Anda di halaman 1dari 4

Bertahun-tahun menduduki Indonesia membuat masa kolonial Belanda turut

mewariskan berbagai hal, termasuk di bidang arsitektur. Setibanya orang-orang Belanda


di Indonesia (Hindia Belanda), arsitektur yang dirancang berasal dari pengetahuan dan
keahlian yang mereka bawa dari negara asal.

Bangunan-bangunan berupa rumah, benteng, gereja, dan bangunan publik lainnya


dibangun di Indonesia dengan tatanan arsitektur yang mirip, bahkan sama persis dengan
yang ada di negara asal mereka. Sebagian besar bangunan yang dibangun dengan gaya
arsitektur kolonial yang lebih baik dan permanen dapat ditemukan di Pulau Jawa dan
Sumatera yang secara ekonomi dianggap lebih penting selama masa penjajahan Belanda.

Gaya arsitektur kolonial Belanda merupakan gaya arsitektur yang berkembang pada era
kolonial Belanda di Indonesia. Pada prinsipnya, hal ini juga merupakan bagian dari
sejarah perkembangan arsitektur Indonesia. Gaya arsitektur kolonial ini bisa dibilang
memadukan antara budaya Barat dan Timur, mengingat bahwa gaya arsitektur ini mulai
muncul untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur bagi orang-orang Belanda yang tinggal
di Indonesia.

Adapun arsitektur kolonial Belanda yang ada dan berkembang di Indonesia sendiri
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Arsitektur Indische Empire Style, Arsitektur Kolonial
Transisi, dan Arsitektur Kolonial Modern.

Foto: Shutterstock

GAYA ARSITEKTUR INDISCHE EMPIRE


Gaya arsitektur ini berkembang dan populer pada periode tahun 1808-1811 dan
diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Gaya arsitektur Indische
Empire banyak berkiblat kepada gaya Kekaisaran Neoklasik Prancis yang juga kerap
dikenal sebagai gaya imperial, yang berkembang di pertengahan abad ke-18 sampai akhir
abad ke-19 yang timbul akibat adanya akulturasi kebudayaan Belanda, Indonesia, dan
Cina.
Beberapa ciri khas yang tampak pada gaya arsitektur Indische Empire ini antara lain
terletak pada denah yang berbentuk simetris, terutama pada bangunan dengan fungsi
residensial. Dengan bentuk yang demikian, bagian tengah bangunan dapat difungsikan
sebagai ruang utama yang terdiri dari kamar tidur yang saling berhubungan dengan teras,
baik itu yang berada di depan maupun di belakang.

Penempatan teras di bangunan Indische Empire berukuran sangat luas dan di ujungnya
ditopang oleh barisan kolom Doric, Ionic, dan Corinthian bergaya Yunani. Selain itu,
bangunan-bangunan ini pada umumnya dilengkapi dengan paviliun yang terpisah dari
rumah induk dan difungsikan sebagai kamar tidur tamu. Area dapur, toilet, dan gudang
juga dibuat terpisah dari bangunan utama dan diletakkan di belakang bangunan.

Foto: Shutterstock

GAYA ARSITEKTUR KOLONIAL TRANSISI


Setelah tren arsitektur Indische Empire mulai surut, muncul gaya Arsitektur Kolonial
Transisi. Periode ini terbilang cukup singkat, hanya berlangsung sejak akhir abad ke-19
hingga awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1890 hingga 1915. Gaya arsitektur ini
disebut sebagai gaya transisi karena pada saat itu di Hindia Belanda terjadi modernisasi,
baik itu pada bidang teknologi maupun dari segi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
kolonial. Untuk itulah banyak perubahan terjadi di kalangan masyarakat, termasuk dari
segi arsitekturnya.
Jika dilihat sekilas, arsitektur transisi ini masih memiliki bentuk denah yang hampir mirip
dengan arsitektur Indische Empire. Kemiripan ini dapat dilihat pada keberadaan teras
depan, teras belakang, dan ruang utama yang masih mendominasi pada denah bangunan
bergaya arsitektur transisi. Keberadaan paviliun yang terletak di samping rumah-rumah
berukuran besar juga masih kerap ditemui.

Pembeda antara arsitektur transisi dan arsitektur Indische Empire terletak pada bagian
tampak bangunan. Ketika arsitektur Indische Empire masih menggunakan kolom-kolom
bergaya Yunani dan Romawi (Doric, Ionic, Corinthian), maka hal ini sudah tidak dapat
ditemui pada arsitektur kolonial transisi. Bentuk atap pelana dengan penutup
menggunakan material genteng juga masih digunakan dengan tambahan konstruksi
untuk ventilasi pada bagian atap (dormer).
Upaya untuk menghadirkan kesan romantis juga bisa didapatkan dari gaya transisi ini.
Gevel-gevel khas arsitektur Belanda juga ditempatkan bersamaan dengan penempatan
menara pada pintu masuk, layaknya yang umum ditemui pada bangunan gereja-gereja
Calvinist Belanda.

Foto: Shutterstock

GAYA ARSITEKTUR KOLONIAL MODERN


Ini merupakan gaya arsitektur yang hadir sebagai hasil protes yang dilontarkan oleh
arsitek-arsitek Belanda terhadap gaya Indische Empire yang terjadi setelah tahun 1900.
Gaya arsitektur modern ini berlangsung cukup lama, yakni selama periode tahun 1915-
1940.
Protes ini terjadi ketika arsitek Belanda mulai berdatangan ke Hindia Belanda dan
mendapati bahwa gaya arsitektur yang ada cukup asing bagi mereka. Terlebih lagi, gaya
Indische Empire masih sangat terpengaruh dengan gaya arsitektur Prancis, yang pada
saat itu kurang disukai dan tidak mendapat sambutan baik di Belanda.

Berbeda dari gaya Arsitektur Kolonial yang ada sebelumnya, Arsitektur Kolonial Modern
memiliki denah dengan bentuk yang lebih variatif dan menunjukkan kreativitas arsitektur
modern. Tidak seperti gaya Indische Empire dan Transisi yang menggunakan denah
simetris, pada arsitektur kolonial modern hal ini justru banyak dihindari. Penempatan
teras yang mengelilingi bangunan juga sudah tidak digunakan lagi dan digantikan dengan
elemen penahan sinar.

Karakter visual dari Arsitektur Kolonial Modern sendiri, antara lain berupa atap datar dari
bahan beton, penggunaan gevel-gevel horisontal, dimulainya penggunaan besi cor, dan
penggunaan material kaca dalam jumlah yang besar. Tidak hanya itu, warna putih juga
secara umum digunakan sebagai warna yang dominan. Perbedaan signifikan lainnya juga
terletak pada dinding yang berfungsi hanya sebagai penutup serta dilengkapi dengan
penggunaan kaca dengan ukuran yang lebar, terutama pada area bukaan dan jendela.

Anda mungkin juga menyukai