Anda di halaman 1dari 12

1

WARISAN DAN PEWARISAN BUDAYA:


GLOKALISASI WARISAN BUDAYA1
STANISLAUS SANDARUPA, PH.D

Indonesia yang terdiri atas ratusan kelompok etnis mempraktikkan budaya


masing-masing dengan berbagai kearifan lokalnya. Budaya-budaya ini merupakan
pewarisan dari masa lampau. Berbagai masalah telah muncul yang berkaitan dengan
pelestarian (preservation). Dalam kaitannya dengan pewarisan, masyarakat Indonesia
terus menerus berinteraksi aktif dengan masa lampau dan dengan antar budaya. Masa
lampau merupakan inspirasi untuk kehidupan kini dan masa depan. Masa lampau
mempengaruhi kehidupan masa sekarang. Sebaliknya, masa sekarang mempengaruhi
masa lampau serta masa depan. Manusia Indonesia terus menerus mengevaluasi ulang,
merevitalisasi, dan mencipta masa lampau untuk bisa melangsungkan kehidupannya.
Semakin pelestarian dilakukan semakin perubahan dan reinterpretasi terjadi pada warisan
budaya. Dalam pewarisan, perubahan terjadi.
Faktor penting yang sangat berpengaruh pada warisan budaya adalah bahwa di era
globalisasi kita sudah menjadi penduduk dunia di kampung global. Globalisasi
merupakan konsep kekinian yang menjadi satu elemen penentu bahkan bersifat
hegemonik dalam mengevaluasi warisan budaya. Karena intensitasnya sangat tinggi, ia
punya efek negatif pada warisan budaya sehingga dapat menghilangkan identitas maka
timbul pertanyaan apakah kita akan luluh dalam perubahan tanpa permanensi?
Satu cara yang dapat dilakukan adalah penguatan budaya-budaya lokal. Namun,
cara ini ternyata tidak tepat karena ia berasumsi bahwa realitas masa lampau harus sama
dengan yang dulu. Warisan budaya menjadi tertutup padahal kita sudah berada di era
globalisasi. Otonomi tertutup sangat menekankan perbedaan tanpa kesatuan.
Sebagai alternatif penyelesaian masalah diajukan teori glokalisasi budaya
budaya Indonesia. Glokalisasi adalah konsep kompleks yang terdiri atas global dan lokal
dalam batas Indonesia dan dunia. Inti makalah membahas proses glokalisasi yaitu
membangun keharmonisan antara yang global dan lokal, universal dan partikular,
persamaan dan perbedaan. Singkatnya, bhinneka tunggal ika. Ia berupusat pada
dialogisme kebudayaan, pelestarian dan perencanaan kawasan, dan pendidikan.
Berdasarkan hasil dialogisme antar budaya Indonesia, dikemukakan kearifan lokal
Indonesia yang dapat diglobalkan yang mengandung outstanding universal values.
[pewarisan, globalisasi, glokalisasi budaya, dialogisme, pelestarian, pendidikan,
bhinneka tunggal ika]
1. Pengantar
Banyak yang menolak globalisasi karena berdampak negatip pada bahkan
merusak budaya-budaya lokal. Ada pula yang menginginkannya karena memberikan
keuntungan. Karena globalisasi tidak dapat dihindari maka kita harus membangun sikap
positip yaitu menerima globalisasi dengan menolak sisi negatipnya dan memaksimalkan
sisi positipnya.
1

Makalah ini dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Jogyakarta pada tanggal 8-10
Oktober 2013.

2
Salah satu caranya ialah dengan melakukan glokalisasi yaitu, membangun warisan
budaya yang memperhatikan keseimbangan harmonis antara yang global dan lokal.
Proses glokalisasi ini menghasilkan inkulturalisme atau interkulturalisme.
2. Warisan budaya di era globalisasi
2.1 Kebudayaan dan perubahannya
Di era globalisasi semua kelompok etnis dan budayanya di Indonesia terusmenerus mengalami perubahan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terbuka.
Para budayawan lokal merekayasa budayanya dengan mengadopsi unsur-unsur baru ke
dalam kebudayaannya sejauh itu dimungkinkan oleh adanya kategori-kategori budaya
lokal.
Kebudayaan adalah serangkaian pemahaman dan kesadaran yang sedang
dikonstruksi yang dipakai anggota-anggota masyarakat untuk menginterpretasi dunia
sekelilingnya. Atau semacam alat atau serangkaian skenario yang anggota anggota
masyarakat pakai untuk melaksanakan kehidupan sehari-harinya (Fox 1990).
Kebudayaan adalah sebuah perjuangan yang bersifat kompleks. Kompleksitas ini ditandai
oleh adanya pengertian kebudayaan bermacam-macam dan terdapatnya berbagai
kelompok masyarakat yang mempunyai pengertian kebudayaan yang berbeda-beda
seperti para eksekutif dan politisi, para ilmuan sosial seperti antropolog dan sosiolog, dan
para budayawan dan seniman (Kleden 1988 [1987]).
Untuk melihat kompleksitas kebudayaan, di sini dipakai Hannerz yang
mengajukan bahwa kebudayaan mempunyai tiga dimensi (Hannerz 1992). Ketiga
dimensi ini saling berinteraksi dan membentuk suatu identitas yang dapat menunjang
integrasi nasional: Pertama, dimensi ide dan cara pikir masyarakat seperti konsep-konsep,
proposisi, sistem nilai yang dianut bersama oleh masyarakat dan bagaimana sikap-sikap
dan cara menanganinya. Kedua, bentuk-bentuk eskternalisasi yaitu bahwa nilai-nilai di
atas yang pada dasarnya bersifat abstrak dieksternalisasikan ke dalam bentuk-bentuk
budaya yang dapat dicapai dan dimengerti oleh masyarakat. Akhirnya dimensi ketiga,
yang berkaitan dengan distribusi sosial yaitu bagaimana cara makna budaya kolektif ini
dan bentuk-bentuk eksternal yang sarat dengan makna tersebar di masyarakat luas dan
bagaimana hubungannya satu dengan yang lain.
2.2 Penemuan warisan budaya lokal
Warisan budaya dapat berupa benda dan way of life. Dalam kamus
Poerwadarminta kata warisan berarti harta peninggalan dan bersinonim dengan kata
pusaka. Di bawah entri pusaka terdapat kata kerja memusakai yang artinya mendapat
pusaka dari misalnya, menurut adat kebiasaan yang telah dipusakai mereka dari dahulu
(Poerwadarminta 1982). Menurut UNESCO warisan budaya mencakup 1) harta benda
peninggalan nenek moyang, pusaka yang memiliki nilai sejarah, arkeologis, ilmiah dan
lain-lain, seperti monumen, bangunan-bangunan, keris, dan kain-kain tua, 2) Alam
berupa pemandangan yang indah, gua-gua bersejarah, habitat keragaman biologis, species
yang hampir punah, 3) lanskap budaya yang mencakup kombinasi antara nilai-nilai alam
dan budaya yang memperlihatkan interaksi yang signifikan antara manusia dan
lingkungan alam (Adams 2000).
Kebudayaan disadari bersifat dinamis dan flux. Dalam berbagai upaya untuk
menyelamatkan warisan budaya untuk kepentingan pariwisata dan pembentuk identitas,

3
entah itu lewat objektifikasi budaya, pengepakan budaya, komodifikasi budaya,
konservasi budaya, atau revitalisasi budaya untuk public audience, para budayawan dan
pengambil kebijakan diperhadapkan pada proses perubahan budaya bahkan perusakan
warisan budaya. Pelestari budaya ibarat Cratylus, murid Heraclitus yang
mengembangkan pikiran gurunya dan berdalih kita tidak dapat melangkah ke dalam
sungai yang sama sekalipun karena sambil sungai mengalir kita juga terus menerus
berubah (Smith 1934). Dapat dikatakan bahwa orang yang paling ingin melestarikan
warisan budayanya adalah orang yang paling banyak mengubahnya.
Berbagai pihak berupaya untuk menyelematkan warisan budaya tetapi dalam
upaya mengonstruksi warisan budaya, kita berhadapan dengan fakta yang Hobsbawm
sebut the invention of tradition (penemuan tradisi atau invensi tradisi). Invensi tradisi
adalah
a set of practices, normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or
symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of
behavior by repetition, which automatically implies continuity with the past (Hobsbawm 1992
[1983]).

Dalam mengetengahkan hasil penelitiannya dari Quebec, Canada, Handler


mempresentasikan bagaimana para ahli folklor dalam upaya melestarikan budaya lokal
malah membantu penganut budaya itu untuk menggantinya dengan tradisi baru yang
diobjektifikasi. Sambil berupaya untuk mengingatkan orang kota akan keindahan
kehidupan desa, para ahli folklor malah mengobjektifikasi aspek-aspek kehidupan sosial
yang mereka lestarikan (preserved), yaitu, dengan mentransformasikannya ke dalam
benda-benda yang berdiri sendiri (discrete things) untuk dipelajari, dikatalogkan, dan
dipertontonkan. Kegiatan tersebut melibatkan seleksi dan interpretasi dimana dipilih ciriciri (traits), hal-hal yang dianggap berasal dari budaya tersebut dan mengisolasikannya ke
dalam konteks baru lalu memotretnya, menginskripsikannya, mempertunjukkannya,
menggantungnya dalam museum yang malah megubah makna bagi penganut budaya,
orang yang melakukan objektifikasi dan para penonton itu sendiri. Secara paradoks,
upaya untuk melestarikan tradisi lewat objektifikasi secara otomatis mengubah budaya itu
sendiri (Handler 1988). Ia mengalami proses dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi
yang terbuka untuk publik. Dalam situasi demikian masyarakat mengalami perubahan
dari nilai ritual ke nilai eksibisi (Benjamin 1968 [1955]).
2.3. Warisan budaya global
Berbagai ahli telah membahas globalisasi. Appadurai membahas era globalisasi
yang dicirikan oleh dua hal yaitu migrasi besar-besaran dan mediasi elektronik
(Appadurai 2003). Walaupun masih diperdebatkan kapan globalisasi mulai terjadi (ada
yang katakan sejak dulu, atau sejak abad 18, kotemporal dengan munculnya moderninasi,
atau fenomena baru yang dihubungkan dengan proses-proses sosial seperti postindustrialisasi, postmodernisme), sebagai ide kunci ia muncul pada tahun 1990an (Waters
2000 [1995]) ketika Robertson mengingatkan kita akan pentingnya konsep ini dalam
sosiologi (Robertson 1992). Penjelasan Robertson tentang globalisasi sebagai eskalasi
saling ketergantungan global dan intensifikasi kesadaran global dalam memasuki
millenium ketiga merupakan hal penting yang perlu digarisbawahi.
Globalisasi adalah sebuah penyebaran warisan budaya yang memainkan peranan
penting dalam tiga arena kehidupan sosial yaitu ekonomi, politik, dan sosial budaya
dimana ditemukan tiga tipe pertukaran (exchange). Ketiga tipe pertukaran ini berkaitan

4
dengan ruang (space). Di bidang ekonomi hubungan organisasi sosial dan territorialitas
tampak dalam pertukaran material seperti perdagangan, gaji, dan akumulasi kapital.
Pertukaran ini mengaitkan hubungan sosial dengan lokalitas seperti produksi bendabenda yang dipertukarkan melibatkan konsentrasi pekerja lokal dan lain-lain.
Water menjelaskan hubungan bidang-bidang ini sebagai berikut (Water, hal 7-10).
Dalam bidang pertukaran politik hubungan-hubungan itu dikembangkan ke territorial
yang bertujuan untuk penduduk yang tinggal di kawasan itu, memakai sumbersumbernya untuk integrasi territorial atau ekspansi. Pertukaran politik ini memuncak
dalam pembangunan batas teritorial yang sama dengan masyarakat bangsa-negara.
Pertukaran politik antar unit-unit ini cenderung mengukuhkan batas teritorial.
Akhirnya, pertukaran simbolis budaya berkaitan terutama dengan proses
komunikasi dalam berbagai media seperti komunikasi oral, internet, publikasi,
performans, pengajaran, hiburan, propaganda, iklan, ritual, eksibisi dan tontonan.
Pertukaran simbolik ini membebaskan hubungan-hububungan sosial dari ruang. Simbolsimbol dapat diproduksi di mana-mana pada waktu kapan saja. Pembatasan produksi dan
reproduksi simbol minim. Karena simbol berkaitan erat dengan hal-hal fundamental
tenteng manusia maka ada klaim nilai universalnya.
Kata Water, material exchanges localize; political exchanges internationalize;
and symbolic exchanges globalize (hal 9). Dalam kaitannya dengan ini, dan ini posisi
yang diambil dalam makalah ini, globalisasi masyarakat manusia tergantung pada budaya
dan aspek inilah yang menentukan kedua bidang lain. Mengikuti Walter, ekonomi dan
politik diglobalkan sejauh mereka dibudayakan. Pertukaran di dalamnya dilakukan secara
simbolis budaya.
Globalisasi berpusat pada dua konsep penting yaitu saling keterhubungan
(interconnectedness) dan deterritorialisasi (Fernandez 2009; Waters 2000 [1995]).
Fernandez memaparkan kedua konsep itu dengan meringkas berbagai pandangan ahli
sebagai berikut. Lewat saling keterhubungan di bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya kegiatan-kegiatan kehidupan sosial terhubungkan sehingga dunia semakin sempit.
Keterhubungan globalisasi mengubah tatanan lokal dengan membuat peristiwa-peristiwa
jauh menjadi relevan ke dalam kehidupan lokal dan menciptakan ketergantungan antara
yang lokal dan global.
Ciri lain globalisasi adalah deterritorialisasi yang menunjuk pada kemungkinankemungkinan interaksi antar individu dan kelompok tanpa memandang lokasi. Semakin
dunia saling terhubungkan semakin jarak dan lokasi bukan masalah dalam interaksi antar
individu dan kelompok sosial.
Saling keterhubungan dan deterritorialisasi merupakan dua konsep yang
menjelaskan bagaimana peristiwa jauh mempengaruhi yang lokal dan sebaliknya. Saling
keterhubungan mencairkan batas-batas yang berakhir pada deterritorialisasi. Dunia
semakin terhubungkan dengan adanya perkembangan dalam teknologi seperti internet,
pesawat dan televisi satelit. Pemakai internet dari berbagai belahan dunia dapat
menggalang kelompok-kelompok untuk tujuan tertentu dan lain-lain. Perjalanan
wisatawan dimungkinkan dalam waktu singkat dengan adanya pesawat. Perjalanan
Kapten James Cook dari London ke Hawai yang dulunya berlangsung 19 bulan sekarang
ini bisa ditempuh dalam 18 jam. Terjadi kedekatan global.
Intensitas globalisasi berdampak pada budaya-budaya-budaya lokal. Budayabudaya lokal yang terdiri atas kebudayaan material seperti praktik-praktik, kesusastraan

5
dan media dan simbolik seperti tata nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan tradisi memberi
ciri lokal menempa kehidupan seseorang dan kelompok sosial. Budaya dan lokalitas
menjadi ungkapan identitas secara linguistik, geografis dan historis.
Arus globalisasi dapat berdampak positip dan negatip pada budaya-budaya lokal.
Pertumbuhan ekonomi global dan perkembangan teknologi berpengaruh positip terhadap
budaya lokal. Sebaliknya, globalisasi dapat berpengaruh negatip dengan merusak budaya
lokal dan tradisi karena menciptakan budaya global yang homogen. Lihat misalnya,
pengaruh aspek budaya negara adidaya Amerika. Ada 30,000 McDonald di seluruh dunia,
MTV punya 280 juta pelanggan di seluruh dunia, dan CNN dapat ditonton di 212 negara
(Barber 2004).
Selama ini Indonesia menerima pengaruh globalisasi dalam berbagai kehidupan.
Berbagai kelompok etnis di Indonesia mengalami kondisi ini dalam berbagai tingkat dan
skala. Karena kemungkinan adanya pengaruh negatip maka perlu dicarikan jalan
keluarnya. Konsep glokalisasi dapat diusulkan sebagai jalan keluarnya dengan
mempertimbangkan antara yang global dan lokal.
2.4 Glokalisasi warisan budaya
Glokal yang terdiri atas kata globe dan lokal adalah sebuah proses yang
mengevaluasi pengaruh-pengaruh global dalam konteks lokal seperti tampak dalam
definisi Friedman sebagai berikut:
The ability of a culture when it encounters other strong cultures, to absorb influences that
naturally fit into and can enrich that culture, to resist those things that are truly alien and to
compartementalize those things that, while different can nevertheles be enjoyed and celebrated as
different (Friedman 2000).

Metode bagaimana sebuah budaya melakukan dan mengevaluasi glokalisasi


bervariasi dari budaya ke budaya. Ada kelompok yang merasa globalisasi menekan
mereka yang dilakukan oleh hegemonisme masyarakat adidaya, tapi ada juga yang
berupaya mengundangnya. Apakah globalisasi dipaksakan atau diinginkan, ia tak dapat
dihindari. Karena itu budaya-budaya harus berupaya memaksimalkan efek positipnya dan
meminimalkan efek negatipnya. Cara budaya-budaya melakukan keseimbangan antara
yang global dan lokal adalah dengan melakukan glokalisasi.
Pertanyaannya sekarang adalah manakah identitas keindonesiaan yang patut
dipertahankan dintengah-tengah arus globalisasi? Setelah terbuka ke dunia luar tidak
mungkin kita kembali menutup diri. Untuk maksud tersebut identitas keindonesiaan harus
mengandung unsur universal yang dapat diterima dunia dan pada saat yang sama unik
hanya di Indonesia.
Hal itu berarti kita harus mencari nilai tertinggi yang ada dalam budaya ini yang
bisa diangkat sebagai milik dunia. Mungkin kita sudah mengalami entropi kebudayaan
dimana nilai itu masih ada dan dikenal tetapi sudah tak punya daya lagi. Kalau
masyarakat Indonesia membangun dan mempertahankan identitas ini, maka dunia pada
masa mendatang akan mengangkatnya dan mempraktikkannya dalam kehidupan mereka.
Budaya-budaya sudah melakukan glokalisasi apabila sudah melakukan pertukaran
budaya, mengambil elemen-elemen dari budaya lain yang meningkatkan dan
memperkaya budaya mereka dan menghindari elemen-elemen yang negatip. Misalnya
proses meminjam dan menyelaraskan praktik-praktik asing, kepercayaan-kepercayaan
dan produk-produk asing untuk disesuaikan dengan gaya hidup-gaya hidup budaya

6
setempat adalah hal yang biasa dalam sejarah. Kebanyakan budaya-budaya dunia adalah
budaya-budaya hibrid sebagai akibat dari pertukaran budaya dan glokalisasi.
Dalam proses glokalisasi budaya-budaya perlu persiapan dalam menghadapi
kekuatan-kekuatan global. Hanya mampu menyaring mana yang cocok mana yang tidak
cocok tidak cukup. Ia harus mampu mencari keseimbangan antara yang global dan lokal.
Cara budaya melakukan glokalisasi ialah dengan dialogisme (Fernandez 2009). Dialog
antar budaya merupakan satu aspek penting glokalisasi. Untuk Indonesia penting sekali
melakukan dialogisme antar budaya-budaya lokal yang ada untuk menemukan persamaan
dan perbedaan.
Diharapkan lewat interaksi-interaksi dan dialog antara budaya-budaya lokal maka
muncul norma-norma dan nilai-nilai universal. Dalam berdialog akan muncul kemiripankemiripan. Kemiripan akan membangun kesadaran yang mengantar kita pada ide bahwa
yang lokal mempunyai elemen global.
Selanjutnya dalam berdialog budaya-budaya akan sampai pada perbedaanperbedaan dan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan yang berkonflik dan ini
membangun kesadaran akan adanya praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan yang
lain. Dengan adanya kesadaran akan adanya praktik dan kepercayaan lain, budayabudaya mampu membandingkan, mengontras, dan mengevaluasi praktik-praktik dan
kepercayaan-kepercayaannya secara kritis (bdk Fernandez 2009).
Dengan menemukan nilai universal yang dapat diklaim dunia, maka langkah
berikutnya adalah mendialogkan identitas keindonesiaan dengan yang global. Dalam
dialog antar budaya, budaya-budaya mempu berinteraksi secara demokratis, dimana tiap
budaya punya kemampuan untuk mengungkapkan dan mempertahankan praktik-praktik
dan kepercayaan-kepercayaan serta menyelidiki dan mengadopsi praktik dan kepercayaan
budaya lain.
3. Dialogisme antara yang universal dan lokal
3.1 Antara Foto dan Nenek Moyang
Glokalisasi adalah pertemuan antar dua budaya yaitu yang global dan yang lokal
yang dikelola secara harmonis dan seimbang. Proses ini terjadi secara berbeda-beda dari
budaya lokal ke budaya lokal dalam tingkat dan intensitas yang berbeda-beda.
Ambil contoh Toraja. Jauh sebelum Indonesia merdeka berbagai kelompok etnis
telah berinteraksi langsung dengan penyebaran modernitas dan agama secara global. Di
Toraja Belanda tiba di sana pada tahun 1905 dikikuti oleh penyebaran agama Kristen
Protestan pada tahun 1913 dan Katolik pada tahun 1937. Agama-agama besar ini
berinteraksi dengan agama lokal Aluk to dolo (agama nenek moyang) atau disingkrat
Alukta. Para zending menilai bahwa agama lokal ini perlu dimurnikan dari kepercayaan
pada takhyul ke kepercayaan universal Yesus Kristus. Karena itu persoalan utama yang
mereka hadapi adalah persoalan inkulturasi satu aspek dari glokalisasi warisan budaya.
Dalam proses itu sinkretisme, yaitu menempatkan kedua sistem kepercayaan itu secara
bersamaan, sedapat mungkin dihindari. Maka terjadilah pedebatan-perdebatan antara
pengikut Kristen Toraja elemen-elemen mana yang bisa diuniversalkan.
Satu praktik yang ditolak adalah pembuatan patung atau tau-tau untuk orang mati
kelas menengah ke atas pada upacara kematian karena terdapat perbedaan besar tentang
konsep arwah dalam kedua agama. Konsep arwah dalam Alukta jauh lebih kompleks
ketimbang konsep arwah dalam paham Kristen. Dalam konteks lokal, tau-tau adalah

7
badan baru arwah calon dewa. Mulai dari pemilihan pohon sampai pembuatannya disertai
dengan ritual dan korban ayam dan babi. Ada juga upacara massabu tau-tau, yaitu
upacara melantik tau-tau menjadi badan baru dewa yang sudah lengkap upacaranya. Lalu
ia disemayamkan di sisi kiri mayat selama semalam untuk menangkap arwah si mati.
Seperti yang kita ketahui tujuan suatu upacara kematian-rambu solo Alukta adalah untuk
mentransformasi bombo (arwah yang menakutkan) menjadi bombo mendeatanna (arwah
setengah dewa) di Puya dan lewat masseroi, mensucikan arwah dan keluarga yang
ditinggalkan yang kemudian diikuti upacara rambu tuka, bombo mendeatanna menjadi
mendeatanna, dewa (untuk orang menengah ke bawah) dan mengkapuanganna,
menjadi Puang). Dengan kata lain, upacara kematian bertujuan mentransformasi arwah
menjadi dewa yang badan barunya adalah tau-tau. Tau-tau ini ditempatkan di atas
balkon secara berjejer di dekat liang tempat mengurburkan mayat yang kemudian sangat
terkenal dan menarik wisatawan ke Toraja. Rambu solo dan rambu tuka menciptakan
nenek moyang ke depan. Dewa-dewa ini sangat dipercayai kekuatannya oleh penganut
Alukta.
Hal-hal inilah yang membuat pihak gereja mencap praktik ini sebagai
kepercayaan tahyul, sehingga selama beberapa dekade patung-patung ini dilarang
pemakaiannya dalam upacara kematian.
Keadaan berubah ketika kesadaran baru muncul untuk menemukan kembali
tradisi yang sudah ditinggalkan. Konsep universal arwah yang langsung menghadap
Tuhan, suatu ajaran Calvin dan Luther, kemudian diterima dan ditunjang oleh
universalisme teknologi kamera yang diperkenalkan ke daerah itu sejak kedatangan
Belanda. Terjadilah reinterpretasi dengan mendialogkan yang lokal dan global.
Pemakaian patung dibolehkan gereja kembali sejauh tau-tau tersebut foto
almarhum. Dengan kata lain penekanannya pada representasi suatu momen kehidupan
almarhum sebagaimana layaknya makna foto. Perubahan konsep ini menyebabkan
terjadinya perubahan pada ciri-ciri patung yang dibuat. Muncullah artis gaya baru dengan
karya gaya realistik. Untuk itu patung dibuat sesuai dengan wajah almarhum posisi
tangan berubah. Semua ciri dualitas Alukta diubah ke ciri monoteis Kristen seperti posisi
tangan dan lain-lain.
Yang menarik ialah tau-tau menjadi tempat kontestasi berbagai ideologi. Dalam
hal ini proses glokalisasi bermain pada dimensi waktu. Aspek universalismenya adalah
konsep arwah yang langsung menghadap Tuhan ditunjang oleh teknologi modern,
kamera. Patung menjadi representasi suatu momen kehidupan di masa lalu tapi tanpa
menghapus konsep penciptaan badan baru nenek moyang ke masa yang akan datang.
Patung ini masih disebut masyarakat nene.
3.2 Dialogisme budaya-budaya lokal
Pemakaian patung di atas memberikan gambaran tentang proses glokalisasi yang
dialami kelompok etnis Toraja dalam berinteraksi dengan globalisasi agama Kristen.
Contoh lain sudah penulis kemukakan dalam Kongres Kebudayaan 2008 lalu (Sandarupa
2010).
Indonesia terdiri atas kurang lebih 350 kelompok etnis dengan budaya dan bahasa
masing-masing. Dalam era globalisasi, budaya-budaya lokal menjadi semakin penting
karena ia berinteraksi dengan warisan budaya global. Warisan budaya warisan budaya
ini berinteraksi dengan budaya global dalam skala yang berbeda-beda.

8
Bila budaya-budaya lokal didialogkan maka akan tampak persamaan dan
perbedaan. Dalam hal ini penting diingat bahwa Indonesia adalah masyarakat
multikultural, suatu masyarakat yang punya diversitas budaya. Di sini penting diingat
tentang multikulturalisme yaitu mencari cara melestarikan identitas-identitas etnis dan
pada saat yang sama menemukan identitas kewarganegaraan yang menyatukan semua
kelompok etnis (Appadurai 2003; Kivisto 2002).
Pada dasarnya budaya-budaya lokal Indonesia memperlihatkan satu ciri utama
yaitu harmoni. Dalam setiap kebudayaan lokal terdapat tatanan relasi harmonis antara
manusia dan Yang Kuasa, manusia dengan manusia, manusia dengan alam (tumbuhan,
hewan dan lingkunngan), tumbuhan dengan tumbuhan, hewan dengan hewan dan lainlain. Inilah aspek universalisme yang ditata oleh nilai kesatuan. Aspek ini kemudian
muncul dalam berbagai ungkapan budaya yang berbeda-beda, misalnya di Bali disebut tri
hita karana, di Toraja di sebut tallu lolona (tiga pucuk kehidupan).
Dalam pola pikir ini manusia ditempatkan berada bersama makhluk hidup lainnya.
Manusia diminta tidak tunduk pada alam, tetapi berlaku solider terhadap alam. Menurut
Kleden, akal dan kebebasan manusia bukan lagi bebas lingkungan tapi bebas menjaga
lingkungan. Terdapat hubungan kewajiban antara keduanya. Alam wajib menghidupi
manusia dan manusia wajib melestarikan alam. Pola ini tidak lagi menekankan prosedur
logis tapi prosedur dialektis. Kemiskinan alam akan berhubungan dengan keserakahan
manusia, kekayaan dan kelestarian alam berhubungan dengan tanggung jawab dan
kesadaan ekologis manusia. Logika dan etika menjadi satu. Inilah pola pikir yang ada
dalam budaya-budaya lokal Indonesia dan ini disebut holisme.
3.3 Glokalisasi pendidikan
Hasil dialogisme budaya-budaya lokal Indonesia memperlihatkan suatu pola pikir
holisme di mana manusia hanya merupakan bahagian dan berkomun bersama makhlukmakhluk lainnya. Sistem pikir ini berinteraksi dengan globalisasi atau universalisme
pemikiran ilmiah yang dilakukan lewat sistem pendidikan.
Sistem pendidikan ini berlatar belakang suatu pola pikir yang menempatkan
manusia sebagai pusat kosmos. Kleden mengajukan beberapa argumen untuk
menjelaskan bahwa pola pikir mengkarakterisasi pikiran barat. Pola pikir ini memakai
prinsip kausalitas ilmu yang menerapkan salah satu prosedur dalam logika Aristoteles
yang disebut modus ponens yaitu kebenaran kesimpulan dideduksi dari kebenaran premis.
Rumus dasarnya berbunyi: Kalau a, maka b. Logika Aristotelian ini menjelma menjadi
kausalitas ilmiah dalam ilmu dan menjelmah lagi kenjadi efficient logic dalam teknologi.
Inilah yang memberikan kedudukan yang sangat unggul pada manusia sebagai penguasa
alam dan bukan sebagai penanggung jawab atas alam. Pertama, antroposentrisme,
Kedudukan ini semakin dimantapkan dengan munculnya rasionalisme Descartes
(1596-1650) yang bersamaan dengan penemuan-penemuan ilmu pada abad ke-17 dan
kemudian penemuan-penemuan teknologi pada abad ke-19, yang sekali lagi
menempatkan manusia sebagai pusat kosmos seperti terungkap dalam dasar filsafatnya
cogito ergo sum, saya berpikir maka saya adalah (Descartes 1996). Unsur cogito
menempati kedudukan yang sangat penting. Descartes membahas dua bidang filsafat
yaitu psikologi (res cogitans) yang mencakup segala sesuatu yang berada dalam diri
manusia, dan kosmologi yang mencakup segala sesuatu yang berada di luar diri manusia
(res extensa). Namun kepentingan kosmologi sangat rendah dibandingkan dengan

9
kepentingan psikologi. Dengan demikian, rasionalisme Descartes telah membuat akal
manusia menjadi sangat egosentris dan melahirkan subjektivisme yang tertutup.
Pandangan Descartes ini mendapatkan reaksi dari aliran-aliran filsafat lain seperti
eksistensialisme dan fenomenologi. Dalam eksistesialisme terjadi pergeseran dari tema
pemikiran ke tema pertemuan dan dalam fenomenologi terjadi pergeseran dari tema
pemikiran ke tema kesadaran. Namun, eksistensi utama adalah eksistensiku dan
kesadaran tentang yang lain menjadi mungkin karena ego membuka diri. Sekali lagi
manusia adalah pusat kosmos dan melihat dirinya sebab kebudayaan dan secara tak sadar
merasa dirinya juga sebab dari alam. Manusia penguasa alam. Keunggulan manusia harus
dimenangkan dan alam harus dikalahkan demi kepentingan manusia. Pola pikir ini
disebut antroposentrisme.
Pendidikan dengan latar belakang pola pikir ini mengglobal dan diterima ke
dalam sistem pendidikan kita. Ia mulai diperkenalkan di Indonesia pada permulaan abad
ke 17 ketika Belanda mendirikan sekolah-sekolah antara lain di Ambon, kepulauan
Banda dan Jakarta. Sistem pendidikan ini tentu menarik untuk dibandingkan dengan
sistem pendidikan klasik yang dipengaruhi oleh Hindu, suatu pendidikan klasik yang
tampak dalam zaman pemerintahan Erlangga (990-1409) dengan huruf Pallawa, dan pada
Zaman Sriwijaya serta sistem pendidikan Islam yang dimulai abad ke 13.
Sebagaimana diketahui ilmu dan teknologi mempunyai dampak negatip dan
mengarah pada perusakan manusia dan lingkungan. Kalau globalisasi pendidikan ini
diterima tanpa kritis maka sistem pendidikan kita mengulangi kelemahan-kelemahan
yang ada di dalamnya.
Di sini diusulkan melakukan glokalisasi terhadap sistem pendidikan
antroposentrisme yaitu dengan mendialogkannya dengan sistem holisme yang ada dalam
budaya-budaya lokal kita.
Sebagaimana yang diusulkan berbagai ahli glokalisasi seperti Fernandez salah
satu cara budaya dan bangsa melakukan glokalisasi ialah lewat pendidikan. Pengetahuan
lokal penting karena pengetahuan yang telah dites dan divalidasi dalam konteks lokal.
Semakin dunia berhubungan semakin penting individu dan kelompok mendapatkan
pendidikan dalam pengetahuan budaya lokal. Sudah diterima bahwa budaya dan
pengetahuan lokal membangun suatu kerangka yang darinya individu dan kelompok
kolektif mampu mengerti dan menginterpretasi dunia sekeliling mereka. Pengetahuan
lokal individu dan kelompok sosial membantu masyarakat menyaring pengaruh eksternal
globalisasi.
Begitu individu dan kelompok sosial dapat merangkul pengaruh asing globalisasi
dan mengintegrasikan saja aspek-aspek yang bernilai dan perlu bagi budayanya maka
budaya-budaya lokal tidak akan tergantikan oleh pengaruh-pengaruh-pengaruh
globalisasi. Dengan mengembangkan kerangka kultural yang kuat lewat pendidikan dapat
membantu individu dan kelompok sosial dalam melindungi kepentingan lokal dan
membantu suatu keseimbangan antara yang lokal dan global (Fernandez 2009).
4. Simpulan
Glokalisasi adalah sebuah proses mendialogkan dan menginterasikan berbagai
warisan budaya dunia dalam suatu keseimbangan yang harmonis. Berpikir global dan
bertindak lokal. Dalam hal ini, glokalisasi adalah mempartikularkan yang universal dan
menguniversalkan yang partikular. Makalah ini telah mengetengahkan dua contoh proses

10
glokalisasi satu aspek budaya Toraja dan sistem pendidikan di Indonesia sebagai suatu
proses inkulturasi.
Sistem pendidikan dengan latar belakang pemikiran holisme telah memudar
sehingga budaya-budaya lokal kita meninggalkan identitasnya. Telah hilang identitas
relasi keharmonisan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.
Perusakan hutan, eksploitasi alam yang tidak tepat seperti lumpur lapindo, pemerkosaan,
pembunuhan, perbudakan terjadi di mana-mana. Dan korupsi sudah tak dapat dibendung.
Padahal dalam setiap kelompok etnis yang ada di Indonesia terdapat norma yang
mengatur relasi harmonis dengan sesama di mana diajarkan hidup bersih. Salah satu
penyebab maraknya korupsi ilah tidak diketahuinya dan tidak dipraktikkannya kearifankearifan lokal yang dalam budaya kita. Budaya dengan kearifan antikorupsi telah
dilupakan (Sandarupa 14/5/2011).
Langkah utama yang segera dilakukan adalah menemukan kembali tradisi
holisme yang ada di dalam budaya-budaya lokal Indonesia dan melestarikannya. Tradisi
ini kemudian didialogkan dengan universalisme pola pikir ilmiah antroposentrisme.
Dengan demikan akan terbangun sistem pendidikan Indonesia hasil glokalisasi. Logika
dan etika menjadi satu.
Upaya pemerintah dalam hal ini patut diapresisasi karena telah berhasil
mengajukan sistem subak dengan filsafat tri hita karana di Bali dan telah mendapatkan
pengakuan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization)sebagai warisan dunia. Menyusul Toraja yang diusulkan ke UNESCO
untuk dinominasikan sebagai warisan dunia. Sejumlah warisan budaya telah juga
berterima seperti Komodo, Lagaligo, Babad Diponegoro dan Negarakertagama dan lainlain. Penetapan sejumlah daerah sebagai cagar budaya. Penentuan hukum-hukum zoning
yang mengatur pemakaian lahan.
Kalau penggunaan lahan tidak diatur maka akan terjadi bencana tertutama dalam
pengembangan industri yang cepat. Misalnya, pendirian pabrik yang membuat polusi.
Penzoningan penting untuk pemakaian lahan supaya tidak terjadi perusakan lingkungan.
Lingkungan penting untuk kehidupan budaya. Pemakaian hukum-hukum zoning
membantu budaya-budaya dan bangsa melakukan glokalisasi mencari keseimbangan.
Pengakuan internasional berarti ada nilai lokal yang universal yang dapat diklaim
oleh dunia. Bila selama ini Indonesia hanya menerima pengaruh globalisasi Indonesia
akan mengglobalkan warisan budayanya seperti sistem pendidikan holisme dan sejumlah
aspek-aspek budaya lokal mulai dari bahasa, batik sampai tahu, tempe, sate dan rendang.
Hal ini dapat dilakukan lewat diplomasi kebudayaan, pengajuan dan pengakuan badan
dunia seperti UNESCO, pariwisata dan lain-lain.

11

Daftar Pustaka

Adams, Kethleen, Marie


2000 Negotiated identities. In Home and hegemony. M.a.D. Kethleen Adams,
Sara, ed. Ann Arbor: University of Michigan Press.
Appadurai, Arjun
2003 Modernity at large: cultural dimensions of globalization. Minneapolis,
London: University of Minnesota Press.
Barber, Benjamin
2004 Jihad vs. McWorld. In The globalization reader. F. J.Lechner and J. Boli,
eds. Pp. 29-35. Malden, MA: Blackwell.
Benjamin, Walter
1968 [1955] Illuminations. New York: Schocken Books.
Fernandez, Sarah Elizabeth
2009 A theory of cultural glocality, University of Florida.
Fox, Richard G
1990 Nationalist ideologies and the production of national cultures. Washington
D.C.: American Ethnological Society Monograph Series Number 2.
Friedman, Thomas
2000 The lexus and the Olive tree: understanding globalization. New York:
Random House.
Handler, Richard
1988 Nationalism and the politics of culture in Quebec. Madison, Wisconsin:
The University of Wisconsin Press.
Hannerz, Ulf
1992 Cultural complexity: studies in the social organization of meaning.
Columbia: Columbia University Press.
Hobsbawm, Eric, and T. Ranger
1992 [1983] The invention of tradition. Cambridge, Great Britain: University
Press.
Kivisto, Peter
2002 Multiculturalism in a global society. Malden, MA: Blackwell Publishing.
Kleden, Ignas
1988 [1987] Sikap ilmiah dan kritik kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Poerwadarminta, W.J.S
1982 Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pusataka.
Robertson, R
1992 Globalization. London: Sage.
Sandarupa, Stanislaus
14/5/2011
Kearifan lokal antikorupsi. In Kompas. Pp. 6. Jakarta.

12
2010 Ritual kematian tanpa mayat, kanibalisme budaya dan pariwisata. In
Industri budaya, budaya industri: kongres kebudayaan Indonesia 2008. K. Nurhan,
ed. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Smith, T.V.
1934 Philosophers speak for themselves. Chicago: The University of Chicago
Press.
Waters, Malcom
2000 [1995] Globalization. London and New York: Routledge.

Anda mungkin juga menyukai