Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

Profil

Adhi Moershid lahir di Bogor pada tahun


1937, beliau menghabiskan masa kecilnya di Solo
dan Yogyakarta. Menempuh pendidikan pada
tahun 1958 1959 mengambil jurusan Farmasi di
UGM, dan setelah itu melanjutkan pendidikan di
Institut Teknologi Bandung (ITB) mengambil
jurusan asitektur. Setelah selesai menempuh
studinya di ITB beliau lantas mendirikan Biro
Arsitek Atelier Enam (1968). Awal mulainya beliau mencintai dunia arsitektur tidak diketahui
pasti, Namun menurutnya, saat usia beliau enam tahun ketika Indonesia belum merdeka, hal
paling di sukai adalah membaca majalah berjudul Maak Het Zelf, majalah berbahasa Belanda
yang berarti buatlah sendiri. Tak jauh berbeda dengan publikasi cetak dan elektronik bertema
Do It Yourself saat ini, majalah Belanda tersebut berisi artikel seputar langkah-langkah
membuat sendiri benda-benda sehari-hari mulai dari furnitur hingga pernak-pernik dekorasi.
Ketika salah seorang meneer yang bertetangga dengan Adhi kembali ke negeri Belanda tahun
1956, ia meninggalkan seperangkat alat pertukangan lengkap untuknya. Kemudian dari sana
beliau bertekad untuk membuat Rumahnya sendiri.

Pada masa perkuliahan di Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung yang dijalaninya
selama sembilan tahun dilakukannya sambil bekerja, beliau membiayai uang perkuliahannya
dengan hasil kerjanya sendiri.

Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)


Pada tahun 1964 beliau mendapat kesempatan untuk duduk di tim 1 perencanaan
pembangunan venue CONEFO (Conference of New Emerging Forces) yang kini menjadi
kompleks MPR-DPR. Karakter bangunan-bangunan karya Adhi Moersid ditandai dengan konsep
yang mengakar pada budaya setempat serta fisika bangunan yang disesuaikan pada iklim tropis
Indonesia.

Tahun 1964 Adhi Moersid, bersama Darmawan Prawirohardjo, Robi Sularto, N.


Siddhartha, Iman Sunario, dan Yuswadi Saliya ditugasi di tim I perencanaan proyek CONEFO
(Conference of the New Energing Forces). kemudian mereka mendirikan Biro Arsitek Atelier
Enam (1968). Di tahun 1968 Adhi Moersid terjun menjadi arsitek dengan terlebih dahulu melalui
magang. Pada tahun 1970 beliau berprofesi menjadi dosen di IKJ dan jurusan sekarang
Arkeologi Fakultas Sastra UI, menjadi dosen tamu di berbagai jurusan arsitektur dan organisasi.
dan di tahun 1977 menjadi bagian dari tim pendiri ARCASIA (Architects Regional Council
Asia), dilanjutkan dengan menjadi signatory konstitusi ARCASIA tahun 1979. Tidak hanya
sampai disana banyak prestasi-prestasi, penghargaan serta jabatan yang diraih Adhi Moersid
yaitu 19851989 ketua Ikatan Arsitek Indonesia , 1986 mendapat Aga Khan Award for
Architecture untuk Masjid Said Naum, 198789 menjadi Deputy Chairman ARCASIA. 1995
1998 menjabat sebagai Steering Committee Aga Khan Award for Architecture. 20102013
setelah menduduki berbagai jabatan di organisasi profesi arsitek IAI, saat ini tengah menjabat
menjadi Ketua Dewan Kehormatan Nasional IAI

Salah satu rancangannya yang menarik adalah Gedung PBNU di Jakarta. Tapi yang
paling berkesan adalah Masjid Said Naum yang dibangun pada 1975. Adhi menyisipkan
arsitektur tradisional Jawa, yang dikemas dalam sebuah bentuk yang modern. Rancangan ini
kemudian memenangkan kompetisi yang diadakan Pemda DKI (1975), yang dianggap
merepresentasikan karakter arsitektur tradisional, cocok dengan lingkungan sekitar, dan
menggunakan material lokal. Atas alasan itu pula bangunan masjid yang selesai
pembangunannya pada 1977 ini mendapatkan penghargaan Honourable Mention dari Aga Khan
Award for Architecture pada 1986.

Masjid Said Naum

Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)


Gambar 1 : Tampak Depan

Masjid Said Naum yang terletak di dalam area kepadatan tinggi di Kebon Kacang,
Jakarta. sangat berhasil dalam upaya menghadirkan kosa bentuk masjid tradisional Jawa ke
dalam ungkapan-ungkapan modern. Salah satu landasan perancangannya adalah keyakinan
bahwa Islam merupakan ajaran atau ideologi yang ke mana pun ia datang tidak secara langsung
membawa atau memberikan bentuk budaya berupa fisik. Di mana pun Islam datang, ia siap
memakai berbagai bentuk lokal/tradisional untuk dijadikan identitas fisiknya. Dari sini kita
menemukan banyak bangunan-bangunan tradisional yang dengan mudah dapat berubah
fungsinya menjadi masjid di berbagai masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Menurutnya
arsitektur Islam dapat juga dinyatakan sebagai manifestasi fisik dari adaptasi yang harmonis
antara ajaran Islam dengan bentuk-bentuk lokal. Oleh karena itu, Arsitektur Islam bisa amat kaya
akan ragam dan jenisnya sebagaimana yang diungkapkan arsitek Muslim Turki Dogan Kuban
bahwa tidak ada homogenitas dan kesatuan dalam bentuk dari apa yang disebut Arsitektur Islam.
Konsep inilah yang dipakai sang arsitek sebagai fokus sentral dalam mendesain masjid
bernuansa modern di atas tanah wakaf warga keturunan Mesir bernama Said Naum.

Penampilan masjid didominasi atap yang mencoba menggubah kembali atap tumpang
atau meru tradisional yang sering ditampilkan dalam bangunan sakral di Jawa atau Bali, ke
dalam perwujudan baru. Berbeda pada bangunan tradisional, bagian atas diputar 90 derajat dari

Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)


bentuk massa bangunan masjidnya. Hal ini jelas memperlihatkan usaha menarik dalam
menampilkan gagasan baru untuk merevitalisasi bentuk atap lokal/tradisional tersebut.

Gambar 2 : Konsep atap pada masjid dengan perpaduan atap tradisional Jawa dan Bali

Gambar 3 : Tranformasi atap pada masjid dengan perpaduan atap tradisional Jawa dan Bali

Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)


Sementara pada bagian atas didalamnya terlihat balok-balok struktur rangka atap yang
menjadi `self bearing structure` dari sistem struktur atap tradisional yang sengaja diekspose.
Sehingga memberikan kesan alami dan luas pada bangunan.

Gambar 4 : Balok balok pada langit langit di dalam masjid Said Naum memnggunakan prinsip
komposisi memusat.

Bentuk atap tersebut sekaligus memperlihatkan kesamaan profil dengan tipe atap
tumpang dengan saka guru. Biasanya ada empat saka guru di tengah ruang shalat untuk
menyangga atap kedua maupun ketiganya. Namun, empat saka guru tersebut di dalam rancangan
ini dihilangkan agar didapat pandangan secara jelas ke arah mihrab dan tersedia ruang tempat
shalat dengan bebas.

Konsekuensi penghilangan kolom-kolom saka guru di tengah-tengah ruangan tersebut


adalah diperlukannya struktur bentang cukup lebar. Pilihan struktur rangka baja telah dipakai
untuk menggantikan struktur kayu yang biasa pada masjid tradisional. Namun yang sangat
menarik di sini adalah dikembangkannya kembali konsep sistem atap lama pada struktur rangka
atap yang rigid sebagai self bearing structure untuk menutup ruang dengan bentang lebar. Desain
ini dengan jelas memeragakan pemanfaatan teknologi yang diadaptasikan dengan tradisi lokal.
lampu di tengah langit-langit atap sangat serasi dengan geometri yang memberikan cahaya

Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)


iluminasi. Efek pencahayaan ini memberikan kenyamanan sangat bagi setiap pengguna ketika
berada di dalam masjid.

Gambar 5 : Lampu di tengah - tengah langit langit atap

Sementara itu masjid yang bentuk denahnya segi empat simetris ini menonjolkan
kenyamanan ruangnya dengan Pencahayaan alami dan penghawaan alami yang sangat
ditekankan pada desain masjid, terlihat beberapa bukaan di semua sisi dindingnya sehingga
tercapai penghawaan silang dengan baik. Di setiap sisi dinding masjid terdapat lima jendela kayu
lengkung yang lebar dengan beberapa di antaranya dipakai sebagai pintu. Uniknya bukaan-
bukaan ini tidak menggunakan daun jendela/pintu tetapi deretan kayu berukir/berulir berjarak
tertentu dengan arah vertikal yang mengisi luas jendela tersebut. Model jendela seperti ini
mengingatkan pada rumah-rumah tradisional Betawi maupun masjid-masjid lama di Jakarta yang
dibangun sejak abad ke-18. yang menembus masuk ke dalam ruang shalat memberi suasana
kenyamanan bagi setiap penggunanya.

Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)


Gambar 6 : Pola sirkulasi, pencahayaan alami dan bukaan pada masjid Said Naum

Gambar 7 : Cahaya yang masuk ke dalam masjid dan pintu yang lebar pada masjid Said Naum

Area di luar bangunan dirancang dengan berbagai level dengan tanaman berbeda pada
masing-masing tempat. Pepohonan di sekeliling batas dan sebagai pengisi antarbaris paving
lantai menyediakan bayangan dan atmosfer yang relatif sejuk yang mengalir secara silang ke
dalam bangunan. Tata letak bangunan dan penataan lanskap tersebut jelas hendak menjadikan

Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)


area yang tenang, sejuk, dan damai bagai oase di tengah hiruk-pikuk area urban Kota Jakarta. Ini
menunjukkan desain bangunan yang sangat adaptif dengan iklim local.

Gambar 8 : Area luar pada masjid Said Naum

Gambar 7 : Penaatan Landscape yang jelas yang menjadikan area tenah dan sejuk

Masjid Madinat Al Umran ( Masjid Akbar Kemayoran)

Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)


Masjid Akbar Kemayoran atau Masjid Madinat Al-Umran, dirancang untuk
mewadahi beragam kegiatan , selain ibadah digunakan juga untuk mewadahi program
studi tentang Islam. Dibangun pada tahun 1987, dima klieannya ialah Yayasan
Paramadina.

Dibangun di atas lahan seluas 10 ribu m2, dengan luas total bangunan 4892,27
m2. Bangunan kompleks masjid terdiri dari gedung utama, fasilitas pendidikan, fasilitas
sosial kemasyarakatan-manajemen, fasilitas mekanikal elektrikal dan fasilitas pelayanan.

Bangunan berkonstruksi beton menggunakan lantai marmer Tulung Agung dan


keramik, dinding dicat dan dilapis marmer, dinding luar dicat menggunakan dinding
dekoratif berbahan GRC serta batu Pacitan.

Atap limasan yang menjadi ciri bangunan lokal digunakan kembali. Limasan
struktur beton berlapis mozaik keramik yang menutupi ruang kegiatan utama sengaja
diterapkan sebagai aksen mahkota dari masjid ini. Selebihnya ia adalah Masjid Akbar
yang besar, tapi bersahaja.

Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)


Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)
Arsitektur Indonesia Profil Arsitek (Adhie Morshied)

Anda mungkin juga menyukai