Anda di halaman 1dari 6

REVIEW

TIFOLOGI ARSITEKTUR KOLONIAL DI INDONESIA

Ditulis oleh:

Nadhil Tamimi , Indung Sitti Fatimah , Akhmad Arifin Hadi

Disusun oleh:

M.RAHMAT DANI.S (I1C120050)

Dosen Pengampuh:

Wulan Reslyani. S.S., M.Hum

PROGRAM STUDI ARKEOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN SEJARAH SENI DAN ARKEOLOGI

UNIVERSITAS JAMBI

2022
HASIL REVIEW

Indonesia merupakan salah satu negara yang dapat dikatakan memiliki begitu banyak
keanekaragaman budaya dan telah mengalami berbagai periode sejarah. Di mana setiap
periode tersebut memiliki keragaman keunikan mereka tersendiri didalam-Nya. Setiap
keunikan tersebut pada akhirnya membentuk suatu identitas bagi setiap daerah yang
mengalami setiap periodisasi tersebut.

Dari semua periode yang telah dihadapi oleh Indonesia, salah satunya adalah periode
kolonial Belanda. Di mana peninggalan yang masih ada sapai saat ini pada periode kolonial
adalah bentuk objek, bangunan, dan lanskap sejarah yang dibangun Ketika Indonesia menjadi
jajahan Belanda.

Menjadi salah satu periode yang sangat berpengaruh dalam sejarah Indonesia
membuat kolonial belanda memberikan begitu banyak bentuk pengaruhnya dalam
perkembangan pembangunan yang ada di Indonesia pada masa tersebut. Bangunan yang
memiliki karakter arsitektur kolonial dengan memiliki ciri khasnya tersendiri.

Bangunan yang mendapatkan pengaruh kolonial ini tentu saja memiliki begitu banyak
peninggalan sejarah yang dapat dilihat dan diteliti oleh para peneliti. Suatu bangunan yang
merupakan tinggalan kolonial belanda biasanya disebut dengan bangunan berarsitektur
kolonial. Dengan kata lain bahwa bangunan yang bercorak kolonial belanda merupakan salah
satu bangunan yang wajib untuk di rawat dan di lestarikan oleh kita selaku masyarakat
Indonesia.

Namun begitu disayangkan fakta di lapangan mengatakan bahwa banyak bangunan


peninggalan kolonial Belanda di Indonesia tidak mendapatkan perhatian yang baik oleh
pemerintah maupun masyarakat sekitar. Salah satu penyebab yang dapat mempengaruhi dari
kelestarian dari objek-objek sejarah kolonial tersebut adalah semakin meningkatnya
perkembangan pembangunan yang terjadi di Indonesia. Dalam proses perkembangan
pembangunan tersebut ke seringan memberikan dampak negatif bagi bangunan-bangunan
sejarah kolonial dikarenakan dalam rancangan perkembangan pembangunan tersebut tidak
memasukkan bangunan bersejarah sebagai salah satu fokus perkembangan dan perhatian oleh
para pemerintah di suatu daerah. Hal ini membuat banyak dari bangunan tersebut rusak dan
tidak terawatt karena di abaikan oleh masyarakat sekitar dan pemerintah.
Ada pun beberapa bangunan kolonial Belanda yang mendapat perhatian dari
perkembangan pembangunan oleh pemerintah daerah. Malah mengalami kehilangan
kegunaan dan ciri khasnya sebagai bangunan kolonial Belanda. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan dari arsitek yang menangani pengembangan pembangunan bangunan
tersebut yang di mana mereka tidak mengetahui fungsi-fungsi dan bentuk-bentuk khas dari
bangunan kolonial Belanda tersebut.

Dari semua yang telah dijelaskan di atas ini dapat dilihat bahwa artikel yang disusun
oleh para peneliti tersebut berfokus dalam menjelaskan dari tipologi arsitektur suatu
bangunan kolonial dapat menjadi acuan terhadap perkembangan bentuk arsitektur kolonial
yang ada di Indonesia dan menambahkan pengetahuan mengenai pelestarian bangunan
bersejarah di Indonesia.

Pada artikel yang ditulis oleh para peneliti ini memiliki penjelasan yang sangat
lengkap akan informasi dari bagaimana gaya arsitektur dari suatu bangunan yang memiliki
ciri-ciri khas suatu bangunan tinggalan kolonial Belanda. Bukan itu saja ada juga yang
membahas beberapa bentuk pelestarian dari suatu bangunan kolonial.

1. Gaya Arsitektur Kolonial


Dalam artikel ini dikatakan terdapat tiga gaya arsitektur kolonial yang diterapkan
di Indonesia selama masa penjajahan Belanda. Gaya Arsitektur tersebut yaitu:
A. Gaya Arsitektur Indische Empire style (Abad 18-19)
Di mana gaya arsitektur ini di perkenalkan oleh Herman Willen Daendels
yang merupakan seorang yang menjabat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda
(1808-1811). Gaya Arsitektur Indische Empire ini memiliki ciri-ciri di antaranya
yaitu: 1. Denahnya berbentuk simetris penuh, di tengah terdapat “central room”
yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya. Central room tersebut
berhubungan langsung dengan teras achter galerij). 2. Teras biasanya sangat luas
dan diujungnya terdapat barisan kolom yang bergaya Yunani (Doric, Ionic,
Corinthian). 3. Dapur, kamar mandi/WC, gudang dan daerah service lainnya
merupakan bagian yang terpisah dari bangunan utama dan letaknya ada di bagian
belakang. 4. Terkadang disampingi bangunan utama terdapat paviliun yang
digunakan sebagai kamar tidur tamu. Dari ciri-ciri Gaya Arsitektur ini salah satu
contoh bangunan kolonial yang ada di Indonesia yang memiliki ciri khas ini
adalah bangunan kantor Badan Koordinator Pahlawan Kota Madiun. Yang
merupakan bangunan yang dulunya berfungsi sebagai rumah dinas residen.
B. Gaya Arsitektur Transisi (1890-1915)
Pada gaya arsitektur satu ini memiliki ciri khas berupa mengalaminya yang
dinamakan transisi arsitektur pada bangunannya. Di mana Arsitektur transisi ini
berlangsung sangat singkat terjadi di Indonesia. Kurang lebih dimulai dari tahun
1890-1915. Diyakini terjadinya transisi ini disebabkan pada tahun tersebut Hindia
Belanda mengalami modernisasi dalam bentuk politik dan teknologinya. Ciri-ciri
Gaya Arsitektur ini yaitu; 1. Denah masih mengikuti gaya Indische Empire,
simetri penuh, pemakaian teras keliling dan menghilangkan kolom gaya Yunani
pada tampaknya. 2. Gevel-gevel pada arsitektur Belanda yang terletak ditepi
sungai muncul kembali, penambahan kesan romantis pada tampak dan membuat
menara (tower) pada pintu masuk utama, seperti yang terdapat pada banyak gereja
Calvinist di Belanda. 3. Bentuk atap pelana dan perisai dengan penutup genting
masih banyak dipakai dan memakai konstruksi tambahan sebagai ventilasi pada
atap (dormer). Contoh salah satu bangunan yang memiliki ciri khas bangunan
kolonial tersebut adalah Gedung Lawang Sewu yang berada di Semarang. Lawang
Sewu merupakan bangunan yang didirikan sebagai kantor kereta api yang
dibangun oleh perusahaan swasta yaitu NIS (NetherlandsIndische Spoorweg
Maatschappij).
C. Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915- 1940)
Menurut Handinoto (1993), arsitektur modern merupakan sebuah protes yang
dilontarkan oleh arsitek Belanda setelah tahun 1900 atas gaya Empire Style.
Arsitektur Modern memiliki ciri-ciri antara lain: 1. Denah lebih bervariasi, sesuai
kreativitas dalam arsitektur modern. 2. Bentuk simetri banyak dihindari,
pemakaian teras keliling bangunan sudah tidak dipakai lagi, sebagai gantinya
sering dipakai elemen penahan sinar. 3. Tampak bangunan lebih mencerminkan
Form Follow Function atau Clean Design. 4. Bentuk atap masih didominasi oleh
atap pelana atau perisai, dengan bahan penutup genting atau sirap. 5. Bangunan
menggunakan konstruksi beton, memakai atap datar dari bahan beton yang belum
pernah ada pada jaman sebelumnya. Salah satu contoh bangunan dengan gaya ini
dapat dilihat pada bangunan rumah tinggal yang terletak di Jalan Dr Wahidin No.
38 Semarang. Bangunan ini didirikan pada tahun 1938 oleh arsitek Liem Bwan
Tjie.
2. Periode Arsitektur Kolonial.
Dari artikel ini sang penulis memakai pendapat seorang ahli yaitu Akihari
(1990) dan Nix (1994), arsitektur kolonial Belanda terdiri atas dua periode, yaitu: 1.
Arsitektur sebelum abad XVIII 2. Arsitektur setelah abad XVIII. Sedangkan melihat
periode Arsitektur kolonial di Indonesia dapat dilihat dari pendapat Helen Jessup
dalam Handinoti (1996: 129-130) di mana dikatakan bahwa periodisasi
perkembangan pada arsitektur kolonial Belanda di Indonesia di bagi menjadi 4
periode. Dimulai dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an.
1. Abad pertama terdapat pada abad 16 sampai tahun 1800-an, di mana pada masa
ini arsitektur kolonial Belanda tidak menggunakan orientasi bangunan tradisional
di tempat asalnya. Mereka juga tidak beradaptasi dengan iklim dan lingkungan
Indonesia.
2. tahun 1800-an sampai tahun 1902, pada tahun ini belanda yang telah menguasai
Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC. Di mana pada saat itu belanda
mulai memperjelas statusnya sebagai kaum kolonialis dengan cara membangun
Gedung-gedung yang berkesan gradeur. Namun, gaya yang diambil mereka
merupakan gaya arsitektur neo-klasik yang berlainan dengan gaya arsitektur
nasional Belanda.
3. Tahun 1902-1920, pada masa ini mulai menghilangnya gaya “indische
architecture” di sebabkan kaum liberal Belanda yang mendesak politik etis.
Sehingga mulai munculnya gaya arsitektur modern.
4. Tahun 1920 sampai tahun 1940-an, pada masa ini pihak Belanda mulai melakukan
Gerakan batu dalam gaya arsitektur mereka. Di mana mereka mulai melakukan
gaya campuran (ekletisisme) di mana gaya arsitektur bangunan kolonial pada
masa ini mulai mengambil kebudayaan tradisional Indonesia sebagai sumber
pengembangan gaya arsitektur nya.
3. Karakter Arsitektur Kolonial
Terdapat tiga gaya arsitektur kolonial; Karakter Arsitektur Indische Empire Style
(Abad 18-19), Karakter Arsitektur Transisi (1890-1915), Karakter Arsitektur Kolonial
Modern (1915- 1940). Di mana masing-masing dari karakter ini memiliki beberapa
perbedaan pada gaya arsitektur bangunannya. Dapat dilihat dari bentuk konstruksi
atap dan penutup atapnya, bahannya, bentuk kusen maupun pintunya, warnanya dan
sebagainya. Rata-rata bangunan kolonial menggunakan bentuk konstruksi atap perisai,
pelana dan datar. Juga rata-rata menggunakan bahan batu bata, kayu dan kaca sebagai
bahan bangunan utamanya.
4. Ciri Arsitektur Kolonial
Menurut Handinoto dalam bukunya (1996) tentang ciri-ciri bangunan kolonial
sebagai berikut; Gable/gevel, Tower/Menara, Dormer/Cerobong asap semu,
Tympannon/Tadah angin, Ballustrade, Bouvenlicht/Lubang ventilasi, Windwijzer
(Penunjuk angin), Nok Acroterie (Hiasan puncak atap), Geveltoppen (Hiasan
kemuncak atap depan). Dari ciri-ciri arsitektur ini didapatkan bahwa arsitektur
kolonial ini memadukan antara budaya barat dan timur. Pada bangunan yang
dibangun oleh pihak kolonial sendiri memiliki perbedaan dengan gaya asli arsitektur
tradisional mereka di belanda. Mereka melakukan tindakan adaptasi gaya arsitektur
bangunan kolonial Belanda dengan lingkungan dan iklim yang ada di Indonesia.
5. Metode dan Teknik konservasi pada bangunan kolonial
Terdapat dua acara konservasi bangunan kolonial yaitu yang bersifat fisik dan
non-fisik. Untuk yang fisik sendiri terdapat 3 metode dan Teknik. Pertama,
Preservasi. Kedua, Restorasi. Ketiga, Rekonstruksi. Lalu yang bersifat non-fisik yaitu
cara konservasi dengan cara restorasi dalam konteks intangible, di mana dengan
dibentuknya suatu badan penanganan bangunan sejarah yang bergerak dalam
manajemen pengolahan konservasi terhadap bangunan sejarah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai