Anda di halaman 1dari 10

ABSTRAK Tulisan ini merupakan kajian mengenai perubahan arsitektur sebagai bagian dari

perubahan kebudayaan pada masyarakat tertentu dengan mengambil kasus Rumah Tradisional
di Kota Lama Kudus. Arsitektur sebagai artefak kebudayaan berperan penting dalam
memberikan ciri kebudayaan setempat, namun ketika kebudayaan masyarakat kemudian
berkembang, apakah artefaknya juga akan mengikuti perkembangan tersebut?. Tulisan ini
membahas tentang kebudayaan, kaitannya dengan arsitektur dan bagaimana perubahannya
pada masyarakat pesisir Jawa, khususnya Kudus. Kebudayaan merupakan keseluruhan
gagasan, karya serta hasil karya manusia yang dicapai melalui ‘belajar’. Kebudayaan juga
merupakan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Sebagai hasil belajar dan
beradaptasi, kebudayaan akan terus berubah mengikuti perkembangan jaman. Dari nilai-nilai
kebudayaan yang berkembang tersebut terdapat unsur-unsur yang yang berkembang secara
cepat, adapula yang berkembang secara lambat, menjadi tradisi. Kebudayaan tradisional
meskipun berkembang namun tetap mempertahankan karakter intinya yang diturunkan antar
generasi. Kebudayaan yang mentradisi menjadi karakter kuat suatu masyarakat pada tempat
tertentu, salah satunya akan terlihat pada artefaknya, arsitektur tradisional. Kebudayaan
masyarakat Kudus merupakan bagian dari kebudayaan pesisiran Jawa. Satu ragam
kebudayaan Jawa yang berkembang di kota-kota perdagangan di pantai utara Jawa. Kudus
dikenal sebagai masyarakat pedagang santri. Perkembangan kebudayaan masyarakat Kudus
dari sejarah berdirinya sampai saat ini sangat dinamis dan menarik dipelajari. Sebagaimana
kebudayaannya yang khas, bentukan arsitektur permukiman masyarakat Kudus menunjukkan
ciri yang kuat, baik pada tata lingkungan permukiman, kelompok rumah sampai pada elemen
bangungan rumah tinggalnya. Ciri yang kuat pada arsitektur tradisional rumah tinggal
masyarakat Kudus tak pelak mencerminkan Kebudayaannya yang khas pula. Dengan merujuk
pada data sejarah kota Kudus dan mencermati artefak yakni arsitektur rumah tradisional Kudus,
dicoba diinterpretasikan tahapan perkembangan arsitektur dalam perubahan kebudayaan
masyarakat Kudus. Kata kunci: Perubahan, Kebudayaan, Arsitektur Tradisional, Masyarakat
Kudus A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Arsitektur tradisional merupakan salah satu
bentuk kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia. Keragaman Arsitektur tradisional yang
tersebar di bentang kawasan Nusantara menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tiada habis-
habisnya. Arsitektur tradisional di setiap daerah menjadi lambang kekhasan budaya masyarakat
setempat. Sebagai suatu bentuk kebudayaan arsitektur tradisional dihasilkan dari satu aturan
atau kesepakatan yang tetap dipegang dan dipelihara dari generasi ke generasi. Aturan
tersebut akan tetap ditaati selama masih dianggap dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat setempat. Pada masa sekarang dimana modernisasi serta globalisasi demikian
kuat mempengaruhi peri kehidupan dan merubah kebudayaan masyarakat, masihkan aturan-
aturan yang bersumber dari kebudayaan setempat tersebut diikuti?. Adalah suatu kondisi
alamiah bahwa suatu kebudayaan pasti akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Namun perubahan yang diinginkan adalah perubahan yang tetap memelihara karakter inti dan
menyesuaikannya dengan kondisi saat ini. Sehingga tetap terjaga benang merah masa lalu,
masa kini dan masa yang akan datang. Masyarakat Kudus mungkin merupakan satu kelompok
masyarakat yang sampai saat ini masih memegang ciri kebudayaannya sebagai masyarakat
pedagang santri dalam kehidupan kesehariannya. Mata pencaharian sebagai pedagang atau
pengusaha serta kesalehannya sebagai umat muslim sangat mewarnai kehidupannya. Karakter
kebudayaan yang khas tersebut juga ditemui pada rumah tradisionalnya yang biasa disebut
Joglo Pencu. Pada saat ini rumah pencu tersebut sudah mulai jarang ditemui. Sebagian hilang
karena di dijual, sebagian berubah karena rusak atau karena mengikuti model dan material
baru. Adalah satu hal yang menarik mengetahui gambaran masyarakat Kudus dibalik
kemegahan bentuk fisik rumah tinggalnya serta perkembangannya dari masa ke masa. 2.
Kebudayaan Kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas dan pengertiannya tergantung dari
bidang, tujuan bahasan atau penelitian tentang kebudayaan tersebut dilakukan. Terdapat
konsep kebudayaan yang bersifat materiel, yang dilawankan dengan kebudayaan yang bersifat
idiel atau konsep yang mencakup keduanya. A. Kroeber & C. Kluchkohn (dalam Poerwanto,
1997) secara lengkap menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah
laku dan bertingkah laku, eksplisit maupun implisit yang diperoleh melalui simbol yang akhirnya
mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk
perwujudannya dalam benda-benda materi. Seperti halnya dinyatakan Koentjaraningrat (2005)
bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang didapatkannya
melalui belajar. Dengan mengkaji lingkungan alam tempat tinggalnya, menyesuaikan diri dan
mencoba menarik manfaatnya. Menurut wujud atau bentuknya kebudayaan dibagi dari yang
abstrak sampai ke yang kasat. JJ. Honigman dalam Koentjaraningrat (2005) membagi wujud
kebudayaan tersebut dalam 3 bagian, yakni: Sistem Kebudayaan (Cultural System) yang
bersifat abstrak berupa nilai atau pandangan hidup, Sistem Sosial (Sosial system) yang berupa
pola kegiatan yang sifatnya lebih konkrit serta Kebudayaan Fisik (Physical Culture) berupa
peralatan, perabot dan bangunan yang sifatnya paling konkrit. Masing-masing bentuk
kebudayaan tersebut berkaitan erat satu sama lain. Pada semua kebudayaan terdapat unsur-
unsur yang selalu ada yang dikategorikan dalam tujuh unsur kebudayaan meliputi: Sistem Religi
dan Upacara Keagamaan, Sistim dan Organisasi Kemasyarakatan, Sistem Pengetahuan,
Bahasa, Kesenian, Sistem Mata Pencaharian serta Sistem Teknologi (Kluckhohn dalam
Koentjaraningrat, 2005). Unsur budaya tersebut merujuk pada macam atau tema kebudayaan.
Sifat unsur kebudayaan tersebut universal, artinya pada kebudayaan apapun ketujuh unsur
tersebut ada, hanya komposisinya saja yang akan berbeda. Komposisi inilah yang akan
memberikan karakter pada suatu kebudayaan. 3. Perubahan Kebudayaan Budaya sebagai
sebuah sistem tidak pernah berhenti tetapi mengalami perubahan dan perkembangan, baik
karena dorongan-dorongan dari dalam maupun dari luar sistem tersebut. Perubahan ini logis
terjadi karena aspek proses adaptasi dan belajar manusia sehingga selalu menuju pada tataran
serta tuntutan yang lebih baik. Dengan perubahan tersebut waktu dalam arti masa dan
kesejarahan menjadi faktor yang perlu diperhitungkan. Dalam perkembangannya, akibat
perpindahan atau hubungan antar masyarakat dalam berbagai kegiatan, persinggungan bahkan
percampuran antara kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain tidak akan terhindarkan.
Proses pertemuan dua kebudayaan yang berbeda menyebabkan terjadinya akulturasi dan
asimilasi (Poerwanto, 1997). Akulturasi terjadi ketika kelompok-kelompok individu yang memiliki
kebudayaan yang saling berbeda berhubungan langsung dan intensif sehingga kemudian
menyebabkan perubahan pola kebudayaan pada salah satu atau kedua kebudayaan tersebut
(Syam, 2005). Syam menyebutkan bahwa akulturasi lebih merupakan pengkayaan suatu
kebudayaan tanpa merubah ciri awal kebudayaan tersebut. Asimilasi adalah proses peleburan
kebudayaan dimana satu kebudayaan dapat menerima nilai-nilai kebudayaan yang lain dan
menjadikannya bagian dari perkembangan kebudayaannya (Park dan Burgess dalam
Poerwanto, 1997). Rapoport (1994) menyebut akulturasi ini sebagai salah satu bentuk
kebudayaan berkelanjutan (Cultural Sustainability) yang merupakan upaya suatu kebudayaan
agar dapat bertahan. Rapoport, menyatakan, walaupun suatu kebudayaan pasti berubah, yang
diharapkan adalah sebuah perkembangan, dengan tetap mempertahankan karakter dari
kebudayaan tersebut. Perubahan lebih merupakan adaptasi terhadap tuntutan dan tatangan
baru agar kebudayaan tersebut dapat tetap hidup. Dengan demikian ada bagian-bagian yang
tetap eksis dan menjadi ciri kuat dari kebudayaan tersebut serta ada bagian-bagian yang
berubah menyesuaikan perkembangan jaman (continuity and change). Unsur-unsur yang tetap
dipertahankan dan diturunkan antar generasi menjadi tradisi kebudayaan. 4. Arsitektur Dalam
Perubahan Kebudayaan Dalam membahas arsitektur, terdapat tiga aspek yang sangat terkait di
dalamnya, yakni contend, container dan context. Contend menyangkut isi, yakni manusia
sebagai penghuni dengan segala aktifitas dan kebudayaanya. Container menyangkut wadah,
bentuk fisik, lingkungan binaan atau bangunan yang mewadahi kegiatan manusia tersebut.
Context menyangkut tempat, lingkungan alam dimana wadah dan isinya berada. Perubahan
diantara ketiganya akan menyebabkan berubah pula yang lain. Dalam hal perubahan budaya,
bentuk perubahan lingkungan permukiman tidak berlangsung spontan dan menyeluruh, tetapi
tergantung pada kedudukan elemen lingkungan tersebut dalam sistern budaya (sebagai core
atau sebagai peripheral elemen). Hal ini mengakibatkan adanya, elemen-elemen yang tidak
berubah serta ada elemen-elemen yang berubah mengikuti perkembangan. Elemen yang tetap
akan menjadi ciri khas dan pengenal dari arsitektur suatu daerah pada skala yang luas,
sementara elemen yang berubah akan menjadi farian dan keragaman pada lingkup atau daerah
yang lebih kecil. Arsitektur sebagai wujud nyata kebudayaan dapat dipastikan akan ikut
terimbas mana kala kebudayaan sebagai suatu sistem keseluruhan mengalami perubahan.
Bahkan sebagai bentuk kebudayaan yang kedudukannya paling luar, arsitektur merupakan
bentuk kebudayaan yang paling rentan berubah. Sebagai bentuk adaptasi, perubahan-
perubahan bentuk arsitektur tersebut akan mewakili kondisi kebudayaan pada saat itu, yang
apabila dirangkaikan akan dapat bercerita tentang sejarah suatu kebudayaan. 5. Arsitektur
Tradisional Arsitektur sebagai produk kebudayaan akan mencerminkan peradaban masyarakat
setempat. Pada kebudayaan yang bertahan karena nilai-nilainya tetap dipegang dan diturunkan
antar generasi, akan tercermin pada tampilan arsitektur lingkungan binaannya. Wujud fisik
kebudayaannya dikenal sebagai arsitektur tadisional. Arsitektur tradisional kerap dipadankan
dengan Vernakular Architecture, Indigenous, Tribal (Oliver dalam Martana, 2006), Arsitektur
Rakyat, Anonymus, Primitive, Local atau Folk Architecture (Papanek dalam Wiranto, 1999).
Juga disebut sebagai Arsitektur Etnik (Tjahjono,1991). Istilah-istilah tersebut diatas saling terkait
dan pada penggambarannya sulit dipisahkan satu sama lain. Beberapa persamaannya adalah
karakter spesifik yang merujuk pada budaya masyarakat, keterkaitan yang dalam dengan
lingkungan alam setempat (lokalitas), serta bersumber dari adat yang diturunkan antar generasi
dengan perubahan kecil. Menurut Oliver (2006) arsitektur vernakular (dalam bahasan ini akan
disebut sebagai arsitektur tradisional) dibangun oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
khusus dalam pandangan hidup masing-masing masyarakat. Kebutuhan khusus dari nilai-nilai
yang bersifat lokal ini menimbulkan keragaman bentuk antar daerah. Kekhasan dari masing-
masing daerah tergantung dari respon dan pemanfaatan lingkungan lokalnya yang
mencerminkan hubungan erat manusia dan lingkungannya (man & enfironment). Jadi
keragaman arsitektur tradisional mencerminkan besarnya fariasi budaya dalam luasnya
spektrum hubungan masyarakat dan tempatnya. Karakter kebudayaan dan konteks
lingkungannya menjadi fokus bahasan arsitektur tradisional. Nilai-nilai yang cocok dan dapat
memenuhi kebutuhan dipertahankan dan menjadi tradisi yang diturunkan dari ayah ke anak.
Tradisi ini akan tetap dipertahankan bila mempunyai makna, baik praktis maupun simbolis. B.
KEBUDAYAAN PESISIRAN JAWA: KUDUS 1. Kebudayaan Jawa Kebudayaan Jawa
merupakan bagian dari rangkaian lebih kurang 500 kebudayaan daerah yang menyusun
kebudayaan Nusantara. Wilayah kebudayaan Jawa meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur,
tidak termasuk daerah Pasundan di Jawa Barat serta Madura di Jawa Timur. Secara umum
kebudayaan Jawa dikenal sebagai kebudayaan yang berkembang di lingkungan keraton di
pedalaman Jawa yakni Keraton di Yogyakarta dan Surakarta (Koentjaraningrat, 1984).
Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan aristokratis (kerajaan) dengan latar kehidupan
agraris (pertanian). Dalam aspek religi masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sebagian
besar beragama Islam Sinkretik, yang sudah bercampur dengan agama Hindu, Budha serta
kepercayaan setempat (Geertz, 1960). Pandangan Hidup orang Jawa menekankan pada
ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan. Sikap narimo, menempatkan individu di
bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta (Mulder, 1984). Masyarakat Jawa
hanya mengenal dua stratifikasi masyarakat yakni Penggede serta Wong Cilik (Castless, 1982).
Dalam interaksinya, Penggede menjadi golongan yang superior yang dilayani dan disembah
oleh Wong Cilik. Bahasa Jawa bertingkat-tingkat sebagaimana masyarakatnya. Penggunaan
jenis bahasa dalam pembicaraan tergantung pada siapa lawan bicaranya serta dalam konteks
apa pembicaraan tersebut berlangsung (Suseno, 1991). Dalam bentukan arsitektur rumah
tradisional terdapat farisasi bentuk yang dibedakan menurut atapnya. Dari yang paling
sederhana, yakni: Panggang Pe, Kampung, Limasan, Joglo dan Tajug. Diantara bentuk-bentuk
rumah tersebut Joglo merupakan bentuk yang paling utama, biasa digunakan pada rumah-
rumah para bangsawan. Atap Tajug tidak diperuntukkan untuk atap rumah karena hanya
digunakan untuk makam, dan bangunan peribadatan. Dalam membangun rumahnya
masyarakat Jawa banyak melihat pada strata sosialnya. Nilai-nilai budaya Jawa seperti
pembagian dua (dualitas) serta pemusatan (sentralitas) terungkap dalam bentukan fisik serta
keruangan rumah Jawa, terutama pada rumah Jawa Tipe Joglo (Tjahjono, 1989). Kebudayaan
Jawa sendiri menurut Koentjaraningrat bukan merupakan kebudayaan yang tunggal
(Koentjaraningrat, 1984). Koentjaraningrat membagi kebudayaan Jawa menjadi beberapa
wilayah kebudayaan, yaitu: Banyumas; Bagelen; Nagarigung; Mancanagari; Sabrang Wetan
dan Pesisir. Daerah Pesisir terbagi lagi menjadi dua wilayah yaitu Pesisir Barat yang berpusat
di Cirebon dan Pesisir Timur yang berpusat di Demak (Pigeud dalam Koentjaraningrat, 1984).
2. Kebudayaan Pesisiran Kebudayaan pesisir merupakan kebudayaan yang terdapat di kota-
kota pantai utara Jawa. Kawasan yang dalam sejarahnya banyak dipengaruhi aktifitas
perdagangan serta penyebaran agama Islam. Masyarakat Pesisir mepunyai karakter egaliter,
terbuka dan lugas (Thohir, 2006). Egaliter karena menganggap setiap manusia mempunyai
kedudukan yang sejajar. Terbuka dalam menyampaikan pendapat dan perasaannya, mudah
akrab dan tidak mudah curiga. Lugas, dalam berkomunikasi lebih suka langsung pada pokok
pembicaraannya, lebih mementingkan isi daripada cara menyampaikannya. Thohir
menganggap karakter ini berkaitan dengan lingkungan, agama serta mata pencahariannya.
Kebudayaan masyarakat Pesisir ini lebih berorientasi ke masjid dan pasar daripada keraton dan
sawah yang menjadi ciri kebudayaan Nagarigung. Penduduk pesisiran merupakan masyarakat
muslim yang puritan atau lebih dikenal dengan istilah santri. Mereka taat melaksanakan shalat
lima waktu serta, shalat Jun’at di masjid, cakap mengaji Al Quran, tidak makan daging babi
serta minum-minuman keras, menunaikan ibadah haji merupakan salah satu cita-citanya
(Koentjaraningrat, 1984). Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah pedagang ataupun
pengusaha, terutama barang kerajinan, pakaian, palawija serta rokok. Mereka adalah
pengusaha dan pedagang yang rajin, ulet, pekerja keras serta ahli dalam bidangnya. Para
pedagang pesisir ini mempunyai orientasi ke luar. Mereka merantau dari kota ke kota untuk
menjajakan barang dagangannya untuk waktu yang cukup lama. Sekalipun begitu mereka
mempunyai ikatan kelompok dan ikatan terhadap daerah asal yang sangat kuat. Di perantauan
mereka tinggal mengelompok dalam kampung yang penghuninya berasal dari daerah yang
sama (Geertz, 1977) dan setiap saat-saat tertentu mereka akan pulang ke kampung
halamannya. 3. Kebudayaan Pesisiran di Kudus : Masyarakat Pedagang Santri Pada daerah
Pesisir Timur bagian Barat dalam sejarahnya terdapat tiga kota yang cukup terkenal, yakni
Demak, Jepara serta Kudus. Demak merupakan pusat kekuasaan kerajaan Demak Bintoro,
Jepara merupakan kota pelabuhan penting bagi kerajaan Demak sementara Kudus merupakan
kota pemasok hasil bumi untuk Demak dan Jepara yang didatangkan dari pedalaman (Graaf,
1985). Kudus merupakan salah satu pusat kebudayaan Pesisiran di bagian Barat atau Pesisiran
Kilen (Koentjaraningrat, 1984) sekalipun Kudus tidak terletak di daerah pantai dan bukan kota
pelabuhan. a. Sejarah Perkembangan Kota Sejarah kota Kudus banyak dikaitkan dengan
sejarah perkembangan agama Islam di Jawa serta sejarah tentang Walisongo. Ja’far Shodiq
(yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Kudus), salah seorang Walisongo yang menjadi
penghulu di Demak, diperintahkan oleh penguasa Demak untuk menyiarkan agama Islam di
Kudus (Salam, 1977). Kudus kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan agama Islam.
Kejayaan Kudus menurun sepeninggal Sunan Kudus tahun 1550 dan berakhir ketika kerajaan
Mataram Islam menguasai hampir seluruh daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sejak abad 18 Kudus berada dibawah kekuasaan Belanda dan dijadikan daerah setingkat
Kabupaten. Pada abad 19 Kudus mengalami perkembangan sosial ekonomi pesat karena
meningkatnya produksi pertanian. Daerah Kudus Kulon berkembang menjadi daerah
permukiman saudagar-saudagar hasil bumi yang kaya. Perkembangan ini meningkat tajam
ketika industri rokok berkembang (akhir abad 19 – awal abad 20). Perkembangan
perekonomian surut ketika kondisi politik dan perekonomian tidak stabil (awal abad 20 – 1970).
Ketika keadaan kembali stabil perkembangan kota lebih mengarah ke selatan dan Timur,
sementara Kudus Kulon tidak mengalami banyak perobahan (Wikantari, 1995). b. Masyarakat
Kudus Secara sosiologis kota Kudus terbagi menjadi dua yakni Kudus kulon dan Kudus wetan
yang dipisahkan oleh sungai (kali Gelis). Kudus-kulon adalah kota lama yang di konotasikan
dengan kekunoan, kekolotan, ketertutupan tetapi juga kesalehan serta kemakmuran.
Sedangkan Kudus-wetan dikenal sebagai daerah perkembangan yang lebih modern, lebih
heterogen serta daerah yang sekuler. Masyarakat Kudus-kulon dikenal sebagai masyarkat
religius, kehidupan keagamaannya mendominasi kehidupan sehari-hari, di sisi lain dikenal
sebagai pedagang yang gigih pekerja keras dan terampil. Diantara mereka dikenal ungkapan
"Jigang" yang berarti Ngaji (membaca Al Quran) dan Dagang (Perdagangan). Ngaji adalah
aktivitas keagamaan yang merupakan pencerminan keta’atan seorang muslim dalam
menjalankan perintah agama, sedangkan dagang adalah kegiatan duniawi yang. merupakan
upaya manusia memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Kegiatan duniawi dan ukhrowi harus
dijalankan secara seimbang agar tercapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Keuletan,
kecerdikan dan kerja keras sebagai pedagang menyebabkan masyarakat Kudus-kulon berhasil
dalam bidang perekonomian. Ketika perdagangan beras dan polowijo mencapai puncak
kejayaannya, masyarakat Kudus-kulon berkembang menjadi masyarakat yang makmur, terlebih
lagi pada masa keemasan industri dan perdagangan rokok. Kemakmuran ini diwujudkan
dengan menunaikan ibadah Haji, membangun masjid lingkungan serta dalam penampilan
bangunan rumah tinggalnya. Pada masa itu rumah bukan hanya sarana untuk memertuhi
kebutuhan fisik saja, tetapi berkembang menjadi sarana menampilkan aktualisasi diri dari
masyarakat pedagang santri, golongan menengah Jawa yang kurang mendapatkan tempat
dalam tatanan sosial masyarakat Jawa (Castles,1967). c. Lingkungan Permukiman Kota lama
Kudus atau Kudus-kulon adalah wilayah kota yang merupakan embrio perkembangan kota
Kudus. Wilayah kota lama meliputi daerah-daerah di sebelah barat sungai Gelis, meliputi desa
Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Sunggingan, Janggalan, Damaran serta
Kajeksan. Secara fisik kawasan pusat Kota lama mempunyai keunikan dibandingkan daerah-
daerah lain. Kawasan ini merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan bangunan yang
tinggi. Jalan-jalan di lingkungan kota lama dibedakan menjadi jalan besar yang bersifat umum
serta jalan lingkungan yang lebih prifat. Jalan-jalan di dalam lingkungan pemukiman berupa
lorong-lorong sempit yang berliku-liku. Jalan lingkungan ada yang mengarah utara-selatan yang
menyusur di antara pekarangan-pekarangan rumah (disebut lorong) serta jalan yang mengarah
barat-timur yang seringkali melintas pekarangan (disebut jalan pintas). Jalan yang sempit
berliku-liku menunjukkan jalan tersebut terbentuk setelah permukiman berdiri dan merupakan
jalan pintas menuju ke pusat-pusat lingkungan. Pusat kawasan terdapat pada masjid Menara
yang merupakan masjid jami’, sedangkan pada lingkungan permukiman banyak terdapat masjid
lingkungan yang merupakan pusat aktivitas masyarakat di sekitamya. Masjid lingkungan
digunakan untuk melaksanakan ibadah sehari-hari (shalat lima wktu dan shalat sunnah yang
lain) oleh masyarakat di sekitarnya. Masjid menara digunakan selain digunakan untuk kegiatan
ibadah sehari-hari bagi masyarakat di sekitar masjid juga kegiatan peribadatan yang skalanya
lebih besar. Sebagai pusat lingkungan masjid tidak hanya digunakan untuk kegiatan
peribadatan dan pendidikan keagamaan, namun juga sebagai tempat kegiatan sosial. Pola
permukiman secara umum dibedakan menjadi dua, yakni pola rumah-rumah deret serta pola
rumah-rumah tunggal. Pola rumah-rumah deret terdiri dari kelompok bangunan yang berderet
rapat dari Barat ke Timur, antara rumah satu dan lain dalam satu kelompok tidak terdapat batas
yang jelas. Pola kedua yakni permukiman dengan rumah-rumah tunggal ditandai dengan letak
rumah yang berdiri sendiri dengan batas pekarangan yang jelas. d. Rumah Tradisional Kudus
Rumah tradisional Kudus merupakan kesatuan beberapa bangunan yang berfungsi untuk
tempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di rumah. Pola tata bangunan terdiri dari
bangunan utama, yakni: Dalem atau rumah induk, Jogosatru di sebelah depan serta pawon di
samping Dalem. Di tengah tapak atau di depan bangunan utama terdapat halaman terbuka
(pelataran), sedangkan di seberangnya terdapat kamar mandi dan sumur (Pekiwan) serta Sisir.
Regol terletak disisi samping halaman. Dalem merupakan bangunan utama yang digunakan
untuk tidur serta kegiatan yang sifatnya prifat. Di dalanya terdapat Gedongan, yakni sentong
tengah Kesehariannya dibiarkan kosong atau untuk tempat sholat, pada saat upacara
pernikahan digunakan sebagai kamar pengantin. Jogosatru merupakan ruang untuk menerima
tamu, terletak di depan Dalem. Pawon digunakan sebagai kegiatan bersama keluarga (disebut
pawon ageng) serta tempat memasak pada bagian belakang (pawon alit), ruangan ini paling
sering digunakan dalam kehidupan keseharian. Sumur dan kamar mandi terletak di sebelah
depan, dipisahkan halaman dari bangunan utama. Merupakan ruang ruang serfis, digunakan
untuk mandi, mencuci serta berwudlu. Sisir terletak di sebelah kamar mandi, berbentuk los
memanjang. Fungsi bangunan ini merupakan tempat kerja atau tempat penyimpanan (gudang)
atau ruang serba guna. C. KAJIAN ARSITEKTUR TRADISIONAL KUDUS DALAM
PERUBAHAN KEBUDAYAAN Mengkaji perkembangan arsitektur dalam perubahan
kebudayaan dengan studi kasus Kudus kulon akan merujuk pada interpretasi terhadap sejarah
kebudayaan masyarakat Kudus dikaitkan dengan perkembangan arsitektur, khususnya rumah
tradisionalnya. Apa yang diungkapkan berikut adalah satu interpretasi atau pendapat yang
sifatnya masih terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut. Tujuan yang lebih utama adalah untuk
memberikan gambaran bahwa perubahan pada kebudayaan akan tercermin pada perubahan
arsitektur, mengingat arsitektur merupakan artefak dari kebudayaan. 1. Periode Sebelum Islam,
Sampai Akhir Abad 15 Kondisi geografis Kudus pada saat itu terletak di dataran lembah dengan
gunung Muria di sisi utara dan daerah rawa-rawa di sisi selatan. Daerah ini diperkirakan
merupakan sisa-sisa kanal atau selat yang pernah memisahkan pulau Muria dengan pulau
Jawa. Kemungkinan telah terdapat permukiman kecil disebut Tajug yang dihuni masyarakat
penganut agama Hindu ditepi sungai Gelis dengan matapencaharian sebagai petani (Wikantari,
1994). Disamping agama Hindu, kepercayaan asli setempat (dinamisme dan animisme) masih
dipegang teguh. Kelompok permukiman penganut hindu terdiri dari rumah-rumah penduduk dan
kemungkinan terdapat asrama (mandala) serta tempat ibadah (kuil). Rumah-rumah
kemungkinan berbentuk kampung atau limasan dengan material bambu atau kayu. Konstruksi
rumah berbentuk panggung untuk mengatasi kondisi alam berawa-rawa. Atap bangunan
menggunakan rumbia, yang merupakan bahan bangunan yang mudah didapatkan di
sekitarnya. Bangunan peribadatan dibangun dengan menggunakan bahan yang lebih awet,
teknik membangun yang lebih rumit serta ornamentasi pada bangunan yang merepresentasikan
kemuliaan dan keabadian. Material utama menggunakan batu bata (tanah liat yang dibakar)
yang disusun berlapis tanpa pengikat semen. 2. Periode Pengembangan Agama Islam, Awal –
Pertengahan Abad 16 Sebelum kedatangan Ja’far Shodiq telah datang terlebih dahulu The Ling
Sing, penyiar agama Islam dari Yunan (China) yang selain menyebarkan agama Islam juga
mengajarkan ketrampilan mengukir atau menyungging pada masyarakat. Ja’far Shodiq datang
kemudian dengan pengikut-pengikutnya ke Kudus untuk menyebarkan agama Islam,
mengembangkan permukiman baru serta mulai memperkenalkan ketrampilan berdagang.
Penyebaran agama Islam dilakukan secara persuasif serta menghormati keyakinan yang sudah
ada lebih dahulu. Ja’far Shodiq membangun masjid Al Manaar, membagi-bagikan tanah pada
pengikutnya dan mendirikan kota. Pengaruh Cina serta Timur Tengah masuk dalam
kebudayaan masyarakat, disamping Hindu dan Jawa. Demikian juga struktur masyarakat
berkembang dengan tatanan yang lebih kompleks. Masjid yang awalnya kecil kemungkinan
dibangun di bekas tempat peribadatan Hindu, atau dengan mempergunakan pengetahuan
membangun tempat ibadah Hindu yang disesuaikan untuk Masjid. Diversifikasi bentuk
bangunan bangunan mulai di kenal untuk merepresentasikan fungsi atau penghuninya. Atap
bangunan peribadatan berbentuk tajuk, bangunan untuk petinggi atau penguasa berbentuk
limas dan Kampung untuk masyarakat umum. Penggunaan material kayu jati untuk bangunan
penting. Ukiran atau ornamentasi mulai dikenal sebagai elemen penghias bangunan penting.
Rumah biasa mungkin tetap menggunakan bahan bambu serta beratap kampung dari bahan
rumbia. Pusat Kota berupa pelataran terbuka diletakkan berebelahan dengan sungai. Pelataran
ini sekaligus digunakan sebagai pasar. Di sisi barat terdapat Masjid yang menghadap pelataran
tersebut. Di sisi selatan masjid terdapat Pendopo yang diperkirakan merupakan bangsal istama,
kemungkinan lain istana atau rumah Sunan Kudus terdapat di sisi utara kawasan dengan
masjid pribadinya, Langgar Dalem. Dengan membagi-bagikan tanah disekitarnya pada
pengikutnya, Sunan Kudus sudah meletakkan dasar-dasar tata kota Kudus. 3. Periode
Kekuasaan Mataram Islam, Awal Abad 17 – Akhir Abad 18 Dengan jatuhnya kekuasaan Demak
ke Pajang dan kemudian Mataram, kekuasaan kerajaan bandar berpindah ke selatan, ke
kerajaan agraris yang veodal, saat itu Kudus berkembang menjadi pemasok beras dan palawija
dari pedalaman ke bandar Demak, Jepara serta tempat-tempat lain. Perdagangan keliling
lambat laun menjadi mata pencaharian penting masyarakat Kudus dan memberikan
peningkatan sosial ekonomi pada masyarakat, menjadi kelopok masyarakat yang makmur dan
mandiri. Orientasi masyarakat Kudus waktu itu banyak ditujukan ke Nagarigung sebagai ibukota
kerajaan. Kemampuan ekonomi hasil perdagangan diwujudkan dengan pembangunan rumah-
rumah dari bahan yang lebih baik, kayu jati. Bentuk Joglo yang menjadi lambang
kebangsawanan menjadi bentuk yang disukai untuk menaikkan derajat sosial. Tata ruang
rumah mengalami penyederhanaan dengan hanya meliputi Dalem serta pawon. Tata ruang
rumah yang ringkas ini kemungkinan ada hubungannya dengan perkembangan peduduk kota
yang mulai padat, terutama di sekitar pusat Kawasan (Masjid Menara). Arah selatan yang
menjadi orientasi rumah tetap dipatuhi, sehingga menimbulkan pola rumah berderet pada
kapling-kapling yang mulai ramai. 4. Periode Kekuasaan Kolonial Belanda, Abad 18 Pada masa
kekuasaan kolonial belanda, Kudus dijadikan wilayah pemerintahan setingkat kabupaten dan
pejabat-pejabat pemerintah lansung diangkat oleh Belanda. Hubungan dengan Nagarigung
menjadi terputus dan penguasa-penguasa Kudus menjadi semacam raja. Belanda
memindahkan pusat kota ke sebelah Barat kali Gelis dan kota lama dibiarkan tetap dalam
kondisi tradisionalnya. Perdagangan keliling semakin ditekuni masyarakat kota lama Kudus.
Demikian pula dengan kehidupan keagamaannya. Menguatnya perekonomian masyarakat
menummbuhkan tuntutan aktualisasi diri pada masyarakat Kudus. Sayang tuntutan tersebut
tidak mendapat respon yang positif. Pergesekan dengan pemerintah Belanda, masyarakat
Jawa sendiri serta orang China mulai sering terjadi. Ikatan diantara masyarakat semakin kuat
karena karakteristik kelompok masyarakat tersebut. Pengaruh kolonial Belanda dan eropa
tercermin pada penggunaan elemen-elemen non kayu yang mulai mewarnai rumah Kudus.
Unsur keamanan mulai diperhatikan masyarakat dengan membangun pagar-pagar halaman.
Ketertutupan terhadap masyarakat luar serta ikatan kelompok yang berkembang diwujudkan
dengan adanya dinding-dinding pembatas. Masyarakat mengembangkan kehidupannya dibalik
tembok pembatas. Bentuk rumah berkembang menyesuaikan tradisi masyarakat. Emperan
rumah mulai ditutup dan diperbesar untk menerima tamu. 5. Periode Kejayaan Sosial Ekonomi,
Abad 19 – Awal Abad 20 Menjelang akhir abad 19 kota Kudus mengalami peningkatan
kemakmuran berkat melimpahnya hasil pertanian daerah sekitarnya, terutarna. beras, polowijo
dan gula jawa. Hasil panen ini menjadi mata dagangan penting bagi pedagang pedagang
Kudus. Aktivitas perdagangan mengharuskan mereka menjelajah sampai di tempat tempat
yang jauh (biasa disebut belayar) yang memakan waktu berminggu minggu sampai berbulan¬-
bulan. Setelah berkeliling dan sukses mereka kemudian kembali (berlabuh) atau menetap di
suatu kota. Sementara para suami berlayar, kaurn wanita Kudus melakukan kegiatan kerajinan
rumah tangga atau berdagang kecil kecilan. Hasil kerajinan rumah tangga berupa batik, bordir
dan tenun ikut menjadi mata dagangan dari suami suami mereka. Pada paruh pertama abad 20
Kudus menjadi terkenal karena pabrik rokok kreteknya. Industri yang semula merupakan
kerajinan rumah tangga berkernbang menjadi industri besar 13). Kemajuan perdagangan dan
industri pribumi menarik kalangan masyarakat Cina untuk beramai ramai ikut terjun dalam
industri rokok. Persaingan ini mernicu pertentangan antar etnis yang sengit dan berlarut larut
14). Perkembangan ini lebih dipertajam ketika industri rokok berkembang (akhir abad 19 awal
abad 20). Perkembangan ini menyebabkan kepercayaan diri yang besar dari masyarakat Kudus
berkembang. Mereka membangun strata sosial sendiri menjadi kaum borjuis. Tuntutan
aktualisasi diri menjadi semakin kuat melawan perlakuan masyarakat luar yang dianggap
kurang menghargai. Jalan jalan kereta api di dibangun untuk mengantisipasi perkembangan
industri gula dan produksi beras. Daerah Kudus kulon berkembang menjadi daerah
permukiman saudagar saudagar hasil bumi yang kaya dari hasil perdagangan. Rumah-rumah
besar dibangun dengan bentuk Joglo yang dimodifikasi. Brunjung atau bagian atas dari atap
Joglo dibuat lebih tinggi, dikenal sebagai Joglo Pencu. Ornamentasi semakin rumit dan halus
serta menghiasi hampir seluruh permukaan dinding rumah, terutama ruang Jogosatru dan
Gedongan. Elemen-elemen khusus yang hanya di temui di Rumah tradisional Kudus
memperkuat karakter rumah. Musholla-musholla mulai banyak didirikan untuk mendekatkan
dengan rumah. Sumur dan kamar mandi mungkin sudah dibuat di depan rumah sejak awalnya.
Untuk mempermudah kegiatan ibadah yang perlu bersuci sebelum ke masjid atau musholla.
Bangsal didirikan di depan rumah untuk menampung barang dagangan atau untuk tempat kerja
produksi Rokok. Gudang gudang dan pabrik rokok banyak didirikan di Kudus kulon. 6. Periode
Surutnya Kejayaan Sosial Ekonomi, Awal Abad 20 – Tahun 1970an Perkembangan
perekonomian surut ketika kondisi politik dan perekonomian tidak stabil (awal abad 20 1970).
Banyak perusahaan yang bangkrut dan gudang gudang terbengkalai. Industri Rokok yang
pernah mengantarkan sosial ekonomi ke puncak kejayaan beralih ke tangan orang-orang China
yang mengembangkannya menjadi Industri raksasa dengan dukungan pemerintah. Bagi
masyarakat Kudus sendiri industri rokok tidak pernah bangkit kembali. Hanya beberapa
keluarga keturunan pengusaha rokok besar yang masih meneruskan usahanya dalam skala
kecil. Surutnya perekonomian membawa dampak pada kehidupan masyarakat, namun tidak
pernah menghilangkan semangat perdagangan dan usaha mandiri masyarakat. Rumah-rumah
Kudus mulai menjadi obyek yang bermasalah. Kondisi sosial ekonomi masyarakat saat itu tidak
lagi mampu mendukung keberadaan rumah-rumah tradisional Kudus. Demikian juga dengan
ketersediaan material kayu jati yang semakin langka. Elemen-elemen bangunan yang rusak
mulai diganti dengan elemen yang lebih murah dan awet. Jumlah penghuni yang berkembang
juga mulai merubah fungsi-fungsi awal dari ruangan yang ada. Namun secara keseluruhan
bangunan tidak mengalami perubahan. Bangunan bangunan baru yang didirikan tidak lagi
menerapkan bangunan tradisional karena alasan kepraktisan serta biaya. 7. Masyarakat Kudus
Kulon Saat Sekarang Akhirnya ketika keadaan lebih stabil penataan perkembangan kota mulai
dilakukan Kudus berkembang menjadi kota industri kecil. Perluasan kota mengarah ke selatan
dan timur, sementara kota lama tidak mengalami banyak perubahan. Pada sisi kehidupan sosial
masyarakat. Kegiatan industri rokok sudah mulai di tinggalkan. Beberapa industri kecil rumahan
seperti jamu sempat berkembang sebentar diantara masyarakat. Industri yang terus bertahan
adalah industri Konfeksi. Pada tahun-tahun terakhir mulai bermunculan industri kerajinan ukir
untuk perabot serta elemen bangunan, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak dan letaknya
tersebar di wilayah Kota Kudus (Wikantari, 2001) dan yang sampai sekarang terus berkembang
dengan pesat adalah industri bordir. Ketika masa kemakmuran berlalu, banyak rumah rumah
dan fasilitas-fasilitas perekonomian yang kemudian terbengkalai. Perselisihan yang terjadi
diantara keluarga keturunan pemilik rumah, kesulitan ekonomi serta rumitnya perawatan rumah
seringkali berakhir dengan dijualnya rumah rumah tersebut. Di sisi lain keunikan dan
kemewahan rumah Kudus sangat menarik minat orang-orang di luar Kudus, bahkan luar negeri
untuk memilikinya. Akibatnya dari tahun ke tahun jumlah rumah tradisional terus berkurang.
Tahun 2003 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah telah melakukan
inventarisasi dan hanya menemukan 33 rumah adat kudus dan 68 rumah diseluruh kota Kudus.
Berkurangnya rumah tradisional Kudus juga disebabkan karena sifat kayu yang tidak tahan
terhadap cuaca dan waktu dibandingkan dengan material batu atau beton. Kecuali yang selalu
dirawat dengan seksama, rumah-rumah tradisional yang sudah lewat seratus tahun sudah
mulai lapuk dan rusak. Dalam perkembangannya kemudian rumah rumah di daerah ini banyak
mengalami perubahan perubahan baik dalam hal penggunaan bahan bangunan maupun dalam
corak arsitektur bangunannya. Ada yang hanya berubah sedikit pada elemen-elemen
bangunannya, berubah satu unit bangunan yang hilang dan digantikan bangunan baru atau
yang berubah sama sekali, walaupun ada pula yang masih tetap berusaha untuk tetap
mempertahankannya. Perkembangan kebudayaan masyarakat Kudus serta bentukan rumah
tinggalnya secara ringkas dapat dilihat pada tabel di bawah: D. PENUTUP Rentetan peristiwa
dalam kesejarahan masyarakat Kudus kulon membawa perkembangan perubahan dalam
kebudayaan masyarakat Kudus. Akulturasi dari berbagai kebudayaan (kebudayaan lokal,
Hindu, Islam, Cina, Kolonial, Eropa) mewarnai kebudayaan Kudus sampai saat ini.
Perkembangan dari masa kemasa tersebut tercermin pada perkembangan artefaknya, yakni
rumah traisional Kudus. Dari gambaran morfologi rumah tradsional Kudus dalam
perkembangan kesejarahannya dapat dilihat bagaimana rumah tradisional sampai pada bentuk
seperti sekarang. Sebagaimana dikatakan Rapoport, Oliver, Nash, Tjahjono, bahwa suatu
kebudayaan yang bentuknya tercermin dalam arsitektur akan selalu berubah atau berkembang.
Selama nilai nilai yang dipatuhi masih dianggap berguna serta cocok dalam menghadapi
tantang kehidupan, maka nilai-nilai tersebut masih akan lestari atau lentur berubah dengan
tetap mempertahankan karakteristik intinya.

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Anda mungkin juga menyukai