Anda di halaman 1dari 12

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA

I. Pendahuluan:

Mc Iver pakar sosiologi politik pernah mengatakan:“Manusia adalah mahluk yang dijerat oleh
jaring-jaring yang dirajutnya sendiri”. Jaring-jaring itu adalah kebudayaan. Mc Iver ingin mengatakan
bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diciptakan oleh masyarakat (socially constructed) tetapi
pada gilirannya merupakan suatu kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia untuk
melakukan tindakan dengan “pola tertentu”. Kebudayaan bahkan bukan hanya merupakan kekuatan
dari luar diri manusia tetapi bisa tertanam dalam kepribadian individu (internalized). Dengan
demikian kebudayaan merupakan kekuatan pembentuk pola sikap dan perilaku manusia dari luar
dan dari dalam. Unsur paling sentral dalam suatu kebudayaan adalah nilai-nilai (values) yang
merupakan suatu konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai
etika) serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari system nilai inilah kemudian tumbuh norma yang
merupakan patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam bermasyarakat.

Jelas dari uraian diatas bahwa kebudayaan merupakan unsur paling dasar (basic) dari suatu
masyarakat, sehingga sampai sekarang sebagian sosiolog dan antropolog menganut faham cultural
determinism yang percaya bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaannya[1]. Di dalam perkembangan teori sosiologi Pembangunan terdapat banyak
pandangan tentang faktor penyebab kemajuan ataupun keterbelakangan suatu bangsa seperti
kelompok aliran teori Modernisasi (Parsons, Inkeles, Rostow, Hozellits, David Mc Clelland dsb.), yang
menekankan pada faktor nilai-nilai budaya. Aliran Dependensia (Gunder Franks 1969, Cardoso dan
Falleto 1976, Samin Amir, dsb.) yang menekankan pada faktor struktural seperti penjajahan serta
kebijakan atau tindakan eksploitatif. Ada pula kelompok yang percaya pada kekuatan faktor geograf
dan iklim (misalnya Jeffrey Sachs, 1995). Pada th 2000 Lawrence Harrison dan Samuel Huntington
dalam bukunya “Culture Matters: how values shape human progress” membangkitkan kembali
argumen bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi kemajuan maupun kemunduran manusia
(Harrison and Huntington, 2000).[2] Samuel Huntington memberi contoh bahwa pada tahun 1960-an
Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun
kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun
dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan. Ini disebabkan (terutama)
karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti: hemat, kerja keras, disiplin
dsb. Semua tidak dimiliki masyarakat Ghana.

Perbandingan yang sama bisa juga kita lakukan antara Indonesia dan Korea Selatan. Kedua
negara tersebut merdeka pada tahun yang sama, keduanya sama-sama pernah dijajah oleh Jepang.
Sekarang ekonomi dan kebudayaan Indonesia jauh tertinggal dari Korea Selatan. Malaysia yang sama-
sama berkebangsaan melayu dan merdeka jauh setelah Indonesia, sekarang juga telah meninggalkan
kita. Dalam hal ini tidak berlebihan bila kita menyebut kebudayaan Indonesia sebagai “kebudayaan
yang terkalahkan” (defeated culture).

Apakah benar kita merupakan masyarakat dan bangsa yang ditakdirkan untuk terbelakang?
Apakah ada yang salah pada kebudayaan kita? Apakah kita harus percaya pada cultural determinism?
Pada derajat tertentu faham itu mungkin benar, karena banyak pakar telah menggambarkan bahwa
bangsa kita memang memiliki kemiskinan budaya (cultural defciency) seperti antroplog terkenal
Koentjaraningrat serta budayawan terkenal Mochtar Lubis pernah mengupasnya sekitar tahun 70-an.
Bila hal itu benar, apakah karakter budaya tersebut bersifat melekat (inherent) pada masyarakat kita,
apakah kebudayaan itu tidak mungkin kita rubah dan kita bangun kembali? Mungkin pertanyaan
yang lebih penting untuk dijawab adalah:”Apakah kita sebagai sebuah bangsa memang telah
membangun kebudayaan kita selama ini?”. Apakah Pembangunan di negeri kita yang pernah
dijuluki sebagai “the Asian miracle” ini telah termasuk membangun juga kwalitas kebudayaan kita?,
atau kita hanya sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata?.

Tulisan ini bertujuan untuk melihat lebih jauh masalah pembangunan nilai-nilai di Indonesia
serta mencoba untuk mencari format pembangunan yang mampu merubah system nilai yang hidup
di masyarakat kita agar nilai budaya itu tidak menjebak kita dalam suatu pola kehidupan yang
dekaden.

II. Analisis situasi Perkembangan Budaya Masyarakat Indonesia.

Bila kita bertanya apa hasil pembangunan di masa Orde Baru hingga sekarang, maka kita pada
kita hanya akan disajikan berbagai angka-angka perkembangan ekonomi dan daftar panjang sejumlah
sarana-prasarana fsik yang telah dibangun. Bagaimana dengan perkembangan sosial budaya kita?
Beribu-ribu sekolah, perumahan, Rumah Sakit dan rumah ibadah telah dibangun, tetapi mampukah
kita menjawab secara terukur perkembangan kwalitas kehidupan sosial atau budaya kita? Misalnya:
”Apakah masyarakat Indonesia semakin rukun?, semakin mandiri?, semakin peduli?. Sebagian besar
orang pasti akan menjawab “tidak”, tetapi tak seorangpun bisa menentukan sejauhmana
kemerosotan itu?, karena semua itu memang tidak pernah diukur, apalagi dipertanggungjawabkan
oleh pimpinan negara. Beberapa gejala menonjol dari proses perkembangan nilai-nilai di Indonesia
saat ini adalah:

Jurang antara Nilai ideal dan nilai aktual

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis sebenarnya memiliki nilai-nilai
luhur, secara nasional kita memiliki Pancasila yang dikagumi banyak bangsa lain, setiap daerah di
Bumi Nusantara ini juga punya nilai tradisional yang dibanggakan. Tetapi kita tahu bahwa semua itu
hanya merupakan “nilai ideal” (ideal values) sementara itu kehidupan kita sehari-hari dikendalikan
dan diarahkan oleh seperangkat nilai-nilai lain seperti materialisme, pragmatisme, egoisme (baik
pada tingkat individu, kelompok, daerah, sektor dsb.), hedonisme, permissiveness, opportunisme,
primordialisme, dogmatisme dan lain sebagainya. Nilai-nilai inilah yang secara nyata mengendalikan
dan mengarahkan hidup kita sesuai dengan kebutuhan untuk mempertahankan “survival” di jaman
modern saat ini. Ini semua adalah real atau actual values. Bangsa lain pasti juga mengalami
kesenjangan antara nilai ideal dengan nilai actual, tetapi pada masyarakat kita kesenjangan ini terasa
amat dalam bahkan seringkali diametral, sehingga kita merasa menjadi bangsa yang munafk atau
hipokrit. Pada masa Orde Baru kita menggalakkan penanaman Pancasila tetapi pada saat yang sama
pimpinan negara sampai rakyatnya melanggar semua nilai-nilai itu[3]. Di masa reformasi bangsa ini
bertekad membasmi KKN, tetapi data menunjukkan bahwa korupsi di masa ini malah lebih merata
daripada dimasa Orde Baru. Bangsa ini berteriak anti militerisme, tetapi budaya kekerasan
dikalangan sipil semakin marak, termasuk yang berkedok organisasi keagamaan. Semua parpol
bangga dengan laskar-laskar sipilnya, budaya perpeloncoan yang sarat “kekerasan dan penyiksaan”
terus bertahan di Universitas bahkan menjalar ke sekolah menengah dsb.

Inkonsistensi antar agen sosialisasi

Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami krisis nilai, situasi amat anomic karena adanya
inkonsistensi yang tinggi antara nilai-nilai yang di sosialisasikan oleh suatu pranata sosial dengan
pranata sosial lainnya. Nilai yang diajarkan orangtua di keluarga (yang kebanyakan berbasis agama
dan adat) berbeda dengan nilai di sekolah (yang berbasis pada kebijakan pemerintah atau kurikulum
yang sudah ditetapkan pemerintah). Nilai yang diajarkan disekolah juga tidak sama dengan nilai yang
berlaku ditempat kerja yang saat ini nampaknya lebih didominasi oleh nilai-nilai KKN (semua orang
tahu bahwa korupsi di Indonesia adalah korupsi yang dilakukan bersama-sama secara sistemik, sering
disebut sebagai “grouped corruption”). Media komunikasi massa (TV, internet, radio dsb.) yang
semakin menjadi “primadona” di jaman revolusi informasi ini nampak semakin bebas membawa
masyarakat pada system nilai yang amat pragmatis dan hedonis. Berbagai kekuatan agent of
socialization ini bertemu dalam ruang publik yang “tak bertuan” (karena tidak ada pihak yang
melindungi atau mengaturnya termasuk pemerintah). Akhirnya institusi yang kuat akan meng-
hegemoni yang lain, maka nilai-nilai yang paling pragmatis, materialistis dan mengagungkan
kenikmatan (hedonistic)-lah yang nampaknya akan menang!.

Institusionalisasi tanpa internalisasi

Sejak memasuki masa Reformasi, bangsa Indonesia ingin melakukan perombakan nilai-nilai
Orde Baru yang dianggap “busuk” dan menggantinya dengan nilai-nilai baru. Dalam periode yang
relatif singkat, parlemen (nasional maupun lokal) meluncurkan produk-produk hukum yang baru.
Akan tetapi pelembagaan (institusionalisasi) hukum ini ternyata tidak diikuti secara seimbang oleh
proses penanaman nilai-nilai yang melandasi norma baru tersebut (proses internalisasi). Misalnya UU
Politik yang demokratis tidak diikuti oleh penanaman nilai-nilai demokrasi pada masyarakat luas baik
melalui kehidupan di keluarga, komunitas, sekolah, media massa dsb. Maka terjadilah suatu gejala
“institusionalisasi tanpa internalisasi”, akibatnya aturan dijalankan tanpa dilandasi penghayatan nilai-
nilai. Melakukan pemilu tanpa nilai demokratis, menjalankan supremasi hukum tanpa menjiwai nilai
keadilan. Hukum yang tidak didukung oleh system nilai masyarakat akan tumpul, individu-individu
tidak akan memiliki rasa bersalah bila melanggarnya (tidak ada “inner control” ). Disamping hilangnya
rasa bersalah, masyarakat kita juga mulai kehilangan rasa malu terhadap sesamanya, ini disebabkan
karena kekuatan “kontrol sosial” mulai memudar dikalangan masyarakat, bahkan yang terjadi
anggota masyarakat melakukan pelanggaran norma secara bersama-sama (korupsi “berjamaah”).
Banyak orang mengatakan kita sudah kehilangan budaya malu. Dalam situasi ini satu-satunya “rem”
yang bisa menghambat orang melanggar peraturan adalah rasa takut misalnya terhadap hukuman
atau takut terhadap petugas. Akan tetapi akhir-akhir ini kita melihat gejala bahwa banyak orang
kehilangan rasa takutnya pada hukum, karena hukum dapat dibeli, dan “diatur”. Bila ketiga “rasa”
tadi sudah memudar, darimanakah kita akan memulai penegakan hukum kita?
III. Pembangunan Sosial-Budaya.

Perdebatan tentang mana yang lebih penting pembangunan ekonomi dan fsik atau
pembangunan sosial-budaya merupakan perdebatan klasik yang tiada hentinya. Walaupun
pembangunan ekonomi dan fsik pada kenyataannya lebih dominan dan menjadi prioritas,
pemerintah selalu menyatakan bahwa pembangunan sosial-budaya tidak diabaikan, tetapi
pembangunan sosial-budaya seperti apa?. Pembangunan sosial-budaya yang telah dilakukan
pemerintah memiliki beberapa pengertian yaitu:

1) Pembangunan sosial budaya adalah “pembangunan sektor sosial-budaya” (yaitu sektor yang
outputnya bukan uang atau barang tetapi peningkatan kwalitas manusia atau kesejahteraan sosial)
misalnya: sektor pendidikan, kesehatan, agama dsb. Pembangunan sektoral ini memang penting
sekali, tetapi secara sosiologis terdapat pertanyaan yang lebih mendalam yaitu: apakah
pembangunan sektor sosial tsb. telah mengembangkan kwalitas interaksi sosial atau nilai-nilai
budaya masyarakat secara keseluruhannya?. Misalnya apakah pembangunan sektor pendidikan kita
saat ini mampu mengembangkan kreativitas ilmiah atau kemandirian manusia Indonesia? (bukan
hanya sekedar menghasilkan kelulusan dan sertifkat), apakah pembangunan sektor kesehatan
mampu mengembangkan pola perilaku sehat? (bukan sekedar menambah jumlah tempat tidur di RS
atau jumlah dokter spesialis yang semakin canggih), apakah pembangunan sektor agama dapat
mengembangkan nilai kerukunan antar umat? (bukan sekedar menambah jumlah fasilitas ibadah).
Pada kenyataannya pembangunan ”sektor sosial” masih belum mencukupi, karena belum mencakup
pembangunan budaya atau nilai-nilai dalam arti yang sebenarnya.

2) Pembangunan sosial budaya sering diasumsikan akan terjadi dengan sendirinya sebagai akibat
dari pembangunan ekonomi (misalnya akan meningkatnya etos kerja, profesionalisme,
kewirausahaan dsb.) Asumsi ini sebagian benar, tetapi pemerintah perlu juga mewaspadai bahwa
pembangunan ekonomi dan fsik sering juga menghasilkan dampak sosial-budaya negatif
(berkembangnya nilai-nilai hedonisme, individualisme, dehumanisasi, melemahnya kemandirian
bangsa dan menguatnya mental ketergantungan pada produk asing seperti yang kita rasakan saat
ini). Pemerintah tidak boleh menganggap hal ini sekedar sebagai social cost yang wajar dan harus
diterima, akan tetapi kita perlu melawan kondisi ini dengan “pembangunan nilai-nilai”.

3) Pembangunan sosial-budaya sering diartikan sebagai upaya konservasi (sekedar mengawetkan


budaya lama). Kegiatan ini sering hanya dilandasi oleh romantisime masa lalu. Secara politis program
ini sering berfungsi sebagai aksesoris yaitu untuk memberi kesan bahwa regim yang sedang berkuasa
cukup mempunyai “penghargaan” terhadap produk budaya klasik yang bernilai sejarah.
Pembangunan bidang ini biasanya tidak memperoleh dana yang besar kecuali jika konservasi
tersebut dipandang menguntungkan sebagai investasi kepariwisataan.

4) Pembangunan budaya sering juga diartikan sebagai pembangunan nilai yang diperlukan untuk
mempercepat pembangunan ekonomi, jadi tujuan pembangunan yang utama adalah ekonomi. Nilai-
nilai yang dikembangkan hanya untuk menopang pembangunan ekonomi. (mis. Sikap tertib, patuh,
disiplin, partisipatif dsb.).

5) Disamping nilai-nilai yang biasanya lebih diorientasikan pada Pembangunan ekonomi diatas,
Pembangunan nilai seyogyanya diarahkan pada tujuan utama dari pembangunan kwalitas manusia
dan interaksi manusia misalnya pengembangan nilai-nilai keadilan (fairness), kerukunan
(inclusiveness, brotherhood, communitarian), kepedulian (social responsibility, care), kemandirian
(self reliance, independence bukan egoistic individualism), kejujuran (trustability, honesty, sincerety),
sinergi (maju bersama dengan prinsip win-win solution dan synthetic energy bukan sekedar
kompromi, koalisi atau kolusi). Pembangunan budaya (nilai-nilai) jenis inilah yang terutama akan
ditekankan pada ”Pembangunan Sosial-Budaya”, karena tujuannya adalah meningkatkan kwalitas
interaksi, sikap dan perilaku manusia yang dapat mengarah pada suatu bentuk masyarakat adab.[4]

Jadi, pembangunan budaya mungkin sudah dilakukan oleh semua negara atau bangsa, tetapi
kita perlu melihat lebih jauh pembangunan budaya yang seperti apa? Dari 5 jenis pembangunan
kebudayaan yang ada, sebaiknya kita tidak memilih salahsatu daripadanya, tetapi semuanya dan
semangatnya harus bermuara pada yang terakhir (nomer 5).

Pembangunan budaya sendiri masih mengalami berbagai hambatan karena terdapat berbagai
persepsi atau anggapan yang berbeda, misalnya sering orang menganggap alam merupakan faktor
penentu dari terbentuknya budaya (misalnya daerah tropik menciptakan budaya santai dsb.). Kini
banyak bangsa atau negara di daerah tropik yang punya budaya dinamis seperti negara non tropis.
Kekuatan yang dapat merubah budaya adalah sense of direction dari masyarakat bersangkutan
(seperti Singapore sebagai suatu negara kecil yang hanya bisa mengandalkan manusia dan budaya).
Menurut faham cultural relativism tidak ada budaya yang buruk atau baik. Budaya Amerika baik
untuk masyarakat Amerika bukan untuk masyarakat Indonesia, itu mungkin benar, tetapi faham ini
tidak boleh menjadi alasan untuk menghindari usaha memperbaiki degradasi system nilai yang
terjadi di masyarakat kita[5]. Unsur-unsur kebudayaan kita yang buruk perlu kita rubah dan kita
buang dan unsur budaya lain yang baik bisa kita pelajari dan adopsi, namun isue mengenai
perencanan pembangunan budaya sering mengundang kontroversi mengenai konsep cultural
engineering. Sebagian orang mengatakan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang mengalir secara
alamiah seperti sungai mencari jalannya sendiri. Tidak seorangpun termasuk pemerintah, berhak
merekayasa kebudayaan kearah tertentu. Menciptakan suatu “blue print” budaya bagi seluruh
masyarakat adalah tidak etis dan tidak sesuai dengan HAM. Memang benar kebudayaan merupakan
hasil negosiasi sehari-hari dari berbagai kekuatan sosial dan factor-faktor lingkungan lain yang
mempengaruhi kehidupan manusia (”social order is a negotiated order”), tetapi dalam kenyataan,
ternyata kekuatan dari berbagai actor itu berbeda-beda, sehingga hampir semua kebudayaan di
dunia saat ini jatuh dalam suatu scenario yang diciptakan secara sepihak oleh “pihak yang berkuasa”
(para hegemon). Pada jaman modern ini kaum kapitalis raksasa mencengkeram dan menyeret
kebudayaan umat manusia kedalam jebakannya melalui kekuatan iklan dan gaya hidup
konsumtivisme yang amat kuat dan merajalela (overwhelming). Pendekatan pembangunan yang
berorientasi pertumbuhan yang telah menghasilkan tiga krisis besar didunia yakni: “kekerasan,
kemiskinan dan kehancuran lingkungan” adalah hasil dari kekuatan rekayasa itu. Jadi sebenarnya
”cultural engineering” sudah dan sedang terus terjadi dalam kehidupan manusia saat ini. Apakah
manusia akan menyerah pada kekuatan itu, ataukah akan melawan secara budaya? Tidakkah
mungkin masyarakat umum (civil society) bersama pemerintah merancang suatu scenario
”perlawanan budaya” tandingan yang mampu mengembalikan manusia dari gejala “dehumanisasi”
ini ? [6]

Pembangunan National Character?


Konsep National Character bukan lagi untuk sekedar menyeragamkan semua daerah atau
mengembangkan chauvinisme (fanatisme budaya nasional), tetapi yang lebih penting adalah
membangun system nilai instrumental (yang bersifat universal) yang dapat membangun kapasitas
bangsa ini untuk maju dan bertahan hidup secara bermartabat dalam persaingan dunia yang semakin
keras. Perlu ada tekad nasional untuk mengembangkan secara konsisten nilai-nilai strategis tertentu
yang bukan saja dapat membangkitkan perekonomian yang memakmurkan rakyat, tetapi juga
membangun peradaban yang mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Semua daerah di
Nusantara ini harus tetap memiliki ruang untuk bisa mempertahan karakternya masing-masing,
namun sebagai bangsa yang tergabung dalam suatu negara kesatuan kita perlu punya kesepakatan
sistem nilai instrumental yang akan dikembangkan bersama. Dalam hal ini peran Negara penting
untuk membangun kebijakan dan regulasi yang mampu menjadi kekuatan ”incentive dan
disincentive” (structural constraints) sehingga semua institusi sosial dalam tataran Nasional dapat
mengarahkan pola perilaku masyarakat menuju suatu arah strategis tertentu.

IV. Pembangunan Berbasis Nilai.

Rejim Orba pernah melakukan usaha pembangunan nilai-nilai Pancasila melalui P4. Ini
merupakan suatu contoh cultural engineering yang gagal. Ini boleh disebut cultural engineering
karena nilai-nilai yang akan ditanamkan telah ditentukan, diolah secara rapih dari atas,
metodenyapun telah dirancang secara baku. Tidak ada yang boleh keluar dari pakem yang telah
ditentukan. Tingkat paksaan (koersinya) cukup tinggi, bahkan dengan nuansa sakralisasi yang kental,
sehingga Pancasila dapat menjadi label dari orang yang baik atau tidak baik (berbahaya). Nilai-nilai
itu amat mutlak tidak dapat ditawar dan sebagian terbesar digunakan untuk meningkatkan
konformitas dogmatis terhadap rejim, sehingga ini boleh disebut sebagai indoktrinasi. Sebagai proses
pelembagaan (institusionalisasi) P4 boleh dibilang sukses, tetapi tingkat internalisasi (menjadi darah
daging dan kepribadian) pada warganegara sangat tipis. Sebagai ekses dari kegagalan P4 sekarang
justru nilai-nilai Pancasila yang masih amat berguna bagi bangsa ini menjadi korban ketidak
percayaan masyarakat. Kegagalan pembangunan nilai-nilai dengan P4 ini tidak boleh dijadikan alasan
bahwa bangsa ini tidak perlu lagi melakukan pembangunan nilai-nilai.

Bangsa Korea dibawah Park Chung Hee pernah melakukan suatu gerakan pengembangan nilai-
nilai untuk membangkitkan kembali bangsa Korea dari keterpurukan mental dari penjajahan Jepang.
Gerakan Semaul Undong itu difokuskan pada pengembangan tiga nilai yang dianggap paling strategis
bagi bangsa Korea pada saat itu yaitu: diligence (kerajinan atau kerja keras), self reliance
(kemandirian) dan cooperation (kerjasama atau gotong royong). Ini semua bukan nilai dasar
(ultimate atau basic values), tetapi nilai instrumental yang sifatnya strategis untuk dikembanghkan
pada masa itu. Gerakan Semaul Undong adalah gerakan yang didukung sepenuhnya oleh pimpinan
nasional dilakukan secara sistematis dan konsisten. Keberhasilan semua program pembangunan
(termasuk ekonomi dan fsik) dikaitkan dengan pengembangan ketiga nilai tersebut. Karena
komitmen yang tinggi dari semua komponen bangsa, maka gerakan itu bisa dibilang berhasil dan
merupakan salah satu faktor yang membentuk bangsa Korea menjadi seperti sekarang ini

Melihat keberhasilan Korea dalam membangun nilai-nilai, maka kita harus merasa optimis
untuk dapat melakukan hal serupa. Kita semua menyadari bahwa dalam proses melakukan
pembangunan nasional, kondisi budaya kita justru terus mengalami kemerosotan. Kita perlu
melakukan suatu pengembangan orientasi budaya yang baru dan ini tidak cukup hanya dengan
merumuskan suatu strategi kebudayaan, kita harus lebih jauh lagi melakukan suatu perencanaan
pembangunan sosial budaya yang lebih konkrit dan eksplisit.

Pembangunan Berbasis Nilai adalah suatu pembangunan seluruh aspek kehidupan bangsa
(ekonomi, politik fsik, sosial dan budaya) yang dilandasi oleh nilai tertentu. Keberhasilan
pembangunan ini bukan hanya dilihat dari pencapaian kwantitatif setiap bidang atau sektor
pembangunan, tetapi terutama tertanamnya nilai-nilai strategis yang telah ditargetkan. Dengan
demikian pembangunan ini tidak hanya bersifat “growth oriented”, tetapi berbasis nilai atau “value
based”[7]. Pembangunan nilai-nilai itu tidak boleh hanya ditugaskan pada Departemen Pendidikan
saja, karena pembangunan budaya ini bukan merupakan pembangunan sektoral, tetapi harus
bersifat sosietal (mencakup seluruh bidang kehidupan).

Lagkah-langkah Pembangunan Berbasis Nilai :

1) Para budayawan bersama ilmuwan dan tokoh masyarakat bersepakat untuk merumuskan
kondisi budaya bangsa saat ini, apa kekuatan yang kita miliki dan apa kelemahan yang ada. Dalam hal
ini Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI dapat mengambil inisiatif untuk melakukan penelitian ilmiah
mengenai hal ini, sehingga dapat memudahkan para tokoh masyarakat merumuskan suatu
kesepakatan nasional.

2) Pimpinan Nasional (presiden dan parlemen) harus menindaklanjuti dengan menggalang suatu
konsensus nasional untuk mengembangkan nilai-nilai strategis tertentu yang paling diperlukan oleh
bangsa ini untuk dapat menjawab tantangan jaman pada masa kini.

3) Nilai-nilai yang akan dikembangkan adalah nilai instrumental yang strategis (strategic
instrumental values) yang tentu saja tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ( ultimate values)
yakni Pancasila, bahkan bila instrumental values ini bisa dikembangkan, maka akan menunjang
tercapainya nilai-nilai dasar tersebut.

4) Perumusan nilai-nilai strategis perlu dilakukan dengan proses bottom-up yakni mendengar
aspirasi dan masalah-masalah konkrit di masyarakat (dan berdasar kajian ilmiah yang seyogyanya
dilakukan oleh FISIP-UI). Nilai-nilai itu kemudian perlu dirumuskan oleh kelompok pakar, budayawan,
pemimpin agama dan adat dsb.

5) Nilai yang akan dikembangkan dalam suatu kurun waktu tertentu sebaiknya tidak terlalu banyak
tetapi terfokus pada beberapa (2 atau 3) nilai strategis yang benar-benar perlu dikembangkan dalam
masyarakat kita saat ini untuk mengejar ketertinggalan bangsa kita dari masyarakat lainnya.[8]

6) Nilai-nilai tersebut harus dirumuskan secara singkat, popular, mudah diingat oleh semua orang
dan memang benar-benar mengena dihati sanubari masyarakat kita. Misalnya nilai anti korupsi
(kejujuran), nilai kerukunan dan nilai kemandirian.

7) Nilai-nilai itu perlu didefnisikan secara operasional kedalam butir-butir yang dapat dicapai dan
diukur oleh masyarakat (indikator).
8) Setiap akhir tahun perkembangan nilai-nilai tsb. harus dievaluasi oleh lembaga professional
yang indipenden (non pemerintah) pada masing-masing sektor pembangunan (pendidikan,
kesehatan, industri, perdagangan, politik, hukum dsb.). Contoh: nilai kerukunan harus dikembangkan
dibidang pendidikan, tetapi bidang-bidang lain seperti politik, hukum, bahkan perdagangan atau
industri juga harus menunjang nilai kerukunan (dalam mengatasi masalah perburuhan). Kemandirian
harus dikembangkan disekolah, tetapi sector lain seperti Perbankan juga harus mengembangkan
kemandirian dengan menyediakan kredit bagi pengusaha kecil agar mereka menjadi mandiri (tidak
tergantung dari lapangan kerja yang diberikan oleh investor asing). Cara memperoleh pelayanan
kesehatan juga harus menghasilkan sikap masyarakat yang mandiri. Perdagangan dan industri juga
harus mengembangkan sikap kemandirian dengan lebih mengandalkan produk dalam negeri. Bahkan
secara nasional pemerintah harus berani mengurangi hutang luar negeri sebagai perwujudan dari
sikap mandiri.

9) Hasil evaluasi dari program yang telah dilakukan oleh setiap Departemen harus dilaporkan dan
dipertanggungjawabkan oleh setiap menteri dan akhirnya secara nasional dipertanggungjawabkan
oleh presiden pada rakyatnya.

10) Sebagai konsekwensi dari otonomi, setiap daerah bisa mengembangkan nilai khas yang dianggap
penting bagi daerah yang bersangkutan, tetapi sebaiknya nilai tingkat nasional tetap menjadi acuan
setiap daerah agar terdapat konsistensi nilai secara nasional.

11) Nilai-nilai tersebut harus ditanamkan pada setiap warga negara bukan hanya dengan bentuk
ceramah atau penataran, tetapi dengan tindakan seperti:

Ø keteladanan pemimpin mulai nasional sampai daerah, guru-guru disekolah

Ø pertunjukkan drama, flm, wayang, sinetron dsb.

Ø Iklan layanan masyarakat

Ø Kegiatan-kegiatan nyata seperti olahraga, kesenian, pertandingan.

Ø Pemberian penghargaan (menciptakan role model)

Ø Program-program pembangunan seperti kredit bagi usaha kecil, bantuan dana dampingan untuk
komunitas di kota maupun diperdesaan.

Ø Program insentif atau disinsentif bagi dunia swasta.

Ø Kontrol sosial dengan hukum formal sampai hukuman sosial (mempermalukan dsb.).

Ø Kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang kemandirian (mis. mengurangi hutang luar negeri).

Ø Dan sebagainya (tergantung dari kreativitas kita).

Saat ini banyak bangsa-bangsa di dunai yang ingin mengembangkan kebudayaan nasional mereka
yang bisa menunjang keberhasilan pembangunan Nasional. Simposium ”Cultural Values and Human
Progress” yang diselenggarakan oleh Harvard Academy for International and Area Studies pada tahun
1998 telah menyepakati suatu agenda riset untuk mendukung usaha ini, yang berisi:
Penyusunan tipologi nilai dan sikap yang mendorong maupun menghambat pembangunan.

Meneliti hubungan antara kebudayaan dengan keberhasilan pembangunan

Meneliti dampak/hubungan antara suatu kebijakan dengan pranata sosial sarta nilai/sikap
masyarakat.

Penelitian mengenai proses ”value transmission” (penanaman nilai-nilai) pada generasi muda
melalui berbagai pranatan pendidikan dan sosialisasi.

Mengembangkan metodologi pengukuran perubahan nilai/sikap

Melakukan monitoring dan penilaian terhadap usaha-usaha perubahan nilai-nilai yang sedang
berjalan. (Harrison, 2000. hal xxxii).

Sebagai suatu lembaga ilmiah dibidang Ilmu-Ilmu Sosial seyogyanya FISIP-UI ikut ambil bagian dalam
studi-stidi semacam itu. Lngkah ini dapat dimulai dengan mengambil Kota Depok sebagai suatu
Laboratorium Sosial[9]

V. Kesimpulan

1. Masyarakat Indonesia kini telah tertinggal oleh masyarakat lain di dunia (bahkan juga oleh
negara tetangga). Budaya kita telah terkalahkan, oleh karena itu kita harus melakukan suatu
pembangunan yang mampu membangkitkan budaya kita.

2. Krisis budaya kita telah cukup mendalam, hal ini nampak dari beberapa gejala yang patut kita
kaji lebih mendalam dan dengan jujur bisa kita cari jalan keluarnya.

3. Pembangunan Sosial-Budaya selalu berada dibawah bayang-bayang pembangunan Ekonomi,


sehingga sering tertinggalkan atau tidak dianggap penting. Pemerintah merasa telah membangun
aspek sosial-budaya, tetapi pengertian tersebut masih belum tepat. Kita membutuhkan Rencana
Pembangunan Sosial-Budaya yang bersifat sosietal (menjiwai seluruh aspek atau sector
pembangunan lainnya).

4. Pembangunan Berbasis Nilai merupakan suatu konsep yang belum dimaknai secara benar,
masih perlu disosialisasikan dan diperdebatkan secara nasional. Konsep ini harus disepakati dan
didukung oleh political will pemerintah. Metodologi dan berbagai tehnik lain masih perlu
dikembangkan lebih jauh agar PBN ini benar-benar efektif.

5. Prinsip Pembangunan Berbasis Nilai pada dasarnya adalah: setiap pembangunan harus memiliki
dasar nilai yang dicita-citakan. Nilai itu dapat dibentuk dan dikembangkan melalui kekuatan-kekuatan
structural yang konsisten (kebijakan, Undang-undang, system insentif-disinsentif dan sebagainya).
Perkembangan nilai tersebut harus bisa diukur. Bila tidak ada perkembangan dari nilai-nilai tersebut
di masyarakat, maka pembangunan itu dianggap telah gagal dan harus dikoreksi dimasa depan.
**********

Daftar Pustaka.

Bernstein, H. (ed)”Underdevelopment and Development: The Third World Today”. Hamondsworth:


Penguin Bookst Ltd. 1973

Franks A.G. “Capitalism and Underdevelopment in Latin America”, New York and London. Monthly
Review Press, 1969.

Landes, David. “The Wealth and Poverty of Nations”, New York: Norton, 1998.

Harrison, Lawrence E. and Samuel P. Huntington (ed.) “Cuture Matters: how values shape Human
progress.. Basic Books, New York 20

Cardoso, F.H. and Enzo Falleto “Dependency and Development in Latin America” . Berkeley :
Univerity of Califormia Press 1979.

Sachs, Jefrey and Andrew Warner, “Natural Resource Abundance and Economic Growth” National
Bureau of Economic Research, Cambridge ,Mass 1995

Inkeles, Alex. And David Smith “Becoming modern.” Boston Little Brown. 1974.

Macionis, Joh. J. “Sociology”, Pearson International Edition. New Jersey, 2007.

******

* Dipresentasikan dalam rangka pidato ilmiah pada acara “Dies Natalis FISIP-UI th 2010). Makalah ini
dikembangkan dari tulisan dengan judul sama yang pernah diterbitkan dalam buku :”UI untuk
bangsa” (2009). Dalam tulisan ini terdapat banyak catatan tambahan.
[1] Dinosaurus menguasai planet ini selama 160 juta tahun, kemudian musnah. Manusia baru
menguasai planet ini 250.000 th. Manusia sebagai mahluk yang jauh lebih cerdas dan memiliki
kebudayaan yang jauh lebih canggih akankah bertahan lebih lama?, atau justru lebih cepat? Semua
ini tergantung dari pilihan dari satu spesias diantara 30 juta spesiel lain yang menghuni planet ini,
yaitu: manusia (Macionis, 2007. hal 606) Kebudayaan manusia adalah hasil pilihan, tetapi pilihan
manusia ditentukan oleh Kebudayaan!!

[2] Setelah banyak bangsa “Dunia Ketiga” berubah menjadi bangsa ”Dunia Pertama” (Korea,
Singapore, Taiwan dsb.) dan matinya komunisme di Eropa Timur, serta berubahnya komunis Cina
menjadi Kapitalis, (lihat David Landes 1998 dan Harrison 2000), maka teori kolonialisme dan
dependensia telah banyak kehilangan relevansinya. Dalam kondisi seperti ini ditambah lagi bahwa
Teori rasisme dan teori geografs juga tidak dapat memberikan penjelaskan yang memuaskan
mengapa ada bangsa-bangsa yang tertinggal dalam pembangunan, maka penjelasan Budaya yang
dulu pernah pudar seiring “bangkrutnya” teori Modernisasi kini muncul lagi ke permukaan. Tetapi
pendekatan ini nampaknya tidak akan mengulang lagi kesalahan teori modernisasi (lama) yang telah
banyak dikritik karena sangat bias pada mayarakat Barat (etnosentris).

[3] Carlos Alberto Montainer menggambarkan bahwa di Argentina terdapat nilai-nilai yang bersifat
”development resistance”, tetapi nilai-nilai ini justru sering dimanfaatkan oleh kaum elit politik dan
perilaku elit ini justru yang menyebar mempengaruhi masyarakat luas.Keadaan ini juga yang kita
alami pada masa Soeharto.

[4] Pembangunan Sosial-Budaya bahkan lebih mendasar dari sekedar pengentasan kemiskinan.
Walaupun kemiskinan menyangkut degradasi kwalitas manusia secara luas, akan tetapi sebenarnya
pembangunan yang berjalan selama ini telah menghasilkan dampak negatif yang lebih luas lagi dari
kemiskinan yaitu “kerusakan sendi-sendi kehidupan sosial-budaya manusia” seperti peperangan,
kekerasan, terorisme, penindasan, perdagangan manusia, pendeknya hal-hal yang menyangkut
degradasi moral dan etika bermasyarakat. Ini semua merupakan isu pokok “pembangunan sosial”,
jadi jauh lebih luas dan lebih dalam dari sekedar kemiskinan

[5] Robert Edgerton (dalam Harrison 2000) - seorang antropolog - percaya bahwa suatu budaya lokal
tidak selalu baik atau menguntungkan masyarakat setempat (seperti sering dikatakan oleh aliran
cultural relativism), sehingga mengikuti logika ini suatu budaya lokal dapat saja dirubah.

[6] Perlawanan-perlawan budaya sebetulnya sekarang sudah banyak terjadi secara kecil-kecilan di
masyarakat yakni untuk melawan dominasi produk-produk industri besar yang tidak sehat dan
merusak lingkungan melalui suatu perubahan gaya hidup seperti menolak penggunaan kantong
plastik, kampanye ”makanan sehat” dsb.

[7] Dengan Pembangunan yang berorientasi Pertumbuhan, secara peradaban, manusia di dunia
saat ini sebetulnya hampir tidak mengalami kemajuan terutama dalam insting dasarnya (kerakusan,
agresivitas, kekerasan), juga dalam martabatnya karena mengalami pengangguran, kemiskinan,
penganiayaan, penghisapan, peperangan dsb.

[8] Di Peru, lembaga yang bernama “Institute of Human Development” telah mengembangkan
program penanaman nilai-nilai bagi masyarakat Per yang diberi nama ”Ten Commandment of
Development” yang isinya: keteraturan, kebersihan, ketepatan waktu, tanggungjawab, prestasi,
kejujuran, hormat pada hak orang lain, mematuhi hukum, etika kerja dan hemat.(Harrison, 2000 hal
303).

[9] Pada saat ini Laboratorium Sosiologi FISIP-UI sedang melakukan suatu kerjasama dengan Pemkot
Depok untuk menyusun Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya (RUPSB). Melalui kerjasam ini
Departemen Sosiologi difasilitasi untuk melakukan pengumpulan data serta berbagai kegiatan
pengkajian sosial di berbagai bidang. Hasil akhir dari program ini adalah suatu dokumen Perencanaan
Sosial-Budaya Kota Depok beserta indikator pencapaiannya. Bila pola kerjasama ini diikuti oleh
seluruh komponen FISIP-UI niscaya Pembagunan Berbasis Nilai akan lebih cepat terealisasikan dan
kita akan dapat memberikan kontribusi ilmiah di tingkat dunia

Anda mungkin juga menyukai