Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MATA KULIAH

ARSITEKTUR TRADISIONAL KHUSUS

Dosen Pengampuh:
Dr.techn. Andi Abidah, S.T., M.T.
Prof. Dr. Mithen Lululangi, M.T.

Disusun Oleh :
Andira Azzahra Putri Rahmat
210211502003
Arsitektur 02/B

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
TUGAS 2

Buat gambaran arsitektur tradisional makassar dengan merujuk ke minimal 20 litertur.

Arsitektur Tradisional Makassar

Arsitektur sebagai bagian karya budaya yang bermakna hidup, adalah menghargai lingkungan alam,
hingga ekspresi perwujudan seni estetika jiwa manusia. Arsitektur tradisional dibangun berdasarkan kaidah-
kaidah tradisi yang dianut masyarakat setempat. Arsitektur tradisional juga merupakan suatu bentukan dari
unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu suku bangsa
sehingga dijadikan sebagai suatu identitas suku bangsa tersebut. Arsitektur tradisional adalah suatu
bangunan yang bentuk, ragam hias dan cara pelaksanaannya diwariskan turun temurun dari generasi ke
generasi. Arsitektur tradisional adalah cermin tata nilai dan budaya yang ditradisikan oleh masyarakatnya
(Budihardjo, 1997).

Secara Umum arsitektur tradisional adalah kebudayaan fisik yang dalam konteks tradisional
merupakan bentuk ungkapan yang berkaitan erat dengan kepribadian masyarakatnya. ekspresi yang sangat
fisik dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan lingkungan tempat dia dibesarkan dan semakin banyak,
sehingga perbedaannya signifikan sosial budaya dan lingkungan mempengaruhi representasi dalam
arsitekturnya.

Arsitektur tradisional juga merupakan salah satu faktor budaya yang tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan suatu suku bangsa. Karena arsitektur tradisional adalah salah satu identitas usaha budaya, arsitektur
tradisional mencakup aspek ideal, sosial, dan material dari suatu budaya. Unsur budaya ini di hayati, sehingga lahirlah
rasa bangga dan cinta terhadap arsitektur tradisional ini. Proses perubahan budaya di Indonesia khususnya di pedesaan
menyebabkan perubahan bentuk budaya yang terkandung dalam arsitektur tradisional.

Arsitektur sebagai karya seni budaya diakui sebagai salah satu jenis budaya yang dapat dijadikan cerminan
kehidupan masyarakat, dari waktu ke waktu. Arsitektur sebagai bagian dari budaya tak ubahnya sebagai bentuk bahasa
manusia nonverbal yang bernuansa simbolik. Arsitektur adalah alat komunikasi nonverbal manusia dengan pengertian
sastra, tidak jauh berbeda dengan sastra linguistik metaforik. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana
metaforik keindahan, dari mana fitur-fiturnya diwujudkan.

Konsep arsitektur tradisional Sulawesi Selatan, merujuk pada pesan atau wasiat yang bersumber dari
kepercayaan dan adat istiadat yang dianut masyarakat Sulawesi Selatan, mulai dari pemilihan tempat, penentuan arah
peletakan rumah, bentuk arsitektur, hingga penyelenggaraan upacara ritual ketika proses pembangunannya. Kota
Makassar adalah ibu kotanya Provinsi Sulawesi Selatan menjadi pusatnya pelayanan daerah, tumbuh bersama dengan
dibangunnya berbagai fasilitas termasuk kantor untuk mendukung fungsinya. Bagian gedung perkantoran di kota
Makassar melakukan arsitektur tradisional setempat sebagai inspirasi perencanaan dan perencanaan. Arsitektur sebagai
aspek budaya adalah mewujudkan nilai-nilai yang dianut dan dilestarikan untuk ditransmisikan dari generasi ke generasi
Berikutnya.

Menurut Saliya (2003), mengatakan bahwa arsitektur tradisional pada dasarnya tidak mengenal ukuran yang
formal seperti meter atau feet. Ukuran yang digunakan adalah selalu bersifat kongkrit yakni merujuk pada ukuran atau
besaran benda, misalnya: ukuran bagian tubuh manusia, seperti depa, hasta, tinggi pundak, rentang-rentang tegak dan
lebar langkah. Arsitektur tradisional sebagai salah satu bentuk warisan budaya merupakan pengendapan fenomena dari
waktu ke waktu yang berlangsung secara berurutan.

Keberadaan arsitektur tradisional Makassar di dusun Giring-Giring, desa Bontolangkasa dan desa Maccinibaji
yang merupakan wilayah permukiman pengolah batu bata di kabupaten Gowa memiliki ciri dan karakteristik budaya
yang diterapkan dalam wujud ideal, wujud sosial, dan wujud material/fisik suatu kebudayaan.

Budaya yang dimiliki setiap daerah mempunyai salah satu ciri melalui arsitektur tradisionalnya secara terpadu.
Arsitektur tradisional adalah salah satu unsur kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan
pertumbuhan suatu suku bangsa. Arsitektur tradisional merupakan identitas budaya suatu suku bangsa, karena di
dalamnya terkandung segenap peri kehidupan masyarakatnya. Keberadaan arsitektur tradisional Makassar lekat dengan
hidup keseharian masyarakatnya yang masih menganut tata kehidupan kolektif, yaitu memiliki keserasian dan
keselarasan antara makro kosmos (alam semesta) dan mikro kosmos (bangunan), (Soeroto, 2002;11).

Untuk keberadaan budaya ini dihayati dan dipraktikkan, lalu timbul rasa bangga dan cinta arsitektur
tradisional. Kemajuan yang kuat saat ini sedang berlangsung, Padahal, proses inovasi di segala bidang itulah yang
menjadi penggeraknya perubahan besar di bidang kebudayaan, khususnya di bidang arsitektur tradisional. Berkembang
pesat dalam berbagai bidang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang menimbulkan inovasi pada
rumah adat dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Proses pembaruan menyebabkan perubahan budaya
suatu bidang arsitektur Secara tradisional, itu disebut akulturasi. proses akulturasi merupakan nilai-nilai baru dengan
nilai-nilai tradisional yang memunculkan arsitektur bercampur tetapi identitas arsitektural asli suatu distrik
dipertahankan.

Rumah tradisional Makassar secara mendasar dapat diketahui dari bentuk rumah yang terdiri dari bagian
atap/dunia atas, bagian badan rumah/dunia tengah dan bagian kaki rumah/dunia bawah. Ketiga bagian merupakan
unsur budaya lokal yang menyatu antara penghuni rumah dengan alam dan lingkungannya yang memberikan kualitas
kehidupan, pengembangan sumber daya manusia sekaligus memberi manfaat ekonomi bagi penghuninya, sehingga
bentuk rumah tradisional Makassar memiliki kualitas humanis.

Bentuk rumah tradisional Makassar yang mengalami perubahan dan pengembangan sekaligus dimanfaatkan
sebagai penunjang usaha masyarakat pengolah batu bata di Kabupaten Gowa yaitu dusun Giring-Giring desa
Kalase’rena kecamatan Bonto nompo, desa Bonto langkasa kecamatan Bonto nompo dan desa Maccini baji kecamatan
Bajeng. Lokasi penelitian memiliki pola permukiman yang memanjang, berkumpul dan menyebar. Permukiman
berkembang kearah jalan dilengkapi sarana prasarana seperti rumah ibadah, sekolah, pelayanan kesehatan, ruang
terbuka hijau, air bersih, dan drainase.

Mencerminkan nilai-nilai budaya lokal dalam lingkungan, bentuk dan fungsi rumah merupakan hal yang
menarik untuk dipelajari, terutama tentang rumah Tradisi Makassar telah mengalami perubahan dan perkembangan
berdasarkan perpaduan antara budaya lokal dan budaya modern pada tataran kegiatan warga untuk mendukung
peningkatan ekonomi warganya.

Seiring dengan perkembangan zaman, arsitektur pun ikut semakin berkembang pesat. Hal ini tidak lain
disebabkan oleh perkembangan kehidupan manusia. Semakin peradaban manusia berkembang, maka semakin
menuntut perkembangan dunia arsitektur agar dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam masyarakat
tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat dilakukan menurut adat istiadat,
dengan demikian adat menjadi semacam pedoman dalam bertindak yang menguasai pola kehidupan masyarakat, baik
dalam tingkah laku, maupun dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya.

Dalam kehidupan masyarakat tradisional Sulawesi Selatan secara umum dan masyarakat Makassar secara
khusus, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat selalu dilakukan bersendikan adat istiadat. Adat istiadat
menjadi semacam pedoman dalam berpikir dan bertindak sesuai pola kehidupan masyarakatnya. Terwujud baik dalam
tingkah laku, cara berinteraksi, termasuk perlakuan dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan sekitarnya.

Menurut Mardanas (1985) dahulu kala suku Bugis Makassar menganut kepercayaan attau riolong yang
mengajarkan pandangan kosmologis, bahwa alam raya (makro kosmos) bersusun tiga tingkat, yaitu: botting langi’
(dunia atas), ale kawa (dunia tengah) dan uri liyu (dunia bawah). Pusat ketiga bagian alam raya ialah botting langi,
tempat bersemayamnya dewata Seuwae. Pandangan kosmologis tentang makro kosmos diwujudkan pada rumah
tinggalnya yang dianggap sebagai mikro kosmos. Oleh karena itu, rumahnya terdiri atas tiga bagian yaitu: rakkeang
(para-para/loteng), ale bola (badan rumah) dan awa bola (kolong rumah). Ketiga bagian itu terpusat pada posi bola
yaitu bagian yang dianggap suci.

Konsep arsitektur masyarakat tradisional suku Makassar bermula dari suatu pandangan hidup ontologis,
bagaimana memahami alam semesta secara “universal”. Filosofi hidup masyarakat tradisional suku Makassar yang
disebut “Sulapa Appa”, menunjukkan upaya untuk “menyempurnakan diri”. Filosofi yang bersumber dari “mitos” asal
mula kejadian manusia yang 40 diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api dan angin (Tato, 2014:5). Sulapa
appak juga dimaknai sebagai empat penjuru angina yaitu timur, barat, utara dan selatan. Pandangan wujud ideal
tercermin dalam bentuk tiang rumah, bentuk denah serta areal yang ditempatinya, semuanya persegi empat (Limpo.
1995).

Tato (2008) mangatakan bahwa konsep arsitektur tradisional Bugis Makassar memandang kosmos terbagi
atas tiga bagian, sehingga secara struktural rumah tradisional Bugis Makassar terdiri dari:
a) struktur bagian bawah,
b) struktur badan rumah, dan
c) struktur bagian atas.

Ketiga bagian-bagian struktur di atas memperlihatkan adanya keserasian antara struktur bagian bawah, struktur tengah
dan struktur atas. Hal ini disebabkan karena ukuran yang mereka gunakan didasarkan pada ukuran perbandingan dari
anggota badannya sendiri. Dasar ukuran itu adalah : tinggi badan, panjang depa, panjang langkah, panjang hasta,
panjang jengkal dan panjang atau lebar jari.

Berdasarkan letak geografisnya, wilayah penyebaran suku Makassar tersebar mulai dataran tinggi, di daerah-
daerah pegunungan, dataran rendah sampai ke daerah pesisir pantai. Suku Makassar yang tinggal di daerah pegunungan
dan dataran rendah memiliki matapencaharian sebagai petani sedangkan suku Makassar yang tinggal di daerah pesisir
pantai memiliki matapencaharian sebagai nelayan. Secara mendasar suku Makassar adalah suku kedua terbesar dengan
mendiami kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Maros dan Pangkep (merupakan peralihan daerah Bugis
dan Makassar dan juga Selayar, walaupun dengan dialek tersendiri (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1997), tetapi
suku Makassar yang terbahas dalam kasus diskusi inilah adalah suku Makassar yang berada di wilayah dataran tinggi.

Mattulada (1991:15-20), berpendapat, secara konsepsi suku Makassar atau tau Mangkasara itu mengandung
sekurangkurangnya 3 (tiga) macam pengertian, yaitu:
1. Makassar, sebagai group Etnik, (suku bangsa Indonesia) yang berdiam di sepanjang pesisir selatan jazirah Sulawesi
Selatan, yang mempunyai bahasa dan beradaban sendiri, yang hidup sampai sekarang.
2. Makassar, sebagai sebutan kepada Kerajaan Kembag Gowa-Tallo dengan nama Kerajaan atau Kesultanan Makassar,
sebagai sebuah Kerajaan yang paling berpengaruh di Sulawesi atau bagian timur Indonesia dalam abad XVI-XVII.
3.Makassar, sebagai ibukota kerajaan, Bandar niaga yang tumbuh setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis dalam
tahun 1511 dan dijadikannya pusat terdepan Kerajaan Makassar yang mewadahi benteng-benteng Somba-Opu,
Panakkukang dan Ujung Pandang (Jumpandang).

Adapun menurut Koentjaraningrat (1990:30) Rumah tradisional Bugis Makassar merupakan physical sistem
yang merupakan hasil perpaduan dari cultural system. Wahid (2008;4-5), berpendapat bahwa masyarakat suku
Makassar sebagai suatu kesatuan orang-orang yang hidup bersama sejak lama, turun temurun dengan sendirinya akan
memperlihatkan elemen yang bersifat tradisional. Secara mendasar suku Makassar adalah suku kedua terbesar dengan
mendiami kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Maros dan Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan)
merupakan peralihan daerah Bugis dan Makassar dan juga Selayar, walaupun dengan dialek tersendiri.

Rumah merupakan proses yang terus berkembang dan sangat berkaitan dengan mobilitas sosial ekonomi
penghuninya dari tempat dan waktu. Hal yang terpenting dari keberadaan sebuah rumah adalah dampak yang
ditimbulkan terhadap kehidupan penghuninya, disamping wujud dan standar fisik bangunan (Turner. 1972). Wujud
social ekonomi dalam rumah tradisional Makassar berhubungan dengan susunan ruang pada denah rumah
masyarakatnya, karena dari susunan denah rumah dapat diketahui pola pemanfaatannya dan tingkatan social ekonomi
penghuninya.

Konsep dan pembagian fungsi dalam susunan ruang rumah tradisional Makassar
(Sumber : Pole 1988)

Secara vertical rumah tradisional Makassar terbagi dalam bagian loteng (pammakkang)/dunia atas
difungsikan sebagai tempat menyimpan hasil panen, badan rumah (kale balla’)/dunia tengah
difungsikan sebagai ruang hunian bagi pemilik rumah, sedangkan kolong rumah (siring)/dunia
bawah difungsikan sebagai area kotor/basah.
Secara horizontal rumah tradisional Makassar terdiri dari:
a. Jambang difungsikan sebagai jalur sirkulasi keluar masuk rumah.
b. Paladang ini difungsikan sebagai tempat santai ataupun tempat untuk menerima tamu secara
informal.
c. Baringang (anak tangga), yang berfungsi untuk jalur sirkulasi naik ke rumah dan sebagai tempat
untuk duduk/santai baik sesama penghuni rumah maupun dengan tetangga.
d. Tamping difungsikan sebagai ruang makan, dapur, atau ruang tidur alternative.
e. Dego-dego berfungsi sebagai tempat bertumpunya tangga sekaligus tempat persinggahan
sebelum masuk rumah.
f. Paddaserang ridallekang berfungsi sebagai ruang tamu secara formal.
g. Paddaserang ritangnga berfungsi sebagai ruang tidur kepala rumah tangga.
h. Paddaserang riboko berfungsi sebagai ruang tidur anak perempuan.
i. Balla pallu berfungsi sebagai area tempat mencuci atau tempat memasak.

Adapun wujud fisik dimana secara prinsip rumah tradisional Makassar berbentuk rumah panggung, yaitu
rumah yang berdiri di atas tiang-tiang, ini sesuai dengan pandangan masyarakat suku Makassar akan pembagian alam
ini atas 3 bagian yaitu dunia atas (pammakkang), dunia tengah (kale balla), dunia bawah (siring). Dalam stratifikasi
social masyarakat suku Makassar dapat terlihat pada wujud fisik rumah yang dihuninya. Wujud fisik yang paling utama
terletak pada timba’ sila (sambulayang) yang terdapat pada rumah tradisional Makassar dan unsur lainnya seperti arah
tangga, besarnya rumah dan elemen lainnya.

Menurut Arge (2006), karakteristik rumah suku Makassar disamakan dengan arsitektur tradisional Makassar
yang memiliki simbol dan makna tersendiri bagi masyarakatnya. Rumah suku Makassar mengalami perubahan sesuai
dengan perkembangan zaman dimana penyebutan atau nama rumah juga mengalami perkembangan, seperti :
a. Rumah tradisional atau rumah panggung disebut balla rate’
b. Rumah perpaduan dimana rumah panggung mengalami perkembangan dibagian bawah/kolong rumah menjadi
hunian disebut balla tingka’
c. Rumah tradisional yang mengalami perubahan dari segi bentuk (bentuk panggung menjadi tidak panggung) dan
material rumah mengalami perubahan dari kayu menjadi batu ini disebut balla batu

Suku Makassar memiliki kekhasan rumah adat Sulawesi Selatan yang disebut Balla Lompoa. Balla Lompoa
berarti bangunan rumah panggung besar yang merupakan tempat tinggal bagi Raja Gowa. Hampir serupa dengan
Rumah Bugis, agunan rumah adat Balla Lompoa terdiri dari tiga bagian. Arsitektur tradisional Balla Lompoa,
mencerminkan arsitektur rumah tradisional suku Makassar yang bentuk dan fungsi ruangannya, disesuaikan dengan
nilai estetika masyarakat Makassar. Balla Lompoa diproses dan dirancang sesuai dengan aturan kebiasaan umum yang
berlaku turun-temurun dalam wilayah Kerajaan Gowa, sebagai syarat yang harus dipenuhi bagi sebuah rumah adat
suku Makassar terutama untuk kediaman raja. Istana Balla Lompoa sempat dihuni oleh dua raja, masing-masing I
Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin Raja Gowa ke-35
Tumenanga ri Sungguna (1936 – 1946), dan Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul
Kadir Aididdin (Raja Gowa ke-36) dan menjadi kepala daerah pertama (1946-1960).

Pada wujud kebudayaan yang ada pada arsitektur tradisional Makassar yang diperhatikan pada rumah
tradisional Makassar yang dihuni oleh masyarakatnya, dapat dihubungkan dengan perilaku penghuni dalam
Memanfaatkannya. Suku Makassar menganggap bahwa rumah itu sebagai dirinya sendiri, hal ini disebabkan karena di
rumah itulah penghuninya akan membina hidup bahagia bersama keluarganya sejak lahir sampai akhir hayatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Raodah. (2012). BALLA LOMPOA DI GOWA (Kajian Arsitektur Tradisional Makassar). Vol. 4, No. 3, September
2012: 378-390.

Rahmansah. Bakhrani Rauf. (2014). ARSITEKTUR TRADISIONAL BUGIS MAKASSAR (Survei pada Atap
Bangunan Kantor di Kota Makassar). Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 2, Juli 2014

Tato, S. (2008). Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan dari Masa ke Masa.

Imriyanti. Shirly Wunas. Mimi Arifin. Idawarni J. Asmal. (2017).Telaah Wujud Kebudayaan dalam Arsitektur
Tradisional Makassar.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta

Imriyanti. (2020). AKULTURASI ARSITEKTUR TRADISIONAL MAKASSAR BERBASIS PERUMAHAN


PRODUKTIF SEBAGAI MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN HUMANIS (Kasus: Permukiman Pengolah
Batu Bata di Kabupaten Gowa).

Mardanas, Izarwisma et.al. (1985). Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan.Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Publikasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Arsiterian.tk (2016). KONSEP KOSMOGONI MAKASSAR / RUMAH ADAT MAKASSAR. Diakses pada 22
Februari 2023, dari https://arsiteriania.blogspot.com/2016/04/konsep-kosmogoni-makassar-rumah-adat.html.

Anda mungkin juga menyukai