TEMATIK
Menjawab Tantangan Global dan Isu Keberlanjutan
JUDUL BUKU:
KOTA TEMATIK
Menjawab Tantangan Global dan Isu Keberlanjutan
PEnGARAH:
MENTERI ATR/ KEPALA BPN - FERRY MURSYIDAN BALDAN
budi situmorang
doni j. widiantono
foto:
tim buku kota tematik
(KECUALI DISEBUTKAN LAIN)
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Dasar Hukum Bagi Kota Tematik 2
Riset Aksi Dalam Pengembangan Kota 3
Tematik
5 PENUTUP
Kat
a Pengant
ar
Ferry Mursyidan Baldan
(Menteri Agraria dan Tata Ruang /
Kepala Badan Pertanahan Nasional)
S
ejak tahun 2008, lebih dari separuh penduduk dunia hidup di
perkotaan, sedangkan fenomena ini di Indonesia terjadi sejak
sekitar 2010. Indonesia, negara yang kaya dengan keanekaraga-
man baik lingkungan alam maupun sosial budaya masyarakatnya.
Setiap wilayah dan kota memiliki keunikan tersendiri, tidak ada
yang sama serupa satu sama lain. Keunikan atau karakter yang khas ini
sesungguhnya merupakan potensi pembeda suatu tempat dengan tempat
lainnya. Namun sangat disayangkan potensi yang dimiliki tersebut banyak
yang belum digali dan dikembangkan secara optimal. Selain itu, kawasan
perkotaan metropolitan menjadi tumpuan peradaban manusia di masa
yang akan datang. Di sisi lain globalisasi juga turut memberi efek terjadinya
pengikisan terhadap keunikan lokal tersebut, yang kemudian memunculkan
penyeragaman dalam pembangunan wilayah dan kota. Program-program
pembangunan secara instan diterapkan, kurang menggali kondisi dan nilai-
nilai yang menjadi kekhasan suatu wilayah atau kota. Demikian pula dalam
ranah penataan ruang dihadapkan kepada tuntutan dan prioritas kepentin-
gan ekonomi suatu wilayah atau kota, yang seharusnya juga mengembang-
kan nilai-nilai dan karakter lokal yang pasti memberi nilai tambah dalam
pembangunan tersebut. Seiring dengan dinamika perubahan tersebut, perlu
dikembangkan kebijakan yang dapat menjamin keberlanjutan kota-kota.
Kota-kota saat ini cenderung seragam dan tidak memiliki identitas fisik dan budaya yang khas.
Perlu dikembangkan konsep-konsep yang dapat menciptakan karakter dari masing-masing kota,
seperti kota tepi air, kota hijau, kota layak huni, kota maritim, dan sebagainya.
Kota tematik merupakan suatu formula untuk untuk mewujudkan tata ruang yang berkualitas
tersebut. Penataan ruang dalam konteks kota tematik, tidak sekedar berorientasi pada produk
rencana tata ruang, namun juga yang terpenting pada proses penyusunannya. Tema kota bukan
sekedar citra, namun lebih dari itu sebagai roh yang menjiwai pembangunan kotanya. Semangat
kota tematik adalah pelibatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang. Artinya tema kota
harus mengakar pada sejarah, karakter dan nilai-nilai masyarakatnya dan kondisi alamiahnya. Se-
mua kebutuhan ini dikemas dalam rencana tata ruangnya, mulai dari rencana tata ruang wilayah
hingga penataan kawasan.
Saya menyambut baik kehadiran buku Kota Tematik ini, yang bersumber dari kegiatan Kemen-
terian ATR tahun 2015. Buku ini menjadi suatu referensi baru yang memperkaya ranah konsep
dan praktek penataan ruang kota-kota di Indonesia. Beberapa kota yang diangkat dalam buku
ini, hendaknya dapat menjadi contoh dalam menggali dan memulai upaya mewujudkan kota
tematik yang berkelanjutan. Diharapkan program kota tematik ini dapat terus berkembang dan
semakin memperkuat pondasi pembangunan kota-kota di Indonesia, pada saat ini dan masa
mendatang.
Sekapur Sirih DR. Ir. Budi Situmorang, MURP
(Plt. Dirjen Tata Ruang
Kementerian Agraria dan Tata Ruang / BPN)
U
rbanisasi menjadi isu yang mengemuka dalam tiga dekade
terakhir ini. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukan
tahun 2014 sebanyak 54% jumlah penduduk dunia tinggal di
wilayah perkotaan dan diperkirakan akan meningkat menjadi
66% pada tahun 2050. Pada tahun 1960, 15% penduduk
Indonesia tinggal di kota, angka ini meningkat 30% pada tahun 1990, dan
terus melonjak menjadi 56% pada tahun 2015. Pada tahun 2025, diperkirakan
65% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan terutama di kota- kota
besar.
Dengan diterbitkannya buku ini semoga dapat membawa manfaat bagi pem-
baca dan menjadi salah satu referensi dalam membangun kota tematik yang
aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Salam Hangat,
1 Pendahuluan
LATAR
BELAKANG
Tema kota tidak hanya
berwujud sebagai
tampilan visual kota,
namun diharapkan
mengakar pada
kehidupan sosial
ekonomi masyarakatnya
K
eberlanjutan merupakan kata kunci dalam
pengelolaan kota. Kata ini telah melekat dalam
benak pemerhati dan pelaku perkotaan melalui
jargon pembangunan perkotaan berkelanjutan
(Sustainable Urban Development), yakni:
DASAR HUKUM
BAGI KOTA TEMATIK
K
ota Tematik merupakan upaya mengawal
implementasi Undang Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(UUPR) dalam rangka penyelenggaraan
penataan ruang yang transparan, efektif,
dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Semangat untuk
mewujudkan kota tematik tersirat dalam UUPR (pasal 6,
ayat 1, huruf b) yang mengamanatkan bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan memperhatikan potensi
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber
daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik,
hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan.
P
endekatan pengelolaan kota yang terpadu
melalui implementasi kota tematik telah
dikembangkan dan diuji melalui metode riset
aksi (action research). Secara konseptual, riset
aksi berbasis pada gagasan bahwa manusia
menjadi lebih termotivasi dalam melakukan suatu
kegiatan apabila dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan tentang bagaimana pekerjaan tersebut akan
Diskusi curah gagasan perkotaan berkelanjutan
dijalankan. berlangsung interaktif
dipilih sebagai lokasi FGD didasarkan atas dua dengan bersepeda di sekitar kawasan bersejarah
pertimbangan; pertama, Kota Ternate dikenal Yogyakarta. Tujuan FGD dan ekskusrsi ini untuk
sebagai kota yang menyimpan kekayaan sejarah menggali dan mengumpulkan gagasan terkait
dan lansekap pusaka, baik pusaka ragawi pengembangan tema Kota Sepeda, serta
(tangible heritage) maupun pusaka non-ragawi merumuskan berbagai upaya pengembangan
(intangible heritage). Kedua, Ternate adalah kota lebih lanjut terkait tema Kota Yogyakarta.
maritim perdagangan yang merupakan bagian 4) FGD dan ekskursi yang keempat bertujuan untuk
dari jaringan Kesultanan Maluku Utara dengan menggali kondisi dan permasalahan eksisting,
wilayah kepulauan yang luas yang mempunyai serta merumuskan konsep dan upaya-upaya
masa jaya saat menjadi titik temu pencari pengembangan kota tematik yang lebih konkret
rempah-rempah dunia. Diskusi ini bertujuan dalam rangka mewujudkan kota tematik yang
untuk menggali dan membahas isu-isu terkait berkelanjutan. FGD dan ekskursi ini dilaksanakan
pengembangan kota tematik pusaka Ternate, pada Oktober 2015 di Kota Banjarmasin. Dalam
mengumpulkan gagasan pengembangan hal ini dilakukan FGD antar stakeholder dan
kota tematik pusaka Ternate, merumuskan ekskursi lapangan Kota Sungai Banjarmasin
upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam untuk memberikan gambaran proses
pengembangan dan implementasi kota tematik penelurusan tema, serta sekaligus mencoba
pusaka Ternate, serta melakukan kunjungan merumuskan gagasan penataan kawasan untuk
lapangan (site visit) untuk menggali informasi Kota Tematik Tepi Air Banjarmasin.
terkini terhadap objek-objek pusaka Kota
Ternate. C. Kegiatan Kuliah Umum dilaksanakan bersamaan
2) Tema Membangun Kampung Kota, Memperkuat dengan rangkaian peringatan Hari Tata Ruang
Identitas Kota Jakarta dengan kasus Kampung Nasional, yang tiap tahun diselenggarakan pada 8
Deret Petotogan diangkat dalam FGD dan ekskursi November. Kuliah umum berjudul Peran Penataan
yang kedua, dilaksanakan pada September 2015 Ruang Dalam Penguatan Pengelolaan Kota Pusaka
di Jakarta. FGD ini berupaya menelaah titik temu diadakan di Jakarta pada Oktober 2015 sebagai
antara ruang hidup informal dengan sektor upaya untuk memperkenalkan prinsip dan contoh
formal. Kampung Deret Petogogan diharapkan pengembangan dan implementasi pembangunan
menjadi contoh dalam menyelesaikan masalah kota dengan tema pusaka secara berkelanjutan,
yang timbul di kampung kota, serta kemungkinan terutama aset pusaka industri.
replikasi program serupa di daerah lain.
3) FGD dan ekskursi dengan tema Yogyakarta
Kota Sepeda dilaksanakan pada September
2015 di Yogyakarta. Ekskursi dilaksanakan
Curah Gagasan, Focus Group Discussion dan Kulian Umum yang berlangsung interaktif
T
ema kota selama ini lebih banyak dilihat dari aspek fisik atau perspektif visual. Tema kota ditampilkan
hanya dengan elemen-elemen fisik yang bersifat ornamental dan artifisial. Tema kota seringkali hanya
sekedar menjadi jargon pembangunan suatu kota. Banyak tema kota diciptakan dengan pandangan yang
sempit, tanpa melihat karakter kota dan masyarakatnya. Tema kota seringkali melupakan keunikan dan
nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi masyarakatnya, serta karakter alamiah kotanya. Padahal esensinya,
tema kota merupakan jiwa atau roh dari suatu kota, yang menghidupkan sekaligus mengarahkan pembangunan
dan perkembangan kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat pengertian tema adalah pokok pikiran atau dasar
cerita. Analog dengan pengertian tersebut, tema kota diartikan sebagai pokok pikiran yang menjiwai pembangunan
kota.
Dalam bukunya yang bertajuk kota tematik sebagai solusi bagi masalah perkotaan, Wayne K.D. Davies (2015)
memberikan perspektif yang berbeda tentang kota tematik. Davies (2015) mengungkapkan saat ini lingkungan
tempat kita hidup mengalami proses transformasi yang sangat pesat. Penyebab utama transformasi adalah lonjakan
pertambahan jumlah penduduk dunia, terutama di wilayah perkotaan. Data United Nations mengungkapkan
urbanisasi meningkat dari 2,5 milyar tahun 1950 mencapai 7,2 milyar pada tahun 2013 (United Nations, 2013).
Secara persentase pertumbuhan jumlah penduduk yang hidup di wilayah perkotaan meningkat dari 29.4 % tahun
1950, menjadi 54 % tahun 2014, dan diprediksi menjadi 66 % pada tahun 2050 (United Nations, 2014).
Perkembangan kota yang pesat ini menyebabkan perubahan yang mendasar bagi kota. Tidak hanya persoalan
perubahan ukuran, skala, atau perubahan kewilayahan kota, namun lebih dari itu juga merubah pola ekonomi dan
struktur sosial kota, yang berdampak terhadap lingkungan (Davies 2015).
Persoalan lainnnya yang mengikuti perubahan kota yang pesat, yaitu penggunaan sumber daya alam yang tidak
terkendali dan pencemaran lingkungan. Berkurangnya ruang terbuka hijau di perkotaan dan penggunaan air tanah
yang tidak terkendali merupakan contoh eksplorasi negatif terhadap alam sebagai dampak pesatnya pertumbuhan
kota.
Ancaman terhadap keberagaman dan vitalitas kota juga menjadi permasalahan yang muncul di kawasan perkotaan.
Terjadi ancaman terhadap karakteristik kawasan yang berbeda-beda, yang meliputi karakter morfologi kota, pola
sosial ekonomi, dan keberlanjutannya (Davies, 2015). Ancaman tersebut datang dari modernisasi, yang dipengaruhi
oleh nilai-nilai, gaya hidup, dan teknologi. Hal ini secara tidak langsung menggeser kearifan lokal.
Berbagai persoalan tersebut tidak terlepas dari perumusan kebijakan kota yang tidak mengakar pada karakter dan
nilai-nilai kotanya. Menyadari persoalan perkotaan yang semakin kompleks, beberapa kota di dunia menyikapi
dengan melakukan perubahan mendasar terhadap kebijakan pembangunan untuk meningkatkan kualitas dan
kapasitas kota. Pola pembuatan keputusan yang selama ini bersifat top-down diubah dengan pola yang melibatkan
komunitas atau para stakeholders pembangunan. Davies (2015) mengungkapkan sejak akhir 1980-an lahir suatu
fase baru konsep kebijakan kota. Muncul ide-ide dan konsep baru pembangunan kota, yang kebanyakan dilekatkan
dengan istilah urban, cities, atau towns, yang dinamakan antara lain seperti: Urbanisme Baru (New Urbanism), Kota
Berkelanjutan (Sustainable Cities), Kota yang Adil (Just Cities), Kota Musim Dingin (Winter Cities), dan Kota yang
Aman (Safe Cities), dan lain-lain. Davies (2015) mengistilahkan berbagai konsep kota ini sebagai tema kota (urban
themes).
Tema kota ini tidak hanya bersifat pasif, sekedar menggambarkan karakter atau keunikan kota, namun juga dirancang
sebagai program yang aktif yaitu program aksi untuk meningkatkan kualitas kota, dan menjadikan kota lebih sehat,
atau aman, atau berkelanjutan. Tema juga dapat menjadi deskripsi kondisi yang ada, seperti tema Winter Cities, di
mana pada kota-kota ini kebijakan dirancang untuk memberi nilai lebih pada kondisi iklim dingin.
Kompleksitas masalah perkotaan semakin meningkat dengan perkembangan dan pemekaran kota-kota yang terus
mengkonsumsi sumber daya secara tidak terkendali. Persoalan lain yang muncul adalah ancaman terhadap keberagaman
dan vitalitas kota. Perubahan sosial ekonomi yang pesat menimbulkan tekanan dan munculnya persoalan sosial di perkotaan
K
ota tematik tidak lagi hanya dilihat secara fisik namun dalam konteks yang lebih luas. Berbagai diskusi
tentang citra dan tema kota, tidak lagi hanya mengacu kepada referensi citra kota yang banyak merujuk
kepada literatur klasik Image of the City (Kevin Lynch), terdapat berbagai sudut pandang terhadap
pemahaman kota tematik. Kumpulan tulisan Lloyd Rodwin dan Robert M. Hollister (eds., 1984) yang
bertajuk Cities of Mind: Images and Themes of the City in the Social Sciences, menelaah citra dan tema
kota dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu. Citra dan tema kota berevolusi dalam berbagai disiplin ilmu seperti
geografi, ekonomi, ilmu politik, antropologi, sosiologi, sejarah, dan perencanaan kota (Rodwin dan Hollister, 1984).
Dalam perspektif ilmu geografi tema kota, dilihat berdasarkan perkembangan keruangan dan struktur morfologi
kota (Peter Hall, dalam Rodwin dan Hollister, 1984). Elemen-elemen morfologi kota seperti tata guna lahan, sistem
jaringan jalan, pola kaveling, pola ruang terbuka, termasuk dalam lingkup yang lebih luas yaitu ditinjau dari sisi
geografi, sosial, dan ekonomi. Pandangan terhadap tema kota dari sudut pandang ekonomi, memiliki kemiripan
dengan cara pandang geografi. Dalam konteks ekonomi (John R. Harris dalam Rodwin dan Hollister, 1984), kota
dipandang sebagai produk dari kekuatan ekonomi, kota menjadi pusat aglomerasi ekonomi.
Dalam ilmu politik, kota dipandang sebagai suatu komunitas dan entitas administrasi (Martin Shefter dalam Rodwin
dan Hollister, 1984). Tema kota dirumuskan dalam kebijakan pemerintah. Tema seringkali disamakan dengan visi
kota, yang dijabarkan menjadi program-program pembangunan kota. Terdapat kerentanan dalam cara pandang
politik terhadap tema kota, karena bisa terpengaruh oleh kepentingan politik pihak yang berkuasa. Dalam konteks
kebijakan politik, seringkali tema kota dipertimbangkan terhadap kepentingan ekonomi kota. Tema kota yang ber-
basis politik praktis sulit menjadi tema yang berkelanjutan.
Berbeda dengan cara pandang ilmu politik, secara antropologi, the theme of the city as a center of cultural and
social invention... kota dipandang sebagai produk dari kebudayaan masyarakat. Dengan nilai-nilai lokal yang
berbeda pada setiap kelompok atau komunitas akan membentuk karakter tema kota yang berbeda (Peatie dan
Robbins dalam Rodwin dan Hollister, 1984). Selaras dengan cara pandang ilmu antropologi, dalam pemahaman
ilmu sosial (Peter Langer dalam Rodwin dan Hollister, 1984), tema kota terbentuk sebagai akibat dari interaksi dan
tradisi masyarakatnya. Manusia atau masyarakat membentuk karakter kota. Namun sebaliknya, kota atau ruang-
ruang sosial turut membentuk karakter sosial kehidupan manusia di dalamnya. Terdapat empat tipologi sosial yang
berpengaruh terhadap karakter kota, yaitu: kota sebagai bazar, atau arena ekonomi; kota sebagai hutan, bahwa
Dalam konteks sejarah, tema kota terbentuk dari proses perkembangan yang berlapis. Aset-aset sejarah merupakan
elemen yang kuat untuk menampilkan tema kota (Charles Tilly, dalam Rodwin dan Hollister, 1984). Tradisi yang
diwariskan secara turun temurun menjadi karakter sosial yang membedakan satu kota dengan kota lainnya. Selain
itu, elemen-elemen sejarah kota menjadi pembentuk karakter terpenting dari tema kota.
Dalam sudut pandang disiplin ilmu yang berbeda tersebut tersirat bahwa konsep kota tematik tidak bisa berdiri
sendiri. Konsep kota tematik merupakan penggabungan dari berbagai aspek kota, yaitu geografi, ekonomi, ilmu
politik, antropologi, sosiologi, sejarah yang saling menganyam.
KOTA TEMATIK
YANG BERKELANJUTAN
K
ota yang nyaman atau kota yang layak, merupakan tema kota yang memayungi terminologi tema kota
lainnya seperti kota cerdas, kota hijau, kota aman, dan/atau kota ramah lingkungan. Demikian halnya
tema kota lainnya yang mencerminkan karakter fisik geografisnya seperti kota tepi air: tepi sungai, tepi
pantai, kota pegunungan, kota tropis, dan lain-lain. Tema kota juga muncul dalam konteks ekonomi
atau fungsi kota seperti kota industri, kota tambang, kota pendidikan, kota film, kota pertanian, dll. Tema
kota juga terbentuk dari sejarah kota atau tradisinya, dengan istilah kota pusaka, kota tua, kota sejarah.
Walaupun terdapat muatan karakter yang berbeda dari masing-masing kota tematik, bahwa urgensi dan semangat
kota tidak hanya berhenti sampai pada tercapainya tema visual kota, namun lebih dari itu bahwa kota tematik harus
dapat memberi nilai lebih bagi kesejahteraan masyarakatnya, baik secara ekonomi maupun sosial. Cukup banyak
pengalaman keberhasilan kota-kota untuk mewujudkan dan menampilkan tema kotanya, dan memberi nilai
tambah berupa manfaat sosial ekonomi. Namun di sisi lain kita dituntut untuk menjawab pertanyaan bagaimana
mengelola dan mempertahankan keberhasilan tersebut. Kita juga harus belajar dari kota-kota yang awalnya ber-
hasil mewujudkan dan menjadi terkenal dengan tema kotanya, namun kemudian mengalami kemunduran karena
faktor-faktor baik eksternal maupun internal. Pembelajaran kota tematik juga perlu dilakukan terhadap kota-kota
yang pernah mengalami penuranan baik akibat krisis ekonomi, konflik sosial, atau bencana alam, namun kemudian
dapat bangkit kembali, bahkan menjadi lebih terkenal dibandingkan masa sebelumnya; kota-kota yang bangkit
dan menjadikan keterpurukannya sebagai modal kepopulerannya. Dengan kata lain bagaimana mewujudkan kota
tematik yang berkelanjutan?
Berbagai upaya yang dilakukan tersebut hendaknya tidak hanya berhenti pada pencapaian tema kota saja, namun
juga bagaimana agar tema tersebut dapat terus berkelanjutan. Dengan kata lain tema kota tidak hanya berwujud
sebagai tampilan visual kota, namun diharapkan mengakar pada kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya.
Namun lebih dari itu dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam bagi para pembuat keputusan, terutama di
tingkat pemerintah Kota/Kabupaten dalam menyusun program kota tematik yang spesifik menjadi tema-tema kota
yang unggul dan unik dan berkelanjutan, misalnya kota pusaka pelabuhan, kota industri. Kota tematik tidak berhenti
sampai tatanan fisik kota, namun mengakar kepada kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya, sehingga mampu
lebih kokoh bertahan dan berkelanjutan.
Kota Ternate adalah salah satu contoh usulan Kota Tematik Pusaka yang mempunyai banyak potensi pusaka ragawi dan
non-ragawi. Tema Membingkai Kota Pusaka Penghasil Rempah - Gagasan Pengembangan Kota Ternate sebagai tujuan
wisata sejarah dan wisata perairan antar-pulau berbasis stakeholders diangkat oleh Dodo Juliman pada saat FGD di
Kota Ternate, pada tahun 2015.
S
ebagaimana disebutkan pada bab pemerintahan yang diatur oleh seorang penguasa.
sebelumnya, sudut pandang berbagai disiplin Tata kelola hasil pertanian serta perdagangan regional
ilmu telah menyiratkan bahwa tema kota dan antar pulau menghasilkan permukiman berupa
merupakan karakter berbagai aspek kota bandar perdagangan dan pusat pemerintahan
yang saling menganyam. Kota dapat dikenali pedalaman. Pengaruh perdagangan internasional yang
dari sejarah pembangunannya sebagai interaksi antara menghadirkan budaya India dan Cina berpengaruh
alam dan aksi manusia. Sepanjang perkembangannya, pada terbentuknya kota-kota ini. Tidak semua kota
kota mengalami dinamika perubahan dengan adanya bertahan sebagai kota penting, seperti yang terjadi
pergantian fungsi dan pengaruh berbagai budaya. pada Majapahit. Beberapa identitas kota menurut ciri
Peristiwa-peristiwa besar melekat dan turut membentuk fisik yaitu, letak permukiman yang berada di tepi pantai
sejarah perkembangan kota. atau muara sungai dan memiliki akses ke laut lepas.
Ciri ini dapat dikaitkan dengan fungsi kota sebagai
Hal demikian dapat kita gunakan pula untuk mengenali pasar, sekaligus penyalur produk-produk pertanian atau
tumbuh kembang tema kota di Indonesia. Pada awal perkebunan ke wilayah lainnya.
pertumbuhannya, permukiman urban di Indonesia
diwarnai oleh tradisi pedesaan yang dipengaruhi oleh Strata yang kedua terjadi pada saat penyebaran Islam
struktur agraris dalam kehidupan sosialnya. Selain dan kehadiran kekuasaan Eropa, yaitu Portugis dan
itu, terdapat pula pengaruh struktur masyarakat Belanda pada abad ke-15 dan 17, mempengaruhi pola
yang menghasilkan surplus di bidang pertanian, dan perdagangan. Ini menjadi faktor pada pembentukan
industri domestik, seperti kerajinan serta kesenian yang karakteristik perkotaan pada tahapan kedua. Dalam
mendukung kebudayaan kota. Situasi ini memperkaya buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, Anthony Reid
peradaban kota yang sedang berkembang. (1992) menyebut periode yang jaringan pelayarannya
sangat ramai ini sebagai kurun niaga. Hubungan
Salah satu sumber yang menyebutkan periode pendirian kota-kota maritim di kawasan ini semakin dominan
kota-kota di Indonesia adalah penelitian yang dilakukan dibandingkan periode sebelumnya. Pertumbuhan kota
oleh Werner Rutz yaitu Cities and Towns in Indonesia. pantai mendorong tumbuhnya kota di tepi sungai di
Menurut Rutz (1987), kota-kota besar dan kecil yang ada pedalaman, yang dapat dilalui oleh kapal besar. Kota-
di Indonesia memiliki akar sejarah yang dihasilkan dari kota ini memiliki akses terhadap wilayah pedalaman
berbagai situasi dan pengaruh budaya serta kehadiran yang menghasilkan komoditi pangan atau rempah-
penguasa yang berbeda. Tempat-tempat ini secara rempah untuk perdagangan internasional.
umum dibagi dalam empat strata utama dalam formasi
perkotaan. Contohnya Banda Aceh, yang berkembang pada tahun
1465-1489 sebagai ibukota dari federasi yang dibentuk
Strata pertama yaitu strata yang tertua untuk formasi oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Daya dan
awal pembentukan kota sudah ada sebelum periode Kerajaan Pidie. Pada abad ke-17 Kerajaan Aceh menjelma
Hindu, yang diindikasikan dengan adanya lembaga menjadi kerajaan besar dan Banda Aceh berkembang
B
Tak pelak, Kota Padang menjadi pusat administrasi dan erikut ini beberapa pendekatan kota yang
ekonomi Sumatera Barat, sekaligus berperan sebagai berusaha mengembangkan tema kota untuk
gerbang komersial untuk ekspor komoditi dari bagian mewujudkan identitasnya:
tengah Sumatera. Pada awal abad ke-20, Padang adalah
kota metropolis kecil dengan hadirnya beragam bangsa
dan kelompok etnis. Beragam bangunan bergaya
campuran Eropa dan Indo-Eropa dapat ditemui di kota
ini.
Batang Arau (handelskade) dan jalan kereta api yang muncul pada abad ke-20 (sumber: Padangmuseum.nl)
Dalam konteks maritim, Ternate tidak dapat dilepaskan dari sejarah adanya
ikatan empat kerajaan, yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Menurut
Doni Janarto2, Perlu melihat Ternate bukan hanya sebagai pulau, tetapi
Greater Ternate, yang melingkupi Tidore dan pulau-pulau sekitarnya
sehingga terlihat perspektif tematik yang lebih luas dan tampak keterkaitan
diantaranya..
2
Disampaikan dalam FGD di Kota Ternate, pada 28 Agustus 2015
Dalam rangka itu, sejak tahun 1960-an Pemerintah Daerah (Pemda) DKI
Jakarta dengan dukungan pemerintah pusat telah melaksanakan berbagai
program penataan dan perbaikan kampung. Pada tahun 2013, Pemda
DKI Jakarta melaksanakan program kampung deret, sebagai langkah
konsolidasi lahan untuk membangun kampung kota yang lebih tertata dan
teratur. Proyek pembangunan Kampung Deret jilid I mencakup 5.000 rumah
yang tersebar di 26 lokasi, salah satunya berada di Kelurahan Petogogan,
Kebayoran Baru.
Jetis - Yogyakarta
Di tingkat masyarakat, bermunculan berbagai komunitas seperti Genjot Mulyo, Jogja Last
Friday Ride (JLFR) dan Pitpaganda. Meskipun kampanye sego segawe saat ini tidak berlanjut,
Jogja telah kadung dikenal sebagai kota sepeda. Ditambah lagi, pada tahun 2006 Sri Sultan
Hamengkubuwono mendeklarasikan Yogyakarta sebagai kota sepeda dengan mengangkat
isu lingkungan hidup dengan tujuan agar Yogyakarta mengurangi penggunaan kendaraan
bermotor, menyerukan kepada warga/semua pihak agar menggunakan sepeda sebagai sarana
transportasi, serta memprioritaskan pengguna sepeda, dan penggunaan sepeda sesuai hukum
dan ketentuan yang berlaku.
Sepeda di Yogyakarta tidak dapat terlepas dari romantisme dan sejarah, di masa lalu sepeda
menjadi moda transportasi masyarakat. Pada saat ini perlu kontekstualitas dan aktualitas dari
penggunaan sepeda sehingga sepeda bisa ditempatkan sebagai bagian sistem multimoda
dengan penyediaan sarana dan prasarana yang aman dan nyaman bagi pengguna sepeda.
Hal tersebut didukung oleh skala pergerakan dalam kota di Yogyakarta sangat memungkinkan
untuk menjadi kota yang ramah sepeda karena radius pergerakan dalam kota tidak lebih dari 10
kilometer dan memiliki topografi yang relatif datar.
Sejarah panjang Kota Yogyakarta dengan sepeda, menjadikan Yogyakarta terbiasa dengan
keberadaan sepeda di berbagai aktivitas sehari-hari. Ditengah gempuran kendaraan bermotor
yang mengisi tiap sudut kota, keberadaan sepeda tetap diperhatikan. Terbukti dari adanya upaya
pemerintah untuk menyisipkan jalur sepeda di jalan-jalan protokol, ataupun sekumpulan anak
muda yang menjadikan sepeda sebagai standar pergaulan masa kini.
Banjarmasin
Kota Seribu Sungai
Salah satu kota di Indonesia bahkan memiliki julukan Kota Seribu Sungai,
yaitu Kota Banjarmasin. Sungai menjadi bagian vital yang tidak terpisahkan
dari kehidupan masyarakat Kota Banjarmasin. Ibu kota Provinsi Kalimantan
Selatan ini berkembang pada delta yang terbentuk dari pertemuan Sungai
Barito dan Sungai Martapura. Julukan ini bukan tanpa sebab. Meskipun tidak
sungguh-sungguh berjumlah seribu, total sungai yang ada berjumlah 102
sungai dengan total panjang 185.303 meter.
Hal yang paling penting bagaimana sungai ini tetap Beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah Kota Banjarmasin
melekat sebagai tempat kehidupan sosial, dan sebagai giat mengembangkan kegiatan untuk menghidupkan
alat transportasi dan alat ekonomi. kembali kawasan tepi airnya. Pada salah satu bagian tepi
Sungai Martapura telah dibangun kawasan pejalan kaki
Walaupun citra Banjarmasin sebagai kota sungai masih yang diberi nama Taman Siring, dan pada lokasi lainnya
tetap melekat, namun pada kenyataannya orientasi dibangun landmark baru seperti Menara Pandang dan
kehidupan masyarakat Banjarmasin bergeser ke darat. Patung Bekantan. Pada bagian sungai sekitar pusat kota,
Salah satunya adalah aktivitas pasar terapung di Sungai Pemda juga menyelenggarakan event pasar terapung
Kuin yang mulai menurun. Kegiatan perdagangan di sebagai bagian dari kegiatan pariwisata dan bertujuan
atas perahu tidak lagi seramai pada masa lalu, yang untuk memelihara semangat para pedagang pasar
menjadi ciri khas atau keunikan kehidupan masyarakat terapung.
Kota Banjarmasin.
M
enyimak proses beberapa kota dalam Kota-kota di Indonesia ingin tampil berbeda, namun di
mengembangkan dan memperkuat sisi lain terjadi gejala penyeragaman tema kota, yang
temanya, tampil berbeda merupakan menerapkan tema secara instan. Banyak kota mengang-
kebutuhan yang dasar dan dilakukan kat tema-tema populer, seperti kota cerdas (smart city),
dengan menekankan karakter kota kota hijau (green city), kota layak huni/nyaman (livable
yang unggul. Tema kota bahkan dikemas lebih lanjut city) atau kota kreatif (creative city). I Nyoman Teguh
menjadi city branding, yang lantas menjadi mantra Prasidha mengungkapkan muncul kerancuan antara
yang populer bagi kepala daerah. Sebagai contoh, kewajiban kota dan tema kota. Bukankah semua kota
Kota Bogor yang sedang melakukan re-branding telah harus menjadi cerdas (smart city), ramah lingkungan
membuat rumusan Preserving the Past, Facing the (Kota Hijau), nyaman dan layak huni (livable city), dan
Future, Serving the People, menempatkan aspek sejarah melestarikan aset pusaka (kota pusaka)?
kota sebagai identitas pembangunan kotanya.
Kerancuan tersebut secara tidak langsung terkait den-
Dalam Curah Gagasan Kota Tematik di Jakarta (Agustus gan adanya berbagai program pembangunan kota ber-
2015) Danang Priatmodjo menekankan adanya gairah tema oleh kementerian/lembaga. Berbagai program
yang berbeda datang dari kota yang memiliki tema. tersebut, antara lain:
Beliau mengatakan, Kota-kota tematik lebih kompetitif
1. Kota Hijau oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan
dari kota-kota yang lain. Berbicara mengenai kota
Perumahan Rakyat;
tematik maka tema yang diberikan harus sesuai dengan
kota tersebut, atau tema yang sudah ada sehingga dapat 2. Kota Pusaka oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan
dikembangkan. Perumahan Rakyat;
3. Kota Aktif oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga;
Definisi kota tematik belum terjabarkan dengan jelas.
4. Kota Minapolitan oleh Kementerian Kelautan dan
Kontribusi para pakar menyimpulkan bahwa ketidakje-
Perikanan;
lasan definisi kota tematik sangat bergantung pada
konteks pembicaraan dan perspektif disiplin ilmu1. Kota 5. Kota Agropolitan oleh Kementerian Pertanian;
tematik kadang dikaitkan dengan branding, serta upaya 6. Kota Terpadu Mandiri oleh Kementerian Tenaga Ker-
untuk menggali potensi yang mendukungnya seba- ja dan Transmigrasi;
gaimana disampaikan Yuke Ardianti dalam acara yang
sama. Beliau mencontohkan munculnya kota bertema 7. Kota Sehat oleh Kementerian Kesehatan;
nuansa religi seperti Manokwari Kota Injil, Manado Kota 8. Kota Layak Anak oleh Kementerian Pemberdayaan
Gereja, dan kota bernuansa nostalgia seperti Jogja Kota Perempuan dan Perlindungan Anak.
Sepeda dan Bogor Kota Taman.
Banyak kota yang mencanangkan dan mempromosikan
Dodo Juliman Widianto mempertanyakan hal yang program pembangunan bertema tersebut sebagai tema
sama. Menurutnya, Kebutuhan dasar dari sebuah kota kotanya, sehingga terjadi penyeragaman tema kota. Se-
diantaranya kebersihan, ketertiban dan keamanan, serta harusnya masing-masing kotamenampilkan tema kota
lain sebagainya. Ini bukan untuk dijadikan branding. Ini sesuai degan karakteristik yang dimilikinya.
akan berbeda dengan kota bersejarah. Sejarah adalah
identitas suatu kota, tegasnya.
1 Rodwin dan Hollister (1984)
Ditegaskan oleh Budi Situmorang, sebagai berikut: and Cultural Organization (UNESCO). Selain kedua
label tersebut, ada pula kota cerdas (smart city) yang
Dalam menentukan tema kota, yang dibu-
diselenggarakan oleh Smart City Expo World Congress.
tuhkan adalah tema yang lebih spesifik
sesuai karakter yang dimiliki dan mengakar
pada masyarakatnya. Muncul untuk men- Kota pusaka dunia merupakan implikasi dari the Con-
gantar berbagai tema-tema dan subtema vention Concerning the Protection of the World Cultural
yang sesuai untuk masing-masing kota. and Natural Heritage 1972. Konvensi ini merupakan plat-
Dengan kata lain, masing-masing kota di form internasional dalam melestarikan dan melindungi
Indonesia harus mampu menemukenali pusaka budaya dan alam di dunia. Pusaka dunia didaftar
karakter yang dimilikinya, yang terelaborasi UNESCO berdasar proteksi legal yang kuat dari masing-
dalam visi dan misi pembangunan kotan- masing pemerintah negara dimana pusaka itu ada. Kon-
ya. vensi diputuskan dalam Sidang Umum UNESCO di Paris,
pada 17 Oktober 21 November 1972, sesi ke-17.
Firsta Ismet juga menambahkan, seharusnya setiap
kota lebih spesifik mengangkat tema kotanya. Beliau Untuk menominasikan dan akhirnya dinyatakan sebagai
mencontohkan kota pusaka, seharusnya dapat lebih Kota Pusaka Dunia oleh UNESCO, suatu kota perlu
spesifik seperti kota pusaka pelabuhan, kota pusaka menyandang satu atau lebih dari sepuluh kriteria Nilai
sungai, kota pusaka pertambangan atau pasca-industri. Sejagad yang Unggul (Outstanding Universal Value atau
OUV) yang dikeluarkan UNESCO. Selain OUV, rencana
pengelolaan (management plan) yang mengatur
Pada saat bersamaan, beberapa kota di Indonesia
perlindungan, pengelolaan, dan pemeliharaan
sedang berusaha untuk mendapatkan label kota dunia
kelestarian kota pusaka dunia juga menjadi poin
(world city), melalui tema kota pusaka dunia (world
penilaian.
heritage city) atau kota kreatif (creative city). Kedua tema
ini dikelola oleh United Nations Educational, Scientific
Berbeda dengan label kota pusaka dunia, kota kreatif (Sumber: http://en.unesco.org/creative-cities/content/about-us)
yang dikelola oleh UNESCO berada dalam wadah UNE-
SCO Creative Cities Network (UCCN). Jejaring ini diben- Indonesia belum memiliki kota yang menyandang
tuk oleh UNESCO pada tahun 2004 dan meliputi tujuh predikat sebagai Kota Pusaka Dunia yang ditetapkan
aspek kreatif, yakni kerajinan dan seni tradisi (crafts & UNESCO. Kota Surakarta dan Denpasar merupakan kota
folk art), disain (design), film (film), gastronomi (gastron- di Indonesia yang telah menjadi anggota Organization
omy), sastra (literature), musik (music) dan seni media of the World Historic Cities (OWHC) yang berkedudukan
(media arts). Adapun tujuan pembentukan jejaring ini di Quebec, Kanada. Bahkan, Kota Yogyakarta satu-satu-
adalah nya kota di Indonesia yang menjadi anggota the League
of the World Historic Cities yang berkedudukan di Kyoto,
to promote cooperation with and among cities Jepang.
that have identified creativity as a strategic factor for
sustainable urban development. The 69 cities which Tiga kota saat ini sedang dalam proses persiapan un-
currently make up this network work together towards tuk dapat dinominasikan sebagai kota pusaka dunia,
a common objective: placing creativity and cultural yakni Sawahlunto, Jakarta dan Semarang. Sedangkan,
industries at the heart of their development plans at the empat kota yang mendaftar menjadi anggota jaringan
local level and cooperating actively at the international kota kreatif, yakni Bandung, Pekalongan, Yogyakarta dan
level. Surakarta. Pekalongan (2014) dan Bandung (2015) telah
at the United Nations Sustainable Development Summit on 25 September 2015, world leaders adopted the 2030
Agenda for Sustainable Development, which includes a set of 17 Sustainable Development Goals (SDGs) to end
poverty, fight inequality and injustice, and tackle climate change by 2030.
Angan-angan kota-kota di Indonesia saat ini yaitu bagaimana menjadi idaman dan terkenal
karena suatu tema ataupun menjadi kota tematik. Seiring dengan perkembangan isu pem-
bangunan berkelanjutan, sesunguhnya kota tematik diharapkan menjadi konsep pembangunan
kota yang berbasis pada karakter atau ciri khas kota. Sebagaimana diketahui, peran penting
kota dalam menerapkan pembangunan yang berkelanjutan telah disebut dalam Agenda
Pembangunan Pasca-2015, termasuk dalam salah satu dari 17 tujuan yang dirumuskan, yakni
to make cities and human settlements inclusive, safe, resilient and sustainable. Mengenali
ciri khas kota, seperti budaya dan kreatifitas, merupakan salah satu aspek sumberdaya dalam
mengimplementasikan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.
Konsep ini bukan sekadar slogan, tetapi merupakan fokus pembangunan kota, sekaligus juga
memberi nilai tambah bagi pembangunan kotanya. Petrus Natalivan2 menekankan, Tematik
sebagai label kota memiliki muatan perencanaan di dalamnya pada saat tematik diintegrasikan
dalam kegiatan pembangunan.
Menurut Reza Adhiatma, tematik akan selalu melekat dengan branding. Namun, menurutnya
branding bukan hanya persoalan visual.
Kita ambil satu contoh, tema Kota Pusaka tidak sekedar melindungi atau mengembalikan
bentuk aset-aset pusaka, namun bermanfaat pula dalam hal pengembangan potensi wisata
pusaka yang dapat memberi manfaat ekonomi dan sosial budaya bagi kota dan masyarakatnya.
Pada proses ini, kegiatan perencanaan kota mengambil peran penting. Nyoman Prasidha3
menambahkan, Keberadaan tema kota perlu selain untuk menjaga karakter dan nilai-nilai
sejarah kotanya, juga untuk meminimalisir dampak pengaruh globalisasi. Isu yang sedang
dihadapi oleh Kota Denpasar jangan sampai menimpa kota-kota lainnya seperti, dari 1000 pura
menjadi 1000 ruko.
Pada kenyataannya, banyak karakter atau ciri khas kota, seperti kota lama dalam kondisi
2 Disampaikan dalam Curah Gagasan Kota Tematik di Jakarta, pada 13 Agustus 2015
3 Disampaikan dalam Kuliah Umum Hari Tata Ruang Nasional di Jakarta, pada 26 Oktober 2015
terbengkalai karena belum terintegrasi dengan irama pembangunan kota dan belum optimal
melakukan pelestarian kota.
Sejak tahun 2004, Sawahlunto memiliki kebijakan untuk menjadikan pusaka sebagai tujuan
wisata. Slogan saat itu adalah Kota Wisata Tambang yang Berbudaya, yang diikuti dengan
upaya merehabilitasi aset bangunan bersejarah dan jalur kereta api. Hasilnya cukup menggem-
birakan karena pada tahun 2014 sepertiga pendapatan daerah berasal dari bidang pariwisata.
Pemberdayaan bekas tambang batubara Sawahlunto telah menjadi studi kasus dalam upaya
pendayagunaan aset kota di Indonesia. Diharapkan studi kasus Sawahlunto menjadi inspirasi
dan pelajaran berharga bagi pihak lain yang berminat pada pusaka industri. Ini akan bermanfaat
Ada beberapa sektor yang bisa dikembangkan pusakanya, yaitu sektor pertambangan,
perkebunan, pos, pegadaian dan perbankan. Di Indonesia, kepemilikan lahan masih menjadi
masalah utama dalam pengelolaan pusaka. Tidak sedikit pula pusaka yang berada di bawah
BUMN, sebagaimana terjadi di Kota Lama di Padang, Jakarta dan Semarang.
Hasti Tarekat4 menyebutkan pentingnya pelestarian pusaka dan tidak hanya terbatas pada
bangunannya saja, tetapi juga termasuk aspek ekonomi, sosial budaya, arsitektur, teknologi,
dan lingkungan. Menurutnya, Aset dan potensi pusaka industri5 sangat besar terutama 13 sektor
usaha industri strategis yang dapat ditemukan di hampir seluruh kota di Indonesia. Kota Lille
atau Eindhoven merupakan contoh kota yang memberdayakan aset pusaka industrinya secara
kreatif dan inovatif.
Sebagaimana aset pusaka pada umumnya, usaha pusaka industri harus senantiasa diperbaharui
mengikuti perkembangan zaman, baik fasilitas maupun pemilihan lokasi baru. Akibatnya,
aset-aset lama yang jumlahnya berlimpah seringkali tidak dipergunakan lagi, mulai dari area
perkebunan yang luas, pabrik-pabrik, pelabuhan hingga perkantoran yang letaknya tersebar,
termasuk di kawasan perkotaan.
4 Disampaikan dalam Kuliah Umum Hari Tata Ruang Nasional di Jakarta, pada 26 Oktober 2015.
5 Menurut The Nizhny Tagil Charter For The Industrial Heritage -yang dihasilkan oleh The International Committee
for the Conservation of the Industrial Heritage atau TICCIH (dibaca ticky), pusaka industri terdiri dari peninggalan
budaya industri yang mempunyai nilai sejarah, teknologi, sosial, arsitektur dan ilmiah. Peninggalan ini bisa berupa
bangunan, mesin, bengkel, pabrik, pertambangan, tempat pengolahan dan pemilahan, gudang, toko, tempat yang
menghasilkan, menyalurkan dan menggunakan enerji beserta seluruh infrastrukturnya, begitu juga tempat-tempat
yang digunakan untuk kegiatan sosial berkaitan dengan industri seperti perumahan, rumah ibadah atau pendidikan.
Seringkali tidak disadari bahwa aset-aset tersebut adalah tidak hanya sebatas perlakuan terhadap bangunan,
saksi sejarah yang sangat berguna, selain mengandung tetapi bergantung pula pada sistem pendukungnya
nilai edukasi untuk publik, juga merupakan bagian dari (support system), seperti adanya insentif.
perkembangan ekonomi dan sosial budaya suatu ka-
wasan. Karenanya, aset pusaka industri tersebut perlu Mengaca pada kasus Kota Banjarmasin, disebutkan
dilestarikan dan diberdayakan, begitu pula bagi aset oleh Fajar, tema Kota Banjarmasin sebagai kota sungai
pusaka lainnya. mampu menumbuhkan rasa memiliki (sense of
belonging) dan rasa kebersamaan, bahkan rasa bangga
Hal ini telah menjadi jalan bagi upaya pengelolaan bagi masyarakat. Ini merupakan wujud pertimbangan
aset-aset pusaka di Indonesia secara berkelanjutan. kehidupan pemiliknya yang dapat memberi dampak
Pengelolaan aset pusaka tidak hanya membekukan, sosial/psikologis dan ekonomis, sebagai daya tarik kota
tetapi juga memberi peran bagi pusaka dalam dari sisi pariwisata, serta minat investasi.
pembangunan kota. Indonesia memiliki beragam
bentuk aset pusaka, baik berupa peninggalan kerajaan, Pada dasarnya, tema kota bukan sekadar alat untuk
jaringan perdagangan maupun kegiatan industri pada menjual dan mempromosikan kota tetapi sebagai
masa pendudukan Belanda. Wujudnya bisa berupa pengarah penyelenggaraan pembangunan kota secara
kompleks candi, kota lama atau kawasan industri. menyeluruh. Tema kota bukanlah mistifikasi (ilusi)
yang menjadikan pembangunan kota menjauh dari
Karena aset tersebut tidak sepenuhnya milik pemerintah, kenyataan sehari-hari, namun harus secara konkret
pelestarian hendaknya mempertimbangkan kehidupan menjamin bahwa kota akan dirancang secara terarah.
pemiliknya. Keberlanjutan pelestarian aset pusaka pun
P
enetapan tema kota, bukan sekedar Ruang mengamanatkan penetapan rencana tata ruang
mengikuti tren tema-tema populer kota, kawasan strategis, baik pada level nasional maupun pada
seperti kota cerdas, kota pusaka, kota lingkup provinsi dan kabupaten/kota. Muatan rencana
hijau, kota kreatif, kota nyaman. Terdapat tata ruang mencakup struktur ruang dan rencana pola
perbedaan antara tema kota dan kewajiban ruang, dimana dimana rencana pola ruang meliputi
kota. Kota yang mengembangkan tema kotanya wajib peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.
menjadi kota yang cerdas, yang nyaman, yang ramah
lingkungan, dan/atau yang melestarikan aset pusaka. Keberadaan kota tematik dapat menggali dan memberi
Para pembuat keputusan dan pemangku kepentingan peran pada aset kota. Selanjutnya penataan ruang
perlu pemahaman yang lebih akan pelestarian nilai- memastikan tema kota masuk ke dalam instrumen
nilai sejarah dan aset pusaka dan penyusunan program rencana tata ruang sebagai panduan pembangunan
perwujudan tema kota. agar dapat mengakar pada kehidupan sosial-budaya
masyarakatnya. Meski demikian, perencanaan
Kota tematik tidak berhenti sampai tatanan fisik kota, di Indonesia cenderung tertinggal. Menurut
namun mengakar kepada kehidupan ekonomi dan Imam S. Ernawi, walaupun seluruh daerah telah
sosial budaya masyarakatnya, sehingga bertahan dan mengembangkan penataan ruang dan membuat RTRW,
berkelanjutan lebih kokoh. Kebutuhan dasar, seperti tetapi pembangunan lebih cepat dari penyusunan RTRW.
lingkungan yang bersih, tertib dan aman, terbebas dari Perlu ada pemikiran untuk menciptakan perencanaan
kemacetan dan sebagainya, menjadi latarbelakang yang responsif terhadap pembangunan, termasuk
perlunya ditentukan tematik pada sebuah kota. kebutuhan kota tematik. Senada itu, Evert Verhagen
menekankan pentingnya aspek kreatif dalam penataan
Dalam perkembangannya terdapat kecenderungan ruang. Merencanakan kota tidak bisa berhenti pada
untuk mengangkat sebuah tematik kota secara instan waktu tertentu, karena kota selalu berkembang sehingga
seakan tema kota adalah branding. Penentuan tematik membutuhkan perencanaan yang berkesinambungan
kota sebagai bentuk kompetisi antar kota-kota di dan berkelanjutan.
Indonesia untuk menunjukan identititas kota dan
sebagai promosi dari kota tersebut. Tidak hanya itu, Dalam konteks kota tematik, aset sosial-budaya penting
dalam menetapkan tema, kota perlu memperhatikan sebagai salah satu rujukan pembentukan identitas. Pada
keterpaduan aspek fisik dan non-fisik. Aspek fisik seperti era globalisasi, memelihara identitas berarti melestarikan
struktur ruang pada rencana tata ruang wilayah kotanya, keragaman kota yang menjadi bekal berharga untuk
adapun aspek non-fisik, yakni budaya masyarakatnya. bersaing sekaligus bersinergi dengan kota-kota lainnya
Tiap kota perlu menjaga keberlanjutan nilai-nilai budaya di dunia. Menjadi kreatif dapat diterjemahkan pula
yang ada agar dapat berdampingan dengan unsur sebagai penyediaan ruang bagi warga untuk berinteraksi
global yang masuk melalui tata ruangnya. dan berdialog. Ini sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai sebagaimana disebut dalam Nawacita poin
Sebagian besar kota di Indonesia sudah melegalkan ketujuh, yakni Mewujudkan kemandirian ekonomi
rencana umum tata ruang (RTRW) dan saat ini sedang dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi
menyusun rencana rinci tata ruang yaitu rencana detail domestik atau kesembilan, yakni Memperteguh
tata ruang (RDTR) dan kawasan strategis. Menentukan kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial
kota tematik pada tataran RTRW berarti memasukkan Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan
tema kota pada rencana tata ruang. Instrumen tata kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog
ruang lainnya yang menggunakan atribut kota tematik antarwarga.
adalah kawasan strategis. Undang-Undang Penataan
M
ewujudkan pembangunan kota yang Namun, salah satu kendala dalam implementasi
berkelanjutan merupakan angan- perencanaan ruang adalah minimnya pemahaman para
angan bagi setiap pemerintah dan pemangku kepentingan atas kesepakatan yang telah
warga kota. Telah banyak, diskusi tertuang dalam rencana tata ruang. Perencanaan kota
untuk membangun pemahaman tematik pun tidak mudah untuk dapat diimplementasikan
dan memberi indikasi terhadap kualitas kota yang ketika tiap pemangku kepentingan mengklaim tema
berkelanjutan atau lestari. Kota yang berkelanjutan kotanya sendiri. Sebagaimana disampaikan Healey
dapat terwujud bila pembangunan kota berangkat (2003), konsep pembangunankota dapat berbeda sesuai
dari pengelolaan asetnya. Contohnya kota pusaka gagasan aktor atau pelaku pembangunan.
atau kota yang mengembangkan tema terkait dengan
aset pusaka. Menurut John Friedman, The Wealth of Para pengelola kota, termasuk masyarakat, pemerintah
Cities: Towards an Assets-based Development of Newly dan swasta memerlukan kesepahaman dalam menan-
Urbanizing Regions , pusaka merupakan salah satu aset gani asetnya. Keterlibatan berbagai pihak, terutama par-
kota, selain aspek manusia, sosial, budaya, intelektual, tisipasi masyarakat pun penting dalam mengelola kota
alam, lingkungan, dan perkotaan. Pusaka merupakan tematik. Pendapat senada ditegaskan Healey (2004)
aset kota yang berupa lingkungan terbangun dan roh bahwa perencanaan ruang adalah upaya kolektif untuk
masyarakat. Bila diabaikan atau tidak dipedulikan, roh kembali membayangkan kota, wilayah perkotaan atau
itu akan meredup dan akhirnya tidak berdaya. wilayah yang lebih luas dan untuk menjadikan hasilnya
sebagai prioritas dalam investasi, strategi pelestarian,
Indonesia memiliki banyak kota yang memilliki aset strategi investasi infrastruktur dan prinsip mengenai
pusaka sebagai cirinya yang khas. Pusaka tersebut dapat regulasi penggunaan lahan.
berupa bangunan bersejarah, seperti benteng-benteng
di Kota Ternate atau permukiman di tepian sungai di
Kota Banjarmasin dan kampung kota di Jakarta. Pusaka
pun bisa berupa kearifan kota dalam mengakomodasi
kebutuhan seluruh warga, seperti Jogja dikenal sebagai
Kota Sepeda. Melalui kota tematik, kelestarian dan
kemanfaatan aset-aset yang beragam tersebut dapat
terpelihara dan terjaga.
Perencanaan kota tematik perlu mempertimbangkan kondisi sosial budaya serta permasalahan yang ada di lapangan
P
encapaian yang telah ditempuh oleh berbagai
kota dalam memelihara dan mengembangkan
tema kota merupakan pembelajaran dalam
implementasi kota tematik. Sebagaimana
disebut sebelumnya, pengembangan kota
tematik adalah upaya mempromosikan pembangunan
yang berkelanjutan dengan mengelola identitas dan
karakter kota termasuk nilai-nilai sejarah dan aset
kotanya. Perencanaan dapat menjadi instrumen
untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas
kota dengan tema yang spesifik. Sampai menjadi kota
tematik, upaya pengembangannya terdiri dari tiga
kelompok tahapan, yakni (1) pra-kondisi atau persiapan; Tahapan dalam implementasi kota tematik
(2) perencanaan, dan (3) pelaksanaan.
Setelah pendataan, tiap kota akan memiliki Profil Kota. Tim kerja dapat memanfaatkannya
dan memastikan bahwa tema yang diangkat merupakan potensi setempat. Menurut Suhadi
Hadiwinoto, Menentukan suatu tema harus berdasarkan dari potensi alam atau sifat kota
tersebut. Jangan mengangkat tema yang bukan budayanya. Ia menambahkan bahwa ciri tata
ruang sebuah kota harus dimanfaatkan. Hal yang sama disebutkan oleh Yayat Supriyatna, Tema
harus dibangun berdasarkan kenyataan ruang kota.
Kondisi atau kecenderungan perkembangan atau pertumbuhan ekonomi juga menjadi faktor
yang berpengaruh terhadap penentuan tema kota, tutur Iwan Kustiwan. Ketersediaan sum-
berdaya (alam, energi, manusia dan buatan) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dimana
dinamika aspek ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan kota.
Diawali dengan dengan mengidentifikasi kondisi geografis dan sumberdaya yang dimiliki, dan
lebih mengenal dan mendalami sejarah kota, merupakan bagian dari penentuan tema kota.
Kemudian bagaimana tema kota tersebut dapat tertuang ke dalam produk rencana tata ruang.
Hal ini dapat lebih mudah didapatkan jika kota tersebut sudah menentukan dan memiliki visi
yang jelas, mau dibawa kemana arah pengembangan kota yang juga merupakan aspirasi atau
angan-angan masyarakat.
E. Konsultasi Publik
Kunjungan lapangan
dan diskusi
bermanfaat untuk
bersama-sama
memetakan kondisi
kota dengan data
yang berasal dari
tangan pertama
atau data lapangan.
Dari kegiatan
tersebut, diperoleh
tidak hanya
gambaran potensi
kota, termasuk
peta kekuatan,
kelemahan, peluang
dan ancaman yang
dihadapi.
Dari titik inilah, kota tematik dapat mendorong terbangunnya kolaborasi yang kuat antara masyarakat dan para
pemangku kepentingan lainnya, yang dilandasi gagasan baru tentang kota yang tumbuh dengan tetap memelihara
karakternya. Kota tematik secara eksplisit adalah wadah bagi penyaluran kehendak warga kota, sekaligus memobilisasi
pengetahuan yang hidup di masyarakat. Berbagai organisasi dan kelompok masyarakat diajak untuk terus-menerus
membicarakan kota tematik dan berbagai isu yang saat ini muncul. Tiap pihak memiliki permasalahan yang perlu
dibahas bersama-sama dengan yang lain.
PERENCANAAN
A. Penyusunan Masterplan / Urban Design Guide Line (UDGL)
Masterplan atau rencana induk sudah tidak asing bagi para pelaku pembangunan kota dan praktisi perencanaan.
Ada berbagai kategori rencana, seperti rencana tata ruang, rencana pembangunan atau rencana sektoral lainnya.
Tiap sektor bahkan memiliki dokumen perencanaan sebagai panduan dalam menyusun kegiatannya.
Ada tiga hal yang penting dalam menghasilkan masterplan yang berkualitas, yakni peran aktif para pemangku
kepentingan; konsensus atas visi dan tujuan; serta rincian indikator kegiatan. Namun, sebagaimana definisi
perencanaan menurut Healey (2004), masterplan pun merupakan proyeksi dari gagasan atas bentuk kota. Dikaitkan
dengan kota tematik, kota yang dibayangkan tersebut pastilah yang layak huni (livable) dan menarik (attractive).
Masterplan Pengembangan Kota Tematik merupakan upaya menerjemahkan gagasan kota yang layak huni dan
menariknya ke dalam penataan ruang kota. Lingkup masterplan tidak terbatas pada administrasi wilayah, namun
memperhatikan sejauh apa suatu tema terkait dengan konteks spasial. Sebagai contoh, membahas tema kota
pusaka kepulauan Ternate akan mencakup pula Tidore, Jailolo dan Bacan.
Perlu menimbang potensi dan kendala lokal sebagai referensi tema kota
Menurut Evert Verhagen (2015), menemukan visi berarti merumuskan target yang hendak dicapai dalam jangka waktu
tertentu.
Taman di Belanda yang merupakan Westergasfabriek dan diolah ulang sebagai taman untuk tempat berkumpul
Sumber: paparan Evert Verhagen
B. Diseminasi
Hal yang perlu dibuat setelah penyusunan masterplan adalah memperkenalkannya agar akrab dalam benak
para pemangku kepentingan. Tim Kerja dapat melakukan diseminasi dalam berbagai bentuk kampanye, seperti
mengadakan pameran, seminar atau konsultansi publik (public hearing). Menurut Dodo Juliman, produk tata
ruang sering tidak dikomunikasi kepada warga, prosesnya kurang melibatkan pihak atau komunitas yang peduli
dengan tata ruang. Gagasan yang telah dirumuskan dalam masterplan dapat dengan mudah diterima bila terjadi
komunikasi antara pembuatnya dan masyarakat. Proses partisipatori dalam perencanaan mestinya terjadi pada
skala kota, sehingga masyarakat tahu apa yang ada dalam rencana kotanya, tekan Iman Soedradjat. Dalam
Diskusi Kampung Kota (September 2015), Antonio Ismail mengatakan bahwa opsi-opsi perlu diberikan pada saat
perencanaan penataan kawasan akan dilakukan. Warga harus mempunyai pilihan supaya warga tidak merasa
dipaksa. Menurutnya, dialog dan komunikasi dapat mengurangi konflik.
Kota Banjarmasin merupakan contoh kota yang sedang giat mengkampanyekan tema kotanya. Kota ini bertekad
untuk memadukan pembangunan kota dengan tema kelestarian sungainya. Untuk membuat visi seluruh pemangku
kepentingan selaras dengan semangat tersebut, Pemerintah Kota Banjarmasin telah menghidupan slogan Kota
Seribu Sungai dan dirumuskan dalam dokumen masterplan. Gagasan ini secara konsisten terus disampaikan
kepada khalayak luas untuk mendapat dukungan.
BAPPEDA Kota Banjarmasin memaparkan Masterplan Kawasan Wisata Berbasis Sungai kepada para pemangku
kepentingan. Salah satu kriteria penting bagi perencanaan yang berhasil adalah menciptakan momen untuk menggali
dan mengembangkannya bersama para pemangku kepentingan demi mendapat kesepakatan implementasinya.
PELAKSANAAN
A. Dukungan Politik dan Hukum
Langkah pengembangan kota tematik yang dilakukan Tim Kerja akan semakin mantap bila
sampai pada tahap implementasi atau realisasi perwujudan masterplan. Pemerintah pusat dan
pemerintah daerah bersama dengan lembaga lain, seperti komunitas dan perguruan tinggi
hendaknya sepakat terhadap rencana tersebut dan dapat berbagi peran untuk mewujudkannya.
Rencana dipilah dan dibagikan sesuai kompetensi masing-masing.
Setelah itu, hal yang harus disiapkan berikutnya adalah tata cara pelaksanaannya. Diharapkan
pelaksanaannya dapat terintegrasi dengan sistem pelaksanaan pembangunan yang sudah ada
ataupun yang sudah diatur.
Dukungan politik merupakan aspek penting untuk memastikan implementasi, terutama bila
Kepala daerah terlibat di dalam diskusinya, sebagaimana dicontohkan oleh Bima Arya, Walikota
Kota Bogor dalam upaya implementasi kota pusaka. Imam S. Ernawi mengutipkan pernyataan
Walikota Barcelona, menurutnya, pembangunan harus dilakukan secara bertahap dan benar.
Tujuan keberlanjutan harus menjadi milik semua pihak. Walikota dan warganya harus konsisten
mewujudkannya, tekannya. Karena itu, masterplan yang ada selain perlu dilegalisasi, komitmen
tersebut diikuti pula oleh berbagai pemangku kepentingan untuk mendukung implementasinya
dengan membuat kesepakatan yang tertuang dalam suatu perjanjian (Memorandum of
Understanding, MoU).
C. Pembiayaan
Tentu saja, implementasi merupakan tahapan yang terangkum ke dalam produk rencana tata ruang yang
penting dalam perencanaan kota tematik. Melalui nantinya akan diwujudkan dengan pembangunan
wujud implementasi, keinginan untuk menata dan kota yang sesuai dengan harapan masyarakat. Proses
mengembangkan kota tematik dapat tercapai. Dalam pembangunan ini berkaitan pula dengan permasalahan
perencanaan, penting untuk menegaskan apa saja aksi di lapangan. Sesederhana apapun, tiap anggota dari Tim
yang pokok dan rancangan pelaksanaannya, siapa yang Kerja belajar dari proses ini dan akan memiliki aspirasi
bertanggungjawab untuk mengimplementasikannya, bagaimana mengembangkan kota tematik secara terus-
dan bagaimana pendanaan pelaksanaan atau menerus.
mendapatkan sumberdananya. Dengan adanya MoU,
sumber-sumber pembiayaan menjadi cukup jelas. E. Monitoring dan Evaluasi
M
onitoring tidak hanya ditujukan kepada capaian pelaksanaan atau implemen-
tasi yang ada, tetapi juga pada kualitas rencana tata ruang yang telah disusun.
Dokumen perencanaan harus dapat diperbarui dengan cepat dan untuk itu,
memerlukan kapasitas Tim Kerja untuk terus-menerus melakukan proses per-
encanaan.
SUD-FI merupakan forum lintas pelaku yang pendiriannya ditandai dengan deklarasi oleh
organisasi profesi, seperti IAI, IAP, ASPI, IALI, GBCI, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
akademisi. Tujuan pembentukan SUD-FI adalah untuk mewujudkan komitmen kepedulian
terhadap penyelenggaraan penataan ruang dengan pelibatan masyarakat secara inklusif dan
mendorong upaya penerapan prinsip-prinsip pembangunan perkotaan berkelanjutan dalam
perencanaan dan pengelolaan perkotaan.
2010 Penandatanganan
10 Prakarsa Bali
Prakarsa Bali merupakan jabaran dari prinsip-prinsip SUD. Sebagai tindak lanjut Prakarsa Bali,
telah dikembangkan program pembangunan bertema seperti Kota Hijau, Kota Pusaka dan Kota
Baru.
2 Dinamika perubahan struktur organisasi di instansi yang memfasilitasi kesekretariatan SUD-FI pada tahun 2014
menyebabkan forum ini mengalami kondisi kevakuman sementara. Oleh sebab itu, untuk mengaktifkan kembali
gerakan SUD diperlukan pemetaan kembali gerakan SUD sesuai dengan cita-cita lima tahun ke depan, terutama
dalam visi-misi yang dibangun oleh pengemban amanah Undang-Undang Penataan Ruang saat ini serta gambaran
tantangan-peluangnya.
Mau tidak mau dan siap tidak siap, kota tematik telah menjadi bagian
dari pembangunan perkotaan kita saat ini. Semangat kompetisi tidak lagi
mengenal batas negara. Dalam perkembangan teknologi informasi yang
mengaburkan batas geografis, kota-kota di Indonesia tidak hanya mengenal
satu sumber, yakni pemerintah saja sebagai referensi dalam membangun
kota. Inisiatif tersebut diperkuat pula dengan model kepemimpinan di
daerah saat ini dimana visi kepala daerah akan mewarnai arah pembangunan
kotanya. Daerah pun dapat bermitra dan bekerjasama dengan negara lain
demi mewujudkan visinya.
Kota tematik tentunya tidak hanya menjadi monopoli bagi daerah tertentu
saja yang memiliki kesiapan visi dan infrastruktur. Kasus beberapa kota dapat
menjadi pembelajaran bagi kota-kota lainnya. Tentu saja, lima kota yang
telah menjadi obyek bagi riset aksi ini, yakni Ternate, Jakarta, Yogyakarta dan
Banjarmasin, belum memadai dalam mewakili kondisi di seluruh kota-kota
di Indonesia. Diperlukan riset aksi terhadap kota-kota lainnya untuk makin
mempertajam kegiatan kota tematik ini, dan diperlukan pula masukan dari
para pakar baik nasional maupun internasional.