PENDAHULUAN
1
Universitas Kristen Petra
2
sampai awal abad 20, muncul aliran The Amsterdam School. Pada waktu itu
ide-ide arsitektur modern Eropa ditransfer ke Indonesia, namun tetap
disesuaikan dengan iklim dan lingkungan Indonesia. Elemen-elemen
tradisional setempat juga diterapkan pada bentuk arsitekturnya. Hal ini
menyebabkan gaya arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia mempunyai ciri
khusus yang tidak sama dengan arsitektur yang ada di Belanda.
3. Setelah tahun 1920
Perkembangan arsitektur kolonial pada masa ini dapat dibagi menjadi 2
bagian, yang pertama adalah pengembangan suatu bentuk arsitektur yang
berciri khas Indisch, dimana tradisi arsitektural Indonesia banyak digunakan
sebagai bagian dari elemen arsitektur dan interiornya. Yang kedua adalah
arsitektur modern, yang sepenuhnya berkiblat ke Eropa dengan penyesuaian
terhadap teknologi dan iklim setempat. Sehingga muncul gaya modern yang
berkiblat ke Eropa.
(Handinoto, 1996: 131-163)
Pada akhir abad 20, banyak sekali arsitek yang memiliki latar belakang
pendidikan akademis di Belanda didatangkan ke Surabaya. Salah satu arsitek
terkenal yang didatangkan dari Belanda adalah Hulswit dan Cuypers. Kedua
arsitek ini memiliki sikap profesionalisme yang ditunjukkan melalui karyanya.
Karya kedua arsitek ini bukan hanya perancangan lay out dan bentuk bangunan
saja, tetapi juga meliputi detail-detail elemen yang kecil, bahkan interior dan
perabotnya. (Handinoto,1996: 163). Selain itu, pada akhir abad 20 muncul trend
gaya perpaduan antara gaya kolonial dengan gaya lokal, dan untuk memberi kesan
lokal Hulswit juga melatih tukang kayu setempat dan memberi pengetahuan teknis
kemudian memberinya kebebasan untuk berekspresi dengan idenya sendiri.
Pemahat kayunya kebanyakan didatangkan dari Jepara, karena Hulswit tertarik
pada motif-motif hiasan pada candi-candi di Jawa.
Karena ketertarikan Hulswit pada motif-motif hiasan pada candi-candi di
Jawa maka karyanya banyak dipengaruhi oleh gaya lokal Jawa, khususnya
arsitektur candi Jawa kuno. Seniman Jawa kuno memiliki banyak ragam hias yang
mereka gunakan sebagai elemen dekoratif, khususnya pada candi. Elemen
dekoratif pada candi biasanya mengungkapkan pesan mengenai sifat kedewaan
bangunan dan dibuat secara sistematis dan teratur karena memiliki arti tertentu.
(Arismunandar, et al., 2002: 60). Namun bentuk elemen dekoratif pada candi di
Pulau Jawa memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung letak candi
tersebut. Candi di Jawa Timur mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
candi yang terletak di Jawa Tengah dan Jawa Barat. (Prijotomo, 1992: 47)
Salah satu karya Hulswit dan Cuypers yang terbesar adalah Handels
Vereeniging Amsterdam (HVA) yang merupakan gedung kantor perkebunan milik
Belanda yang sekarang digunakan untuk perkantoran milik pemerintah Indonesia
dan berubah nama menjadi PT. Perkebunan Nusantara Persero XI. Keadaan fisik
bangunan yang dibangun pada tahun 1920-25 ini masih dalam kondisi yang
sangat baik dan terawat. Gedung yang sekarang telah berdiri kurang lebih 80
tahun ini pernah menjadi markas tentara Jepang, Komando Tobu-Jawa Boetai,
juga pernah digunakan sebagai Markas Comando Militer Jawa Timur (CMDT)
dan tempat perundingan kedua antara Mallaby dengan Dr. Moestopo. Oleh karena
nilai sejarahnya itu, pada tanggal 26 September 1996, Walikota Surabaya
mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Nomor: 188.45/ 251/ 402.1.04/ 1996 yang
menetapkan HVA sebagai salah satu dari 60 bangunan bersejarah yang dilindungi
dan menjadi cagar budaya.(Widodo, 2002: 295)
Bangunan ini memperlihatkan suatu fenomena perpaduan gaya kolonial
Belanda dan gaya lokal yang menjadi trend gaya desain pada saat HVA dibangun,
selain itu HVA adalah sebuah bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar
budaya yang tentunya memiliki nilai sejarah dan seni yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bangunan lainnya. Hal ini menarik untuk diteliti, selain itu
kondisi fisik gedung HVA yang masih baik dan belum pernah mengalami renovasi
juga menjadi salah satu bahan pertimbangan, karena dengan adanya kondisi fisik
yang baik dan belum pernah mengalami perubahan yang cukup berarti maka
penelitian yang dilakukan akan lebih akurat sesuai dengan kondisi awal pada saat
bangunan dibangun.
b) Dinding
c) Plafon
d) Kolom
3. Elemen transisi yaitu elemen-elemen dari desain arsitektur dan interior yang
menghubungkan baik secara visual dan fisik, satu ruang ke ruang lain,
maupun bagian dalam dengan bagian luar (Ching, 1996 : 204), antara lain
membahas tentang :
a) Pintu
b) Jendela
4. Perabot adalah salah satu kategori elemen desain yang pasti selalu ada di
hampir semua desain interior. Perabot menjadi perantara antara arsitektur
dengan manusianya (Ching, 1996: 240)
lalu. Selain itu dengan adanya penelitian ini, diharapkan juga akan mendorong
adanya tindakan pelestarian bangunan kuno yang menjadi saksi historis
perkembangan kota Surabaya baik dilakukan oleh pemerintah ataupun
masyarakat.
1.8. Hipotesa
Dari landasan teoritis dan konseptual diatas maka dapat disimpulkan suatu
hipotesa sebagai berikut:
- PT. Perkebunan Nusantara Persero XI Surabaya dibangun pada tahun 1920-
1925, dimana gaya desainnya banyak didominasi oleh gaya Kolonial Belanda
yang dipengaruhi oleh gaya lokal. Berdasarkan tahun pembangunannya,
arsitektur dan interior gedung PT. Perkebunan Nusantara Persero mendapat
pengaruh gaya kolonial Belanda dan gaya lokal.
- Abad 20 adalah masa kejayaan bagi arsitektur kolonial Belanda di Indonesia.
Hampir semua arsitek di Hindia Belanda didatangkan dari Belanda dan
mempunyai latar belakang akademis di negeri Belanda. Oleh karena itu gaya
kolonial yang memberi pengaruh pada interior HVA adalah gaya kolonial
Belanda (Dutch Kolonial) karena HVA dibangun pada awal abad 20 (1920-
1925).
- Untuk memberi kesan setempat (lokal) Hulswit sebagai arsitek HVA, tertarik
pada motif hiasan pada candi-candi di Jawa dan kemudian mencobanya untuk
diterapkan di dalam gedung. Sehingga gaya lokal yang mempengaruhi interior
HVA adalah gaya arsitektur Jawa Tengah, terutama arsitektur candi.
1.9.2 Sampel
Dari penelitian ini sample yang diambil adalah ruang publik, yaitu ruang
lobby (lantai 1) dan hall yang juga berfungsi sebagai lobby dan ruang tunggu
(lantai 2) yang dianggap dapat mewakili fisik bangunan PT. Perkebunan
Nusantara Persero XI Surabaya karena pada area ini perpaduan gaya desain lebih
terlihat dengan jelas.
pengumpulan data dengan masalah penelitian yang akan dipecahkan (Nazir, 1988:
211)
Langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Studi literatur.
Teori kepustakaan dibutuhkan sebagai pegangan pokok secara umum dan
sejumlah data dapat juga digunakan sebagai pertimbangan suatu kesimpulan.
Pengumpulan data literatur juga bermanfaat bagi penelitian sebagai tolak ukur
dan bahan perbandingan terhadap fakta yang terdapat pada obyek penelitian
(Surakhmad, 1980:140)
2. Wawancara.
Wawancara adalah proses pengumpulan keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan
responden dengan alat yang dinamakan interview guide (Nazir, 1988: 234).
3. Observasi langsung ke obyek penelitian.
Pengamatan dilakukan di PT. Perkebunan Nusantara Persero Surabaya yang
merupakan obyek penelitian,. Pengamatan ini dilakukan di semua area publik
yang dapat mewakili bentuk fisik dari kantor perkebunan tersebut. Untuk
mendapatkan data yang lebih akurat, digunakan kamera untuk
mendokumentasikannya.
persiapan ini adalah memilah data-data yang penting agar lebih mudah dalam
proses pengolahan selanjutnya atau tahap analisis.
Memasuki tahap analisis data, data lapangan dan data literatur yang sudah
dikategorikan tersebut dibandingkan dan dicari korelasinya sehingga dapat
diperoleh pengaruh dan penerapannya pada obyek penelitian yang bersifat
kualitatif. Obyek penelitian yang akan di analisis adalah lay out, elemen
pembentuk ruang, elemen transisi, dan perabot. Keempat elemen interior tersebut
diatas akan dianalisis apakah terdapat pengaruh gaya Kolonial Belanda dilihat dari
aspek bentuk, material, warna, dan dimensinya. Dari hasil analisis tersebut
didapatkan suatu kesimpulan yang dapat menjawab pertanyaan pada perumusan
masalah.