Anda di halaman 1dari 27

KULIAH-01

Kontrak Kuliah:
Tata Muka: 14x
Penilaian:
 Ujian Tengah Semester: 40%
 Ujian Akhir Semester: 40%
 Tugas: 15%
 Kehadiran: 5%
Bahan Ajar:
 Hand out
 Paper (journal)
 Buku ajar
http://laodealwilong.wordpress.com
Converage
1. Evolusi teori perencanaan dan kontroversi arti
perencanaan
2. Keragaan teori perencaaan versi Almedinger
3. Perkembangan ilmu wilayah dan ilmu-ilmu kewilayahan
4. Konsep spasial dalam perencanaan wilayah
5. Teori lokasi von Thunen dan teori teori lokasi
6. Teori Richardian: Land rent dan land use serta organisasi
spasial sistem produksi
7. Teori Alfred Weber: Lokasi Industri, Wilayah pasar, sistem
perkotaan dan aglomerasi
8. Teori August Losch: Ekonomi lokasi dan Keterkaitan sektor
dan sistem produksi
9. Interkasi spasial migrasi dan urbanisasi
10. Teori Grant Hardin: Pengelolaan sumberdaya dan
kepentingan bersama (the Commons)
11. Penataan ruang dalam prespektif Rencana Tata Ruang
Wilayah (teori postmodern planning)
12. Teori Putnam dan Veblenn: Modal sosial dan pembangunan
sosial dalam prespektif Perencanaan wilayah
KULIAH-01

Isu dan Evolusi Teori


Perencanaan serta
Kontroversi Arti
Perencanaan

http://laodealwilong.wordpress.com
Problem actuality: Dualisme
Perencanaan Pembangunan
Isu-Isu Disorientasi
Pembangunan Wilayah:
Campbel & Fanstein (2005): 4 Isu yang
harus dijawab dalam teori perencanaan:

 Mehamami “teori” 
perkiraan serta abstraksi
dari realitas
 Bagaimana akar sejarah
perencanaannya
 Apa justifikasi dalam
perencanaannya
 Role of the game: nilai apa
yang berkaitan dengan
perencanaan
 Etika yang dihadapi
perencana
Evolusi dari Teori Perencanaan
I. ~1940 : Perencanaan bersifat pragmatis
II. 1950-1960 : Master plan/blueprint
III. 1960-1970 : Sistem planning era (perencanaan
berbasis sistem)
IV.1970-1990 : Perencanaan dipandang sebagai
kelanjutan dari partisipasi dalam
konflik (conflict planning)
V. > 1990 : Colaboration planning, advocates
planning
Kontroversi arti pentinya perencanaan
(Almedinger, 2005):
1. Tahun 1930 – 1940an (pemerintah vs pendukung
pasar bebas)
Pendukung Pemerintah VS Pendukung Pasar Bebas
a. Karl Marhaen (1934) a. Friderich Hayek (1944)
b. Rexford Tugwell (1940) b. Ludwing von Mises (1952)
c. Barbara Wooton (1945)

2. Tahun 1950 an masa ”great debate” beralih pada


teknik perencanaan dan alternatif alternatif
kelembagaan (badan perencana nasional).
Charles E. Liblon (1959): perencanan untuk: “the science
of muddling through” dengan melihat perbandingan
pendekatan dalam perencanaan akibat terbatasnya
kapasitas pengambil keputusan
lanjutan:
3. Tahun 1970 – 1980an: khususnya di Inggris
dan Amerika, terjadi perdebatan lagi “perlu
tidaknya perencana nasional.
 Usulan: mengurangi peran pemerintah
 Perencanaan nasional: mengarah pada
kebijakan diregulasi, privatisasi serta
pengembangam zona bebas
untuk industri perkotaan
“Milito Friedman (1979), Simon Kruscje
(1978) dan Wildavsky Krichof (1973)
Klosterman (1985): 4 prespektif,
perlu tidaknya perencanaan:
1. Prespektif Ekonomi
 Mengabaikan perencanaan formal
(perampingan peran pemerintah)
meningkatkan kepercayaan dan
diandalkannya peran enterpreneuship dan
market competition
 Keterlibatan pemerintah: dianggap
menghalangi inovasi, meningkatkan
beban administrasi dan keuangan bagi
pelaku usaha
lanjutan:
 Argumen ini berakar dari
teori “Adam Smith” 
kebebasan individu,
kepastian hukum serta
mempu mendistribusikan
sumberdaya secara efisien
 Dalam kenyataannya terjadi
banyak penyimpangan

Linblon (1977) dan Thurow (1978): kesenjangan


yang besar  intervensi pemerintah yang tidak
bertentangan privatisasi, kebebasan individu dam
desentralisasi
Pentinganya Peran pemerintah
“perencanaan”:
 Barang publik: konsumsi
yang bersifat jointed atau
non rivalty
 Eksternalitas atau spill
over efect: produksi dan
konsumsi tidak pernah
diperhitunkan dalam
mekanisme pasar

 Kondisi “dilema narapidana (prisoner dilemma:


barang publik umumnya open acces
 Isu-isu distribusi: pemerataan sumberdaya
lanjutan:
2. Prespektif Pluralisme
 Aliran pasar bebas: pemerintah tidak harus
dipandu dengan perencanaan jangka panjang
 Tetapi meningkatkan posisi tawar politisi yang
ada
 Kenyataan terdapat kelompok elit politik
kekuasaan
 Perencanaan pluralis akan kompatibel, jika
disertai perencanaan advokasi
 Perencanaan advokasi berpihak pada komunitas
lokal, minoritas dan kaum miskin
lanjutan:
3. Prespektif Tradisional
 Adanya keragaman pemahan ttg perencanaan:
a. bidang arsitektur dan arsitektur lansekap
yang memandang bahwa perencanaan upaya
membangun kota/wilayah yang identik
dengan membangun rumah dengan
lingkungan yang baik untuk meningkatkan
kenyamanan, efisiensi, aman dan nyaman
b. Berlatar politik: sebagai pilar politik yang
keempat (diluar trias politika) untuk
mempromosikan kepentingan publik diatas
kepentingan individu dan kelompok
lanjutan:
3. Perencanaan dipandang sebagai “mekanisme”
menkoordinasikan hal-hal yang berdampak
pada kepentingan publik dengan
mempertimbangkan kepentingan yang akan
datang
4. Gagasan perencanaan tradisional: mendudukan
perencanaan sebagai fungsi dari pemerintah
yang secara leluasa mendahulukan
kepentingan publik yang kolektif
5. Perenc. trandional biasa disebut sebagai
perencanaan yang netral: mengedepankan
rasionalitas dalam identifikasi permasalahan,
implementasi dan evaluasi
lanjutan:
4. Argumentasi Maxisme
 Mempertanyakan kebutuhan dan
kelayakan perencanaan (Harvey, 1973)
 Perencanaan melalui keputusan politik
 Institusi-institusi di masyarakat baik
sosial maupun ekonomi terjebak dalam
sistem ekonomi kapitalis
 Perencanaan saat ini, lebih
mengutamakan kepentingan pengendali
modal produktif
Dua unsur utama
perencanaan:
Di dalam Proses Perencanaan, secara
umum selalu terdapat dua unsur
penting, yakni:
(1) Unsur hal yang ingin dicapai
(2) Unsur cara untuk mencapainya.

Dalam penjabarannya, di dalam proses


perencanaan dikenal berbagai nomenklatur-
nomenklatur seperti visi, misi, tujuan, sasaran,
strategi, kebijakan, program, proyek, aktifitas,
dll
Istilah-istilah di dalam proses perencanaan
berdasarkan unsur perencanaan yang
dikandungnya
Istilah Hal yang ingin Cara/materi
Keterangan
(nomenklatur) dicapai untuk mencapai
Visi V Normatif
Misi V Normatif

Tujuan V Terukur

Sasaran V Terukur

Strategi V V Normatif &


Terukur
Program V V Terukur

Proyek V V Terukur

Aktifitas V Terukur
Proses perencanaan umumnya dilakukan
berdasarkan berbagai kombinasi
pendekatan:

 Berbasis kecenderungan (trends-driven).


 Berbasis kesempatan/peluang
(opportunity-driven).
 Berbasis isu (issue-driven)
 Berbasis tujuan (goal-driven).
 Berbasis visi (vision-driven)

Kondisi keberdayaan Komunitas akan


menentukan cara pendekatan
perencanaan yang dipilih
Perencanaan Berbasis Kecenderungan
(Trend Driven Oriented)

 Didasarkan kecenderungan umum yang terjadi.


 Kecenderungan selalu berubah-ubah, sehingga
pendekatan ini bukan pendekatan yang ideal untuk
kepentingan publik secara jangka panjang
 Dilakukan akibat tidak ada atau lemahnya visi
 Dilakukan akibat ketidakmampuan “membaca” dan
“mengendalikan” masa depan (keterbatasan
pengetahuan dan teknologi), karenanya pilihan
terbaik adalah “meniru”/”mencontoh” pihak yang
diyakini lebih mumpuni/ideal
 Sehingga tanpa disadari dapat mengarah pada
kondisi-kondisi yang tidak diharapkan
Perencanaan Berbasis Kesempatan
(Opportunity Driven)
 Lemahnya kemandirian, kepastian dan akses pada
sumberdaya (dana, SDM, dll) menyebabkan aktifitas yang
disusun tergantung pada kesempatan-kesempatan yang
muncul
 Karena alasan-alasan pragmatis, mengingat adanya
peluang-peluang yang langka.
 Adanya peluang (opportunity) dianggap harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya, terutama selama tidak bertentangan
dengan tujuan-tujuan jangka panjang/ visi
 Akibat tidak adanya kepastian dan kejelasan tahapan
aktifitas proses-proses yang dilakukan cenderung bersifat
tumpang tindih, konflik, tidak efisien, acak (random) dan
bahkan secara tidak disadari dapat bertentangan pada
pencapaian jangka panjang.
 Komunitas yang lemah cenderung menerima semua
proyek/program bantuan pemerintah maupun non
pemerintah yang bersifat parsial dan sesaat yang pada
dasarnya secara keseluruhan tidak menyelesaikan
pencapaian jangka panjang bahkan secara tidak sadar
makin melemahkan/kontradiktif
Perencanaan Berbasis
isu/masalah (issue-driven)
 Perencanaan dilakukan berdasarkan isu atau masalah-
masalah yang ada.
 Beranjak dari permasalahan atau isu disusun tujuan (hal
yang ingin dicapai) dan kemudian langkah-langkah
untuk menanggulangi dan menjawab isu dan tantangan
tersebut.
 Pendekatan yang tidak tepat dan keterbatasan informasi
(pengetahuan) dapat menyebabkan terbatasnya
kemampuan mengenal dan mengidentifikasikan masalah
 Proses perencanaan yang singkat, terburu-buru,
terbatas, tidak mendalam dan parsial di dalam
identifikasi isu/masalah umumnya hanya dapat
mengidentifikasi masalah-masalah fisik dan mudah
terlihat
 Sehingga gagal mengidentifikasi keterkaitan antar
masalah dan akar masalah/masalah jangka panjang.
Perencanaan Berbasis visi
(vision-driven Planning)

 Menekankan nilai-nilai normatif di dalam gerakan


atau aktifitasnya
 Perencanaan seperti ini sesuai untuk gerakan-
gerakan sosial, pendidikan, spiritual/keagamaan
 Berorientasi pencapaian hakiki dalam jangka panjang
 Berorientasi pada outcome bukan output
 Memerlukan kemampuan dan proses yang tepat di
dalam merumuskan visi, visi hanya dapat disusun
melalui proses yang mendalam, mengakar dan
wawasan luas dan jangka panjang (visioner)
 Karena pencapaian yang diharapkan masih bersifat
normatif, masih diperlukan penjabaran yang lebih
spesifik dan rinci berupa perencanaan-perencanaan
jangka menengah dan pendek

Anda mungkin juga menyukai