berubah, Pasar pakaian
yang dulu hanya memiliki dua segmen (winter dan
summer) berubah menjadi memiliki empat segmen
(winter, spring, summer dan autumn), dan kini berubah
menjadi delapan (early winter, late winter, early spring,
late spring dan seterusnya)

Keempat, Peta Order Qualiying And Order Winning.


Dalam upaya meningkatkan kualitas produk selain
melakukan upgrading perlu juga melakukan sinergitas
yakni adanya dukungan dari pemerintahan dengan
supporting pengadan alat-alat bagi UKM dan bisnis
pemula serta membuat event untuk mempromosikan

Global Value Chain(GVC) 59


Global Value Chain(GVC)
produk-produk dengan mengadakan bulan budaya, dan
event-event yang mencirikhaskan unsure produk lokal.

 Order Qualifying adalah informasi tentang


“syarat minimal” yang perlu dimiliki industri
lokal, agar mereka dapat “masuk” ke pasar
global,
 Order Winning: informasi tentang syarat yang
perlu dimiliki produser agar menang dalam
bersaing dan sukses menjual produknya di
pasar global.

Contoh pemetaan Order Qualifying dan Order


Winning

Tabel 3: Pemetaan Order Qualifying dan Order Winning

D. Peta Analisis: bagaimana industri lokal bisa


“tersambung” ke pasar global

Peta analisis industri lokal tersambung ke pasar


global menghendaki adannya sejumlah usaha dalam

60 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

perdangangan untuk mengindentifikasi beberapa isu


perdangangan diataranya, karakteristik pembeli, supply
chain serta beberapa keunggulan dan kekurangan
produk dalam memasuki persaingan global, berikut
terlihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 4

E. Peta Aturan Main Internasional

Daya saing membutuhkan kepahaman terhadap


aturan main yang berlangsung. Sehingga dalam
mnyusun kebijkan daya saing tentunya ada sasaran
yang jelas mengenai locu atau tepat perdangan itu
berlangsung, kerangka aturan seperti apa yang harus
dipenuhi. Dengan demikian kendala dan hambatan akan
dapat diatasi. Beberapa rezim dalam perdagangan
diataranya; WTO, Uni Eropa, ASEAN, NAFTA. dll

Global Value Chain(GVC) 61


Global Value Chain(GVC)
F. Peta Kekuatan Bisnis Internasional

Komponen pemetaan ini mengandung konten


diantaranya : Siapa yang bisa mendikte harga?, Siapa
yang bisa mendikte desain?, Siapa yang bisa mengatur
transfer teknologi?, Siapa yang bisa mem-blok- kebijakan
upgrading?

62 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

BAB 6
GLOBAL VALUE CHAIN :
CONTOH KASUS

Kompetensi Akhir Yang Diperoleh

Setelah mempelajari, membahas, mengkaji dan


mendiskusikan isi bab ini, mahasiswa diharapkan
memiliki kemampuan untuk dapat memahami beberapa
bentuk kebijakan dari metode Global Value Chain

A. Contoh Kasus: The Bicycle Industry: From


Hierarchy to Market-Coordination.

Struktur governance dalam GVC oleh Gereffi dan


Humphrey disebutkan sebagai suatu hal yang dapat
berubah seiring waktu, dalam artian struktur governance
dapat bersifat fleksibel sesuai dengan konteks situasi
yang melingkupinya. Kasus industri sepeda merupakan
suatu kasus yang memperlihatkan bagaimana struktur
governance suatu industry dapat berubah secara
gradual. Industry sepeda pada awalnya memiliki struktur
governance hierarki, yang kemudian secara gradual
berubah menjadi struktur pasar. Dalam kasus tersebut
dikatakan bahwa perubahan struktur governance dalam
industry sepeda tidak hanya dipengaruhi oleh biaya

Global Value Chain(GVC) 63


Global Value Chain(GVC)
transasksi yang rendah dan skala ekonomi dan produksi
tetapi juga oleh perkembangan kompetensi spesialisasi
diantara para supplier.

Di tahun awal industri sepeda, pada tahun 1980-an


industri sepeda merupakan industri yang terintegrasi
secara vertikal yang kemudian terfragmentasi dalam
waktu yang cepat. Fragmentasi produksi yang
dimaksudkan adalah produksi sepeda tidak lagi
dilakukan dalam satu kontrol managerial, dimana firma
subordinat atau cabang firma maupun afiliasinya
memproduksi sesuai dengan permintaan atau kontrol
firma utama. Namun disini, firma-firma besar
menspesifikasikan dirinya memproduksi segment-
segment atau komponen tertentu dalam industri sepeda.
Fragmentasi produksi ini memungkinkan produksi yang
dilakukan di berbagai negara yang berbeda dapat
dibentuk ke dalam jaringan produksi lintas batas (cross-
borders production).

Fragmentasi produksi ini kemudian memberikan


beberapa keuntungan bagi firma-firma yang beroperasi,
dan hal ini juga memberikan basis terbentuknya
struktur governance pasar atau market structure.
Pertama, fragmentasi dapat meningkatkan kompetensi
suatu firma. Berbedanya jenis komponen yang
diproduksi menuntut kompetensi yang berbeda pula,
namun spesialisasi produksi membantu firma
meluaskan kesempatan dan kapasitasnya untuk

64 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

berinovasi sesuai dengan jangkaun spesifikasi produk


mereka, bahkan jika mereka bisa berinovasi lebih sukses
daripada yang lain, akan memungkinkan mereka
menjadi penentu standard baru secara de facto dalam
produksi komponen yang sama.

Kedua, firma yang mendominasi dapat menjadi


embrio pembentukan standarisasi produksi yang baru.
Pengenalan dan penerapan standar baru ini dapat
dilakukan oleh firma dominan dalam berbagai cara,
misalnya secara informal melalui jaringan inter-firma,
atau melalui pengaturan oleh asosiasi industry atau
bahkan melalui regulasi agensi internasional bahkan
juga melalui negosiasi. Penerapan standar meski dapat
menjadi suatu hal yang konfliktual dan debatable namun
penting dan perlu karena dipandang sebagai faktor
posisional yang kompetitif bagi firma itu sendiri.

Global Value Chain(GVC) 65


Global Value Chain(GVC)

BAB 7
PEMBANGUNAN EKONOMI
LOKAL

A. Pembangunan Ekonomi Lokal

Pembangunan ekonomi lokal menjadi isu sentral


sejak masa otonomi daerah. Kerena perubahan struktur
pemerintahan ini, dirasa perlu untuk terus
mengembangkan pendekatan-pendekatan yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan daerah. Sistem politik
yang terdesentralisasi tentunya membutuhkan
pendekatan pembangunan yang berbeda dibandingkan
dengan sistem politik yang terpusat sebagaimana era
sebelumnya. Pada era otonomi lokal, pendekatan
pembangunan yang inklusif dan partisipatif dianggap
lebih tepat dalam mendorong potensi-potensi lokal
sembari menguatkan kekuatan demokrasi pada aras
akar rumput.

Desentralisasi sebagaimana tercantum dalam UU


No. 32 tahun 2004 yang memberikan kewenangan

66 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan


pembangunan menuntut suatu pendekatan
pembangunan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan
sesuai dengan konteks otonomi daerah. Hal ini
disebabkan karena setiap daerah memiliki karakteristik
khusus, baik itu secara geografis, sumber daya, maupun
struktur sosial dan politik. PEL dianggap sebagai kritik
terhadap pendekatan pembangunan yang berkarakter
sentralistik. Karakter terpusat dan bersifat top-down
dapat ditemukan dalam teori Pembangunan Ekonomi
Nasional (PEN) yang menekankan pemerintah pusat
sebagai aktor utama dalam proses pembangunan. Selain
itu, PEN dianggap melihat daerah sebagai entitas yang
homogen sehingga memberlakukan model atau kebijakan
pembangunan yang seragam. Dan terakhir, PEN tidak
melihat aspek partisipasi dan pentingnya model
pembangunan yang inklusif sebagai faktor utama
keberhasilan pembangunan daerah. Akibatnya,
pembangunan daerah dilihat dari perspektif yang
sektoral.

Edward J. Blakely dalam bukunya Planning Local


Economic Development menyatakan bahwa pembangunan
ekonomi dan penciptaan lapangan kerja akan lebih
berhasil dan efektif jika disesuaikan dengan kondisi dan
potensi masing-masing wilayah atau komunitas (dalam
Utukaman, 2010:16). Dengan pengertian ini, PEL
dianggap memberi ruang yang lebih besar bagi peran

Global Value Chain(GVC) 67


Global Value Chain(GVC)
komunitas dalam proses pembangunan lokal. Bank
Dunia menyatakan bahwa :

“Local economic development (led) offers


local government, the private and not-for-
profit sectors, and local communities the
opportunity to work together to improve the
local economy. It focuses on enhancing
competitiveness, increasing sustainable
growth, employment generation and
ensuring that growth is inclusive. Led
encompasses a range of disciplines
including physical planning, economics and
marketing. It also incorporates many local
government and private sector functions
including environmental planning, business
development, infrastructure provision, real
estate development and finance.” (Tello,
2010:51).

Secara singkat berdasarkan definisi versi Bank


Dunia tersebut, PEL merupakan pendekatan
pembangunan ekonomi daerah yang melibatkan berbagai
stakeholder atau aktor, baik itu dari pemerintah, sektor
swasta, ataupun komunitas. Fokus pembangunan tidak
saja mengenai penguatan daya saing namun juga
mengupayakan pembangunan yang berkelanjutan dan
memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Bank

68 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

Dunia menyebutkan bahwa teori LED bersifat


interdisipliner, maka tak heran LED tidak saja berkaitan
dengan proses perencanaan fisikal berupaa penyediaan
infrastruktur namun juga keterkaitan pihak pemerintah
dan swasta dalam menciptakan iklim bisnis, strategi
pembangunan bisnis, hingga pada aspek pembiayaan.

Sedangkan ECLA (Economic Comission for Latin


America) atau Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin
menambahkan bahwa, LED merupakan suatu proses
pertumbuhan dan struktural dengan memanfaatkan
potensi lokal dengan tujuan peningkatan kesejahteraan
komunitas secara berkelanjutan. Proses ini melibatkan
setidaknya tiga dimensi, yakni; dimensi ekonomi,
sosiokultural dan dimensi administratif dan politik.
Dimensi ekonomi mencakup aspek produksi yang
memberi ruang atau kesempatan bagi firma lokal untuk
memanfaatkan sumber daya secara efisien,
meningkatkan ekonomi skala, dan meningkatkan
produktifitas serta daya saing (competitiveness). Dimensi
sosiokultural berkaitan dengan jejaring ekonomi dan
sosial dimana nilai lokal serta institusi lokal dapat
menyokong proses LED. Dan terakhir, aspek
administrative menyangkut inisiatif lokal yang mampu
menciptakan iklim atau lingkungan bisnis yang suportif
terhadap proses penguatan pembangunan ekonomi lokal
(Tello, 2010: 52).

Global Value Chain(GVC) 69


Global Value Chain(GVC)
Menurut Kebede (2016) ada empat karakter utama
LED yakni :

1. Partisipatoris inklusif sektor publik, swasta,


masyarakat sipil dan bahkan kelompok-
kelompok marginal bekerjasama
mengembangkan solusi berbasis lokal
2. Value-based atau berbasis nilai-nilai utama
yang dikembangkan adalah nilai yang
menggerakkan komunitas untuk
mendorong proses dan inisiasi solusi
pembangunan. Nilai ini bisa didasarkan
atas kebutuhan penting komunitas itu
sendiri.
3. Peran kepemimpinan lokal-strategi
pembangunan digagas an dikembangkan di
tingkat komunitas, kota atau wilayah.
4. Endogeneous atau bersifat endogen;
menekankan pada pemanfaatan sumber
daya, kapasitas dan kreatifitas lokal.

Selanjutnya Hindson mengingatkan bahwa LED


tidaklah menekankan pada aspek pertumbuhan
ekonomikal semata, yakni mengenai berapa banyak yang
dihasilkan namun filosofi utama LED adalah semua
aktor dapat berkontribusi dalam proses pembangunan,
dan mengintensifkan koordinasi dan komunikasi antar
aktor.

70 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

B. Model Hexagon LED

Heksagon PEL atau LED menurut Meyer-Stamer


(2015) merupakan semacam alat didaktif. Tujuan model
ini adalah menyusun dan sebagai pengingat isu-isu
penting dalam proses pembangunan ekonomi lokal.
Model heksagon terdiri dari enam segitiga dimana
masing-masing segitiga berkaitan dengan isu tertentu.
Meski demikian, keenam segitiga ini tidak diartikan
sebagai suatu runtutan aktifitas, namun hanya bersifat
penggolongan isu-isu esensial dalam LED.

Gambar 10: Heksagon PEL

Keenam segitiga tersebut bisa digolongkan kedalam


tiga segitiga utama, yakni

1. Segitiga pertama dan kedua (target group dan


locational factors) disebut sebagai instrument inti
LED

Global Value Chain(GVC) 71


Global Value Chain(GVC)
2. Segitiga ketiga dan keempat (policy focus and
synergy dan sustanaibility) merupakan inovasi dan
perluasan cakupan dan perspektif LED yang
disebut instrument inovasi
3. Segitiga kelima dan keenam (governance dan
planning M+E) mengenai isu-isu yang terkait
dalam implementasi LED dan digolongkan sebagai
segitiga koordinasi.

Vidanagamage (2014: 8) menguraikan model


heksagon dalam bentuk yang lebih implementatif yang
dirumuskan berdasarkan penelitian LED di Srilanka.
Vidanagamage merumuskan strategi-strategi
pengembangan ekonomi lokal dalam bentuk diagram
heksagon berikut;

72 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

Gambar 11: Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal

C. Strategi Pengembangan Ekonomi Lokal

Penelitian yang dilakukan oleh Jef Rudiantho


Saragih (2010) yang berjudul “Model Pengembangan
Ekonomi Lokal (PEL) berbasis Kopi Arabika Spesialti di
Kabupaten Simalungun”1 menguraikan beberapa strategi
peningkatan produktifitas kopi melalui rekomendasi
model PEL. Argumen Saragih menyatakan bahwa, teori
PEL mengungkapkan pentingnya kolaborasi berbagai
sektor dalam upaya peningkatan produktifitas kopi.

1
Dimuat dalam Wahana Hijau, Jurnal Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. ISSN 1885-4004
Volume 7 Nomor 3, April 2012.

Global Value Chain(GVC) 73


Global Value Chain(GVC)

Model PEL yang diajukan Saragih melibatkan 6


(enam) komponen utama, yakni (1) komponen sosial
ekonomi, (2) komponen ekologi, (3) sertifikasi kopi
arabika spesialti, (4) kebijakan tataguna lahan, (5)
kebijakan dan program pemerintah daerah, dan (6)
kelembagaan dan fasilitas pendukung. Saragih kemudian
menyatakan bahwa strategi yang dapat dipertimbangkan
untuk meningkatkan produktifitas dan berkelanjutan
berdasarkan model PEL yang diajukan adalah, pertama
penerapan praktik-praktik pertanian yang baik (Good
Agricultural Practices, GAPs). Penerapan GAPs tidak saja
bertujuan agar praktik perkebunan kopi efisien, namun
juga memastikan praktik perkebunan kopi tidak
destruktif terhadap lingkungan. Kedua, perluasan lahan
perkebunan kopi, optimalisasi penggunaan tenaga kerja
keluarga, peningkatan biaya pupuk organik dan kimia,
optimalisasi pemanfaatan lahan, peningkatan praktik
pemangkasan tanaman kopi, dan pengendalian
penggerek buah kopi atau PBKo. Ketiga perlua adanya

74 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

kebijakan harga oleh pemerintah dengan meningkatkan


harga kopi gabah, peningkatan harga kopi yang
bersertifikat premium. Pemerintah juga didorong untuk
menyediakan soft infrastructure, yakni penyediaan dan
peningkatan likuiditas keuangan rumah tangga petani.
Sedangkan pada aspek kebijakan yang ditujukan untuk
mengakselarasi peningkatan produktifitas dan lualitas,
direkomendasikan agar pemerintah melakukan
pemetaan ulang sentra produksi, termasuk revisi
peraturan atau regulasi terkait (Kepmenhut 44/2005)
serta pemerintah mesti melakukan introduksi dan
implementasi sejumlah program pengembangan di
tingkat usaha tani dan wilayah.

Global Value Chain(GVC) 75


Global Value Chain(GVC)

DAFTAR PUSTAKA

Baylis, John and Steve Smith: The Globalization of World


Politics: an Introduction to International Relations,
Oxford, 1998

G.Gereffi “Capitalism, Development, and Global


Commodity Chains” dalam Corbridge (ed.)
Development Critical Concepts in the Social Sciences:
The Great Transformation (Part Two), Routledge,
London dan New York: 2000. (GG)

Gilpin “Multinational Corporations and International


Production” dalam Gilpin, Robert, The Political
Economy of International Relations, Princeton
University Press, New Jersey: 1987 (RG)

Gilpin “The Politics of International Trade” dalam Gilpin


(1987) (RG)

Gilpin, Robert, Global Political Economy Understanding


the International Economic Order, Princeton
University Press, New Jersey: 2001. (RG)

Gilpin, Robert, The Political Economy of International


Relations, Princeton University Press : New Jersey,
1987.

John Humprey. “Upgrading in Global Value Chain” (JH)


(tersedia on-line di

76 Alfian hidayat:purnami safitri


Alfian hidayat:purnami safitri

www.ilo.org/public/english/bureau/integration/do
wnload/publicat/4_3_216_wcsdg-wp-28.pdf )
Jorg Meyer Stamer, “The Hexagon of Local Economic
Development”, 2004 (JMS-1)

Jorg Meyer Stamer, “Why is Local Economic Development


so difficult, and what can we do to make it more
effective?”, 2003 (JMS-2)(tersedia on-line di
http://learning.itcilo.org/entdev/LED/pub/archivio/cors
i.aspx?p=21&f=324 )

Krasner, Stephen D. Ed. 1983. International


Regimes.Ithaca, NY: Cornell University Press

Linda Loebis. 2004. “Java Furniture Makers: Winner or


Loser from Globalization

Mas’oed, Mohtar, Ekonomi Politik Internasional, Pustaka


Pelajar : Yogyakarta. 2003

Raphael Kaplinsky and Mike Morris (2000). A Handbook


for Value Chain Research (RK-MM) (tersedia on-line
di www.ids.ac.uk/ids/global/pdfs/VchNov01.pdf)

Global Value Chain(GVC) 77

Anda mungkin juga menyukai