Anda di halaman 1dari 6

Ekspresi gaya arsitektur kolonial pada desain interior Gedung

Lindeteves Surabaya
Juan Antonio Koeswandi
Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur, Universitas Widya Kartika
Jl. Sutorejo Prima Utara II/1, Surabaya 60113
Email: juan171995@yahoo.com

ABSTRAK
Gedung Lindeteves atau yang lebih dikenal sebagai Gedung Bank mandiri merupakan salah satu
peninggalan arsitektur kolonial Belanda yang dibangun tahun 1913. Bangunan ini masih terlihat asli dan
tidak mengalami banyak perubahan kecuali, fungsinya yang sekarang menjadi Bank Swasta. Penelitian ini
bertujuan untuk menemukan pengaruh kolonial Belanda yang sedang berkembang di Jawa pada desain
interior Lindeteves.

Kata Kunci : Ekspresi Desain, Kolonial, Interior, Lindeteves

ABSTRACT

Building Lindeteves or better known as the Mandiri Bank Building is one of the heritage of Dutch
colonial architecture that was built in 1913. This building still looks original and has not changed much,
except that now the function change into the Private Bank. This study aims to find the influence of the Dutch
colonial which developing in Java on Lindeteves interior design.

Keywords: Expression Design, Colonial, Interior, Lindeteves

Latar belakang Lindeteves sebagai salah satu peninggalan


arsitektur kolonial yang menarik sampai saat ini.
Masa penjajahan Belanda di Indonesia
melahirkan gaya arsitektur yang dikenal dengan
arsitektur kolonial. Iklim tropis Indonesia
membuat arsitektur kolonial harus beradaptasi Tujuan Penelitian
dengan iklim setempat. Adaptasi ini tidak hanya
sebatas tampak / fasade bangunan, tetapi juga Tujuan dari penelitian di bidang interior
pada Interior Banguanan. Sebagian besar ciri adalah untuk membuktikan apakah interior
khas arsitektur kolonial dapat dikenali dengan gedung Lindeteves mendapat pengaruh dari
mudah dari fasad bangunan, tetapi sisi interior perkembangan arsitektur kolonial Belanda di
juga memilki beberapa ciri ciri khas. Pada Pulau Jawa. Selain untuk membuktikan,
kesempatan ini, penulis akan mengkaji lebih penelitian ini juga mendiskripsikan tentang :
dalam tentang interior arsitektur kolonial pada a. Elemen elemen pembentuk ruang,
Gedung Lindeteves. berupa dinding, lantai, dan plafon.
b. Elemen trasnsisi, berupa pintu dan
jendela sebagai penghubung ruang.
Rumusan masalah c. Elemen pengisi ruang (perabot)

Bagaimana kita mengetahui lebih


mendalam tentang interior pada bangunan
Manfaat Penelitian (2) Tahun 1800-an sampai tahun 1902,
pemerintah Belanda mengambil alih Hindia
Penelitian ini bermanfaat untuk Belanda dari VOC. Setelah pemerintahan Inggris
menambah pengetahuan tentang ciri interior yang singkat tahun 1811-1815, Hindia Belanda
kolonial pada kalangan pelajar, maupun sepenuhnya dikuasai Belanda dengan tujuan
masyarakat luas. Bagi peneliti sendiri, karya tulis untuk memperkuat kedu-dukan ekonomi negeri
ini dapat memperluas wawasan dibidang Belanda. Pada abad ke 19, Belanda memperkuat
interior khususnya interior pada masa kolonial. statusnya sebagai kaum kolo-nialis dengan
membangun gedung-gedung yang berkesan
grandeur (megah). Bangunan gedung dengan
Metode Penelitian gaya megah ini dipinjamnya dari gaya arsi-
tektur Neo-Klasik yang sebenarnya agak
Peenilitian ini merupakan jenis berlainan dengan gaya arsitektur nasional
penelitian kualitatif dekskriptif pada studi kasus. Belanda pada waktu itu;
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi
langsung terhadap obyek penelitian yaitu (3) Tahun 1902 sampai tahun 1920-an,
melakukan pengamatan terhadap arah hadap kaum liberal di negeri Belanda memaksa politik
bangunan, fasade bangunan, bentuk bangunan, Etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu
organisasi ruang, elemen pembentuk ruang, pemukiman orang Belanda di Indonesia tumbuh
elemen transisi interior dan eksterior bangunan, dengan cepat. Adanya suasana tersebut, maka
serta elemen pengisi ruang. “Indishce Architec-tuur” menjadi terdesak dan
Pengumpulan data studi litelatur hilang, sebagai gantinya muncul arsitektur yang
dilakukan dengan cara membaca , mencatat berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama
informasi dan teori teori tentang obyek inilah terlihat gaya arsitektur modern yang
penelitian maupun sejarah perkembangan berorientasi ke negeri Belanda;
arsitektur kolonial Belanda yang diperoleh dari (4) Tahun 1920 sampai 1940-an,
internet maupun karya tulis dari para peneliti muncul gerakan pembaharuan dalam arsitektur,
pendahulu, sehingga didapatkan sumber baik nasional maupun internasional di Belanda
informasi yang mendukung pembahasan dan yang kemudian mem-pengaruhi arsitektur
pemecahan masalah dalam karya tulis ini. kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru
Metode deskriptif digunakan untuk itu kadang-kadang diikuti secara langsung,
menjelaskan latar belakang, hasil dan tetapi kadang-kadang juga memunculkan gaya
pembahasan pada perkembagan kolonial yang disebut sebagai ekletisisme (gaya cam-
Belanda yang mempengaruhi desain interior puran). Pada masa tersebut muncullah beberapa
Gedung Lindeteves Surabaya. arsitek Belanda yang memandang perlu untuk
memberi ciri khas pada arsitektur Hindia
Belanda. Mereka menggunakan kebudayaan
Kajian teoritis Arsitektur Kolonial arsitektur tradi-sional Indonesia sebagai sumber
pengembangannya.
Helen Jessup dalam Sumalyo (1993)
membagi periodisasi perkembangan arsitektur Arsitektur selalu berkembang sejajar
kolonial Belanda di Indonesia menjadi 4 bagian, dengan perkembangan kota, walau periodisasi
yakni perkem-bangannya tidak selalu sama. Hal ini
dimungkinkan karena perkembangan arsitektur
(1) Pada abad 16 sampai tahun 1800- mempunyai gaya atau style tersendiri yang tidak
an, Indonesia masih disebut Nederland Indische selalu sama dengan perkembangan kota
dibawah kekuasaan VOC (Vereenigde Oost (Handinoto, 1996:129). Menurut Handinoto
Indische Compagnie). Selama periode tersebut, (1996), kota Surabaya tumbuh sangat pesat
arsitektur kolonial Belanda kehi-langan setelah terbentuknya Gemeente Surabaya
orientasinya pada bangunan tradisional di sebagai hasil dari undang-undang Desentralisasi
Belanda serta tidak mempunyai orientasi bentuk pada tanggal 1 April 1906. Arsitektur di
yang jelas. Bangunan-bangunan itu tidak Surabaya pun berkembang pesat setelah tahun
diusahakan ber-adaptasi dengan iklim dan 1900 bersamaan dengan kedatangan para
lingkungan setempat; arsitek dari Belanda. Periodisasi perkembangan
arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya Selama periode ini, berkembang pula gaya lain
menurut Helen Jessup sebagai berikut: seperti Art Nouveau, Art Deco, Art and Craft, dan
De Stijl. Art Nouveau berkembang tahun 1890-
(1) Tahun 1870 – 1900. Antara tahun 1870 1905 di Eropa Barat. Art Nouveau berasal dari
sampai tahun 1900-an, pengaruh arsitektur di nama sebuah galeri desain interior di Paris yang
negeri Belanda bisa dikatakan tidak berkembang dibuka tahun 1896. Ciri-cirinya antara lain: (a)
di Hindia Belanda. Hal tersebut dikarenakan anti historis dan menam-pilkan gaya-gaya yang
terisolasinya Hindia Belanda pada saat itu. belum ada sebelumnya, (b) menggunakan
Kehidupan di Jawa berbeda dengan cara hidup bahan-bahan modern yaitu besi dan kaca warna-
masyarakat di negeri Belanda, maka di Hindia warni yang kemudian dikenal dengan nama
Belanda kemudian terben-tuk gaya arsitektur stained glass, (c) elemen dekoratif mengguna-
tersendiri. Gaya tersebut dipelo-pori oleh kan unsur alam dan bentuk organik yang
Daendels yang datang ke Hindia Belanda (1808- diterapkan pada lantai, dinding, plafon, bahkan
1811). Gaya arsitektur bangunan yang didiri-kan kolom dan railing tangga, (d) kolom berbentuk
oleh Daendels tidak terlepas dari kebudayaan geometris dan didominasi bentuk garis kurva
induk yaitu Belanda, dikenal dengan sebutan The pada kolom dan ornamen lainnya, (e) lantai
Indisch Empire dan ada pula yang menyebut menggunakan material kayu yang kemudian
dengan istilah The Dutch Colonial. Gaya tersebut ditutup oleh karpet dengan motif floral, (f)
adalah gaya arsitektur Neo-Klasik yang melanda menggunakan perabot built-in sistem tanam
Eropa yang diterjemahkan secara bebas. pada dinding, juga mebel produk massal, dan (g)
Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda yang warna-warna yang digunakan adalah warna-
bercitra kolonial dan disesuai-kan dengan warna pastel (Pile, 2003: 226-228). Awal mula
lingkungan lokal beserta iklim dan material yang gaya Art Deco berkembang pada tahun 1910
tersedia pada waktu itu. Ciri-cirinya antara lain sampai tahun 1930. Gaya Art Deco merupakan
denah simetris, atap perisai, serambi depan dan adaptasi dari bentuk historism ke bentuk
belakang terbuka dan terdapat barisan kolom modern. Ciri-cirinya antara lain: (a) prohistoris,
yang bergaya Yunani (doric), dinding tebal dan yaitu menggunakan benda-benda yang ada
plafon tinggi sebagai bentuk penyesuaian hubungannya dengan sejarah, (b) menggunakan
terhadap iklim tropis di Indonesia, dan pintu bahan-bahan logam, kaca, cermin, kayu, dan
masuk tinggi diapit sepasang atau lebih jendela lain-lain, (c) mem-perlihatkan aspek seni
krepyak yang besar. berbentuk Cubism yang mengutamakan
(2) Sesudah tahun 1900. Perkembangan geometris dan streamline (terlihat langsing dan
arsitektur di Belanda pada akhir abad ke-19 dan kurus), (d) lantai didominasi dengan bahan
awal abad ke-20 berhubungan langsung dengan teraso, keramik sintetis, parquet dan karpet
perkembangan arsitektur kolonial di Hindia bermotif patra geometris dan diberi border, (e)
Belanda. Kebangkitan kembali arsitektur bersudut tegas, (f) zig-zag atau berundak yang
Belanda dimulai dari seorang arsitek Neo-Gothik merupakan simbol dari dunia modern, dan (g)
PJH. Cuypers (1827-1921), yang kemudian plafon ekspos balok kayu vertikal dan horizontal
disusul oleh arsitek dari aliran Nieuwe Kunst HP. dengan detail pada pusat plafon.
Berlage (1856-1927). Gerakan arsitektur Nieuwe Gaya Art and Craft berawal dari pemikiran
Kunst (Art Nouveau gaya Belanda) inilah yang arsitek William Morris (1834-1896) yang
nantinya berkembang menjadi aliran arsitektur melakukan reformasi desain untuk kembali ke
modern Belanda yang terkenal seperti The pekerjaan tangan dan menggunakan material
Amsterdam School dan aliran De Stijl.
secara jujur dan terken-dali. Adapun ciri-cirinya
Perkembangan arsitektur kolonial Belanda di
yaitu: (a) detail-detail interior yang diekspos
Indonesia memiliki ciri khusus yang tidak sama
dengan arsitektur induknya di Belanda. Ide-ide mencerminkan penggunaan material secara
arsitektur modern di Eropa ditransfer ke jujur dan (b) menunjukkan artistik detail
Indonesia dengan disesuaikan pada iklim dan dekoratif (Pile, 2003:99). De Stjil merupakan
lingkungan Indonesia. Penyesuaian tersebut gaya yang muncul dari gabungan seniman,
berupa penggunaan gevel (gable) pada tampak arsitek dan desainer pada tahun 1917 sesudah
depan bangunan, terdapat tower dan dormer, gaya Art and Craft. Latar belakang munculnya
bangunan dibuat ramping (memudahkan cross gaya De Stijl mewakili semangat jaman dan
ventilation) untuk aliran udara, banyaknya reformasi seni untuk menciptakan hal baru
bukaan, terdapat galeri sepanjang bangunan yakni gaya internasional dalam semangat
untuk antisipasi hujan dan matahari yang sering perdamaian dan keserasian (Pile, 2000:270).
disebut double gevel, bangunan menghadap ke
Pengikut gaya ini diantaranya Piet Mondrian,
utara-selatan untuk menghindari sinar matahari
Theo Van Doesburg, dan Gerrit Rietveld yang
langsung.
merupakan desainer De Stijl yang paling
terkenal dengan pahatan konstruksivisme dan oleh gedung kolonial Belanda ini. Hal ini sesuai
perabot abstrak geometrisnya (Pile, 2003: 111). dengan tipologi penyesuaian iklim Indonesia
Secara keseluruhan, ciri-ciri gaya De Stijl yaitu yang tropis sehingga menggunakan atap miring.
dipengaruhi oleh bentuk kubisme, bentuk tiga Gedung ini juga menonjolkan bukaan bukaan
dimensi abstrak geometris dengan adanya pada atap yang menjadi ciri khas arsitektur
susunan diagonal, railing tangga dan balkon kolonial. Bukaan atap tertutup dengan kaca mati
berbentuk pipa, menggunakan material modern, untuk mengantisipasi hujan. Selain bukaan atap,
yaitu beton, baja, aluminium dan kaca, dan gedung ini memiliki ciri khas yang sangat
warna-warna primer, hitam dan putih (Pile, terkenal , yaitu menara jamnya yang tinggi.
2000: 270). Menara ini telah menjadi “Landmark; bagi
lingkungan sekitarnya. Secara keseluruhan,
(3) Tahun 1920, merupakan tahun pemantapan gedung ini berwarna putih sehingga tidak
bagi kekuasaan Belanda di Indonesia. Perkem- kontras terhadap lingkungan sekitar
bangannya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu;
Pertama, bentuk arsitektur yang berciri khas
Indisch atau disebut gaya Indo-Eropa. Bentuk
gaya ini merupakan penggabungan gaya lokal
dengan arsitektur kolonial Belanda. Bentuknya
mengambil dasar arsitektur tradisional setempat
sebagai sumber-nya. Ciri-cirinya antara lain
terdapat hiasan ukiran Jawa untuk elemen
dekoratifnya, terdapat penye-suaian iklim
setempat, contohnya berskala tinggi, ventilasi
silang, terdapat galeri keliling, dan meng-
gunakan pilar-pilar yang besar (Handinoto.
1996: 236). Kedua, aliran arsitektur modern.
Gaya ini sepenuhnya berpusat ke Eropa dengan
penyesuaian terhadap teknologi dan iklim
setempat. Gaya ini disebut juga Nieuwe Bouwen
yang merupakan penganut dari International
Style. Adapun ciri-cirinya antara lain: Gambar 1 : Menara jam Lindeteves Gambar 2 :
penggunaan warna putih yang dominan, atap Menara dilihat
datar dan menggunakan gavel horizontal, dari courtyard
volume bangunan berbentuk kubus, elemen
dekoratif bangunan berbentuk prismatic
geometric, bukan lagi hiasan ukir-ukiran yang
rumit, skala bangunan lebih manusiawi, tidak
terlalu tinggi, konsep ruang tidak kaku, dan
sirkulasi lebih dinamis (Handinoto, 1996:237).

Hasil dan Pembahasan


Analisa kondisi fisik Gedung Lindeteves
ini disusun dalam tahap Tampak bangunan serta
elemen elemen interior bangunan yang meliputi
: elemen pembentuk ruang, yang meliputi lantai,
dinding, plafon, kolom, serta elemen transisi Gambar 3 : Bukaan atap Lindeteves
yang meliputi pintu dan jendela. Dan elemen
perabot.
Secara keseluruhan Tampak Gedung Lindeteves
Analisa Tampak Bangunan ini menganut gaya The Dutch Colonial . Gaya
tersebut adalah gaya arsitektur Neo-Klasik yang
Tampak Gedung Lindeteves didominasi oleh melanda Eropa yang diterjemahkan secara
pintu pintu dan jendela yang berukuran besar. bebas yang berkembang sebelum tahun 1900.
Tampak juga atap berbentuk perisai digunakan
Ciri cirinya denah simetris , atap perisai sebagai
penyesuaian iklim tropis.

Analisa Elemen elemen Interior

Pada analisa interior, yang akan dibahas


hanya sebagian Gedung saja , karena ada
sebagian ruang ruang yang sudah berubah
menjadi kantor dan bank.

Analisa Elemen Pembentuk Ruang

Dinding dinding pada gedung


Lindeteves berwarna putih polos dan tanpa
ornamen. Hal ini menunjukkan pengaruh gaya
Nieuwe Bouwen yang anti ornamen. Pada teras
menuju courtyard, tampak kolom kolom berjajar
rapi dengan gaya dorik yang menjadi ciri Gambar 6 : Pintu dan Jendela
arsitektur kolonial. Kolom dorik mempunyai
lebih sedikit ornamen daripada kolom ionik dan
corinthian. Di area teras ini tidak dipergunakan
plafon tetapi menggunakan beton ekspos yang Analisa Elemen Perabot
menjadi lantai pada tingkat dua bangunan.
Meskipun banyak perabotan gedung ini
yang tidak asli lagi, tetapi tetap ada sebagian
yang masih kental akan nuansa kolonial Belanda.
Misalnya lampu gantung di teras yang terlihat
masih asli meskipun tidak digunakan lagi, Meja
meja dan laci yang terdapat di ruang tunggu
bank dipadukan dengan warna warna pastel dari
dinding sehingga terlihat menyatu dan
bernuansa kolonial.

Gambar 4 ,5 : Kolom dorik

Analisa Elemen transisi

Gedung Lindeteves menerapkan pintu


dan jendela berskala besar dan saling
berhadapan. Sehingga dapat memungkinkan
terjadinya ventilasi silang. Hal ini merupakan
adaptasi desain yang diterapkan untuk
bangunan di iklim tropis.Kusen pintu dan
jendela menampilkan unsur kayu dan memiliki
kaca kaca mati pada pintu untuk pencahayaan
alami ruangan.

Gambar 6,7 : Elemen perabot


Simpulan
Berdasarkan pengamatan diatas Gedung
Lindeteves didominasi gaya kolonial “ Dutch
Kolonial” yang berkembang tahun 1900-an tepat
dengan berdirinya gedung ini yaitu tahun 1913.
Gaya kolonial ini terlihat jelas pada tampak
bangunan dengan cat warna pastel, bukaan atap,
dan menara jam. Namun dari sisi interior, gaya
dutch kolonial ini tetap dipengaruhi namun lebih
sedikit daripada tampak bangunan. Hal ini
terjadi karena peralihan fungsinya yang dahulu
sebagai pabrik baja , dan sekarang sebagai bank.
Perubahan ini berimbas pada elemen perabot
dan dekorasi yang banyak sudah lebih modern.
Bentuk bentuk penyesuaian iklim tropis nampak
pada pintu dan jendela yang berskala besar,
bukaan bukaan pada ruangan yang saling
berhadapan. Pemilihan warna pastel di dinding
dan polos tanpa ornamen menguatkan ciri khas
“Dutch Colonial” pada sisi interior Lindeteves.

Refrensi
Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan
Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1870-
1940). Yogyakarta: Penerbit Andi

Wardani, Laksmi Kusuma. 2009. Gaya Desain


Kolonial Belanda pada Interior Gereja Katolik
Hati Kudus Yesus Surabaya. Jurusan Desain
Interior, Fakultas Seni dan Desain Universitas
Kristen Petra – Surabaya

Walker, John. A. 1989. Design History and the


History of Design. London: Pluto Press.

Pile, John F. 2000. A History of Interior


Design. London: Laurence King.

Pile, John F. 2003. A History of Interior


Design 3rd Edition. London: Pearson/prentice
hall.

Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Kolonial


Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Sumber foto : Dokumentasi pribadi (Juan,


Oscar, James) 2013

Anda mungkin juga menyukai