Anda di halaman 1dari 16

ARSITEKTUR BERWAWASAN BUDAYA

“ARSITEKTUR KOLONIAL“

DI SUSUN OLEH :

RIKA PUSPITASARI

E1B117022

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmat-Nya lah, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang”Arsitektur Kolonial”.

Adapun penulisan makalah bertujuan untuk memahami dan mengetahui tentang


arsitektur kolonial di Indonesia.

Dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen kami selaku
pembimbing mata kuliah arsitektur berwawasan budaya karena telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.

Tidak menutup kemungkinan dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Saya berharap tugas ini
dapat bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi pembaca.

Kendari, 2 Maret 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dunia arsitektur senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan tingkat peradapan
manusia. Perkembangan pembangunan selama ini menunjukan bahwa keberhasilan suatu
bangsa dalam membangun dari abad kolonial berbeda-beda adanya. Hasil karya bangunan
dapat dijadikan tolak ukur, seberapa tinggi tingkat kebudyaan yang ada pada waktu itu.
Dalam perkembangan, arsitektur selalu mendapat pengaruh dari gaya atau langgam yang
berkembang pada masa tertentu, sehingga akan mengalami beberapa periode perkembangan.
Indonesia yang merupakan bekas jajahan Belanda, sehingga banyak mendapat pengaruh dari
negeri kolonial tersebut. Dalam segi arsitektur, pengaruh nampak pada bangunan. Bertolak
dari itu perlu kiranya diadakan penelitian dan pembahasan tentang bangunan arsitektur yang
merupakan perpaduan antara arsitektur Belanda dan arsitektur tradisional Jawa Tengah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan Arsitektur Kolonial ?
2. Bagaimana perkembangan Arsitektur Kolonial di Indonesia ?
3. Bagaimana karakteristik arsitektur pada masa kolonial ?
4. Bagaimana Arsitektur Kolonial Belanda?
5. Bagaimana Periodesasi Arsitektur colonial ?
6. Aliran apa yang mempengaruhi Arsitektur kolonial ?

1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui tentang arsitektur kolonial
2. Dapat memahami perkembangan arsitektur kolonial di Indonesia
3. Dapat mengeahui bagaimana karakteristik arsitektur pada masa kolonial
4. Dapat mengetahui bagaimana arsitektur kolonial belanda
5. Dapat mengetahui periodesasi arsitektur kolonial
6. Dapat mengetahui dan memahami aliran-aliran mempengaruhi arsitektur kolonial
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Arsitektur Kolonial


Arsitektur kolonial merupakan sebutan singkat untuk langgam arsitektur yang
berkembang selama masa pendudukan Belanda di tanah air. Masuknya unsur Eropa ke
dalam komposisi kependudukan menambah kekayaan ragam arsitektur di nusantara.
Seiring berkembangnya peran dan kuasa, kamp-kamp Eropa semakin dominan dan
permanen hingga akhirnya berhasil berekspansi dan mendatangkan tipologi baru.
Semangat modernisasi dan globalisasi (khususnya pada abad ke-18 dan ke-19)
memperkenalkan bangunan modern seperti administrasi pemerintah kolonial, rumah sakit
atau fasilitas militer. Bangunan – bangunan inilah yang disebut dikenal dengan bangunan
kolonial
2.2 Perkembangan Arsitektur Kolonial di Indonesia
Sejarah mencatat, bahwa bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia adalah
Portugis, yang kemudian diikuti oleh Spanyol, Inggris dan Belanda. Pada mulanya
kedatangan mereka dengan maksud berdagang. Mereka membangun rumah dan
pemukimannya di beberapa kota di Indonesia yang biasanya terletak dekat dengan
pelabuhan. Dinding rumah mereka terbuat dari kayu dan papan dengan penutup atap ijuk.
Namun karena sering terjadi konflik mulailah dibangun benteng. Hampir di setiap kota
besar di Indonesia. Dalam benteng tersebut, mulailah bangsa Eropa membangun beberapa
bangunan dari bahan batu bata. Batu bata dan para tukang didatangkan dari negara Eropa.
Mereka membangun banyak rumah, gereja dan bangunan-bangunan umum lainnya
dengan bentuk tata kota dan arsitektur yang sama persis dengan negara asal mereka. Dari
era ini pulalah mulai berkembang arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Setelah
memiliki pengalaman yang cukup dalam membangun rumah dan bangunan di daerah
tropis lembab, maka mereka mulai memodifikasi bangunan mereka dengan bentuk-
bentuk yang lebih tepat dan dapat meningkatkan kenyamanan di dalam bangunan.
2.3 Karakteristik Arsitektur

Model bangunan kolonial banyak dijumpai di berbagai kota di Indonesia khususnya


di kota-kota yang pernah dijajah oleh Belanda seperti Surabaya, Jakarta, Yogyakarta,
Semarang , Malang dan lainnya. Model bangunan berarsitektur kolonial ini disebut juga
dengan The Empire Style/The Dutch Colonial. Model bangunan tersebut tidak hanya
dijumpai pada bangunan hunian saja tetapi juga pada model bangunan pemerintahan
seperti kantor, stasiun, rumah peribadatan, contohnya yaitu Museum Fatahillah Jakarta,
Stasiun Kota Jakarta, Museum bank Mandiri Jakarta, dan Gedung Sate Bandung.

Museum Fatahillah

Keberadaan bangunan berarsitektur kolonial ini merupakan salah satu konsep


perencanaan kota kolonial yang dibangun oleh Hindia Belanda yaitu perpaduan model
bangunan Belanda dengan teknologi bangunan daerah tropis.Model bangunan
berarsitektur Kolonial ini memiliki kekhasan bentuk bangunan terutama pada fasade
bangunannya. Diantara ciri-ciri bangunan Kolonial yaitu:

1. Penggunaan gewel (gable) pada fasade bangunan yang biasanya berbentuk segitiga.
Gambar 2: Berbagai Variasi Bentuk Gawel

Sumber : American Design 1870-1940 dalam Handinoto, 1996: 167

2. Penggunaan tower pada bangunan.


3. Penggunaan dormer pada atap bangunan yaitu model jendela atau bukaan lain yang
letaknya di atap dan mempunyai atap tersendiri.
Gambar 2: Berbagai Bentuk Dormer

Sumber : American Vernacular Design dalam Handinoto, 1996: 176

4. Model denah yang simetris dengan satu lantai atas.


5. Model atap yang terbuka dan kemiringan tajam.
6. Mempunyai pilar di serambi depan dan belakang yang menjulang ke atas bergaya
Yunani.
7. Penggunaan skala bangunan yang tinggi sehingga berkesan megah.
8. Model jendela yang lebar dan berbentuk kupu tarung (dengan dua daun jendela), dan
tanpa overstek (sosoran).
Model bangunan kolonial tersebut banyak dijumpai sampai saat ini, tetapi yang terawat
hanya sebagian dan sebagian yang lain hampir musnah dimakan jaman, bahkan terlantar
karena ditinggalkan pemiliknya. Diantara model bangunan-bangunan kolonial tersebut
banyak bangunan kolonial yang memiliki nilai sejarah/historis tinggi. Maka dari itu,
bangunan tersebut harus dipertahankan dan dipelihara keberadaannya karena merupakan
salah satu asset peninggalan yang bisa menjadi bukti sejarah bagi bangsa Indonesia. Oleh
karena itu dengan dikeluarkannya peraturan tentang konservasi terhadap bangunan yang
bersejarah, diharapkan bangunan tersebut tidak tergusur oleh jaman.

2.3 Arsitektur Kolonial Belanda

Arsitektur Kolonial Belanda Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami


pengaruh Occidental (Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan
bangunan. Para pengelola kota dan arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau
tradisional Belanda didalam perencanaan dan pengembangan kota, permukiman dan
bangunan-bangunan. Adanya pencampuran budaya, membuat arsitektur kolonial di
Indonesia menjadi fenomena budaya yang unik. Arsitektur kolonial di berbagai tempat di
Indonesia apabila diteliti lebih jauh, mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri
antara tempat yang satu dengan yang lain. Arsitektur kolonial sendiri merupakan
arsitektur yang dibangun selama masa kolonial, ketika Indonesia menjadi negara jajahan
bangsa Belanda pada tahun 1600- 1942, yaitu 350 tahun penjajahan Belanda di Indonesia.
Gaya desain Kolonial adalah gaya desain yang berkembang di beberapa negara di Eropa
dan Amerika. Dengan ditemukannya benua Amerika sekitar abad 15-16, menambah
motivasi orang-orang Eropa untuk menaklukkan dan menetap pada “dunia baru”, yaitu
daerah yang mereka datangi dan akhirnya dijadikan daerah jajahan. Motivasi mereka
menjelajah samudra bervariasi, dari meningkatkan taraf hidup sampai membawa misi
untuk menyebarkan agama. Selain itu juga tersimpan sedikit hasrat untuk memperoleh
pengalaman dan petualangan baru.

Arsitektur kolonial menyiratkan adanya akulturasi diiringi oleh proses adaptasi


antara dua bangsa berbeda. Proses adaptasi yang dialami oleh dua bangsa terbentuk
dengan apa yang dinamakan arsitektur kolonial. Hal ini mencakup penyelesaian masalah-
masalah yang berhubungan dengan perbedaan iklim, ketersediaan material, cara
membangun, ketersediaan tenaga kerja, dan seni budaya yang terkait dengan estetika.
Ditinjau dari proses akulturasi yang terjadi, terdapat dua faktor yang mempengaruhi
terbentuknya arsitektur kolonial Belanda, yaitu faktor budaya setempat dan faktor budaya
asing Eropa atau Belanda. Arsitektur kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik,
yakni gaya yang berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Ciri
menonjol terletak pada bentuk dasar bangunan dengan trap-trap tangga naik (cripedoma).
Kolom-kolom dorik, ionik dan corinthian dengan berbagai bentuk ornamen pada
kapitalnya. Bentuk pedimen, yakni bentuk segi tiga berisi relife mitos Yunani atau
Romawi di atas deretan kolom. Bentuk-bentuk tympanum (konstruksi dinding berbentuk
segi tiga atau setengah lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela berfungsi sebagai
hiasan.

Kartono, mengatakan bahwa sistem budaya, sistem sosial, dan sistem teknologi dapat
mempengaruhi wujud arsitektur. Perubahan wujud arsitektur dipengaruhi oleh banyak
aspek, akan tetapi perubahan salah satu aspek saja dalam kehidupan masyarakat dapat
mempengaruhi wujud arsitektur. Arsitektur kolonial Belanda merupakan bangunan
peninggalan pemerintah Belada dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang
merupakan aset besar dalam perjalanan sejarah bangsa

2.4 Periodesasi Arsitektur Kolonial


1) Abad 16 sampai tahun 1800 – an
Waktu itu Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda)
di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda, VOC. Arsitektur Kolonial Belanda
selama periode ini cenderung kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di
Belanda. Bangunan perkotaan orang Belanda pada periode ini masih bergaya
Belanda dimana bentuknya cenderung panjang dan sempit, atap curam dan dinding
depan bertingkat bergaya Belanda di ujung teras. Bangunan ini tidak mempunyai
suatu orientasi bentuk yang jelas, atau tidak beradaptasi dengan iklim dan lingkungan
setempat. Kediaman Reine de Klerk (sebelumnya Gubernur Jenderal Belanda) di
Batavia.
2) Tahun 1800-an sampai tahun 1902
Pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari VOC. Setelah
pemerintahan tahun 1811-1815 wilayah Hindia Belanda sepenuhnya dikuasai oleh
Belanda. Pada saat itu, di Hindia Belanda terbentuk gaya arsitektur tersendiri yang
dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW yang dikenal dengan the Empire Style, atau
The Ducth Colonial Villa: Gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama
Prancis) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda
yang bercitra Kolonial yang disesuaikan dengan ingkungan lokal, iklim dan material
yang tersedia pada masa itu. Bangunan-bangunan yang berkesan grandeur (megah)
dengan gaya arsitektur Neo Klasik dikenal Indische Architectur karakter arsitektur
seperti :
1. Denah simetris dengan satu lantai, terbuka, pilar di serambi depan dan belakang
(ruang makan) dan didalamnya terdapat serambi tengah yang mejuju ke ruang
tidur dan kamarkamar lainnya.
2. Pilar menjulang ke atas (gaya Yunani) dan terdapat gevel atau mahkota di atas
serambi depan dan belakang.
3. Menggunakan atap perisai.
3) Tahun 1902 sampai tahun 1920-an
Secara umum, ciri dan karakter arsitektur kolonial di Indonesia pada tahun 1900-
1920-an :
1. Menggunakan Gevel (gable) pada tampak depan bangunan
2. Bentuk gable sangat bervariasi seperti curvilinear gable, stepped gable, gambrel
gable, pediment (dengan entablure).
3. Penggunaan Tower pada bangunan
4. Tower pada mulanya digunakan pada bangunan gereja kemudian diambil alih oelh
bangunan umum dan menjadi mode pada arsitektur kolonial Belanda pada abad ke
20.
5. Bentuknya bermacam-macam, ada yang bulat, segiempat ramping, dan ada yang
dikombinasikan dengan gevel depan.
6. Penggunaan Dormer pada bangunan
7. Penyesuaian bangunan terhadap iklim tropis basah
-> Ventilasi yang lebar dan tinggi.
-> Membuat Galeri atau serambi sepanjang bangunan sebagai antisipasi dari hujan
dan sinar matahari.
4) Tahun 1920 sampai tahun 1940-an
Gerakan pembaharuan dalam arsitektur baik di tingkat nasional maupun
internasional. Hal ini mempengaruhi arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Pada
awal abad 20, arsitek-arsitek yang baru datang dari negeri Belanda memunculkan
pendekatan untuk rancangan arsitektur di Hindia Belanda. Aliran baru ini, semula
masih memegang unsur-unsur mendasar bentuk klasik, memasukkan unsur-unsur
yang terutama dirancang untuk mengantisipasi matahari hujan lebat tropik. Selain
unsur-unsur arsitektur tropis, juga memasukkan unsur-unsur arsitektur tradisional
(asli) Indonesia sehingga menjadi konsep yang eklektis. Konsep ini nampak pada
karya Maclaine Pont seperti kampus Technische Hogeschool (ITB), Gereja Poh
sarang di Kediri.
2.5 Beberapa Aliran Yang Mempengaruhi Perkembangan Arsitektur Kolonial
Di Indonesia
1) Gaya Neo Klasik (the Empire Style / the Dutch Colonial Villa) (tahun 1800)

Gedung Grahdi Surabaya


Ciri – Ciri dan Karakteristik :
1. Denah simetris penuh dengan satu lanmtai atas dan ditutup dengan atap perisai.
2. Temboknya tebal
3. Langit – langitnya tinggi
4. Lantainya dari marmer
5. Beranda depan dan belakang sangat luas dan terbuka
6. Diujung beranda terdapat barisan pilar atau kolom bergaya Yunani (doric, ionic,
korinthia)
7. Pilar menjulang ke atas sebagai pendukung atap
8. Terdapat gevel dan mahkota diatas beranda depan dan belakang
9. Terdapat central room yang berhubungan langsung dengan beranda depan dan
belakang, kiri kananya terdapat kamar tidur
10. Daerah servis dibagian belakang dihubungkan dengan rumah induk oleh galeri.
Beranda belakang sebagai ruang makan.
11. Terletak ditanah luas dengan kebun di depan, samping dan belakang.
2) Bentuk Vernacular Belanda dan Penyesuaian Terhadap Iklim Tropis (sesudah
tahun 1900)

Stasiun Meester Cornelis( Jatinegara)


Ciri dan karakteristik :
1. Penggunaan gevel(gable) pada tampak depan bangunan
2. Penggunaan tower pada bangunan
3. Penggunaan dormer pada bangunan
Beberapa penyesuaian dengan iklim tropis basah di Indonesia:
1. Denah tipis bentuk bangunan rampingBanyak bukaan untuk aliran udara
memudahkan cross ventilasi yang diperlukan iklim tropis basah.
2. Galeri sepanjang bangunan untuk menghindari tampias hujandan sinar
matahari langsung.
3. Layout bangunan menghadap Utara Selatan dengan orientasi tepat terhadap
sinar matahari tropis Timur Bara.t
3) Gaya Neogothic ( sesudah tahun 1900)

Gereja Hati Kudus Yesus


Ciri-ciri dan karakteristik
1. Denah tidak berbentuk salib tetapi berbentuk kotak.
2. Tidak ada penyangga( flying buttress)karena atapnya tidak begitu tinggi tidak
runga yang dinamakan double aisle atau nave seperti layaknya gereja gothic.
3. Disebelah depan dari denahnya disisi kanan dan kiri terdapat tangga yang
dipakai untuk naik ke lantai 2 yang tidak penuh.
4. Terdapat dua tower( menara ) pada tampak mukanya, dimana tangga tersebut
ditempatkan dengan konstruksi rangka khas gothic
5. Jendela kacanya berbentuk busur lancip
6. Plafond pada langit-langit berbentuk lekukan khas gothic yang terbuat dari
besi.
4) Nieuwe Bouwen / International Style( sesudah tahun 1900-an)
Kantor Walikota Palembang
Ciri-ciri dan karakteristik ;
1. Atap datar
2. Gevel horizontal
3. Volume bangunan berbentuk kubus
4. Berwarna putih
5) Nieuwe Bouwen / International Style di Hindia Belanda mempunyai 2 aliran
utama ;
A. Nieuwe Zakelijkheid
Ciri-ciri dan karakteristik ; Mencoba mencari keseimbangan terhadap garis
dan massa
Bentuk-bentuk asimetris void saling tindih ( interplay dari garis hoeizontal
dan vertical)
Contoh :

Kantor Borsumij ( GC. Citroen)


B. Ekspresionistik ;
Ciri-ciri dan karakteristik ; Wujud curvilinie
Contoh :

villa Isola ( CP.Wolf ) Hotel Savoy Homann( AF aalbers)


Art Deco

Ciri – ciri dan karakteristik :


1. Gaya yang ditampilkan berkesan mewah dan menimbulkan rasa
romantisme
2. Pemakaian bahan – bahan dasar yang langka serta material yang mahal
3. Bentuk massif
4. Atap datar
5. Perletakan asimetris dari bentukan geometris
6. Dominasi garis lengkung plastis
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam perkembangan, arsitektur selalu mendapat pengaruh dari gaya atau langgam yang
berkembang pada masa tertentu, sehingga akan mengalami beberapa periode perkembangan.
Indonesia yang merupakan bekas jajahan Belanda, sehingga banyak mendapat pengaruh dari
negeri kolonial tersebut. Dalam segi arsitektur, pengaruh nampak pada bangunan. Bertolak
dari itu perlu kiranya diadakan penelitian dan pembahasan tentang bangunan arsitektur yang
merupakan perpaduan antara arsitektur Belanda dan arsitektur tradisional Jawa Tengah.
3.2 Saran
Arsitektur kolonial memiliki sejarah yang cukup panjang dan dalam makalah ini tidak
dicantumkan secara menyeluruh oleh karena itu di sarankan kepada pembaca agar mencari
lagi referensi-referensi tentang arsitektur kolonial di Indonesia untuk menambah wawasan .
DAFTAR PUSTAKA

https://www.slideshare.net/renashiru/arsitektur-kolonial

http://nuharifiandi.blogspot.com/2012/03/arsitektur-kolonial-belanda.html

https://dheavours.wordpress.com/2015/06/11/arsitektur-kolonial/

Anda mungkin juga menyukai