Anda di halaman 1dari 25

Arsitektur Kolonial

Pengertian Arsitektur
Kata arsitektur dalam bahasa Yunani archi yang berarti kepala, ketua dan
tecton yang berarti tukang, sehingga architecton berarti kepala tukang, merujuk
kepada profesi, kemahiran dan keahlian menukang dalam hal bangunan.Pekerjaan
merancang dengan memperhitungkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
rancang bangun, sehingga menjadikan arsitektur sebagi ilmu pengetahuan yang
menggabungkan seni dan teknologi.
Arsitektur adalah cerminan dari kebudayaan, oleh Karena itu, dari sebuah
karya arsitektur, kita dapat mengetahui latar belakang budaya satu bangsa,
Hidayatun (2005)
Arsitektur

adalah

hasil

proses

perancangan

dan

pembangunan

seseorang/sekelompok orang dalam rangka memenuhi kebutuahan ruang untuk


melaksanakan kegiatan tertentu. Arsitektur juga berarti seni bangunan, ilmu yang
mempelajari tentang bangunan lebih Mangun Wijaya (1992) arsitektur dalam bahasa
jawa kuno adalah Wastuwidya (vastu-wastu = bangunan, vidia-widia = ilmu).
Pengertian yang lebih luas dan menyeluruh jika dibandingkan dengan kata-kata
Yunani Archtectonicas (seni bangunan) yang berarti pembangunan utama atau ahli
pembangunan.
Arsitektur merupakan wujud aktivitas desain yang cukup tua sejalan dengan
peradaban manusia itu sendiri. Sejak surutnya masa kejayaan kebudayaan Hindu
dan Islam di Indonesia, pada masa kolonial awal pembangunan perumahan dan
kawasan hunian memiliki kecenderungan mengadopsi kebudayaan arsitektur yang
ada di Eropa (Hersanti, 2008).
Perkembangan arsitektur sejalan dengan perkembangan perbedaan manusia
dari periode ke periode berikutnya. Dimana manusia membutuhkan ruang sebagai
wadah kegiatan hidup dengan aman, nyaman, bermanfaat, dan dapat memberikan
kenikmatan, dan rasa kebahagiaan.

Wardani (2009). Arsitektur selalu berkembang sejajar dengan perkembangan


kota, walau periodisasi perkembangannya tidak selalu sama. Hal ini dimungkinkan
karena perkembangan arsitektur mempunyai gaya atau style tersendiri yang tidak
selalu sama dengan perkembangan kota.
Beberapa pendapat diatas tentang arsitektur, maka dapat disimpulkan bahwa
arsitektur adalah suatu teknik merancang dan merencanakan ruang sebagai wadah
aktifitas kehidupan manusia yang nyaman dan memberikan rasa aman serta
kebahagiaan pada waktu dan periode tertentu.

Perkembangan Arsitektur

Untuk

mengetahui

perkembangan

arsitektur

secara

umum

dapat

dikelompokkan atas dua bagian, yaitu arsitektur dalam budaya barat dan arsitektur
dalam budaya timur.
1. Arsitektur Dalam Budaya Barat
Arsitektur dalam budaya barat merupakan arsitektur yang didasari dari
pemikiran-pemikiran arsitektur klasik yang berasal dari bangsa Yunani dan Romawi
selanjutnya berkembang yaitu masa renaissance yang merupakan kelahiran kembali
arsitektur klasik.
Para pemikir barat memandang berbagai hal termasuk arsitektur merupakan
ilmu yang perlu dikaji dan dipelajari, sehingga menciptakan berbagai pandangan
baru tentang arsitektur, tidak lain didukung dengan kemanjuan teknolgi dalam masa
revolusi industri sekitar abad ke-18.
Arsitektur pasca renaissance terjadi pencampuran antara gaya arsitektur
klasik. Hal ini menandakan adanya perubahan mendasar dalam arsitektur.
Percampuran ini terjadi selain Karen perubahan kebudayaan, pola pikir, juga
disebabkan banyaknya pilihan bentuk. Zaman ini juga dalam sejarah perkembangan
arsitektur disebut zaman neoklasik.
Pada abad ke XIX meskipun elemen dan bentuk klasik masih mendominasi
karya-karya arsitektur, tetapi konsep dasar tidak diterapkan lagi. Masa akhirnya

arsitektur klasik terjadi sejak revolusi industri sekitar abad ke-18 di Inggris
menimbulkan perubahan sosial, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan yang
sangat besar termasuk seni dan arsitektur. Perubahan mendasar di bidang arsitektur
antara lain elemen, ornamen yang ditempatkan lebih bebas dibandingkan dengan
struktur dan ruang. Ornamen keindahan dalam arsitektur klasik masih tetap menjadi
aspek penting pada masa itu. Akan tetapi percampuran berbagai bentuk, konsep,
dan ornamen sangat menonjol.
Akhirnya, arsitektur klasik terbentuk dengan bentuk dan fungsi yang berbeda
sehingga timbulah gaya arsitektur ekletik yang berarti menambil elemen-elemen
terbaik, di gabung dan di konstruksi ulang sehingga menghasilkan bentuk tersendiri.
Setelah masa itu ilmu arsitektur berkembang lebih cepat dimulai dari moderenisme
awal, moderenisme fungsional, kubisme, internasional, hingga post modern.
2. Arsitektur Dalam Budaya Timur
Arsitektur yang berkembang dalam budaya timur banyak dipengaruhi oleh
pandangan dan pemikiran tentang hal-hal seperti buadaya dan tradisi

a) Pandangan Budaya
Arsitektur yang terjadi di dunia timur, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai, sikap
hidup dan pandangan masyarakat timur itu sendiri. Pembahasan arsitektur secara
subtantial tidak dibagi dalam urutan waktu, akan tetapi lebih ditekankan pada aspek
yang berpengaruh secara mendasar terhadap terbentuknya arsitektur. Dunia timur
dimaksud dalam pembahasan ini adalah kawasan yang dipengaruhi oleh
kebudayaan kebudayaan-kebudayaan besar seperti India, cina, Arab, Jepang, dan
lain-lain

b) Pandangan Terhadap Ruang dan Bentuk


Pemikir yang sangat berpengaruh dalam meletakkan dasar pemikiran
mengenai ruang adalah Lao Tzu yang hidup pada tahun 550 SM. Ia menyatakan
bahwa ruang yang terkandung didalam adalah hakiki dari pada materialnya. Hal ini

terlihat dari bukunya yang tertulis Tao the ching Lao Tzu menyatukan Being (yang
ada) dan non Being (yang tiada). Lao Tzu menekankan pada batas antara ruang
internal dan ruang eksternal, yakni adanya dinding pemisah. Interprestasi batas
sebagai kesinambunagan ruang, menggeser tekenan ruang didalam terhadap
bagian-bagian banguanan yang menerjemahkan ruang internal menjadi ruang
ekternal, Van de ven (1991)
Berarsitektur bukan hanya berbicara tentang bentuk fisik jasmani saja.
Melainkan merupakan penampakkan batin dari dalam ke luar. Sebagai adanya
manusia, untuk tubuh dan roh merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.

c) Pandangan Estetika
Pandangan orang timur tentang estetika yang tetuang dalam bentuk, irama
proporsi, pemakaian material, dan lain-lain hal ini lebih disebabkan pengaruh
kosmis, mistis, dan agama. Oleh sebab itu asas rohaiah yang menghendaki bentuk
ornamen, simbol, demi keselamatan keluarga dan lingkungan. Sebagai contoh
pembagian proporsi yang harmonis pada candi kerajaan bukan karena pemikiran
geometris semata, melankan lebih dipengaruhi oleh kosmologi, pembagian dunia
atas, tengah dan dunia bawah, yang mengandung makna tersendiri.
Cita rasa sederhana dan polos pada estetika Jepang lebih berdasarkan pada
pemahaman dan persyaratan orang-orang Jepang terhadap Shinto. Demikian juang
etnis-etinis lainnya di Indonesia lebih bermakna simbolik terhadap pemujaan kepada
sang kuasa demi terciptanya keselarasan hidup dengan alam.

Kolonialisme Belanda

Kolonialisme di Indonesia dan bangsa Belanda dimulai ketika ekspedisi


Cornelis de Houtman berlabuh di pantai utara Jawa guna mencari rempah-rempah.
Pada perkembangan selanjutnya terjadi hubungan dagang antara bangsa Indonesia
dengan orang-orang Belanda. Hubungan perdagangan tersebut lambat laun
berubah drastis menjadi hubungan antara penjajah dan terjajah, terutama setelah

didirikannya VOC. Penjajahan Belanda berlangsung sampai tahun 1942, meskipun


sempat diselingi oleh Inggris selama lima tahun yaitu antara 1811-1816. Selama
kurang lebih 350 tahun bangsa Belanda telah memberi pengaruh yang cukup besar
terhadap kebudayaan Indonesia.
Kolonialisme Belanda di Indonesia depat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu :
1. Fase antara 1602-1800 : yaitu fase ketika Belanda dengan VOC

menggalakkan handels kapitalisme.


2. Fase antara 1800-1850 : fase ini diselingi oleh penjajahan Inggris, pada

masa ini Belanda menciptakan dan melaksanakan cultuurstelsel.


3. Fase antara 1850-1870 ; cultuurstelsel dihapus diganti oleh politik liberal

kolonial.
4. Fase setelah 1900 : makin bertambah perusahaan asing yang ada di

Indonesia akibat politik open door negeri Belanda.


Selain melakukan imperialisme di bidang ekonomi Belanda juga melakukan
imperialisme di bidang kebudayaan. Hal ini terbukti dengan adanya politik etis Van
Deventer. Van Deventer dalam Tweede Kamer 1912 menyatakan bahwa
Humanisme Barat (maksudnya politik etisnya) telah memberi keuntungan besar,
ialah dapat memungkinkan adanya asosiasi kebudayaan antar timur dan barat.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam politik etis Van Deventer terutama
program edukasinya merupakan pelaksaanan dari politik asosiasi. Politik asosiasi
berarti bangsa penjajah berupaya menghilangkan jurang pemisah antara penjajah
dengan bangsa terjajah dengan melenyapkan kebudayaan bangsa terjajah diganti
dengan kebudayan penjajah. Politik asosiasi memungkinkan Belanda untuk
memasukkan nilai-nilai kolonialismenya pada kebudayaan Indonesia, baik yang
bersifat rohani, maupun yang terkait dengan produk fisik kebudayaan.
Prawidyarto (2004), mengunkapkan kolonialisme Belanda memiliki ciri-ciri
poko sebagai berikut:
1. Membeda-bedakan warna kulit (color line).

2. Menjadikan tempat jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi

negara induk.
3. Perbaikan sosial sedikit.
4. Jarak sosial yang jauh antara bangsa terjajah dengan penjajah.

Arsitektur Kolonial Belanda


Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental
(Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan bangunan.
Para pengelola kota dan arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau
tradisional dalam perencanaan dan pengembangan kota, permukiman dan
bangunan-bangunan, Wardani (2009).
Wardani (2009). Adanya pencampuran budaya, membuat arsitektur kolonial di
Indonesia menjadi fenomena budaya yang unik. Arsitektur kolonial di berbagai
tempat di Indonesia apabila diteliti lebih jauh, mempunyai perbedaan-perbedaan dan
ciri tersendiri antara tempat yang satu dengan yang lain.
Arsitektur kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik, yakni gaya
yang berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Ciri menonjol
terletak pada bentuk dasar bangunan dengan trap-trap tangga naik (cripedoma).
Kolom-kolom dorik, ionik dan corinthian dengan berbagai bentuk ornamen pada
kapitalnya. Bentuk pedimen, yakni bentuk segi tiga berisi relife mitos Yunani atau
Romawi di atas deretan kolom. Bentuk-bentuk tympanum (konstruksi dinding
berbentuk segi tiga atau setengah lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela
berfungsi sebagai hiasan.
Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya
Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan diperuntukkan
bagi bangsa Belanda yang tinggal di Indonesia, pada masa sebelum kemerdekaan.
Arsitektur yang hadir pada awal masa setelah kemerdekaan sedikit banyak
dipengaruhi oleh arsitektur kolonial disamping itu juga adanya pengaruh dari
keinginan para arsitek untuk berbeda dari arsitektur kolonial yang sudah ada.
Safeyah ( 2006).

Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di


Netherland tahun 1624-1820. Ciri-cirinya yakni (1) facade simetris, (2) material
dari batu bata atau kayu tanpa pelapis, (3) entrance mempunyai dua daun
pintu, (4) pintu masuk terletak di samping bangunan, (5) denah simetris, (6)
jendela

besar

berbingkai

kayu,

(7)

terdapat

dormer

(bukaan

pada

atap) Wardani, (2009


Arsitektur

kolonial

adalah

arsitektur

cangkokan

dari

negeri

induknya

Eropa kedaerah jajahannya, Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda


yang dikembangkan di Indonesia, selama Indonesia masih dalam

kekuasaan

Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942 (Soekiman,2011).


Eko

Budihardjo

adalah bangunan

(1919),

peninggalan

menjelaskan

pemerintah

arsitektur

kolonial

Belanda

kolonial
seperti

Belanda
benteng

Vastenburg, Bank Indonesia di Surakarta dan masih banyak lagi termasuk bangunan
yang ada di Karaton Surakarta dan Puri Mangkunegaran.
Kartono (2004) mengatakan bahwa sistem budaya, sistem sosial, dan sistem
teknologi dapat mempengaruhi wujud arsitektur. Perubahan wujud arsitektur
dipengaruhi oleh banyak aspek, akan tetapi perubahan salah satu aspek saja dalam
kehidupan masyarakat dapat mempengaruhi wujud arsitektur.
Arsitektur kolonial Belanda merupakan bangunan peninggalan pemerintah
Belada dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang merupakan aset besar
dalam perjalanan sejarah bangsa.

Karakteristik Arsitektur
Istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris yakni characteristic, yang
artinya mengandung sifat khas. Ia mengungkapkan sifat-sifat yang khas dari
sesuatu. Dalam kamus psikologi, dijelaskan bahwa karakteristik merupakan sinonim
dari kata karakter, watak, dan sifat yang memiliki pengertian di antaranya:

1. Suatu kualitas atau sifat yang tetap terus-menerus dan kekal yang dapat

dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang pribadi, suatu objek, suatu


kejadian.
2. Intergrasi atau sintesis dari sifat-sifat individual dalam bentuk suatu kesatuan.
3. Kepribadian seeorang, dipertimbangkan dari titik pandangan etis atau moral.

Arsitektur adalah adalah ruang tempat hidup manusia dengan berbahagia.


Sebagai wadah manusia untuk hidup dan beraktivitas, arsitektur juga memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dengan manusia. Maka dengan demikian arsitektur
juga berkemampuan untuk berkomunikasi dengan manusia dan lingkungannya.
Mangunwijaya (2009) mengungkapkan bahwa arsitektur punya guna dan citra. Citra
itu disampaikan dalam bahasa pesan dan kesan arsitektur pada lingkungannya.
Jadi diantara pengertian-pengertian di atas sebagaimana yang telah
dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa karakteristik itu adalah suatu sifat yang
khas, yang melekat pada seseorang atau suatu objek.
Aspek Arsitektur
Widyati (2004) mengklasifikasikan arsitektur bangunan bersejarah yang tidak
akan terlepas dari fungsi, material dan style atau gaya. Hal ini diperkuat oleh teori
Barry dalam Widayati (2004) yang menekankan pada empat komponen utama yang
perlu analisis atau diteliti studi terhadap fasade bangunan yaitu: pattern, alligment,
size dan shape dalam melakukan klasifikasi arsitektur bersejarah.
Dalam bahasan selanjutnya komponen yang dapat digunakan untuk
membandingkan arsitektur bangunan kolonial Belanda di Makassar dengan dasardasar teori yang ada, dengan mengambil pendapat beberapa pakar, atau arsitektur
kolonial Belanda dapat diperoleh melalui studi pustaka.
Handinoto menyebutkan bahwa hal-hal pokok yang perlu dibahas dalam
arsitektur kolonial Belanda adalah sebagai berikut:

a. Periodesasi
Handinoto (1996) membagi periodisasi perkembangan arsitektur kolonial
Belanda di Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian,
yaitu:

1) Abad 16 sampai tahun 1800-an


Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia
Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama
VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selama periode ini arsitektur kolonial
Belanda kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di Belanda serta tidak
mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunanbangunan tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan
setempat.

2) Tahun 1800-an sampai tahun 1902


Ketika pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan
dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-1815.
Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Indonesia waktu itu
diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda.
Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai
kaum

kolonialis

dengan

membangun

gedung-gedung

yang

berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam
dari gaya arsitektur neo-klasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur
nasional Belanda waktu itu.

3) Tahun 1902-1920-an
Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang
dinamakan politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu, pemukiman orang
Belanda tumbuh dengan cepat. Dengan adanya suasana tersebut, maka indische
architectuur menjadi terdesak dan hilang. Sebagai gantinya, muncul standar
arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya
arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.

4) Tahun 1920 sampai tahun 1940-an


Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional
maupun internasional di Belanda yang kemudian mempengaruhi arsitektur kolonial
di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara
langsung,

tetapi

kadang-kadang

juga

muncul

gaya

yang

disebut

sebagai ekletisisme (gaya campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek Belanda
yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda.
Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia sebagai
sumber pengembangannya.
b. Gaya bangunan
Gaya berasal dari bahasa Latin stilus yang artinya alat bantu tulis, yang
maksudnya tulisan tangan menunjukan dan mengekspresikan karakter individu.
Dengan melihat tulisan tangan seseorang, dapat diketahui siapa penulisnya. Gaya
bisa dipelajari karena sifatnya yang publik dan sosial Wardani (2009).
Gaya desain ini timbul dari keinginan dan usaha orang Eropa untuk
menciptakan negara jajahan seperti negara asal mereka. Pada kenyataannya,
desain tidak sesuai dengan bentuk aslinya karena iklim berbeda, material kurang
tersedia, teknik di negara jajahan, dan kekurangan lainnya. Akhirnya, diperoleh
bentuk modifikasi yang menyerupai desain di negara mereka, kemudian gaya ini
disebut gaya kolonial (wardani, 2009)

Gaya atau langgam adalah suatu hal yang tampak dan mudah dikenali dalam
desain arsitektur, seperti bentuk (wujud), tampak, elemen-elemen dan ornamen yang
biasa menyertainya.

1.

Bentuk
Arti kata bentuk secara umum, menunjukkan suatu kenyataan jumlah, tetapi
tetap merupakan suatu konsep yang berhubungan. Juga disebutkan sebagai dasar
pengertian kita mengenai realita dan seni.dalam arsitektur, arti kata bentuk
mempunyai pengertian berbeda-beda, sesuai dengan pandangan dan pemikiran
pengamatnya, (Suwondo, 1982).
Bentuk adalah wujud dari organisasi ruang yang merupakan hasil dari suatu
proses pemikiran. Proses didasarkan atas pertimbangan fungsi dan usaha
pernyataan diri (ekspresi). Menurut Mies van der Rohe dalam Sutedjo (1982) bentuk
adalah wujud dari penyelesaian akhir dari konstruksi yang pengertiannya sama.
Benjemin Handler mengatakan, bentuk adalah wujud keseluruahan dari fungsifungsi yang bekerja secara bersamaan, yang hasilnya merupakan susunan suatu
bentuk.
Bentuk merupakan ekspresi fisik yang berupa wujud dapat diukur dan
berkarakter karena memeilki tekstur berupa tampak baik berupa tampak tiga dimensi
maupun tampak dua dimensi.

2) Fasade/Tampak bangunan
Fasade bangunan merupakan elemen arsitektur terpenting yang mampu
menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan. Akar kata fasade (faade)
diambil

dari

kata

latin facies yang

merupakan

sinonim

dari

face

(wajah)

dan appearance (penampilan). Oleh karena itu, membicarakan wajah sebuah


bangunan, yaitu fasade, yang kita maksudkan adalah bagian depan yang
menghadap jalan, Juanda (2011).
Krier dalam Juanda (2011) Fasade adalah representasi atau ekspresi dari
berbagai aspek yang muncul dan dapat diamati secara visual. Dalam konteks
arsitektur kota, fasade bangunan tidak hanya bersifat dua dimensi saja akan tetapi
bersifat tiga dimensi yang dapat merepresentasikan masing-masing bangunan
tersebut dalam kepentingan public kota atau sebaliknya. Untuk itu komponen fasade
bangunan yang diamati meliputi
Selanjutnya menurut Krier (2001), wajah bangunan juga menceritakan dan
mencerminkan kepribadian penghuni bangunannya, memberikan semacam identits

kolektif sebagai suatu komunitas bagi mereka, dan pada puncaknya merupakan
representasi komunitas tersebut dalam publik. Aspek penting dalam wajah bangunan
adalah pembuatan semacam pembedaan antara elemen horizontal dan vertikal,
dimana proporsi elemen tersebut harus sesuai terhadap keseluruhannya.
3) Elemen arsitektur
Pengaruh budaya barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada
bentuk arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Pintu termasuk terletak tepat ditengah,
diapit dengan jendela-jendela besar pada kedua sisinya. Bangunan bergaya kolonial
adalah manifestasi dari nilai-nilai budaya yang ditampilkan bentuk atap, dinding,
pintu, dan jendela serta bentuk ornamen dengan kualitas tinggi sebagai elemen
penghias gedung.
Elemen-elemen pendukung wajah bangunan menurut Krier (2001), antara lain
adalah sebagai berikut:
a) Atap
Jenis atap ada bermacam-macam. Jenis yang sering dijumpai saat ini adalah
atap datar yang terbuat dari beton cor dan atap miring berbentuk perisai ataupun
pelana. Secara umum, atap adalah ruang yang tidak jelas, yang paling sering
dikorbankan untuk tujuan eksploitasi volume bangunan. Atap merupakan mahkota
bagi bangunan yang disangga oleh kaki dan tubuh bangunan, bukti dan fungsinya
sebagai perwujudan kebanggaan dan martabat dari bangunan itu sendiri.
Secara visual, atap merupakan sebuah akhiran dari wajah bangunan, yang
seringkali disisipi dengan loteng, sehingga atap bergerak mundur dari pandangan
mata manusia. Perlunya bagian ini diperlakukan dari segi fungsi dan bentuk, berasal
dari kenyataan bangunan memiliki bagian bawah (alas) yang menyuarakan
hubungan dengan bumi, dan bagian atas yang memberitahu batas bangunan
berakhir dalam konteks vertikal.

b) Pintu

Pintu

memainkan

peranan

penting

dan

sangat

menentukan

dalam

menghasilkan arah dan makna yang tepat pada suatu ruang. Ukuran umum pintu
yang biasa digunakan adalah perbandingan proporsi 1:2 atau 1:3. ukuran pintu
selalu memiliki makna yang berbeda, misalnya pintu berukuran pendek, digunakan
sebagai entrance ke dalam ruangan yang lebih privat. Skala manusia tidak selalu
menjadi patokan untuk menentukan ukuran sebuah pintu. Contohnya pada sebuah
bangunan monumental, biasanya ukuran dari pintu dan bukaan lainnya disesuaikan
dengan proporsi kawasan sekitarnya.
Posisi pintu ditentukan oleh fungsi ruangan atau bangunan, bahkan pada
batasan-batasan fungsional yang rumit, yang memiliki keharmonisan geometris
dengan ruang tersebut. Proporsi tinggi pintu dan ambang datar pintu terhadap
bidang-bidang sisa pada sisi-sisi lubang pintu adalah hal yang penting untuk
diperhatikan.

Sebagai

suatu

aturan,

pengaplikasian

sistem

proporsi

yang

menentukan denah lantai dasar dan tinggi sebuah bangunan, juga terhadap elemenelemen pintu dan jendela. Alternatif lainnya adalah dengan membuat relung-relung
pada dinding atau konsentrasi suatu kelompok bukaan seperti pintu dan jendela.
c) Jendela
Jendela dapat membuat orang yang berada di luar bangunan dapat
membayangkan

keindahan

ruangan-ruangan

dibaliknya,

begitu

pula

sebaliknya. Krier (2001), mengungkapkannya sebagai berikut: ...dari sisi manapun


kita memasukkan cahaya, kita wajib membuat bukaan untuknya, yang selalu
memberikan kita pandangan ke langit yang bebas, dan puncak bukaan tersebut
tidak boleh terlalu rendah, karena kita harus melihat cahaya dengan mata kita, dan
bukanlah dengan tumit kita: selain ketidaknyamanan, yaitu jika seseorang berada di
antara sesuatu dan jendela, cahaya akan terperangkap, dan seluruh bagian dari sisa
ruangan akan gelap... Pada beberapa masa, evaluasi dan makna dari tingkattingkat tertentu diaplikasikan pada rancangan jendelanya. Susunan pada bangunanbangunan ini mewakili kondisi-kondisi sosial, karena masing-masing tingkat dihuni
oleh anggota dari kelas sosial yang berbeda.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan jendela pada wajah bangunan,
antara lain adalah sebagai berikut, proporsi geometris wajah bangunan:

Penataan komposisi, yaitu dengan pembuatan zona wajah bangunan yang


terencana.

Memperhatikan keharmonisan proporsi geometri, jendela memberikan distribusi


pada wajah bangunan, oleh karena itu, salah satu efek atau elemen tertentu tidak
dapat dihilangkan atau bahkan dihilangkan.

Jendela dapat bergabung dalam kelompok-kelompok kecil atau membagi wajah


bangunan dengan elemen-elemen yang hampir terpisah dan membentuk simbol
atau makna tertentu.
d) Dinding
Keberadaan jendela memang menjadi salah satu unsur penting dalam
pembentukan wajah bangunan bangunan, akan tetapi dinding juga memiliki peranan
yang tidak kalah pentingnya dengan jendela, dalam pembentukan wajah bangunan.
Penataan dinding juga dapat diperlakukan sebagai bagian dari seni pahat sebuah
bangunan, bagian khusus dari bangunan dapat ditonjolkan dengan pengolahan
dinding yang unik, yang bisa didapatkan dari pemilihan bahan, ataupun
cara finishing dari dinding itu sendiri, seperti warna cat, tekstur, dan juga tekniknya.
Permainan

kedalaman

dinding

juga

dapat

digunakan

sebagai

alat

untuk

menonjolkan wajah bangunan.

Perkembangan Arsitektur Antara Tahun 1870-1900

Akibat kehidupan di Jawa yang berbeda dengan cara hidup masyarakat


Belanda di negeri Belanda maka di Hindia Belanda (Indonesia) kemudian terbentuk
gaya arsitektur tersendiri. Gaya tersebut sebenarnya dipelopori oleh Gubernur
Jenderal HW. Daendels yang datang ke Hindia Belanda (1808-1811). Daendels
adalah seorang mantan jenderal angkatan darat Napoleon, sehingga gaya arsitektur
yang didirikan Daendels memiliki ciri khas gaya Perancis, terlepas dari kebudayaan
induknya, yakni Belanda.
Gaya arsitektur Hindia Belanda abad ke-19 yang dipopulerkan Daendels
tersebut kemudian dikenal dengan sebutan The

Empire Style. Gaya ini oleh

Handinoto juga dapat disebut sebagai The Dutch Colonial. Gaya arsitektur The

Empire Style adalah suatu gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama
Prancis, bukan Belanda) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk
gaya Hindia Belanda (Indonesia) yang bergaya kolonial, yang disesuaikan dengan
lingkungan lokal dengan iklim dan tersedianya material pada waktu itu (Akihary
dalam Handinoto, 1996: 132). Ciri-cirinya antara lain: denah yang simetris, satu
lantai dan ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya:
terbuka, terdapat pilar di serambi depan dan belakang, terdapat serambi tengah
yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lain. Ciri khas dari gaya arsitektur ini
yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya Yunani) yang menjulang ke atas
serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan dan belakang. Serambi
belakang seringkali digunakan sebagai ruang makan dan pada bagian belakangnya
dihubungkan dengan daerah servis (Handinoto, 1996: 132-133).

Perkembangan Arsitektur Sesudah Tahun 1900

Handinoto (1996: 163) menyebutkan bahwa, bentuk arsitektur kolonial


Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900 merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk
tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di
Belanda pada waktu yang bersamaan dengan penyesuaian iklim tropis basah
Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang
mengambil elemen-elemen tradisional setempat yang kemudian diterapkan ke
dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di
Indonesia tersebut adalah suatu bentuk khas yang berlainan dengan arsitektur
modern yang ada di Belanda sendiri.
Handinoto (1996: 151-163) juga menguraikan bahwa, kebangkitan arsitektur
Belanda sebenarnya dimulai dari seorang arsitek Neo-Gothik, PJH. Cuypers (18271921) yang kemudian disusul oleh para arsitek dari aliran Niuwe Kunst

(Art

Nouveau gaya Belanda) HP. Berlage (185-1934) dan rekan-rekannya seperti Willem
Kromhout (1864-1940), KPC. De Bazel (1869-1928), JLM. Lauweriks (1864-1932),
dan Edward Cuypers (1859-1927). Gerakan Nieuw Kunst yang dirintis oleh Berlage

di Belanda ini kemudian melahirkan dua aliran arsitektur modern yaitu The
Amsterdam School serta aliran De Stijl. Adapun penjelasan mengenai arsitekturArt
Nouveau, The Amsterdam School dan De Stijl dapat dijabarkan sebagai berikut:

a) Art Nouveau
Art Nouveau adalah gerakan internasional dan gaya seni arsitektur dan
diterapkan terutama pada seni-seni dekoratif yang memuncak pada popularitas di
pergantian abad 20 (1890-1905). Nama Art Nouveau adalah bahasa Perancis untuk
seni baru. Gaya ini ditandai dengan bentuk organik, khususnya yang diilhami motifmotif bunga dan tanaman lain, dan juga sangat bergaya bentuk-bentuk lengkung
yang mengalir. Gaya Art Nouveau dan pendekatannya telah diterapkan dalam hal
arsitektur, melukis, furnitur, gelas, desain grafis, perhiasan, tembikar, logam, dan
tekstil dan patung. Hal ini sejalan dengan filosofi Art Nouveau bahwa seni harus
menjadi

bagian

dari

kehidupan

sehari-hari

(sumber:

http://en.wikipedia.org/wiki/Art_Nouveau).

b) The Amsterdam School


Arsitektur Amsterdam School, yang pada awalnya berkembang disekitar
Amsterdam, berakar pada sebuah aliran yang dinamakan sebagai Nieuwe Kunst di
Belanda. Nieuwe Kunst adalah versi Belanda dari aliranArt Nouveau yang masuk
ke Belanda pada peralihan abad 19 ke 20, (1892-1904). Agak berbeda dengan Art
Nouveau, didalam dunia desain Nieuwe Kunst yang berkembang di Belanda,
berpegang pada dua hal yang pokok, pertama adalah orisinalitas dan kedua adalah
spritualitas, disamping rasionalitas yang membantu dalam validitas universal dari
bentuk yang diciptakan (de Wit dalam Handinoto, e-journal ilmiah Petra Surabaya).
Aliran Amsterdam Shool menafsirkan orisinalitas ini sebagai sesuatu yang harus
dimiliki oleh setiap perancang, sehingga setiap desain yang dihasilkan, harus
merupakan ekspresi pribadi perancangnya. Sedangkan spritualitas ditafsirkan
sebagai

metode

penciptaan

yang

didasarkan

atas

penalaran

yang

bisa

menghasilkan karya-karya seni (termasuk arsitektur), dengan memakai bahan dasar


yang berasal dari alam (bata, kayu, batu alam, tanah liat, dsb.nya). Bahan-bahan

alam tersebut dipasang dengan ketrampilan tangan yang tinggi sehingga


memungkinkan dibuatnya

bermacam-macam ornamentasi yang indah. Tapi

semuanya ini harus tetap memperhatikan fungsi utamanya.


Pada tahun 1915, Nieuwe Kunst ini kemudian terpecah menjadi dua aliran.
Pertama yaitu aliranAmsterdam School dan yang kedua adalah De Stijl. Meskipun
berasal dari sumber yang sama dan mempunyai panutan yang sama (H.P. Berlage),
tapi ternyata kedua aliran arsitektur ini mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut
dapat dijelaskan bahwa Amsterdam School tidak pernah menerima mesin sebagai
alat penggandaan hasil karya-karyanya. Hal ini berbeda dengan De Stijl, yang
menganggap hasil karya dengan gaya tersebut sebagai nilai estetika publik atau
estetika universal, dan bisa menerima mesin sebagai alat pengganda karyakaryanya.
Pengertian lain mengenai Amsterdam School (Belanda: Amsterdamse School)
adalah gaya arsitektur yang muncul dari 1910 sampai sekitar 1930 di Belanda. Gaya
ini ditandai oleh konstruksi batu bata dan batu dengan penampilan bulat atau
organik, massa relatif tradisional, dan integrasi dari skema yang rumit pada elemen
bangunan luar dan dalam: batu dekoratif, seni kaca, besi tempa, menara atau
tangga jendela (dengan horizontal bar), dan diintegrasikan dengan sculpture
arsitektural. Tujuannya adalah untuk menciptakan pengalaman total arsitektur,
interior dan eksterior. (sumber:http://en.wikipedia.org/wiki/Amsterdam_School)
Di samping karakteristik diatas, ciri-ciri lain dari aliran Amsterdam School oleh
Handinoto (dalam e-journal ilmiah Petra Surabaya), antara lain :
Bagi Amsterdam School, karya orisinalitas merupakan sesuatu yang harus
dimiliki oleh setiap perancang, sehingga setiap desain yang dihasilkan, harus
merupakan ekspresi pribadi perancangnya. Nilai estetika dari karya-karya
aliran Amsterdam School bukan bersifat publik atau estetika universal. Itulah
sebabnya Amsterdam School tidak pernah menerima mesin sebagai alat
penggandaan hasil karyanya.
Bagi Amsterdam School mengekspresikan ide dari suatu gagasan lebih
penting dibanding suatu studi rasional atas kebutuhan perumahan ke arah
pengembangan baru dari jenis denah lantai dasar suatu bangunan

Arsitek dan desainer dari aliran Amsterdam School melihat bangunan sebagai
total work of art, mereka melihat bahwa desain interior harus mendapat
perhatian yang sama sebagai gagasan yang terpadu dalam arsitektur itu
sendiri, dan hal tersebut sama sekali bukan merupakan hasil kerja atau
produk mekanis. Pada saat yang sama, mereka berusaha untuk memadukan
tampak luar dan bagian dalam (interior) bangunan menjadi suatu kesatuan
yang utuh.
Bangunan dari aliran Amsterdam School biasanya dibuat dari susunan bata
yang dikerjakan dengan keahlian tangan yang tinggi dan bentuknya sangat
plastis; ornamen skulptural dan diferensiasi warna dari bahan-bahan asli
(bata, batu alam, kayu) memainkan peran penting dalam desainnya.
Walaupun arsitek aliran Amsterdam School sering bekerja sama dengan
pemahat dan ahli kerajinan tangan lainnya, mereka menganggap arsitektur
sebagai unsur yang paling utama dan oleh karenanya harus sanggup
mendikte semua seni yang lain.

(Sumber:http://fportfolio.petra.ac.id/ e-jurnal ilmiah Petra Surabaya)

c) Gaya Arsitektur De Stijl


Gaya De Stijl dikenal sebagai neoplasticism, adalah gerakan artistik Belanda
yang didirikan pada 1917. Dalam hal ini, neoplasticism sendiri dapat diartikan
sebagai seni plastik baru. Pendukung De Stijl berusaha untuk mengekspresikan
utopia baru ideal dari keharmonisan spiritual dan ketertiban. Mereka menganjurkan
abstraksi murni dan universalitas dengan pengurangan sampai ke inti bentuk dan
warna; mereka menyederhanakan komposisi visual ke arah vertikal dan horisontal,
dan hanya digunakan warna-warna primer bersamaan dengan warna hitam dan
putih.
Secara umum, De Stijl mengusulkan kesederhanaan dan abstraksi pokok,
baik dalam arsitektur dan lukisan dengan hanya menggunakan garis lurus horisontal
dan vertikal dan bentuk-bentuk persegi panjang. Selanjutnya, dari segi warna adalah

terbatas pada warna utama, merah, kuning, dan biru, dan tiga nilai utama, hitam,
putih, dan abu-abu. Gaya ini menghindari keseimbangan simetri dan mencapai
keseimbangan estetis dengan menggunakan oposisi.
(sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/De_Stijl)

Perkembangan Arsitektur Setelah Tahun 1920


Akihary (dalam Handinoto, 1996: 237-238) menggunakan istilah gaya
bangunan sesudah tahun 1920-an dengan nama Niuwe Bouwen yang merupakan
penganut dari aliran International Style. Seperti halnya arsitektur barat lain yang
diimpor, maka penerapannya disini selalu disesuaikan dengan iklim serta tingkat
teknologi setempat. Wujud umum dari dari penampilan arsitektur Niuwe Bouwen ini
menurut formalnya berwarna putih, atap datar, menggunakan gevel horizontal dan
volume bangunan yang berbentuk kubus

Gaya ini (Niuwe Bouwen/ New Building) adalah sebuah istilah untuk beberapa
arsitektur internasional dan perencanaan inovasi radikal dari periode 1915 hingga
sekitar tahun 1960. Gaya ini dianggap sebagai pelopor dari International Style.
Istilah Nieuwe Bouwen ini diciptakan pada tahun dua puluhan dan digunakan untuk
arsitektur modern pada periode ini di Jerman, Belanda dan Perancis. Arsitek Nieuwe
Bouwen nasional dan regional menolak tradisi dan pamer dan penampilan. Dia ingin
yang baru, bersih, berdasarkan bahasa desain sederhana, dan tanpa hiasan.
Karakteristik Nieuwe Bouwen meliputi: a) Transparansi, ruang, cahaya dan udara.
Hal ini dicapai melalui penggunaan bahan-bahan modern dan metode konstruksi. b)
Simetris dan pengulangan yaitu keseimbangan antara bagian-bagian yang tidak
setara. c) Penggunaan warna bukan sebagai hiasan namun sebagai sarana
ekspresi.
(sumber: http://nl.wikipedia.org/wiki/Nieuwe_Bouwen)

B. Berbagai Elemen Bangunan Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia


Elemen-elemen bangunan bercorak Belanda yang banyak digunakan dalam
arsitektur kolonial Hindia Belanda (Handinoto, 1996:165-178) antara lain: a) gevel
(gable) pada tampak depan bangunan; b) tower; c)dormer; d) windwijzer (penunjuk
angin); e) nok acroterie (hiasan puncak atap); f) geveltoppen (hiasan kemuncak atap
depan); g) ragam hias pada tubuh bangunan; dan h) balustrade.

Referensi:
Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di
Surabaya 1870-1940. Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit
Andi. Yogyakarta: Andi Offset
Sumalyo, Yulianto. 1995.

Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press


Handinoto dan Hartono, Samuel. The Amsterdam School dan Perkembangan
Arsitektur Kolonial di Hindia Belanda Antara 1915-1940. e-jurnal Ilmiah Petra
Surabaya

Aspek non fisik Arsitektur


Tempat dalam arsitektur merupakan wadah yang berfungsi sebagai
pendukung aktifitas penghuninya. Dalam wujud dan bentuk arsitektur tercipta
dimensi, ruang dengan skala dan proporsi yang harmonis akibat dari kekuatan non
fisik yang dihasilkan dari hubungan antara manusia dengan manusia, manusia
dengan alam semesta, dan manusia dengan sang pencipta-Nya. Oleh karena wujud
arsitektur dalam masyarakat tertentu merupakan cerminan yang dipengaruhi oleh
aspek sosial budaya masyarakatnya, Rapoport dalam Asniawati (2000).
Wujud dalam arsitektur bila di hayati terlihat memeiliki bentuk berbeda-beda
sesuiai dengan kekuatan non fisik yang tumbuh dalam masyarakat tersebut, yang
menciptakan sistem sosial budaya, pemerintahan, tingkat pendididkan serta
teknologi terapannya yang semuanya membawa perubahan pada wujud fisik
arsitektur. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah sistem sosial budaya,
Asniawati (2000).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek non fisik tersebut menciptakan
berbagai bentuk, wujud dan fungsi arsitektur akibat nilai sosial, budaya, religi dan
pemerintahan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

a. Kebudayaan dalam Arsitektur


Kebudayaan selalu senafas dengan jamannya. Ekspresi budaya berupa ilmu
pengetahuan dan seni akan ditentukan oleh patron utama, yaitu penguasa,
Soekiman (2005). Kebudayaan akan mempengaruhi segala sistem kehidupan.
Rapoport

(1963),

menegaskan

pendapatnya

bahwa

kebudayaan

akan

mempengaruhi artefak, namun artefak tidak akan dapat mempengaruhi kebudayaan


itu sendiri.
Pendapat lain diutarakan oleh Mangunwijaya (1992), bahwa kebudayaan
berkaitan erat dengan pemikiran dan falsafah hidup. Kebudayaan menyangkut
segala aspek kehidupan, baik itu religi, sistem dan fungsi sosial dan kesemuanya
akan berpengaruh terhadap perkembangan arsitektur.

b. Kebudayaan kolonial Belanda


Elemen-elemen penyusun bangunan merupakan sebuah simbol yang
memiliki makna tersendiri, dan dapat dipahami dan dipelajari melalui kajian
arsitektural. Soekiman (2011) memperjelas bahwa, orang-orang Belanda, pemilik
perkebunan, golongan priyayi, dan penduduk pribumi yang telah mencapai
pendidikan tinggi merupakan masyarakat papan atas pada saat itu. Mereka ikut
serta dalam penyebaran kebudayaan Belanda, lewat gaya hidup yang serba
mewah. Kebijakan
Belanda sebagai

pemerintah
standar

dalam

Belanda

menjadikanbentuk

pembangunan

arsitektur hindia

gedung-gedung,

baik

milik

pemerintah maupun swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang bersatus sosial
cukup baik, terutama para pedagang dari etnis tertentu, dengan harapan agar
memperoleh kesan pada status sosial yang sama dengan para penguasa dan
priyayi.
Bangunan kolonial Belanda juga merupakan bangunan yang tercipta dari
kebudayaan bangsa Belanda, baik secara murni, maupun yang sudah dipadukan
dengan budaya tradisional, dan kondisi lingkungan sekitar. Bangunan kolonial
memiliki makna dan simbol-simbol yang dapat dilihat dari fungsi, bentuk, maupun
gaya arsitekturnya.

c. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda


Revolusi Industri di Eropa. Hal ini secara tidak langsung memberikan dua
pengaruh penting. Pertama, peningkatan kebutuhan bahan mentah, menyebabkan
timbulnya kota-kota adiministratur di Indonesia. Kedua, berkembangnya konsepkonsep perencaan kota modern yang tercetus sebagai tanggapan atas revolusi
industri Misalnya konsep Garden City oleh Ebeneser Howard. Kesemuanya ini juga
mempengaruhi para arsitek asing dalam berkarya Indonesia.
Politik kulturstelsel menyebabkan berkembangnya sistem perkebunan dengan
komoditi tanaman keras, dan pula dianggap sebagal awal berkembangnya wilayah
pertanian dan kota-kota administratur perkebunan Politik Etis (Etische Politiek).
Politik mempunyai dampak bagi perkembangan perencanaan kota di Indonesia,
dengan dikembangkannya perbaikan kampung kota (1934) Pengembangan Pranata
dan Konstitusi Baru. Terbitnya UU Desentralisasi, Decentralisatie Besluit Indisehe
Staatblad tahun 1905/137, yang mendasari terbentuknya sistem kotapraja
(Staadgemeente) yang bersifat otonom. Hal ini memacu perkembangan konsepsi
perencanaan kota kolonial. Pada pelaksanaan poin 4 (empat) yaitu politik
desentralisasi yang memberikan otoritas kepada daerah dalam pengembangannya,
kota-kota mulai berkembang pesat, salah satu penyebabnya adalah tumbuh dan
berkembangnya perkebunan dan industrialisasi. Akibatnya, penduduk terlalu padat,
keadaan kota semakin buruk, terutama dalam hal sanitasi dan pengadaan air
minum.

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR

ARSITEKTUR KOLONIAL

Oleh :
KRISOGONUS WEKA

1322108

FERI H. NUGRAHA

1322090

MIKHAEL A.ESCURIAL

1422079

PASCOAL B. BORGES

1422085

SUKMO JULIANSYAH

1422116

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL


MALANG
TAHUN AJARAN 2016

Anda mungkin juga menyukai