Anda di halaman 1dari 13

TEORI RELASI GLOBAL-LOKAL

ARJUN APPADURAI, ROLAND ROBERTSON, GEORGE RITZER

MAKALAH

Diajukan untuk Tugas Individu Pada Mata Kuliah Teori Sosiologi PostModern

Dosen Pengampu:
Prof. Afrizal, M.Si

Oleh:

Irzan Fachrozi
2020812008

PROGRAM MAGISTER SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
TAHUN 2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Globalisasi adalah konsep yang sangat luas yang tidak hanya terkait dengan
penandaan akan keragamaan wilayah, budaya dan pelaku tetapi juga terhadap
perbedaan analisa yang dapat dipelajarinya.
Globalisasi bukanlah merupakan gejala yang baru dan globalisasi juga tidak
melibatkan berbagai macam perkembangan sosial, politik dan ekonomi. Walaupun
globalisasi diperkirakan telah ada sejak abad 15 tetapi istilah globalisasi
berkembang sekitar tahun 1980-an. Globalisasi adalah sebuah fenomena sosial,
ekonomi, budaya, maupun politik yang menyebar dan masuk ke wilayah-wilayah
dunia yang terpencil sekalipun.
Beberapa tokoh sosial era modern dan post modern pun membahas tentang
globalisasi. Ada yang melihat globalisasi sebagai bentuk imperialisme, ancaman
yang perlu ditentang. Namun tidak sedikit sosiolog yang menilai globalisasi secara
positif yang memberi ruang untuk berkembangnya nilai-nilai lokal dan perbaikan
taraf hidup manusia.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun dalam penulisan makalah ini, kami penulis menginventarisasi
beberapa permasalahan yang kemudian kami rumuskan sebagai berikut:
1.1.1 Menjelaskan latar belakang globalisasi
1.1.2 Mengetahui apa yang dijelaskan teoritis sosiologi tentang relasi global dan
local dalam globalisasi

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Dalam Penulisan makalah ini, kami penulis memiliki tujuan sebagai berikut :
1.1.1 Agar dapat mengetahui globalisasi
1.1.2 Agar dapat mengetahui apa yang dijelaskan para teoritis sosiologi mengenai
relasi global dan local.
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Dalam penulisan makalah, kami penulis berhadap makalah ini memiliki
manfaat sebagai berikut :

1.1.1 Manfaat akademis: yaitu bagi penulis untuk mengembangkan wawasan


penulis dan pembaca mengenai mata kuliah teori sosiologi post-modern.

1.1.2 Manfaat praktis: yaitu bagi pembaca adalah memberikan gambara yang
baru mengenai teori sosiologi post-modern.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. GLOBALISASI
Globalisasi adalah kata yang paling sering menjadi acuan untuk
menggambarkan dunia tanpa batas. Mencari arti dari globalisasi tidak bisa
didefinisikan secara baku. Dalam konteks dunia saat ini terjadi kompleksitas dan
beragam penjelasan tentang globalisasi. Ada yang melihat dan menyamakan
globalisasi dengan westernisasi
Oleh karena itu pengertian globalisasi sangat beragam dan tergantung dari
latar belakang pemikir. Bagi mereka yang terinspirasi oleh pemikiran Marx melihat
globalisasi sebagai ekspansi dari sistem kapitalis yang terjadi di seluruh dunia.
Globalisasi yaitu perubahan global itu ialah pengembangan spasial
kapitalisme dunia yang cenderung terus berjalan tanpa ada kemungkinan berhenti.
Inilah kemudian yang menjadi ukuran dalam globalisasi bahwa yang ekonomis
mulai menjadi budaya dan budaya mulai menjadi ekonomis.
Globalisasi menunjuk kepada pengertian integrasi kepentingan pasar dalam
ekonomi global. Pasar yang dimaksud beragam sifatnya mulai dari perdagangan
kapital, kredit dan asuransi, komoditas, penjualan minyak, kopi, emas dan pasar
produksi yaitu teknologi. Sehingga perdagangan yang dipahami dalam globalisasi
membuat dunia tanpa batas. Apa yang menjadi ‘tren’ di satu negara (umumnya
negara maju) akan mudah diterima dan juga digemari di negara lain. Globalisasi
tidak hanya dipahami sebagai teropong ekonomi dan budaya yang dilihat sebagai
bentuk integrasi tanpa batas tetapi globalisasi menjadi sebuah fenomena.
Globalisasi adalah sebuah fenomena sosial, ekonomi, budaya, maupun politik yang
menyebar dan masuk ke wilayah-wilayah dunia yang terpencil sekalipun.
2.2. TEORI McDONALDISASI GEORGE RITZER

Istilah McDonaldisasi pertama kali dikemukakan oleh George Ritzer, seorang


sosiolog Amerika dalam tulisannya yang terkenal di Journal of American Culture
tahun 1983.1 Pengertian ini kemudian merebak dengan terbitnya buku Ritzer yang
berjudul The McDonalization of Society (1993) serta publikasi lainnya yang
berkenaan dengan itu.
McDonaldisasi merupakan pelaksanaan prinsip-prinsip dan sistem
franchising makanan cepat saji (fast food) dari McDonald’s. Seperti kita ketahui
dewasa ini outlet-outlet McDonald’s terdapat hampir di seluruh dunia.
Keberhasilan Restoran McDonald’s membuka cabang hamper di seluruh
belahan dunia disebabkan oleh:
Pertama, McDonald menawarkan efisiensi atau metoda optimal bagi
perolehan dari satu ke lain poin. Prinsip ini dikenal secara luas di dalam bisnis.
Berdasarkan prinsip Fordism (assembly line), scientific management dan
management birokrasi, dan prinsip birokrasi maka restoran McDonald dikelola
secara sangat efisien. Pada prinsipnya restoran tersebut telah melaksanakan prinsip
uniformitas, menu standar, porsi yang sama dengan harga yang sama serta kualitas
yang sama di setiap restoran McDonalds.
Kedua, McDonald menawarkan daya hitung (kalkutabilitas), atau penekanan
pada aspek kuantitatif atas produk yang di jual ukuran porsi, ongkos-ongkos serta
layanan yang di tawarkan. Bisnis yang diadakan haruslah dapat dihitung untung
dan ruginya. Apabila tidak memungkinkan maka dicari jalan pemecahan agar
bisnis tetap memberi keuntungan.
Ketiga, McDonald’s menawarkan daya prediksi (prediktabilitas), rasa yakin
bahwa produk dan layanannya akan tetap sepanjang waktu dan diseluruh lokasi.
Dengan adanya kalkulabilitas maka dengan sendirinya dapat diprediksikan
keuntungan yang diperoleh outlet McDonald, setiap outlet telah memprediksikan
tempat-tempat yang strategis di mana orang akan mencari makanan secara cepat.
Keempat, kontrol dari kontrol manusia menuju kontrol robot yang
mekanistik. Orang bersantap di restoran fast food akan terkontrol, meskipun
biasanya tidak kentara. Lajur, menu terbatas, sedikit pilihan dan tempat duduk yang
tidak nyaman semuanya menggiring penyantap melakukan apa yang di inginkan
pengelola cepat saji makanan dan pergi. Pekerja diorganisasi yang di
McDonaldsasi juga berada pada tingkat kontrol tertinggi, biasanya lebih mencolok
dan langsung mengena.
Ritzer melihat globalisasi dari sudut pandang sistem konsumerisme global
dan praktik konsumsi turunannya, yang mula-mula khas Amerika, lantas dipompa
meluas ke seluruh penjuru dunia. Contohnya adalah, bisnis makanan cepat saji
(fast-food) dan penggunaan kartu credit (credit card) mula-mula berkembang di
masyarakat Amerika dan menyebar ke seluruh dunia. 
Terhadap gejala diatas, Ritzer menyebut dunia sosial (dunia bersama
manusia) sedang mengalami peningkatan kehampaan. Kehampaan menunjuk pada
sebuah bentuk dunia sosial yang umumnya disusun, dikontrol secara terpusat, dan
termasuk tanpa isi substantif yang khusus.
Secara keseluruhan, ada empat tipe nothing (Kehampaan) yang sebagian
ataupun semuanya kosong dari isi yang distingtif, namun sedang mengglobal,
yaitu,
1) Nonplaces atau setting yang sebagian besar kosong dari isi. contohnya mall
menyerupai yang telah disebutkan di atas.
2) Nonthings, menyerupai kartu kredit, di mana tidak banyak berbeda dengan yang
lain.
3) Nonpeople, atau jenis karyawan yang diasosiasikan, contohnya telemarketer
yang berinteraksi dengan konsumen dengan mengandalkan script.
4) Nonservis, contohnya yang disediakan oleh ATM di mana pelayanan yang
disediakan sama, konsumen mengerjakan sesuatu untuk mendapat layanannya,
hal itu berbeda dengan karyawan teller bank
Dalam membedakan nothing dengan something, nonplaces dengan places,
nonpeople dengan people, nonservices dengan services, terdapat lima hal yang
sanggup dilakukan. Kutub sebelah kiri dari perbedaan ini ialah ujung dari kontinum
sesuatu (something), sedangkan yang kanan ialah ujung bukan sesuatu (nothing).
1) Unique Generic. Jadi, hal-hal yang unik sanggup dikatakan something.
Misalnya, apa yang dinamakan kedai dan kafe lokal. Hal-hal yang berafiliasi
dengan makanan dan pelanggannya berada pada ujung unik. Sedangkan gerai
rantai fast-food terang merupakan pola yang bersifat generik.
2) Local-Ties-Lack of Local Ties. Jika sesuatu itu mempunyai keterikatan dengan
komunitas lokal cenderung diasosiasikan dengan something, sedangkan
kurangnya ikatan semacam itu diasosiasikan dengan nothing.
3) Temporally Specific-Timeless. Segala sesuatu yang terikat dengan ruang, hal-hal
yang terikat dengan periode waktu tertentu cenderung menjadi something,
sedangkan yang terikat dengan waktu tertentu cenderung menjadi nothing.
4) Humanized-Dehumanized. Beberapa kegiatan yang banyak memuat interaksi
antarmanusia cenderung menjadi something, sedangkan yang kurang interaksi
dengan insan itu cenderung nothing, menyerupai konsep dehumanisasi.
5) Enchanted-Disenchanted. Rentangan ini cenderung mengumpulkan semua yang
sudah ada. Yang merupakan something cenderung mempunyai kualitas dan daya
“magis” yang memikat, sedangkan yang nothing lebih memungkinkan bersifat
tidak begitu memikat. Dengan demikian, makanan yang dibentuk sendiri oleh
ahlinya, memungkinkan akan lebih diminati dan menarik daripada makanan
yang sanggup dimasak dalam microwave untuk makan malam.

2.3. TEORI GLOKALISASI ROLAND ROBERTSON


Konsep globalisasi sendiri digagas oleh seorang pemikir sosiologi-agama
Roland Robertson dalam The Relativization of Societies: Modern Religion and
Globalization. Menurut Robertson (1985:8), globalisasi sebagai sebuah konsep
menjelaskan dua pokok persoalan yaitu pemampatan dunia dan intensifikasi
kesadaran manusia mengenai dunia ini sebagai suatu keseluruhan.
Robertson memberikan gambaran tentang “Glokalisasi: Waktu-Ruang dan
Homogenitas-Heteroginitas” dengan definisi semantik globalisasi yang dilihatnya
sebagai sebuah proses dan memiliki karakteristik yang jelas untuk melihat pokok-
pokok diskusi globalisasi. Dengan melihat globalisasi sebagai suatu proses dalam
arti untuk melihat dunia secara global. Robertson menunjuk bahwa umumnya
ilmuan-ilmuan sosial atau sosiolog lebih cenderung memposisikan budaya lokal
dalam posisi inferior terhadap budaya global yang dinaungi di bawah globalisasi.
Robertson berpendapat bahwa ketidakjelasan karakteristik dalam wacana
globalisasi secara sosiologis muncul di dari konsep globalisasi itu sendiri, dengan
demikian? Menawarkan untuk menggantikan pijakan yang nantinya bisa dipakai
untuk memberikan pandangan baru yang lain sebagai pembacaan atas kondisi
maupun dalam hal memposisikan budaya yang di tandai dengan kehadiran
globalisasi.
Pendekatannya pada globalisasi adalah kompleks, multidimensi, dan
sosiologis. Perspektifnya dalam karyanya Globalization: Social Theory & Global
Culture (1992) mengandaikan dunia sebagai sebuah kesatuan, keluar dari
pemisahan yang lazim antara global dan local serta antara umum dan khusus,
sehingga ia menampilkan ide baru tentang glokalisasi.
Jan Nederveen Pieterse mengungkapkan “Globalization can mean the
reinforcement of or go together with localism , as in “ Think globally act locally.”
(Jan Nederveen Pieterse :2004).
Kata Glokalisasi dalam kamus Oxford merupakan kata yang dibentuk atas
percampuran kata global dan lokal. Kata glokalisasi diadaptasi dari istilah pertanian
yang terdapat di Jepang yaitu dochaku yang artinya menghidupi tanah sendiri.
Berdasarkan pemikiran kaum post-modern glokalisasi memiliki pengaruh timbal-
balik antara budaya global dan budaya lokal (lokal) sehingga budaya global tidak
sampai menghilangkan budaya lokal, namun di sisi lain budaya global menyerap
unsur budaya lokal.
Bagi Robertson glokalisasi ialah bagaimana tema globallokal menjadi
pembicaraan yang menjadi fenomena saat ini. Glokalisasi adalah globalisasi karena
dalam globalisasi adalah percampuran dan keterhubungan antara yang lokal dengan
global. Globalisasi telah memunculkan secara kelanjutan interpenetrasi dari global
dengan lokal dan universal dengan lokal.
Menurut Roland Robertson (2001) unsur unsur yang penting dalam proses
glokalisasi antara lain:
Pertama, dunia sedang berkembang menjadi lebih pluralistis.
Kedua, para individu dan semua kelompok lokal memiliki kekuatan yang luar
biasa untuk beradaptasi, berinovasi, dan bermanuver di dalam sebuah dunia yang
mengalami glokalisasi.
Ketiga, semua proses sosial bersifat saling berhubungan dan bergantung satu
dengan yang lain.
Keempat: komoditas dan media tidak dipandang (sepenuhnya) koersif, tetapi
tepatnya menyediakan materi untuk digunakan dalam ciptaan individu atau
kelompok di seluruh dunia yang mengalami glokalisasi.
Ciri-ciri dari glokalisasi yang dimaksudkan oleh Robertson adalah sebagai
berikut:
1. Dunia sedang berkembang menjadi pluralis, menghargai kepelbagian dan
proses hibridasi.
2. Individu dan kelompok memiliki keunikan dan kekuatan.
3. Adanya saling ketergantungan dan keterhubungan yaitu partikular-universal
Bisa dibilang glokalisasi adalah efek dari globalisasi. Agar nilai-nilai global
yang biasanya berasal dari budaya barat dapat dengan mudah diterima dengan
mudah oleh masyarakat negara lain oleh karena itu kebudayaan tersebut disisipi
dengan nilai-nilai lokal sehingga terjadi semacam percampuran kebudayaan.
Salah satu contoh proses glokalisasi adalah Restoran McDonald’s yang
menyediakan burger dengan patty daging rendang yang merupakan makanan khas
Indonesia.

2.4. TEORI DISJUNCTURE TENTANG GLOBALISASI DARI ARJUN


APPADURAI
Asumsi dasar teori globalisasi menurut Appadurai ini adalah seperti yang
dikemukakan Appadurai (1996) dalam Ritzer dan Goodman (2008, 597-598)
bahwa arus global dan keterputusan di antara arus-arus tersebut. Appadurai
menyatakan bahwa globalisasi bukan hanya proyek homogenisasi. Appadurai
melihat perubahan yang tidak berlangsung secara liniear. Menurutnya, ada respon
lokal atau adaptasi secara lokalitas terhadap semua proyek keseragaman tersebut.
Respon itu, kemudian melahirkan sebuah bentuk heterogenitas. Adaptasi local ini
menyebabkan adanya variasi atau keberagaman dalam merespon suatu kebudayaan.
Ada lima arus global yaitu: ethnoscapes, tekchnoscapes, financescapes,
mediascapes, dan ideoscapes. Penggunaan sufiks –scape, membuat Appadurai bisa
mengomunikasikan ide bahwa proses-proses ini berbentuk cair, tidak teratur, dan
bervariasi. Hal tersebut seperti yang dikemukakan Appadurai berikut ini:
Yang lebih penting, arus-arus itu tidak secara objektif bukan relasi yang
tampak sama dari setiap sudut pandang visi, tetapi mereka dikonstruksikan secara
perspektival, diakibatkan oleh keadaan politis, linguistik, dan historis dari beraneka
aktor: negara-bangsa, multinasional, komunitas diasporik, serta kelompok dan
gerakan sub nasional... dan bahkan kelompok yang berhadap-hadapan secara
dekat... aktor individual adalah lokus terakhir dari serangkaian lanskap perspektival
ini, karena lanskap-lanskap ini pada akhirnya dikemudikan oleh agen-agen yang
mengalami sekaligus menyusun formasi yang lebih besar, terlepas dari pemahaman
mereka tentang apa-apa yang diberikan oleh lanskap tersebut (Appadurai dalam
Ritzer dan Goodman, 2008: 598).
Lebih jauh Appadurai dalam tulisannya yang berjudul “Disjuncture and
Difference in the Global Culture Economy” (1990) menyampaikan bahwa ada lima
lanskap dalam inti pemikiran Appadurai tentang globalisasi, yaitu
Pertama, ethnoscapes yang merupakan kelompok atau aktor yang selalu bergerak
seperti turis, pengungsi dan pekerja asing yang memainkan peran penting dalam
pergeseran-pergeseran di dunia yang ditempati. Ini melibatkan gerakan aktual dan
fantasi-fantasi tentang pergerakan. Lebih jauh, dalam dunia yang terus berubah
orang-orang tidak dapat membiarkan imajinasi mereka diam terlalu lama dan
karena itu harus menjaga fantasi-fantasi itu agar tetap hidup.
Kedua, technoscapes menurut Appadurai (1990) adalah konfirugasi global dari
teknologi dan fakta bahwa teknologi, baik teknologi tinggi maupun rendah, baik
yang mekanistik maupun informasional, kini bergerak dengan kecepatan tinggi
melintasi berbagai jenis batasan yang dulu ada.
Ketiga, financescapes ini melibatkan proses yang dengannya pasar, bursa saham
nasional, dan spekulasi komoditas menggerakkan uang melalui batas-batas nasional
dengan kecepatan tinggi.
Keempat, mediascapes yang menurut Appadurai (1990) adalah distribusi
kapabilitas elektronik untuk menghasilkan dan menyebarluaskan informasi (koran,
majalah, televisi, studio film), yang sekarang tersedia untuk kepentingan publik dan
swasta yang semakin banyak, dan... imaji dunia-dunia yang diciptakan oleh media
ini.
Kelima, ideoscapes seperti mediascapes, ideoscapes adalah serangkaian imaji
tetapi bersifat politis dan berhubungan langsung dengan ideologi negara dan
kontraideologi dari gerakan-gerakan yang secara eksplisit berorientasi untuk
merebut kekuasaan negara atau sebagian dari kekuasaan itu.
Menurut Ritzer dan Goodman ada dua hal yang secara khusus perlu dicatat
tentang lanskap Appadurai:
Pertama lanskap-lanskap itu dapat dilihat sebagai proses global yang
sebagian atau seluruhnya terlepas dari negara-bangsa manapun. Kedua, arus global
mengalir bukan hanya melalui lanskap tersebut tetapi juga semakin meningkat dan
melalui disjuncture di antara mereka... Yang lebih umum, pergerakan bebas dalam
beberapa lanskap mungkin bervariasi dengan penghalangnya. Studi-studi dalam era
ini harus disesuaikan dengan disjuncture tersebut dan implikasinya terhadap
globalisasi. Fokus pada lanskap dan disjuncture-nya membawa studi globalisasi ke
arah unik (Ritzer dan Goodman, 2008: 599).
Pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa globalisasi tidak hadir begitu
saja pada sebuah bangsa, tetapi dia mengalir pada bidang-bidang tertentu seperti
diuraikan oleh Appadurai dalam teori disjuncture -nya.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ritzer hendak mengatakan bahwa telah tumbuh sistem dan praktik
konsumsi dimana manusia berhubungan dengan instrumen-instrumen teknologi
non manusia dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Situasi interaksi yang
demikian, interaksi yang anonim, menjauhkan manusia dari interaksi yang
subyektif, face-to-face, dan langsung dengan sesamanya.
Roland Robertson melihat globalisasi dalam pertemuan antara yang lokal
dan global. Roland Robertson tidak melihat globalisasi sebagai sebuah bentuk
ancaman tetapi sebagai bentuk proses kompresi dunia yang tidak terhindarkan.
Asumsi dasar teori globalisasi menurut Appadurai ini adalah seperti yang
dikemukakan Appadurai (1996) dalam Ritzer dan Goodman (2008, 597-598)
bahwa arus global dan keterputusan di antara arus-arus tersebut. Appadurai
menyatakan bahwa globalisasi bukan hanya proyek homogenisasi.

3.2. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis berharap bahwa tulisan ini bisa
memberikan sedikit penjelasan mengenai teori para tokoh sosiologi modern
mengenai relasi global dan local dalam konteks globalisasi meski begitu, penulis
sadar bahwa banyak kekurangan dari penulisan makalah. Oleh karena itu, penulis
meminta kritik dan sarannya atas penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Appadurai, Arjun. 1990. “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”
dalam buku Theory, Culture, and Society. SAGE Publication. London, Newbury
Park and New Delhi.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern (Edisi
Keenam). Jakarta: Kencana Prenada Media.

Ritzer, George. 2007. The Blackwell Encyclopedia of Sociology. Massachusetts:


Blackwell Publishing.

Ritzer, George. 2010. Sociological Theory. New York: McGraw-Hill.

Robertson, Roland. 1985. The Relativization of Societies, Modern Religion, and


Globalization. Dalam T.Robbins, W.Shepherd, and J. Mc Bride (eds). Cut,
Culture, and The Law. Chicago, California: Scholar Press.

Suyanto, Bagong. 2005. Sosiologi Ekonomi Kapitalisme dan Konsumsi di Era


Masyarakat Post-Modernisme : Kencana Prenada Media Group

http://blog.unnes.ac.id/ayuherni/2015/11/08/globalisasi-dan-glokalisasi/

https://www.kompasiana.com/tuturaji/5528508af17e612a398b45a3/globalization-of-
nothing-globalisasi-kehampaan-sebuah-renungan-dari-george-ritzer?page=2

Anda mungkin juga menyukai