Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cagar Budaya


2.1.1 Pengertian Cagar Budaya
Cagar budaya merupakan kekayaan bangsa yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki arti penting
dalam pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan yang dapat berupa benda, bangunan, struktur,
situs dan kawasan (Undang-Undang Nomor 11 tahun 2011
tentang Cagar Budaya). Sejalan dengan definisi dari World
Bank (2010) bahwa yang dapat disebut sebagai cagar
budaya adalah objek, situs, struktur, bangunan, dan
bentukan alam yang dapat bergerak maupun tidak yang
memiliki nilai historis dan budaya. Namun saat ini, konsep
cagar budaya menjadi lebih berkembang dengan
mengikutsertakan kawasan perkotaan bersejarah, bahasa
daerah, serta benda bersejarah yang berwujud (tangible) dan
tidak berwujud (intagible) sebagai bagian dari jenis cagar
budaya.
Kakiuchi (2014) selanjutnya membagi jenis kekayaan
budaya menjadi kekayaan budaya yang berwujud (tangible),
tidak berwujud (intangible), dan monumen. Kategori
pertama berupa kekayaan budaya yang berwujud terdiri dari
2 (dua) jenis yakni (1) Peninggalan yang dapat bergerak
(movable) seperti kesenian seperti kerajinan tangan, lukisan,
dan patung; serta (2) Peninggalan yang tidak dapat bergerak
(immovable) seperti bangunan dan struktur. Sedangkan
kategori kedua yaitu kekayaan budaya yang tidak berwujud
(intangible) meliputi panggung kesenian dan musik.
Kategori ketiga adalah berupa monumen yang termasuk
kedalamnya situs bersejarah seperti makam dan taman.
Selain itu, Steinberg (1996) mendukung argumen
mengenai pandangan bahwa peninggalan bersejarah sering
dikaitkan hanya sebatas pada jenis monumen dengan
mengesampingkan bahwa kawasan permukiman dan pusat
kota historis juga mewakili salah satu peninggalan sejarah.
Sama artinya bahwa kawasan perkotaan dapat ditetapkan
sebagai kawasan lindung yang terdiri dari bangunan dan
monumen bersejarah (Tweed & Sutherland, 2007).
Dari definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
cagar budaya merupakan kekayaan bangsa berupa
peninggalan sejarah yang selain terdiri dari konsepsi
konvensional seperti (1) Berwujud (tangible) yang terdiri
dari bangunan, struktur, situs, kerajianan, dan patung; (2)
Tidak berwujud (intangible) berupa bahasa daerah,
panggung kesenian, dan musik; namun yang paling penting
juga terdiri dari kawasan perkotaan bersejarah yang terdiri
dari bangunan dan monumen bersejarah, yang sangat
penting untuk dilestarikan.

2.1.2 Kriteria Bangunan Cagar Budaya


Menurut Yu (2008), kriteria yang digunakan untuk
menetapkan sebuah bangunan cagar budaya adalah sebagai
berikut:
1. Nilai Estetika, ditinjau dari segi desain, gaya, warna,
tekstur, konstruksi, dan usia bangunan.
2. Nilai Historis, dipengaruhi oleh kejadian, aktifitas,
dan tokoh sejarah.
3. Nilai Sosial, ditinjau dari fungsi bangunan sebagai
sarana sosial.
4. Nilai Teknologi, dalam arti setiap bangunan dan
struktur cagar budaya menggambarkan kualitas
teknologi yang digunakan dalam proses konstruksi
pada periode waktu tertentu.

Sedangkan, Hastijanti (2010) mengklasifikasikan


kriteria bangunan cagar budaya menjadi 2 (dua) jenis:
1. Kriteria Fisik, yang terdiri dari:
a. Estetika, ditinjau dari bentuk, struktur, dan
ornamen bangunan.
b. Keluarbiasaan, dilihat sebagai landmark
lingkungan/kawasan/kota, kelangkaan bangunan,
umur bangunan, skala monumental, dan
perletakan.
c. Memperkuat citra kawasan, ditinjau dari
kesesuaian fungsi, kesatuan/kontinuitas, dan
kekontrasan bangunan.
d. Keaslian bentuk
e. Keterawatan
2. Kriteria Non Fisik, yang terdiri dari:
a. Peran sejarah
b. Nilai Ekonomi (komersial)
c. Nilai Sosial Budaya

Sedangkan, Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor


5 Tahun 2005 telah menetapkan tolak ukur dari kriteria
bangunan cagar budaya yakni sebagai berikut:
1. Umur bangunan, sekurang-kurangnya berumur 50
(lima puluh) tahun.
2. Estetika, rancangan arsitektur yang menggambarkan
zaman dan gaya/langgam tertentu
3. Kejamakan, bangunan yang mewakili kelas atau jenis
tertentu.
4. Kelangkaan, jumlah terbatas dari jenis atau fungsinya.
5. Nilai sejarah, mengandung peristiwa, ketokohan,
sosial budaya, dan nilai arsitektural yang menjadi
simbol kesejarahan.
6. Memperkuat kawasan, meningkatkan kualitas dan
citra lingkungan sekitarnya.
7. Keaslian, ditinjau dari tingkat perubahan pada
struktur, materialm fasad bangunan, maupun sarana
prasarananya.
8. Keistimewaan bangunan
9. Tengeran atau landmark, bangunan atau lansekap
sebagai simbol/karakter lingkungan.

Berdasarkan tinjauan diatas, dapat disimpulkan bahwa


secara garis besar kriteria yang dapat digunakan sebagai
penentu bangunan cagar budaya adalah ditinjau dari nilai
estetika (aspek arsitektural dan umur bangunan), historis
(tokoh, peristiwa, keistimewaan), dan sosial budaya, dimana
ketiganya dapat mencakup keseluruhan kriteria yang
ditawarkan.

2.1.3 Golongan Bangunan Cagar Budaya


Menurut Yu (2008), aset kesejarahan yang terdiri dari
monumen nasional berupa situs, bangunan, dan struktur
diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kategori yaitu:
1. Kategori 1 : Memiliki bentuk arsitektural dan fungsi
yang masih orisinil.
2. Kategori 2 : Memiliki bentuk arsitektural dan fungsi
yang masih orisinil namun dengan penambahan nilai
pada fungsi bangunan setelah melalui kegiatan
restorasi.
3. Kategori 3 : Memiliki bentuk arsitektural yang masih
orisinil namun dengan fungsi baru setelah melalui
kegiatan restorasi.
4. Kategori 4 : Terdapat perubahan dalam struktur awal
bangunan namun tetap melindungi nilai historis dan
arsitektural bangunan.

Sedangkan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5


Tahun 2005 menetapkan 3 (tiga) jenis golongan yakni:
1. Golongan 1: Secara fisik masih lengkap serta
memenuhi seluruh kriteria.
2. Golongan 2 : Secara fisik tidak lengkap serta minimal
memenuhi kriteria umur, keaslian, dan nilai sejarah.
3. Golongan 3 : Secara fisik tidak lengkap serta minimal
memenuhi kriteria umur dan keaslian.

Dari penjabaran golongan diatas dapat ditarik


kesimpulan bahwa masing-masing golongan diklasifikasikan
dari yang tertinggi hingga terendah dengan meninjau
kelengkapan, keaslian, dan fungsi bangunan cagar budaya.

2.2 Pelestarian Cagar Budaya


Pelestarian cagar budaya termasuk kedalam upaya
konservasi dimana merupakan kegiatan pemeliharaan yang
termasuk kedalam proses pengelolaan ruang atau obyek
kultural yang sesuai dengan kondisi dan situasi lokal agar
terpelihara dengan baik (Khoirudin, 2015). Namun, upaya
pelestarian ini masih menghadapi beberapa permasalahan
seperti terjadinya kegiatan konversi atau alih fungsi dan
perubahan fisik/struktur serta desain bangunan.
Selanjutnya Akbar (2008) menjabarkan lebih rinci
bahwa permasalahan berupa perubahan fisik/struktur
disebabkan oleh ketidaksesuaian dengan perkembangan kota,
usia bangunan yang tua, dan bahan bangunan yang tidak tahan
lama. Sedangkan, perubahan desain bangunan dapat
disebabkan oleh adanya perkembangan perubahan muka
bangunan dan pergantian selera pemilik terdahap desain asli
bangunan.
Masih menurut Akbar (2008), sebagian besar
bangunan bersejarah dipandang memilik nilai ekonomi yang
berpotensi untuk dikembangkan, terlebih jika berada pada
lokasi yang strategis. Namun, dengan adanya potensi ini
menimbulkan dampak berupa perubahan atau pembongkaran
terhadap bangunan historis yang digantikan dengan bangunan
modern.
Di sisi lain, Yu (2008) menyatakan bahwa
permasalahan pelestarian cagar budaya berupa konversi
disebabkan karena adanya kegiatan pembaharuan perkotaan
dari segi pemenuhan kebutuhan perumahan, sektor
perdagangan dan jasa, serta industri modern. Steinberg (1996)
mendukung argumen tersebut bahwa mayoritas perkotaan di
dunia memberikan perhatian yang kurang terhadap kelestarian
bangunan kuno historis. Perkotaan cenderung berkembang
dengan menggerus kawasan permukiman kuno historis baik
dari fungsi fisik, sosial, dan ekonomi menjadi kawasan
permukiman yang lebih modern.
Menurut Kakiuchi (2014), terdapat beberapa isu yang
menjadi faktor dalam upaya pelestarian cagar budaya, yaitu:
1. Kelangkaan Sumber Daya, disebabkan karena
kurangnya alokasi dana untuk program
perlindungan benda dan bangunan peninggalan
sejarah.
2. Tingkat Ekonomi, yang berarti bahwa tanpa
komunitas yang secara ekonomi dan sosial
dianggap layak, usaha perlindungan warisan
sejarah tidak dapat berkelanjutan.
3. Pendekatan Perlindungan yang Komprehensif,
diperlukannya perlindungan warisan sejarah yang
bersifat menyeluruh bukan hanya perlindungan
yang berdasarkan kategori tertentu.

Sedangkan menurut Rahardjo (2013), permasalahan


utama dalam upaya pelestarian cagar budaya adalah sebagai
berikut:
1. Status cagar budaya belum jelas
2. Pengelolaan yang tidak tuntas (implementasi rencana
belum maksimal)
3. Kurang terlindunginya aset cagar budaya
4. Konflik pengelolaan cagar budaya

Adapula menurut Khoitudin (2015), permasalahan


yang sering dihadapi Pemerintah Kota Surabaya dalam upaya
pelestarian cagar budaya yakni:
1. Proses pengklasifikasian bangunan cagar budaya yang
sulit.
2. Kurangnya dukungan dari Pemerintah Pusat.
3. Perilaku masyarakat yang enggan merawat dan
menjaga bangunan cagar budaya yang dimilikinya.
4. Adanya pembongkaran segara ilegal hanya karena
fisik bangunan yang sudah tua dan tidak terawat.

Berdasarkan artikel online yang dimuat pada laman


resmi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal
11 Mei 2015, kekhawatiran akan kerusakan bangunan cagar
budaya dapat diakibatkan oleh adanya konflik kepentingan
seperti tekanan pembangunan, perluasan lahan, pemanfaatan
lahan untuk permukiman, dan lain-lain.
Dari penjabaran diatas, permasalahan-permasalahan
yang kerap muncul dalam usaha pelestarian bangunan cagar
budaya adalah sebagai berikut:

2.3 Konsep Insentif dan Disinsentif


Dasdassadasdsda asdasda jasdasjdiajda asdioahdiajda
asdiashdiajdas

2.4 Insentif dan Disinsentif dalam Pemanfaatan Ruang


Dasdassadasdsda asdasda jasdasjdiajda asdioahdiajda
asdiashdiajdas

2.5 Penerapan Instrumen Insentif sebagai Upaya


Pelestarian Cagar Budaya
Pelestarian cagar budaya merupakan kegiatan dinamis
sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaan dan nilai
yang terkandung didalamnya melalui usaha perlindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan (Rosyadi & Rozikin, 2014).
Terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan sebagai
upaya pelestarian cagar budaya. Dalam hal ini pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan perlu untuk merancang skema
pelestarian untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya
(Alrianingrum, 2010).
Secara general, Akbar (2008) mengemukakan salah
satu upaya pengendalian dalam usaha pelestarian bangunna
cagar budaya yang dapat dilakukan adalah melalui penetapan
regulasi berupa perizinan, penyusunan rencana kota, serta
pemberian bantuan dana pemeliharaan bangunan cagar
budaya.
Menurut Steinberg (1996), pemerintah utamanya
harus lebih memperhatikan bangunan historis yang secara
legal dimiliki oleh perorangan (privat ownership). Dalam
kasus ini, pemilik bangunan historis tersebut harus diberikan
insentif berupa pembebasan pajak properti jika mereka
melestarikan dan menggunakan bangunan tersebut untuk
kegiatan ekonomi (hotel, restoran, toko, kantor). Selain itu,
Kaikuchi (2014) juga menjelaskan bahwa insentif pajak (tax
incentives) dan bantuan finansial lainnya akan sangat
mendukung kegiatan konservasi bangunan historis.
Pada studi kasus Singapura, Yu (2008) menjelaskan
bahwa pemerintah Singapura memberikan besaran insentif
kepada perorangan sebagai upaya untuk mendorong kegiatan
konservasi bangunan cagar budaya. Insentif biaya finansial ini
merupakan penawaran positif kepada masyarakat, dalam hal
ini pemilik bangunan (privat owner), untuk ikut serta dalam
kegiatan pelestarian bangunan cagar budaya (McCleary,
2005).
Dapat disimpulkan bahwa upaya pelestarian
bangunan cagar budaya melalui pemberian insentif
merupakan langkah yang tepat diambil terutama jika
bangunan tersebut dimiliki secara pribadi oleh masyarakat.
Dengan pemberian insentif, masyarakat diharapkan dapat
merasa bertanggung jawab dalam menjaga dan melestarikan
bangunan cagar budaya yang dimilikinya.

2.6 Penelitian Terdahulu


Dasdassadasdsda asdasda jasdasjdiajda asdioahdiajda
asdiashdiajdas

Anda mungkin juga menyukai