Anda di halaman 1dari 7

METHODE KONSERVASI DI INDONESIA

PROSEDUR PEMUGARAN BANGUNAN BERSEJARAH

Oleh
Putu Rumawan Salain IAI
Jurusan Arsitektur-Fakultas Teknik- Universitas Udayana
e-mail : rumawansalain@yahoo.com

Pra Wacana
Dinamika kehidupan dan penghidupan selalu diiringi oleh perubahan. Yang abadi dalam
kehidupan dan penghidupan adalah perubahan! Terjadi perubahan penghidupan dari landasan
budaya agraris melompat ke budaya jasa mengantarkan pembangunan di Indonesia melaju
dengan pesat yang bermuara pada peralihan fungsi dan hak milik lahan menjadi fungsi dan
pemilik baru yang dibingkai oleh kepentingan industri dan jasa.
Perubahan tidak hanya berlangsung pada lahan belaka, namun juga terjadi perubahan pada
ideologi masyarakatnya, selanjutnya terbentuklah insan-insan yang menjadikan dan mensyahkan
pelbagai perubahan. Bukankah manusia sebagai pelaku budaya yang berperilaku untuk
membolehkan atau tidak boleh melaksanakan perubahan. Kuatnya adat dan agama dipandang
mampu membingkai beragam ideologi yang menuju satu dunia yang dipimpin oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pelbagai perubahan yang berlangsung pada kegunaan lahan, maupun perubahan pada
ideology masyarakatnya berdampak pula pada perubahan wujud fisik mereka oleh karena
berbagai kepentingan mempertahankan dan memberlangsungkan kehidupan dan penghidupan
mereka. Perubahan demi perubahan tersebut juga terjadi dan berlangsung dalam karya arsitektur
berupa bangunan.
Indonesia boleh berbangga dikarenakan laboratorium lapangan berupa bangunan bersejarah
masih dapat dijumpai baik oleh karena peninggalan etnik, bangsa, maupun keyakinan, masih
eksis. Namun harus juga dikaui bahwa eksistensi bangunan bersejarah tersebut banyak
mengalami godaan, seperti yang terjadi di wilayah perkotaaan di Indonesia
Mengingat pentingnya bangunan bersejarah bukan hanya sebagai kepentingan pendidikan,
rekreasi, pariwisata belaka, namun jika dikelola dengan baik dapat diarahkan untuk mendapatkan
peningkatan pendapatan, seperti yang dilakukan pada beberapa kota yang merancang kotanya
menuju atau menjadi kota pusaka. Untuk itulah pemahaman tentang pemugaran, bangunan,
bangunan bersejarah, cagar budaya, dan arsitektur menjadi penting dan perlu bagi peningkatan
profesionalisme para arsitek.

Wacana
Dalam deskripsi Wacana ini akan dipaparkan sembilan uraian yaitu tentang Definisi
Bangunan Bersejarah, Objek Bangunan Bersejarah, Definisi Pemugaran, Kenapa Diperlukan
Pemugaran Bangunan Bersejarah?, Dasar Hukum Pemugaran Bangunan Bersejarah, Siapa Yang
Boleh Melakukan Pemugaran?, Bagaimana Prosedur Pemugaran Bangunan Bersejarah?,

1
Penetapan Bangunan Bersejarah, dan Prospek Pemugaran Bangunan Bersejarah Di Bali, sebagai
berikut :

1). Definisi Bangunan Bersejarah


Bangunan bersejarah berasal dari dua suku kata Bangunan dan bersejarah. Pengertian
Bangunan berdasarkan sumber dari Perwali Nomor 25 tahun 2010 tentang Persyaratan Arsitektur
Bangunan Gedung di Kota Denpasar adalah : “wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan pekarangan sebagai tempat kedudukannya, sekaligus atau seluruhnya berada diatas dan
atau dibawah tanah dan atau air”.
Pengertian atau batasan tentang bangunan gedung dipetik dari Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 yang isinya sebagai berikut
:“Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat
kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air,
yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus”.
Bersejarah dimengerti sebagai memiliki nilai sejarah. Nilai dimaksud dapat bermakna dimensi
yang mewakili kebudayaan sekaligus peradaban yang dibingkai oleh waktu, identitas bahan,
teknologi, dan ilmu pengetahuan, serta dapat saja mengandung nilai estetika dan fungsional.
Nilai-nilai tersebut galibnya dinyatakan setelah melampaui penelitian yang mendalam oleh para
ahli.
Dengan demikian bangunan bersejarah adalah “setiap wujud fisik konstruksi yang memiliki
nilai-nilai signifikan (penting dan asli) yang dapat dipertanggung jawabkan dari sudut waktu,
langgam, keindahan, fungsi, kejadian atau peristiwa, dan keunikan”. Contohnya bangunan
peninggalan Hindu dan Budha di Jawa, bangunan-bangunan peninggalan Kolonial Belanda dan
Jepang di Indonesia, ataupun juga beberapa bangunan ibadah Islam maupun bagi warga
Tionghoa.

Berturut-turut dari kiri ke kanan adalah benteng Rotterdam di Makassar, Candi Boko , candi
Prambanan berupa peninggalan Hindu dan Candi Borobudur sebagai warisan Budha ke tiganya berada
di Yogyakarta. Sumber, Salain aneka tahun dan internet.

Dalam pembahasan ini pemahaman tentang bangunan hendaknya dibedakan dengan


arsitektur. Sejujurnya menyebut bangunan dan arsitektur sering rancu. Sebagai pegangan
arsitektur adalah bangunan, namun tidak semua bangunan termasuk dalam arsitektur, sedangkan
dalam pemahaman arsitektur bukanlah semata menyangkut bangunan. Demikian pula jika
pembahasan dihadapkan pada istilah gedung. Gedung dapat dikatagorikan bagunan sekaligus
hasil dari karya arsitektur. Kata kunci kritisnya ada pada bangunan-gedung-arsitektur!

2
2). Objek Bangunan Bersejarah
Objek bangunan bersejarah sementara ini dapat dikatagorikan dalam tiga pendekatan yaitu
yang pertama yang berkaiatan dengan peraturan yang mengatur tentang Bangunan Gedung, ke
dua yang termasuk dalam Cagar Budaya, dan ke tiga yang tergolong ke dalam Piagam Ciloto.
Pelestarian bangunan gedung dan lingkungannya termuat dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang bangunan Gedung Bagian empat menyangkut
Pelestarian pada pasal 38.
Tampaknya pelestarian dalam Undang-Undang Bangunan Gedung lebih mengutamakan
tentang bangunan gedung dan lingkungannya yang telah ditetapkan menjadi cagar budaya.
Sebagai benda cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan merupakan bangunan gedung
berumur paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan termasuk nilai arsitektur dan teknologinya.
Sedangkan objek pelestarian dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah:
“Warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di
air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”.
Pelestarian atau konservasi bukanlah hanya menyangkut objek atau benda-benda cagar
budaya saja, akan tetapi juga termasuk yang bukan cagar budaya yang diformat ke dalam
pemahaman pusaka. Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia yang dideklarasikan di Ciloto pada
Tahun 2003 oleh Budihardjo (2011:213) menyebut wajib melestarikan dan mengembangkan:
1) Pusaka Alam, berupa bentukan alam yang istimewa, unik atau bermakna bagi
kesinambungan ekologis.
2) Pusaka Budaya, merupakan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari berbagai
suku bangsa di Indonesia dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah
keberadaannya. Terdiri dari Pusaka Budaya Ragawi dan Pusaka Budaya Nir-Ragawi.
3) Pusaka Saujana, merupakan pusaka gabungan dari Pusaka Alam dengan Pusaka Budaya.

Bangunan bersejarah juga dapat dikelompokkan ke dalam penggolongan sebagai dead


monument dan living monument. Secara konsepsual dead monument dimaksudkan sebagai
bangunan peninggalan “bersejarah” yang tidak dipergunakan atau dimanfaatkan, sedangkan
living monument adalah bangunan peninggalan “bersejarah yang masih dipergunakan dan
dimanfaatkan. Candi Borobudur, Candi Prambanan, Kota Tambang Sawahlunto dapat dikatakan
sebagai objek dead monument pada masa lalu. Namun kini dengan berbagai pertimbangan
dipugar dan menjadi living monument dengan fungsi yang tidak sepenuhnya dikembalikan sesuai
aslinya. Untuk kasus Bali dapat dikatakan seluruh bangunan bersejarah merupakan living
monument sehingga keberadaan dan keberlanjutannya dapat dijumpai hingga kini. Kenapa?
Karena masyarakat Bali sampai dengan saat kini merupakan penyungsung dan pengemong
bangunan bersejarah “living monument” tersebut. Baik dead maupun living monument di Bali jika
ditransformasikan ke dalam Perda Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan
Gedung dapat dikatagorikan sebagai Arsitektur Warisan (pura dan puri).

3). Definisi Pemugaran


Ada beberapa definisi tentang pemugaran, empat diantaranya adalah :

3
• Pemugaran bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan adalah kegiatan
memperbaiki, memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya (Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005).
• Pemugaran menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010
Tentang Cagar Budaya adalah:
“upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
dan Struktur Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata
letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya”.
• Pengertian pemugaran dapat pula dimasukkan ke dalam bagian pelestarian, dengan
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Praturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,
yang bunyinya dikutip sebagai berikut :
“Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan
bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan bangunan
tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode
yang dikehendaki”
Dengan demikian jelaslah bahwa kegiatan pemugaran dapat diartikan merupakan bagian
dari tindakan pelestarian yang bertujuan merawat dan memelihara bangunan gedung dan
lingkungannya sesuai dengan kondisi asalnya. Untuk kasus Bali, melalui proyek Cultural Heritage
Conservation sebutan pelestarian identik dengan konservasi.
Pemahaman pelestarian atau konservasi memang sangat variatif tergantung obyek
bahasannya. Namun dalam Burra Charter dijelaskan bahwa objek konservasi dilakukan bagi
tempat yang memiliki signfikansi budaya. Pendekatan konservasi yang dilakukan terhadap
signifkansi budaya tersebut termasuk preservasi, restorasi, rekonstruksi, rehabilitasi dan adaptasi.
Stubb (2009: 23) menuliskan bahwa konservasi adalah proses merawat tempat untuk
menjaga nilai warisan budaya" dan konservasi mungkin juga melibatkan, peningkatan tingkat
intervensi: non intervensi, pemeliharaan, stabilisasi, perbaikan, restorasi, rekonstruksi atau
adaptasi.
Pemahaman pelestarian juga disampaikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
yang bunyinya sebagai berikut : “Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan
keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan
memanfaatkannya”.
Pelestarian menurut Burra Charter ( dalam Budihardjo, 11, 1991 ) disebutkan sebagai seluruh
proses yang memperlihatkan suatu tempat yang tetap mempertahankan arti “significance” dari
kebudayaan. Di dalamnya termasuk pemeliharaan menurut kemungkinan keadaan pada saat
tersebut termasuk didalamnya menyangkut presevasi, restorasi, rekonstruksi dan adaptasi,
dengan kemungkinan kombinasi dengan satu atau lebih diantaranya. Sedangkan menurut Dobby (
dalam Budihardjo , 11, 1991 ) mengusulkan terminologi tentang pelestarian dalam sembilan
model yaitu : (1). Preservasi, (2). Restorasi, (3). Rekonstruksi, (4). Adaptasi, (5). Rehabilitasi, (6).
Perawatan, (7). Perbaikan, (8). Demolisi, (9). Konservasi. Ke – sembilan model pelestarian ini di
dalam penerapannya sangat dipengaruhi oleh obyek yang akan dilestarikan. Sebagai contoh
penghancuran atau perombakan diijinkan melalui model Demolisi apabila situs arsitektur tersebut
membahayakan atau sudah sangat rusak. Model terbaru “terakhir” tentang pelestarian yang
ditulis kembali oleh Dobby ditambahkan dengan Relokasi, sehingga menjadi sepuluh.

4
Snyder dan Catanese (dalam Budihardjo, 2011:214) menuliskan bahwa ada enam tolok ukur
Konservasi Pusaka Budaya khususnya Budaya Ragawi dalam kontek arsitektur adalah :
kelangkaan, kesejarahan, estetika superlativitas “bentuk”, ragam/gaya, dan kualitas pengaruhnya.
Tulisan singkat ini mengkaji pelestarian dari dua sudut pandang secara bersamaan yaitu
sudut pandang selaku bangunan gedung berupa pusaka budaya ragawi dan pelestarian dari sudut
pandang cagar budaya. Pemahaman pelestarian dari ke dua sudut pandang tersebut memiliki
makna yang sama yaitu pertahanan dan perlindungan.
4). Dasar Hukum Pemugaran Bangunan Bersejarah
Beberapa peraturan-peraturan yang mengikat pelaksanaan pemugaran bangunan bersejarah
dari tingkat nasional sampai dengan lokal antara lain :
• Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
• Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
• Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan;
• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Jakarta;
• Permendagri Nomor 53 tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;
• Peraturan Daerah Provinsi /Kabupaten/Kota.
• Dan lainnya.

5). Siapa Yang Boleh Melakukan Pemugaran ?


Yang boleh melakukan pemugaran dapat dibagi menjadi beberapa katagori yaitu, pertama
untuk bangunan bersejarah yang tergolong sebagai benda cagar budaya dilakukan oleh
pemerintah melalui Kantor Purbakala, yang kedua dapat pula dilaksanakan melalui jasa konsultan
melalui tender, ketiga melalui kerjasama dengan perguruan tinggi, dan ke empat dilakukan oleh
para ahli yang ditunjuk pemerintah yang terdiri dari : arkeolog, arsitek, teknik sipil, ahli sejarah
dan lainnya tergantung luas dan dalamnya cakupan proyek yang dikerjakan.
Bahkan untuk skala proyek yang rumit dan memiliki nilai signifikansi yang sangat penting
dapat dilakukan kerjasama dengan organisasi nasional (BPPI) sampai dengan lembaga berskala
dunia. Sedangkan bangunan bersejarah yang dapat dikatagorikan sebagai Arsitektur Warisan
sebagaimana yang tertulis dalam Perda Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur
Bangunan Gedung yang umumnya dikerjakan oleh para Arsitek Tradisional Bali disebut sebagai
Undagi.
Dengan demikian khusus bagi Arsitektur Warisan yang berkaitan langsung dengan bangunan
bersejarah layak memanfaatkan jasa para Undagi, termasuk juga bagi perorangan yang akan
memugar rumah tradisi yang tergolong ke dalam Arsitektur Tradisional Bali. Ha yang sama juga
berlangsung dibelahan Arsitektur Tradisional lainnya di seluruh tanah air seperti di Aceh (disebut
Utuh), Makasar (Pandita Bala), dan lainnya.

6). Bagaimana Prosedur Pemugaran Bangunan Bersejarah ?


Secara konsepsual atau strategi ada lima hal yang sangat mendasar dilaksanakan dalam
Prosedur Pemugaran Bangunan Bersejarah “Konservasi” hendaknya diawali dengan suatu strategi
yang mengacu pada pelestarian warisan budaya seperti :
(1).Signifikansi, diperoleh dari penilaian “assessment” suatu obyek dalam suatu konteks
apakah menyangkut sejarah, keindahan, pengetahuan, kebudayaan, ataupun harganya.

5
(2).Tenaga Akhli, dimaksudkan sebagai suatu strategi tentang bagaimana kesiapan sekaligus
meningkatkan keakhlian SDM yang ada dan akan diadakan.
(3).Pengelolaan Site, merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu upaya
pelestarian. Di dalamnya menyangkut kepemilikan, pendanaan, pengoperasian,
pengenalan, dan sebagainya.
(4).Penelitian, merupakan kegiatan terstruktur yang dilakukan terus menerus terhadap
warisan arsitektur yang memiliki signifikansi tinggi. Pencatatan melalui pengadaan
sekaligus pemetaan sampai dengan pendokumentasian hal-hal yang sangat rinci dari suatu
detail bangunan atau ruang. Kemasan hasil penelitian ini disertai dengan ramalan atas
temuan lapangan atau kemungkinan perubahan karena pemekaran suatu wilayah oleh
berbagai fungsi dalam suatu rekomendasi disajikan dalam MIS ( Management Information
System ).
(5).Peningkatan Kepedulian, dilakukan melalui berbagai upaya menumbuhkan kesadaran
akan pentingnya penyelamatan warisan budaya “arsitektur” tidak hanya kepada para akhli
akan tetapi juga kepada seluruh masyarakat sebagai pelaku budaya melalui berbagai
informasi .
Prosedur Pemugaran Bangunan Bersejarah dikutip dari Penetapan Bangunan Gedung yang
Dilindungi dan Dilestarikan dari sumber Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36
tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang
bangunan Gedung.
Pasca Wacana
Penjelasan tentang Pemugaran Bangunan Bersejarah diatas tidak cukup hanya dengan
pendekatan teknis belaka, akan tetapi perlu pula mengajak komunitas bersama-sama peduli
terhadap warisan budayanya bahkan bila perlu untuk kasus Bali sangat tepat bila mengajak
masyarakat berpikir, berbicara, dan berbuat. Semangat untuk merubah fungsi bangunan karena
desakan pertumbuhan ekonomi dan pasar berdampak pada mudahnya sumber pembiayaan yang
bermuara pada peralihan fungsi maupun hak.
Peranan arsitektur melalui arsiteknya akan dapat berbuat lebih banyak lagi, tidak hanya
melalui konsultan gedung belaka akan tetapi dapat pula melalui konsultan pembangunan ataupun
konsultan komunitas yang akhir-akhir ini memiliki prospek yang cukup menjanjikan. Bahkan
khusus untuk pelaksanaan pemugaran sudah wajib memanfaatkan jasa kademisi maupun praktisi
yang memiliki kompetensi atau pengalaman dibidang pemugaran”konservasi”.
Kata kunci yang perlu dipadu laraskan adalah kesepahaman tentang istilah bangunan
bersejarah, bangunan gedung, cagar budaya, dan pusaka, khususnya pusaka ragawi. Topik-topik
tersebut satu dan lainnya ada keterkaitannya namun tidak jelas dalam perundang-undangannya,
sehingga berdampak pada mekanisme dan pengelolaan pemugaran bangunan bersejarah.

Daftar Pustaka
Budihardjo, Eko. 1991. Architecture Conservation in Bali. Gajahmada University Press. Yogyakarta.
Budihardjo, Eko. 2011. Konservasi Pusaka Budaya. Dalam Buku Jejak Arsitektur dari Perspektif
Akademisi dan Praktisi Mengkritisi Perubahan. Editor Putu Rumawan Salain. PT. Cipta
Paduraksa. Denpasar.
Hold, Renata. 1981. Conservation as Cultural Survival. The Aga Khan Award for Architecture.
Jokilehto, Jukka. 2002. A History of Architectural Concervation. Butterworth Heinemann. Oxford
London.

6
Salain, Putu Rumawan. 1984. Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Indonesia. Buku Ajar. Jurusan
Arsitektur, Fakultas Teknik. Universitas Udayana. Denpasar.
Salain, Putu Rumawan. 2003. Representasi Arsitektur Tradisional Bali “ Konservasi Arsitektur Bali”
UPT. Penerbit Universitas Udayana. Denpasar.
Salain, Putu Rumawan. 2003. Rencana Konservasi dan Revitalisasi pada Inti Sejarah Singaraja.
Universitas Udayana. Denpasar.
Salain, Putu Rumawan. 2014. Konservasi Arsitektur Tradisional Bali Perspektif Budaya Unggul.
Orasi Ilmiah. Universitas Udayana. Jimbaran-Badung.
Salain, Putu Rumawan. 2014. Pelestarian Bangunan Gedung di Bali. Makalah Seminar
Penyebarluasan Informasi Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan dalam Rangka Hari
Habitat. Werdhapura-Sanur, 13 Oktober 2014
Sidharta dan Eko Budihardjo. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di
Surakarta. Gajahmada University Press. Yogyakarta.
Serageldin, Ismael, Dkk. 1999. Preserving the Architecture of Historic Cities and Sacred Places.
Draft Proceeding of Symposium, held at The World Bank Washington DC.
Stubbs, John. H. 2009. Time Honored A Global View of Architectural Conservation. John Wiley &
Sons.Inc. Canada.

Internet :
https://www. google.co.id, diunggah jam 22.45, pada 9 Juni 2015.
pustaka.pu.go.id , diunggah pada jam 08.35, pada 7 Juni 2015.

Anda mungkin juga menyukai