LAPORAN PENELITIAN
HIBAH MONODISIPLIN
Oleh :
Ketua Tim: Alwin Suryono Sombu, Ir., MT
Anggota: Laurentia Carrisa, ST., MT
William Sasmita, ST.
KATA PENGANTAR
AlwinSuryono
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Permasalahan
1.3
1.4
Pertanyaan Penelitian
1.5
Lingkup Studi
1.6
Tujuan
1.7
Urgensi Penelitian
1.8
Manfaat Penelitian
1.9
Metode
1.10
Kerangka Penelitian
2.1
Pendekatan Arsitektur
2.2
Pendekatan Pelestarian
12
2.3
21
26
3.1
27
3.2
27
MAKNA KULTURAL
29
4.1
31
4.2
Selubung Dalam
34
4.3
Ruang Luar
35
4.4
Fungsi Semula/Asal
36
BAB IV.
iii
4.5
Fungsi Kini
37
Selubung Luar
39
5.2
Selubung Dalam
47
5.3
Ruang Luar
50
5.4
Aspek Fungsi
51
52
6.1
53
6.2
58
6.3
Ruang Luar
61
6.4
Fungsi/kegiatan
62
KESIMPULAN
64
7.1
64
7.2
65
7.3
65
BAB VI.
BAB VII.
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kota Yogyakarta memiliki ratusan bangunan cagar budaya dalam bentuk candi,
banyak dijadikan bangunan cagar budaya. Arsitektur kolonial ini juga yang dianggap
sebagai awal Arsitektur Modern di Indonesia [Handinoto 2010; Sachari 2001].
Bangunan Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa, sebagai wujud
pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga perlu dilestarikan dengan tepat
[UURI no.11 tahun 2010].
Pelestarian bangunan peninggalan kolonial di kota-kota besar Indonesia
umumnya dilakukan dengan berbagai cara, ada yang mengutamakan keaslian bentuk/
material bangunan (seperti candi), ada yang berfokus pada kepranataan-kelemba-gaanstakeholders-pendukung [Harastoeti 2006], atau asal berfungsi saja. Patut dicermati
keefektifan pendekatan pelestarian yang telah dilakukan selama ini, apakah telah
menyentuh hal mendasar arsitektur kolonial Belanda untuk kebutuhan masa kini dan
masa datang, atau bahkan sama sekali tidak melihat kebutuhan yang ada. Hal ini yang
menyebabkan pelestarian bangunan peninggalan kolonial Belanda yang berfokus pada
aspek arsitektur dan pelestarian menjadi penting untuk dikedepankan.
1.2
Permasalahan
Permasalahan umum pelestarian adalah timbulnya akibat dari perbedaan
pelestarian (makna kultural, etika) menjadi penting, karena pelestarian bangunan cagar
budaya tak lepas dari pengaruh ke dua aspek tersebut. Diyakini bahwa bentuk
arsitektur ada untuk mewadahi suatu fungsi, dan menyiratkan suatu makna tertentu.
Berdasarkan kenyataan ini, maka disusun premis yaitu: Arsitektur merupakan wadah
(berarti bentuk) dari fungsi, yang menyiratkan makna tertentu.
Berangkat dari premis tersebut, dapat diajukan tesa kerja: Dalam pelestarian
arsitektur, bentuk dan fungsi bangunan menyiratkan makna kultural. Aspek bentuk dan
aspek fungsi akan memberikan pengaruh terhadap makna kultural. Makna kultural
(cultural significance) adalah sesuatu yang paling berharga pada bangunan/tempat
bersejarah, yang jika hilang akan menurunkan arti dari bangunan/tempat bersejarah
tersebut [Orbasli 2008]. Dugaan sementara ini perlu dianalisis melalui pertanyaan
penilitian yang dijabarkan sebagai berikut.
1.4
Pertanyaan Penelitian
Terkait permasalahan penelitian yang telah diuraikan, pertanyaan penelitian
Lingkup Studi
Fokus dari studi ini adalah pada aspek arsitektur (fungsi-bentuk-makna) dan
makna pelestarian. Objek formal studi ini meliputi aspek fungsi berupa kegiatan
(elemen kegiatan, zonasi kegiatan) di dalam bangunan, dan aspek bentuk berupa
bangunan (selubung luar, selubung dalam) dan ruang luar (lingkungan, tapak). Objek
formal dari aspek pelestarian meliputi makna kultural, etika pelestarian dan tindakan
pelestarian.
Objek material studi ini adalah bangunan peninggalan kolonial Belanda Gereja
Santo Yusuf Bintaran di Yogyakarta, bergaya arsitektur Modern yang terkait dengan
semangat zaman Politik Etis (menghargai budaya-alam lokal). Gaya Arsi-tektur
Modern merupakan sintesa gaya modern Eropa dengan alam/budaya lokal.
1.6 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengungkap relasi yang terjalin antara aspek
arsitektur dengan aspek pelestarian, dengan tahapan analisis sebagai berikut:
1. Mengungkap makna kultural dari Gereja Santo Yusuf Bintaran di Yogyakarta,
menjelaskan cara interpretasinya dan elemen-elemen arsitektur pembentuknya.
2. Mendeskripsikan elemen-elemen arsitektur yang signifikan untuk dilestarikan.
3. Mendeskripsikan konsep tindakan pelestarian dari elemen-elemen arsitektur signifikan, terkait kondisi fisik dan kebutuhan masa kini-masa datang.
1.7 Urgensi Penelitian
Sampai saat ini Gereja Santo Yusuf Bintaran di Yogyakarta dikenal sebagai
Bangunan Cagar Budaya peninggalan Kolonial yang masih utuh dan asli. Sejarah
bangunan ini antara lain: 1] Gereja Jawa pertama di Yogyakarta; 2] Tempat berkarya
Mgr. Soegijapranata, SJ (uskup pribumi pertama di Indonesia, sekaligus pahlawan
nasional); 3] Tempat singgah-berdiskusi presiden pertama Indonesia bapak Ir.
Soekarno; 4] Tempat lahirnya lahirnya beberapa gerakan pemuda dan markas darurat
para gerilyawan katolik; dan 5] Tempat Kongres pertama Umat Katolik di Indonesia.
Makna kesejarahan bertaraf nasional dan predikat sebagai gereja Jawa kurang
terasa saat ini, padahal makna tersebut sudah selayaknya dihargai dan dijaga
keutuhannya, termasuk keunikan arsitekturnya yang amat berbeda dengan gereja
katolik pada umumnya di kota-kota besar Indonesia. Bangunan gereja ini telah
beberapakali diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan pada saat itu. Oleh karena
itu studi ini menjadi penting untuk menjaga bukti sejarah sebagaimana mestinya.
Metode eksploratif untuk mengungkap makna kultural kasus studi dan elemenelemen arsitektur pembentuknya, serta metoda deskriptif untuk menjelaskan
cara menginterpretasi makna kultural tersebut.
Metode deskriptif untuk menjelaskan konsep tindakan pelestarian pada elemenelemen arsitektur signifikan kasus studi.
Kerangka analisisnya menggunakan aspek arsitektur (fungsi, bentuk) dan aspek
Mendeskripsikan elemen-elemen
arsitektur signifikan untuk dilestarikan pada kasus studi
Analisis:
Aspek arsitektur dan aspek
pelestarian.
Uji kerangka
analisis
Temuan:
-Makna kultural
-Elemen arsitek
tur signifikan
-Konsep tindakan
pelestarian
BAB 2
PENDEKATAN PELESTARIAN ARSITEKTUR
Studi pelestarian arsitektur ini mengungkap makna kultural dari bangunan
peninggalan kolonial Belanda, baik makna dari tampilan bangunan (aspek bentuk)
maupun makna dari sejarahnya (aspek fungsi), untuk dasar konsep pelestariannya.
Teori utama arsitektur yang digunakan berfokus pada aspek fungsi-bentuk-makna,
dan dalam hal ini dipilih teori Capon [1999]. Teori utama pelestarian yang digunakan
berfokus pada makna kultural yaitu teori dari Orbasli [2008] dan Felden [2003].
2.1 Pendekatan Arsitektur
Semua unsur di alam selalu mengacu kepada struktur, dan arsitektur adalah
struktur dari unsur-unsurnya, yang dikatagorikan dalam aspek fungsi-bentuk-makna
[Capon 1999]. Idea awal arsitektur ialah kegiatan (fungsi) yang butuh diwadahi.
Ruang yang dibutuhkan dan pelingkup fisiknya diakomodasi oleh medium (bentuk).
Lalu bentuk menampilkan pesan yang membawa arti (makna) [Salura 2010]. Dengan
demikian maka aspek fungsi-bentuk-makna merupakan unsur arsitektur [Capon 1999;
Salura 2010]. Aspek tinjauan dari teori Capon tergolong luas dan merupakan hasil
rangkuman dari berbagai teori arsitektur. Teori arsitektur pendukung yang digunakan
adalah: Schulz [1997]; Ching [1979]; Mangunwijaya [1981]; Olgay [1992]; Sachari
[2001; 2007; Dietsch [2002]; Salura [2010].
Pemahaman terhadap fungsi-bentuk-makna adalah sebagai berikut:
1] Fungsi arsitektur
Fungsi arsitektur adalah salah satu aspek arsitektur berupa kegiatan atau
kumpulan kegiatan. Kegiatan selalu mempunyai sifat dasar gerak kegiatan. Geraknya
dapat cenderung memusat (kegiatan berkumpul, pertemuan) atau cenderung linier
(sirkulasi, berjajar ke arah tertentu). Sifat dasar gerak kegiatan ini lalu distrukturkan
(ditata sesuai susunan) sehingga membuat sebuah zonasi. Struktur zonasi ini lalu
atas (plafon-atap); dan Susunan bentuk, berupa selubung luar bangunan, selubung
dalam bangunan [Salura 2010]. Selubung bangunan dapat berupa gaya arsitektur.
Bentuk arsitektur terkait dengan konteks tempat, berupa tapak dari bangunan dan
lingkungan alam [Salura 2010]. Lingkup aspek bentuk dalam studi ini adalah:
a. Bangunan, berupa selubung luar (meliputi atap, fasad, ornamen/dekorasi) dan
selubung dalam (meliputi tata ruang, plafon, dinding, penerangan-ventilasi alami,
lantai, ornamen/dekorasi). Fasad meliputi dinding, entrance, jendela, struktur.
b. Ruang luar, meliputi tapak, lingkungan, benda-benda terkait).
Elemen pelingkup ruang atau selubung bangunan dapat berupa elemen garis,
bidang atau volume, dan elemen garis lurus adalah elemen yang dominan pada
Arsitektur awal abad 20 [Capon 1999]. Susunan bentuk melalui penggunaan sumbu
ialah untuk memudahkan pemahaman bentuk atau mengatur tatanan arsitektural.
Susunan bentuk dapat berpola radial, kluster, terpusat, linier [Ching 1979]. Susunan
melalui pengulangan sering digunakan pada Arsitektur Modern [Capon 1999].
Selubung bangunan (gaya arsitektur) dari bangunan kolonial Belanda yang
dominan pada era Politik Etis adalah gaya arsitektur Neo-klasik, Arsitektur Indis dan
Arsitektur Modern [Kusno 2009]. Gaya Neo-Klasik adalah gaya Klasik Eropa yang
telah disederhanakan ornamentasinya dan diadaptasikan pada alam lokal [Kusno
2009]; Gaya arsitektur Modern ialah sintesa gaya modern Eropa dengan alam/budaya
lokal [Kusno 2009, Handinoto 2010]; dan Gaya arsitektur Indis adalah sintesa unsur
arsitektur lokal Nusantara dan unsur arsitektur Eropa [Kusno 2009; Nurmala 2003].
Ornamen adalah perlakuan pada permukaan yang menunjukkan nilai-nilai
simbolik (belakangan tak mementingkan makna lagi). Ornamen berkaitan dengan
konteks visual dan perasaan, lebih dari sekedar fungsional [Capon 1999].
Aspek bentuk berelasi dengan aspek fungsi dan makna arsitektur, yaitu: [a]
Relasi aspek bentuk dan fungsi berupa bentuk yang penekanannya pada fungsi, atau
bentuk yang dipadukan dengan fungsi; dan [b] Relasi bentuk dan makna berupa
bentuk yang memberi citra, ide, atau simbol.
Aspek bentuk juga terkait dengan cara diwujudkan, yaitu berkenaan dengan
proses dan material. Proses terdiri dari proses menjadi, berubah dan berhenti. Proses
10
menjadi meliputi desain dan konstruksi, proses berubah berupa adaptasi pada
kebutuhan baru, sedangkan proses berhenti berupa penghancuran. Material adalah inti
fisik bangunan, yang mengalami perubahan menerus [Capon 1999].
Prinsip dari arsitek bangunan kolonial Belanda [Sumalyo 1993] sebagai berikut:
Prinsip desain Henri Maclaine Pont: [1] Arsitektur adalah bagian dari kegiatan
manusia dalam menciptakan sesuatu untuk dirinya; [2] Menekankan pendekatan pada
budaya dan alam setempat, lalu penekanan pada kesatuan bentuk, fungsi, konstruksi
(tradisi terkait arsitektur) dan hubungan logis antara bangunan dengan lingkungan;
dan [3] Hasilnya ialah paduan arsitektur tradisional Indonesia (termasuk candi-candi)
dengan arsitektur modern Eropa.
Prinsip desain CP. Wolff Schoemaker: [1] Paduan arsitektur tradisional Indonesia dan modern Eropa harus melalui pemahaman keduanya; [2] Arsitektur Eropa
amat rasional, ruang dalam dan luar dibatasi dengan dinding tebal; [3] Arsitektur
Jawa ditentukan oleh iklim, waktu, integrasi dengan alam, kegiatan penghuninya, dan
dipengaruhi konsepsi/filsafat bangunan India; dan [4] Keindahan konstruksinya
timbul dari menyatunya dengan alam (orientasi bangunan, lingkungan sekitar).
Prinsip desain ED. Cuypers: [1] Selalu menggunakan unsur-unsur tradisional
dan tropis. Unsur tradisional berupa hiasan-hiasan candi, bentuk-bentuk atap,
konstruksi yang memperlihatkan elemen-elemen horizontal (balok) dan vertikal
(kolom); dan [2] Memadukan arsitektur tradisional Indonesia tersebut dengan
arsitektur modern Eropa (arsitektur Renaissance).
Konstruksi dapat dilihat sebagai proses penggabungan/penyusunan material
menjadi bentuk dinding, atap, lantai yang melingkupi ruang. Seni dapat diperoleh dari
teknik dan ketepatan setiap material, dan konstruksi sebaiknya diekspresikan sebagai
ciri utama arsitektur [Violet-le-Duc dalam Capon 1999]. Kesederhanaan dapat ditemui pada arsitektur selubung/massa, yaitu melalui konstruksi yang dikembangkan
sebagai arsitektur [Wright dalam Capon 1999]. Bentuk dari arsitektur yang konstruksional akan merefleksikan prinsip saling melengkapi antara bentuk konstruksi.
Pada bangunan tua, kekurang-stabilan dapat disebabkan karena desain strukturnya atau perubahan yang terjadi kemudian (untuk memenuhi kebutuhan baru).
11
Kekokohan sering dicapai dengan ikatan satu kesatuan dari elemen-elemen struktural,
juga ketahanan terhadap dampak gempa bumi [Beckmann-Bowels 2004].
3] Makna arsitektur
Makna adalah salah satu aspek arsitektur berupa arti interpretasi dari tampilan
bentuk arsitektur, yang dibaca oleh pengamat dan pengguna. Arti interpretasi tersebut
dapat memiliki pesan, tapi dapat juga tidak memiliki pesan.
Makna dalam arsitektur terkait referensi pengamat sebagai berikut:
a. Hubungan sebab-akibat dengan bentuk lain (indexical).
b. Hubunan keserupaan dengan bentuk lain (iconical).
c. Merupakan suatu kesepakatan tentang sesuatu hal (symbolical). Bentuk salib
(ornamen, tata ruang) disepakati oleh umat Nasrani sebagai bermakna spiritual.
Terkait hubungan sebab akibat (a), makna adaptif alam lokal diinterpretasi
dari teritis/rongga dinding untuk memayungi jendela/dinding dari tampias hujan/terik
sinar matahari, atau bangunan yang berorientasi pada elemen alam lokal (gunung).
Terkait hubungan keserupaan, filsafat arsitektur Gotik Eropa adalah vertikalitas-transparan-diafan. Vertikalitas dimaknai spiritual, transparansi dinding dimaknai
cita-cita lepas dari kehidupan fana dan diafan dimaknai Rahmat Tuhan yang
menembus kefanaan [Mangunwijaya 1992]. Hubungan keserupaan ini diterapkan
pada gereja Gotik di tempat lain, demikian juga dengan keserupaan atap arsitektur
tradisional Nusantara yang ada ditempat yang bukan asalnya.
Terkait kesepakatan (simbolik), makna simbolik dapat berupa simbolik
pemilik bangunan, simbolik budaya/gaya hidup pengguna, simbolik dari tujuan
tertentu [Capon 1999; Salura 2010]. Simbol dapat berlaku hanya untuk sekelompok
orang/masyarakat. Pada arsitektur tradisional Jawa, bangunan beratap susun 2 dimaknai sebagai bangunan keramat (misalnya masjid) dan bangunan yang lebih rendah
tingkat keramatnya (pendopo, istana) beratap 1 susun ke bawah [Mangunwijaya
1992]. Bentuk simetris-memusat dimaknai simbol kekuasaan [Sachari 2007].
Relasi makna arsitektur dengan aspek bentuk dan fungsi adalah sebagai berikut:
1. Relasi makna dengan bentuk, yaitu arti interpretasi dari aspek bentuk. Skala besar
12
Arsitektur
Fungsi
Makna
13
1] Pemahaman
Pelestarian ialah proses memiliki kembali keutuhan suatu objek yang masih
ada [Murtagh 1988], atau seluruh proses memahami dan menjaga suatu tempat untuk
mempertahankan makna kulturalnya [Piagam Burra 1999; Orbasli 2008]. Proses
tersebut termasuk perawatan dan tindakan pelestarian, berdasar keadaan objek.
Tindakan pelestarian dapat satu jenis atau beberapa jenis sekaligus. Pelestarian dapat
dipahami sebagai upaya mempertahankan dan melindungi bangunan bersejarah,
untuk memahami masa lalu dan memperkaya masa kini, sehingga bermanfaat bagi
perkembangan kota dan generasi masa datang [Antariksa 2010].
Pengertian pelestarian dalam studi ini adalah suatu proses memahami,
melindungi, merawat dan melakukan tindakan pelestarian pada suatu tempat
(bangunan/lingkungan) bersejarah yang masih ada, agar makna kulturalnya bertahan.
Tujuan pelestarian adalah untuk memahami masa lalu dan memperkaya masa kini,
sehingga bermanfaat bagi perkembangan kota dan generasi masa datang.
Konsep tindakan pelestarian dapat berupa tindakan preventif, preservasi,
restorasi, rehabilitasi, adaptasi, rekonstruksi atau kombinasi beberapa tindakan
sekaligus. Dengan demikian yang dilestarikan adalah makna kulturalnya, melalui
tindakan pelestarian pada aspek bentuk (bangunan, ruang luar) dan aspek fungsi.
Pentingnya pelestarian bangunan bersejarah dapat dipahami sebagai berikut:
Bangunan bersejarah merupakan perwujudan fisik sejarah masyarakat, bukti material
dari cara hidup/budaya masa lalu, serta suatu sumber material dan budaya terbatas
yang jika rusak akan tak dapat dikembalikan lagi. Pelestarian peninggalan bangunan
bersejarah merupakan sarana signifikan bagi masyarakat agar dapat mempertahankan
dan menunjukkan kepribadian dan keunikannya terhadap penyeragaman arsitektur
global yang sulit dihindari [Orbasli 2008]. Dengan hilangnya bangunan bersejarah,
lenyap pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan
suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya [Sidharta &
Budihardjo 1989]. Karena itulah warisan bangunan bersejarah menjadi penting
mengingat gencarnya kegiatan modernisasi dan globalisasi kota-kota di dunia yang
14
bila tidak dikendalikan akan memberikan wajah kota yang sama disetiap kota
[Antariksa 2007].
Manfaat yang diperoleh dari pelestarian bangunan bersejarah antara lain
[Orbasli 2008; Soekiman 2000; Feilden 2003]:
1. Bangunan sejarah menunjukkan identitas nasional, etnik atau kelompok social.
2. Memberikan bukti ilmiah masa lalu, dan dapat menjadi bagian hubungan
emosional yang memberikan pengalaman ruang dan tempat seperti yang terjadi
dimasanya dulu.
3. Keindahan dan teknik-teknik bangunannya dikagumi, sementara kota yang
dicirikan dengan bangunan-bangunan bersejarah membawa ke suasana kehidupan
masa lalu dan dapat memberikan suatu perasaan mundur dalam waktu.
4. Bangunan sejarah berguna/bernilai untuk penggunanya, juga sebagai kenangan
individual/ kolektif.
5. Pemandangan kota dengan bangunan-bangunan megah yang memiliki ciri
berbagai gaya seni yang mewakili zamannya, menjadikan suatu daya tarik wisata,
yang akhirnya dapat mendatangkan devisa.
6. Bangunan bersejarah memiliki tingkat konsumsi energi rendah, berukuran longgar
dan berusia panjang. Dapat dijadikan pelajaran yang relevan untuk arsitektur
masa kini, agar kualitas arsitekturalnya dapat lebih baik.
2] Pendekatan makna kultural
Makna dari suatu bangunan atau tempat bersejarah adalah hal yang paling
menentukan, yang jika hilang akan menurunkan makna kulturalnya [Orbasli 2008].
Sementara itu, kebudayaan dapat dipahami dari gejalanya, yaitu: [1] Idea (gagasan,
nilai, peraturan). [2] Aktivitas (kegiatan). [3] Artefak (peninggalan) [Honigmann
1959]. Ke tiga gejala kebudayaan tersebut merupakan satu kesatuan, tidak berdiri
sendiri. Dengan demikian pemahaman makna kultural dan kebudayaan dalam konteks
studi pelestarian arsitektur ini dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a) Makna dari aspek idea (nilai, gagasan) berupa makna dari spirit Politk Etis, yaitu
menghargai budaya dan alam lokal Nusantara (makna kelokalam budaya/alam).
15
b) Makna dari aspek aktivitas (kegiatan) yaitu makna dari kegiatan masa lalu (makna
sejarah) dan kegiatan masa kini (makna kegunaan).
c) Makna dari artefak (peninggalan) berupa bangunan peninggalan kolonial Belanda
era Politik Etis (makna arsitektural pada bangunan, makna tatanan arsitektur pada
ruang luar).
Makna kultural tersusun dan didukung oleh berbagai unsur, dan yang sering terkait
dengan peninggalan budaya adalah makna sejarah, arsitektural, estetika, kelangkaan,
kelokalan [Orbasli 2008]. Peran pelestarian adalah mempertahankan makna kultural
tersebut, atau bahkan meningkatkannya [Orbasli 2008; Feilden 2003; SidhartaBudihardjo 1989].
Makna kultural yang digunakan untuk studi pelestarian bangunan peninggalan
kolonial Belanda era politik etis, yang mewakili masa lalu dan masa kini, adalah:
1. Makna sejarah: sebagai bukti fisik suatu peristiwa/kehidupan masa lalu, dan atau
berperan dalam sejarah.
2. Makna kegunaan: terkait kegunaan/manfaat bangunan (aspek fungsional, sosial,
ekonomi, pendidikan) untuk kegiatan masa kini.
3. Makna arsitektural: terkait susunan dan prinsip penataan elemen arsitektur, serta
sumbangannya (karya arsitek terkenal, modernitas konstruksi).
4. Makna kelokalan: terkait spirit Politik Etis (mengapresiasi budaya dan alam lokal)
melalui arsitektur, sekaligus menghargai keunikan suatu tempat yang berbeda dari
tempat lain (keunikan desain/bentuk arsitektural, teknik konstruksi, material).
Makna kultural juga membantu menetapkan prioritas dalam tindakan
pelestarian, dan menetapkan tingkat dan sifat tiap tindakan [Feilden 2003]. Tindakan
pelestarian dipilih sesuai kondisi fisik bangunan/tempat bersejarah, kebutuhan masa
kini dan memperhatikan etika pelestarian.
3] Etika pelestarian
Etika pelestarian didasarkan pada keutuhan dan keaslian dari berbagai aspek,
uraian dan keterkaitannya dengan aspek lain adalah sebagai berikut [Feilden 2003;
Orbasli 2008; Venice-Burra Charter, Sidharta-Budihardjo 1989]:
16
17
18
yang melekat padanya; dan [e] Tindakan adaptasi dilakukan sebagai berikut: 1]
mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada objek, 2] menambah fasilitas sesuai
kebutuhan, 3] mengubah susunan ruang secara terbatas, 4] mempertahankan gaya
arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.
5] Tindakan/cara pelestarian
Tindakan pelestarian diperlukan untuk mempertahankan makna kultural suatu
tempat/bangunan berdasarkan kondisi fisiknya, penyebab kerusakannya dan kondisi
baru yang diinginkan [Feilden 2003] serta dipengaruhi oleh kondisi lapangan,
anggaran, penaikan mutu yang disyaratkan [Orbasli 2008]. Untuk kasus studi
bangunan Cagar Budaya peninggalan Kolonial Belanda di Kota Bandung, maka jenis
tindakan pelestarian yang digunakan antara lain:
[1] Preventif, yaitu mempertahankan bangunan melalui pengendalian lingkungannya,
agar perantara penurunan mutu bangunan tidak berubah menjadi aktif [Feilden 2003],
dan untuk memperlambat proses kerusakan [Orbasli 2008]. Pengendalian lingkungan
mencakup pengendalian kelembaban, suhu, vandalisme, kebersihan, drainase, dan
pengaturan pertumbuhan vegetasi.
[2] Preservasi, yaitu mempertahankan bangunan pada bentuk dan kondisi yang ada
[Feilden 2003; Orbasli 2008] dan mencegah/memperlambat penurunan mutu
bangunan [Rodwell 2007] tanpa ada perubahan [Sidharta-Bidihardjo 1989].
Perbaikan harus dilakukan bila diperlukan, untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
[3] Restorasi, yaitu pengembalian suatu bangunan ke keadaan semula, dengan
menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula yang hilang
tanpa menggunakan bahan baru [Sidharta-Budiharjo 1989; Young 2008].
[4] Adaptasi, yaitu perubahan terbatas/tidak drastis pada bangunan untuk suatu
kegunaan [Sidharta-Budiharjo 1989]. Istilah lain adalah penggunaan adaptif (adaptive
reuse), yaitu penggunaan bangunan lama untuk fungsi yang berbeda dari asalnya
demi kebergunaannya [Orbasli 2008].
[5] Rehabilitasi, yaitu tindakan perbaikan/perubahan untuk pengembalian suatu
bangunan agar dapat digunakan kembali, dengan tetap mempertahankan wujud-wujud
19
20
material pengganti harus sama dengan aslinya. Jika material berbeda, maka karakter
fisiknya sebaiknya harmonis dengan aslinya, terutama sifat porositasnya; [3] tidak
menggunakan material pengganti yang lebih kuat/kaku dari aslinya, demi keawetan
material aslinya [Feilden 2003]. Adapun pengetahuan tradisional yang perlu diketahui
adalah: [1] Pengalaman konstruksi dan ketrampilan tradisional; [2] pengetahuan sifat
material (proses pembusukan, kerusakan akibat material modern) [Forsyth 2007].
7] Kerangka pendekatan pelestarian
Sebagai rangkuman dari aspek pelestarian yang diuraikan di atas, maka
kerangka pendekatan pelestarian dapat diskemakan (Gambar 2.2).
-Kondisi bangunan
-Kebutuhan pengguna
Preventif
Preservasi
Objek:
-Bangunan
-Ruang luar
-Benda terkait
Makna Kultural
Restorasi
Adaptasi
Rehabilitasi
-Etika pelestarian
Pedoman Pelestarian
Pertimbangan
Rekonstruksi
Objek
Tindakan pelestarian
21
22
(diungkap dari kegiatan semula dan masa kini). Tindakan pelestarian dilakukan pada
elemen-elemen arsitektur signifikan berdasarkan: kondisi fisik objek, kebutuhan masa
kini - masa datang, sesuai dengan etika dan pedoman pelestarian.
2] Kerangka konseptual pelestarian arsitektur
Kerangka konseptual pelestarian arsitektur adalah elaborasi dari kerangka
pelestarian (Gambar 2.1) dan kerangka arsitektur (Gambar 2.2) pada Gambar 2.3.
Etika/Pedoman
Kondisi objek
Preventif
Preservasi
Makna Kultural:
Objek:
Bangunan
Ruang luar
Benda terkait
Bentuk
Restorasi
Adaptasi
Objek
Rehabilitasi
Kebutuhan masa
kini-masa datang
Arsitektur
Makna
Fungsi
Rekonstruksi
Pertimbangan
Tindakan
(Pendekatan Pelestarian)
(Pendekatan Arsitektur)
23
Tahap awal elaborasi kerangka pelestarian dan kerangka arsitektur (Gambar 2.4).
Makna kegunaan
Makna sejarah
Makna
Preventif
Preservasi
Arsitektur
Makna kelokalan
Makna arsitektural/
kekriyaan
Kebutuhan masa
kini-masa datang
Fungsi
Bentuk
Restorasi
Elemen
Susunan
Adaptasi
Etika/Pedoman
Kondisi objek
Rehabilitasi
Rekonstruksis
i
Gambar 2.4. Tahap awal elaborasi kerangka pendekatan pelestarian-arsitektur
Tahap final elaborasi kerangka pelestarian dan kerangka arsitektur menjadi kerangka
pelestarian arsitektur (disebut kerangka konseptual) pada Gambar 2.5.
24
Konsep tindakan
Pelestarian
Makna
Fungsi
Kegiatan
Makna sejarah,
makna kegunaan
Makna
-Elemen kegiatan
-Zonasi kegiatan
Makna kultural
Makna arsitektural,
makna kelokalan
Makna
Bentuk
Kegiatan/kumpulan kegiatan
masa kini, masa lalu
-Bangunan
-Ruang luar
Preventif
Preservasi
Restorasi
Rehabilitasi
-Elemen bentuk
-Susunan bentuk
Adaptasi
Rekonstruksi
-Kondisi objek
-Etika-pedoman
pelestarian
25
26
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bermaksud memahami hasil kegiatan pelestarian arsitektur
bangunan peninggalan kolonial Belanda Gereja Bintaran di Yogyakarta dengan cara
deskripsi, karena itu dapat digolongkan sebagai Penelitian Kualitatif [Moleong 2010].
Posisi Gereja Santo Petrus Bintaran di Kota Yogyakarta pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Peta posisi Gereja Santo Petrus Bintaran Yogyakarta (Sumber: Geogle earth)
Gereja Santo Petrus Bintaran Yogyakarta terletak jl. Bintaran Kidul No. 5
Yogyakarta, dibangun tahun 1933-1934 berdasar rancangan J.H. van Oijen B.N.A
oleh kontraktor Hollandsche Beton Maarschapij. Luas bangunan gereja adalah 720 m
di atas tanah seluas 5024 m. Gereja berlantai 1 ini tingginya 13 m, lebar 20 m dan
panjang 36 m.
27
28
bangunan, ruang dalam) dan ruang luar (lingkungan, tapak); dan Makna kultural
aspek fungsi diinterpretasi dari kegiatan (masa lalu, masa kini).
Metode interpretasi makna kultural sebagai berikut: [a] Makna kultural aspek
bentuk meliputi makna arsitektur dan kelokalan, makna aspek fungsi meliputi makna
sejarah dan makna kegunaan. [b] Makna arsitektur dinterpretasi pengamat berdasar:
Hubungan sebab-akibat dengan bentuk lain (indexial); Hubungan keserupaan dengan
bentuk lain (iconical); atau Merupakan kesepakatan tentang sesuatu hal (symbolical).
[c] Makna kelokalan diinterpretasi melalui kelokalan bentuk (bentuk arsitektur/tradisi
lokal, bentuk yang adaptif alam lokal) dan kelokalan alam (alam sebagai orientasi
bangunan, material lokal digunakan untuk bangunan).
Setelah makna kultural dipahami, lalu dideskripsikan elemen-elemen arsitektur
peyusunnya, yaitu dari aspek bentuk dan aspek fungsi.
Elemen-elemen arsitektur signifikan
Elemen-elemen arsitektur signifikan adalah elemen-elemen pembentuk makna
kultural dari aspek bentuk dan aspek fungsi. Elemen aspek bentuk adalah elemen dari
selubung bangunan, selubung dalam dan ruang luar; elemen aspek fungsi adalah
kegiatan semula/masa lalu dan kegiatan saat ini.
Konsep tindakan pelestarian
Konsep tindakan pelestarian adalah tindakan yang dikenakan pada tiap
elemen arsitektur signifikan (aspek bentuk dan aspek fungsi), agar makna kulturalnya
dapat bertahan. Metoda deskriptif digunakan untuk menggambarkan jenis tindakan
pelestarian yang dibutuhkan, berdasarkan kondisi fisik, kebutuhan masa kini-masa
datang, dan etika-pedoman pelestarian.
29
BAB IV
MAKNA KULTURAL
Berdasar teori arsitektur dalam studi ini, makna kultural adalah makna dari
aspek bentuk dan aspek fungsi arsitektur, dalam konteks masa lalu dan masa kini.
Makna kultural aspek bentuk diinterpretasi dari bangunan (selubung luar, selubung
dalam) dan ruang luar (lingkungan, tapak); dan makna kultural aspek fungsi
diinterpretasi dari kegiatan (masa lalu/semula dan masa kini).
Makna kultural bangunan berupa makna gaya arsitektur Modern dan makna
spirit Politik Etis (apresiasi pada budaya/alam lokal). Makna spirit politik etis disebut
makna kelokalan (kelokalan bentuk/budaya, alam). Makna kultural ruang luar berupa
makna tatanan arsitektur dan makna kelokalan. Gaya arsitektur dan kelokalan dilihat
melalui anatomi (susunan, elemen) terkait.
Susunan gaya arsitektur terdiri dari selubung luar (elemennya atap, fasad,
struktur, alas bangunan), selubung dalam (elemennya plafon, dinding, struktur, lantai).
Susunan dari kelokalan bentuk meliputi arsitektur lokal (elemennya atap, fasad,
struktur, alas bangunan, ornamen) dan bentuk adaptif alam lokal (berupa atap, teritis,
talang, penerangan alami, ventilasi alami, struktur). Susunan kelokalan alam terdiri
dari orientasi bangunan pada alam lokal (bagian muka - belakang bangunan) dan
aplikasi material lokal (material atap, dinding, pintu/jendela, struktur, plafon).
Makna kultural aspek fungsi berupa makna sejarah diinterpretasi dari kegiatan
masa lalu/semula dan makna kegunaan dari kegiatan masa kini. Susunan kegiatan
berupa zona kegiatan (kegiatan utama, pendukung) dan elemen kegiatan berupa sifat
dasar kegiatan (memusat, linier, menyebar).
Cara interpretasi makna gaya arsitektur berdasar hubungan sebab-akibat
dengan bentuk lain (indexical), hubungan keserupaan dengan bentuk lain (iconical),
atau merupakan kesepakatan tentang sesuatu hal (symbolical). Cara interpretasi
makna kelokalan berdasarkan kelokalan bentuk (bentuk arsitektur lokal, bentuk adaptif
30
Wujud aspek
Makna kultural
Bentuk
Bangunan
(selubung luar)
Hubungan sebab-akibat,
Hubungan keserupaan, atau
Kesepakatan pada sesuatu hal.
Kelokalan bentuk:- unsur arsitektur/tradisi lokal
-bentuk adaptif tempat
Kelokalan alam : -orientasi, material lokal
Hubungan sebab-akibat,
Hubungan keserupaan, atau
Kesepakatan pada sesuatu hal.
Kelokalan bentuk:- unsur arsitektur/tradisi lokal
-bentuk adaptif tempat
Kelokalan alam: - orientasi, material lokal
Makna kelokalan
Bangunan
(selubung dalam)
Fungsi
Fungsi semula
Makna sejarah
Fungsi kini
Makna kegunaan
31
(atap, fasad, struktur, entrance, ornamen); selubung dalam (tata ruang, plafon, dinding, struktur, lantai dan ornamen/dekorasi); ruang luar (lingkungan, tapak); fungsi
semula (elemen kegiatan semula); dan fungsi kini (elemen kegiatan saat ini).
4. Metoda interpretasi makna kultural sebagai berikut: makna gaya arsitektur
(melalui hubungan sebab-akibat, keserupaan atau kesepakatan pada sesuatu hal);
makna kelokalan bentuk (keserupaan dengan arsitektur lokal, bentuk adaptif alam
lokal); makna kelokalan alam (bangunan berorientasi ke alam lokal, pemakaian
material lokal). Makna tatanan arsitektur (melalui hubungan sebab-akibat, kesepakatan pada sesuatu hal). Makna sejarah (zonasi-sifat dasar kegiatan semula);
dan makna kegunaan (zonasi-sifat dasar kegiatan saat ini). Makin khusus suatu
kegiatan (apalagi simbolik), maka kegiatan tersebut makin perlu dipertahankan.
Berikut adalah interpretasi makna kultural Gereja Santo Petrus Bintaran
Yogyakarta (Gereja Bintaran).
Makna kultural Gereja Bintaran diinterpretasi sesuai Tabel 4.1 Kerangka
Interpretasi Makna Kultural. Makna kultural aspek bentuk diinterpretasi dari bangunan
(selubung luar, selubung dalam) dan ruang luar; (makna gaya arsitektur melalui
hubungan sebab-akibat, hubungan keserupaan atau hubungan kesepakatan; makna
kelokalan melalui kelokalan bentuk/alam.
sejarah, makna kegunaan) diinterpretasi dari kegiatan (masa lalu, masa kini) melalui
deskripsi sifat dasar kegiatan dan zonasi kegiatan.
4.1 Selubung Luar Bangunan
Melalui selubung luar bangunan (Gambar 4.1) diinterpretasi makna kultural
32
Makna gaya
33
d. Interpretasi adaptasi pada alam tropis Jawa melalui hubungan sebab-akibat pada
teritis yang menaungi jendela-jendela Mawar, pintu-pintu dari tampias hujan dan
terik sinar matahari, serta ventilasi alami melalui jendela Mawar (Gambar 4.5).
34
35
U
Jl. Sultan Agung
Agung
Kiri: Lingkungan Gereja Bintaran, tapak gereja di pojok jl. Bintaran Kulon-Bintaran Tengah.Tengah:
Halaman Utara gereja, lebar 11 meteran. Kanan: Halaman Barat gereja, lebar 5,3 meteran.
36
Area duduk
di kursi
perjuangan
Kiri:
Peresmian Gereja
Bintaran
oleh Romo
Th. Van
Hoof, SJ.
tahun 1934.
Tengah:
Peletakan
batu
kemerdekaan
Indonesia,
uskup
juga A.
terlibat
sebagai
pejuang.
Paroki
Bintaran
sering
pertama pembuatan pagar Gereja Bintaran, dipimpin oleh Uskup Mgr Soegijapranata, SJ. kanan: Kegiatan
dijadikan
kongres, rapat-rapat,
bahkan
sebagai
social
dengantempat
anak-anak-pemuda
Gereja Bintaran.
(Sumber
: St Calverbond, 1934)
markas darurat para gerilyawan Katolik, dengan dipayungi oleh Bapa Uskup. Gereja
Bintaran juga terkait lahirnya beberapa gerakan pemuda. seperti Majalah Praba, Radio
Bikima, dan lain-lain. Gereja Bintaran menjadi tempat singgah-berdiskusi oleh
37
presiden pertama Indonesia bapak Ir. Soekarno (Gambar 4,10), juga tempat Kongres
pertama Umat Katolik di Indonesia.
38
39
BAB V
ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTUR SIGNIFIKAN
UNTUK DILESTARIKAN
Elemen-elemen arsitektur yang signifikan untuk dilestarikan adalah elemenelemen arsitektur pembentuk makna kultural (aspek bentuk dan aspek fungsi), yang
telah dideskripsikan pada Bab IV. Analisis elemen-elemen arsitektur signifikan
berdasar anatomi arsitektur, yaitu aspek susunan (simetri, repetisi, seimbang,
penggunaan sumbu) dan aspek elemen (berupa elemen bentuk, material, konstruksi).
Pengelompokan elemen arsitektur signifikan berdasar aspek bentuk (selubung luar,
selubung dalam, ruang luar) dan aspek fungsi (kegiatan semula, kegiatan saat ini).
5.1 Selubung luar
Elemen-elemen arsitektur signifikan dari selubung luar (bermakna sintesa
arsitektur Basilika arsitektur Modern dan budaya-alam Jawa) adalah: fasad bidang
polos-lebar, atap lengkung diapit atap-atap datar, jendela-jendela Mawar, entrance
utama di tengah fasad Barat-Utara-Timur, ornamen salib (pada atap dan fasad), alas
dinding berlekuk-lekuk (bata tebal 45 cm), teritis lebar pada atap dan entrance,
ventilasi-penerangan alami, pintu-kusen kayu jati lokal.
40
Fasad Gereja Bintaran sisi Utara, sisi Barat, sisi Selatan dan sisi Timur (Gambar 5.2).
Fasad Utara
Fasad Selatan
Fasad Barat
Fasad Timur
41
42
43
Plat-rangka datar
beton bertulang,
tinggi 6,61 meter
Plat-rangka datar
beton bertulang,
tinggi 3,90 meter
a. Atap utama berupa atap lengkung plat berangka dari beton bertulang, tinggi
puncak lengkung 12,80 meter dan teritis lebar 1 meter. Pada puncak atap utama
bagian Utara terdapat ornamen salib dan lonceng.
b. Atap tepi (pengapit atap utama) berupa atap datar plat berangka dari beton bertulang, tinggi 6,61 meter dan teritis lebar 1 meter.
c. Atap terluar/terendah berupa atap datar plat berangka dari beton bertulang, tinggi
3,90 meter dan teritis lebar 1 meter.
44
Fasad Barat
Fasad Utara
Jendela
kotak
Fasad Timur
45
Kaca ungu
Beton
Rose window
Katedral Eropa
T
B
46
47
b. Ornamen-ornamen salib jumlahnya cukup banya yang terletak pada posisi tinggi
pada tiap elemen selubng bangunan (selubung tengah/tertinggi, selubung tepi
kiri-kanan, dan ruang pengakuan dosa sisi Timur dan Barat).
c. Jendela-jendela Mawar (pada fasad Utara, fasad Barat, fasad Timur) berfungsi
sebagai perlengkapan penerangan dan ventilasi alami, dapat dianggap sebagai
ornamen. Terkait jumlahnya yang mencapai 65 buah (29 buah pada fasad Barat,
29 pada fasad Timur, 7 pada fasad Utara) dapat diartikan sebagai apresiasi pada
seni batik (seni khas dari Yogyakarta).
d. Guratan (dekorasi) bentuk salib terdapat pada bagian bawah lekuk-lekuk dinding
pada selubung luar sisi Utara dan Selatan.
5.2 Selubung Dalam
Elemen-elemen arsitektur signifikan dari selubung dalam (makna Adaptasi
arsitektur Basilika pada budaya/alam lokal), meliputi: tata ruang (ruang tinggilengkung diapit kolom-kolom dan ruang tepi), plafon lengkung (ribbed-vault) diapit
plafon datar, jendela-jendela Mawar, ornamen-ornamen salib, pintu-kusen kayu jati.
Panti Koor
(lantai 2)
Ruang pengakuan dosa
)Area duduk lesehan
(umat pribumi)
Area duduk di kursi
(umat Belanda)
Entrance
Entrance
Utara
48
Altar
Panti Koor
Entrance
Utara
Entrance
Susunan ruang dalam Gereja Bintaran memanjang sesuai poros arah UtaraSelatan, diinterpretasi sebagai adaptasi Keraton Yogyakarta yang menggunakan
poros utama arah Utara-Selatan. Susunan area duduk lesehan di daerah muka dan
area duduk dengan kursi di area belakang dapat dimaknai sebagai bentuk paresiasi
umat Belanda pada budaya lokal Jawa yang terbiasa dengan duduk lesehan. Gereja
Bintaran inipun didirikan dengan maksud sebagai gereja untuk pribumi.
Posisi panti koor semula di belakang lantai 2 dinilai lebih baik, sesuai konsep
suara malaikat (penyanyi koor tak nampak dari ruang umat) dan orientasi ibadah
misa dapat lebih fokus ke arah altar. Namun karena pertimbangan kekuatan lantai 2
yang sudah terlalu tua, maka posisi panti koor dipindah ke area muka ruang umat.
49
Susunan bentuk plafon ruang tengah tinggi-lengkung diapit plafon datar lebih
rendah adalah pola bentuk plafon arsitektur Basilika (ruang tengah tinggi-lengkung
diapit ruang-ruang tepi rendah), yang diadaptasikan dengan alam lokal melalui
lubang-lubang ventilasi di bawah plafon. Plafon sekaligus plat atap bentuk lengkung
merupakan teknologi konstruksi modern Eropa saat itu (barrel-vault) yang
digunakan juga pada bangunan stasiun kereta api Jakarta Kota.
Elemen plafon lengkung terbuat dari plat-balok beton bertulang, demikian
juga plafon datar terbuat dari plat-balok beton bertulang. Lubang-lubang ventilasi di
bawah plafon lengkung (bentuk kotak) dan dibawah plafon datar (bentuk bunga)
terbuat dari beton.
Susunan jendela Mawar (7 buah di sisi Utara, 29 buah di sisi Barat, 29 buah
di sisi Timur) terletak pada bagian atas dari selubung tengah dan selubung tepi ruang
umat, menjadikan ruang umat dapat terang alami dan nyaman termal alami. Susunan
jendela demikian dapat juga dilihat sebagai susunan ornamen yang memperindah
selubung bangunan gereja. Bentuk jendela Mawar mirip dengan bentuk bunga
mawar, yang dalam tradisi gereja Katolik adalah lambang dari Bunda Maria (sering
dilambangkan sebagai bunga mawar tak berduri.
Elemen jendela Mawar adalah berupa kumpulan lingkaran yang terbuat dari
beton, yang pembuatannya melalui proses cetak, menjadikan bentuk jendela-jendela
tersebut dapat sama sehingga bentukan jendela menjadi rapih.
50
Kiri: Lingkungan Keraton Yogyakarta (2 km di Barat Gereja Bintaran), poros utama arah UtaraSelatan. Tengah: Poros bangunan Gereja Bintaran arah Utara-Selatan. Kanan: Tapak Gereja di pojok
jalan Bintaran Kulon jalan Bintaran Tengah, halaman Barat/Utara kurang lebar.
51
Area duduk
lesehan
Area duduk
di kursi
Kiri: Zonasi kegiatan misa saat ini, seluruh umat duduk di kursi, Panti paduan suara di bagian
muka-kanan ruang umat. Tengah: Zonasi kegiatan misa semula, bagian muka adalah area misa
lesehan umat pribumi Jawa dan bagian belakang adalah area umat bangsa Belanda, paduan
suara pada lantai 2 di belakang. Kanan: Suasana kegiatan misa jam 6 pagi bulan Oktober 2014.
Susunan atau zonasi kegiatan misa semula (area muka untuk lesehan, area
belakang untuk duduk di kursi) dapat diinterpretasi sebagai adaptasi misa pada
budaya Jawa (orang Jawa biasa duduk lesehan, sampai saat ini).
52
BAB VI
KONSEP TINDAKAN PELESTARIAN
Pertimbangan makna kultural berdasar analisis Makna Kulturtal pada Bab IV.
Kondisi fisik elemen arsitektur signifikan kasus studi adalah berdasar kondisi
Gereja Bintaran saat dilakukan pengamatan lapangan tanggal 23 Mei 2014.
53
Pertimbangan
Pelestarian
Makna kultural, kebutuhan
masa kini-masa datang, dan
etika-pedoman pelestarian
Makna kultural, kebutuhan
masa kini-masa datang, dan
etika-pedoman pelestarian
Konsep Tindak-an
Pelestarian
Satu atau beberapa
tindakan: prefentif,
preservasi, restorasi,
adaptasi, rehabilitasi,
rekonstruksi.
Ruang Luar
(lingkungan)
Lingkungan alam,
lingkungan binaan
Ruang luar
(tapak)
F
U
N
Fungsi masa
lalu/semula
Kegiatan-kegiatan
masa lalu
G
S
I
Fungsi masa
kini
Kegiatan-kegiatan
masa kini
B
E
N
T
U
K
Wujud
aspek
Selubung
luar dari
bangunan
Selubung
dalam
54
1. Makna kultural pada selubung luar adalah sintesa arsitektur Basilika arsitektur
Modern dan budaya-alam Jawa dengan elemen-elemen arsitektur pembentuk
makna kultural adalah atap lengkung-datar, fasad bidang polos, jendela Mawar,
entrance, alas dinding, ornamen salib, ventilasi-penerangan alami, pintu-kusen
kayu. Konsep tindakan pelestarian adalah untuk melestarikan makna kultural.
2. Kebutuhan saat ini adalah selubung bangunan dengan kondisi dan tampilan yang
baik, terkait kebutuhan kenyamanan pengguna gereja, citra bersih tempat ibadah,
sebagai landmark bagi lingkungan, dan kebutuhan bertahan sampai masa datang.
3. Etika pelestarian yang menjadi patokan adalah: a] Keutuhan bangunan (keutuhan
fisik, desain, struktural, relasi bangunan-lingkungan serta konteksnya. Jika harus
mengganti material, material baru harus tepat/sesuai dengan gaya arsitekturnya.
b] Keaslian bangunan (desain/bentuk, material bangunan, teknik/tradisi/proses
membangun, tempat/konteks, fungsi/penggunaan). c] Makna kultural perlu
ditangkap kembali dan keamanan terhadap kerusakan/kehancuran bangunan
(membahayakan pengguna bangunan) serta pemeliharaannya harus terjamin.
4. Kondisi fisik selubung bangunan akan dideskripsikan berdasar elemen arsitektur
signifikan sesuai pengamatan bulan Mei tahun 2014.
Deskripsi tindakan pelestarian pada tiap elemen arsitektur signifikan dari
selubung bangunan adalah sebagai berikut:
Atap, yaitu atap utama plat beton lengkung diapit atap-atap plat beton datar
(semua berteritis lebar 1 meter) pada Gambar 6.2.
55
Kondisi atap hasil pengamatan bulan Mei tahun 2014 (Gambar 6.2) adalah:
Atap utama plat benton lengkung dan atap-atap pengapit plat beton datar semua
dalam kondisi utuh, kokoh, terawatt, namun terdapat noda kerak hitam pada bagian
tepi teritis dari atap-atap datar (terutama pada bagian lubang talang atap datar).
Konsep tindakan pelestarian atap adalah preservasi (dipertahankan yang ada)
disertai perawatan rutin, terutama pada bagian talang atap-atap datar.
berkerak hitam akibat luapan air genangan pada atap, terutama area sekitar talang.
Konsep tindakan pelestarian fasad adalah preservasi disertai perawatan rutin,
dan tindakan preventif (penataan tanaman/pohon untuk mengurangi dampak polusi
jalan raya dan tampias hujan/terik matahari pada fasad bangunan), untuk
mempertahankan makna kultural dan sesuai etika pelestarian jaminan perawatan.
Jendela, berupa jendela Mawar dan jendela kotak (Gambar 6.4). Jendela Mawar
ada 65 buah (7 buah di sisi Utara, 29 buah di sisi Barat, 29 buah di sisi Timur) terletak pada bagian atas selubung tengah dan tepi ruang umat. Jendela kotak ada 12 buah
56
pada 4 ruang pengakuan dosa (3 jendela tiap ruang) di sisi Barat dan sisi Timur, pada
bagian atas selubung ruang sehingga ruangan dapat terang dan nyaman alami.
Lubang ditutup
Ram kawat
Kaca ungu
Beton
Entrance, dengan elemen-elemennya berupa pintu (kayu jati masif dengan kaca
kecil di bagian atasnya), teras-tangga lantai PC abu-abu, teritis plat datar beton dicat.
Kondisi entrance hasil pengamatan bulan Mei 2014 (Gambar 6.5.) adalah seluruh pin
tu, teras-tangga lantai PC. dan atap datar masih utuh, kokoh, rapih dan bersih.
57
Kondisi ornamen pada pengamatan bulan Mei 2014 adalah masih utuh, asli,
kokoh, rapih dan bersih. Ornamen salib (simbol spiritual agama Katolik) dan jendela
Mawar perlu bersih dan kilap, untuk memberi citra bersih rumah ibadah.
Tindakan pelestarian ornamen yang sudah dirawat tersebut adalah preservasi,
disertai perawatan rutin, sesuai etika pelestarian (keutuhan-keaslian bentuk/material)
dan menjaga makna kultural arsitektur Basilika.
6.2 Selubung Dalam Bangunan
Elemen-elemen arsitektur signifikan dari selubung dalam (makna Adaptasi
arsitektur Basilika pada budaya/alam lokal), meliputi: tata ruang, plafon lengkung
(ribbed-vault) diapit plafon datar, jendela-jendela Mawar, ornamen-ornamen salib,
pintu-kusen kayu jati (Gambar 6.7). Pertimbangan pelestariannya sebagai berikut:
58
estetika, struktur). Jika harus mengganti material, material baru harus tepat/sesuai
dengan gaya arsitekturnya. b] Keaslian desain/bentuk, material, teknik
konstruksi, fungsi/penggunaan). c] Makna kultural perlu ditangkap kembali dan
keamanan terhadap kerusakan/kehancuran bangunan (dapat membahayakan
pengguna bangunan) serta pemeliharaannya di masa datang harus terjamin.
4. Kondisi fisik ruang dalam dideskripsikan sesuai elemen arsitektur signifikan
terkait berdasar pengamatan bulan Mei tahun 2014 (baru dirawat).
Deskripsi tindakan pelestarian dari ruang dalam adalah sebagai berikut:
Tata ruang, dengan deskripsi sebagai berikut: Denah ruang mirip bentuk salib, po
ros panjang arah Utara-Selatan (mirip poros utama Keraton Yogyakarta arah UtaraSelatan) pada Gambar 6.8.
Kondisi tata ruang pada bulan Mei tahun 2014 (Gambar 6.8) adalah: Tata
ruang masih seperti semula, hal ini berkaitan dengan kegiatan-kegiatan dalam gereja
yang tidak berubah dari asalnya (misa, kebaktian, pengakuan dosa, pemberkatan).
Area lesehan (tradisi masyarakat Jawa) sudah tidak ada lagi, panti koor pindah ke
muka kanan (kuatir lantai 2 tidak kuat menahan beban karena usia tua).
59
Altar
Semula area duduk
lesehan
Semula Panti
Koor (lantai 2)
Ruang pengakuan dosa
)
Area duduk di kursi
(umat Belanda)
Entrance
Entrance
Utara
Untuk kondisi tata ruang yang masih bertahan tersebut maka tindakan pelestariannya adalah preservasi (tata ruang yang ada dipertahankan). Agar makna sejarah
bertahan, sebaiknya area duduk lesehan di bagian muka diadakan lagi. Cara duduk
lesehan masih dilakukan sampai saat ini (Gambar 6.9).
60
29 buah di sisi Barat, 29 buah di sisi Timur), berdasar pengamatan pada bulan Mei
tahun 2014 adalah masih utuh, aslin, kokoh, rapih dan bersih (Gambar 6.11).
61
Lingkungan, dengan elemen arsitektur signifikan berupa poros Keraton Yogyakarta arah Utara-Selatan pada Gambar 6.12.
62
6.4 Fungsi/kegiatan
Tindakan pelestarian aspek fungsi ditujukan pada elemen arsitektur signifikan berupa kegiatan masa lalu dan masa kini, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Makna kultural dari fungsi/kegiatan semula (makna sejarah), yaitu gereja
pribumi pertama di Yogyakarta (misa lesehan) dan fungsi saat ini memberi
pelayanan umat Katolik kota Yogyakarta dan sekitar serta misa uskup.
2. Etika pelestarian yang menjadi patokan adalah: a] Keutuhan bangunan (fisik,
desain/estetika, konteks bangunan-lingkungan). Jika kegiatan disesuaikan dengan
konteks masa kini, maka kegiatan baru perlu disesuaikan dengan bangunan. b]
Keaslian bangunan (desain/bentuk, material bangunan, konteks, penggunaan). c]
Makna kultural perlu ditangkap kembali dan keamanan terhadap kerusakan/
kehancuran bangunan serta jaminan pemeliharaannya.
3. Kondisi kegiatan dalam bangunan akan dideskripsikan berdasar elemen kegiatan
signifikan sesuai pengamatan bulan Mei tahun 2014.
lah gereja rakyat pertama di Yogyakarta (misa lesehan di bagian muka); tempat
mengabdi Mgr. Soegijapranata, SJ (uskup pribumi pertama, sekaligus pahlawan
nasional); tempat berdiskusi presiden pertama Indonesia bapak Ir. Soekarno; tempat
63
lahirnya gerakan pemuda dan markas darurat gerilyawan katolik; serta tempat
Kongres pertama Umat Katolik di Indonesia.
Kegiatan signifikan masa kini (pelayanan misa, pemberkatan, pertobatan dan
misa Uskup) untuk Kota Yogyakarta dan sekitar, tidak berubah. Kini kegiatan misa
duduk di kursi semua, tak ada area lesehan seperti semula (Gambar 6.14).
Kondisi kegiatan Gereja Katedral pada pengamatan bulan Mei tahun 2014
adalah kegiatan-kegiatan pelayanan misa/pemberkatan/pertobatan dapat dilakukan
dengan khikmat dan nyaman. Kegiatan-kegiatan tersebut bertahan dari semula,
hanya misa duduk lesehan sudah tak ada lagi. Suasana sebagai gereja pribumi/Jawa
tidak terasa lagi (makna sejarah pudar).
Tindakan pelestarian pada kegiatan masa kini tersebut adalah tindakan
preservasi (pertahankan kegiatan yang ada), dan pada kegiatan masa lalu (misa
lesehan) sebaiknya direstorasi agar makna sejarah gereja rakyat-perjuangan dapat
bertahan.
64
BAB VII
KESIMPULAN
65
66
Kondisi bangunan Gereja Bintaran adalah relatif utuh-asli, kokoh, bersih pada
bulan Mei 2014. Konsep tindakan pelestariannya adalah sebagai berikut:
Selubung luar Gereja Bintaran diberi tindakan preservasi (pada atap leng-kungdatar, fasad, jendela Mawar, entrance, alas dinding, ornamen
salib, ventilasi-
iv
DAFTAR PUSTAKA
Antariksa [2007], Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Aset Sejarah Budaya Bangsa, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Pelestarian Arsitektur
Pada Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
[2010], Pendekatan Deskriptif-Eksploratif dalam Pelestarian Arsitektur Bangunan
Kolonial di Kawasan Pecinan Kota Pasuruan, proseding Seminar Nasional Metode
Riset dalam Arsitektur, Udayana University Press, Denpasar.
Beckmann, P. & Bowles, R. [2004], Structural Aspects of Building Conservation, Elsevier
Butterworth-Heinemann Ltd., Oxford.
Capon, DS. [1999], Le Corbusiers Legacy, John Willey & Sons Ltd, Baffins Lane,
Chichester, West Sussex.
Ching, FDK. [1979], Form, Space and Order,
Danisworo, M. [1999], Kesinambungan dan Perubahan dalam Konservasi Kota, dalam
Monumen dan Situs Indonesia, ICOMOS Scientific Publication, Bandung.
Dietsch, DK. [2002], Architecture for Dummies, Wiley Publishing, Inc., Hoboken.
Feilden, BM. [2003], Conservation of Historic Buildings, Butterworth-Heinemann Ltd.,
Oxford.
Handinoto [2010], Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada masa Kolonial, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Harastoeti [2006], Strategi Kegiatan Konservasi Bangunan Bersejarah periode Kolonial di
Jakarta, Bandung dan Surabaya, Disertasi, Bandung.
Koentjaraningrat [1990], Pengantar Antropologi, Bina Estetika, Jakarta.
Kusno, A. [2009], Gaya Imperium yang Hidup Kembali Setelah Mati, dalam Masa Lalu dalam
Masa Kini Arsitektur Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mangunwijaya, YB. [1981], Pasal-pasal Penghantar Fisika Bangunan, PT. Gramedia, Jakarta.
Moleong [2010], Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakaarya, Bandung.
Murtagh, WJ. [1988], Keeping Time, the history and theory of preservation in America, The
Main Street Press, Pittstown.
Nurmala [2003], Panduan Pelestarian Bangunan Tua/Bersejarah di Kawasan Pecinan-Pasar
Baru, Bandung,Tesis Magister, Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung.
Orbasli, A. [2008], Architectural Conservation, Blackwell Science Ltd., Oxford.
Passchier, C. [2009], Arsitektur Kolonial di Indonesia, dalam Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Prudon, THM. [2008], Preservation of Modern Architecture, John Wiley & Son, Inc., New
Jersey.
Piagam Burra, 1999.
Piagam Venice, 1964.
Ricklefs, MC. [1993], A History of Modern Indonesia since c.1300, Stanford University Press,
Stanford.
Salura [2007], Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda, PT. Cipta Sastra Salura, Bandung.
[2010], Arsitektur yang Membodohkan, CSS Publishing, Bandung.
Sachari, A. [2001], Wacana Transformasi Budaya, Penerbit ITB, Bandung.
[2007], Budaya Visual Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Soekiman, D. [2000], Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa,
Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.
Undang-undang Republik Indonesia no. 11, 2010 tentang Bangunan Cagar Budaya.
-
http://www.google.com
http://id.wikipedia.org/wiki/
http:// www.arct.cam.ac.uk
http://kitlv.nl/
Geogle Earth 2013