Anda di halaman 1dari 42

BAB III

ARSITEKTUR INDIS DI SURAKARTA

A. Sekilas Tentang Arsitektur Indis

Percampuran budaya Eropa (Belanda) dengan budaya lokal yang meliputi

seluruh aspek tujuh unsur universal budaya, menimbulkan budaya baru yang

didukung sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia, yang disebut

dengan budaya Indis. Budaya Indis kemudian juga ikut mempengaruhi gaya hidup

masyarakat ditanah Hindia-Belanda. Gaya hidup Indis juga ikut mempengaruhi

kehidupan keluarga pribumi melalui jalur-jalur formal, misalkan melaui media

pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan, dan lain sebagainya. Selain gaya

hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian

dalam perkembangan budaya Indis, karena rumah tempat tinggal merupakan ajang

kegiatan sehari-hari.

Arsitektur Indis merupakan hasil dari proses akulturasi yang panjang.

Akulturasi dirumuskan sebagai perubahan kultural yang terjadi melalui pertemuan

yang terus-menerus dan intensif atau saling mempengaruhi antara dua kelompok

kebudayaan yang berbeda. Dalam pertemuan ini dapat terjadi tukar-menukar ciri

kebudayaan, yang merupakan pembauran dari kedua kebudayaan tersebut. Atau

dapat juga ciri kebudayaan yang satu demikian dominannya, sehingga menghapus

ciri kebudayaan dari kelompok yang lain. Meskipun demikian dalam

penggunaannya akhir-akhir ini cenderung diartikan terbatas hanya pada pengaruh


satu kebudayaan atas kebudayaan yang lain (unilateral). Misalkan dalam hal

pengaruh kebudayaan modern terhadap kebudayaan primitif.1

Proses tersebut bisa timbul bila ada ; (i) golongan-golongan manusia

dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda, (ii) saling bergaul langsung secara

intensif untuk jangka waktu yang relatif lama sehingga, (iii) kebudayaan-

kebudayaan dari golongan-golongan tadi masing-masing berubah saling

menyesuaikan diri menjadi kebudayaan campuran.2 Proses yang timbul tersebut

bisa terjadi jika terpenuhinya suatu prasyarat, yaitu bila terjadi saling penyesuaian

diri sehingga memungkinkan terjadi kontak dan komunikasi sebagai landasan

untuk dapat berinterkasi dan memahami diantara kedua etnis.3

Keadaan alam tropis pulau Jawa menentukan dalam mewujudkan hasil

karya budaya seperti bentuk arsitektur rumah tinggal, cara berpakaian, gaya hidup

dan sebagainya. Wujud dari isi kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi

itu sekurang-kurangnya ada tiga macam,4 yaitu:

a) berupa sistem budaya (cultural system) yang terdiri dari gagasan,

pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan, undang-undang, dan

sebagainya, yang berbetuk abstrak, yang dimiliki oleh pemangku

kebudayaan yang bersangkutan merupakan ide-ide (ideas). Cultural

1
Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta, P.T.Ichtiar Baru-van Hoeve, 1991)
2
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1980) hal 269
3
Drs. P. Hariyono, Kultur Cina Dan Jawa; Pemahaman Menuju Asimililasi Kultural,
(Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994) hal 15
4
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya Di
Jawa (Abad XVII-Medio Abad XX) , (Yogyakarta, Bentang Budaya, 2000) hal 40-41
System ini kiranya tepat disalin dalam bahasa Indonesia dengan "tata

budaya kelakuan".

b) berbagai aktivitas (activities) para pelaku seperti tingkah berpola,

upacara-upacara yang wujudnya kongkret dan dapat diamati yang

disebut social system atau sistem kemasyarakatan yang berwujud

kelakuan.

c) berwujud benda (artifacts), yaitu benda-benda, baik dari hasil karya

manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda, yang

disebut material culture atau hasil karya kelakuan.

Pada awalnya rumah-rumah mewah yang dibangun diperkebunan yang

lazim disebut landhuis, yang dibangun oleh para pejabat tinggi VOC mengikuti

model Belanda dari abad 18, dengan ciri-cirinya yang masih sangat dekat. Contoh

peralihan menuju kebentuk rumah gaya Indis, yang dibangun pada abad 18 antara

lain rumah Japan, Citrap, dan Pondok Gede, yang dapat diamati ciri-cirinya

sebagai bangunan landhuis. Bilik-bilik yang terdapat dirumah ini jumlahnya

sangat banyak, menunjukkan bahwa rumah ini dihuni oleh keluarga beranggota

banyak yang terdiri dari satu keluraga inti, dengan puluhan bahkan ratusan

budaknya. Gaya hidup semacam di landhuizen seperti itu tidak dikenal di negeri

Belanda.5

Ciri-ciri Belanda pada bangunan rumah Indis pada tingkat awal bisa

dimengerti karena pada awal kedatangannya mereka membawa kebudayaan murni

dari negeri Belanda. Namun lama-kelamaan budaya mereka bercampur dengan


5
Ibid, hal 4
kebudayaan Jawa sehingga hal tersebut ikut mempengaruhi gaya arsitektur rumah

mereka. Selain itu perubahan pada bangunan mereka bisa pula dikarenakan iklim

dan cuaca yang berbeda antara dinegeri Belanda dengan ditanah Jawa. Sehingga

bangunan mereka disesuaikan dengan iklim dan lingkungan setempat.

Di Surakarta rumah bergaya Indis dengan ciri-ciri landhuis yang masih

terawat rapi salah satu contohnya adalah rumah Agustinus De Zentje, yang

sekarang menjadi rumah dinas Walikota Surakarta. Rumah ini memiliki bentuk

bangunan yang besar dan luas. Kemewahannya terlihat dari berbagai ragam hias

yang terdapat dirumah ini. Hal ini bisa dipergunakan sebagai tolak ukur derajat

dan kekayaan pemiliknya. Gaya hidup yang cenderung dijadikan sebuah lambang

status sosial yang tinggi. Rumah ini dikenal masyarakat Surakarta dengan sebutan

Loji Gandrung.

Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan hidup

yang utama bagi manusia disamping kebutuhan sandang dan pangan. Oleh sebab

itu rumah dibutuhkan manusia bukan hanya sebagai tempat tinggal namun juga

sebagai tempat berlindung dari ancaman alam.

Dalam menempati suatu bangunan rumah, pemiliknya berusaha dan

bertujuan untuk mendapatkan rasa senang, aman, dan nyaman. Untuk

mendapatkan ketentraman hati dalam menempati bangunan rumah ini, orang

berusaha untuk memberi keindahan pada bangunan tempat tinggalnya. Maka

dipasanglah berbagi macam hiasan, baik hiasan yang kontruksional atau yang

tidak.6

6
Sugiyato Dakung (penyunting), Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah, 1981/1982) hal 123
Arsitektur bukan hanya sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa.

Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni

dan pengetahuan tentang bangunan, sehingga arsitektur juga membicarakan

berbagai aspek keindahan dan kontruksi bangunan. Seorang arsitek dituntut

bukan hanya membangun sebuah banguanan semata, tetapi juga harus

memperhatikan aspek-aspek lainnya sehingga tersebut memiliki jiwa, karakter,

yang menjadi ciri khas dari sebuah bangunan.

Gaya atau style dapat dijadikan identifikasi dari gaya hidup, gaya seni

budaya, atau peradaban suatu masyarakat. Suatu karya yang berupa sebuah

bangunan atau barang dapat dikatakan mempunyai gaya bilamana memiliki

bentuk (vorm), hiasan (verseing) dari benda tersebut selaras (harmonis) dengan

kegunaan dan bahan material yang dipergunakan.7

Sebuah karya arsitektur merupakan sebuah karya seni yang rumit karena

memadukan imajinasi khusus yang digabungkan dengan teori-teori bangun ruang,

sehingga harus dipelajari dan disertai dengan latihan-latihan, serta percobaan-

percobaan berulang kali.

Dalam arsitektur ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu; 1) masalah

kenyamanan (convinience), 2) kekuatan atau kekukuhan (strength), 3) keindahan

(beuty). Ketiga faktor tersebut selalu hadir dan saling berkaitang erat dalam

struktur bangunan yang serasi. Seorang arsitek yang arif tidak akan mengabaikan

ketiga faktor tersebut. Ketiganya merupakan dasar penciptaan yang memberikan

efek estetis.8
7
Djoko Soekiman, Loc.cit.

8
Ibid, hal 242
Seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang bernama Henri Maclaine

Pont berpendapat bahwa selain bentuk dan fungsi bangunan ada hal lain yang

sama pentingnya yaitu adanya hubungan logis antara bangunan dengan

lingkungan.9 Hal ini bisa diadaptasikan oleh orang-orang Belanda sebelum

Maclaine Pont datang ke Hindia-Belanda. Bangunan-bangunan rumah landhuis

mengadaptasi bangunan-bangunan rumah tradisional setempat yang sesuai dengan

alam dan lingkungan sekitar, kemudian dipadukan dengan teknik bangaunan

Eropa, serta kemegahan bangunan-bangunan Eropa serta keindahan dari ornamen-

ornamennya. Dari sini lalu terciptalah bangunan-bangunan bergaya Indis yang

mewah dan tidak lagi seperti bangunan dinegeri asalnya.

Orang-orang Belanda yang datang dan menetap di Indonesia telah mampu

menjawab tantangan dari alam lingkungan Jawa yang tropis. Dalam membangun

tempat tinggalnya mereka mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap

lingkungan alam setempat. Selain struktur bangunan yang disesuaikan, fungsi dari

tiap-tiap bagian rumahpun mereka perhatikan dengan ketat.

Gaya hidup sehari-hari dari golongan Indis ini menjadikan perlu adanya

penyesuaian pada bagian-bagian rumah yang mereka tempati. Seperti telah

dibahas pada Bab II, bahwa kebiasaan sehari-hari dari masyarakat Indis ini selalu

menunjukkan kemewahan yang menjadi simbol prestise mereka. Aktifitas yang

tidak bisa dilewati dalam keseharian mereka seperti acara minum teh, tidak bisa

dilakukan dibagian dalam rumah. Karena acara minum teh merupakan sebuah cara
9
Yulianto Sumalyo, Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia ( Yogyakarta Gadjah
Mada University Press, 1993), hal 10
untuk menjalin hubungan kekeluargaan, maka diperlukan suatu tempat dengan

suasana santai. Oleh sebab itu dipilihlah bagian beranda rumah, selain tempat ini

luas penghuninya bisa menikmati hijau tanaman yang dirawat dengan baik

dihalaman sekitar mereka, sehingga menambah kesejukan alam sekitar tempat

tinggal mereka.

Masyarakat Indis sangat memuja gaya hidup mereka, sehingga jangan

heran apabila menemukan bangunan yang mewah dan megah yang dihiasi dengan

ornamen-ornamen yang sangat menawan. Ini dikarenakan dalam membangun

tempat tinggalnya, kenyamanan, kekuatan, dan keindahan bangunan sangat

mereka perhatikan. Tidak mengherankan apabila sampai sekarang karya-karya

arsitektur Indis tetap kokoh berdiri walaupun telah melewati usia lebih dari satu

abad. Dan yang lebih mengesankan adalah bangunan tersebut tetap serasi

bersanding dengan bangunan-bangunan modern yang berdiri disekitarnya.

Menarik bila melihat bahwasannya orang-orang Belanda memiliki

kemampuan sebagai penguasa ditanah Jawa, namun mereka tetap terpengaruh

oleh seni budaya setempat, khususunya dalam membangun rumah tinggal mereka.

Barlage menyebutnya sebagai Indo-Europeesche bowkunts.10 Dalam kasus ini

proses akulturasi yang panjang sangat berperan dalam perkenbangan arsitektur

Indis.

Bangunan bergaya Indis bukan hanya terdapat dipusat kota Surakarta saja,

namun dikota-kota kecil juga banyak berdiri rumah-rumah bergaya Indis.

Misalkan saja rumah-rumah dinas pada komplek pabrik gula Gondang di Klaten.
10
Djoko Soekiman, op.cit , hal 17
Disana terlihat deretan rumah para pejabat pabrik yang memiliki corak Indis, dan

sampai sekarang struktur bangunannya masih terawat keasliannya.

Tidak banyak dokumen-dokumen tertulis yang menuliskan tentang

bangunan tersebut. Namun gambaran kemewahan gaya hidup mereka dapat kita

bayangkan melalui foto-foto tua hitam-putih yang sudah berwarna coklat.

Gambaran tersebut juga dapat dilihat dari bangunan-banguan Indis yang masih

berdiri sampai sekarang, baik yang masih terawat maupun yang hanya tinggal

puing-puing reruntuhan.

Banguanan Indis walaupun tidak semuanya dibangun dengan mewah

layaknya istana, namun dapat diketahui dengan adanya campuran gaya Eropa

klasik yang nampak melalui tiang-tiang dan dinding-dinding berplester tebal, dan

dipadukan dengan unsur tradisional yang dapat ditelusuri lewat adanya beranda

depan, samping, belakang, serta taman yang luas yang melatarinya. Nuansa alam

Jawa yang sejuk tergambar disini dengan berbagai tumbuhan yang menambah

kesejukan rumah mereka.

Sesungguhnya model rumah seperti ini dibangun oleh orang-orang

Belanda diluar kota sebagai tempat peristirahatan. Bangunan-bangunan besar nan

mewah tersebut menyerupai istana dengan ruangan yang dingin karena atap yang

dibangun sangat tinggi, yang dilengkapi dengan galeri dan teras marmer. Namun

secara bertahap bangunan-bangunan ini terserap menjadi wilayah pinggiran kota

akibat dari perluasan dan perkembangan kota.


Gaya arsitektur yang mengambil dan dipengaruhi corak landhuis tesebut

oleh Akihary disebut sebagai gaya arsitektur Indische Empire Style.11 Gaya

Indische Empire tidak saja diterapkan pada rumah-rumah tinggal saja, tetapi juga

pada bangunan umum yang lain seperti gedung-gedung pemerintahan, atau

gedung societeit, dan sebagainya. Pada akhirnya gaya arsitektur ini meluas bukan

saja dikalangan orang-orang Belanda, namun juga pada bangunan-bangunan

rumah tinggal pribumi, terutama mereka yang secara ekonomi merupakan orang-

orang borjuis, sebut saja para saudagar batik di Laweyan.

Yang selalu menjadi ciri khas dari bangunan-bangunan Indis ini adalah

adanya halaman yang luas dengan bangunan besar yang memiliki tiang-tiang dan

kolom-kolom besar didepannya. Hal ini untuk memberikan kesan mewah, megah,

dan wibawa dari golongan orang-orang Eropa sebagai penguasa ditanah

jajahannya. Gaya bangunan seperti jelas membutuhkan tanah yang cukup luas.

Gaya seperti ini sebenarnya mengambil gaya dari arsitektur Perancis yang

dikenal dengan nama Empire Style. Di Hindia-Belanda gaya tersebut

diterjemahkan secara bebas sesuai keadaan setempat. Dari hasil penyesuaian ini

terbentuklah gaya yang bercitra kolonial, yang disesuaikan dengan lingkungan

serta iklim dan tersedianya meterial.12

Akibat dari perkembangan kota dan ledakan penduduk yang cukup pesat

di Surakarta pada awal abad 20, arsitektur gaya Indische Empire ini terpaksa

menyesuaikan diri. Adanya halaman yang luas dan model bangunan yang besar

11
Akihary dalam Hadinoto dan Paulus. H. Soehargo, Perkembangan Kota dan Arsitektur
Kolonial Belanda Di Malang, (Yogyakarta, Andi Offset, 1996) hal 143
12
Ibid, hal 143-14
dan megah tidak bisa lagi dibangun karena tanah-tanah perkotaan semakin sempit.

Ledakan penduduk tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut

TABEL II

Jumlah Penduduk Dikota Solo13

1900 1920 1930 1941


Pribumi 101.924 123.005 149.585 176.400
Eropa 1.973 2.441 3.225 4.200
China 5.129 7.979 11.286 14.000
A.Vr. Oosterl 433 860 1.388 1.600
Total 109.459 134.285 165.484 196.200

Akibat dari semakin sempitnya tanah-tanah diperkotaan, membuat

arsitektur Indis harus menyesuaikan diri termasuk juga detail-detail bangunannya.

Bangunan-bangunan megah yang mungkin dibangun pada masa tersebut hanyalah

bangunan-bangunan kantor dan fasilitas umum seperti stasiun kereta api.

Sementara untuk bangunan rumah tinggal dengan model landhuis tidak

memungkinkan lagi dibangun dikota Surakarta. Kalaupun ada hanya beberapa

saja dan rumah tersebut pastilah milik orang yang sangat kaya.

Pendirian sebuah bangunan dengan menggunakan model bangunan

Belanda, semula sangat terkait oleh jiwa nasionalime Belanda. Hal demikian

dapat dimengerti karena mereka membawa seni bangunan Belanda, kemudian

secara perlahan-lahan terpengaruh oleh alam dan masyarakat sekeliling yang asing

13
Sumber dari M.P van Bruggen dan R.S Wassing, Djokja En Solo;Beld van de
Vorstenden, (Asia Major, Nederland, 1998) hal 41
bagi mereka. Sehingga dalam membangun rumah tempat tinggal mereka unsur-

unsur budaya dan iklim alam sekeliling selalu menjadi pengaruh yang kuat dalam

corak bangunannya.

Orang-orang Belanda sangat menguasai dan mencintai karya-karya

pertukangan hingga pada detail-detailnya. Misalnya dalam hal melepa dinding dan

lantai, terlihat pekerjaan mereka samngat halus dan terlihat sangat teliti dalam

pengerjaannya. Demikian mendalamnya kemampuan dan pengetahuan mereka ini,

diakui oleh para ahli bangunan modern sekarang ini. Apabila ada kekurangannya

atau kelemahannya, hal ini adalah akibat kecerobohan masyarakat atau orang yang

memberi tugas padanya.14

Penguasaan karya-karya seni seperti arsitektur oleh orang-orang Belanda,

sangat dipengaruhi oleh jiwa dan semangat Reneissance yang melanda negara-

negara Eropa sekitar abad 15. Zaman dimana orang-orang Eropa merasakan

kegairahan menggabungkan penemuan-penemuan zaman klasik dengan penemuan

mereka sendiri. Penggabungan ini menghasilkan penemuan yang mendorong

ledakan kemajuan dibidang pengetahuan, kesusastraan, dan khususnya arsitektur,

seni pahat, dan seni lukis, yang sejak saat itu hingga sekarang ini masih menjadi

karya-karya monumental bahkan sebuah keajaiban dunia.15

14
Djoko Soekiman, op.cit, hal 138

15
John. R. Hale, Abad Besar Manusia; Zaman Reneissance, ( Jakarta, Tira Pustaka,
1984) hal 7
Pada abad Renaissance ini masyarakatnya mencoba mengorek pelajaran

dan pengetahuan dari zaman-zaman terdahulu. Mereka tidak hanya memberikan

perhatian pada penemuan dan penerbitan buku-buku Yunani dan Romawi semata,

tetapi juga memilih unsur-unsur dalam pemikiran kuno yang dapat membantu

manusia agar dapat menjalani kehidupan mereka dengan lebih baik dan lebih

bertanggung jawab. Mereka bukan saja mencari ajaran tentang hukum, politik,

dan seni, tetapi bahkan untuk mencari bimbingan kesusilaan16

Kemegahan rumah tinggal masyarakat Indis akan lebih terlihat jelas

dengan diperkayanya interior dan perabot rumah mereka.Perabotan rumah yang

penuh hiasan, barang-barang dari porselin, cermin-cermin berukuran besar, hiasan

dari kaca (glass in lood) dan barang-barang mewah lainnya, bukan hanya sebagai

hiasan rumah semata, tetapi lebih menunjuk pada sebuah pamer kekayaan. Dan

yang lebih penting adalah dijadikan sebagai petunjuk betapa tingginya selera seni,

serta perhatian akan karya-karya seni dari sang pemilik rumah. Akhirnya

kesemuanya itu berujung pada prestise yang sandang oleh pemilik rumah.

Pada rumah-rumah mewah, hiasan-hiasan likisan ikut menyemarakkan

ruang sisi dalam yang anggun dan kaya akan hiasan interiornya. Ruang-ruang dan

kamar-kamar yang berlangit-langit tinggi membuat rumah terasa sejuk. Hal ini

menunjukkan bagaimana orang-orang Belanda beradaptasi dan menyesuaikan diri

dengan cuaca tropis yang panas dan lembab. Mereka menjawab tantangan alam

tersebut dengan baik.

16
Ibid , hal 7-13
Tembok-tembok tebal yang terlihat kokoh ternyata memiliki fungsi

sebagai isolator panas. Tembok-tembok tersebut terbuat dari batu alam atau batu

bata. Untuk menangkal udar basah dan lembab dibuat lantai semacam ubin dan

berbatur. Lantai ubin biasanya digunakan pada bangunan gudang, sementara

lantai-lantai rumah terbuat dari marmer atau bahan lain yang mahal dengan corak

yang indah. Sekali lagi ini menjadi sebuah petunjuk betapa masyarakat Indis

sangat memuja gaya hidup mewah.

Penggambaran tentang rumah Indis juga dapat dibaca dari sebuah cerpen

yang dimuat pada surat kabar Bromartani. Cerita tersebut menkisahkan tentang

suatu kejadian gaib yang terjadi pada rumah milik seorang bangsawan di

Surakarta. Rumah tersebut digambarkan terbuat dari batu yang berdiding sangat

tebal. Pada rumah tersebut terdapat sebuah beranda dan dihiasi dengan tiang-tiang

yang kokoh, atapnya sangat tinggi dan lantainya terbuat dari marmer. Kejadian

gaib tersebut terjadi pada kamar tidur, yang digambarkan sebagai ruangan yang

luas dengan langit-langit yang tinggi sehingga terasa sejuk pada siang hari. Daun

pintu dan jendelanya terbuat dari kayu yang tebal dan tinggi. Didalam kamar

terdapat tempat tidur yang mewah dan dilengkapi dengan kelambu.17

Dari penggambaran rumah yang terdapat pada kisah "Omah Setan"

tersebut, dapat dibayangkan bahwa bangunan rumah tersebut memiliki ciri-ciri

rumah Indis dengan adanya percampuran unsur Eropa dan Jawa pada struktur

bagunan rumahnya. Namun yang menarik dari kisah tersebut adalah pada pemilik

rumahnya. Dituliskan bahwa pemilik dari rumah mewah tersebut adalah milik dari

17
Anonim, Omah Setan, ( Bromartani edisi Rabu, 19 Juni 1929 dan Minggu, 23 Juni
1929 )
seorang bangsawan pribumi. Ternyata pada perkembangan lebih lanjut, rumah

dengan menggunakan corak Indis sudah bukan lagi milik orang-orang Belanda

saja, namun kemewahan dari bangunan Indis ternyata mampu diadaptasi oleh

golongan aristokrat pribumi.

Memang pada awal abad 20 unsur-unsur gaya Indis telah masuk kedalam

gaya arsitektur tradisional, terutama pada rumah-rumah milik bangsawan dan para

pengusaha kaya pribumi. Pada rumah bangsawan pribumi contoh unsur gaya Indis

dapat dilihat pada bangunan Dalem Sasonomulyo atau Dalem Wuryoningrat.

Pada dalem Sasonomulyo corak Indis dapat dilihat dari bangunan Lojen

dan kopel. Bangunan lojen tersebut dulunya dipergunakan sebagai tempat

menjamu para pejabat Belanda. Sementara pada dalem Wuryoningrat dapat dilihat

dari ornamen-ornamen yang terdapat pada rumah ini. Contohnya adalah ornamen

yang terdapat pada batang tiang penyangga rumah yang bergaya Eropa klasik.18

Gaya hidup Indis merupakan suatu proses perkembangan sosial yang

muncul dan tumbuh dari segolongan lapisan masyarakat di Hindia-Belanda.

Golongan bangsawan dan para terpelajar (kaum intelektual) yang mendapat

pendidikan gaya barat, dan para pegawai BB dari berbagai tingkatan yang disebut

priyayi, adalah sebagian dari kelompok pendukung kebudayaan Indis, yang masih

ditambah lagi dengan goongan pengusaha pribumi.

Sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran, budaya Indis

menunjukkan suatu proses fenomena historis yang tibul dan berkembang sebagai

jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik, ekonomi, sosial, dan seni

18
Lihat lampiran foto
budaya. Pada masa awal penekanan terjadi pada unsur-unsur yang bersifat

subyektif, baru kemudian gerakan tersebut berkembang sebagai gerakan sosial

segolongan masyarakat kolonial untuk mencipta kelas sosial tersendiri yang

didukung oleh pejabat pemerintah kolonial, khususnya oleh para priyayi baru dan

golongan Indo-Eropa.19

Rumah Indis bila ditelusuri lebih dalam, bukan hanya kemewahannya saja

yang terlihat. Namun banyak sekali unsur budaya yang meliputinya. Percampuran

gay Eropa dengan gaya rumah tradisional membuat bangunan-bangunan Indis

memiliki gaya tersendiri yang berbeda dengan gaya arsitektur lain.

Dalam bab-bab selanjutnya akan dibahas mengenai gaya (style) dari

bangunan Indis serta kemewahan-kemewahan ornamen bangunan yang banyak

dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan seni dari Eropa.

B. Gaya dan Struktur Bangunan Indis

Kadang-kadang bangunan menjadi "saksi bisu" dari berbagai kejadian

pada masa digunakan baik didalamnya maupun disekitarnya. Oleh karena itu

bangunan selain mempunyai nilai arsitektural ( ruang, konstruksi, teknologi, dan

lain sebagainya), juga mempunyai nilai sejarah . Makin lama bangunan berdiri,

makin membuktikan tingginya nilai sejarah dan budayanya.

Arsitektur kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya yang unik, tidak

terdapat dilain tempat, juga pada negara-negara bekas koloni. Dikatakan demikian

karena terjadi percampuran budaya antara penjajah dengan budaya Indonesia yang

beraneka ragam. Oleh karena itu arsitektur kolonial diberbagai tempat di


19
Djoko Soekiman, op.cit, hal 27
Indonesia, disatu tempat dengan tempat yang lainnya apabila diteliti lebih jauh

mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri20

Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh

Occidental (Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk kebudayaan. Hal

tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk kota dan bangunan. Namun

demikian tidak dapat dipungkiri bahwa para pengelola kota dan arsitek Belanda

tidak sedikit menerapkan konsep lokal atau tradisional didalam merencana dan

mengembangkan kota, pemukiman, dan bangunan-bangunan.21

Henri Maclaine Pont, seorang arsitek Belanda selalu menekankan

pendekatan terhadap budaya dan alam dimana ia membangun. Penekanannya

selain pada kesatuan bentuk dan fungsi, juga pada kesatuan dengan konstruksi,

sebagai perwujudan dari tradisi dalam hubungannya dengan arsitektur. Dari sini

jelas menunjukkan bahwa Maclaine Pont sangat tertarik kepada berbagai macam

budaya setempat dan juga religi serta kepercayaan, terutama pada arsitektur

tradisional Indonesia. Menurut pandangannya merupakan suatu hal yang penting

didalam konsep sebuah arsitektur adanya hubungan logis antara bangunan dengan

lingkungan.22

Sebelum kedatangan Belanda, sebenarnya sudah banyak bangsa-bangsa

lain yang lebih dulu datang ke Indonesia, antara lain dari Cina, India, Vietnam,

Arab, dan Portugis. Kedatangan mereka memberi pengaruh pada budaya asli

20
Yulianto Sumalyo, op.cit, hal 2
21
Ibid, hal 3

22
Ibid, hal 9-10
pribumi. Oleh sebab itu dalam arsitektur tradisional juga sudah terkandung

bebagai macam unsur budaya tersebut. Faktor-faktor lain yang ikut berintegrasi

dalam proses perancangan antara lain faktor lingkungan, iklim dan cuaca,

tersedianya material, teknik pembuatan, kondisi sosial politik, ekonomi, kesenian

dan agama.23

Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan

pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda semakin kental. Kebudayaan Eropa

(Belanda) dan Timur (Jawa) yang berbeda secara etnik dan struktur sosial

membaur menjadi satu, ibaratnya darah, budaya campuran ini merasuk kedalam

sendi-sendi kehidupan masyarakat dimasa itu. Kota Solo sebagai pusat

pemerintahan kolonial dimana jumlah orang-orang Eropa lebih banyak

dibandingkan wilayah lain di Surakarta, menjadikan kota ini sebagai barometer

dari kebudayaan Indis diwilayah Vorstenlanden.

Budaya campuran yang disebut dengan budaya Indis ternyata juga telah

merasuk kedalam seni arsitektur di Surakarta. Masuknya budaya Indis kedalam

arsitektur menyebabkan adanya perubahan yang menuju pada perkembangan

arsitektur di Surakarta. Banguan tersebut memiliki karakteristik yang mewakili

individu atau kelompok dalam setiap kegiatannya.

Perpaduan antara bentuk bangunan Belanda dan rumah tradisional oleh

Barlage disebut dengan istilah Indo-Eropeesche Bowkuntst, Van de Wall

menyebutnya dengan istilah Indische Huizen, dan Parmono Atmadi menyebutnya

23
J. Pamudji Suptandar, Arsitektur “Indis” Tinggal Kenangan, (Kompas, 14 Oktober
2001)
sebagai Arsitektur Indis.24Sejarah seni rupa yang mengkhususkan perhatian pada

perkembangan gaya bangunan dengan mendasarkan ciri-ciri khusus suatu waktu

menyebut gaya bangunan tersebut dengan istilah "bergaya Indis" (indische

stijl).25Pengaruh asing pada berbagai rumah tinggal didaerah yang berlainan tentu

tidak akan sama karena adanya perbedaan kebutuhan dan status sosial penghuni,

daerah dan lingkungannya, khususnya pada masa pengaruh kolonial Barat.

Gaya atau style merupakan bentuk yang tetap atau konstan yang dimiliki

oleh seseorang maupun kelompok, baik dalam unsur-unsur, kualitas, maupun

ekspresinya. Misalkan dalam hal berjalan, menulis, gerakan badan, karya seni, dan

sebagainya. Hal ini dapat diterapkan atau dipergunakan sebagai ciri pada semua

kegiatan seseorang atau masyarakat, misalnya gaya hidup, gaya seni budaya, atau

peradabannya (life style; style of civilitation), pada suatu kurun waktu tertentu.26

Sedangkan arti kata dari bergaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

memiliki arti sebagai sesuatu yang mempunyai bentuk khusus.

Henk Baren menyebutkan bahwa stijl atau style mempunyai empat macam

pengertian27, yaitu sebagai berikut:

a) Gaya objektif (objective stijl), yaitu gaya dari benda atau barangnya itu

sendiri.

24
dalam Djoko Soekiman, op.cit, hal 7
25
Ibid

26
Ibid, hal 81
27
Ibid, hal 83
b) Subjective stijl (persoonlijke stijl), yaitu gaya yang dimiliki oleh seniman,

penulis, pemahat, pelukis, dan arsitek, yang merupakan ciri sebagai

pertanda hasil kerjanya.

c) Stijl massa atau Nationale stijl, yaitu gaya yang menjadi ciri atau pertanda

(watak) suatu bangsa, misalnya bangsa Eropa, orang Timur, Jepang,

Indonrsia, dan lain-lain.

d) Gaya khusus pada suatu keistimewaan tekhnik (technische stijl), yaitu

tentang bahan atau material yang dipergunakan, misalnya dari bahan kayu

atau besi sesuatu bangunan didirikan orang. Jadi yang memegang peranan

yaitu teknik dan material yang dipergunakan.

Bangunan–bangunan bergaya Indis memiliki corak atau bentuk yang

khusus yang tidak akan ditemui dinegeri asal dari orang-orang Belanda. Dengan

memadukan gaya bangunan tradisional dengan gaya bangunan Eropa, membuat

bangunan-bangunan Indis memiliki gaya tersendiri, yaitu gaya Indis itu sendiri.

Keindahan, kegunaan, dan kesesuaian akan warna dan bahan yang selaras dengan

bentuk dan hiasan dari bangunan tersebut serta dengan digabungkan dengan

kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan alam lingkungan setempat,

menunjukkan bahwa orang-orang Belanda memahami betul bahwa arsitektur

merupakan sebuah karya yang monumental.

Menentukan sebuah gaya bangunan tidaklah mudah. Dalam menentukan

hal tersebut tidak bisa hanya berpatokan pada tahun berdirinya bangunan lalu

dimasukkan kedalam katagori suatu gaya tertentu. Dalam menentukan bangunan

bergaya Indis selain dilihat dari struktur bangunannya, ada hal lain yang perlu

diperhatikan, yaitu fungsi dari bangunan tersebut dan aktifitas serta gaya hidup
dari penghuninya. Hal ini perlu dilakukan agar tidak ada kebingungan terutama

bila melihat pada perkenbangan paruh abad 20, dimana banyak bangunan yang

didirikan.

Secara umum gaya bangunan Indis bisa dilihat dari percampuran dua unsur

atau lebih pada suatu bangunan. Namun yang paling pokok adalah unsur Eropa

yang terlihat dari struktur bangunannya yang simetri penuh dan tampak

kekokohan bangunan tersebut melalui pilar-pilarnya.

Pilar-pilar rumah Indis bergaya Doria, Ionia, ataupun Korinthia yang

merupakan gaya-gaya pada arsitektur klasik Eropa.28Lalu unsur Jawa banyak

terlihat dari atap rumah mereka dan juga dari halaman yang luas, yang

menunjukkan kerindangan alam pedesaan Jawa.

Pada arsitektur tradisioanal Jawa, atap rumah biasanya dijadikan sebuah

identitas dari pemilik bangunan rumah tersebut. Secara keseluruhan bentuk rumah

tradisional terbagi dalam empat macam yaitu, panggangpe, kampung, limasan,

dan joglo. Dari tiap-tiap macam bentuk rumah tersebut masih terbagi lagi dalam

beberapa macam bentuk.29

Struktur bangunan Indis yang simetris, pada bagian dalam rumah tersebut

terbagi kedalam beberapa ruang yang memiliki fungsi sendiri-sendiri. Pada rumah

Indis pembagian ruang didasarkan pada pembedaan umur, jenis kelamin, generasi,

famili, dan lain-lain. Hal seperti ini tidak ditemukan pada struktur bangunan

28
Tiang-tiang ini banyak dipergunakan dalam bangunan rumah dewa (kuil) masa Yunani
dan Romawi kuno, kemudian dipergunakan juga dalam bangunan-bangunan dari masa
Renaissance..baca Djoko Soekiman, op.cit. hal 302

29
Baca..Sugiyarto Dakung, op.cit
rumah tradisional Jawa. Selain itu dirumah Indis ini fungsi dari tiap-tiap ruang

diatur seketat mungkin agar privasi dari tiap-tiap individu dalam rumah tersebut

terjamin.30

Ruang tengah yang berada dibelakang ruang depan disebut voorhuis. Pada

dinding ruangan ini digantungkan lukisan-lukisan sebagai hiasan, disamping

piring-piring hias dan jambangan porselin. Pada dinding ini juga tergantung

perabotan lain berupa senjata atau alat-alat perang seperti senapan, pedang,

perisai, tombak dan sebagainya.31

Ada ruangan lain yang cukup penting artinya dalam struktur bangunan

Indis, yaitu ruang zaal. Diruangan ini diletakkan kelengkapan rumah seperti meja

makan dan kelengkapannya, yaitu almari tempat rempah-rempah (de spijkast) dan

meja teh (thee tafel). Almari hias yang penuh berisi piring, cangkir, yang terbuat

dari porselin juga diletakkan didalam atau diatas almari. Pada masa kejayaan

kompeni dan pemerintah Hindia-Belanda, ruang zaal ini mendapatkan perhatian

yang istimewa. Banyak hiasan dan barang-barang mewah yang menunjukan

kedudukan dan kekayaan penghuni rumah.32

Ruang zaal menjadi istemewa karena diruangan inilah perjamuan makan,

atau rapat-rapat penting dilaksanakan. Zaal berarti balai atau kamar besar atau

ruang besar untuk rapat. Oleh sebab itu barang-barang yang menunjukkan atau
30
G.Sujayanto, “Budaya Indis, Jawa Bukan Belanda Bukan”,
( www.arsitekturindis.com, 1 juni 2000)
31
Djoko Soekiman, op.cit hal 142

32
Ibid, hal 143
menjadi simbol dari kekayaan penghuninya ditempatkan diruangan ini, karena

diruangan inilah para kolega atau relasi bisnis atau bahkan para pejabat

pemerintah berkumpul.

Ciri yang menonjol dari rumah-rumah Indis ialah adanya telundak

(semacam teras) yang lebar. Telundak yang luas itu bukan sekedar sebagai bagian

dari sebuah bangunan rumah saja, tetapi mempunyai arti dan kegunaan khusus.

Seperti yang telah diungkapkan pada Bab II, bahwa telundak atau teras ini

mempunyai fungsi sosial. Diteras inilah jalinan kekeluargaan dibina. Tempat ini

merupakan tempat yang ideal antar keluarga dan tetangga.

Telundak atau sebut saja sebagai beranda yang lebar ini kebanyakan

digunakan untuk bersantai dan menghirup udara segar disore hari. Pada masa

berikutnya disudut-sudut dari bagian ini ditaruhkan bangku. Sebuah pagar rendah

dibuat untuk memisahkan dari trotoar jalan, yang lalu dihilangkan guna

mendapatkan ruang yang lebih luas.33

Pada rumah landhuis, beranda tidak hanya terletak didepan rumah saja

tetapi juga terdapat dibelakang rumah. Bagi sebagian golongan yang mampu,

pesta yang sering diadakan dibagian belakang rumah, sering kali berupa pesta

dansa dengan menghidangkan berbagai macam makanan.

Sisi bagian dalam bangunan, untuk mendapatkan citra yang baik dibagi

kedalam ruang-ruang sesuai dengan kebutuhan. Apabila orang datang dari arah

depan rumah dan terus masuk kedalam, ia akan mendapatkan sebuah lorong yang

pada sisi-sisi dari lorong tersebut terdapat kamar-kamar. Apabila terus kebelakang

orang akan menuju ruang tengah yang merupakan galerij, yaitu suatu ruangan

33
G. Sujayanto, loc.cit.
peristirahatan sebagai tempat bertemu dengan keluarga sehari-hari, dan juga

digunakan sebagai ruang makan. Disebelah galerij terdapat lorong yang menuju

dapur.34

Secara garis besar dari uraian tersebut terlihat bahwa orang-orang Belanda

dalam membangun rumahnya telah memikirkan secara mendalam pembagian

ruang-ruang dalam tempat tinggalnya. Fungsi dari tiap-tiap bagian pun ditata

dengan baik.

Pada bagian atap rumah Indis banyak dibangun dengan lebar, bahkan ada

beberapa yang luas atapnya lebih luas dari pada bangunan rumahnya, misalnya

banguan atap dari Loji Gandrung. Ukuran atap yang lebih luas dan tinggi

dimaksudkan agar rumah menjadi lebih teduh dari panasnya sinar matahari.

Demikian pula dengan adanya teras disekeliling rumah yang menjadi isolator

panas matahari agar tidak langsung menerpa bangunan rumah.

Secara fungsional struktur bangunan Indis selain menjadi rumah tinggal

juga mewakili aktifitas dari penghuninya. Kesenangan masyarakat Indis adalah

melakukan hal-hal yang menunjukkan kemewahan dengan mengadakan

perjamuan-perjamuan, pesta-pesta dansa. Hal tersebut menjadikan struktur

bangunan Indis harus mampu mewakili aktifitas penghuninya, maka dibagilah

ruangan dalam rumah Indis menurut fungsinya.

Selain bangunan Loji Gandrung, banyak bangunan dengan gaya Indis

terdapat di kota Surakarta. Beberapa contohnya antara lain seperti rumah dinas

Administratur PG. Colomadu, rumah Gubernur Surakarta di Banjarsari, Omah

34
Djoko Soekiman, op.cit, hal 148-149
Lowo di Purwosari, dan masih banyak lagi rumah bergaya Indis terutama di

daerah Villapark Banjarsari.

Apabila kita masuk kedalam bangunan-bangunan tersebut, akan didapati

ruangan-ruangan seperti yang disebutkan diatas. Walaupun tidak semua struktur

bangunan dari rumah Indis tersusun dari ruang-ruang yang sama, namun

pembagian dari fungsi tiap ruang tetap diperhatikan dan diatur dengan ketat.

Bangunan Indis dapat juga merupakan perkembangan rumah tradisional

Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan tekhnik yang lebih modern,

penggunaan meterial dari batu, besi, dan genteng atau seng. Tolak ukur dari

bangunan ini tetap mengacu pada arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan

kondisi tropis dan lingkungan budaya Jawa. Bentuk rumah bergaya Indis ini

sepintas seperti bangunan tradisional dengan atap joglo limasan.

Pada rumah Indis yang mewah selain terdapat halaman yang luas, juga

terdapat angunan-banguan samping yang dipergunakan untuk gudang, tempat

menyimpan beras, kayu bakar, tandon air, minyak, dan barang-barang kebutuhan

hidup lainnya. Bangunan-bangunan samping ini juga terdapat pada rumah-rumah

Indis di Surakarta, namun kebanyakan bangunan samping ini terdapat pada

rumah-rumah Indis yang besar, seperti rumah Gubernur Surakarta.35

Berdasarkan buku yang ditulis oleh Djoko Soekiman, 36 bangunan-

bangunan samping tersebut selain sebagai gudang, biasanya juga digunakan

sebagai tempat tinggal para budak, oleh sebab itu bangunannya dibuat bertingkat.

Kebiasaan memelihara budak banyak dilakukan di Batavia, dan sepertinya tidak

35
Lihat lampiran Foto
36
Djoko Soekiman, loc.cit
terjadi di Surakarta. Karena bila dilihat dari struktur bangunan samping yang

terdapat di Surakarta tidak bertingkat seperti pada rumah-rumah Indis di Batavia.

Kemungkinan besar bangunan samping tersebut hanya digunakan sebagai gudang,

atau tempat tinggal para Djongos.

Selain bentuk pilar yang mengingatkan pada gaya bangunan kuil-kuil di

Yunani dan Romawi, pengaruh Barat juga terlihat dari lampu-lampu gantung yang

menghiasi serambi depan rumah. Pintu yang terletak tepat ditengah diapit oleh

jendela-jendela besar pada sisi kanan-kirinya. Ruang diantara pintu dan jendela

diisi dengan cermin besar dan hiasan patung-patung dari porselin. Kemewahan

yang ditampilkan pada rumah Indis merupakan sebuah simbol kekuasaan, status

sosial, dan kebesaran para penguasa pada saat itu, baik oleh penguasa kolonial

ataupun penguasa pribumi.

Sesungguhnya sampai akhir abad ke 19 boleh dikatakan bahwa tidak ada

satupun yang pantas disebut sebagai seorang arsitek. Yang dikatakan sebagi

seorang arsitek pada masa itu tidak lebih dari opseter plus (pengawas bangunan

plus).37 Bisa dipastikan bahwa gaya bangunan dan corak yang dimiliki dari sebuah

bangunan pada masa tersebut berasal dari imajinasi para pemilik rumah, sehingga

tidak mengherankan bila ciri awal dari bangunan rumah tinggal mereka sangat

kental dengan ciri-ciri bangunan di Belanda.

Meskipun di Hindia-Belanda belum ada arsitek yang profesional namun

mereka dapat menghasilkan sebuah karya arsitektur monumental yang mampu

menghiasi hampir disemua kota-kota besar didaerah jajahannya, dan

menjadikannya sebuah simbol kekuasaan pada era kolonialisme di Indonesia.

37
Hadinoto dan Paulus. H. Soehargo, op.cit, hal 145
Sayangnya arsitek-arsitek Belanda yang datang kemudian diawal tahun

1900-an, memandang gaya arsitektur Indis sebagai de pracht producten van

Indische hondehokken renaissance. (produk-produk indah dari bangunan

renaissance kandang anjing).38 Bahkan seorang arsitek Belanda yang bernama

PAJ. Moojen melukiskan gaya bangunan Indis pada waktu sebagai berikut:

“Geesteloze namaaksels van een zeiloos neo Hellenisme, slechte copieen


van droeve voorbeelden, dei stomme, witte getuigen van een eeuw van
smakeelooshied en onmacht tot scheppen”39

(Karya-karya tiruan tanpa suatu penjiwaan dari neo Helenisme, kopi dari
contoh-contoh yang memilukan, yang dungu dan hanya merupakan saksi
putih dari suatu abad yang tidak mempunyai selera dan tanpa daya cipta)

Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa arsitektur Indis adalah

sebuah fenomena historis, yaitu sebagai bukti hasil kreativitas sekolompok

golongan masyarakat pada masa kekuasaan kolonial dalam menghadapi tantangan

hidup dan berbagai faktor yang menyertainya. Lambat laun gaya Indis

menampakkan corak dan bentuknya yang sama sekali berbeda, baik dari

kebudayaan dan gaya hidup tradisional Jawa maupun dari gaya Belanda. Tepat

kiranya pendapat Adolph S. Tomars bahwa hadirnya golongan masyarakat

tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan budaya tertentu 40. Berdasarkan

konsep Tomars tersebut maka golongan Indis telah melahirkan pula kebudayaan

Indis.

38
Ibid, hal 145
39
Ibid, hal 146
40
Adolph. S. Tomars dalam Djoko Soekiman op.cit, hal 20
Gaya Indis berpangkal pada dua akar kebudayaan. Untuk memahaminya

perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial

dalam segala aspek dan porosnya. Bangunan Indis terlihat mewah dan megah

terkait dengan gaya hidup mewah yang dianut oleh masyarakat Indis. Membuat

sebuah bangunan yang mewah dengan hiasan yang mahal, menyambut tamu

dengan sebuah perjamuan makan, mangadakan pesta dansa, dam masih banyak

lagi, merupakan sebuah prestise bagi kelompok pendukung kebudayaan Indis.

Bangunan dan hiasan yang sangat berharga dipergunakan sebagai petunjuk

kedudukan sang empunya rumah dalam susunan masyarakat koonial. Selain itu

penting bagi mereka memamerkan karya-karya seni yang bercita rasa tinggi,

karena hal tersebut dijadikan sebagai petunjuk betapa tingginya perhatian akan

seni dari sang pemilik rumah.

Selain itu secara politis, suatu bentuk pemerintahan kolonial

mengharuskan penguasa untuk bergaya hidup dan membangun rumah tinggalnya

atau gedung dengan menggunakan ciri-ciri yang berbeda dengan rakyat yang

dijajahnya, sebagai upaya untuk menunjukkan kekuasaan dan kebesarannya.

C. Ornamen Pada Bangunan Indis

Arsitektur Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang

dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status,

keagungan, dan kebesaran kekuasaan terhadap masyarakat jajahannya. Arsitektur

Indis tidak hanya berlaku pada rumah tinggal semata, tetapi juga mencakup

bangunan lain seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-gedung perkumpulan,

pertokoan dan lain-lain. Arsitektur sebagai hasil kebudayaan adalah perpaduan


suatu karya seni dan pengetahuan tentang bangunan, dengan demikian arsitektur

juga membicarakan bebagai aspek tentang keindahan dan konstruksi bangunan.

Di Eropa beberapa abad lalu dalam arsitektur dengan gaya-gaya seperti

Renaissance, Barok, Rokoko, Empire, dan sebagainya, pemakaian ragam hias atau

ornamen memgang peranan yang sangat besar. Hal ini membantu memberikan

ekspresi alami dalam bangunan. Dengan demikian orang dapat merasakan akan

keindahan suatu hiasan yang disertakan.41

Penggunaan ragam hias atau ornamen ini sangat terkait dengan sudut

keindahan dari sebuah bangunan. Hasil-hasil karya visual yang masuk kedalam

berbagai obyek arsitektur seperti bangunan-bangunan rumah tinggal, perkantoran,

stasiun kereta api, dan lain sebagainnya, dengan menggunakan desain-desain yang

indah dan bagus, semakin menambah nilai artistik dari sebiuah bangunan. Dengan

demikian seorang arsitek selain dituntut untuk bisa menciptakan sebuah bangunan

yang kokoh dan aman untuk penghuninya, juga dituntut untuk bisa menciptakan

keindahan dari bangunan yang dirancangnya.

Ada pendapat yang menyebutkan bahwa ornamen timbul karena diilhami

oleh adanya dua faktor, yaitu42:

a) faktor emosi, yaitu sebuah hasil cipta yang didapat dari kepercayaan,

agama, dan magic untuk mendapatkan kekuatan. Dengan demikian

faktor ini merupakan kekuatan alami.

41
Ibid, hal 241-243
42
Ibid, hal 246-248
b) Faktor teknik, meliputi masalah-masalah seperti dari bahan apakah

benda-benda tersebut dibuat dan bagaimana membuatnya. Hal inilah

menjadi masalah, tidak saja pada bagaimana pengrajin bekerja, tetapi

juga berhubungan dengan hal-hal yang menyenangkan. Orang masa

kini menyukai hasil-hasil karya seni kerajinan tangan yang halus

Dalam menempati suatu bangunan rumah, pemiliknya berusaha dan

bertujuan untuk mendapatkan rasa senang, aman, dan nyaman. Oleh sebab itu

orang akan berusaha untuk memberi keindahan pada bangunan tempat tinggalnya.

Hiasan pada bangunan rumah rumah pada dasarnya ada 2 macam, yaitu

hiasan yang kontruksional dan hiasan yang tidak kontruksional. Yang dimaksud

hiasan konstruksional ialah hiasan yang jadi satu dengan bangunannya. Jadi ini

tidak dapat dilepas dari bangunannya. Contohnya adalah pilar-pilar pada

bangunan. Sedangkan hiasan yang tidak konstruksional ialah hiasan bangunan

yang dapat terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap

kontruksi bangunan. Contohnya lampu gantung dan meubelair.43

Keindahan ornamen pada bangunan selain mempercantik bangunan, juga

diharapkan akan dapat memberi ketentraman dan kesejukan bagi mereka yang

menempatinya. Bagi kalangan orang kaya pada lingkungan Indis ornamen-

ornamen yang terdapat dirumah tersebut juga sebagai sebuah simbol kedudukan

yang dimiliki penghuni rumah.

Penggunaan ornamen dengan mengambil unsur-unsur tradisional setempat

dirasakan sangat tepat, karena sesuai dengan lingkungan budaya lokal. Karya-
43
Sugiyarto Dakung, loc.cit
karya bangunan yang monumental dari arsitektur pribumi misalkan candi-candi

yang terdapat di Jawa, merupakan akar kehidupan arsitektur dan ornamen yang

mencitrakan gaya hidup dan jiwa dari masyarakat pribumi.

Bangunan-bangunan tersebut merupakan hasil cipta dan karsa serta

pemikiran yang mendalam, dan terkait dengan alam seni masyarakat pribumi.

Alam seni merupakan salah satu dari aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang

dalam pengungkapannya penuh dengan tindakan-tindakan simbolis. Melalui alam

seni, rasa budaya manusia yang tidak dapat diungkapkan dalam kehidupan sehari-

hari, dicurahkan dalam bentuk simbol-simbol.44

Masyarkat Jawa sebagai kelompok manusia juga memiliki simbol-simbol,

yang antara lain dipergunakan untuk membedakan dengan kelompok-kelompok

sosial yang ada. Kelompok sosial yang ada pada masyarakat ditunjukkan dengan

perbedaan-perbedaan ciri tertentu. Contohnya adalah golongan priyayi.

Sebagai kelompok sosial golongan priyayi memiliki ciri-ciri tertentu yang

dengan jelas menunjukkan perbedaan degan kelompok sosial lainnya, terutama

dengan masyarakat kebanyakan. Ciri-ciri yang membedakan tersebut salah

satunya adalah bentuk rumah tinggal mereka.

Rumah tempat tinggal merupakan salah satu lambang status dan simbol.

Pada bangunan Indis penggunaan unsur-unsur tradisional dalam pemakaian

ornamennya tidaklah terlalu banyak, tetapi dari penggunaan unsur-unsur alam dan

tersedianya material yang ada, dapat ditelusuri bahwa bangunan-bangunan


44
Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa ( Yogyakarta, Hanindita, 2001)
hal 101
tersebut juga mengambil ragam hias yang ada pada rumah tradisional Jawa.

Meskipun kebanyakan rumah-rumah pribumi di Jawa dibuat dari bahan yang

murah dan berdinding bambu, namun pada rumah-rumah penbesar Jawa

bangunannya tampak bagus dan kaya akan ragam hias yang mewah.

Apabila diamati penggunaan ornamen dengan unsur-unsur tradisional pada

rumah-rumah bergaya Indis tidak terlalu mencolok. Pada rumah landhuisen dan

bangunan-bangunan lainnya, ornamen-ornamen yang terdapat pada bangunan

tersebut banyak yang mengambil macam ragam hias dari abad pertengahan dan

klasik Eropa.

Jika pada bangunan tradisional Jawa, bentuk atap bangunan merupakan

penentu nama suatu gaya bangunan, tidak demikian yang terjadi pada arsitektur

Eropa. Orang-orang Eropa menggunakan bentuk kepala tiang sebagai penentu ciri

dari suatu gaya arsitektur suatu masa atau periode.45

Oleh orang-orang Belanda di Jawa, gaya-gaya bangunan tersebut

dipadukan dengan gaya-gaya bangunan tradisional Jawa. Dalam percampuran ini

unsur-unsur dari bangunan eropa klasik tidak menunjuk pada satu gaya tertentu.

Sehingga jika diperhatikan akan terdapat banyak gaya Eropa pada rumah-rumah

Indis di Surakarta. Tetapi hal inilah yang menjadikan bangunan Indis mempunyai

daya tarik tersendiri dan berbeda dengan bangunan lainnya.

45
Djoko Soekiman, op.cit, hal 257
Seperti juga masyarakat pribumi, orang-orang Eropa juga memakai

simbol-simbol tertentu dalam penggunaan ragam hiasnya. Namun tindakan

tersebut hanyalah sebuah penghormatan terhadap segala tindakan dari nenek

moyang mereka sejak dulu. Dengan demikian pada bangunan rumah tinggal

mereka, gambaran-gambaran simbolik tersebut dilakukan hanyalah sebagai usaha

untuk meneruskan tradisi-tradisi dari pendahulu mereka, tanpa memahami arti

dari simbol-simbol tersebut.

1.Tiang Penyangga

Bangunan Indis pada rumah pejabat pemerintah seperti Gubernur, Residen,

Asisten Residen, Bupati, dan kontrolir diwilayah, terlihat mencolok dengan

adanya batang-batang tiang penyangga. Batang tiang gaya Doria, Ionia, dan

Korinthia, yang tersusun atas kepala, tubuh, dan kaki tiang (soubasement).

Masing-masing gaya memiliki arti dan lambang tersendiri.46

Dizaman Renaissance para seniman sangat bergairah untuk menggali

kembali hasil-hasil budaya kuno yang sangat memuja keindahan dan peka

terhadap proporsi harmonis. Teori-teori kesenian zaman kuno dicari dan dipelajari

secara mendalam. Banguan-bangunan tua dan juga seluruh serambi uil Panthenon

diukur serta digambar kembali. Pengaturan tiang dan bentuk kapitel serta ornamen

pada masa pembaruan ini mengalami masa surut dan bangunan gaya Romawi

menjadi contoh yang diagung-agungkan.47

Tiang yang bergaya Doria memiliki simbol kekuatan, sesuai dengan jiwa

bangsa Doria yang berjiwa militer. Gaya Doria menghendaki bentuk bangunan

46
Ibid, hal 303
47
M.A. Endang Budiono, Sejarah Arsitektur 2 (terjemahan), (Yogyakarta, Kanisius,
1997) hal 14
yang diciptakan tampak kokoh, kuat, perkasa, sekaligus juga dapat dijadikan

sebagai lambang kekuasaan, dengan demiian gaya Doria sangat cocok sebagai

hiasan bangunan pemerintah atau pemguasa.48

Bentuk tiang gaya doria ini banyak sekali pada bangunan Indis di

Surakarta. Rumah pejabat pamerintahan mengunakan tiang yang bergaya Doria

ini sebagai simbol penguasa. Contoh bangunan yang memakai tiang gaya Doria

misalkan saja rumah Gubernur Surakarta, atau rumah Administratur Pabrik Gula

Colomadu. Efek yang diperlihatkan dari kedua rumah tersebut selain rumah

tampak kokoh, bangunan tersebut terlihat seperti perpaduan antara rumah

tradisional dengan kuil-kuil Yunani dizaman kuno.

Serlio, seorang ahli sejarah seni, pernah menuliskan:

“Bila kita hendak membangun gereja untuk menghormati Yesus, Sang


Juru Selamat, ataupun orang-orang suci yang mempunyai keberanian dan
kekuatan untuk menyerahkan hidupnya demi mempertahankan iman dan
kepercayaannya, seperti St. Petrus, St. Paulus, St. George, dan lain-lain,
maka gaya yang paling sesuai adalah gaya Dorian”.49

Bila dipahami lebih mendalam ucapan Serlio tersebut, tersirat bagaimana gaya

bangunan yang seharusnya didirikan bagi para penguasa dan orang-orang

terhormat.

Pada abad pertengahan bangunan yang paling dihormati adalah Gereja.

Hampir semua arsitek yang berkarya dimasa ini menghasilkan karya-karya

monumental berupa bangunan Gereja. Sebagai bangunan suci yang dihormati dan

mewakili kekusaan saat itu, maka para arsitek mencoba menuangkan segala

48
Djoko Soekiman, op.cit, hal 302

49
dalam M.A. Endang Budiono, op.cit hal 122
imajinasi dan kemampuan mereka untuk membangun sebuah Gereja yang megah

dan Indah.

Gaya Dorian lebih banyak dipilih karena memiliki proporsi yang lebih

besar dan lebih kokoh serta berkesan maskulin. Gaya ini pun dianggap bisa

mencerminkan sifat yang pemberani dan kuat, berbeda dengan gaya Korintian dan

gaya Ionia yang penuh garis-garis halus pencerminan kelembutan. Meskipun

demikian, ornamen kapitel tiang gaya Korintian yang mewah banyak juga

menghiasi tiang-tiang gereja pada zaman tersebut.

Penggunaan tiang gaya Doria, Korintia, dan Ionia, berhubungan dengan

perkembangan arsitektur di Eropa abad 17. Pada sekitar tahun 1660-1760

arsitektur yang berkembang pada masa ini adalah arsitektur Barock. Pada zaman

Barock arsitektur manjadi sebuah karya seni yang utama, dengan mengunakan

lukisan dan ukiran yang merupakan elemen dari keseluruhan bangunan. Tema

dasarnya adalah bangunan yang memusat pada mahkota kubah yang digabung

dengan bangunan memanjang. Barock menyatukan berbagai unsur gaya tiang

pada bangunan, yang pada zaman Renaissance bagian tiang dipisahkan

berdasarkan ruang-ruang pada struktur bangunan.50

Kesan Barock terlihat pada bagunan Loji Gandrung dengan adanya pilar

ganda pada bangunan teras. Pilar ganda ini merupakan ciri awal dari gaya Barock

pada permulaan abad 17 yang masih mencari unsur-unsur pelengkap yang sesuai

agar kesan monoton tidak terlihat. Unsur arsitektur Barock juga terdapat pada

50
Ibid hal 120-122
bangunan Javasche Bank yang sekarang menjadi Bank Indonesia. Unsur tersebut

dapat ditelusuri dengan banyaknya pilar yang terdapat pada tubuh bangunan.

Bangunan yang dulunya pernah dijadikan rumah Gubernur di Surakarta ini

memakai setengah pilar yang menempel pada dindingnya. Setengah pilar yang

menempel pada dinding juga merupakan gaya dari arsitektur Barock.

Denah dari bangunan Javasche Bank seperti juga pada bangunan-bangunan

Belanda klasik menunjukkan bentuk simetri yang kuat. Kesan bangunan neo-

klasik tercermin juga melalui kolom-kolom khas bangunan Yunani sehingga

tampak dan kokoh. Ciri seperti ini terdapat pada semua bangunan Javasche Bank

di Hindia-Belanda.

Pada perkembangan selanjutnya gaya Indis juga ikut mempengaruhi gaya

dari bangunan-bangunan lainnya. Pada bangunan fasilitas umum penggunaan

unsur gaya Barock juga nampak pada pilar-pilar dan ornamen yang terdapat pada

tubuh bangunan Stasiun Jebres. Bangunan ini juga memiliki denah yang simetris

khas gaya arsitektur Belanda.

Bila mengacu pada perkataan Serlio, cukup kuat alasannya mengapa

bangunan-bangunan milik orang-orang Belanda banyak mengandung unsur-unsur

arsitektur Eropa. Kesan bahwa orang-orang pemerintah kolonial Belanda ingin

menunjukkan superioritasnya pada masyarakat Jawa, terwakili melalui arsitektur

bangunan mereka.

Rumah Gubernur, Javasche Bank, rumah Adm. Pabrik Gula Colomadu,

Loji Gandrung, beberapa bangunan milik pembesar Jawa seperti Dalem

Wuryoningrat, banyak menggunakan tiang-tiang bergaya Eropa, yang

membuktikan bahwa mereka menginginkan pencerminan kekuasaan melalui


bangunan tempat tinggalnya. Sehingga apabila masyarakat umum melihat

bangunan tersebut mereka dapat langsung mengetahui bahwa yang bertempat

tinggal dirumah tersebut adalah orang yang memiliki kakuasaan atau orang yang

terpandang dan dihormati.

2. Hiasan Atap dan Kemuncak

Masyarakat Surakarta seperti juga masyarakat Jawa pada umumnya tidak

terlalu memperhatikan hiasan-hiasan yang terdapat pada bagian puncak rumah

mereka. Selain pada bangunan-bangunan rumah ibadah, hiasan kemuncak tidak

terlalu mendapat tempat yang spesial pada pembangunan sebuah rumah.

Sepertinya hal ini menular pada masyarakat Indis di Surakarta, hanya beberapa

rumah saja yang memiliki hiasan kemuncak, dan itu hanya dimiliki oleh rumah

dari pejabat tinggi atau golongan orang kaya.

Dulunya hiasan-hiasan pada bagian atap dan kemuncak tersebut memiliki

arti simbolis tertentu. Dinegeri Belanda dulunya hiasan-hiasan tersebut dijadikan

sebuah petunjuk kedudukan dan status masyarakat Belanda. Mengenai arti dan

makna simbolis yang ditunjukkan oleh hiasan-hiasan tersebut tergantung dari

bentuk apa yang diambil sebagai hiasan.51

Bagi bangunan rumah gaya Indis di Indonesia, lambang-lambang dan

makna-makna yang terkandung dari berbagai macam ragam hias tersebut sudah

kehilangan maknanya. Ragam-ragam tersebut hanya dijadikan sebuah hiasan

penghias rumah belaka, sehingga terjadi keterputusan budaya (missing link) antara

51
Makna dari berbagi macam bentuk ragam hias atap dan kemuncak baca.. Djoko
Soekiman, op.cit, hal 275-289
budaya aslinya dinegeri Belanda dengan budaya dinegeri jajahannya, Hindia-

Belanda.52

Berikut ini akan dibahas beberapa hiasan kemuncak yang terdapat pada

rumah-rumah Indis di Surakarta:

a. Penunjuk Arah Angin (Windwijzer)

Penunjuk arah angin atau tadhah angin ini terletak diatas sebuah kubah

kecil yang terdapat dipuncak bangunan, dan terbuat dari logam mulia, kebanyakan

terbuat dari dari perak. Hiasan ini masih terdapat pada bangunan BI,masih terawat

dengan baik meskipun tidak lagi berfungsi dengan benar.

Selain di BI, yang menarik hiasan ini juga terdapat pada bangunan Kraton

Surakarta. Ini menunjukkan bahwa budaya orang Belanda juga telah masuk

kelingkungan budaya Kraton. Sebenarnya sejak dulu dilingkungan Kraton sudah

banyak unsur-unsur budaya Eropa yang masuk.

Dinegri asalnya dahulu penunjuk arah angin ini banyak terdapat diatap-

atap rumah penduduk yang juga dijadikan sebagai hiasan rumah. Di Belanda

tadhah angin ini bermacam-macam bentuknya, seringkali menunjukkan macam

usaha dan pekerjaan dari pemilik rumah. Pada abad pertengahan tidak semua

orang dapat dengan sekehendak hati membuat hiasan ini, karena dikeluarkan

ketentuan-ketentuan tertentu oleh penguasa, baik tentang bentuknya maupun

perwujudannya.53

52
Ibid hal 291

53
Ibid, hal 262-264
Sementara itu di Surakarta, dokumen-dokumen tentang peraturan yang

mengatur bentuk dan macam dari hiasan tadhah angin tidak ditemukan, namun

demikian bentuk dan macam yang ada di Surakarta hanya terdapat pada bangunan

Indis yang mewah. Sayangnya hiasan ini sekarang hanya tinggal beberapa saja

yang masih ada, semantara sebagian yang lain sudah hilang, yang tertinggal

hanyalah sebuah kubah kecil dibagian atap rumah.

Hiasan kemuncak pada rumah-rumah Indis di Surakarta tidak terlalu kaya.

Hal ini bertolak belakang dengan dinegeri asalnya yang mana tiap-tiap rumah

saling bersaing dalam menghias rumahnya. Semangat menghias rumah yang

demikian tidak terdapat pada masyarakat Indis di Jawa. Prof.Dr. Djoko Soekiman

memperkirakan hal demikian terjadi akibat tekanan ekonomi atau kemiskinan

jaman Malaise dan akibat PD I.54

b. Makelaar

Makelaar adalah papan kayu berukir dengan panjang kurang lebih 2 meter

dan ditempel secara vertikal. Hiasan ini terdapat didepan rumah yang disebut

voorschot, yaitu bentuk segitiga yang terdapat didepan rumah. Biasanya

merupakan atap dari teras.

Mekelaar sesungguhnya mempunyai arti simbolis tertentu. Namun seperti

juga hiasan-hiasan lainnya pada rumah Indis, makna-makna tersebut sudah hilang.

Hiasan hanyalah sebagai hiasan.

54
Ibid, hal 271
Hiasan makelaar ini kebanyakan melambangkan roh-roh baik dan jahat

sesuai dengan kepercayaan masyarakat. Diantara makelaar ada hiasan yang

biasanya berupa dua ekor angsa yang bertolak belakang yang bersandar pada

makelaar. Hiasan ini dinamakan oelebord atau uilebord. Oelebord ini mulanya

merupakan hiasan yang terdapat pada rumah petani di Freisland.55

3. Hiasan dari Kaca

Hiasan dari kaca yang berwarna dan menempel pada tubuh bangunan

(glass in lood), pada awalnya merupakan ornamen-ornamen yang banyak terdapat

di gereja-gereja zaman klasik Eropa. Gereja-gereja yang dibangun pada masa ini

walaupun terlihat keramat dari luar, namun kemegahan dan keindahan terdapat

didalamnya dengan adanya pantulan cahaya matahari oleh kaca emas warna-warni

sehingga menimbulkan mozaik yang indah.

Pada zaman lalu para seniman mencurahkan segala daya imajinasi dan

ketrampilannya untuk menghiasi gereja agar tampak indah. Menurut perkiraan di

Perancis saja pada abad 11 dibangun 1.587 gereja, sehingga Raoul Glaber,

biarawan di Cluny, menuliskan bahwa seakan-akan dunia bangkit dan

menanggalkan usia tuanya, dan dimana-mana mengenakan pakaian putih dalam

bentuk gereja.56Dan Suger yang mendapat kepercayaan memugar gereja St. Denis

melihat bahwa gereja dapat juga mengobarkan semangat nasionalisme sesama

rakyat senegerinya.57

55
Ibid hal 294
56
Anne Frematle, Abad Besar Manusia; Abad Iman (Jakarta, Tira Pustaka,1984) hal 122
57
Ibid, hal 123
Sekelumit kecil dari beberapa faktor itulah yang menyebabkan mengapa

banyak seniman pada abad pertengahan sangat tertarik membuat karya-karya yang

indah unruk menghiasi gereja. Pada masa ini masyarakat tidak hanya

menyumbangkan uang mereka untuk membangun gereja, namun juga

menyumbangkan tenaga dan pemikiran mereka untuk kemajuan gereja.

Seni pembuatan kaca warna-warni sebagai hiasan ornamen pada bangunan

semakinmeluas karena pengaruh dari perkembangan arsitektur gaya Gothik

sekitar tahun 1140-an, dan mencapai puncaknya setengah ababd kemudian berkat

jasa para pengerajin di Chartres. Rumus dasar pembuatan kaca, mencampurkan

pasir, garam, dan abu. Kaca berwarna dibuat dengan memanasi campuran ini

sampai cair, yang kemudian diwarnai dengan oksidasi logam, tembaga untuk

warna merah, besi untuk warna kuning, kobalt untuk warna biru. Keping-keping

kecil kaca warna-warni tersebut dimasukkan dalam alur bingkai timah yang

bentuknya bermacam-macam sehingga membentuk panel. Baru setelah panel

dipasang pada jendela, tukang kaca dapat mengetahui kecerahan warna dan kesan

seluruh desain. Pada abad pertengahan hiasan-hiasan kaca tersebut banyak

menceritakan dan melukiskan tokoh-tokoh dalam sejarah kitab Injil serta manusia

sejak penciptaan alam semesta.58

Awalnya bentuk jendela dengan penutup rotan yang dianyam seperti kursi

banyak terdapat di Hindia-Belanda zaman dulu. Cara ini didapat oleh orang-orang

Portugis dengan meniru cara orang pribumi. Kelemahan jendela dengan penutup

anyaman rotan ini ialah terbuka dan tidak dapat melindungi ruangan dalam dari
58
Ibid, hal 133
hujan dan panas matahari, juga terpaan angin, dan apabila ditutup ruangan

menjadi gelap dan pengap. Jendela dengan menggunakan penutup dari kepingan

kaca yang berwarna-warni bagi penghuni Nusantara waktu itu sangatlah mahal,

kecuali pada rumah-rumah orang kaya. Baru kira0kira tahun 1750 di Batavia

terjadi perubahan dengan menggunakan jendela-jendela yang mewah, yaitu

jendela lebar dan tinggi, yang keseluruhannya merupakan petek-petek kaca.59

Perkembangan selanjutnya terutama awal abad 20 hiasan dari kaca (glass

in lood) banyak menghias rumah-rumah di Surakarta. Pada rumah-rumah pejabat

dan saudagar-saudagar terutama di Laweyan, hiasan dari kaca ini dibentuk dengan

panel-panel yang membentuk relief tertentu biasanya relief tumbuhan.

Pada rumah tradisional ada tempat yang disebut tebeng, yaitu bidang segi

empat yang terletak diatas pintu atau diatas jendela. Tebeng ini dihiasi dengan

ornamen yang namanya dalam bahasa Kawi disebut sebagai warayang.

Wujud dari ornamen warayang berupa beberapa anak panah yang

distilisasi menuju kesatu titik. Secara teknis ragam hias ini berfungsi ganda yaitu

sebagai ventilasi atau jalan udara agar terjadi sirkulasi udara didalam rumah.

selainitu juga berfungsi sebagai penambah penerangan dalam ruangan.60Pada

rumah Indis hiasan tersebut diganti dengan glass in lood sehingga menambah

keindahan bangunan tersebut.

Kaca-kaca panel berwarna ini semakin mendapat tempat pada seperempat

awal abab 20 dengan munculnya aliran baru dalam perkembangan arsitektur yaitu

59
Djoko Soekiman, op.cit hal 139-140
60
Sugiyarto Dakung, op.cit, hal 166
Art Deco. Dalam aliran gaya baru ini selain menerima ornamen-ornamen historis,

terutama hiasan-hiasan tradisional namun ia juga terbuka terhadap sesuatu yang

baru.

Keterbukaan ini aliran ini tercermin dalam pemakaian material yang baru,

dan hiasan panel kaca adalah salah satunya. Art Deco memberikan sentuhan-

sentuhan modern yang diartikan dengan berani tampil beda dan baru, tampil lebih

menarik dari yang lain dan tidak kuno. Kesemuanya itu dimanifestasikan dengan

pemilihan warna yang mencolok, proporsi yang tidak biasa, material yang baru

dan dekorasi.61 Dalam perkembangannya arsitektur Art Deco dipengaruhi oleh

banyak macam aliran lainnya, sehingga menambah unsur dekoratif yang menjadi

unsur utama dalam aliran Art Deco.

61
Tanti Johana, “Arsitektur Art Deco” (www.arsitekturindis.com, 2 Oktober 2004)

Anda mungkin juga menyukai