Anda di halaman 1dari 8

ADAPTASI ARSITEKTUR NUSANTARA DALAM ERA

ARSITEKTUR KONTEMPORER

M. Zainus Solihin (5013211001), Novia Rahmadani (5013211009), Nadira Imani Putri


(5013211100), dan Jeanne Naila Anstyadi (5013211116)
Surel: nvrhmdn@gmail.com

Pendahuluan/Latar Belakang
Indonesia adalah gambaran dari sebuah keberagaman dan juga kesatuan. Sejalan dengan
pengertian itu, Indonesia memiliki banyak keragaman budaya, seperti rumah adat, tarian, alat
musik, dan lain sebagainya yang masih memiliki satu jenis kualifikasi, yaitu budaya Indonesia.
Namun, kebudayaan asli Indonesia mengalami perubahan dari masa ke masa, baik perubahan ke
arah yang baik atau sebaliknya.

Arsitektur di Indonesia yang awalnya berupa arsitektur vernakular, jadi ikut mengalami
perubahan mengikuti perkembangan zaman, baik perubahan baik maupun buruk. Awalnya
arsitektur Indonesia merupakan arsitektur yang didesain oleh non-arsitek, secara tradisional dan
memiliki ciri khas. Arsitektur Indonesia tumbuh dari kebiasaan masyarakat dalam membangun
rumah hunian atau tempat berkumpul dengan menyesuaikan lingkungan sosial maupun
lingkungan alam menggunakan material lokal. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman
dan perubahan lingkungan yang terjadi secara signifikan, arsitektur Indonesia juga ikut
ber-evolusi menyesuaikan term yang sedang berlangsung pada masa sekarang. Barat menjadi
cerminan atau standard bagi arsitektur Indonesia. Fakta ini merupakan fakta yang baik sekaligus
buruk, mengingat dewasa ini, barat memiliki peradaban yang lebih maju dari Indonesia. Namun,
sayangnya proses pengimplementasian prinsip barat bisa mengikis value dari budaya Indonesia.
Fakta inilah yang membuat setiap orang sadar akan kenyataan yang tidak bisa dihindari ini,
bahwa perkembangan zaman mempengaruhi perkembangan arsitektur sehingga arsitektur
Indonesia harus bisa beradaptasi, tumbuh, dan berkembang.

Arsitektur Indonesia mengalami pasang surut dalam mempertahankan dan mengeksistensikan


kembali corak yang ada di dalamnya, yang secara faktual mulai kehilangan jati dirinya karena
pengaruh globalisasi dan proses adaptasi yang dilakukan secara terus menerus. Hal ini
dibuktikan dengan fakta bahwa topik ini menjadi topik yang menarik sejak awal 2000-an.
Pangarsa (2006) mengutarakan gagasannya melalui tulisannya dalam Merah Putih Arsitektur
Nusantara yang pada intinya ingin mengembalikan fitrah ibu pertiwi yang hilang karena orientasi
yang Eurocentris. Ditambah lagi, ada beberapa tokoh lain yang juga memiliki pemikiran yang
sama dengan Pangarsa, yaitu Widyarta, Mangunwijaya, Prijotomo, Tjahyono, Sukada,
Budiharjo, Salyo. Sementara teman-teman Pangarso yang tidak hanya menuliskan tetapi juga
melakukannya dalam praktik adalah Prawoto, Danes, kemudian Antar, Pradono dan Sing.

Indonesia pada abad ke-19 merupakan titik dimana mulai bergesernya dominasi konsep
arsitektur nusantara pada karya arsitektur tanah air serta pemukiman warga Indonesia. Dalam
perkembangan ilmu arsitektural di Indonesia, terjadi pencarian gaya baru, sehingga dalam
prosesnya muncul berbagai perkembangan pemikiran dan pendekatan arsitektural yang bersifat
baru yang kemudian bermuara pada keberagaman dunia arsitektur yang semakin kaya. Gaya
arsitektur modern yang muncul di Indonesia ini memiliki dua aliran. Yang pertama adalah
arsitektur kolonial, dimana eksistensinya dipengaruhi oleh proses kolonialisme bangsa Belanda
di Indonesia. Aliran arsitektur modern Indonesia yang kedua adalah arsitektur awal
kemerdekaan, muncul sejak diperkenalkannya kaidah rasionalitas dalam arsitektur, aliran ini
mengadopsi gaya arsitektur Eropa dan Amerika.

Seiring berjalannya waktu dan merajalelanya globalisasi, gaya arsitektural bangunan di


Indonesia semakin condong kepada aliran modern dan kontemporer. Alhasil, karya arsitektur
nusantara murni tidak lagi banyak digunakan di Indonesia. Meskipun demikian, banyak karya
arsitektur kontemporer yang mengadopsi beberapa konsep dan prinsip dari arsitektur nusantara.
Asimilasi arsitektur nusantara dengan arsitektur kontemporer dapat diimplementasikan menjadi
beberapa macam karya arsitektur.

Dalam beberapa kasus, pengimplementasian arsitektur nusantara dalam karya arsitektur


kontemporer dilakukan melalui pemilihan material, mebel, serta unsur struktur yang
diadaptasikan dari arsitektur nusantara. Konsep asimilasi ini dapat kita lihat dari salah satu karya
arsitektur yang akan ditinjau lebih lanjut dalam pembahasan pada artikel ini, yang bernama
Omah Kawung karya arsitek Imron Yusuf yang dibangun pada tahun 2014. Namun, tidak semua
kasus asimilasi arsitektur kontemporer dengan arsitektur nusantara menggunakan konsep
tersebut.

Selain melalui material serta mebel yang diadopsi dari arsitektur nusantara, beberapa karya
arsitektur modern mengambil inspirasi dari arsitektur nusantara melalui konsep tata ruang yang
sangat mengingatkan kita kepada arsitektur nusantara. Omah Djawa karya Budi Pradono yang
dibangun pada tahun 2021 adalah satu karya arsitektur yang memegang konsep tersebut. Dengan
artikel ini penulis akan meninjau lebih lanjut tentang pembahasan pengimplementasian arsitektur
nusantara dalam pelaksanaan arsitektur kontemporer, serta menggali topik ini lebih dalam
dengan beberapa studi kasus yang berhubungan.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana mengadaptasi arsitektur nusantara di era sekarang yaitu arsitektur
kontemporer?
2. Apa saja aspek-aspek arsitektur nusantara?
3. Prinsip-prinsip dalam arsitektur nusantara?

Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji kesinambungan antara arsitektur nusantara dan
arsitektur kontemporer yaitu bagaimana mengadaptasi arsitektur nusantara pada arsitektur masa
kini, serta mengetahui dan memahami aspek-aspek arsitektur nusantara. Adaptasi arsitektur
nusantara pada arsitektur kontemporer ini diharapkan dapat menjaga kesinambungan antara masa
lampau dan masa sekarang sehingga budaya kita yang sekarang tidak terhapus. Arsitektur masa
lampau yaitu nusantara diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber kreativitas dan akar
kearsitekturan di Indonesia.

Tinjauan Pustaka
1. Arsitektur Vernakular
Istilah vernakular awalnya diperkenalkan oleh Bernard Rudofsky pada tahun 1964
melalui pameran yang bertema Architecture without Architect di Museum of Modern Art
(MoMA). Vernakular sendiri berasal dari kata verna (bahasa Latin) yang artinya
domestic, indigenous, native slave, atau home-born slave, dan dipilih oleh Rudofsky
untuk mendefinisikan arsitektur lokal. Namun, pada perkembangannya, hakikat
‘arsitektur vernakular’ diperdebatkan oleh beberapa tokoh, salah satunya adalah Rapoport
dalam bukunya “House Form and Culture” tahun 1969. Perdebatan ini terus berlangsung
hingga tahun 1990 dalam artikelnya yang berjudul “Defining Vernacular Design” dan
sampai saat ini diperkirakan perdebatan itu belum memperoleh hasil yang memuaskan.
Kemudian para ahli membuat kualifikasi sementara untuk batasan dan syarat ‘arsitektur
vernakular’, seperti:
a. Diciptakan masyarakat tanpa bantuan tenaga ahli / arsitek profesional melainkan
dengan tenaga ahli lokal /setempat;
b. Diyakini mampu beradaptasi terhadap kondisi fisik, sosial, budaya dan lingkungan
setempat;
c. Dibangun dengan memanfaatkan sumber daya fisik, sosial, budaya, religi, teknologi,
dan material setempat;
d. Memiliki tipologi bangunan awal dalam wujud hunian dan lainnya yang berkembang
di dalam masyarakat tradisional;
e. Dibangun untuk mewadahi kebutuhan khusus, mengakomodasi nilai-nilai budaya
masyarakat, ekonomi dan cara hidup masyarakat setempat;
f. Fungsi, makna dan tampilan arsitektur vernakular sangat dipengaruhi oleh aspek
struktur sosial, sistem.
2. Arsitektur Nusantara
Arsitektur nusantara adalah arsitektur yang berada di wilayah yang bernama ‘nusantara’.
Sedangkan nusantara sendiri adalah gabungan dari 2 kata yaitu, ‘nusa’ dan ‘antara’ yang
berarti pulau-pulau di antara lautan. Lautan dianggap sebagai sebagai satu kesatuan yang
utuh dengan pulau-pulau yang ada. Arsitektur nusantara merupakan cikal bakal adanya
arsitektur Indonesia. Namun, sejatinya arsitektur nusantara dan arsitektur Indonesia
adalah dua hal yang hampir sama karena nusantara merupakan awal mula terbentuknya
Indonesia.
Arsitektur nusantara merupakan salah satu bentuk dari arsitektur vernakular karena hal
yang ada di dalam arsitektur nusantara memenuhi kualifikasi yang ada di arsitektur
vernakular. Arsitektur nusantara juga merupakan arsitektur yang bersifat tradisional,
namun bukan merupakan arsitektur tradisional karena Arsitektur tradisional membahas
tentang kosmologi dan mitos, kepercayaan, lambang, mata pencaharian, jalinan sosial,
kesenian kerajinan, tata letak, sedangkan Arsitektur Nusantara lebih membahas tentang
tatanan estetika komposisi, sistem struktur dan konstruksi, tektonika, stilistika, proses
konstruksi, makna, adat tradisi manusia-lingkungan-bangunan.
Ditinjau dari definisinya, arsitektur nusantara merupakan sebuah tipe atau gaya desain
arsitektural yang berasal dari wilayah nusantara. Sehingga pada sistem struktur konstruksi
maupun dekorasinya, tidak ada prinsip yang mengikat seluruh karya arsitektural di tiap
wilayah bagiannya. Nilai utama dari arsitektur nusantara adalah orisinalitasnya yang
mencakup asal daerah, pemanfaatan material lokal, hingga inklusi nilai-nilai budaya yang
berkembang di wilayah sekitar. Orientasi desain dan pemecahan masalah pada rancang
bangun arsitektur nusantara ini mirip dengan arsitektur tropis. Dimana masyarakat
Indonesia tempo dulu dalam upayanya menciptakan hunian yang nyaman maka perlu
diadaptasikan dengan iklim sekitar yang merupakan iklim tropis.
Meninjau tulisan Dakung (1987), Rumah Tradisional Jawa memiliki bentuk Panggangpe
yang merupakan bentuk paling sederhana, yaitu satu ruang. Kemudian seiring dengan
perkembangan dan kemajuan sistem masyarakatnya, desain Rumah Panggangpe ini
diubah menjadi bentuk Kampung yang memiliki beberapa ruangan. Perkembangan tanpa
henti, sampailah pada bentuk rumah Joglo yang memiliki ruang-ruang tambahan lain dan
sistem penataan ruang yang lebih terstruktur dan penuh dengan filosofi serta pengaruh
budaya masyarakat Jawa pada masa itu. Salah
satu hasil karya arsitektur nusantara adalah
Rumah Joglo. Rumah Joglo merupakan rumah
tradisional Jawa dengan bentuk atap yang
serupa dengan gunungan yang disertai
tumpang sari.

Rumah Joglo ini sekaligus berperan sebagai


cerminan dari masyarakat jawa dari sifat
personal, pengetahuan, hingga derajat ekonomi, serta status sosialnya. Rumah Joglo
merupakan kediaman bagi suku Jawa yang memiliki status sosial terpandang dan
kapasitas ekonomi yang mumpuni. Hirarki sistem spasial pada Rumah Joglo terbagi
menjadi 6 ruang, yakni pendapa, pringgitan, dalem, dapur, gandhok, serta gadri. Rumah
Joglo memiliki sistem penataan ruang yang terorganisir dengan baik dan terstruktur serta
menghadirkan suasana yang sejuk, tenang, tentram, dan suci yang menjadi fungsi
psikologisnya sebagai suatu hunian.
Bagian pertama, pendapa, merupakan sebuah ruang terbuka publik yang memberikan
kesan maskulin, bagian ini berada di bagian paling depan Rumah Joglo. Bagian ini
memiliki fungsi untuk menerima keluarga yang berkunjung serta tamu resmi, tempat
berkumpul, hingga pesta dan tempat peletakan gamelan tradisional yang juga merupakan
ciri khas keluarga Jawa. Lantai pada pendapa ini dibagi menjadi 3 tingkatan, lantai
pertama yang merupakan lantai emper digunakan untuk tempat duduk priyayi dengan
status sosial rendah. Kemudian lantai pendapa, yang merupakan lantai atas digunakan
untuk tempat duduk bagi para petinggi. Sedangkan para abdi dalem dipersilahkan untuk
duduk di luar pendapa. Semuanya berkumpul dan berorientasi pada pendapa, sehingga
pendapa ini menjadi simbol kerukunan. Pendapa ini pula, dengan sistem tingkatan
lantainya, menunjukkan budaya keluarga Jawa kuno yang masih mempercayai
pengklasifikasian manusia dalam kehidupan sosialnya berdasarkan status sosial dan
ekonominya, hal ini ada hubungannya dengan keyakinan masyarakat Jawa pada masa itu
yang menganut agama Hindu-Buddha, serta adanya sistem pemerintahan berupa
kerajaan/monarki.
Bagian Rumah Joglo yang terletak setelah pendapa adalah pringgitan. Pringgitan
merupakan sebuah serambi yang menjadi pemisah antara pendapa dan ruang dalem.
Berbeda dengan pendapa, ruang pringgitan ini memiliki sifat semi-privat karena tidak
semua orang dapat masuk ke ruangan ini. Pringgitan difungsikan sebagai tempat untuk
menyambut tamu terhormat serta tempat pertunjukan wayang kulit.
Dihubungkan dengan pringgitan adalah ruang dalem ageng yang merupakan bagian inti
dari Rumah Joglo sehingga eksistensinya dalam desain arsitektural ini sangatlah penting.
Karena hal ini, maka elevasi lantai yang dimiliki ruangan tersebut lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pendapa dan pringgitan. Ruang dalem ageng ini juga berbeda
dengan pendapa yang bersifat terbuka dan publik, ruangan ini bersifat tertutup dan privat.
Pada dinding sepanjang jalan menuju ruang dale mini dihiasi dengan ornament cermin
kaca. Ruang dale mini memiliki fungsi yang eksklusif dimana biasanya digunakan untuk
menyambut saudara yang akrab, serta sebagai ruangan untuk para wanita melakukan
kegiatannya sehingga bertolak belakang dengan pendapa, ruangan ini memberikan kesan
yang feminim. Hal ini pula memberikan kita pandangan mengenai kondisi kehidupan
sosial pada masyarakat Jawa kuno yang masih menganut paham konservatif dimana para
wanita sepatutnya diam di dalam rumah dan tertutup.
Bagian Rumah Joglo yang juga dipandang suci serta merupakan bagian paling privat
adalah senthong. Senthong ini sendiri dibagi menjadi 3 bagian, yaitu senthong kiri,
senthong kanan, dan senthong tengah. Rangkaian senthong ini membujur dari Timur ke
Barat dan menghadap ke arah Selatan. Senthong Timur digunakan untuk tempat tidur ibu
bersama dengan anak-anak yang masih di bawah umur. Sedangkan tempat tidur untuk
ayah adalah di Senthong Barat. Lalu Senthong Tengah bukanlah merupakan tempat tidur,
namun memiliki fungsi sebagai ruang meditasi untuk berkomunikasi dengan Dewi Sri.
Pengaturan fungsi ruang ini jelas menyesuaikan dengan kepercayaan yang dianut
masyarakat Jawa Kuno pada masa itu. Selain dimanfaatkan untuk ruang meditasi atau
berdoa, Senthong Tengah digunakan untuk kamar mempelai baru.
Salah satu bagian rumah yang menyempurnakan Rumah Adat Joglo adalah Gandhok.
Gandhok dibangun memanjang dari samping kiri, ke belakang, kemudian sampai di
sebelah kanan. Sesuai dengan sistem penataannya, Gandhok dibagi menjadi Gandhok kiri
dan Gandhok kanan. Gandhok kiri digunakan untuk tempat tidur anak-anak putri yang
telah beranjak dewasa. Sedangkan anak-anak putra yang telah dewasa menempati
Gandhok kanan. Jika terdapat bagian gandhok yang kosong, maka dapat dimanfaatkan
untuk tempat tidur tamu.
Lalu untuk dapur, dapat diletakkan di bagian Timur Dalem atau di bagian belakang
Gandhok kiri. Seperti dapur yang kita kenal sekarang, dapur pada Rumah Joglo berfungsi
sebagai tempat untuk meramu bumbu, memasak, dan sebagai tempat untuk menyimpan
sisa makanan dan bahan makanan. Selain itu, terdapat satu ruang lagi yang disebut
sebagai Gadri. Gadri berfungsi sebagai tempat makan keluarga yang letaknya berada di
belakang Senthong.

3. Arsitektur Kontemporer
Definisi formal dari arsitektur kontemporer susah ditetapkan, sebab banyaknya
interpretasi terhadap definisi istilah tersebut. Kontemporer diartikan sebagai masa kini
atau saat ini, jadi dapat diartikan bahwa arsitektur kontemporer adalah arsitektur yang
berkembang pada saat ini. Arsitektur kontemporer adalah istilah yang digunakan secara
luas, untuk sejumlah gaya yang berkembang pada jaman sekarang sampai masa depan.
Istilah ini dapat mencakup beberapa aliran arsitektur yang lahir pada abad ke-21,
contohnya postmodernism, high-tech architecture, interpretasi arsitektur tradisional,
sampai karya arsitektur konseptual yang skulptural.
Urban, Florian (2017). The new tenement. New York. ISBN 978-1-315-40244-4. OCLC
1006381281

Dalam penerapan arsitektur kontemporer, terdapat sebuah perpaduan antara aliran-aliran


modern, dengan fitur-fitur berbeda sehingga istilah tersebut digunakan untuk menandai
desain yang lebih maju, variatif, future-oriented, fleksibel, serta inovatif. Hal-hal tersebut
dapat dicapai melalui bentuk, tampilan, material yang digunakan, pengolahan material,
maupun teknologi yang dipakai. Dalam buku “World of Contemporary Architecture XX”,
Konnemann berkata bahwa arsitektur kontemporer bertujuan untuk mendemonstrasikan
kualitas tertentu dari aspek kemajuan teknologi dan kebebasan berekspresi dalam
arsitektur, yang berusaha untuk menciptakan suatu realitas yang nyata dan terpisah dari
suatu komunitas yang tidak seragam.

Menurut Konnemann, arsitektur kontemporer memiliki beberapa ciri yaitu:


a. Ekspresi bangunan bersifat subjektif
b. Kontras dengan lingkungan sekitar
c. Bentuk simple namun berkesan kuat

4. Adaptasi
Adaptasi dalam KBBI berarti penyesuaian terhadap lingkungan, penyesuaian ini
menyebabkan suatu individu dapat berfungsi lebih baik dalam alam sekitar dan
lingkungannya atau membuat lingkungan yang lebih baik untuk individu. Menurut
Robbins (2003), adaptasi adalah suatu proses yang menempatkan manusia yang berupaya
mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan untuk menghadapi lingkungan dan kondisi sosial
yang berubah-ubah agar tetap bertahan.

Menurut Tony (2018), dengan perkembangan zaman manusia akan melakukan


penyesuaian diri terhadap lingkungannya, termasuk lingkungan tempat mereka tinggal,
dan kebiasaan yang terjadi pada kehidupan sehari-hari yaitu budaya atau adat istiadat
yang telah terbentuk dan mengakar pada diri individu dan lingkungannya yang akan
membuat budaya atau istiadat itu berhubungan dengan perubahan lingkungan perumahan
yang terjadi.

Menurut Douglas (2006) adaptasi pada bangunan adalah suatu bentuk pemeliharaan
bangunan dalam mengubah fungsi, kapasitas, dan fisik bangunan dengan melakukan
intervensi untuk menyesuaikan, menggunakan ulang dan meningkatkan kemampuan
bangunan.

“Perlunya adaptasi pada suatu bangunan merupakan suatu upaya untuk mengelola dan
mengendalikan aspek perubahan dalam segi fungsi maupun fisik bangunan untuk
menyesuaikan atau meningkatkan yang sudah ada, dengan berdasarkan bahwa bangunan
yang sudah ada tersebut secara fungsional maupun fisiknya perlu ditingkatkan lagi atau
dapat dikatakan suatu bangunan itu sudah tidak layak pakai.”

Metode Penelitian (naila)


Melalui tinjauan terhadap topik yang diangkat, peneliti menggunakan metode penelitian
kualitatif. Menurut Bungin (2011:49), masalah dalam penelitian kualitatif berwilayah pada ruang
yang sempit, dengan tingkat variasi yang rendah, namun memiliki kedalaman bahasan yang tidak
terbatas. Metode penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang hasilnya disajikan dalam
bentuk deskripsi serta analisis. Pendekatan ini dipilih dengan konsiderasi, bahwa fenomena
adaptasi arsitektur nusantara dalam era arsitektur kontemporer dapat ditinjau lebih lanjut atas
dasar kerangka teoritik, literatur, serta dengan menganalisis beberapa studi kasus yang terkait.

Dalam pendekatan ini, peneliti melakukan langkah-langkah membaca penelitian yang terdahulu,
pengumpulan data melalui sumber-sumber literatur arsitektur, pengumpulan data studi kasus
karya arsitektur melalui sumber website terpercaya penjelasan karya arsitektur oleh firma
arsitektur dan arsitek yang terkait seperti Archdaily, Asrinesia, serta Arsitag, analisis studi kasus
dengan mengaitkannya dengan teori arsitektur, hingga penampilan hasil akhir. Oleh karena itu,
data yang terkumpul harus dianalisis oleh penulis dengan baik sehingga mengungkap informasi
yang dicari oleh peneliti.

Anda mungkin juga menyukai