Anda di halaman 1dari 14

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN BENTUK PERMUKIMAN

TRADISIONAL DI ERA MODERN

Muhamad Zaenal A

Noval Amani H
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Penulis Korespondensi. e-mail: novala25@gmail.com & muhamadabidinn@gmail.com

ABSTRACT
This study aimed to determine the factors that influence changes in traditional settlement forms in the
modern era, characteristics and efforts to preserve traditional settlements in the modern era, based on
social, physical and economic aspects, because in the current era traditional style traditional settlements
have rarely been encountered, Research on the factors that cause changes in the form of traditional
settlements in the modern era using the literature review method, which means that this method is
based on reference materials to be used as a basis for research activities to develop a clear framework,
Social and cultural influences of local communities influence changes in settlement patterns of a region
and the geographical conditions of a region also affect the pattern of community settlements.
Keywords: factors, influence, changes, settlements, traditional

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
bentuk permukiman tradisional di era modern, karakkteristik dan upaya pelestarian
permukiman tradisional di era modern ,berdasarkan aspek sosial, fisik, dan ekonomi, karena
pada era saat ini permukiman adat bergaya tradisional sudah jarang ditemui, Penelitian
mengenai faktor-faktor penyebab perubahan bentuk permukiman tradisional di era modern ini
menggunakan metode literature review yang artinya bahwa metode ini didasarkan pada bahan
acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian untuk menyusun kerangka pemikiran yang
jelas, Pengaruh Sosial dan budaya masyarakat setempat mempengaruhi perubahan pola
permukiman suatu kawasan dan keadaan geografis suatu wilayah juga berpengaruh terhadap
pola permukiman masyarakat.

Kata Kunci: faktor, pengaruh, perubahan, permukiman, tradisional.


1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Permukiman adalah suatu lingkungan hidup yang meliputi masalah lapangan
kerja, struktur perekonomian dan masalah kependudukan yang bukan saja mencakup
mengenai pemerataan dan penyebaran penduduk melainkan juga menyangkut kualitas
manusia yang diharapkan pada generasi mendatang (Hardriyanto. D, 1986: 17).
Suatu permukiman hendaknya mengikuti kriteria bagi permukiman yang baik, dengan
memenuhi aspek fisik dan aspek nonfisik. Proses bermukim menjadi faktor pengikat
antara masa dulu, kini dan masa akan datang dengan tujuan peningkatan kualitas hidup.
Aspek fisik dan nonfisik saling mempengaruhi satu dengan yang lain sebagai wujud dari
aspek-aspek yang tidak saling terpisahkan antara satu dengan lainnya. Dengan demikian
kriteria permukiman yang baik adalah adanya pemenuhan aspek fisik dan nonfisik
(sosial, budaya, ekologis, fungisonal) yang saling mempengaruhi dengan tujuannya
adalah peningkatan kualitas hidup.(Johan Silas ,1985). Menurut Johan Silas (1993)
dalam “Housing Beyond Home” mengatakan bahwa ditinjau dari proses pengadaan
perumahan dan pola menggalang sumber daya, pada dasarnya dapat dikelompokkan
dalam tiga bentuk dasar yaitu : tradisional, modern, dan oleh masyarakat.
Perubahan bentuk rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor fisik atau faktor
tunggal lainnya, tetapi merupakan konsekuensi dari cakupan faktor-faktor budaya yang
terlihat dalam pengertian yang luas. Pembentukan lingkungan permukiman, Rapoport
dibagi menjadi dua kelompok elemen dasar, yakni elemen fisik, seperti, kondisi iklim,
metode konstruksi, material yang tersedia dan teknologi, dan elemen socio-cultural.
(Rapoport, 1969), Perubahan dalam konteks lokal kata ubah atau keperubahan bentuk
adalah tindakan mengubah rumah secara internal atau secara eksternal. Dalam
melakukan keperubahan bentuk dapat dipakai cara yaitu : penambahan, perkembangan,
pengurangan atau rusak (pengurangan ukuran) dan perbaikan seluruhnya atau
pembangunan kembali. (Tipple ,1992).
Permukiman Tradisonal adalah Hasil kebudayaan fisik, yang dalam konteks
tradisional merupakan bentuk ungkapan yang berkaitan erat dengan karakter
masyarakatnya. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya kebudayaan fisik tersebut
dipengaruhi oleh sosio kultural dan lingkungan. Perbedaan wilayah, kondisi alam dan
latar budaya akan menyebabkan perbedaan dalam ungkapan arsitekturalnya, dan faktor
sosial budaya merupakan faktor penentu perwujudan arsitektur, karena terdapat sistem
nilai didalamnya yang akan memandu manusia dalam memandang serta memahami
dunia sekitarnya (Rapoport (1969). Dalam permukiman tradisional, dapat dijumpai pola
atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat
dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut diatas memiliki pengaruh cukup besar dalam
pembentukan suatu lingkungan hunian atau permukiman tradisional. (Valentina
Syahmusir dalam Kiki Ekiawan. Hal : 239)
Permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya
masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam
proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi.18 Permukiman
tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai
adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama yang bersifat
khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula
di luar determinasi sejarah (Sri Narni dalam Mulyati , 1995). Menurut Dwi Ari &
Antariksa (2005) menyatakan bahwa permukiman tradisional memiliki pola-pola yang
menggambarkan sifat dari persebaran permukiman sebagai suatu susunan dari sifat yang
berbeda dalam hubungan antara faktor-faktor yang menentukan persebaran
permukiman. Terdapat kategori pola permukiman tradisional berdasarkan bentuknya
yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :Pola permukiman bentuk memanjang
terdiri dari memanjang sungai, jalan, dan garis pantai,Pola permukiman bentuk
melingkar,Pola permukiman bentuk persegi panjang dan Pola permukiman bentuk
kubus.
Perkembangan permukiman modern di era milenial sangatlah cepat, masyarakat
sekarang lebih banyak memilih permukiman modern dengan gaya minimalis
Permukiman dengan gaya tradisonal di asumsikan masyarakat bahwa permukiman
tradisional sudah ketinggalan zaman, Kemajuan teknologi yang membuat permukiman
tradisiomal tersisihkan oleh permukiman modern dengan gaya hidup masyarakat yang
milenial.
1.2. Tinjauan Pustaka
Permukiman adalah suatau lingkungan hidup yang meliputi masalah lapangan
kerja, struktur perekonomian dan masalah kependudukan yang bukan saja mencakup
mengenai pemerataan dan penyebaran penduduk melainkan juga menyangkut kualitas
manusia yang diharapkan pada generasi mendatang (Hardriyanto. D, 1986: 17).
Perubahan bentuk rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor fisik atau faktor tunggal
lainnya, tetapi merupakan konsekuensi dari cakupan faktor-faktor budaya yang terlihat
dalam pengertian yang luas. Pembentukan lingkungan permukiman, dibagi menjadi dua
kelompok elemen dasar, yakni elemen fisik, seperti, kondisi iklim, metode konstruksi,
material yang tersedia dan teknologi, dan elemen socio-cultural. (Rapoport, 1969),
Dalam permukiman tradisional, dapat dijumpai pola atau tatanan yang berbeda-beda
sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal
tersebut diatas memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan
hunian atau permukiman tradisional. (Valentina Syahmusir dalam Kiki Ekiawan. Hal :
239)
Permukiman tradisional memiliki pola-pola yang menggambarkan sifat dari
persebaran permukiman sebagai suatu susunan dari sifat yang berbeda dalam hubungan
antara faktor-faktor yang menentukan persebaran permukiman. Terdapat kategori pola
permukiman tradisional berdasarkan bentuknya yang terbagi menjadi beberapa bagian,
yaitu :Pola permukiman bentuk memanjang terdiri dari memanjang sungai, jalan, dan
garis pantai,Pola permukiman bentuk melingkar,Pola permukiman bentuk persegi panjang
dan Pola permukiman bentuk kubus.( Dwi Ari & Antariksa, 2005)

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk adalah untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan bentuk permukiman tradisional di era modern,
karakakteristik dan upaya pelestarian permukiman tradisional di era modern ,berdasarkan
aspek sosial, fisik, dan ekonomi, karena pada era saat ini permukiman adat bergaya
tradisional sudah jarang ditemui.
1.4. Metodologi
Metodologi merupakan cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran
secara seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan
untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis serta menyusun laporan. Secara
garis besar definisi metodologi adalah pendekatan pola pikir dalam penyusunan suatu
studi atau penelitian yang bertujuan untuk mengarahkan proses berfikir atau penalaran
terhadap hasil yang dicapai. Metodologi sangat dibutuhkan untuk mengkaji suatu kondisi
sebagai proses dalam penyusunan studi ini.
Penelitian mengenai faktor-faktor penyebab perubahan bentuk permukiman
tradisional di era modern ini menggunakan metode literature review yang artinya bahwa
metode ini didasarkan pada bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian
untuk menyusun kerangka pemikiran yang jelas.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan dalam bab ini berisikan tentang studi kasus dan hasil kajian teori
antara teori dan eksisting mengenai permasalahan dalam pelestarian kawasan bersejarah,
kriteria penilaian kawasan bersejarah dan upaya pelestarian kawasan bersejarah terhadap
3 (tiga) artikel, yaitu dengan judul:
1. Perubahan Pola Permukiman Tradisional Suku Sentani Di Pesisir Danau
Sentani(Widyastomo, Desi, 2014).
2. Pola Perkembangan Permukiman Kampung Assegaf Palembang (Triyuly, Wienty,
Werdiningsih, 2016).
3. Identifikasi Pola Permukiman Tradisional Kampung Budaya Betawi Setu
Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi
Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta (Moechtar, Syaiful, 2015).

2.1. Nilai Sejarah


2.1.1. Permukiman Tradisional Sentani
Danau Sentani terletak tepatnya di Kecamatan Sentani Kabupaten Jayapura.
Suku mayoritas di daratan dan pesisir Danau Sentani adalah suku Sentani, dengan
marga atau klan yang berbeda di tiap kesatuan kampung. Permukiman penduduk
suku Sentani mayoritas berada di pesisir Danau Sentani, pada perkembangannya
mengalami perubahan dalam mempertahankan kehidupannya. Oleh sebab itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengkaji perubahan permukiman dalam
mempertahankan kehidupan yang berkelanjutan, lokasi permukiman tradisional
terletak di Kampung Hobong-Ifale. Kampung ini mempunyai keunikan/kekhasan
yaitu merupakan suatu daratan yang berada di tengah Danau Sentani, yang hanya
dihubungkan oleh transporatasi perahu atau disebut kole-kole
2.1.2. Permukiman Kampung Assegaf
Perkembangan budaya masyarakat pendatang yang datang pertama kali ke
Palembang tidak dapat menempati wilayah daratan termasuk masyarakat pendatang
yang berasal dari Arab.Kemudian terjadi perkembangan dengan diberikannya
kebebasan masyarakat untuk tinggal di daratan. Masyarakat Arab mulai
membangun permukiman di sekitar tepian Sungai Musi, salah satunya adalah Habib
Alwi bin Syech Assegaf yang mulai membangun rumah pertama (rumah besar) di
sekitar kawasan Seberang Ulu II dan kemudian berkembang menjadi sebuah
kampung mandiri yang dikenal dengan permukiman Kampung Assegaf. Seiring
dengan bertambahnya jumlah keturunan Habib Alwi bin Syech Assegaf, maka
bertambah pula jumlah rumah di Kampung Assegaf sehingga membentuk suatu
permukiman tradisional. Rumah-rumah tersebut dibangun dengan orientasi rumah
besar, yaitu berorientasi ke arah sungai. Rumah-rumah tersebut dibangun saling
berdekatan, bahkan ada yang saling berhubungan pada bagian belakang rumah.
Rumah yang berhubungan pada bagian belakang rumahnya biasanya digunakan oleh
dua keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan dekat. Selain membangun rumah
bagi keturunannya, Habib Alwi bin Syech Assegaf juga membangun fasilitas untuk
menunjang kebutuhan mereka yaitu berupa mushola, madrasah, water treatment dan
pabrik untuk menunjang perekonomian keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
2.1.3. Permukiman Budaya Betawi
Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan awalnya merupakan
perkampungan masyarakat biasa yang mayoritas penduduknya orang Betawi asli.
Ide dan keinginan membangun pusat kebudayaan Betawi sesunguhnya sudah
tercetus sejak tahun 1990-an. Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (BAMUS
Betawi) menginginkan permukiman ini dijadikan Pusat Perkampungan Budaya
Betawi untuk pelestarian. Untuk lebih memantapkan usulan BAMUS Betawi, maka
pada tanggal 13 September 1997 telah diselenggarakan “Festival Setu Babakan”
yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Acara tersebut memperlihatkan
DKI Jakarta yang sesungguhnya dengan budaya dan kehidupan masyarakat Betawi
sebagai penduduk asli DKI Jakarta yang mungkin kebanyakan orang DKI Jakarta
sendiri tidak pernah mengetahui akan keberadaannya. Proses berjalannya waktu,
maka pada tanggal 10 Maret 2005 maka dikeluarkan “Peraturan Daerah Provinsi
DKI Jakarta No.3 Tahun 2005” tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di
Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.
Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan merupakan permukiman rekacipta
yang bertujuan untuk menyelamatkan budaya Betawi dan merupakan suatu tempat
ditumbuhkembangkan keasrian alam, tradisi Betawi yang meliputi keagaamaan,
kebudayaan dan kesenian Betawi. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan
Sasongko (2005) bahwa permukiman tradisional direpresentasikan sebagai tempat
yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai
kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat
tertentu
2.2. Perubahan Pola Permukiman
2.2.1. Permukiman Tradisional Sentani
Pola permukiman suku Sentani di Kampung Hobong-Ifale berdasarkan historis
dikatakan bahwa permukiman suku Sentani terletak di pulau pada tengah-tengah
danau dan berorientasi menghadap danau membentuk satuan kelompok klan atau
marga yang tertutup dari kelompok lain dan hidup secara berkelompok dalam satu
rumah membentuk linier. Pola permukiman berbentuk linier dan dibagian tengahnya
terdapat rumah adat yang disebut Kombho sebagai tempat kepala suku/adat.
Pada tahun 1925 pembentukan socio-cultural suku Sentani mengalami perubahan
dengan masuknya agama Kristen yang menurut Rapoport merupakan elemen
utama/prima yang merubah pola hidup masyarakat, yang pada perkembangan
membawa perubahan pada pola permukiman dari bentuk linear menjadi menyebar.
Perubahan pola permukiman tersebut tidak terjadi serentak tetapi juga ada yang
tetap, yakni aspek kepala adat sebagai kepala pemerintahan tetap dipertahankan.
Perubahan pola permukiman suku Sentani tersebut di Kampung Hobong-Ifale
membawa pengaruh terhadap perubahan pola hidup masyarakat. Perubahan pola
hidup Nampak pada penyediaan kelengkapan fasilitas-fasilitas pendukung
permukiman.
Proses perubahan pola permukiman suku Sentani dari bentuk linear menjadi
bentuk menyebar dalam kesatuan cluster. Perubahan pola permukiman tersebut
mempengaruhi perubahan sosial-kultural masyarakat tradisional. Sosial-kultural
yang berubah dipengaruhi oleh masuknya agama Kristen, yang merubah pola
kepercayaan dari kepercayaan nenek moyang ke kepercayaan kepada Tuhan
(Kristiani). Pengaruh kepercayaan agama tersebut secara tidak langsung merubah
gaya hidup masyarakat tradisional dari sifat tertutup menjadi terbuka. Keterbukaan
gaya hidup masyarakat nampak dapat menerima klan atau marga lain pada
lingkungan kehidupannya.
Tabel II.I Perubahan Pola Permukiman dari Pola Linier menjadi Cluster
Pola Permukiman Sebelum Pola Permukiman Tahun 1925 Pola Permukiman Tahun 2018
Tahun 1907 (masuknya agama Kristen)
1. Pola permukiman mengelompok 1. Pola permukiman mengelompok 1. Pola permukiman membentuk
satu kekerabatan satu kekerabatan system cluster
2. Pola permukiman sebagai pola 2. Pola permukiman sebagai pola 2. Membentuk kelompok-
mempertahankan diri dari perang mempertahankan diri dari kelompok kekerabatan
suku perang suku 3. Kegiatan adat berkurang dan
3. Pola hidup masyarakat sistem 3. Pola hidup tetap system rumah system rumah komunal berubah
rumah komunal komunal & permukiman satu menjadi rumah individual
4. Membentuk satu permukiman kekerabatan (marga yang sama) 4. Pimpinan kampong ada 2:
kekerabatan (marga) 4. Kepercayaan tradisional mulai kepala desa dan kepala suku
5. Permukiman dipimpin kepala berkurang 5. Gereja diletakkan di darat/bukit
suku dan eksistensi adat masih 5. Gereja dibangun dan eksistensi sebagai pusat kegiatan
kuat adat mulai berkurang kerohanian
6. Orientasi bangunan menghadap 6. Orientsi bangunan menghadap 6. Fasilitas penunjang permukiman
danau danau dan perang suku masih (sekolah, ibadat, perdagangan,
7. Rumah Khombo menjadi pusat terjadi keramba ikan)
kegiatan kaum pria dan pusat 7. Orientasi bukit digunakan 7. Tempat bercocok tanam di
kegiatan adat suku Sentani sebagai makam dan berlindung daratan Sentani
8. Kaum wanita tidak mempunyai dari perang suku 8. Kedudukan perempuan dan laki-
posisi dalam adat 8. Kaum wanita tidak mempunyai laki hamper sama
posisi dalam adat
Sumber: Deasy Widyastomo, 2014
2.2.2. Permukiman Kampung Assegaf
Pola Permukiman yang ada pada awal perkembangan permukiman Kampung
Assegaf, bangunan rumah besar, rumah rumah kayu dan pabrik dibangun
menghadap kearah sungai.Permukiman Kampung Assegaf ini didirikan untuk
keturunan Habib Alwi bin Syech Assegaf dan dilengkapi dengan sebuah pabrik
sebagai tempat usaha dan sistem pengolahan air dan listrik yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan Kampung Assegaf. Permukiman Kampung Assegaf memiliki
pabrik pengolahan air bersih yang juga berfungsi sebagai pabrik es untuk memenuhi
kebutuhan air bersih sehari-hari bagi Kampung Assegaf. Air bersih yang diperoleh
langsung dari Sungai Musi diolah menggunakan sistem water treatment di dalam
pabrik.
Pola memusat dengan bentuk memanjang dengan garis sungai. Pola
perkembangan permukiman ini terjadi pada tahap awal perkembangan permukiman
karena permukiman Kampung Assegaf masih menggantungkan kehidupan dan
orientasi terhadap Sungai Musi. Permukiman Kampung Assegaf berbentuk
memusat pada bagian tepian sungai dengan bentuk memanjang
Gambar II.I Pola Perkembangan Permukiman Memusat dengan Bentuk
Memanjang dengan Garis Sungai

Pola menyebar dengan bentuk memanjang dengan garis jalan dan sungai. Pola
perkembangan permukiman Kampung Assegaf mengalami perubahan setelah
adanya pembukaan akses jalan ke jalan raya dan semakin terbatasnya tanah di tepian
Sungai Musi yang dapat dikembangkan sebagai hunian. Perkembangan Kampung
Assegaf masih berorientasi terhadap sungai dan pabrik es sehingga perkembangan
permukiman Kampung Assegaf bersifat menyebar dan memanjang sepanjang garis
jalan dan sungai.
Gambar II.II Perkembangan Pola Pemukiman Menyebar dengan Bentuk
Memanjang dengan Garis Jalan dan Sungai

Pola memusat dengan bentuk memanjang dengan garis jalan. Adanya


perkembangan jalan utama di kawasan 16 Ulu ini menyebabkan perkembangan
permukiman Kampung Assegaf semakin berorientasi terhadap jalan dengan bentuk
memanjang dengan garis jalan.
Gambar II.III Perkembangan Pola Pemukiman dengan Bentuk Memanjang
dengan Garis Jalan

2.2.3. Permukiman Budaya Betawi


Pola permukiman di Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan
menggunakan pola permukiman mengelompok dengan bentuk melingkar mengikuti
Setu/Danau Babakan dan dengan sifat pola persebaran kelompok permukiman
menyebar.Filosofi dari pola permukiman Perkampungan Budaya Betawi, Setu
Babakan tidak terlihat disebabkan padatnya penduduk di permukiman ini. Penyebab
padatnya penduduk dikarenakan faktor masyarakat di dalam hal membangun sebuah
bangunan, masyarakat lebih mementingkan nilai fungsi yang didasari oleh budaya
dan kebutuhan primer tanpa melihat faktor lingkungan dan keindahan.
Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan dulunya merupakan suatu kawasan
yang masih banyak memiliki rawa dan juga masih sedikit penduduk yang bermukim
di sana. Tidak hanya itu saja, kedua danau tersebut (Setu/Danau Babakan dan
Mangga Bolong) dulunya merupakan satu kesatuan artinya kedua danau tersebut
menyatu dan aliran danau tersebut mengairi persawahan mereka dan permukiman di
bawahnya, Gambar A. Akibat penjajahan oleh bangsa Belanda, maka para penjajah
Belanda mencoba membendung-bendung danau tersebut, sehingga terpecah menjadi
dua bagian. Ruang untuk areal persawahan dan rawa sebenarnya masi ada pada
zaman dulu ±1960 - 1970-an (Gambar B), tetapi akibat jumlah penduduk baik
penduduk asli maupun pendatang yang berimbas pada kebutuhan lahanuntuk
mendirikan tempat tinggal dan beraktivitas, sehingga membawa pengaruh pada
perubahan pola ruang kawasan permukiman di Perkampungan Budaya Betawi, Setu
Babakan. Pada akhirnya, rawa dan areal persawahan di sekitar danau sudah tidak ada
lagi
Gambar II.IV Perubahan Danau Perkampungan Betawi, Setu Babakan

3. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengaruh Sosial dan Budaya masyarakat setempat mempengaruhi perubahan pola
permukiman suatu kawasan
2. Keadaan Geografis suatu wilayah berpengaruh terhadap pola permukiman
masyarakat.
Berdasarkan studi kasus, dapat disimpulkan :
Kasus 1 :
Faktor Budaya dan adat sangat berpengaruh dalam perkembangan pola
permukiman Suku Sentani dimana pola kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh
eksistensi adat, yang memberikan dampak perubahan pada budaya masyarakat
suku sentani yang mempengaruhi bentuk pola permukiman yang berorientasi
menghadap danau membentuk satuan kelompok klan atau marga yang tertutup
dari kelompok lain dan hidup secara berkelompok dalam satu rumah membentuk
linier.
Kasus 2 :
Faktor Urbanisasi sangat berpengaruh dalam perkembangan pola permukiman di
Kampung Asfegas dimana masyarakat pendatang dari Arab yang mulanya tidak
diberikan izin menempati wilayah daratan kemudian mendapat izin dan mulai
mendirikan pemukiman di tepian sungai musi ,kemudian berkembang menjadi
kampung mandiri yang memiliki bentuk Pola permukiman memusat dengan
bentuk memanjang dengan garis sungai dan jalan.
Kasus 3 :
Faktor Geografi dan Moyoritas masyarakat sangat berpengaruh dalam
perkembangan pola permukiman,dalam perkembangan perkampungan betawi
masyarakat menginginkan agar kampungnya menjadi kampung budaya untuk
pelestarian budaya betawi dalam bentuk keagamaan, kebudayaan, dan
kesenian,Bentuk Pola permukiman kampung betawi mengelompok dengan bentuk
melingkar mengikuti Setu/Danau Babakan dan dengan sifat pola persebaran
kelompok permukiman menyebar.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka peneliti
memberikan saran sebagai berikut:
1. Pemerintah seharusnya mendukung pelestariaan tradisional yang memiliki nilai
sejarah dan budaya agar tidak hilang di zaman masa kini
2. Pemerintah seharunya membuat peraturan undang-undang untuk mendukung
budaya masyarakat
3. Masyarakat harus aktif dalam pelestariaan budaya
4. DAFTAR PUSTAKA

Kumurur, V. A., & Setia, D. (2011). Pola Perumahan Dan Pemukiman Desa Tenganan
Bali. Jurnal Sabua, 3(2), 7–14.

Widyastomo, D. (2014). Perubahan Pola Permukiman Tradisional Suku Sentani Di


Pesisir Danau Sentani. Jurnal Permukiman, 6(2), 84–92.

Dwijendra, N. K. A. (2003). Perumahan Dan Permukiman Tradisional Bali.


Permukiman “Natah,” 1(1). https://doi.org/10.5614/jrcp.2017.28.1.2

Lokbere, H. R., Sarwadana, S. M., & Astiningsih, A. A. M. (2012). Identifikasi Pola


Pemukiman Tradisional di Kampung Hologolik Distrik Asotipo Wamena Kabupaten
Jayawijaya Propinsi Papua. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN:, 1(1), 60–71.

Rauf, B., Teknik, F., & Negeri, U. (1988). Analisis pengelolaan lingkungan
permukiman di kabupaten soppeng. 55–63.

Budianta, A. (2010). Pengembangan wilayah perbatasan sebagai upaya pemerataan


pembangunan wilayah di indonesia. Jurnal SMARTek, 8(February 2010), 72–82.

Badung, K., & Bali, P. (2018). Pengembangan Wilayah Berdasarkan Komoditas


Unggulan di Kecamatan Petang ,. 7(3), 455–463.

Penelitian, T. V. (2003). Metode Dalam Pelestarian Permukiman Tradisional. 1–12.

Olivia, D., Setioko, B., & Pandelaki, E. E. (2018). Analisa Faktor Pembentuk
Karakteristik Sebaran Sarana dan Prasararana Permukiman Di Wilayah Perbatasan (
Studi Kasus : Kelurahan Sendang Mulyo Kota Semarang ). 39(2), 106–113.
https://doi.org/10.14710/teknik.v39n2.12738

Kasuma, I. putu A. W., & Suprijanto, I. (2010). Karakteristik ruang Tradisional pada
Desa Adat Penglipuran, Bali. Jurnal Permukian, 7(1), 40–50.
Moechtar, M. S., Sarwadana, S. M., & Semarajaya, C. G. A. (2015). Identifikasi Pola
Permukiman Tradisional Kampung Budaya Betawi Setu Babakan , Kelurahan
Srengseng Sawah , Kecamatan Jagakarsa , Kota Administrasi Jakarta Selatan , Provinsi
DKI Jakarta. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika, 1(2), 135–143.

Triyuly, W. (2016). Pola Perkembangan Permukiman Kampung Assegaf Palembang.


Berkala Teknik, 3(2), 508–517.

Kota, D. A. N. K. (2018). Pengembangan kawasan permukiman dan keberlanjutan kota.


263–279.

Anda mungkin juga menyukai