Anda di halaman 1dari 8

bedah buku tegang bentang

15May13 buku tegang bentang sudah dibedah beberapa kali di beberapa kota, antara lain tangerang, jakarta, semarang, jogja dan bandung. acara bedah buku ini dilakukan bekerja sama dengan perguruan tinggi di kota-kota tersebut, dengan menghadirkan para penulis beserta pembahas terpilih. salah satu catatan tertulis dari pembahas pada acara bedah buku di bandung saya letakkan disini untuk dinikmati bersama ..

Tegang Bentang Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia Indah Widiastuti. Bandung 3 Mei 2013. Departemen Arsitektur-SAPPK, ITB. Pendahuluan Buku Tegang Bentang ini mungkin adalah satu satunya buku yang bercerita mengenai arsitektur modern di Indonesia, atau Modernitas dalam arsitektur di Indonesia. Namun dia bukan buku teks, bukan pula teori, karena belum terlihat format, dan prinsip-prinsip yang seragam dari uraian yang disampaikan. Lebih tepatnya, buku ini merupakan bunga rampai wacana mengenai arsitek dan arsitekturnya di Indonesia sejak masa pemerintahan HindiaBelanda hingga masa kini. Menilik susunan buku ini, terlihat bahwa masing masing dari tulisan adalah uraian yang bersifat mandiri, bahkan mulai dari bagian pengantar, pendahuluan, pengantar bagian hingga makalah individidualnya. Format penuturannya bebas, tanpa format khusus, tidak seperti layaknya sebuah Pengantar yang memperkenalkan buku, pendahuluan yang menjadi resume isi buku, dan biasanya diakhiri oleh sebuah kesimpulan. Semua wacana tersebut dikategorikan dalam empat kategori bahasan yang merupakan empat pembagian waktu kronologis berkurun waktu 100 tahun, tidak jauh berbeda dari penggolongan milestone sejarah arsitektur modern yang dikenal pada umumnya. Namun sebagaimana halnya wacana (discourse), ada sebuah system berfikir yang beroperasi dalam isi buku ini, yang terungkap lewat kemasan grafisnya, penulis-penulis yang bekontribusi, gaya penuturan dan topik- topik yang dibicarakan. Keberadaan penulis-penulis

arsitektur handal dan para pelaku yang yang sudah banyak dikenal masyarakat arsitektur secara umum baik dalam konteks wacana ilmiah dan popular juga menambah daya tarik buku ini. Ada tema yang mengemuka dalam isi buku ini, misalnya, uraian Pendahuluan Amir Sidharta mengawali wacana dengan topik seputar Arsitektur Modern Indonesia atau Modernitas dalam Arsitektur Indonesia lewat rangkaian paparan mengenai arsitek, profesi arsitek serta karya professional yang digambarkan merefleksikan sebuah lintang pukang ketegangan pemikiran dalam kurun waktu 100 tahun sejak masa pemerintahan HindiaBelanda. Abidin Kusno dan Amir Sidharta sama-sama menggaris-bawahi peristiwa Kemerdekaan sebagai penanda sejarah penting dari Modernitas dalam arsitektur di Indonesia, seiring dengan berbagai proses masyarakat Indonesia untuk menjadi masyarakat modern, setelah Kemerdekaan di tahun 1945. Abidin Kusno lewat komparasi yang dilakukan antara sejarah CIAM dan Bung Karno menandai bahwa Modernitas di Indonesia memiliki karakter lepas dari masa lalu tradisional Nusantara namun juga bukan merupakan rangkaian kontinyu terhadap sejarah Kolonialisme Belanda. Namun memang ini yang kemudian menjadi pertanyaan langsung seusai membaca Pendahuluan: Apakah buku ini memang mencoba menawarkan sebuah definisi tentang Arsitektur Modern Indonesia.

Di sepanjang uraian akan didapati bahwa patokan mengenai Arsitektur Modern atau karakter Modernitas Indonesia sendiri masihlah multi-interpretasi baik dari wacana dan penuturannya. Dengan merujuk tulisan Johanes Widodo memang Amir Sidharta memperoleh dasar betapa uniknya Arsitektur Modern Indonesia dan Asia Tenggara. Namun pada akhirnya uraian buku secara keseluruhan mengarahkan pendefinisian Modernitas pada arsitektur Indonesia pada wacana pencarian bentuk-bentuk arsitektural asli mulai dari masa Hindia Belanda. Uraian pada Pengantar oleh Marco Kusumawijaya seolah menjadi negasi terhadap mainstream gagasan dalam buku dan secara sepintas memang menjadi lepas dari keseluruhan uraian tapi di satu sisi juga bisa dibaca sebagai upaya cerdik atau tidak sengaja untuk membentuk persepsi atas lingkup melalui wacana oposisi, dengan cara menyajikan peristiwa arsitektural yang diwakili oleh figur Yuli Kusworo dengan kiprah arsitektur komunitasnya di Aceh: peristiwa arsitektural yang terselenggaranya bukan karena monumentalitas, bukan

karena azaz profesionalismenya, bukan didasari institusi keprofesian dan bahkan bukan lewat komunitas yang melabelkan dirinya atas nama arsitektur. Memang sebagian penulis di buku ini sudah sangat berpengalaman dalam historiografi, sebagian adalah para pelaku itu sendiri dan sebagian lagi adalah praktisi yang cukup aktif dalam mewacanakan karya arsitektur dan arsitek Indonesia. Sayangnya instrument analitis dari perspektif sejarah yang ingin dipakai dalam buku ini tidak dibahas. Buku ini lebih efektif untuk dilihat sebagai sebuah lemparan wacana yang dirakit dari himpunan tulisann yang karena sifat diskursifnya mesti ditanggapi oleh pembacanya dengan keingintahuan dan keinginan-mengklarifikasi lebih dan ditindak lanjuti lewat pencarian lebih dalam lagi, dan bukannya ditelan mentah mentah.

Bagian 1. Sintesis Arsitektur Hindia- dimana awal origin Modernitas dalam arsitektur Indonesia? (Corr Paschier, Nanda Widyarta, Mahatmanto) Semua uraian di bagian ini berorientasi pada setting profesi arsitek yang berkiprah di masa pendudukan pemerintah Hindia Belanda, beserta karyanya. Hal menarik pada bagian Bagian I ini adalah potensinya mengungkap kepada pembaca akan wacana yang sering luput dari pembahasan pada umumnya, yaitu proses dan personalitas yang dialami arsitek (sebagai pembangun, penukang ataupun perancang) yang membentuk artefak arsitektur pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Cor Passchier lewat tulisanya menguraikan proses-proses tidak serta merta yang dialami oleh arsitek Belanda yang datang ke Indonesia: mulai ketika Indonesia masih merupakan tanah asli, hingga kemudian masyarakat Eropa hadir sebagai sebuah komunitas. Essay Mahatmanto menghadirkan wacana tentang bagaimanan asimilasi terjadi antara ketrampilan pertukangan lokal dan pengetahuan kerangka pikir insinyur Belanda. Sayang kemudian tulisan Mahatmanto ini agak kehilangan arah karena jawaban atas pertanyaan yang tertera lewat judul kurang nyaring: Kemana para penukang. Mungkinkah penulis hanya ingin sekedar menghadirkannya sebagai sebuah retorika mengenai keunikan pertukangan pada masa itu? Handinoto menguraikan suatu sisi dari arsitektur bangunan Tropisch Indische yang biasanya didominasi oleh arsitektur Belanda. Fenomena Liem Bwan Tjie (1851 -1926) sebagai arsitek pribumi-keturunan, dididik di Delft

yang nantinya menjadi salah satu tokoh pendiri IAI. Ia menjadi potret lain Arsitektur Kolonial di Indonesia Indonesia yang tidak dibuat oleh arsitek Belanda.

Bagian 2. Bayang-Bayang Modernisme Modernitas arsitektur seperti apa? (Abidin Kusno, Nanda Widyarta, Soejono Herlambang, Yuswadi Saliya, Suwondo B Sutedjo, Endy Subijono) Bagian ini nampaknya ingin dijadikan main course wacana utama arsitektur Modern Indonesia yang terpusat pada figur Soekarno sebagai pemimpin Negara, berdirinya IAI, dan kiprah arsitek-arsitek, seperti Suyudi, komunitas ATAP; proyek CONEFO, dan komunitas arsitek lulus ITB lama (THS dan UI bagian Bangunan) dan TH Delft. Bagian ini adalah bagian yang paling heroik dari penuturan Arsitektur Modern di Indonesia ~ sebuah highlight Pencitraan Jati diri yang dilakukan dengan mendudukan wacana Modernitas Indonesia di atas situasi pasca Kemerdekaan. ITB sendiri banyak disebut seperti: THS yang lulusannya juga ikut aktif di CONEFO, Van Romondt, Gunadharma,. Adalah suatu bentuk penuturan yang menarik ketika Abidin Kusno memperbandingkan figur Bung Karno dengan figur CIAM. Ini membuat Arsitektur Modern Indonesia dengan sentral Soekarno lebih mudah dipahami dalam platform yang lebih global. Dari perbandingan tersebut Kusno menyimpulkan bahwa Modernitas dalam arsitektur Indonesia bersifat unik. Eryudhawan memandang arsitektur Soekarno sebagai arsitektur Indonesia. Dengan cara empatik berbekal referensi-referensi tertulis Eryudhawan tak hanya menjadi pewacana arsitektur Soekarno. Lihat saja kutipannya bisa sama riuhnya dengan wacana yang disampaikan. ATAP dalam buku ini menjadi symbol dari kesadaran intelektual dan eksplorasi untuk berarsitektur dengan sebuah cara tertentu oleh sekelompok komunitas arsitekintelektual-muda lewat aktifitas diskursif lewat jalan-jalan, wawancara, presentasi yang bagian paling monumentalnya nampaknya adalah lawatan ke Skandinavia. Lewat sebuah karya arsitektural individual, Yuswadi Saliya menjelaskan Suyudi sebagai salah generasi awal arsitek dengan keunikan tradisi merancang Prusia yang digambarkan sebagai contoh kreativitas murni: tidak setaat Silaban dengan Neo Klasik nya namun juga tidak segila Erich Maendelsohn dengan Ekspresionisme jerman namun memiliki referensi ke

indonesiaan dan tidak melulu anti-historis. Dan itu semua direfleksikan atas pribadi Suyudi yang cool. Diskusi pada bagian ini diakhiri oleh tulisan Endy Subijono yang menguraikan proses terbentuknya pranata keprofesian arsitektur Indonesia dibuat. Bagian dua ini memang memancarkan spirit heorik profesionalitas. Semangat kepeloporan ini yang nampaknya lewat bagian akhir tulisan Yuswadi Saliya mengenai Suyudi dianggap melemah sekarang. Secara implisit ini tercermin lewat hawa kecewa seorang Yuswadi Saliya yang menuturkan bagaimana karakter arsitektural Suyudi adalah warna yang muncul di sunyi pagi Indonesia, dan bagaimana arsitektur masa kini lekang seperti siang hari yang terik tanpa warna dan karakter.

Bagian 3. Lokalitas, Regionalisme dan Tradisi dalam arsitektur Indonesia : Agenda atau Label? (Adhi Moersid, Nanda Widyarta, Ikaputra, Agus Dwi Wicaksono, Gunawan Tjahjono) Dalam keadaan mengira-ngira saya melihat buku ini nampaknya mengangkat Regionalisme sebagai antitesa dari kehomogenan dan keabstrakan karakter estetika Arsitektur Modern untuk kasus Indonesia. Dan untuk itu Profil Biro AT 6, Polemik Wisma Dharmala dan Proyek GEDUNG PERPUSTAKAAN, ADMINISTRASI UI dan profil Romo Mangun dijadikan model oleh buku ini tentang bagaima Regionalisme diejawantahkan. Namun yang menarik perhatian saya adalah, mengapa Regionalisme dipilih sebagai topic antitesa Modernitas yang homogen tersebut? Mengapa bukan topk lain seperti arsitektur komunitas, lingkungan hidup ? Apakah karena presentabilitas dari kasus regionalism yang kurang lebih bersifat arsitektural dan professional? Seperti dituturkan Adhi Moersid bahwa motifasi dasar berdirinya AT6 di tahun 1968, pembetukan AT6 sangatlah utilitarian, yaitu mencari nafkah. Baru kemudian upaya menghadirkan keIndonesiaan di tengah carut marut profesionalitas yang kian homogen menjadi bentuk perjuangan untuk mengungkap konsep JATI DIRI oleh AT 6. Sama halnya dalam pembangunan Wisma Dharmala di mana bagi Paul Rudolph sendiri regionalism juga tak lebih dari sebuah tantangan profesional. menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, apakah Regionalisme di sini adalah sebuah AGENDA kerja dengan prinsip yang megikat atau

sebuah LABEL dari sebuah ideologi yang kemudian dijadikan modus perancangan fungsional karena berbagai latar belakang yang bisa jadi lepas dari masalah kontekstualitas dan jati diri? Apa gerangan Regionalism dalam arsitektur Indonesia? Apakah Regionalisme merupakan bahasa visual fungsional yang dimanfaatkan untuk argumentasi desain? Atau sebuah kesadaran yang ditanamkan sebagai nilai lewat berbagai tindakan? Kontroversi mengenai konsep regionalism dalam buku ini diekspresikan lewat perdebatan mengenai arsitektur Wisma Dharmala yang menjadi bukti bahwa persepsi mengenai Regionalisme sangatlah beragam: representasi, teknologi dan filsafat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas menjadi tidak relevan ketika berhadapan dengan Romo Mangun yang titik berangkatnya sudah beda, seperti situasi sosial dan budaya (lepas dari profesi) dan dalam konteks tersebut konsep jati diri tidak berada dalam kerangka Historisisme dan Romantisme namun pada konsep jati diri (Volkesgeist). Mungkin Romo Mangun di sini lebih bersesuaian dengan figure Yuli Kusworo yang diungkapkan Marco di Pengantar. Sebetulnya topik mengenai Regionalisme ini berpotensi menjadi wacana yang bisa sama ramainya dengan bagian sebelumnya, dikaitkan dengan pertanyaan mengenai JATI DIRI berkenaan dengan berbagai praktek di era globalisasi dan situasi Indonesia ini. Ketika di awal abad 20an Aula Barat dan Aula Timur mengejawantah dengan Arsitektur Sunda dan struktur Gotik, Gedung Perpustakaan, Administrasi UI mengelaborasi dengan Modern Classicisme Rossi dengan tema Indonesia. Dan bisa kita lihat sendiri pada tahun 2000an, seperti CCAR ITB dan Desain Kampus 1 UNTAR malah kembali pada komposisi abstrak yang lazim ditemukan pada tradisi Modernis awal Eropa. Lalu dimana regionalism di sini? Dan pada akhirnya: Apakah sebuah label? Atau agenda?

Bagian 4. Pencarian yang Terus Berlanjut -Kemana arah arsitektur (Kontemporer) Indonesia? (Soejono Herlambang, Nanda Widyarta, Gunawan Tjahjono, Achmad D Tardiyana dan anggota AMI, AMI Last, FAM, De Maya, dan BoombArs)

Bagian IV secara praktis terpusat pada profil AMI (Arsitek Muda Indonesia). Apakah dalam buku ini AMI hendak dijadikan representasi dari perkembangan lanjut dari Modernitas di Indonesia? Seperti dituturkan dalam buku ini AMI lahir pada era 1990an di tengah situasi carut marut keprofesian arsitektur Indonesia yang diwarnai oleh masalah dominasi arsitek asing, derasnya globalisasi dan konsekuensi krisis identitas dari figur arsiteknya sendiri. Berbagai perumpamaan secara informal dilekatkan pada AMI Achmad D Tardiyana yang membandingkannya dengan Team X dan Glasschain, dan juga Mohamad Nanda Widyarta bahkan cukup berani mengandaikannya dengan Archigram. Goenawan Tjahjono memaparkan bahwa kiprah AMI tidak hanya dibentuk oleh karya, tapi juga komunitasnya dan wacananya, dan peristiwa termasuk serangkaian Bedah Buku ini. Dengan menggaris bawahi dua karakter arsitek-intelektual, Adi Purnomo dan Eko Prawoto, Tjahjono seolah menunjukkan salah-dua model penjelajahan diskursif eksponen AMI. Bagian IV ini memang beresiko dibaca sebagai narasi anti-klimaks dari keunikan dan heroism arsitektur yang dituturkan pada bagian-bagian sebelumnya. Dengan bahasannya yang lugas Tardiyana memaparkan secara gamblang dan reflektif kiprah AMI dan situasi faktual AMI. Bagaimana AMI sempat menjadi sebuah kelompok yang paling banyak diperbincangkan dalam skala nasional; bagaimana berbagai harapan , cita-cita, ideologi menjadi sarana pendefinisian utama dari kelompok ini selain karya-karya arsitekturnya. Dan bagaimana situasi tersebut berkembang ke masa kini dengan tantangan yang nampaknya kian sulit ditanggapi secara tangkas. Tjahjono mempertanyakan daya dorong wacana; daya dobrak dari tradisi mereka juga pemikiran dan rekayasa dan arsitek Indonesia masa kini. Kritik Romo Mangun begitu membekas pada uraian Tjahjono yang mempertanyakan kebaruan seperti apa yang hendak ditawarkan AMI? Kecenderungan munculnya AMI Next, AMI last, FAM, SAMM, De Maya, BoombArs pada penghujung uraian Bagian IV dan seluruh buku ini dijadikan tanda bahwa keinginan arsitek muda untuk tetap berwacana, berserikat, berbagi, mempertanyakan serta berdiskusi banyak hal mengenai peran arsitek dan arsitektur di Indonesia masihlah besar, sekalipun dalam skala yang lebih kecil dan periferi. Mungkinkah karena komposisi kompleksitas di setiap tempat sudah beragam dan permasalahan arsitektur bisa berbeda sementara wacana sentralitas sendiri sudah mulai menjadi barang usang (obsolete)? Akankah kelompok kelompok yang tersebar di seluruh Indonesia itu menjadi perwujudan dari model diskursif komunitas arsitekur di Indonesia masa kini? Atau tetap menjadi cerminan wacana pusat dan tidak dapat lepas dari cangkang kerangka lama? Kegalauan yang dialami oleh AMI nampaknya bukan semata kegalauan yang dialami dalam kerangka Indonesia saja. Seperti halnya pada tahun 1995 Charles Jencks menggaungkan mengemukanya masalah kebingunan arsitektural di abad 21 ini (the Age of Confusion) lewat bukunya Architecture of the Jumping Universe. Kesimpulan Pada akhirnya memang secara pribadi sehabis membaca buku ini, justru lebih banyak pertanyaan yang muncul, mulai dari reliabilitas data yang diungkap, prinsip-prinsip pemikiran hingga aspek paradigmatic, seperti apakah memang Modernitas itu memang perlu

dijadikan milestone pembabakan sejarah arsitektur untuk kasus Indonesia? Jangan-jangan modernitas ini hanya akan menjadi sebuah konstruk yang bersifat virtual karena rangkaian peristiwa yang dipakai untuk mengabsahkannyapun sangat berbeda dari Modernitas di tempat lain dan dunia. Namun menurut saya justru pertanyaan itulah yang penting mengindikasikan ketergugahan pembacanya untuk menggali lebih jauh lagi. Tak pelak lagi hal paling positif dari buku ini, buku ini memang hadir pada momen yang tepat. Ketika kita sendiri tidak memiliki publikasi yang secara komprehensif dan khusus mengedepankan tema Modernitas dalam arsitektur di Indonesia, dan ketika generasi-generasi yang mengetahui bahkan bersentuhan dengan arsitektur di sekitar masa pasca Kemerdekaan dan Pembangunan masihlah ada. Saya yakin banyak pembaca yang akan menjadikannya sebagai sebuah rujukan historis mengenai arsitektur Indonesia dan arsitektur Modern di Indonesia. Terlebih lagi karena sebutlah bila ada yang bertanya: adakah buku sejarah arsitkektur modern Indonesia? Namun hemat saya buku ini memang lebih baik disikapi sebagai sebuah lemparan wacana, yang membutuhkan audiens yang cukup kritis untuk dapat memanfaatkan informasi didalamnya. Buku ini juga bisa dijadikan bahan berefleksi atas kondisi arsitektur Indonesia masa kini. Apalagi di masa mendatang tantangan zaman akan berbeda. Seperti tercermin di sepanjang buku ini bagaimana pernah ada masa dimana keindonesiaan berhadapan secara frontal dengan arus globalisasi pengetahuan dan gaya, masuknya arsitek asing. Dan bila kita menilik sekarang globalisasi ini sudah menjadi bagian dari urat nadi kehidupan akademis, dan profesional: adakah cara untuk melihat dan mensikapi paradigma standardisasi, globalisasi, bahkan juga teknologi informasi baik itu dalam dunia perofesi dan pendidikan? ataukah ini akan dibiarkan menjadi homogenisasi tradisi arsitektur bentuk lain yang mutakhir?

Anda mungkin juga menyukai