Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dibahas dan dijabarkan berturut-turut mengenai latar
belakang dari judul yang diangkat oleh penulis, masalah yang muncul dari judul
yang telah diangkat, tujuan dari pembahasan masalah, dan manfaatnya bagi
mahasiswa dan kampus, serta sistematika penulisan dari makalah ini.

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya dengan hasil rempah-
rempah. Hal ini rupanya menjadi daya tarik tersendiri bagi bangsa-bangsa di Eropa
terlebih lagi bangsa Belanda. Belanda yang saat itu tidak bisa lagi menjajah spanyol
yang sudah dikuasai oleh Portugis mulai berkelana ke dunia timur yaitu Indonesia.
Dalam perjalanannya mengumpulkan rempah rempah dari bangsa Indonesia bangsa
Belanda berbaur dengan masyarakat lokal yang menyebabkan terjadinya akulturasi
budaya antara belanda dan Indonesia salah satunya di bidang arsitektur yang
memeberikan corak berbeda terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia. Istilah
dalam penyebutan akulturasi dalam bidang arsitektur ini adalah arsitektur kolonial.
Awal masuknya bangsa Belanda ke Indonesia adalah melalui pelabuhan
sehingga banyak arsitektur kolonial yang berkembang di sekitar pesisir pantai
dalam bentuk arsitektur Benteng Fort seperti Benteng Fort Rotterdam yang ada di
Ujung Pandang yang berada di pesisir pantai sebelah barat Makassar. Arsitektur
Benteng Fort yang dalam hal ini merujuk pada bangunan-bangunan vernakular
Belanda yang di dalam Benteng Fort yang berfungsi sebagai penjagaan saat itu.
Jenis bangunan yang sama juga ditemui di kota Singaraja, kabupaten
Buleleng, Bali yang lokasinya dekat dengan pesisir pantai di mana kolonialisme
menyelimuti sejarah arsitektur di kota ini. Salah satu yang tersisa adalah dalam
bentuk bangunan pendidikan yang kini menjadi salah satu bangunan di lingkungan
SMA N 1 Singaraja. SMA N 1 Singaraja merupakan salah satu dari beberapa
sekolah yang terdapat di kabupaten buleleng yang memiliki cerita sejarah panjang
pada jaman penjajahan Belanda yang dulu bernama Hogere Middelbare School
(HMS) te Singaraja, Bali yang artinya adalah Sekolah Menengah Atas, Singaraja,
Bali. Bangunan sekolah ini dibangun tahun 1914 ketika Belanda sedang gencar-

Arsitektur Indonesia
1
gencarnya membangun bangunan pendidikan ketika itu. Selain HMS, ada juga HIS,
Tweede Klasse School, dan Holandsch Chineesche School yang dibangun
beriringan tahun itu.
Berdasarkan hubungan bentuk dan jenis bangunan yang terdapat diantara
bangunan yang ada di dalam Benteng Fort Rotterdam dengan bangunan di SMA N
1 Singaraja, penulis akan mengangkat sebuah judul yaitu Komparasi Arsitektur
Vernakular Belanda antara Benteng Fort Rotterdam dan Bangunan SMA N 1
Singaraja

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan judul yang diangkat pada latar belakang di atas, muncul
beberapa masalah yang akan dibahas selanjutnya. Masalah tersebut antara lain,
sebagai berikut:
1. Bagaimana arsitektur Belanda yang ada pada bangunan di Benteng Fort
Rotterdam di Ujung Pandang?
2. Bagaimana komparasi arsitektur vernakular Belanda yang ada pada
bangunan SMA N 1 Singaraja dan bangunan Benteng Fort Rotterdam di
Ujung Pandang?
3. Apa peran keduanya bagi perkembangan bangsa Indonesia khususnya di
bidang arsitektur?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan berdasarkan rumusan masalah di atas adalah, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui komparasi arsitektur vernakular Belanda yang ada pada
bangunan di dalam Benteng Fort Rotterdam di Ujung Pandang dan
bangunan di SMA N 1 Singaraja.
2. Untuk mengetahui peran keduanya bagi perkembangan bangsa Indonesia di
bidang arsitektur khusunya.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mahasiswa

Arsitektur Indonesia
2
Mahasiswa dapat menambah wawasan mengenai arsitektur
vernakular Belanda yakni pada Benteng Fort Rotterdam dan bangunan SMA
N 1 Singaraja. Selain itu, mahasiswa dapat mengetahui Peran yang
ditimbulkan bagi perkembangan arsitektur di Indonesia.
2. Untuk Kampus
Kampus dapat menjalankan tugasnya dalam mengamalkan Tri
Dharma Perguruan Tinggi (Pembelajaran, Penelitian, dan Pengabdian
Masyarakat). Selain itu, kampus dapat menambah sarana pembelajaran bagi
mahasiswa atau sebagai pembanding dalam pelaksanaan mata kuliah lain.

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah arsitektur
Indonesia yang berjudul Komparasi Arsitektur Vernakular Belanda antara
Benteng Fort Rotterdam dan Bangunan SMA N 1 Singaraja ini adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini mengemukakan tentang latar belakang,
rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sitematika penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan teori yang akan digunakan untuk
melakukan pembahasan di bab IV. Tinjauan yang dimaksud yaitu
mengenai definisi dan pengertian Arsitektur Kolonial, definisi dan
pengertian Arsitektur Vernakular Belanda, Perkembangan Arsitektur
Kolonial di Indonesia, Periodisasi Arsitektur Kolonial di Indoesia, dan
Langgam Arsitektur yang Mempengaruhi Arsitektur Kolonial di
Indonesia.

BAB III TINJAUAN OBJEK


Dalam bab ini secara khusus menguraikan tentang objek yang
dibahas yaitu bangunan yang ada di dalam Benteng Fort Rotterdam dan
bangunan SMA N 1 Singaraja. Hal yang dibahas adalah letak / lokasi
objek, sejarah berdiri, dan fungsi.

Arsitektur Indonesia
3
BAB IV PEMBAHASAN
Di bagian pembahasan akan diuraikan analisa mengenai elemen-
elemen arsitektur vernakular Belanda yang terdapat pada bangunan di
dalam Benteng Fort Rotterdam dan bangunan SMA N 1 Singaraja dan
dikaitkan dengan Peran bagi perkembangan arsitektur di Indonesia.

BAB V PENUTUP
Pada bagian penutup terdapat kesimpulan dari pembahasan dan
juga saran- saran sebagai usaha dalam mengembangkan makalah dan
pembacanya.

Arsitektur Indonesia
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas mengenai tinjauan pustaka mengenai definisi dan
pengertian Arsitektur Kolonial, Definisi dan Pengertian Arsitektur Vernakular
Belanda, perkembangan Arsitektur Kolonial di Indonesia, periodisasi Arsitektur
Kolonial di Indonesia dan aliran yang mempengaruhi perkembangan Arsitektur
Kolonial di Indonesia yang di dapat dari berbagai literatur, baik buku maupun
internet.

2.1 Definisi dan Pengertian Arsitektur Kolonial


Menurut wikipedia, arsitektur Kolonial adalah gaya yang berkembang di
beberapa negara di Eropa dan Amerika. Sedangkan, Arsitektur Kolonial Belanda
adalah langgam yang muncul di Netherland pada tahun 1624-1820. Arsitektur
kolonial lebih banyak mengadopsi langgam neo-klasik yakni langgam yang
berorientasi pada langgam arsitektur klasik Yunani dan Romawi, sebagai akibat
adanya rasa bosan dan jenuh terhadap langgam yang berkembang saat itu. Langgam
neo-klasik merupakan langgam arsitektur yang memiliki beberapa ciri ciri
diantaranya garis-garis bersih, elegan, penampilan yang rapi (uncluttered); simetris;
kolom-kolom yang berdiri bebas

Gambar 2.1 Bangunan Neo-classic


Sumber: http://3.bp.blogspot.com/

Langgam neo-klasik sering disebut dengan Empire Style seiring dengan


kemunculan langgam arsitektur ini di Perancis. Langgam Empire Style mulai

Arsitektur Indonesia
5
diperkenalkan di Indonesia oleh seorang Gubernur Jendral Herman Willen
Daendels yang menjalankan tugas di Hindia Belanda dengan nama Indische Empire
Style (tahun 1800-an sampai tahun 1902)
Arsitektur kolonial yang ada di Indonesia merupakan arsitektur yang
berkembang selama masa kolonial, ketika Indonesia menjadi negara jajahan bangsa
Belanda pada tahun 1600-1942 yaitu 350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia.
Arsitektur kolonial menyiratkan adanya akulturasi diiringi oleh proses adaptasi
antara dua bangsa berbeda. Proses adaptasi yang dialami oleh dua bangsa terbentuk
dengan apa yang dinamakan arsitektur kolonial.
Arsitektur kolonial mencakup penyelesaian masalah-masalah yang
berhubungan dengan perbedaan iklim, ketersediaan material, cara membangun,
ketersediaan tenaga kerja, dan seni budaya yang terkait dengan estetika. Ditinjau
dari proses akulturasi yang terjadi, terdapat dua faktor yang mempengaruhi
terbentuknya arsitektur kolonial Belanda, yaitu faktor budaya setempat dan faktor
budaya asing Eropa atau Belanda. Arsitektur kolonial Belanda merupakan
bangunan peninggalan pemerintah Belanda dan bagian kebudayaan bangsa
Indonesia yang merupakan aset besar dalam perjalanan sejarah bangsa.

2.2 Definisi dan Pengertian Arsitektur Vernakular Belanda (Amsterdam)


Arsitektur vernakular Belanda (dutch) adalah arsitektur yang lahir dan
terbentuk sesuai dengan kebudayaan setempat yaitu di Belanda. Arsitektur
vernakular Belanda juga dipengaruhi oleh Arsitektur Renaisans Italia, terutama
karakteristik visual seperti pilar, pilasters, pediments, dan rustication diadopsi,
karena banyak arsitek Belanda tidak mampu membaca pembuktian teoritis, yang
sering ditulis di Italia atau Latin. Garis horizontal yang ditekankan, kontras dengan
penekanan vertikal arsitektur Gothic. Misalnya, terang band tertanam ke dalam
fasad untuk menekankan karakter ini horisontal. Aplikasi umum lain arsitektur
Renaisans Belanda, khususnya di Amsterdam, adalah gable, yang dimaksudkan
sebagai akhir dari atap pelana di belakang garis lurus fasad.

Arsitektur Indonesia
6
Gambar 2.2 Bangunan
vernakular Belanda di
Amsterdam
Sumber: via google image

Gambar 2.3 Arsitektur vernakular Belanda


Di Amsterdam
Sumber: via google image

Gambar 2.4 Arsitektur vernakular Belanda


Di Belanda
Sumber: via google image

Ciri-ciri dari arsitektur vernakular Belanda menurut Antique Home (2010),


antara lain:
1. Tinggi bangunan pada umumnya satu sampai dua lantai, dan
beberapa ada yang menggunakan satu setengah lantai, di mana lantai
paling atas digunakan sebagai loteng

Arsitektur Indonesia
7
2. Dinding rumah ada yang terbuat dari sirap, batu bata (kemudian
ditempeli dengan batu alam)
3. Bentuk fasad simetris
4. Terdapat cerobong asap
5. Terdapat gable yang mengakhiri atap (atap pelana)
6. Kolom-kolom berbentuk dasar persegi, umumnya tanpa ornamen
dan diperlihatkan berjajar pada fasad bangunan
7. Terdapat beranda atau ruang transisi sebelum masuk ke dalam
bangunan
8. Tidak terdapat overstek pada atap bangunan
9. Penggunaan dormer, tower
Karakter yang digunakan pada arsitektur vernakular Belanda yang lain adalah
penggunaan warna-warna hangat seperti jeruk merah, krem, putih , dan hitam.
Selain itu, bukaan didominasi bentuk persegi panjang.

2.3 Perkembangan Arsitektur Kolonial di Indonesia


Menurut Sumintardja (1978) di Indonesia, Arsitektur kolonial sendiri
merupakan sebutan singkat untuk langgam arsitektur yang berkembang selama
masa pendudukan Belanda di tanah air.
Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya
Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan
diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang tinggal di Indonesia pada masa sebelum
kemerdekaan (Safeyah, 2006).
Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya Eropa
kedaerah jajahannya. Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang
dikembangkan di Indonesia, selama Indonesia masih dalam kekuasaan Belanda
sekitar awal abad 16 sampai tahun 1942 (Soekiman,2011 )
Masuknya unsur Eropa ke dalam komposisi kependudukan menambah
kekayaan ragam arsitektur di nusantara. Seiring berkembangnya peran dan kuasa,
kamp-kamp Eropa semakin dominan dan permanen hingga akhirnya berhasil
berekspansi dan mendatangkan tipologi baru. Semangat modernisasi dan
globalisasi (khususnya pada abad ke-18 dan ke-19) memperkenalkan bangunan

Arsitektur Indonesia
8
modern seperti administrasi pemerintah kolonial, rumah sakit, sekolah atau fasilitas
militer. Bangunan bangunan inilah yang disebut dikenal dengan bangunan
kolonial.
Kolonialisme di Indonesia dan bangsa Belanda dimulai ketika ekspedisi
Cornelis de Houtman berlabuh di pantai utara Jawa guna mencari rempah-rempah.
Pada perkembangan selanjutnya terjadi hubungan dagang antara bangsa Indonesia
dengan orang-orang Belanda. Hubungan perdagangan tersebut lambat laun berubah
drastis menjadi hubungan antara penjajah dan terjajah, terutama setelah
didirikannya VOC. Penjajahan Belanda berlangsung sampai tahun 1942, meskipun
sempat diselingi oleh Inggris selama lima tahun yaitu antara 1811-1816. Selama
kurang lebih 350 tahun bangsa Belanda telah memberi pengaruh yang cukup besar
terhadap kebudayaan Indonesia. Mereka membangun rumah dan pemukimannya di
beberapa kota di Indonesia yang biasanya terletak dekat dengan pelabuhan. Dinding
rumah mereka terbuat dari kayu dan papan dengan penutup atap ijuk. Namun karena
sering terjadi konflik mulailah dibangun Benteng Fort. Hampir di setiap kota besar
di Indonesia. Dalam Benteng Fort tersebut, mulailah bangsa Eropa membangun
beberapa bangunan dari bahan batu bata. Batu bata dan para tukang didatangkan
dari negara Eropa. Mereka membangun banyak rumah, gereja dan bangunan-
bangunan umum lainnya dengan bentuk tata kota dan arsitektur yang sama persis
dengan negara asal mereka.. Setelah memiliki pengalaman yang cukup dalam
membangun rumah dan bangunan di daerah tropis lembab, maka mereka mulai
memodifikasi bangunan mereka dengan bentuk-bentuk yang lebih tepat dan dapat
meningkatkan kenyamanan di dalam bangunan.

2.4 Periodisasi Arsitektur Kolonial di Indonesia


Helen Jessup dalam Handinoto (1996: 129-130) membagi periodisasi
perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke 16 sampai
tahun 1940-an menjadi empat bagian, yaitu:
1. Abad 16 sampai tahun 1800-an
Arsitektur Kolonial Belanda selama periode ini cenderung masih
bergaya vernakular Belanda dimana bentuknya cenderung panjang dan
sempit, atap curam dan dinding depan bertingkat bergaya Belanda di ujung

Arsitektur Indonesia
9
teras. Bangunan ini tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas,
atau tidak beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat. Contohnya
adalah Fort Rotterdam yang dibangun ulang oleh Gubernur Jendral
Speelman dengan gaya vernakular Belanda pada abad ke-16.

Gambar 2.5 Fort Rotterdam


Mengadopsi Arsitektur Vernakular
Belanda
Sumber: via google image

2. Tahun 1800-an sampai tahun 1902


Ketika itu, pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari
perusahaan dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada
tahun 1811-1815. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh
Belanda. Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat
kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-
19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan
membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan
gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik
yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu
itu.

Gambar 2.6 Gedung Grahadi di Surabaya yang


Mengadopsi Gaya Neo-Klasik
Sumber: via google image

Arsitektur Indonesia
10
Menurut Risa (2014), bangunan dengan gaya arsitektur Neo Klasik
memiliki karakter seperti:
I. Denah simetris dengan satu lantai, terbuka, pilar di serambi depan
dan belakang dan didalamnya terdapat serambi tengah yang
mejuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lainnya.
II. Pilar menjulang ke atas (gaya Yunani atau Romawi) dan terdapat
gevel atau mahkota di atas serambi depan dan belakang.

Gambar 2.7 Pilar bergaya Yunani


Sumber: via google image

Gambar 2.8 Pilar bergaya Romawi


Sumber: via google image

III. Menggunakan atap perisai.

3. Tahun 1902 sampai tahun 1920-an


Secara umum, ciri dan karakter arsitektur kolonial di Indonesia pada
tahun 1900-1920-an :

Arsitektur Indonesia
11
I. Menggunakan Gevel (gable) pada tampak depan bangunan
Bentuk gable sangat bervariasi seperti curvilinear gable, stepped
gable, gambrel gable, pediment (dengan entablure).

Gambar 2.9 Variasi Bentuk Gevel


Sumber: via google image

II. Penggunaan Tower pada bangunan. Bentuk tower bermacam-


macam, ada yang bulat, segiempat ramping, dan ada yang
dikombinasikan dengan gevel depan.

Gambar 2.10 Tower pada Museum Fatahillah


Sumber: dokumen pribadi

III. Penggunaaan Dormer pada bangunan. Domer merupakan bukaan


yang terdapat pada bagian atap dari sebuah bangunan. Biasanya
bukaan ini memiliki atap berbentuk pelana.

Arsitektur Indonesia
12
Gambar 2.11 Variasi Bentuk Dormer
Sumber: via google image

IV. Penyesuaian bangunan terhadap iklim tropis basah


Ventilasi yang jumlahnya cukup banyak, berbentuk lebar
dan tinggi
Membuat Galen atau serambi sepanjang bangunan
sebagai antisipasi dari hujan dan sinar matahari.

4. Tahun 1920 sampai tahun 1940-an


Pada periode ini terjadi gerakan pembaharuan dalam arsitektur baik di
tingkat nasional maupun internasional. Hal ini mempengaruhi arsitektur
kolonial Belanda di Indonesia. Pada awal abad 20, arsitek-arsitek yang baru
datang dari negeri Belanda memunculkan pendekatan untuk rancangan
arsitektur di Hindia Belanda. Aliran baru ini, semula masih memegang
unsur-unsur mendasar bentuk klasik, memasukkan unsur-unsur yang
terutama dirancang untuk mengantisipasi matahari hujan lebat tropik.
Selain unsur-unsur arsitektur tropis, juga memasukkan unsur-unsur
arsitektur tradisional Indonesia sehingga menjadi konsep yang eklektis.
Contohnya adalah Gereja Pohsarang di Kediri, Jawa Timur dan kampus
ITB.

Arsitektur Indonesia
13
Gambar 2.12 Gereja Pohsarang di Kediri merupakan
Penginggalan Belanda
Sumber: via google image

Gambar 2.13 Beberapa Bangunan di Kampus ITB


merupakan Penginggalan Belanda
Sumber: via google image

2.5 Aliran yang Mempengaruhi Perkembangan Arsitektur Kolonial di


Indonesia
1. Gaya Neo Klasik
Denah simetris penuh dengan satu lanmtai atas dan ditutup dengan
atap perisai.
Tembok yang tebal
Langit langit yang tinggi pada ruang
Lantainya dari marmer

Arsitektur Indonesia
14
Beranda depan dan belakang sangat luas dan terbuka
Diujung beranda terdapat barisan pilar atau kolom bergaya Yunani
Pilar menjulang ke atas sebagai pendukung atap
Terdapat gevel dan mahkota diatas beranda depan dan belakang
Terdapat central room yang berhubungan langsung dengan beranda
depan dan belakang, kiri kananya terdapat kamar tidur
Daerah servis dibagian belakang dihubungkan dengan rumah induk
oleh galeri. Beranda belakang sebagai ruang makan
Terletak ditanah luas dengan kebun di depan, samping dan belakang

2. Penyesuaian Bentuk Vernacular Belanda dan Terhadap Iklim Tropis


Penggunaan gevel(gable) pada tampak depan bangunan
Penggunaan tower pada bangunan
Penggunaan dormer pada bangunan
Denah tipis bentuk bangunan ramping, banyak bukaan untuk aliran
udara memudahkan cross ventilasi yang diperlukan iklim tropis basah
Galen sepanjang bangunan untuk menghindari tampias hujandan sinar
matahari langsung
Layout bangunan menghadap Utara Selatan dengan orientasi tepat
terhadap sinar matahari tropis Timur Barat

3. Gaya Neogothic
Denah tidak berbentuk salib tetapi berbentuk kotak
Tidak ada penyangga( flying buttress) karena atapnya tidak begitu
tinggi
Disebelah depan dari denahnya disisi kanan dan kiri terdapat tangga
yang dipakai untuk naik ke lantai dua yang tidak penuh
Terdapat dua tower ( menara ) pada tampak mukanya, dimana tangga
tersebut ditempatkan dengan konstruksi rangka khas gothic
Jendela kacanya berbentuk busur lancip

Arsitektur Indonesia
15
Plafond pada langit-langit berbentuk lekukan khas gothic yang terbuat
dari besi

4. Nieuwe Bouwen / International Style


Atap datar
Gevel horizontal
Volume bangunan berbentuk kubus
Berwarna putih
Nieuwe Bouwen / International Style di Hindia Belanda mempunyai dua
aliran utama yaitu;
a. Nieuwe Za kelijkheid
Mencoba mencari keseimbangan terhadap garis dan
massa. Bentuk-bentuk asimetris void saling tindih
b. Ekspresionistik
Wujud curvilinie

5. Art Deco
Gaya yang ditampilkan berkesan mewandan menimbulkan rasa
romantisme
Pemakaian bahan bahan dasar yang langka serta material yang
mahal
Bentuk massif
Atap datar
Perletakan asimetris dari bentukan geometris
Dominasi garis lengkung plastis

Arsitektur Indonesia
16
BAB III
GAMBARAN OBJEK

Pada bab ini akan diulas mengenai tinjauan objek yang akan dibahas yaitu
Benteng Fort Rotterdam dan SMA N 1 Singaraja. Substansi yang akan diulas adalah
mengenai lokasi, fungsi, dan arsitekturnya.
3.1 Benteng Fort Rotterdam
1. Lokasi

Arsitektur Indonesia
17
Lokasi Benteng Fort Rotterdam: Jl. Ujung Pandang, Bulogading, Kota
Makassar, Sulawesi Selatan

2. Sejarah Benteng Fort Rotterdam

Gambar 3.1 Benteng Fort Rotterdam, Sulawesi Selatan


Sumber: via google image

Arsitektur Indonesia
18
Lokasi : Jl. Ujung Pandang, Bulogading, Kota Makassar,
Sulawesi Selatan
Tahun dibangun : 1545
Dibangun oleh : Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung (Raja
Gowa X)
Fungsi : Benteng Pertahanan
Dibangun ulang : 1667 oleh Gubernur Jenderal Speelman (Belanda)

3.2 SMA N 1 Singaraja


1. Lokasi

Arsitektur Indonesia
19
Lokasi Benteng Fort Rotterdam: Jl. Pramuka No.4 Singaraja,
Buleleng, Bali.

2. Sejarah

Gambar 3.2 SMA N 1 Singaraja


Sumber: dokumentasi pribadi

Lokasi : Jl. Pramuka No.4 Singaraja, Buleleng, Bali.


Tahun dibangun : 1914
Dibangun oleh : Pemerintah Kolonial Belanda
Fungsi : Bangunan Pendidikan
Nama awal : Hogere Middelbare School (HMS)

Arsitektur Indonesia
20
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai perbandingan antara Arsitektur


Vernakular Belanda yang ada di Benteng Fort Rotterdam dan SMA N 1 Singaraja
yang akan diintegrasikan dengan peran keduanya bagi perkembangan Arsitektur di
Indonesia.

4.1 Arsitektur Vernakular Belanda di dalam Benteng Fort Rotterdam

Gambar 4.1 Benteng Rotterdam Jaman Dulu


Sumber: via google image

Benteng Fort Rotterdam adalah salah satu benteng yang megah dan menawan
yang terdapat di Makasar, Sulawesi Selatan. Pada awalnya, benteng ini disebut
sebagai benteng Jumpandang atau Ujung Pandang. Benteng ini merupakan
peninggalan sejarah Kesultanan Gowa, Kesultanan ini pernah Berjaya sekitar abad
ke-17 dengan ibu kota Makassar.
Benteng Fort Rotterdam adalah benteng paling megah dan keasliannya masih
terpelihara hingga kini. Benteng Fort Rotterdam dibangun oleh Raja Gowa ke X
yang bernama Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung atau Karaeng
Tunipalangga Ulaweng pada tahun 1545 M.
Pada awalnya bentuk benteng ini adalah segi empat, seperti halnya arsitektur
benteng gaya Portugis. Benteng Fort Rotterdam terbuar dari campuran batu dan dan
tanah liat yang dibakar hingga kering. Pada tanggal 9 Agustus 1634, Sultan Gowa
ke XIV membuat diinding tembok dengan batu padas hitam yang berasal dari

Arsitektur Indonesia
21
daerah Maros. Kemudian, dinding tembok kedua dekat pintu gerbang dibangun
pada tanggal 23 Juni 1635.
Pada tahun 1655 hingga 1669 benteng ini sempat hancur karena armada
perang Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Admiral Cornelis Janszoon
Speelman menyerang Kesultanan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin.
Akhirnya sebagian benteng hancur setelah diserang selama satu tahun. Akhirnya,
Sultan Gowa dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18
November 1667. Kemudian, Gubernur Jendral Speelman membangun kembali
benteng yang hancur dengan model arsitektur Belanda. Benteng tersebut kemduian
dinamakan Fort Rotterdam, yang merupakan nama tempat kelahiran Speelman.

1. Fungsi Bangunan
Pada masa Kolonial Belanda, Benteng Ujung Pandang dibangun
kembali dan ditata sesuai dengan arsitektur Belanda. Pada saat itu, benteng
dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan penampungan rempah-rempah
Belanda di Indonesia.

Pada masa kolonial Jepang, benteng ini beralih fungsi menjadi pusat
studi pertanian dan bahasa. Sementara setelah Indonesia merdeka, benteng
ini dijadikan sebagai pusat komando yang kemudian beralih fungsi menjadi
pusat kebudayaan dan seni Makassar.
Benteng ini amat mudah dikenali mengingat bangunannya yang
sangat mencolok dibandingkan dengan gedung perkantoran ataupun rumah
disekitarnya. Memasuki pintu utama benteng ini, nuansa kejayaan masa
lalu terekam jelas melalui dinding benteng yang masih kokoh.
Sebagai pusat kebudayaan dan seni, saat ini dalam kompleks benteng
terdapat Museum Nageri La Gilago yang menyimpan beragam koleksi
prasejarah, numismatik, keramik asing, sejarah hingga naskah serta
etnografi. Kebanyakan benda kebudayaan yang dipamerkan berasal dari
suku-suku di Sulawesi seperti suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.
Benteng Ujung Pandang memang memiliki keunikan tersendiri.
Sebagai bangunan sejarah, benteng ini merupakan bukti nyata kisah panjang
masa kolonialisme yang pernah ada di bumi nusantara. Selain itu, benteng
ini juga menjadi saksi bisu sejarah panjang kota Makassar.

Arsitektur Indonesia
22
Saat ini, Benteng Fort Rotterdam difungsikan sebagai museum
penyimpanan barang-barang pada masa kolonial Belanda. Barang-barang
yang disimpan di sini antara lain:
a. Koleksi nusantara
b. Koleksi keramik
c. Alat-alat Tradisional Perikanan dan Kelautan
d. Sepeda dan Bendi
e. Koleksi Peralatan Menempa Besi dan Hasilnya
f. Koleksi Peralatan Tenun Tradisonal
g. Alat Senjata

2. Arsitektur
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah
sebuah benteng bergaya Vernakular Belanda peninggalan Kerajaan Gowa-
Tallo dan Kolonial Belanda. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah
liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan
Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang
bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Saat ini bahan
konstruksi pada benteng Rotterdam telah menggunakan bahan bahan yang
digunakan pada bangunan saat ini seperti penggunaan batu bata dan semen
, dan penggunaan penutup atap genteng.

Gambar 4.2 Benteng


Rotterdam Setelah Beberapa
Kali Renovasi
Sumber: via google image

Karakteristik Arsitektur Vernakular Belanda yang diterapkan pada


pada benteng ini dapat dilihat dari beberapa elemen yang secara kasatmata
terpampang jelas pada fasad bangunan. Elemen-elemen tersebut antara lain:

Arsitektur Indonesia
23
a. Tinggi bangunan didominasi bangunan dua lantai
Bangunan-bangunan yang ada di Benteng Fort Rotterdam di
dominasi oleh bangunan dua lantai. Unsur ini tentunya diadopsi dari
bangunan Vernakular Belanda di mana tinggi bangunan di sana
rata-rata adalah satu setengah hingga dua lantai.

Gambar 4.3 Bangunan Benteng Fort Rotterdam di Dominasi


oleh Bangunan Dua Lantai
Sumber: via google image

b. Bentuk fasad simetris


Bentuk fasad yang simetris juga menandakan bahwa bangunan
di dalam Benteng Fort Rotterdam juga mengadopsi unsur bangunan
Vernakular Belanda. Walaupun unsur ini sebenarnya kurang kuat
jika berdiri sendiri tanpa unsur-unsur lainnya.

Gambar 4.4 Fasad Bangunan


Simetris
Sumber: via google image

c. Terdapat gable yang mengakhiri atap (atap pelana)


Bangunan Vernakular Belanda sangat khas dengan tembok
gable di mana gable ini biasanya mengkahiri atap pelana di kedua

Arsitektur Indonesia
24
sisinya. Unsur ini juga ditemukan di bangunan Benteng Fort
Rotterdam.

Gable yang
Mengakhiri
Atap Pelana

Gambar 4.5 Gable yang Mengakhiri Atap Pelana


Sumber: via google image

d. Tidak terdapat overstek pada atap bangunan


Keitka awal datang, Belanda membangun bangunan di Indonesia
dengan berpedoman pada bangunan-bangunan perumahan di
Belanda pada umumnya. Bangunan di sana rata-rata tidak memiliki
overstek. Unsur ini tentunya tidak cocok diterapkan di Indonesia
yang merupakan negara tropis.

Gambar 4.6 Tidak Ada Overstek di Sepanjang Atap


Bangunan Fort Rotterdam
Sumber: via google image
e. Penggunaan dormer, tower
Dormer adalah bukaan yang terdapat pada bagian atap dari sebuah
bangunan. Biasanya bukaan ini memiliki atap berbentuk pelana atu

Arsitektur Indonesia
25
bentuk lainnya. Unsur ini ditemukan pada bangunan di dalam
Benteng Fort Rotterdam, sehingga dapat dikatakan bahwa Benteng
Fort Rotterdam mengadopsi gaya Arsitektur Vernakular Belanda.

Gambar 4.7 Penggunan Dormer pada Bangunan benteng


Fort Rotterdam (Lingkaran Kuning)
Sumber: via google image

4.2 Arsitektur Vernakular Belanda pada Bangunan SMA N 1 Singaraja


SMAN 1 Singaraja yang berlokasi di Jl. Pramuka ini dahulunya
merupakan bangunan Hogere Middelbare School (HMS) yang dibangun tahun
1914. Nama SMAN 1 Singaraja sendiri mulai digunakan pada tanggal 1 November
1950 yang merupakan sekolah menengah atas yang pertama didirikan di Bali.
Bangunan ini berdiri ketika pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan ethisce
politiek yang ditandai dengan pembangunan pemerintahan lokal. Bangunan ini
dahulunya digunakan sebagai tempat belajar bagi masyarakat Bali-Nusa Tenggara
dengan tujuan untuk menciptakan pemimpin-pemimpin daerah.

Arsitektur Indonesia
26
1. Fungsi Bangunan

Gambar 4.8 SMA N 1 Singaraja (Dulunya Bernama Hogere


Middelbare School)
Sumber: dokumen pribadi
Pada awal dibangunnya dulu, SMA N 1 Singaraja bernama Hogere
Middelbare School (HMS) yang merupakan sekolah mengengah atas
pertama yang ada di Bali. SMA N 1 Singaraja yang dulu bernama Hogere
Middelbare School (HMS) berada di sempadan Kolonial yang dibangun
pada masa pemerintahan kolonial Belanda berkuasa di Bali. Sempadan
kolonial ini berpusat dari Kantor Bupati Buleleng saat ini dimana dulunya
adalah pusat pemerintahan memanjang ke utara hingga Pelabuhan
Buleleng. Sempadan ini dibangun oleh Belanda karena menganggap jalur
sempadan tradisional di sebelah timurnya sangat kecil sehingga
dibangunlah di sebelah barat untuk akses transportasi yang lebih memadai.
Nama SMA N 1 Singaraja sendiri pun baru muncul di tahun 1950
ketika Indonesia sudah merdeka. Hingga kini, fungsi sebagai sekolah
menengah atas dan bentuk arsitektur kolonial pada bangunan ini tetap
dipertahankan.

2. Arsitektur
SMA N 1 Sinagaraja adalah sebuah bangunan pendidikan
penginggalan Belanda pada tahun 1914. Dapat dilihat pada fasad
bangunannya bahwa arsitektur SMA N 1 Singaraja terlihat mengadopsi

Arsitektur Indonesia
27
aristektur Vernakular Belanda. Terdapat beberapa karakteristik arsitektur
Vernakular Belanda, diantaranya:
a. Tinggi bangunan dua lantai
Bangunan SMA N 1 sebagai bangunan pendidikan, sehingga
sengaja dibangun tiga lantai untuk memenuhi fungsi sebagai
tempat untuk kegiatan belajar mengajar dan untuk menanmpung
jumlah siswanya. Walaupun ini kurang memenuhi unsur sebagai
bangunan Vernakular Belanda. Bentuk yang monumental dapat
mewakilinya.

Gambar 4.9 Bangunan SMA N 1 Singaraja yang Monumental


Dapat Mewakili Unsur Arsitektur Vernakular Belanda
Sumber: dokumen pribadi

b. Bentuk fasad simetris


Bentuk fasad yang simetris juga menandakan bahwa bangunan
SMA N 1 Singaraja juga mengadopsi unsur bangunan Vernakular
Belanda.

Gambar 4.10 Fasad Bangunan


Simetris
Sumber: dokumen pribadi

Arsitektur Indonesia
28
c. Terdapat gable yang mengakhiri atap (atap pelana)
Bangunan Vernakular Belanda sangat khas dengan tembok
gable di mana gable ini biasanya mengkahiri atap pelana di kedua
sisinya. Unsur ini juga ditemukan di bangunan SMA N 1 Singaraja.

Gable yang
Mengakhiri
Atap Pelana

Gambar 4.11 Gable yang Mengakhiri Atap Pelana


Sumber: dokumen pribadi
d. Kolom-kolom berbaris berbentuk dasar persegi dan tanpa ornamen
Pada fasad bangunan SMA N 1 Singaraja terlihat kolom-
kolom sebagai elemen penguat arsitektur Vernakular Belanda.
Kolom ini merupakan kolom struktur yang sekaligus menjadi
pemanis fasad bangunan.

Gambar 4.12 Kolom berjejer yang menjadi salah satu unsur


arsitektur Vernakular Belanda
Sumber: dokumen pribadi

Arsitektur Indonesia
29
e. Terdapat beranda atau ruang transisi sebelum masuk ke dalam
bangunan

Ruang Transisi

Gambar 4.13 Ruang Transisi pada Bagian Depan Bangunan


Sumber: dokumen pribadi

4.3 Komparasi Arsitektur Vernakular Belanda antara Bangunan Benteng


Fort Rotterdam dan Bangunan SMA N 1 Singaraja
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat hubungan antara arsitektur
Vernakular Belanda tepatnya arsitektur Vernakular Belanda yang ada pada
bangunan di dalam Benteng Fort Rotterdam dan Bangunan SMA N 1 Singaraja.
Hubungan tersebut dilihat dari unsur-unsur arsitektur Vernakular Belanda yang ada
pada keduanya serta fasad bangunan yang dapat dikatakan mirip walaupun
keduanya dibangun di abad yang berbeda. Hubungan tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut.

Tabel 4.1 Perbandingan Objek 1 dan Objek 2


Sumber: dokumen pribadi

Arsitektur Indonesia
30
4.4 Peran Arsitektur Vernakular Belanda pada Benteng Fort Rotterdam dan
SMA N 1 Singaraja
Gaya arsitektur kolonial di Indonesia seolah lekat dengan perjalanan
panjang negeri ini dalam bingkai pembangunan menuju kemerdekaan. Bangunan-
bangunan bergaya kolonial banyak tersebar diberbagai kota di tanah air sebagai
dampak dari pengaruh kolonialisme. Ditinjau dari objek yaitu Benteng Fort
Rotterdam dan SMA N 1 Singaraja, dapat diuraikan peran arsitektur kolonial
terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia, sebagai berikut.

A. Melahirkan Tipologi Baru


Arsitektur kolonial merupakan sebutan singkat untuk langgam
arsitektur yang berkembang selama masa pendudukan Belanda di tanah
air. Masuknya unsur Eropa ke dalam komposisi kependudukan
menambah kekayaan ragam arsitektur di nusantara. Seiring
berkembangnya peran dan kuasa, kamp-kamp Eropa semakin dominan
dan permanen hingga akhirnya berhasil berekspansi dan mendatangkan
tipologi bangunan-bangunan baru.
Benteng Fort Rotterdam sendiri yang dulunya dibangun oleh
Raja Gowa ke X dengan ciri khas arsitektur tradisional berubah
menjadi arsitektur vernakular Belanda sehingga memunculkan sebuah
tipologi bangunan Kolonial yang dijaga dan dilestarikan hingga kini
sebagai warisan sejarah Indonesia.
Begitu pula dengan bangunan di SMA N 1 Singaraja sebagai
wajah pendidikan pertama di Bali melahirkan tipologi bangunan baru
di tengah bangunan arsitektur Bali dan hingga kini dapat dilihat dan
dinikmati oleh generasi-generasi baru.
Selain itu, bangunan-bangunan dengan tipologi ini juga
berdampak pada semakin bertambahnya pengetahuan terhadap
konstruksi-konstruksi bangunan Vernakular Belanda

B. Perkembangan & Kombinasi Arsitektur

Arsitektur Indonesia
31
Adanya kolonialisme juga mempengaruhi perkembangan
arsitektur di Indonesia. Perkembangan baik dari segi jenis, material,
langgam/gaya, serta perkawinan/ kombinasi arsitektur. Hal ini dapat
dilihat dari objek Benteng Fort Rotterdam dimana terdapat perbedaan
material yang digunakan, serta langgam/ gaya bangunan yang timbul lain
daripada bangunan disekitarnya. Kombinasi dari arsitektur eropa dan lokal
ini menghasilkan akulturasi dengan budaya setempat. Hal tersebut juga
dapat dilihat pada bangunan SMA N 1 Singaraja di mana terdapat
kombinasi di mana bangunan utama tetap dipertahankan dengan gaya
arsitektur Vernakular Belanda dan di sekitarnya dibangun bangunan
dengan langgam arsitektur Bali.

C. Mendukung Kawasan Heritage


Baik Benteng Fort Rotterdam maupun SMA N 1 Singaraja sama-
sama berada di dekat pantai yang menjadi pintu masuk utama
pemerintahan Kolonial Belanda ke dalam pulau-pulau yang ada di
Indonesia pada saat itu. Lokasi Benteng Fort Rotterdam dan SMA N 1
Singaraja kini juga menjadi kawasan heritage sehingga kedua bangunan
yang dipertahankan hingga kini mendukung kawasan tersebut sebagai
sebuah ikon warisan sejarah.

Arsitektur Indonesia
32
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Arsitektur kolonial Belanda khususnya arsitektur Vernakular Belanda
berperan dan memberi pengaruh terhadap perkembangan desain arsitektur di
Indonesia. Masuknya Belanda ke Indonesia memberi perubahan pada tampilan
arsitektur tradisional di Indonesia. Menyebabkan adanya hubungan tipologi
bangunan antara di daerah yang satu dengan daerah lainnya seperti yang ada di
Benteng Fort Rotterdam dan SMA N 1 Singaraja di mana tipologi bangunannya
saling berhubungan.
Selain itu, arsitektur Kolonial juga memiliki peran terhadap perkembangan
Indonesia khususnya di bidang arsitektur. Indonesia menjadi lebih kaya akan
tipologi arsitektur, tidak hanya arsitektur vernakular Indonesia tetapi juga arsitektur
Kolonial Belanda. Tentunya hal ini wajib dilestarikan dan dijaga sebagai bagian
dari sejarah kelam Indonesia.

5.2 Saran
Sebagai bangunan yang sudah berdiri sejak jaman kolonial Belanda, ada
baiknya keberadaan bangunan Benteng Fort Rotterdam dan bangunan SMA N 1
Singaraja dijaga dan dirawat sehingga kesan kolonial yang ada pada bangunan
masih terasa dan dapat dipertahankan dengan baik. Dengan begitu bangunan ini
mampu menjadi saksi sejarah dari adanya jaman penjajahan di Indonesia dan
khususnya di Sulawesi dan Bali. Selain itu, kedua bangunan tesebut juga sebagai
pendukung kawasan Heritage, sehingga tidak hanya sebagai keperluan ekonomi,
pariwisata, dan romantisme belaka, namun kawasan ini juga memiliki manfaat
untuk menjaga kesinambungan (kontinyunitas), meningkatkan kualitas peradaban,
dan agar generasi mendatang tidak kehilangan jejak.

Arsitektur Indonesia
33
DAFTAR PUSTAKA
Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di
Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset
Redaksi Koran Buleleng. 2016. Sempadan Tradisional dan Sempadan Kolonial
Bersanding Sebagai Warisan Sejarah. Diakses dari
http://www.koranbuleleng.com/2016/03/30/sempadan-tradisional-dan-
sempadan-kolonial-bersanding-sebagai-warisan-sejarah/ pada tanggal 20
Oktober 2016 pukul 20.00
Riyanto, Sugeng, dkk. 2016. Studi Potensi Lansekap Sejarah untuk Pengembangan
Wisata Sejarah di Kota Singaraja. E- Jurnal, Prodi Arsitektur Pertamanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.
Santoso, Triwinarto Joko. 2013. Tradisionalisme dalam Arsitektur Kolonial
Belanda di Kota Malang. Jurnal RUAS, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik,
Universitas Brawijaya, Malang.
Sujaya, I Made. 2014. Sekolah Pertama di Bali; Hogere Middelbare School.
Diakses dari http://www.balisaja.com/2014/05/inilah-sekolah-pertama-di-
bali.html pada tanggal 20 Oktober 2016 pukul 20.00
Sumalyo, Yulianto. 1995. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Wikipedia. 2016. Fort Rotterdam. Diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Fort_Rotterdam pada tanggal 20 Oktober 2016
pukul 20.00

Arsitektur Indonesia
34

Anda mungkin juga menyukai