Gaya arsitektur kolonial Belanda merupakan gaya arsitektur yang berkembang pada era
kolonial Belanda di Indonesia. Pada prinsipnya, hal ini juga merupakan bagian dari
sejarah perkembangan arsitektur Indonesia. Gaya arsitektur kolonial ini bisa dibilang
memadukan antara budaya Barat dan Timur, mengingat bahwa gaya arsitektur ini mulai
muncul untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur bagi orang-orang Belanda yang tinggal
di Indonesia.
Adapun arsitektur kolonial Belanda yang ada dan berkembang di Indonesia sendiri
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Arsitektur Indische Empire Style, Arsitektur Kolonial
Transisi, dan Arsitektur Kolonial Modern.
Foto: Shutterstock
Penempatan teras di bangunan Indische Empire berukuran sangat luas dan di ujungnya
ditopang oleh barisan kolom Doric, Ionic, dan Corinthian bergaya Yunani. Selain itu,
bangunan-bangunan ini pada umumnya dilengkapi dengan paviliun yang terpisah dari
rumah induk dan difungsikan sebagai kamar tidur tamu. Area dapur, toilet, dan gudang
juga dibuat terpisah dari bangunan utama dan diletakkan di belakang bangunan.
Foto: Shutterstock
Pembeda antara arsitektur transisi dan arsitektur Indische Empire terletak pada bagian
tampak bangunan. Ketika arsitektur Indische Empire masih menggunakan kolom-kolom
bergaya Yunani dan Romawi (Doric, Ionic, Corinthian), maka hal ini sudah tidak dapat
ditemui pada arsitektur kolonial transisi. Bentuk atap pelana dengan penutup
menggunakan material genteng juga masih digunakan dengan tambahan konstruksi
untuk ventilasi pada bagian atap (dormer).
Upaya untuk menghadirkan kesan romantis juga bisa didapatkan dari gaya transisi ini.
Gevel-gevel khas arsitektur Belanda juga ditempatkan bersamaan dengan penempatan
menara pada pintu masuk, layaknya yang umum ditemui pada bangunan gereja-gereja
Calvinist Belanda.
Foto: Shutterstock
Berbeda dari gaya Arsitektur Kolonial yang ada sebelumnya, Arsitektur Kolonial Modern
memiliki denah dengan bentuk yang lebih variatif dan menunjukkan kreativitas arsitektur
modern. Tidak seperti gaya Indische Empire dan Transisi yang menggunakan denah
simetris, pada arsitektur kolonial modern hal ini justru banyak dihindari. Penempatan
teras yang mengelilingi bangunan juga sudah tidak digunakan lagi dan digantikan dengan
elemen penahan sinar.
Karakter visual dari Arsitektur Kolonial Modern sendiri, antara lain berupa atap datar dari
bahan beton, penggunaan gevel-gevel horisontal, dimulainya penggunaan besi cor, dan
penggunaan material kaca dalam jumlah yang besar. Tidak hanya itu, warna putih juga
secara umum digunakan sebagai warna yang dominan. Perbedaan signifikan lainnya juga
terletak pada dinding yang berfungsi hanya sebagai penutup serta dilengkapi dengan
penggunaan kaca dengan ukuran yang lebar, terutama pada area bukaan dan jendela.