Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENGANTAR

1. Latar Belakang Masalah

Kolonialisasi di Gorontalo, khususnya yang di lakukan oleh orang

Belanda, menghasilkan banyak sekali tinggalan berupa bangunan yang bergaya

Kolonial. Selain benteng, orang Belanda membangun berbagai bangunan untuk

mendukung aktifitas mereka selama di Daerah jajahan.

Dewasa ini telah banyak penemuan benda-benda bersejarah yang tersebar

diseluruh wilayah Indonesia termasuk daerah wilayah Gorontalo. Hal ini

didukung dengan adanya para peneliti benda-benda bersejarah yang memiliki

keinginan yang besar dalam menggali informasi mengenai

peninggalanpeninggalan

beresejarah yang termasuk juga adalah bangunan-banguan yang

menjadi ciri khas Bangsa Belanda pada saat menguasai Wilayah daerah Gorontalo

pada saat itu.

Kadang-kadang bangunan menjadi saksi bisu dari berbagai kejadian pada

masa digunakan baik di dalamnya maupun disekitarnya. Oleh karena itu,

bangunan selain mempunya nilai arsitektural (ruang, keindahan, dll) juga

mempunyai nilai sejarah. Makin lama bangunan berdiri, makin membuktikan

tingginya nilai sejarah dan budayanya.

Salah satu warisan maha penting di Kota Gorontalo adalah kota tua, baik

bangunan-bangunan arsitektur yang ada sebelum dan sejak zaman Kolonial

Belanda maupun yang diciptakan pasca kemerdekaan sampai dekade 70an.

Bangunan tersebut terutama berdiri apik di sekitar alun-alun Taruna Remaja


Gorontalo sampai Masjid Agung Baturrahim. Kesemuanya masih menampakan

ciri kota tua serta masih memberikan nuansa arsitektur Kolonial Belanda yang

begitu khas sampai akhir millenium kedua.

Perubahan besar untuk beberapa bangunan di sekitar lokasi tersebut terjadi

pasca penetapan Gorontalo sebagai satu adiministrasi provinsi tersendiri. Sangat

disesalkan telah terjadi bangunan bernilai arsitektur Kolonial Belanda yang

mempunyai sejarah tinggi dibongkar dengan berbagai alasan. Terlihat kemudian

bahwa warisan sejarah yang ada di samping Bank BRI cabang Gorontalo (rumah

bersalin pada masa Kolonial Belanda)1 pun menjadi tumbal untuk dijadikan

sebagai hotel termewah (Quality Hotel) di provinsi Gorontalo. Banyak kalangan

yang mempersoalkan konversi dan pembabatan salah satu situs sejarah tersebut

namun modal begitu perkasa untuk mengalahkan semuanya.

Dalam hal tata ruang kota (city planning), seharusnya perlu perencanaan

dan visi pembangunan yang berorientasi masa depan dengan tanpa mengabaikan

masa lalu sehingga kota tua tidak hilang dengan cepat karena tangan manusia.

Sebuah langkah yang bijak apabila di Kota Gorontalo terjadi pembagian antara

kota baru (pembagunan dan perluasan kota) dan kota tua yang tidak perlu dirubah

lagi tetapi hanya ditata agar tetap indah dan menarik untuk dikunjungi.

Kota tua di Gorontalo memiliki ciri tersendiri dan tidak akan pernah sama

dengan kota tua di daerah lainnya. Sehingga sangat mustahil untuk

mewujudkannya kembali apabilah kota ini punah karena digantikan oleh gaya dan

pola arsitek modern. Selanjutnya perlu ditekankan bahwa pelestarian

bangunanbangunan

tua tidak hanya sampai pada perawatan dan pemugaran.


Gorontalo sebagai salah satu daerah dengan sejarah panjang pada masa

lampau tentu memiliki banyak benda cagar budaya baik pada masa pra Kolonial

maupun masa Kolonial (penjajahan Belanda). Saat ini benda-benda tersebut

belum semuanya ditetapkan sebagai cagar budaya, hanya beberapa saja yang

masuk dalam kategori BCB (Benda Cagar Budaya) misalnya Benteng Otanaha

yang terletak di kelurahan Dembe kota Gorontalo. Penetapan sebuah situs menjadi

benda cagar budaya memang bukanlah perkara mudah karena memerlukan kriteria

tertentu, terutama aspek nilai historis sehingga sebuah situs dapat ditetapkan

sebagai benda cagar budaya dan di lindungi oleh Negara. Proses inilah yang

menjadi hambatan sehingga tidak semua bangunan berarsitek Kolonial Belanda

yang ada di kota Gorontalo sekitar kelurahan Tenda, Ipilo, Kampung Bugis,

Biyawu dan Siendeng ditetapkan sebagai BCB (Benda Cagar Budaya).

Di beberapa titik yang ada di kelurahan tersebut hingga kini masih ada

bangunan khas arsitek Kolonial (Indis) baik yang dimiliki oleh pihak pemerintah

dan dijadikan sebagai lokasi perkantoran maupun milik pribadi yang dijadikan

sebagai rumah tinggal, akan tetapi ada juga bangunan yang tidak terawat bahkan

mulai hancur seiring dengan pertambahan waktu. Di masa mendatang kondisi

seperti ini perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak terutama

pemerintah agar peninggalan-peninggalan tersebut tetap lestari dan bermanfaat.

Berdasarkan uraian di atas dan sebagai bentuk keperdulian terhadap

bagunanbangunan

3. Rumusan Masalah

Untuk memfokuskan persoalan yang akan dibahas dalam penelitian ini


maka perlu dirumuskan dalam kalimat pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sejarah Kota Gorontalo pada masa penjajahan Kolonial

Belanda?

2. Bagaimanakah ciri khas arsitektur di Kota Gorontalo setelah masuknya

Kolonial Belanda?

3. Bagaimanakah perpaduan arsitektur Kolonial Belanda dan arsitektur

lokal Gorontalo?

4. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk bagaimana sejarah Kota Gorontalo pada saat penjajahan Kolonial

Belanda.

2. Untuk mengetahui arsitektur Kolonial Belanda sebagai identitas kota tua

Gorontalo.

3. Untuk mengetahui bagaimana perpaduan arsitektur Kolonial Belanda dan

Gorontalo

5. Manfaat Penulisan

penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis

sehingga tidak hanya sekedar menjadi bahan diskusi namun dapat teraplikasi

dalam keseharian. Adapun manfaat yang diharapkan adalah :

1. Sebagai usaha untuk memperkenalkan aset-aset sejarah yang ada di kota

Gorontalo utamanya bangunan-bangunan bergaya Indis (arsitektur

campuran antara lokal dan Kolonial).


2. Sebagai referensi tambahan bagi usaha pelestarian bangunan-bangunan tua

yang ada di Kota Gorontalo.

3. Sebagai masukan bagi semua pihak utamanya pemerintah Kota Gorontalo

dan secara khusus dinas terkait (pariwisata), kiranya segera membuat

langkah kongkret dalam upaya pelestarian bangunan-bangunan di

kompleks kota tua khususnya yang menjadi ciri khas Kota tua di

Gorontalo.

BAB II

PENDAHULUAN

1. Sejarah singkat Kota Gorontalo


Pendiri Kota Gorontalo adalah Sultan Botutihe yang telah berhasil

melaksanakan tugas-tugas pemerintahan atas dasar ke-Tuhanan dan prinsipprinsip

masyarakat. Walaupun telah ada dan berbentuk sejak tahun 1728, namun

sebagai Daerah otonom, Kota ini secara resmi terbentuk pada tanggal 20 mei

1960, sebagai pelaksanaan UU No. 29 tahun 1959 tentang pembentukan dati II di

Sulawesi. Wilayah hukum kotpraja Gorontalo dibagi kecamatan berdasarkam UU.

No. 29 tahun 1959 tersebut, dan dengan keputusan kepala Daerah Sulawesi utara

No. 102 tanggal 4 Maret 1960 ditetapkan 39 kampung yang masih wilayah

Kotapraja terbagi atas 3 Kecamatan yaitu; kecamatan Kota Selatan, Kecamatan

Kota Barat, dan Kecamatan Kota Utara.

Dalam latar sejarahnya disebutkan bahwa Kota Gorontalo dibangun oleh

Sultan Botutihe yang memerintah kerajaan Gorontalo sejak 09 Juli 1737 sampai

dengan tahun 1757. Selanjutnya, setelah Belanda menguasai sepenuhnya wilayah

kerajaan Gorontalo maka lokasi ini dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan

perdagangan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka maka

secara legal formal wilayah ini ditetapkan sebagai Kotapraja berdasarkan

undangundang

No. 29 tahun 1959 dan selanjutnya enam tahun kemudian melalui undangundang

No. 14 tahun 1965 berubah menjadi Kotamadya Gorontalo.1 Sesuai

Kotapraja dengan istilah yang digunakan dalam UU. No. 18 tahun 1965 tentang

pemerintah Daerah yang diganti dengan UU. No. 5 tahun 1974 tentang

pokokpokok

pemerintahan Daerah yang menggantikan istilah Kotapraja menjadi


Kotamadya dan saat ini disebut Kota.

Kota Gorontalo menempati satu dataran yang sangat luas, membentang dari

barat yang berbatasan dengan kabupaten Gorontalo hingga timur yang berpapasan

langsung dengan kabupaten Bone Bolango. Sementara wilayah Kota Gorontalo di

bagian selatan langsung berhadapan dengan teluk Tomini serta di bagian utara

berbatasan dengan wilayah kecamatan Tapa Kabupaten Bone Bolango. Untuk

wilayah pesisir hampir semua berupa perbukitan yang tersusun dari bebatuan,

sehingga setiap orang yang baru pertama kali masuk ke pelabuhan Gorontalo akan

memperkirakan bahwa Kota Gorontalo menempati perbukitan yang gersang.

Hingga saat ini wilayah Kota Gorontalo masih rawan banjir, hal ini terjadi oleh

karena aliran air yang berasal dari utara, Barat dan timur hanya melalui satu pintu

keluar yakni muara sungai Bone dan sungai Bolango yang berada di bagian

selatan.

2. Kota Gorontalo Masa Kolonial Belanda

Kedatangan bangsa penjajah ke Indonesia adalah menggali keuntungan

sebanyak-banyaknya di Nusantara. Untuk tujuan itulah mereka mencari

sumbersumber

bahan perdagangan yang laku dipasaran Eropa yang di antaranya di

dataran Gorontalo. Pada tahun 1678, Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge

berhasil mengadakan kontrak dengan seorang Raja Gorontalo yang

memperkenalkan VOC masuk di Daerah Gorontalo.

Setelah merosotnya kekuasaan Gowa dan Ternate akibat penandatanganan

kontrak atau perjanjian dengan VOC, khususnya dalam perjanjian Bungaya 18


November 1667. Isi perjanjian tersebut antara lain: Bahwa Raja dan pembesar

kerajaan harus mengakui kekuasaan VOC di Gorontalo; Gorontalo wajib

menyetor upeti kepada VOC; rakyat bersedia membantu VOC dalam mengusir

pendudukan Spanyol di Sangir Talaud; rakyat juga tunduk atas agama Kristen

Protestan yang ditawarkan oleh VOC; rakyat harus mengikuti dan menganut

agama yang ditawarkan oleh VOC; dan raja-raja Gorontalo harus melarang

kedatangan Pastor Katolik yang di duga membawa pengaruh Spanyol.9

Penetapan kontrak Gowa dan Ternate pada intinya menguntungkan pihak

VOC, sehingga VOC berhasil mengikat Gowa dan Ternate dengan memperluas

kepentingan politiknya untuk menguasai negeri-negeri yang telah dikuasai kedua

kerajaan tersebut. Berawal dari peristiwa inilah VOC menempatkan Gubernurnya

di Ternate (Kepulauan Maluku) untuk mempermudah mengatur kekuasaannya

atas negeri-negeri dibawah pengaruh Gowa dan Ternate.

Runtuhnya kekuasaan Ternate dan Gowa telah menyebabkan seluruh hak

kekuasaannya terlepas dan di bawah pengaruh VOC. Dengan demikian akibat

perjanjian Bungaya menyebabkan Gorontalo dan Limboto termasuk dalam

pengawasan VOC.

Dalam memperkuat legitimasinya, VOC aktif melakukan ekspansi melalui

kontrak perjanjian dengan kerajaan-kerajaan dibelah Nusa Utara Sulawesi dan

usaha itu berhasil menempatkan kekuasaannya di Gorontalo pada tahun 1677.10

Pada peralihan abad ke-18 sampai abad ke-19 terjadi perubahan sistem

politik dari VOC ke pemerintahan Hindia Belanda. Perubahan itu telah membawa

dampak yang mendasar bagi perubahan struktur pemerintahan tradisional di

Gorontalo. hal ini merupakan akibat dari intervensi dibidang politik dan
pemerintahan. Intervensi ini pun tidak hanya mengenal hal tersebut, akan tetapi

juga dalam penentuan batas-batas wilayah, bahkan dalam penempatan figure.11

Siapa saja yang menduduki formasi jabatan-jabatan ditentukan oleh Belanda.

Pada awal pendudukan VOC, kekuasaan pemerintahan Gorontalo dijabat

Eyato sebagai Olongia To Tilayo dan Bia sebagai Olongia To Huliyaliya.

Demikian pula peranan VOC yang berusaha menanamkan kepentingan politiknya

melalui keikutsertaannya untuk mengatur pemerintahan kerajaan. Sebagai akibat

campur tangan politik VOC, maka raja Eyato memindahkan pusat kerajaan di

Dungingi Kecamatan Dungingi sekarang). Begitu pula Raja Bia menentang

usahausaha

kepentingan VOC.

3. Keadaan Penduduk

Penduduk merupakan salah satu unsur pokok, selain dari pemerintah dan

wilayah yang membentuk sebuah Negara maupun Daerah. Tanpa penduduk maka

sebuah Negara atau Daerah baik provinsi, kabupaten serta kecamatan tidak akan

terbentuk. Penduduk sangat menentukan arah dan kualitas sebuah Daerah,

sehingga penduduk yang baik akan membawa kemajuan dalam kesatuan

administrasi (Daerah) tertentu, demikian juga sebaliknya.

Pada permulaan abad ke-19, penduduk Kota Gorontalo berdasarkan

laporan seorang ahli lingkungan Eropa bernama C.J.C. Reindwardt yang merujuk

informasi dari warga Belanda yang tinggal di Gorontalo tahun 1805, penduduk

Gorontalo berjumlah 12.000. Reindwardt juga melaporkan perkiraan penduduk

Kota Gorontalo tahun 1821 berjumlah 30.000 jiwa.16


Yang agak unik adalah data penduduk berdasarkan latar belakang etnis.

Meski tiidak ada laporan yang rinci tentang hal ini tapi tercatat dalam

laporanlaporan

Kolonial bahwa penduduk Kampung Bugis tahun 1824 berjumlah 691

jiwa, kemudian bertambah menjadi 1.217 jiwa, lalu kembali bertambah 1.823 jiwa

tahun 1865. Untuk etnis China, tercatat 16 jiwa pada tahun 1864, dan 54 orang

tahun 1865. Adapun orang Asing (Eropa) tahun 1877 berjumlah 167 jiwa, 349

tahun 1890, dan terus meningkat 1.780 tahun 1900. Memasuki awal abad ke-20,

orang Asing (Eropa) tetap membesar, dengan jumlah 2.084 orang tahun 1920 dan

2.982 tahun 1930. Ini berdasarkan sesnsus pemerintah Hindia-Belada.17

Amin. 2012. Gorontalo Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial . Yogyakarta: Ombak. Hlm 132

23

Beberapa kampung terdapat kepadatan penduduk lebih tinggi seperti

kampung Ipilo, Biawao, Liato, Talumolo, Limba, dan heledulaa, namun kepadatan

penduduk lebih tinggi terletak di Kota dan Kampung Bugis.

Laporan C.B.H Von Rosemberg tahun 1862 memberi pengetahuan tentang

komposisi penduduk dalam 5 distrik diseluruh Negeri Gorontalo sejumlah 36.800

jiwa. Penduduk dalam distrik Kota Gorontalo berjumlah 10.200 jiwa; distrik

telaga Ibu Kota Bolila jumlah penduduk 12.100 jiwa; distrik Kabila Ibu Kota

Padeboela jumlah penduduk 9.400 jiwa; distrik tapa Ibu Kota Taloeloboeta

jumlah penduduk 3.500 jiwa; dan distrik Paguat Ibu Kota Bomboela jumlah

penduduk 1.600 Jiwa.18 Jika di amati gamabaran ini maka penduduk Kota

Gorontalo sebesar 27,7 %.

G.W.W.C. Baon Van Hoevell member laporan tahun 1889 secara

terperinci dengan mencatat jumlah penduduk pendatang dan pedagang di distrik


Kota sebesar 678 jiwa dengan cara hidup secara mengelompok. Faktor penyebab

kedatangan mereka adalah karena distrik Kota merupakan pusat pemerintahan dan

perdagangan. Suku bangsa Eropa dan yang umumnya pegawai Asisten Residentie

sejumlah 71 jiwa, dengan perincian laki-laki sebanyak 23 jiwa, perempuan 16

jiwa, dan anak-anak 32 jiwa. Demikian pula suku bangsa Cina sejumlah 246 jiwa

terdiri dari laki-laki 123 jiwa, dan anak-anak 123 jiwa, sedangkan perempuan

tidak dapat dicatat karena ketertutupan komunitas mereka dalam bergaul. Hal ini

juga berlaku dalam kehidupan suku bangsa Arab yang tercatat 32 jiwa dengan

perincian laki-laki 18 jiwa dan anak-anak 14 jiwa. Suku bangsa Cina dan Arab

umumnya sebagai pedagang. Demikian pula suku bangsa Bugis, di samping

sebagai pedagang terdapat pula pelaut dan nelayan. Jumlah mereka tercatat sekitar

63 jiwa dengan perincian laki-laki 30 jiwa, perempuan 12 jiwa, dan anak-anak 21

jiwa. Bagi suku bangsa Minahasa umumnya bertugas pada bagian pemerintahan

Assisten Residentie dengan jumlah keseluruhan 266 jiwa dengan perincian lakilaki

65 jiwa, perempuan 60 jiwa dan anak-anak 141 jiwa.19 Data ini

memperlihatkan bahwa jumlah penduduk pendatang dan pedagang di Distrik Kota

sejumlah 678 jiwa dengan penduduk tertinggi berasal dari suku bangsa Minahasa

dan Cina.

Seperti dalam struktur masyarakat tradisional pada umumnya, di

Gorontalo terdapat empat lapisan sosial dalam kehidupan masyarakat. Pertama

Golongan Bangusa yang di dalamnya terdapat para Olongia (raja) dan

keluarganya. Golongan ini berada pada tingkat teratas dalam piramida masyarakat

serta merupakan tokoh yang menjadi panutan utama baik dalam kalangannya

sendiri, maupun pada golongan masyarakat di luarnya. Kedua terdapat golongan


wali-wali yang di dalamnya terdapat para pembesar kerajaan seperti Jogugu yang

bertugas membantu pemerintahan kerajaan, kapitan laut bertugas membantu

pemerintahan kerajaan dan pantai, Wulea lo Lipu kemudian di satukan dengan

marsaoleh bertugas mengepalai pemerintahan setiap distrik dan di bantu oleh para

Walaapulu, olongia, Taudaa, dan Kepala Dapulu. Demikian pula para Bate di

bantu oleh para Wuhu yang bertugas menetapkan adat istiadat, sedangkan Kadli,

Imam, dan syaradaa kaum Alim Ulama bertugas mengurus masalah-masalah

Hukum Islam pada masyarakat. Sekalipun tidak mempunyai kekuasaan politik,

mereka sangat berpengaruh dalam masyarakat dan di beberapa diantaranya

mempunyai pengikut.20

Ketiga terdapat Golongan Tawu Dotaa termasuk dalam Golongan

menengah ke bawah. Golongan ini merupakan golongan rakyat kebanyakan yang

bertugas sebagai abdi baik di kerajaan maupun pemerintahan Hindia-Belanda.

Keempat adalah golongan lapisan bawah disebut Wato atau budak.21 Walaupun

golongan budak menempati strata sosail yang sangat rendah , namun tenaganya di

perlukan oleh golongan kepala priibumi untuk melayani berbagai kepentingannya

terutama pada pembuatan dan perbaikan jalan, jembatan, saluran air,

pembangunan Kota, dan pekerjaan berat lainnya yang memerlukan tenaga besar.

Bahkan mereka di tugaskan dalam berbagai kerja rodi seperti pengangukutan para

pegawai pemetrintah Hindia-Belanda serta bawahannya, begitupula berlaku para

kepala pribumi. Setelah diberlakukannya penghapusan budak pada 1856, maka

golongan Wato secara langsung masuk dalam Golonga Tawu Dotaa. Walaupun

mereka masuk dalam golongan Tawu Dotaa, namun kenyataannya terdapat

diskriminasi dalam kehidupannya.


Dalam kehidupan masyarakat tradisional hubungan antar-lapisan memang

sedikit kaku, apalagi dalam perkawinan. Pada dasarnya perkawinan antar lapisan

agak sulit terjadi, utamanya pihak perempuan yang berasal dari golonan Bangusa

atau Wali-wali dengan laki-laki dari golongan Tawu Dotaa. Begitu pula proses

syarat perkawinan sesuai dengan golongan tingkat sosialnya.

2.4 Agama dan Kepercayaan

Dilihat dari konteks keagamaan, Islam merupakan agama yang paling

banyak dianut oleh masyarakat kota Gorontalo.22 adapun yang menjadi daya tarik

Islam adalah karena keunggulannya dalam konsep menyangkut nilai-nilai sosial

yang lebih manusiawi dan demokratis serta rasional. Raja menempati posisi yang

sederajat terhadap rakyatnya. Hal ini berbeda dengan masa sebelumnya yang

memandang raja sebagai keturunan dewa yang bersemayam di dunia atas dan

dunia bawah. Kehadiran Islam telah memperbaiki kondisi sosial pada masa itu.

semasa pemerintahan Raja Eyato misalnya, pada 1673 sampai 1679 terjadi

perubahan cukup besar dalam bidang hukum adat yang berlaku di Kerajaan

Gorontalo. Raja Eyato tidak memperkenankan adat yang bertentangan dengan

Syara’ yang bersendikan Al-Qur’an. Adati Hula-Hulaa to saraa, saraa

Hulahulaa

to Qur-ani, yang berarti bahwa adat bersendi syara’ dan syara bersendi Al-

Qur’an.23 Kehadiran Islam di Gorontalo telah membawa implikasi pada berbagi

aspek kehidupan masyarakat. Pengaruh tersebut antar lain adanya perubahan

prinsip adat bersendi syara’ , syara’ bersendi adat di rubah menjadi tiga

prinsip

adat , adat bersendi syara’, syara’ bersendi Al-Qur’an, akan tetapi dasar-dasar
falsafah adat dan sumber hukum adat (Butaqolimo) tidak dirubah tetapi dalam

implemetasinya pada setiap lembaga adat disesuaikan dengan ajaran Islam.

Pengaruh Islam yang lain juga tampak dalam penyelenggaraan adat

perkawinan, berupa dimasukkannya unsur-unsur Islam dengan nikah menurut

Islam yang dipimpin oleh imam. Dalam upacara kematianpun Islam juga

menanamkan pengaruhnya. Pada masa pra-Islam, upacara kematian diatur dan di

laksanakan oleh Bitssu. Setelah Islam masuk hal tersebut di lakukan oleh Imam

dengan tata cara menurut Islam.

2.5 Perekonomian Penduduk

Letak geografis Gorontalo yang strategis dan relative berdekatan dengan

Ternate sebagai pusat perdagangan rempah-rempah terpenting di Nusantara

memberi keuntungan tersendiri bagi bandar Gorontalo sebagai Daerah Transito

jalur pelayaran di kawasan timur. Karena jalur Ternate merupakan jalan atau

kemudahan terpenting untuk memperluas jaringan transportasi dan komunikasi.

Dalam perdagangan masa itu yang paling menarik dan utama adalah tersedianya

komoditas emas. Komoditas inilah yang menjadi salah satu faktor menarik

perhartian VOC sehingga pada tahun 1705 mendirikan kantor dagang (factory)

dan sekaligus mendirikan gudang penyimpanan barang (Pakhuis).

Isu lain yang penting dibahas adalah soal ekonomi emas di Gorontalo.

pada abad ke-19 terjadi laju pertumbuhan signifikan pada pembukaan perusahaan

eksplorasi tambang emas di Daerah ini. Meningkatnya jumlah usaha

pertambangan terjadi setelah di temukannya Daerah-Daerah tambang emas yang

hampir meliputi seluruh kawasan Gorontalo.


Pertumbuhan skala besar perusahaan tambang emas di Gorontalo,

khususnya tahun 1897, memberi arti bahwa potensi Gorontalo sebagai salah satu

Daerah penghasil emas besar cukup terbukti pada masa itu. kebanyakan

perusahaan besar mendapatkan hak istimewa darri pemeritah Kolonial, bahkan

Asisten Residen Riedel membuka penambangan emas di Kabila. Aktifitas

perusahaan tambang emas secara langsung membutuhkan dan memperkerjakan

penduduk sebagai tenaga kasar. Namun pekerjaan eksplorasi tambang emas yang

dikerjakan tersebut sekaligus mengantarkan kaum pribumi dalam mendapatkan

trasnformasi pengetahuan tentang proses kerja eksplorasi tambang emas.

Pemahaman ini nantinya akan memeberi kesempatan penduduk dalam

mengerjakan sendiri eksplorasi tambang emasnya.

Pada tahun 1897 perusahaan-perusahaan tambang emas yang terdaftar dan

mendapat ijin eksplorasi penambangan di wilayah Kota Gorontalo yaitu:

Dampak kegiatan perdagangan yang cukup kondusif telah menciptakan

perluasan Kota Gorontalo yang makin dinamis dengan dampak lanjutannya adalah

membesarnya jumlah kaum pendatang. Ketika itu, di Kota terdapat pekerjaan

yang tersedia dengan upah yang layak. Inilah pendorong utama perpindahan

penduduk, termasuk juga karena faktor perluasan administrasi pemerintah yang

membutuhkan sejumlah tenaga kerja tambahan. Hal yang paling nyata kemudian

adalah meningkatnya struktur dan jumlah penduduk yang lebih heterogen dari sisi

latar sosial budaya dan jenis pekerjaan.

Beberapa gambaran historis yang telah di paparkan diatas menunjukkan

bahwa sejak awal kegiatan pelayaran dan perdagangan antar pulau tampaknya

merupakan kegiatan yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan


sosial budaya Gorontalo. letak geografis yang sangat strategis sebagai Daerah

transito pusat perdagangan dan tersedianya tanah yang subur telah menghasilkan

komoditas perdagangan dan pasar yang dapat menarik para pendatang dan

pedagang ke Daerah ini. Beberapa pendatang dan pedagang mulai menetap dan

membangun perkampungan dikawasan Kota Gorontalo seperti Kampung Bugis,

Cina, dan Arab. Mereka memiliki potensi besar dalam mengembangkan usaha

perdagangan dengan cara memanfaatkan jaringan pelayaran dan niaga dengan

beberapa Kota pelabuhan lainnya di Nusantara.

6. Penididkan

Pembangunan Nasional pada hakekatnya bertujuan membangun manusia

Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia dengan adil dan makmur

berdasarkan Pancasila. Seiring dengan hal itu, Gorontalo juga tidak lepas dari

kecenderungan tersebut. Kesempatan untuk menikmati pendidikan bagi

orangorang

pribumi dalam perkembangannya memberikan peluang kepada orang-orang

Gorontalo untuk membentuk kekuatan dan kemudian berseberangan dengan

pemerintah Kolonial. Penentangan terhadap pemerinta Hindia Belanda di lakukan

dengan menyatukan diri lewat berabgai organisasi Sosial, Agama, dan Politik

yang didirikannya. Organisasi Sinar Budi (SB), Sarekat Islam (SI),

Muhammadiya, Nahdatussyafiya, Partai Indonesia (Partindo), Partai Arab

Indonesia (PAI), Persatuan Islam (Persis), Partai Tionghoa Indonesia (PTI),

Gabungan Politik Indonesia (GAPI), serta beberapa Organisasi kepemudaan

seperti Jong Gorontalo, Jong Islmamiten Bond (JIB), Kepanduan Bangsa

Indonesia (KBI) dan lain-lain merupakan wujud dari rasa nasionalisme rakyat
Gorontalo.

Keterlibatan kaum intelektual dalam menumbuhkan nasionalime menjadi

kunci sebagai penggerak utama dari berbagai gerakan nasionalis. Implikasi

kehadiran intelektual berubah menjadi bumerang bagi sistem Kolonial Belanda.

Hal tersebut tidak hanya karena mereka telah mengetahui lewat bangku sekolah

rahasi kekuatan dan keunggulan Eropa, tetapi juga karena meraka mendapat

kenyataan bahwa prefernsi hanya diberikan kepada orang-orang Belanda dan

Indo-Eropa.

Di Gorontalo seperti halnya Daerah lain di Indonesia, kesadaran dari

mereka yang telah memperoleh pendidikan untuk memulai suatu babakan baru

dalam perjuangan menentang penjajah juga bermunculan, dengan kata lain

masyarakat yang telah mengenal dunia pendidikan tidak kaget atas hadirnya

berbagai organisasi Sosial-Keagamaan maupun politik. Sebaliknya mereka

dengan cepat merespon kehadiran berabagai lembaga itu. hal tersebut di tandai

dengan berkembangnya berbagai organisasi pergerakan yang di mulai sekitar

1920-an, baik sebagai perluasan dan pengembangan organisasi yang berpusat di

Jawa yang muncul di Gorontalo sendiri.

Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Kota Gorontalo

sebagaimana di Jawa, mengikuti situasi yang berkembang di Negeri Belanda

maupun Hindia Belanda sendiri.


BAB IV

IDENTITAS GORONTALO SEBAGAI KOTA TUA

1. Tata Ruang Kota Gorontalo Prakolonial Belanda

Suatu hal yang sangat menyedihkan ialah bahwa kita tidak mewarisi data

apapun mengenai bentuk dan struktur Kota Gorontalo pada zaman prakolonial.

Peninggalan kota Gorontalo pada zaman prakolonial sudah tidak berbekas sama

sekali. Memang tidak mungkin untuk membayangkan bentuk kota Gorontalo pada

zaman prakolonial secara nyata sehingga kemudian diusahakan untuk mencari

gambaran prinsip-prinsip tata ruang kota Gorontalo pada zaman prakolonial

dengan menganalisis bentuk geometrisnya secara konkrit, tetapi dengan mencari

konsepsi tataruang kotanya.

Untuk saat ini, di Gorontalo pada umumnya kota tua sangat identik dengan

kota yang dibangun dan tumbuh pada masa kolonial Belanda. Hal ini terjadi oleh

karena sebelumnya masyarakat di nusantara yang berbentuk kerajaan belum

banyak mengenal bangunan permanen sehingga saat ini sulit ditemukan adanya

kompleks kota tua yang dibangun oleh kerajaan-kerajaan yang pernah tumbuh di

nusantara tersebut. Hal lain yang menyebabkan sehingga kota yang dibangun oleh

raja-raja seakan lenyap tanpa bekas adalah penyerangan dan penghacuran yang

dilakukan oleh bangsa penjajah, contoh kasus misalnya penghancuran kota

Jayakarta oleh Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 mei 1619 yang kemudian

dibangun kembali dan diberinama Batavia.

Analisis struktur tata ruang Kota Gorontalo di zaman prakolonial ini

didasarkan atas beberapa sumber. Pertama, didasarkan atas analisis Hasanuddin

dan Basri Amin. 2008. Tentang Gorontalo Dinamika Sejarah Masa Kolonial
Belanda. Kedua beradasarkan pengamatan Memori Gorontalo. Yang dibahas oleh

Basri Amin (2012).

Secara historis sangat jelas tercatat bahwa sentrum awal pertumbuhan kota

Gorontalo dimulai dari bagian selatan yakni kelurahan Tenda, Ipilo, Kampung

Bugis saat ini. Hal ini terjadi karena sejak berkuasanya Belanda maka pemusatan

kantor pemerintahan dan aktivitas perdagangan berada di wilayah ini, karena di

dukung oleh posisi geografis dimana terdapat dua aliran sungai besar yakni sungai

Bone dan sungai Bolango sebagai alternatif jalur transportasi saat itu.2

Menurut sejarah, Jazirah Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu

dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare

dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama

Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo, Bone. Seiring dengan

penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan

masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut); Buol Toli-

Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi

Tenggara.Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya

yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi

(bagian utara).

Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan

Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango.

Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari

Kelurahan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat

sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini

dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang


terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B.

Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan

perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat

besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut

dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi

Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol Toli-toli dan, Donggala dan

Bolaang Mongondow.

Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaankerajaan

yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaankerajaan

itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut “Pohala‟a”.

Dalam tata ruang masyarakat Gorontalo berbagai kategori yang pernah

mendiami daerah Gorontalo bisa digambarkan kembali. Pertama-tama sebagai

penduduk asli yang hidup mengelompok dalam unti-unit kecil bernama linula

yang sekaligus merupakan suatu kesatuan ekonomi. Pemukiman pertama kali

masyarakat Gorontalo menyebar dan menetap disekitar gunung Buliuhuto dan

Tilongkabila, dan sekitar Danau Limboto.3 pada bagian lain Gorontalo

mempunyai wilayah yang cukup luas dngan jumlah penduduk relatif kecil

sehingga faktor inilah bahwa para imigran dan pedagang dari Ternate, Makassar

dan Bugis, kemudian Cina, Arab, Eropa terutama Belanda dan Minahasa

memberikan corak tersendiri atas perkembangan pemukiman di Gorontalo. Yang

terjadi selanjutnya adalah terbukanya hubungan antar suku bangsa dan makin

beragamnya jenis pekerjaan yang ada di Gorontalo. Dari sinilah dinamika sosial

dan perubahan pemukiman masyarakat Gorontalo terjadi. Karena pertemuan antar

suku bangsa dilapangaan ekonomi dan interaksi antar komunitas lintas budaya,
misalnya dalam pertuakaran berbagaai pengalaman dan menghormati atas tradisi

masing-masing.

2. Tata Ruang Kota Gorontalo setelah masuknya Kolonial Belanda

Masuknya bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia, khususnya ketika Belanda

mulai menjajah Indonesia, mengakibatkan munculnya kota-kota bentuk baru

berupa kota administrasi kolonial Belanda. Susunan spasial kota administrasi

berkisar di sekeliling sebuah lapangan atau alun-alun. Bangunan merupakan salah

satu unsur pembentuk kota. Dalam sebuah kota kolonial Belanda, tentu

bangunanbangunan

yang ada mempunyai ciri-ciri kolonial. Bangunan kolonial adalah

bangunan bercorak arsitektur kolonial yang dimanfaatkan untuk kegiatan

fungsional di zaman colonial.

Dalam perkembangan kota yang menjadi identitas kota dengan

keunggulan yang tak hanya berarti pada waktu silam tapi juga di masa kini dan

mendatang, adalah arsitektur yang ditinggalkan pada masa Kolonial Belanda. Ini

merupakan salah satu identitas Kota yang Bagaimana menyikapi peninggalan

yang seringkali terlihat kumuh dan menggoda banyak pihak untuk kemudian

justru mencari jalan pintas, menghancurkan, itu menjadi persoalan hingga kini.

Padahal banyak contoh yang membuktikan, pemanfataan dan pelestarian yang

tepat terhadap arsitektur Kolonial Belanda bisa mendatangkan keuntungan secara

ekonomi, sosial budaya hingga ilmu pengetahuan.

Pengertian kota sperti yang dijelaskan diatas sesuai yang ditulis oleh Peter

J.M. Nas4 yang membahas tentang kota yang dibedakan dalam empat macam,

yaitu (1) kota awal Indonesia; (2) Kota Indis; (3) Kota Kolonial; (4) Kota Modern.
Kota awal Indonesia disebut memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan

kosmologis dengan pola-pola sosial budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu

(a) kota-kota pedalaman dengan cirri-ciri tradisional-religius, dan (b) kota-kota

pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan, misalnya Kota Indis

Semarang.

Selain ciri dari kota kolonial di atas maka dalam perkembangannya kota tua

disetiap pusat peradaban memiliki karakter dan pola pengaturan yang berbeda satu

sama lain. kota tua mempunyai parameter yang berbeda-beda pada setiap

kebudayaan yang berlainan, antara lain :5

Pada zaman Helenistik, kota memiliki ciri paling tidak sebuah tempat

pertunjukan dan gelanggang olahraga.

Pada kebudayaan Islam ditandai dengan masjid, pasar dan tempat

pemandian umum.

Pada kebudayaan Mesopotamian, Kamboja dan Maya ditandai dengan

adanya kuil.

Untuk peradaban-peradaban di India sebuah kota ditandai dengan

adanya kuil, istana dan pasar.

Sementara untuk peradaban Cina kuno sebuah kota ditandai dengan

adanya altar pemujaan dewa tanah, tembok dan kuil para leluhur

penguasa.

Masyarakat Indonesia terbiasa untuk membuat sesuatu yang baru, dan

melupakan yang lama. Padahal seharusnya, kita belajar untuk memelihara tradisi.

Yang dimaksud dengan tradisi adalah tidak memulai segala sesuatu dari nol,

melainkan mengadaptasi, melanjutkan, dan memperbaiki apa yang sudah ada.


Melalui bangunan-bangunan tua itu, masyarakat bisa mempelajari satu

bagian perjalanan sebuah bangsa. Dari situ juga, masyarakat bisa mempelajari apa

yang salah di masa lalu, untuk diperbaikinya pada masa datang

Dalam pembahasan ini sesuai Penelitian penulis yang mengungkapkan

mengenai bagaiman identitas Kota Gorontalo yang mencerminkan arsitektur

Kolonial dan arsitektur Indis kemudian ada juga pemahaman sedikit tentang

pengembangan awal kota-kota dan pemukiman semasa kekuasaan colonial

Belanda.

Seperti yang di jelaskan pada bab sebelumnya bahwa pengaruh arsitektur

Kolonial Belanda di Kota Gorontalo yaitu gaya arsitektur Indis yang merupakan

Ciri khas bangunan yang ada di Kota Gorontalo pada masa Kolonial Belanda.

Sepintas terlihat pada pengaruh budaya Barat pada pilar-pilar besar, mengingatkan

kita pada gaya bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi.

Lampulampu

gantung dari Italia dipasang pada serambi depan membuat bangunan

tampak megah terutama pada malam hari. Pintu terletak tepat di tengah diapit

dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara jendela dan pintu

dipasang cermin besar dengan patung porselen. Khusus untuk gedung-gedung

perkantoran, pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para penguasa di daerah

masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri seperti payung kebesaran,

tombak dan lain-lain agar tampak lebih berwibawa.

Secara historis sangat jelas tercatat bahwa sentrum awal pertumbuhan kota

Gorontalo dimulai dari bagian selatan yakni kelurahan Tenda, Ipilo, Kampung

Bugis saat ini. Hal ini terjadi karena sejak berkuasanya Belanda maka pemusatan
kantor pemerintahan dan aktivitas perdagangan berada di wilayah ini, karena di

dukung oleh posisi geografis dimana terdapat dua aliran sungai besar yakni sungai

Bone dan sungai Bolango sebagai alternatif jalur transportasi saat itu.6

Dalam hal pembangunan kota gorontalo pada masa Kolonial Belanda yang

dipelopori langsung oleh Sultan Botutihe. Seperti dalam kasus sejarah kota

Gorontalo, dokumen-dokumen yang ada selalu konsisten menuliskan persatasi

sSultan Botutihe dalam membangun „Bandar/Kota” Gorontalo, dank arena factor

inilah sehingga kemudian beliau diangurahi Ilomata (karya agung).7

Yang menarik dicermati adalah karena ternyata “tata Kota” Gorontalo

yang dirancang abad 18 itu memang terkesan elitis dan sentralistik, dan dibangun

dalam suasana kekhawatiran ekspansi territorial pemerintah Belanda. Alasan tata

kota rancangan Botutihe tersebut, antara lain karena dengan desain itu Gorontalo

bisa lebih kuat menghadapi ekspansi. Oleh dokumen ini dikatakan pula bahwa

tidak ada keterangan yang menyatakan penyebutan kota Gorontalo sebagai

”Bandar”. Umumnya, orang-orang disekitar wilayah ini menyebut lokasi “Kota”

(seperti yang sudah terbiasa kita sebut sekarang) dengan sebutan “Belle”, dan

bukan “Kota” (cukup mirip dengan sebutan “Balai” (Melayu), atau “Balla”

(Bugis/Makassar)

Dibuku mengenai Gorontalo Moderen yang ditulis oleh Basri Amin

mengemukakan tentang arsitektur Kolonial Belanda yang mengungkapkan bahwa

selain itu, diluar lokasi Kota, umumnya rumah-rumah tidak permanen, sebagian

besar seperti gubuk bertiang kayu (sebagai tempat persinggahan atau untuk para

penjaga ladang), sehingga orang-orang yang mau kewilayah ini menyatakan “saya

mau ke Belle” (maksudnya lokasi Kota sekarang ini). Kalau tidak salah masih kita
temukan beberapa rumah yang masig bertuliskan “Belle” saat ini di Kota

Gorontalo, Mislanya rumah Pak H.A. Nusi. Juga beberapa rumah tua

menggunakan kata “Villa”, misalnya sebuah rumah kecil (Villa Bone) disamping

tempat makan milu siram/Binte Biluhuta dan tinutuan (Ci‟ Kia) dikampung Bugis

(kawasan Ipilo).

Orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan priayi dan penduduk

pribumi yang telah mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan

atas, ikut mendorong penyebaran kebudayaan Indis lewat gaya hidup yang serba

mewah. Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya yang berlaku

pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas bahan, dimensi ruang yang besar,

gemerlapnya cahaya, pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai

penghias gedung.

Mengamati arsitektur Indis hendaknya kita jangan terpaku pada keindahan

bentuk luar semata, tetapi juga harus bisa melihat jiwa atau nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya. Rob Niewenhuijs dalam tulisannya Oost Indische

Spiegel yaitu pencerminan budaya Indis, menyebutkan bahwa sistem pergaulan

dan tentunya juga kegiatan yang terjadi di dalam bangunan yang bergaya Indis

merupakan jalinan pertukaran norma budaya Indonesia dengan Belanda. Manusia

Belanda berbaur ke dalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya.

Pengukuhan kekuasaan kolonial saat itu tertuang dalam kebijakan yang

dinamakan “politik etis”. Prinsipnya bertujuan meningkatkan kondisi kehidupan

penduduk pribumi. Di lain fihak penguasa juga memperbesar jumlah kedatangan

orang Belanda ke Indonesia yang secara langsung membutuhkan sarana tempat

tinggal berupa rumah-rumah dinas dan gedung-gedung.


Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang

dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status,

keagungan dan kebesaran kekuasaan terhadap masyarakat jajahannya.

Perkembangan arsitektur Indis sangat determinan karena didukung oleh

peraturan76

peraturan dan menjadi keharusan yang harus ditaati oleh para ambtenar, penentu

kebijaksanaan. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indis sebagai

standar dalam pembangunan gedung-gedung baik milik pemerintah maupun

swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang berkecukupan terutama para

pedagang dari etnis tertentu dengan harapan agar memperoleh kesan pada status

sosial yang sama dengan para penguasa dan priayi.

Arsitektur Indis tidak hanya berlaku pada rumah tinggal semata tetapi juga

mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-gedung

perkumpulan, pertokoan, dan lain-lain. Adapun pudarnya arsitektur Indis mungkin

disebabkan oleh konsekuensi historis yang menyangkut berbagai aspek sosial

budaya.

Menurut Denys Lombard, sejarah terbentuknya budaya Indis karena

didorong oleh kekuasaan Hindia Belanda yang berkehendak menjalankan

pemerintahan dengan menyesuaikan diri pada kondisi budaya masyarakat di

wilayah kolonialnya. Dengan datangnya perubahan zaman dan hapusnya

kolonialisme, maka berakhirlah pula kejayaan budaya feodal termasuk

perkembangan arsitektur Indis. Dalam periode kemerdekaan, bangsa Indonesia

menganggap arsitektur Indis sebagai monumen dan simbol budaya priayi yang

tidak bisa lagi dipertahankan dan dijadikan kebanggaan, maka kehancurannya


tidak perlu diratapi.

Arsitektur Indis mencapai puncaknya pada akhir abad ke- 19. Seiring

dengan perkembangan kota yang modern, lambat laun gaya Indis ditinggalkan dan

berubah menjadi bangunan-bangunan baru (nieuwe bouwen) yang bergaya

artdeco

sebagai gaya internasional.

Bagi golongan orang Eropa khususnya Belanda, mereka berada dalam

kompleks perkantoran colonial Belanda yang terletak ditengah Kota sebagai pusat

pemerintahan administratif Administratif Residentie meliputi kantor asisten

Residen, Controleur, Hooft Agen Stad politie, Nederlandsch-Indische Handels-

Bank, Copra Ponds, Telepon, Pos dan Telegrap, keuangan dan kesehatan. Dalam

kawasan tersebut pejabat dan pegawai rendahan maupun anggota Militer Kolonial

Belanda mendirikan pemukiman Khusus, dengan pos keamanan yang terletak

ditepi jalan besar Kota dan terpisah dari pemukiman pribumi. Pemukiman ini

lebih popular disebut kampung Belanda (kelurahan Tenda sekarang).9

Dari literature diatas dan observasi yang dilakukan oleh penulis terlihat

masih banyak pemukiman yang bergaya arsitektur Kolonial belanda yang

ditemukan, Seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya. Ini menandakan

bahwa identitas kota tua yaitu arsitektur Kolonial Belanda yang bergaya indis di

Kota Gorontalo masih telihat jelas.

BAB IV

IDENTITAS GORONTALO SEBAGAI KOTA TUA

Sebelum lebih jauh menguraikan makna kota tua maka perlu diketahui
terlebih dahulu definisi dari kota itu sendiri. Karena pandangan umum sering

memaknai kota hanya sebagai tempat pemukiman bagi cukup banyak orang serta

sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan. Padahal tidak sekedar seperti

disebutkan di atas karena kota memiliki dimensi yang sangat luas 1“kota adalah

satuan wilayah yang meruakan satuan jasa distribusi, berperan memberikan jasa

pemasaran terhadap wilayah pengaruh dan luasnya ditentukan oleh kepedatan jasa

distribusi yang bersangkutan”.

Sementara Departemen Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana

Wilayah (PU Kimpraswil) menyebutkan bahwa kota adalah “satuan pemukiman

bukan pedesaan yang berperan dalam satuan-satuan wilayah pengembangan dan

atau wilayah nasional sebagai simpul jasa menurut pengamatan tertentu”. Secara

konstitusional kota juga telah didefinisikan dalam undang-undang RI No. 26

tahun 2007 yang menyebutkan bahwa: “kawasan perkotaan adalah wilayah yang

mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan kawasan sebagai

tempat pemukiman perkotaan, pemusatan distribusi pelayanan jasa pemerintah,

pelayanan sosial dan kegitan ekonomi”.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kota

adalah sebuah kawasan yang mempunyai kegiatan utama selain dari pertanian, ini

berarti meliuti perdagangan, jasa, wisata dan lain sebagainya, serta dijadikan

sebagai pusat pemerintahan bagi kawasan di sekitarnya. Di Indonesia pada

umumnya wilayah yang dapat dikategorikan sebagai kota adalah pusat

pemerintahan satauan administratif pemerintahan setingkat kabupaten.

1. Tata Ruang Kota Gorontalo Prakolonial Belanda

Suatu hal yang sangat menyedihkan ialah bahwa kita tidak mewarisi data
apapun mengenai bentuk dan struktur Kota Gorontalo pada zaman prakolonial.

Peninggalan kota Gorontalo pada zaman prakolonial sudah tidak berbekas sama

sekali. Memang tidak mungkin untuk membayangkan bentuk kota Gorontalo pada

zaman prakolonial secara nyata sehingga kemudian diusahakan untuk mencari

gambaran prinsip-prinsip tata ruang kota Gorontalo pada zaman prakolonial

dengan menganalisis bentuk geometrisnya secara konkrit, tetapi dengan mencari

konsepsi tataruang kotanya.

Untuk saat ini, di Gorontalo pada umumnya kota tua sangat identik dengan

kota yang dibangun dan tumbuh pada masa kolonial Belanda. Hal ini terjadi oleh

karena sebelumnya masyarakat di nusantara yang berbentuk kerajaan belum

banyak mengenal bangunan permanen sehingga saat ini sulit ditemukan adanya

kompleks kota tua yang dibangun oleh kerajaan-kerajaan yang pernah tumbuh di

nusantara tersebut. Hal lain yang menyebabkan sehingga kota yang dibangun oleh

raja-raja seakan lenyap tanpa bekas adalah penyerangan dan penghacuran yang

dilakukan oleh bangsa penjajah, contoh kasus misalnya penghancuran kota

Jayakarta oleh Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 mei 1619 yang kemudian

dibangun kembali dan diberinama Batavia.

Analisis struktur tata ruang Kota Gorontalo di zaman prakolonial ini

didasarkan atas beberapa sumber. Pertama, didasarkan atas analisis Hasanuddin

dan Basri Amin. 2008. Tentang Gorontalo Dinamika Sejarah Masa Kolonial

Belanda. Kedua beradasarkan pengamatan Memori Gorontalo. Yang dibahas oleh

Basri Amin (2012).

Secara historis sangat jelas tercatat bahwa sentrum awal pertumbuhan kota
Gorontalo dimulai dari bagian selatan yakni kelurahan Tenda, Ipilo, Kampung

Bugis saat ini. Hal ini terjadi karena sejak berkuasanya Belanda maka pemusatan

kantor pemerintahan dan aktivitas perdagangan berada di wilayah ini, karena di

dukung oleh posisi geografis dimana terdapat dua aliran sungai besar yakni sungai

Bone dan sungai Bolango sebagai alternatif jalur transportasi saat itu.2

Menurut sejarah, Jazirah Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu

dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare

dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama

Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo, Bone. Seiring dengan

penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan

masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut); Buol Toli-

Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi

Tenggara.Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya

yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi

(bagian utara).

Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan

Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango.

Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari

Kelurahan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat

sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini

dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang

terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B.

Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan

perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat


besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut

dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi

Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol Toli-toli dan, Donggala dan

Bolaang Mongondow.

Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaankerajaan

yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaankerajaan

itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut “Pohala‟a”.

Dalam tata ruang masyarakat Gorontalo berbagai kategori yang pernah

mendiami daerah Gorontalo bisa digambarkan kembali. Pertama-tama sebagai

penduduk asli yang hidup mengelompok dalam unti-unit kecil bernama linula

yang sekaligus merupakan suatu kesatuan ekonomi. Pemukiman pertama kali

masyarakat Gorontalo menyebar dan menetap disekitar gunung Buliuhuto dan

Tilongkabila, dan sekitar Danau Limboto.3 pada bagian lain Gorontalo

mempunyai wilayah yang cukup luas dngan jumlah penduduk relatif kecil

sehingga faktor inilah bahwa para imigran dan pedagang dari Ternate, Makassar

dan Bugis, kemudian Cina, Arab, Eropa terutama Belanda dan Minahasa

memberikan corak tersendiri atas perkembangan pemukiman di Gorontalo. Yang

terjadi selanjutnya adalah terbukanya hubungan antar suku bangsa dan makin

beragamnya jenis pekerjaan yang ada di Gorontalo. Dari sinilah dinamika sosial

dan perubahan pemukiman masyarakat Gorontalo terjadi. Karena pertemuan antar

suku bangsa dilapangaan ekonomi dan interaksi antar komunitas lintas budaya,

misalnya dalam pertuakaran berbagaai pengalaman dan menghormati atas tradisi

masing-masing.

2. Tata Ruang Kota Gorontalo setelah masuknya Kolonial Belanda


Masuknya bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia, khususnya ketika Belanda

mulai menjajah Indonesia, mengakibatkan munculnya kota-kota bentuk baru

berupa kota administrasi kolonial Belanda. Susunan spasial kota administrasi

berkisar di sekeliling sebuah lapangan atau alun-alun. Bangunan merupakan salah

satu unsur pembentuk kota. Dalam sebuah kota kolonial Belanda, tentu

bangunanbangunan

yang ada mempunyai ciri-ciri kolonial. Bangunan kolonial adalah

bangunan bercorak arsitektur kolonial yang dimanfaatkan untuk kegiatan

fungsional di zaman colonial.

Dalam perkembangan kota yang menjadi identitas kota dengan

keunggulan yang tak hanya berarti pada waktu silam tapi juga di masa kini dan

mendatang, adalah arsitektur yang ditinggalkan pada masa Kolonial Belanda. Ini

merupakan salah satu identitas Kota yang Bagaimana menyikapi peninggalan

yang seringkali terlihat kumuh dan menggoda banyak pihak untuk kemudian

justru mencari jalan pintas, menghancurkan, itu menjadi persoalan hingga kini.

Padahal banyak contoh yang membuktikan, pemanfataan dan pelestarian yang

tepat terhadap arsitektur Kolonial Belanda bisa mendatangkan keuntungan secara

ekonomi, sosial budaya hingga ilmu pengetahuan.

Pengertian kota sperti yang dijelaskan diatas sesuai yang ditulis oleh Peter

J.M. Nas4 yang membahas tentang kota yang dibedakan dalam empat macam,

yaitu (1) kota awal Indonesia; (2) Kota Indis; (3) Kota Kolonial; (4) Kota Modern.

Kota awal Indonesia disebut memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan

kosmologis dengan pola-pola sosial budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu

(a) kota-kota pedalaman dengan cirri-ciri tradisional-religius, dan (b) kota-kota


pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan, misalnya Kota Indis

Semarang.

Selain ciri dari kota kolonial di atas maka dalam perkembangannya kota tua

disetiap pusat peradaban memiliki karakter dan pola pengaturan yang berbeda satu

sama lain. kota tua mempunyai parameter yang berbeda-beda pada setiap

kebudayaan yang berlainan, antara lain :5

Pada zaman Helenistik, kota memiliki ciri paling tidak sebuah tempat

pertunjukan dan gelanggang olahraga.

Pada kebudayaan Islam ditandai dengan masjid, pasar dan tempat

pemandian umum.

Pada kebudayaan Mesopotamian, Kamboja dan Maya ditandai dengan

adanya kuil.

Untuk peradaban-peradaban di India sebuah kota ditandai dengan

adanya kuil, istana dan pasar.

Sementara untuk peradaban Cina kuno sebuah kota ditandai dengan

adanya altar pemujaan dewa tanah, tembok dan kuil para leluhur

penguasa.

Masyarakat Indonesia terbiasa untuk membuat sesuatu yang baru, dan

melupakan yang lama. Padahal seharusnya, kita belajar untuk memelihara tradisi.

Yang dimaksud dengan tradisi adalah tidak memulai segala sesuatu dari nol,

melainkan mengadaptasi, melanjutkan, dan memperbaiki apa yang sudah ada.

Melalui bangunan-bangunan tua itu, masyarakat bisa mempelajari satu

bagian perjalanan sebuah bangsa. Dari situ juga, masyarakat bisa mempelajari apa

yang salah di masa lalu, untuk diperbaikinya pada masa datang


Dalam pembahasan ini sesuai Penelitian penulis yang mengungkapkan

mengenai bagaiman identitas Kota Gorontalo yang mencerminkan arsitektur

Kolonial dan arsitektur Indis kemudian ada juga pemahaman sedikit tentang

pengembangan awal kota-kota dan pemukiman semasa kekuasaan colonial

Belanda.

Seperti yang di jelaskan pada bab sebelumnya bahwa pengaruh arsitektur

Kolonial Belanda di Kota Gorontalo yaitu gaya arsitektur Indis yang merupakan

Ciri khas bangunan yang ada di Kota Gorontalo pada masa Kolonial Belanda.

Sepintas terlihat pada pengaruh budaya Barat pada pilar-pilar besar, mengingatkan

kita pada gaya bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi.

Lampulampu

gantung dari Italia dipasang pada serambi depan membuat bangunan

tampak megah terutama pada malam hari. Pintu terletak tepat di tengah diapit

dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara jendela dan pintu

dipasang cermin besar dengan patung porselen. Khusus untuk gedung-gedung

perkantoran, pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para penguasa di daerah

masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri seperti payung kebesaran,

tombak dan lain-lain agar tampak lebih berwibawa.

Secara historis sangat jelas tercatat bahwa sentrum awal pertumbuhan kota

Gorontalo dimulai dari bagian selatan yakni kelurahan Tenda, Ipilo, Kampung

Bugis saat ini. Hal ini terjadi karena sejak berkuasanya Belanda maka pemusatan

kantor pemerintahan dan aktivitas perdagangan berada di wilayah ini, karena di

dukung oleh posisi geografis dimana terdapat dua aliran sungai besar yakni sungai

Bone dan sungai Bolango sebagai alternatif jalur transportasi saat itu.6
Dalam hal pembangunan kota gorontalo pada masa Kolonial Belanda yang

dipelopori langsung oleh Sultan Botutihe. Seperti dalam kasus sejarah kota

Gorontalo, dokumen-dokumen yang ada selalu konsisten menuliskan persatasi

sSultan Botutihe dalam membangun „Bandar/Kota” Gorontalo, dank arena factor

inilah sehingga kemudian beliau diangurahi Ilomata (karya agung).7

Yang menarik dicermati adalah karena ternyata “tata Kota” Gorontalo

yang dirancang abad 18 itu memang terkesan elitis dan sentralistik, dan dibangun

dalam suasana kekhawatiran ekspansi territorial pemerintah Belanda. Alasan tata

kota rancangan Botutihe tersebut, antara lain karena dengan desain itu Gorontalo

bisa lebih kuat menghadapi ekspansi. Oleh dokumen ini dikatakan pula bahwa

tidak ada keterangan yang menyatakan penyebutan kota Gorontalo sebagai

”Bandar”. Umumnya, orang-orang disekitar wilayah ini menyebut lokasi “Kota”

(seperti yang sudah terbiasa kita sebut sekarang) dengan sebutan “Belle”, dan

bukan “Kota” (cukup mirip dengan sebutan “Balai” (Melayu), atau “Balla”

(Bugis/Makassar)

Orang-orang Belanda, pemilik perkebunan, golongan priayi dan penduduk

pribumi yang telah mencapai pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan

atas, ikut mendorong penyebaran kebudayaan Indis lewat gaya hidup yang serba

mewah. Arsitektur Indis sebagai manifestasi dari nilai-nilai budaya yang berlaku

pada zaman itu ditampilkan lewat kualitas bahan, dimensi ruang yang besar,

gemerlapnya cahaya, pemilihan perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai

penghias gedung.

Mengamati arsitektur Indis hendaknya kita jangan terpaku pada keindahan

bentuk luar semata, tetapi juga harus bisa melihat jiwa atau nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Rob Niewenhuijs dalam tulisannya Oost Indische

Spiegel yaitu pencerminan budaya Indis, menyebutkan bahwa sistem pergaulan

dan tentunya juga kegiatan yang terjadi di dalam bangunan yang bergaya Indis

merupakan jalinan pertukaran norma budaya Indonesia dengan Belanda. Manusia

Belanda berbaur ke dalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya.

Pengukuhan kekuasaan kolonial saat itu tertuang dalam kebijakan yang

dinamakan “politik etis”. Prinsipnya bertujuan meningkatkan kondisi kehidupan

penduduk pribumi. Di lain fihak penguasa juga memperbesar jumlah kedatangan

orang Belanda ke Indonesia yang secara langsung membutuhkan sarana tempat

tinggal berupa rumah-rumah dinas dan gedung-gedung.

Di sini terlihat jelas bahwa ternyata semua peristiwa yang dialami pada

tiap kehidupan manusia bisa memberi dampak yang besar terhadap pandangan

arsitektur. Bahwa gagasan arsitektur sesungguhnya juga dipengaruhi oleh situasi

dinamika sosial budaya manusia dan sekaligus menjadi bagian dari padanya.

Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang

dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status,

keagungan dan kebesaran kekuasaan terhadap masyarakat jajahannya.

Perkembangan arsitektur Indis sangat determinan karena didukung oleh

peraturan76

peraturan dan menjadi keharusan yang harus ditaati oleh para ambtenar, penentu

kebijaksanaan. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indis sebagai

standar dalam pembangunan gedung-gedung baik milik pemerintah maupun

swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang berkecukupan terutama para

pedagang dari etnis tertentu dengan harapan agar memperoleh kesan pada status
sosial yang sama dengan para penguasa dan priayi.

Arsitektur Indis tidak hanya berlaku pada rumah tinggal semata tetapi juga

mencakup bangunan lain seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-gedung

perkumpulan, pertokoan, dan lain-lain. Adapun pudarnya arsitektur Indis mungkin

disebabkan oleh konsekuensi historis yang menyangkut berbagai aspek sosial

budaya.

Menurut Denys Lombard, sejarah terbentuknya budaya Indis karena

didorong oleh kekuasaan Hindia Belanda yang berkehendak menjalankan

pemerintahan dengan menyesuaikan diri pada kondisi budaya masyarakat di

wilayah kolonialnya. Dengan datangnya perubahan zaman dan hapusnya

kolonialisme, maka berakhirlah pula kejayaan budaya feodal termasuk

perkembangan arsitektur Indis. Dalam periode kemerdekaan, bangsa Indonesia

menganggap arsitektur Indis sebagai monumen dan simbol budaya priayi yang

tidak bisa lagi dipertahankan dan dijadikan kebanggaan, maka kehancurannya

tidak perlu diratapi.

Arsitektur Indis mencapai puncaknya pada akhir abad ke- 19. Seiring

dengan perkembangan kota yang modern, lambat laun gaya Indis ditinggalkan dan

berubah menjadi bangunan-bangunan baru (nieuwe bouwen) yang bergaya

artdeco

sebagai gaya internasional.

Bagi golongan orang Eropa khususnya Belanda, mereka berada dalam

kompleks perkantoran colonial Belanda yang terletak ditengah Kota sebagai pusat

pemerintahan administratif Administratif Residentie meliputi kantor asisten

Residen, Controleur, Hooft Agen Stad politie, Nederlandsch-Indische Handels-


Bank, Copra Ponds, Telepon, Pos dan Telegrap, keuangan dan kesehatan. Dalam

kawasan tersebut pejabat dan pegawai rendahan maupun anggota Militer Kolonial

Belanda mendirikan pemukiman Khusus, dengan pos keamanan yang terletak

ditepi jalan besar Kota dan terpisah dari pemukiman pribumi. Pemukiman ini

lebih popular disebut kampung Belanda (kelurahan Tenda sekarang).9

Dari literature diatas dan observasi yang dilakukan oleh penulis terlihat

masih banyak pemukiman yang bergaya arsitektur Kolonial belanda yang

ditemukan, Seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya. Ini menandakan

bahwa identitas kota tua yaitu arsitektur Kolonial Belanda yang bergaya indis di

Kota Gorontalo masih telihat jelas.

BAB IV

PENUTUP
1. Kesimpulan

Kota Gorontalo sebagai Ibu Kota Provinsi Gorontalo memiliki akar

sejarah yang cukup panjang, sejarah Gorontalo ditandai dengan munculnya

kerajaan-kerajaan sampai masuk penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Perjalanan

sejarah yang cukup panjang itu meninggalkan keragaman warisan budaya.

Diantara warisan budaya tersebut salah satu yang menarik adalah bangunan yang

bergaya arsitektur Kolonial Belanda yang saat ini menampakkan identitasnya

sebagai kota Tua Gorontalo dan bangunan tersebut merupakan cagar budaya dari

periode kolonial.

Dalam penelusuran bangunan yang bergaya arsitektur Kolonial Belanda

yang dilaksanakn oleh peneliti ditemukan banyak bangunan yang terdapat

dikecamatan Hulontalangi, kecamatan kota selatan dan kecamatan kota Timur.

Diantaranya yaitu:
1. Rumah Hi. Ona Anwar (Rumah Tentara Belanda)

2. SMA Negeri 1 Gorontalo (Hl Chin School)

3. SDN 61 Kota Gorontalo (H.I.S)

4. Hotel Melati (Hotel Velberg)

5. Gereja Imanuel

6. Kantor Dinas Kehutanan dan Pertambangan (Rumah Tinggal Tentara)

7. Villa Sweet Home

8. Kantor Cabang PLN (E-Ballom)

74

9. Poliklinik Induk Gorontalo (Hotel Gorontalo)

10. Kodim 1304 Gorontalo (Eur Lagere School)

11. Kantor TEPBEK VII-44.01.01-B (Bioskop Gorontalo)

12. Rumah Dinas Gubernur (Rumah Asisten Residen)

Anda mungkin juga menyukai