Anda di halaman 1dari 241

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/340087629

Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel

Book · July 2002

CITATION READS

1 2,170

3 authors, including:

Andreas Budi Widyanta


Universitas Gadjah Mada
45 PUBLICATIONS   21 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilan Dangku (KELOLA Sendang) Sumatera Selatan - The Zoological Society of London (ZSL) View project

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) & Kenari Indonesia Research View project

All content following this page was uploaded by Andreas Budi Widyanta on 22 March 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Problem J\lodermtas dalam Kerangka
Sosiologi Kebudayaan
Georg Simmel
Sanksi Pelanggaran Pasal 44 :
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang :
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak
Cipta Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1987.
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam
ayat 91), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/ a tau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
\.. juta rupiah.
PRoblEM ModERNiTAS DAIAM KERANGkA

Sosioloqi KEbudAyAAN

AB. Widyanta

Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas


bekerja sama dengan Yayasan Adikarya lkapi dan Ford Foundation
2002
Diterbitkan pertama kali, Desember 2002
oleh Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas
Jl. Dahlia C-176, Pogung Lor, MT I/ Rt 08, Yogyakarta 55284
Phone/ Fax.: (062) (0274) 523563
email: cindelaras_irgs@yahoo.com
ciregs@indosat.net.id.

Atas Kerjasama dengan


Yayasan Adikarya Ikapi & Ford Foundation

Copyright © 2002 Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas

Penyunting: Islah Gusmian & J. Sumardiyanto


Design Sampul: lwong
Tata Letak: Bambang Indratno

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Widyanta, A.B.
Problem modernitas dalam kerangka sosiologi
kebudayaan Georg Simmel/ oleh A.B. Widyanta. --
Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas 2002
208 hal. + xxxii; 15 x 21,5 em
Indeks
ISBN 979-9545-04-8

1. Sosiologi II. Judul


301

Dicetak oleh CPRC Yogyakarta, 2002


Pengantar Penulis

G eorg Simmel, seorang sosiolog dan filsuf Jerman yang


hidup di tahun 1858-1918, banyak disebut sebagai salah
satu the founding father sosiologi. Tulisannya yang sangat
luas (exstensive), penuh gaya (stylish), dan kuliahnya yang
cemerlang telah berpengaruh besar dalam disiplin sosiologi,
. meski tak setenar "Trinitas suci'': Karl Marx, Max Weber, dan
Emile Durkheim. Marjinalisasi Simmel dalam sosiologi, selain
akibat minatnya pada berbagai disiplin ilmu (filsafat, psikologi,
dan seni) juga karena tulisan-tulisannya yang tidak sistematis.
Betapapun kontroversialnya Simmel, sejumlah ilmuwan
sosial (Frisby, Levine, Lawrence, Weinstein, Nedelmann, dan lain-
lain) tetap saja tertarik menggali berbagai karyanya yang punya
kontribusi bagi pengembangan teori sosial kontemporer, terutama
analisisnya tentang fenomena-fenomena modernitas (maupun
postmodernitas). Khususnya berbagai dampak perkembangan
dua ranah modernitas: ekonomi uang dan metropolis. Simmel dinilai

Pengantar Penulis v
sangat intens dalam mencermati, mendiagnosis, dan mengkritisi
problematika kebudayaan modern seperti dampak-dampak sosial
dari kehidupan modern, kosmopolitan, dan kekhasan hid up ma-
syarakat urban.
Simmel yang menghabiskan hampir seluruh waktu
hidupnya dengan mengembara di rimba belantara modernitas
kota Berlin, telah menjadi saksi dari paradoks-paradoks moder-
nisasi Jerman. Modernisasi telah mengubah wajah Berlin menjadi
kota dunia (meb·opolis) dalam waktu relatif singkat. Berlin pun
berubah menjadi ruang yang subur bagi merajalelanya patologi
modernitas. Kemegahan dan kepengapan Berlin itulah yang
menjadi latar intelektual sekaligus "laboratorium" Simmel untuk
menyemaikan pemikiran kritisnya atas berbagai problem moder-
nitas.
Dalam berbagai karyanya seperti: On Social Differentiation,
The Philosophy of Money, The Metropolis and Mental Life, The Conflict
in Modern Culture, The Crisis of Culture dan The Problem of Style,
Simmel menteorisasikan modernitas. Ia memberi tekanan pada
perkembangan pesat dari ilmu, teknologi, pengetahuan obyektif
berikut diferensiasinya di satu sisi dan erosi budaya subyektif di
sisi lain.
Konflik dan krisis kebudayaan modern dilukiskan Simmel
dalam bentuk pemiskinan-subyektivitas yang disebut atrophy
(terhentinya pertumbuhan budaya subyektif) karena hipertroplzy
(penyuburan budaya obyektif). Perkembangan pesat budaya
obyektif yang dipacu oleh ekonomi uang telah berubah menjadi
tuan yang opresif dan ruang pemekaran individu pun semakin
terbatas. Hal itu menandai pergeseran rasionalitas alat menjadi
rasionalitas tujuan yang terungkap dalam adagium: "Uang adalah
Tuhan di jaman kita".
Unsur-unsur kebudayaan yang semestinya masuk di wila-
yah pengembangan budaya subyektif, ternyata secara massif
menekannya. Cultivated individualihJ kian jauh dari gapaian tatkala
mekanisme balance absorption of culture: form creation-objectivized
form-form appresiation tidak berfungsi. Perhatian Simmel pada
aktualisasi, perkembangan, pemekaran, dan penyelamatan indivi-

VI Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


dualitas manusia modern dari arus moder-nisasi semakin mem-
buktikan diri sebagai sosok intelektual yang kritis lagi humanis.
Sudah sepantasnya apabila sejumlah ilmuwan sosial
kontemporer menganggap Simmel sebagai proponen-represen-
tatif bagi teori sosiologi modern, khususnya sosiologi kebuda-
yaan.
Tidak mudah menelusuri teori kebudayaan Simmel dengan
basis sosiologinya. Sejumlah stigma tentang penulisannya yang
sangat ken tal dengan gay a esaistik, tidak sistematis, dan pluralisme-
metodologis semakin mengarisbawahi pernyataan di atas. Kendati
demikian, berbagai konsep, perspektif, teori, dan metodologi
Simmel tetap menyumbangkan kekayaan konseptual dalam
sosiologi.
Dengan menempatkan sosiologi sebagai "disiplin intelek-
tual-khusus" berikut subject matter yang khusus pula, Simmel
menggulirkan renewal of subject atas konsepsi masyarakat dan
individu. Ia menggeser titik tolak sosiologi dari konsep masyara-
kat menuju konsep interaksi sosial (hubungan dinamis resiprokal)
dari sejumlah individu dan kelompok yang berfungsi sebagai
kesatuan.
Dikerangkai prinsip regulatif global, ia mengedepankan
konsep sosiasi, yakni bentuk-bentuk dan pola-pola khusus di-
mana manusia saling bergaul dan berinteraksi. Menurutnya,
sosiasi merupakan lapangan studi yang utama ketika kita mem-
pelajari masyarakat. Konsep sosiasi semakin dipertajq.m Simmel
dalam karyanya How Society is Possible? Karya itu memuat
gagasan tentang a proritas sosiologis atau prioritas bentuk-bentuk
sosiasi: peran, individualitas, dan struktur yang disinyalir bebe-
rapa sosiolog (semisal Lichtblau) merupakan "babon" (induk)
dari sosiologi interpretatif. Tepat pada karya itulah basis per-
spektif sosiologis berlaku untuk pelacakan berbagai cara pandang
a tau pendekatan Simmel atas kebudayaan modern.
Selain menguraikan basis teori sosiologi, studi ini juga me-
maparkan berbagai pendekatan kebudayaan Simmel. Bila kita
mengacu pada karya Nedelmann (1991), Simmel memahami
kebudayaan modern tidak dari perspektif yang tunggal sehingga

Pengantar Penults Vll


teorinya pun tidak tunggal pula. Pluralitas teori Sirnmel disebab-
kan oleh cara-cara yang berbeda dalam mendefinisikan konsep
kebudayaan, mengkonseptualisasikan peran individu dalam
proses kebudayaan, maupun dalam prinsip-prinsip analitis ketika
ia menganalisis hubungan antara tingkat kebudayaan dan tingkat
individu.
Seperti diuraikan Nedelmann, pada pendekatan pertama,
kutub individu dikonseptualisasikan dalam sebuah pengertian
kreati11itas kebudayaan dan kebudayaan sebagai suatu sistim sosial.
Pada pendekatan kedua, individu-individu dianalisis dari sudut
pandang aktor-aktor sosial yang secara sadar mengkonsumsi
benda-benda kebudayaan, sedangkan kebudayaan dimaknai
sebagai lingkungan sosial, tempat proses-proses pertukaran
kebudayaan berlangsung. Sedangkan pendekatan ketiga, individu
dianalisis dalam peran mereka sebagai penerima obyek-obyek
kebudayaan dan kebudayaan dimaknai sebagai struktur sosial.
Guna menentukan prinsip-prinsip analitis yang tepat dan
mendasar, pada tipe pendekatan pertama mempergunakan
prinsip antagonisme (antagonism). Pada pendekatan kedua,
Simmel menggunakan prinsip ambivalensi (mnbimlence) untuk
mendefinisikan hubungan antara individu sebagai konsumen
kebudayaan dan lingkungan dunia kebudayaan. Sedangkan
untuk pendekatan ketiga, yang mendasarinya adalah prinsip
dualisme (dualism) yang bertanggung jawab atas tegangan-
tegangan antara individu sebagai penerima obyek-obyek
kebudayaan dan struktur kebudayaan. Versi pertama sebagai
model antagonisme kebudayaan (cultural antagonism). Versi kedua
sebagai model ambivalensi kebudayaan (cultural ambivalence).
Sedangkanversi ketiga sebagai model dari dualisme kebudayaan
(cultural dualism).
Melalui prinsipanalitis dan penggunaan model-model
tersebut, Simmel mampu mengidentifikasikan tiga persoalan
yang berbeda-beda dalam kebudayaan modern. Pendekatan
pertama, ia menunjuk konsep malaise kebudayaan (cultural malaise).
Pendekatan kedua, persoalan yang dikaji adalah subyektivisme
berlebihan (exaggerated subjectivism) atau ketidakbergayaan (style-

Viii Problem Modernitas Dalam Kerangka Soswlog1 Kebudayaan Georg Simmel


lessness). Sedangkan pendekatan ketiga, berkaitan dengan konsep
tragedi kebudayaan (tragedy of culture). Konsep terakhir ini
merupakan konsep Simmel yang paling terkenal.
Simmel telah terbukti banyak memetakan percabangan
proses formasi dan deformasi beraneka ragam kebudayaan; proses
dari bentuk dan perubahan bentuk kebudayaan modern. Studi ini
akan menguraikan lebih detail bagaimana analisis dan diagno-
sis Simmel atas problem modernitas itu telah menyumbang ba-
nyak bagi pengembangan sosiologi kebudayaan.

Pringgondani, 9 Juli 2002


AB. Widyanta

Pengantar Penulis ix
Ucapan Terima Kasih

P ada awalnya, karya ini merupakan skripsi yang diajukan sebagai


prasyarat formal untuk memperoleh gelar sarjana di Jurusan
Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada. Saya menyadari
bahwa karya tulis ini tidak akan dapat dihidangkan kepada pembaca
tanpa bimbingan dan kritik dari guru-guru saya: Mas Dr. Heru Nugroho,
Bapak Dr. J. Nasikun, dan Mas Drs. Hendri Restuadi, M.Si., kendati
tanggung jawab atas kekurangan karya tulis ini sepenuhnya berada pada
diri saya. Kepada mereka, saya menghaturkan terimakasih sebesar-
besarnya. Juga ucapan terimakasih saya haturkan kepada Bapak Drs.
Purwanto, SU, M.Phil. yang selama bertahun-tahun menjadi dosen wali
yang sa bar menyemangati say a untuk segera merampungkan karya tulis
ini. Tak lupa ucapan terimakasih saya haturkan pula kepada Bp Drs.
Purwanto, guru sosiologi di SMUN 6, yang telah mendorong dan
menyemangati saya untuk mendalami bidang studi sosiologi, melalui
metode belajar yang kontekstual.
Say a mengucapkan terimakasih juga kepada Mas Dr. St Sunardi,
yang dalam kepadatan tugasnya di Program Magister Ilmu Religi dan
Budaya, Universitas Sanata Dharma masih berkenan tidak saja
memberikan kata pengantar melainkan juga mengajak saya untuk
berdiskusi dalam beberapa kali pertemuan, mengoreksi dan mengkritisi
secara detail seluruh naskah buku ini. Sekali lagi, trimakasih atas
kerendahan hati dan kuatnya komitmen intelektual yang boleh saya
tauladani. Ucapan terimakasih say a sampaikan pula kepada Bung Islah
Gusmian dan Bung Sumardiyanto yang telah menyunting naskah skripsi
say a ini menjadi buku; dan juga Yayasan Adikarya Ikapi bersama Ford
Foundation yang telah menyokong penerbitan buku ini.
Untuk almarhum "Ibuku" Dr. M. Murniati, sosok puan yang
bersahaja, gigih, tegar dalam kesendirian hidupnya, saya haturkan
terimakasih ke haribaanmu atas petuah-petuah berharga yang telah lbu
berikan. Ibu, beristirahatlah dalam kesukacitaan-Nya! Juga, saya

Ucapan Terima Kasih XI


haturkan terirnakasih kepada "Ibuku" Ati-Masri Singarirnbun yang
kerap rnendorong saya untuk segera rnenyelesaikan karya tulis ini.
Kepada Oorn Dr. Francis W ahono, pribadi rnengagurnkan dalarn
banyak hal, terutarna contoh pribadi yang tak kenallelah rnenggulirkan
ide-ide dan praksis pernbebasan, tidak hanya untuk para petani tetapi
juga bagi berbagai kalangan rnasyarakat rnaupun kornunitas;
terirnakasih atas nasehat dan tauladan hid up yang boleh say a dapatkan.
Juga untuk ternan-ternan di Cindelaras Institute for Rural Empowerment
and Global Studies: Mas Barnbang, Mas Joko, Mas Toni, Kang Odong,
Mbak Yanti, Mbak Wiwis, Ning, Gito, Nina, Siane, Santi, Hadri, Ion,
Colin, Bowo Kenthus dan Cimeng, terirnakasih atas diskusi-diskusi yang
segar penuh keceriaan.
Untuk Kornunitas Sarnbung NaJar: Oorn Iyas, Nanang, Sigit,
Dodok llkocornoto", terirnakasih telah rnencairkan kebekuan-pikirku
dengan diskusi-diskusi yang "liar" bahkan anarkis". Untuk sahabat-
II

sahabatku di Fisipol-UGM: Totok-Nindito, Titis, Jati, Sundari, Tia,


Khoiron, Andri, Ikoen, Gepeng, dan Very yang selalu rnernbuat saya
gelisah untuk segera rnerarnpungkan karya tulis yang terbengkelai ini.
Kepada ternanku Dorni Savio, terirnakasih atas diksusi dan bantuan
terjernahannya; dan untuk Aris terirnakasih telah rnau rnengoreksi
naskah buku ini. Juga kepada Mas Rush Marzuki di Perpustakaan LIPI-
GatotSubroto Jakarta; Mas Slarnet dan Mas Hari di Perpustakaan Kolose
Santo Ignatius Kotabaru; serta Mas Bardi di Perpustakaan Serninari
Tinggi Kentungan, terirnakasih atas kerelaan berlelah-lelah rnencarikan
dan rnengkopi berbagai referensi yang saya butuhkan.
Kepada Eyang Satrohardjono dan seluruh Keluarga Besar
Balapan, terirnakasih atas cintakasih yang say a terirna selarna lebih dari
sepuluh tahun tinggal di Gatotkaca 5, tern pat karya tulis ini diperarn".
II

Untuk keluarga-kecilku: Oorn Iyas, Bulik Unik, Dik Ovi dan Dik Dite,
terirnakasih atas kehangatan dan keceriaan yang kalian ciptakan. Untuk
Kakak dan Adikku: Mbak Ning, Mas Sulis, Mas Toni, Mbak Ndari, Dik
Bowo, Denok Rina, Mas Hari, Sofyan, Dik Indras, Dik Utik, dan Dik
Cis, terirnakasih atas darnpingan, perhatian dan cinta kalian yang tulus
selarna ini untuk saya.
Akhirnya, saya rnernpersernbahkan buku ini kepada Bapak A.
Budi Santosa dan Ibu Coletta Sujatmi tercinta, yang telah rnenjadi korban
dari seluruh keliaran dan egoisrne-ku.
Pringgondani, 9 Juli 2002
AB. Widyanta

Xll Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologt Kebudayaan Georg Simmel


Kata Pengantar

Pemalsuan Manusia dengan Uang

U ang! Pada tahun 1970an Rhoma Irama pernah mengu-


mandangkan lagu "Rupiah" yang kemudian men-
jadi tenar bahkan sampai sekarang. Demi rupiah orang
bersedia apa saja. Bahkan konon orang bilang bahwa di samping
rupirzll, dua hallainnya yang terpenting dalam hid up adalah dult
dan fulus. Penemuan uang sebagai nilai dan alat tukar, kesediaan
orang untuk menggunakannya, kepercayaan orang akan uang
sebagai nilai pada dirinya, dan akhirnya pemujaan orang akan
uang, semua ini adalah hal-hal menarik yang menjadi perhatian
dalam filsafat uang khususnya setelah uang menduduki posisi
senn·al dalam realitas kemanusiaan. Filsafat uang bukanlah filsafat
tentang cara mencari uang melainkan tentang penelusuran asal-
usul ekonomi uang, konsekuensinya bagi hidup manusia, dan
cara menegakkan kembali kekuasaan manusia di hadapan hasil
ciptaannya sendiri, yaitu uang.
Sejauh ini, Georg Simrnel (1858-1918) banyak dikenal or-
ang terutama lewat pemikirannya tentang uang. Pemikirannya
yang lain kurang begitu diperhatikan. Bahwa Simrnel "hanya"

il:ata Pengantar Xlll


dikenallewat pernikirannya tentang uang, hal itu dapat dipaharni.
Ia "terseret" oleh bayang-bayang Marx yang juga berbicara
tentang uang. Simmel, dengan dernikian tidak lebih daripada pe-
lengkap dari pernikiran Marx. Dalam salah satu tulisannya "The
Capacihj of Present-day Jews and Christians to Become Free" (1843),
kita menemukan gagasan segar Marx tentang uang. Nadanya
seperti lagu "Rupiah" Oma Irama. Uang, katanya, adalah "Tuhan
pencemburu dari bangsa Israel" (the jealous god of Israel). Tak ada
tuhan lainpun boleh ada di hadapan dewa uang, tambah Marx.
Ungkapan Marx ini, tentu saja, mengingatkan kita pada Kitab
Suci Perjanjian Lama. Seperti kita ketahui, hubungan antara or-
ang-orang Yahudi dengan Tuhan sering diibaratkan seperti
hubungan antara dua kekasih. Orang Yahudi sering mendapatkan
hukuman dari Tuhan mereka, karena mereka selingkuh dengan
berbagai dewa. Kini, Marx mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan
agar.diabdi dengan sepenuh hati ini diambil alih oleh uang. Ya,
ibarat kekasih, uang adalah kekasih yang pencemburu, bahkan
amat pencemburu: tak ada kekasih lain yang boleh berdiri di
antara manusia dan uang. Uang sudah menjadi dewa. Tentu Marx
tidak sedang berbicara tentang teologi atau tafsir Kitab Suci.
Ungkapan itu hanya mengawali hipotesa yang berbunyi derni-
kian: "Uang menurunkan derajat semua Tuhan (the gods of man-
kind)- dan mengubah mereka menjadi komoditas. Uang merupa-
kan nilai dari segala sesuatu (value of even;thing) yang bersifat
umum dan tidak membutuhkan nilai-nilai lainnya (self-sufficient).
Oleh karena itu uang telah merampas nilai sesungguhnya dari
seluruh dunia, baik dunia manusia maupun dunia alam. Uang
adalah esensi terasing dari kerja dan hidup manusia, dan esensi
ini menguasai dirinya saat dia memujanya" .1

1 "Money is the jealous god of Israel before whom no other god may exist Money de-
grades all the gods of mankind -and converts them into commodities. Money is the general,
self-sufficient value of evenjthing. Hence it has robbed the whole world, the human world as well
as nature, of its proper worth. Money is the alienated essence of man's labor and life, and this alien
essence dominates him as lu: worship it." K Marx, Writings of the Young Marx, 246.

XIV Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Seperti tampak dalam judulnya, buku yang Anda pegang
ini berbicara ten tang sosiologi budaya sebagaimana dirintis oleh
Georg Simmel. Penulis buku ini baru membahasnya secara khu-
sus pada bab tiga. Namun, sejak halaman-halaman pertama kita
sudah bisa merasakan bahwa sosiologi Simmel akan bermuara
pada sosiologi budaya. Bab pertama membahas riwayat hidup
dan karya-karyanya (suatu bab yang memberi orientasi solid
untuk berdialog dengan sosok pemikir seperti Simmel yang pe-
nuh bakat dan minat) dan bab kedua berbicara tentang meto-
dologi atau- menurut istilah saya- profil sosiologi Simmel (suatu
bab yang bisa melelahkan pembaca namun tidak bisa tidak musti
dibaca). Seperti baru saja saya sebut, Simmel adalah sosok pemikir
yang penuh bakat dan minat. Dia bukan hanya menghasilkan
tulisan-tulisan di bidang sosiologi (yang waktu itu sedang dalam
masa formatifnya) melainkan juga di bidang etika, filsafat, psi-
kologi, dan seni. Kalau penulis buku ini membatasi diri pada tema
sosiologi, hal ini bukannya tanpa risiko. Di situlah titik kritis
(dalam arti yang sesungguhnya: terbuka untuk dinilai dan
menilai) dari buku ini. Maklum, karena penulis harus siap berdiri
di wilayah batas antara sosiologi dan ilmu-ilmu lainnya (etika,
filsafat, psikologi, dan bahkan estetika). Penulis menyadari hal
itu walaupun dia belum memasuki wilayah-wilayah ini.
Sejauh saya tahu, buku ini adalah buku pertama dalam
literatur Indonesia yang membahas pemikir dari Jerman ini dari
perspektif epistemologis. Bahkan, seperti penulis amati, di Barat
pun nama Simmel terkesan dianaktirikan. Namanya tenggelam
di balik para pendiri sosiologi klasik seperti Max Weber, Karl
Marx. Meskipun demikian, nilai buku ini jangan hanya diukur
dari segi kelangkaannya. Buku ini sebaiknya tidak dinikmati
sebagai "barang baru" dalam sosiologi melainkan barang lama
yang dipersoalkan secara baru.
Baru beberapa dekade terakhir ini nama Simmel menjadi
perhatian sejumlah sosiolog kontemporer. Saya sendiri termasuk
orang yang tidak pernah .peduli dengan nama Simmel. Penge-
tahuan saya tentang orang ini hanya sebatas pada nama dan,
seperti saya singgung di atas, kaitannya dengan uang (misalnya

Kala Pengantar XV
kalau membaca tulisan Lukacs, Berger, dan Giddens). Hanya
karena rasa ingin tahu dan kesediaan untuk belajar, saya dengan
senang hati dan merasa terhormat memberikan kata pembukaan
buku yang unik ini. Untuk itu secara berturut-turut saya akan
meninjau sosiologi Simm.el, sosiologi budaya, kritik atas Sirrunel,
dan akhirnya relevansi buku semacam ini untuk kita sekarang di
Indonesia.
Seperti halnya para pendiri sosiologi klasik, Simmel juga
banyak bergulat dengan kedudukan keilmuan sosiologi itu sendiri
-:suatu ilmu yang sekarang sudah mapan dan terlembagakan.
Persoalan ini bisa diungkapkan dengan pertanyaan: bagaimana
sosiologi itu mungkin? 2 Dalam pertanyaan ini sudah terkandung
dua pertanyaan dasar: obyek macam apa yang musti dipelajari
oleh sosiologi dan dengan cara bagaimana sosiolog memahami
obyek tersebut. Persoalan ini tentu mengingatkan kita pada
pemikiran Kant yang mencari syarat-syarat kemungkinan sebuah
ilmu pengetahuan. Memang, dalam sosiologinya, Simmel mene-
rapkan pendekatan Kant. Dalam teorinya, Kant mengatakan
bahwa pengetahuan adalah hasil dari sintesa kategori a priori dan
pengalaman. Demikian juga Simmel mempunyai tiga aprioritas
(apriorities) dalam sosiologi. Tiga kategori meliputi: "gambaran
tentang orang lain yang diperoleh seseorang lewat kontak per-
sonal berdasarkan distorsi tertentu" 3, ("setiap unsur dari suatu
kelompok bukan hanya merupakan bagian sosietal melainkan le-
bih daripada itu") 4, dan "masyarakat adalah sebuah struktur yang
terdiri dari unsur-unsur yang tidak imbang". 5 Dengan ketiga
aprioritas inilah kita memahami gejala sosial dan akhirnya akan
mewarnai apa yang kita sebut the social. Ketiga aprioritas ini
merupakan bentuk-bentuk sosiasi (forms of sociation). Oleh karena
itu sosiologi Simmel termasuk sosiologi formal (sejajar dengan

2 G. Simmel "How Is Society Possible" dim. Maurice Natanson, ed. Philosophy of the So-
cial Sciences. A Reader, N.Y. Random House, 71-92..
3 Ibidem, 78.
4 Ibidem, 82.
5 Ibidem, 87.

XVi Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


filsafat transendental Kantian) atau fenomenologis (sosiologi yang
lebih memusatkan pada gejala sosial sekalipun tidak mengingkari
adanyahal yang lebih esensial, yaitu pribadi). Dengan pendekatan
ini Simmel ingin mengatasi dua cara ekstrim memandang masya-
rakat: individu danmasyarakat. Dia mengambil jalan tengah. Dia
menemukan bahwa apa yang kita sebut masyarakat adalah in-
teraksi atau, menggunakan istilah kuncinya, sosiasi (sociation).
Masyarakat yang mesti menjadi kajian sosiologi tidak terletak
pada subyek, juga tidak pada totalitas sosial, melainkan pada
bentuk-bentuk hubungan. Keluarga, misalnya, tidak lain adalah
kristalisasi dari interaksi dari individu-individu. 6 Masyarakat
sern:acam ini merupakan hasil pertautan antara bentuk-bentuk
apriori dengan gejala sosial. Masyarakat berarti proses menjadi
masyarakat. Tugas sosiologi adalah menganalisa asal-usul ben-
tuk-bentuk interaksi sosial dan perkembangannya. Atau, lebih
tepat, menganalisa cara bekerjanya kategori-kategori tersebut
dalam masyarakat tertentu. Perlu saya tambahkan di sini bahwa
obsesi Simmel sebenarnya terletak pada dengan cara apa seorang
individu masuk ke dalam interaksi sosial dan sampai sejauh mana
dia menyerahkan dirinya ke dalam masyarakat. Dia berasumsi
bahwa seseorang mempunyai - seperti dikatakan dalam buku
ini- nucleus individualitas. Jadi sekalipun dia berbicara tentang
interaksi sosial dan atau sosiasi, dia tidak ikhlas seorang pribadi
direduksi dalam hubungan sosial.7 Dalam masyarakat modern,
budaya uang adalah salah satu faktor yang mempercepat seseo-
rang kehilangan dirinya sendiri dalam interaksi sosial atau pro-
duksi.
Pada akhirnya, Simmel tetap memusatkan perhatiannya
pada manusia, pada individu. Kalau dia melanglang sampai
dunia sosiologi, hal itu pada akhirnya dia ingin memeriksa in-

6Nicholas Abercrombie et.al., Dictionan; of Sociology, 221.


7Tidaklah mengherankan kalau dikatakan bahwa jarak sosiologi Simmel dengan
Tunenberg (seorang positivis tulen) berjarak ribuan tahun cahaya (light-years away)!
Maurice Natanson, ed. Philosophy of the Social Sciences. A Reader, N.Y. Random House,
30.

Kata Pengantar XVll


teraksi sosial --masyarakat-- di mana budaya modern tumbuh,
menguasai, dan dipuja-puji oleh sang penciptanya sendiri.
Simmel menggolongkan persoalan budaya modern menjadi tiga
macam: tragedi budaya, malaise budaya, dan subyektivisme-
obyektivisme yang berlebihan. Dengan ketiga hasil pengamatan-
nya ini, Simmel sebenarnya sudah merupakan salah seorang
pelaku diagnosis (kategori dalam ilmu sosial-kemanusiaan yang
kini digemari banyak orang) atas masyarakat modern. Tragedi
budaya adalah saat manusia sebagai individu ditelan oleh hasil
ciptaannya sendiri, saat manusia sebagai khalik ditelan oleh
makhluk. Gejala ini disebut tragedi, karena persoalannya tidak
bisa diselesaikan dengan memilih antara bertahan menjadi khalik
maupun menjadi makhluk ciptaan masyarakat. Kita harus bisa
bertahan berada dalam keadaan tarik-ulur. Keadaan itu sudah
menjadi kondisi konstitutif manusia. Gejala untuk menelan ini
sudah inheren dalam budaya modern. Jadi, budaya modern men-
siratkan sebuah tragedi dalam arti bahwa di dalamnya sudah
terkandung logika untuk memerangi manusia --asal-usul budaya.
Hal ini juga yang diperdebatkan oleh orang-orang seperti Alfred
Schutz.8
Dua alinea di atas bisa menjadi alasan teoretis tentang keti-
dakberdayaan manusia untuk tidak mereifikasi ciptaannya
sendiri termasuk uang. Mengikuti ucapan Lukacs, yang banyak
menggunakan pemikiran Simmel, ekonomi uang berhasil mencip-
takan "ungkapan-ungkapan kosong dari landasan kapitalis nyata
dan membuatnya mandiri dan abadi dengan memandangnya
sebagai model hubungan manusia yang mengatasi ruang dan
waktu". 9 Dengan kata lain, ekonomi uang mempercepat reifikasi
hubungan kemanusiaan karena uang bisa memformalisasikan
substansi hubungan antar manusia yang sebenarnya. Dengan
demikian pemikiran Simmel tentang uang bisa menjadi penjelas-

8 A. Schutz "Concepts, Constructs, and T1teory Formation", 340.


9 G. Lukacs (1968), History and Class Consciousness, THE MIT Press, 95.

XViii Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


an alternatif bagi keterasingan yang selama ini didominasi oleh-"
teori surplus nilai Marx.
Di atas kita melihat bahwa menurut Simmel masyarakat
adalah struktur yang terdiri dari unsur-unsur dan setiap unsur
dari suatu kelompok bukan hanya merupakan bagian sosietal
melainkan lebih daripada itu. Apa yang dapat kita katakan ten-
tang pendapat semacam ini. Dari satu sisi, Simmel meneliti sosiasi
(masuknya seorang individu dalam interaksi sosial), dari sisi lain
dia memperingatkan bahwa sosiasi ini tidak pernah bisa mengha-
biskan seorang individu. Akan tetapi, kalau kita tinjau dari kajian-
kajian masyarakat yang berkembang sampai sekarang, mengapa
Simmel justru memilih bertanya "how is society possible?" Dengan
pertimbangan bahwa eksistensi individu tidak pernah habis
secara sosial, sebenarnya secara implisit Simmel sudah membuka
ruang kritis dalam "wlzy is sociehj impossible?". Menurut saya,
pertanyaan ini tidak pernah dieksplisitkan oleh Simmel karena
dia sendiri masih hidup dalam alam pemikiran Kantian atau
(dengan menggunakan pendekatan selanjutnya) fenomenologis.
Kini orang berbicara tentang kemustahilan masyarakat1 Cara °
melihat masyarakat semacam ini hendak menggarisbawahi sifat
kesementaraan masyarakat yang terus menerus berubah, ber-
geser. Cara pandang ini memberi keuntungan tersendiri karena
obsesi orang tidak lagi diarahkan pada keapaan masyarakat a tau
aspek keajegan dari masyarakat melainka:n justru pada hubung-
an-hubungan yang sifatnya labil. Simmel sendiri sudah mengata-
kan bahwa "masyarakat adalah sebuah struktur yang terdiri dari
unsur-unsur yang tidak imbang". Hanya saja dia belum mema-
suki persoalan ketidakseimbangan ini dalarn kerangka pikir
sosiologis yang sedang dibelanya. Di tempat lain dia mengatakan
bahwa rnasyarakat adalah "struktur yang terdiri dari orang-or-
ang yang berdiri di dalam dan sekaligus di luar struktur" .11 Seka-

10 Pandangan ini dapat kita saksikan dalam salah satu artikel singkat Emesto Laclau
"The Impossibility of Society" dalam Arthur & Marilouise Kroker, ed. (1991). Ideology and
Power in tilt' Age of Lenin i11 R11i11s, Monreal: New World Perspectives, 24-27.
11 G. Simmel. op.cit., 84.

Kala Pengamar xix


lipun begitu, pandangan Sirnmel tetap lebih tercurah ke arah or-
ang,-orang yang berada dalam masyarakat daripada yang
"tumpah" di luar struktur masyarakat. Cara manusia berada di
luar kurang mendapatkan perhatian sewajarnya oleh Sirnmel.
Formasi sosial. Perdebatan bisa dilokalisasi ke bidang-bidang dan
hal-hal yang mempengaruhi formasi sosial. Logika masyarakat.
Sirnmel sendiri tidak yakin apakah tulisannya ini bisa disebut
sosiologi (sociology proper) atau filsafat sosial (social philosophy).
Rupanya dia lebih cenderung menyebutnya dengan nama yang
. kedua atau --kalau boleh saya sebut-- pra-sosiologi (sejauh kata
"pra" diartikan seperti pra-diskursif dalam arti Foucauldian). Ca-
tatan kedua yang bisa kita berikan pada Simmel tentu saja
berkaitan dengan status tiga aprioritas. Bagaimana munculnya
tiga apriorities dijelaskan secara sosiologis? Kalau konsisten de-
ngan pendapatnya sendiri, Sirnmel seharusnya mempertanyakan
ketiga kategori tersebut. Bukankah ketiga kategori tersebut juga
merupakan bentuk sosial? Di sinilah letak keterbatasan pemikiran
Sirnmel. Meskipun demikian, pandangannya tentang interaksi
masih menarik untuk dipertahankan. Dalam banyak hal, dia
sudah melihat banyak hal yang kini mulai dibicarakan dalam ling-
kungan ilmu sosial-kemanusiaan. Sirnmel tidak meneruskannya,
tidak mengelaborasinya karena dia terikat pada "proyeknya"
pada jamannya: mencari status keilmuan sosiologi. Tidak meng-
herankan bahwa bahkan dia sudah ragu-ragu apakah tulisannya
masih bisa disebut sosiologi beneran (sociologt; proper) a tau filsafat
sosial (social philosophy). Yang tepat kiranya, seperti disebut
Sirnmel sendiri, adalah epistemologi sosiologi. Dia terus menulis
sosiologi sementara obsesinya pada manusia yang tidak pernah
bisa dihabiskan dalam the social dia tuangkan lew at etika, estetika,
psikologi, dan filsafat.
Kehadiran teks tentang Sirnmel ini bisa mengundang kita
untuk melanjutkannya dengan pengalaman kita masing-masing.
Begitu kita memasuki buku ini, kita melihat banyak ruang yang
musti kita isi sendiri. Ada tiga ruang menurut saya bisa diciptakan
oleh teks ini. Pertama berkaitan dengan kedudukan uang dalam
hubungannya dengan manusia itu sendiri. Kita butuh kajian-

XX Problem Modernitas Dalam Kerangko Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


kajian untuk mengambil jarak dengan uang atau menunjukkan
hubungan an tara manusia dan uang. Kita butuh wacana a tau teks-
teks yang bisa mengantar kita pada kesadaran bahwa reifikasi
lewat uang tidak lain adalah pemalsuan man usia lewat uang. Uang
telah menciptakan situasi di mana sosiasi - meminjam istilah
Simmel- reifikasi absolut. Kita butuh teks atau wacana tentang
gejala sosial yang bisa memotong reifikasi absolut terse but. Gejala
sosial ini misalnya berupa kasus pemalsuan uang. Beberapa tahun
yang lalu (kalau tidak salah tahun 1997) ada seorang buruh pabrik
tekstil di daerah Bawen (Semarang) yang mendapatkan uang
palsu (puluhan ribu) saat dia menerima gaji dari pabrik itu. Dia
sadar saat dia hendak membayar di sebuah warung di sekitar
situ. Dia kembali ke pabrik dan melaporkan musibah tersebut.
Pengaduannya tidak diterima karena alasan prosedural yang
sudah ditetapkan oleh Bank. Karena kesal dan marah, tidak ada
jalan lain kecuali menumpahkan kekesalan dan kemarahannya
dengan menyobek-nyobek lembaran-lembaran puluhan ribu
seperti bungkus tahu goreng yang ia makan saat dia istirahat kerja.
Itulah kisah "biasa" dalam kehidupan sehari-hari kita dan
barang kali di antara kita sudah pernah mengalaminya. ltulah
saat di mana seorang individu sebagai anggota masyarakat
merasa berhak untuk menjadi seorang pribadi dengan hak-hak-
nya yang absolut. Bagi buruh malang itu, kertas yang ada di
tangannya tidak menjadi nilai tukar yang diberikan pabrik atas
jerih payahnya selama berhari-hari. "Uang" yang ada di tangan-
nya tidak mewakili tenaga, hasil produksi, dan sebagian
hidupnya. Dia sudah bersedia masuk kedalam hubungan produk-
si dengan --menggunakan istilah Simmel-- sebagian self-nya. Akan
tetapi ada bagian lainnya yang tidak pernah bisa dihabiskan
dalam hubungan produksi: dia adalah seorang manusia yang
bagaimanapun berhak atas jerih payahnya. Kisah tentang buruh
malang ini sebenarnya hanya merupakan salah satu bentuk kisah
kecil dari wajah ketidakadilan jaman ini yang ditimbulkan dari
sistem uang. Memang tidak mungkin kita mundur ke sistem tukar
pra-uang. Akan tetapi adalah absurd kalau sejarah kemanusiaan
ini tidak menemukan ukuran-ukuran lainnya bagi manusia atau

Kata Pengantar XXl


kelompok manusia. Absurd karena, seperti pernah dikritik pedas
oleh PM Malaysia Mahatir Mohamad, dalam sistem ini ada or-
ang yang pekerjaannya hanyak menikmati hasil kerja orang lain,
yaitu kerja yang disimbolkan dengan uang.
Pelajaran kedua yang bisa kita tarik dari buku ini adalah
soal keberanian memulai sesuatu yang baru sekalipun itu tidak
lazim. Bersamaan dengan periode masyarakat kita yang ditandai
dengan boom di bidang penerbitan, kita sebaiknya tidak hanya
memperkenalkan buku-buku "babon" (buku sumber) yang sela-
ma ini hanya kita sebut pengarang a tau judulnya (Hegel, Marx,
Gramsci, Saussure, dan sebagainya). Kita butuh juga tulisan-tuli-
san terabaikan seperti karya-karya Simmel yang tidak lagi dapat
kita pungkiri nilainya dalam sejarah perkembangan ilmu sosial.
Semakin banyak referensi niscaya kita akan semakin kreatif dan
kritis dalam mengunyah karya-karya yang sudah ada. Sebetulnya
masih banyak nama yang perlu kita telusuri yang bisa memper-
dalam pengembangan wacana teoretis ilmu sosial kita. Kita semua
akrab dengan nama Gramsci. Teorinya tentang hegemoni yang
diperkenalkan oleh Althusser melalui konsepnya tentang ISA
(Ideological State Apparatuses) terus-menerus direproduksi. Bahkan
kadang-kadang kita tidak sadar bahwa kita sedang melakukan
sesuatu yang persis sedang dikritik oleh apa yang kita tulis: pro-
duksi dan reproduksi mengikuti ideologi dominan. Ini soallain,
memang, karena ini menyangkut penilaian atas perkembangan
wacana teoretis sosial kita. Hanya saja, gejala semacam ini hanya
menunjukkan adanya insensitivity atas apa yang sedang kita
lakukan. InsensitivihJ ini --menurut hemat saya-- menunjukkan
kedangkalan komunikasi kita melalui wacana teoretis yang kita
jalankan. Kita sering mengabaikan- bahkan barangkali tidak tahu
- bahwa seluruh proyek yang dilakukan Gramsci tidak bisa dile-
paskan dari cita-citanya untuk melakukan reform moral dalam
masyarakat Italia - termasuk moralitas para intelektual. Reform
moral ini sudah dimulai oleh Benedetto Croce, guru dan salah
satu inspirator terpenting Gramsci. Maksud saya, pemikir seperti
Croce semestinya sudah menjadi bagian tak terpisahkan kalau

XXll Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


kita berbicara tentang hegemoni Gramscian seperti halnya Simmel
kalau kita berbicara tentang reifikasi atau ilmu sosial kritis.
Akhirnya, pelajaran ketiga dari buku ini tidak lain adalah
sosok pribadi Simmel itu sendiri. Say a bahkan sempat menyaran-
kan pada penulis buku ini supaya tidak berhenti di sini. Alangkah
baiknya buku ini diteruskan dengan semacam biografi intelektual
Simmel terutama dengan memperhatikan interaksinya dengan
para pemikir zamannya. Seperti sudah disebut di atas, Simmel
adalah sosok seorang pemikir multi minat dan bakat. Sosok sema-
cam ini bisa membantu kita untuk menerangi berbagai kebuntuan
yang ditimbulkan oleh gejala reifikasi ilmu-ilmu sosial-kemanu-
siaan itu sendiri. Seperti sudah dilakukan oleh penulis buku ini,
untuk memahami pemikiran Simmel kita harus ikut menjadi "a
potential wanderer". Setiap zaman pasti mempunyai karakter pa-
ten tial wanderer. Dengan berdialog dengan Simmel, barangkali kita
bisa lebih sensitif atas karakter ini yang ada dalam komunitas
intelektual kita di Indonesia. Bukan hanya komunitas intelektual
di Indonesia zaman ini melainkan di masa lalu ,sebuah masa yang
merasa iri karena belum disentuh oleh historiografi ilmu sosial-
kemanusiaan.

St. Sunardi
Program Magister
llmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta

Kata Penganlar XXlll


Daftar lsi

Halaman

Kat a Pengantar Penulis ....... ...... ... ........... ........................ ..... ... ...... .. .. . v
Ucapan Terima Kasih ......................................................................... xi
Kat a Pengantar St Sunardi ....... .. .. ... ...... .......... .. .. .... ........... ..... ... ....... xm
Daftar lsi .......................................................................... ........... ......... xxv
Glossary ............................................................................................... xxix

BAB I. PENDAHULUAN 1
A Melacak Teori Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel ............... 5
B. Georg Simmel dalam Tradisi Kritik Sosiologi atas Modernitas 9
C. Metodologi Penulisan .... ....... ....... .. .. .... .... ...... ....... .. .. ......... .. .. ... ... .. 25
D. Relevansi Wacana Simellian ......................................................... 26

BAB II. BIOGRAFI INTELEKTUAL GEORG SIMMEL 31


A Riwayat Hid up Georg Simmel........................................................... 33
B. Berlin: La tar Sosial dan Intelektual Georg Simmel ................... 38
1. Situasi Sosial-Politik Global Jerman Raya ................................ 38
2. Kiprah Simmel di Belantara Modernitas Kota Berlin ...... .. ..... 43

Daftar lsi XXV


Halaman

C. Karya-Karya Simmel............................................. .......................... 48


1. Buah Berbagai Orientasi ........ ... ... ... .. ....... .. .. .......... ... ... .. ... ........ .. 48
2. Bibliografis .. .. .. ... .. .. ... .. .. .. ... .... ... ... ... .. ... ....... .. ... ...... ...... ... ............. 52
D. Warisan Intelektual Tokoh ........................................................... 55
1. Gottfried Wilhelm Liebniz: Teori Monadologi ....................... 56
2. Herbert Spencer: Teori Evolusi ................................................. 58
3. Immanuel Kant: Teori Aprioritas ............................................. 60
4. Georg Wilhelm Friederich Hegel: Analisis Dialektis ............. 62
5. Karl Marx: Teori Alienasi ............................................... 63
6. Friederich Nietzsche- Henri Bergson: Filsafat Hid up........... 65
E. Dampak Pemikiran Simmel ................................. ........................ 67

BAB III. KERANGKA TEORI SOSIOLOGI GEORG SIMMEL 73


A. Georg Simmel dan Pengembangan Sosiologi di Jerman ......... 75
B. Sosiologi Sebagai Disiplin Khusus dan Independen ................. 81
1. Konsepsi Masyarakat dan Individu ............. .... ..... .. ................. 81
2. Sosiasi: Persoalan Khusus dalam Sosiologi Simmel .............. 86
3. Sifat Abstrak Sosiologi: Representasi Prinsip-pinsip
Strukturasi Simmel. .......................................................... .......... 93
4. Sosiologi Sebagai Suatu Metode: Kesalingterkaitan Berbagai
Fenomena .. .. .. ... .... .. .... .... .. .. ... .. .. ... .. ....... .. ... .. .. .... .. .... .... ... .. ..... .... .. 97
C. Metode Sosiologi Simmel ...................................... ....... ................. 99
1. Metodologi a tau Car a Pandang7 .................... .............. ............ 99
2. Abstraksi, Prosedur Indukhf, dan Mikro-Makro Sosiologi ... 101
3. Signifikansi How Society is Possible?..................... ................ 104
D. Menggerinda Sosiologi Kebudayaan Simmel ........................... 110

BAB IV. INDIVIDU, MASYARAKAT, DAN TIGA PROBLEM


MODERNITAS: SKETSA SOSIOLOGI KEBUDA YAAN
GEORG SIMMEL 117
A. Representasi Tesis Nedelmann .................................................... 119
B. Tiga Model Pendekatan Simmel....................................................... 122
1. Antagonisme Kebudayaan: Pencipta Versus Sistem Sosial ... 122
2. Ambivalensi Kebudayaan: Konsumen Versus Pasar .......... 126
3. Dualisme Kebudayaan: Resipien Versus Struktur Sosial.......... 135
C. Tiga Problem Modernitas Menurut Diagnosis Georg Simmel.. 141

XXVI Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosrolog1 Kebudayaan Georg Simmel


Halaman

1. Malaise Kebudayaan: Individualisasi ....................................... 141


2. Subyektivisme dan Obyektivisme Berlebihan ........................ 147
3. Tragedi Kebudayaan ................................................................... 151
D. Diagnosis Simmel dan Potensi Terapi Budaya .......................... 154

BAB V. EPILOG: GEORG SIMMEL DAN CETAK BIRUTEORI


SOSIAL-LINTAS BAT AS 159

Lampiran 1 :Karya-Karya Georg Simmel dalam Urutan Tahun ............... 179


Lampiran 2: Karya-Karya Simmel (dalam Jurnal dan Buku) ................ 180
Lampiran 3 : Karya-Karya tentang Georg Simmel ........... ..................... 183

Daftar Pus taka ................................................................................... . 189


lndeks .................................................................................................. . 199
Tentang Penulis ................................................................................. . 207

Daftar ls1 xxvn


I
II
II
II
II
I
Glossary

Atroplti
Terhentinya pertumbuhan budaya subyektif individu sebagai akibat
dari pertumbuhan budaya obyektif yang semakin luas dan subur
(hipertrophy).
Balanced absorption of cultm·e
Konsep dari Simmel tentang pola-pola mekanisme pemberdayaan diri
subyek, dengan cara mengolah dan menginternalisasi budaya obyektif
secara seimbang. Penyerapan budaya obyektif yang seimbang dapat
berfungsi sebagai perangkat subyek untuk menciptakan substansi
kepribadian yang terolah/ termekarkan (wltivated individual).
Cultural antagonism
Model pendekatan dari Simmel untuk memahami individu dan
kebudayaan, yang didasarkan pada konsepnya tentang perlawanan
antara bentuk (form) dan hidup (life). Menurut model pendekatan ini,
individu dimaknai sebagai pencipta (creative potential) sedangkan
kebudayaan dimaknai sebagai sistem sosial (bentuk-bentuk kebudayaan
yang ditransformasikan ke dalam sistem sosial yang akhirnya bersifat
otonom).

Glossary· xxix
Cultural ambivalence
Model pendekatan dari Simmel yang mengkonseptualisasikan individu
sebagai konsumen dan kebudayaan sebagai pasar. Sebagai aktor,
individu memiliki orientasi tindakan ambivalen yakni sebagai
konsumen kebudayaan di satu sisi, dan di sisi lain sebagai pelaku aktif
dalam menjalin hubungan dengan unsur-unsur dalam lingkungan
kebudayaannya. Sedangkan kebudayaan di satu sisi dimaknai sebagai
wilayah pasar -sebuah tempat di mana proses-proses pertukaran
kebudayaan berlangsung- dan di sisi lain dimaknai sebagai wilayah
dimana individu menunjukkan kemampuan dalam memenuhi tugas
gandanya, (subyektivitas sosial).
Cultural dualism
Model pendekatan dari Simmel, dimana individu dianalisis dalam peran
mereka sebagai penerima obyek-obyek kebudayaan (recipient)
sedangkan kebudayaan dimaknai sebagai struktur sosial. Pendekatan
ketiga ini didasari oleh prinsip dualisme (antara budaya subyektif dan
budaya obyektif), sehingga dapat disebut sebagai dualisme kebudayaan.
Cultural Malaise
Salah satu bentuk problem modernitas yang digambarkan Simmel --
dalam kerangka pendekatan cultural antagonism (life vs form)- sebagai
suatu keterputusan antara daya kebudayaan dan sistem/ institusi
kebudayaan yang disebabkan oleh individualisasi kreativitas kebudaya-
an. Problem ini bisa juga disebut problem individualisasi.
Cultivated individuality
Konsep dari Simmel tentang kapasitas unik manusia untuk
menyempurnakan kepribadiannya dengan mengasimilasi dan mengin-
ternalisasi pengaruh-pengaruh eksternal yang bertatap muka dengan
wilayah personalnya.
De-obyektivasi
Konsep ini menjelaskan upaya sadar terhadap pemberdayaan eksistensi
subyek melalui refleksi kritis ---atau meminjam istilah kaum post-
strukturalis pemikiran kritis-dekonstruktif--- atas nilai dan makna
obyek. Konsep ini mencakup orientasi untuk mendudukkan kembali
peran subyek sebagai tuan atas obyek (yang dalam proses sebelumnya
berada sebagai tuan dan berlawanan dengan subyek).

XXX Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Eksternalisasi
Konsep ini merupakan salah satu momen dalam pemahaman triad
dialektis Berger: eksternalisasi - obyektivasi -internalisasi. Konsep ini
mencakup pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang tak
terlepaskan dari kontinuitas pencurahan dirinya ke dalam dunia dimana
ia tinggal. Eksistensi manusia terajut dalam proses penciptaan dunia
bagi dirinya. Ia secara terus menerus berada dalam proses menangkap j
menemukan dirinya dengan membangun dunianya.
Exagerated subjectivism/ stylelessness
Salah satu bentuk problem modernitas yang digambarkan Simmel --
dalam kerangka pendekatan cultural ambivalence (orientasi tindakan
ambivalen)-- sebagai kegagalan subyek dalam berstrategi untuk menginte-
grasikan cultural things. Orientasi yang berlebihan dari individu pada
individualitasnya (referensialitas-diri berlebihan) menyebabkan
pencampuradukan prinsip-prinsip estetis dan pemutarbalikan makna
fungsional dari dua tipe obyek estetis, yang keduanya sama-sama
berguna untuk pengembangan kepribadian. Di sini, gaya (style)
diporakporandakan dan ketidakbergayaan (stylelessness) menjadi sifat
modernitas yang tipikal. Problem ini disebut juga sebagai stylelessness
Exaggerated objectivism/ artlessness
Salah satu bentuk problem modernitas yang digambarkan Simmel --
dalam kerangka pendekatan cultural ambivalence (orientasi tindakan
ambiva/en)-- sebagai deviasi dalam bentuk yang lain dari exaggerated sub-
jectivism . Konsep ini menjelaskan bahwa karya-karya seni yang tidak
dirasakan dalam orientasi prinsip-prinsip kepribadian (tetapi disa-
lahgunakan untuk tujuan sosiasi) berarti subyek berorientasi pada
prinsip generalitas, yakni gaya. Stilisasi karya seni ini berujung pada
kehancuran bidang estetis karya seni sehingga artlessness (ketidak-
bersenian) pun menjadi problem modernitas yang cukup dominan.

Fonn creation - objectivized fonn - fonn appreciation


Konsep dari Simmel yang menerangkan bahwa pada hakekatnya
kebudayaan berlangsung melalui tiga bentuk hubungan dialektis
tersebut: kreasi bentuk- bentuk yang terobyektivasi- apresiasi bentuk. Konsep
ini memiliki kemiripan dengan triad dialektis dari Berger yang meng-
uraikan tentang sebuah proses dialektika antara diri (the self) dengan
dunia sosio-kultural. Menurut Berger, dalam masyarakat berlangsung

Glossary XXXI
proses dialektika yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi -obyektivasi
- internalisasi. Melalui eksternalsiasi masyarakat menjadi produk
manusia, melalui obyektivasi masyarakat menjadi realitas suigeneris,
dan melalui internalisasi manusia menjadi produk masyarakat.
Hipertrophy
Sebuah konsep yang menunjuk pada kenyataan tentang pertumbuhan
budaya obyektif yang semakin luas dan subur.
Internalisasi
Konsep ini merupakan salah satu momen dalam pemahaman triad
dialektis Berger: eksternalisasi --obyektivasi-- internalisasi. Konsep ini
menunjuk pada aktivitas manusia yang menyerap kembali realitas
obyek; suatu proses transformasi struktur dunia obyektif ke dalam
kesadaran subyektif.
Obyektivasi
Konsep ini merupakan salah satu momen dalam pemahaman triad
diaiektis Berger: eksternalisasi - obyektivasi -internalisasi. Konsep ini
mengungkap tentang berlangsungnya interaksi sosial dalam dunia
intersubyektif yang dilembagakan (institusionalisasi). Obyektivasi
menunjuk pada hasil (baik mental atau fisik) yang telah dicapai dari
proses eksternalisasi.
Reifikasi
Berasal dari kata Latin res yang berarti benda. Dalam pengertian umum
reifikasi sering disebut konkretisme. Hal itu merupakan kekeliruan
menerima abstraksi dan menganggapnya sebagai entitas yang benar-
benar ada, yang secara kasual berdaya guna dan secara ontologis
mendahului hal-hal yang menjadi acuannya. Reifikasi berarti juga
kekeliruan anggapan bahwa suatu entitas mental seakan suatu benda.
Tragedy of Culture
Konsep dari Simmel yang menunjuk pada salah satu problem
modernitas bahwa karena logika instrinsiknya sendiri maka perkem-
bangan bentuk-bentuk budaya obyektif menghambat proses kehidupan
yang membuat bentuk-bentuk itu menjadi ada (budaya subyektif).
Dalam kerangka model pendekatan dualisme kebudayaan (cultural du-
alism), konsep ini menjelaskan tentang keterpisahan antara budaya
subyektif dan budaya obyektif.

xxxii Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Babl
Pendahuluan
Babl
Pendahuluan

S ejarah ilmu selalu memaparkan bangunan pengetahuan


yang telah disusun oleh berbagai pemikir dari masa ke masa.
Ia mencatat proses panjang penyempurnaan perspektif,
teori, dan paradigma lama menjadi baru. Dalam proses penyem-
purnaannya tersebut, ilmu sangat tergantung pada perkem-
bangan daya kritik terhadap dirinya sendiri (self-critic).
Daya kritik itu tampil dalam pengandaian-pengandaian
baru yang muncul sebagai penyempurnaan atau penyangkalan
dari pernyataan lama. Argumen lama dianggap kurang sesuai
lagi dengan perkembangan-perkembangan dan perubahan
masyarakat kontemporer.
Meskipun berusia relatif muda dibandingkan dengan ilmu
yang lain, sosiologi sebagai suatu bangunan pengetahuan telah

Bab I Pendahuluan 3
menempuh perjalanan sejarah yang panjang. Sosiologi merupa-
kan hasil pergumulan berbagai pemikiran yang menampilkan re-
kaman realitas sosial masyarakat yang menyejarah.
Ketika sosiologi modern tampil dalam ruang dan waktu
kekinian, ia tidak terlepas dari tradisi ide-ide teoritisi klasik. Ide-
ide tersebut tampil sebagai empitus sosiologi modern. Sosiologi
modern tak mungkin dapat dipahami dengan baik apabila kita
tidak mengetahui percikan pemikiran ahli-ahli sosiologi klasik.
Mempelajari sosiologi tidak dapat menafikan sejarah per-
kembangan pemikiran tokoh-tokoh yang terkait dengannya.
Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa belajar sejarah
pemikiran adalah hal yang esensial dalam sosiologi. Dengan
belajar sejarah pemikiran sosiologi, kita dapat terlibat dalam
"perbincangan imajiner" antar tokoh sosiologi klasik ketika mere-
ka menempatkan "batu-batu dasar" dalam fondasi bangunan
sosiologi.
Kita jadi mafhum tempat masing-masing tokoh di Eropa,
seperti: Marx, Comte, Spencer, Durkheim, Weber, Simmel dan
lain-lain, dan di Amerika, seperti: Sumner, Mead, Cooley, Tho-
mas dan Znaniecki. Kita pun dapat terlibat dalam pembongkaran
dan penyempurnaan beberapa bagian dari bangunan sosiologi
ketika kritik a tau bahkan gugatan total pada tokoh-tokoh sosiologi
klasik dilontarkan oleh proponen-proponen sosiologi modern,
seperti: Merton, Parsons, Homans, Blau, Goffmann, Dahrendorf,
dan generasi Mazhab Frankfurt: Horkheimer, Adorno, Marcuse
dan Habermas, dengan aliran-aliran pemikirannya, seperti: fung-
sionalisme, interaksionisme simbolis, teori pertukaran, pende-
katan fenomenologis etnometodologis, teori konflik, dan teori
kritis.
Studi pemikiran, sebagai salah satu pilihan penelitian dalam
sosiologi, selalu saja menarik dan menggairahkan. Dengannya
kita semakin kaya oleh berbagai pergulatan pemikiran, sudut
pandang dengan segala rona, pernik dan percikan kecerdasan
yang multidimensional dari subyek-tokoh. Melalui diskursus
yang panjang dan bertahap, kita juga akan ikut dalam pergulatan

4 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


gagasan yang secara fluktuatif, timbul dan tenggelam menampil-
kan berbagai kajian yang sangat kompleks. Atasdasar itu, kajian
terhadap pernikiran George Simmel, salah seorang proponen
sosiologi klasik, ini dilakukan.
A. Melacak Teori Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel
Georg Simmel adalah seorang sosiolog dan filsuf Jerman
yang hidup di tahun 1858-1918. Ia banyak dikenal sebagai salah
satu founding father sosiologi, khususnya sosiologi formal. Di
Jerman, tulisannya yang sangat exstensive, penuh gaya (stylish)
dan kuliahnya yang cemerlang telah berpengaruh besar dalam
disiplin sosiologi, meskipun tak sepadan dengan "Trinitas Suci":
Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim.l
Marjinalisasi atas Simmel terbangun ketika lingkungan
Jerman tak memberi peluang selain perlakuan diskriminatif bagi
darah Yahudinya. Sedangkan marjinalisasi dalam sosiologi, selain
disebabkan oleh concern-nya terhadap berbagai disiplin ilmu
(filsafat, psikologi, dan seni), juga karena tulisan-tulisannya yang
tidak sistematis. Para tokoh menyayangkan tulisan-tulisannya
yang tajam, penuh imajinasi dan ide-ide cemerlang tidak disertai
metode sistematis.
Betapapun kontroversialnya Simmel, sejumlah ilmuwan
tetap saja tertarik menggali berbagai karyanya. Pada tahun 1970-
an (lima puluh dua tahun setelah kematiannya), para ilmuwan
menempatkan tulisan-tulisan sosiologi Simmel dalam konteks
yang sangat berbeda dengan "label sosiologi formal" seperti yang
selama ini banyak dipropagandakan oleh kebanyakan ilmuwan
di Inggris maupun Amerika. 2

I Peter Hamilton (ed.) dalam David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), Lon-
don: Ellis Horwood, 1984, hal. 8.
2 Dalam catatan Featherstone, pengertian sosiologi formal ini hanya didasarkan
pada analisis Simmel tentang bentuk-bentu.k sosial, seperti: dyadik, triadik dan massa,
orang pelit, orang asing, orang miskin, kompetisi, sosiabilitas, dan konflik yang lebih
didominasi oleh (kebijakan konvensional) Anglosaksen. Featherstone juga mengung-
kapkan bahwa teks-teks di lnggris maupun Amerika seringkali hanya merunut pemikiran
Simmel dan mempergunakan karya-karyanya sebagai prasyarat dasar bagi teori konflik,

Bab I Pendahuluan 5
Dari sudut pandang yang berbeda, para ilmuwan tersebut
menggali teori kebudayaan Simmel yang terkaitan dengan feno-
mena modernitas. Menurut mereka, teori kebudayaan modern
Simmel itu sangat berpengaruh pada teori sosial (sosiologi) kon-
temporer. Naif bila teoritisi-teoritisi sosial kontemporer mengabai-
kan peran pemikiran Simmel.
Beberapa ilmuwan yang sangat concern terhadap teori
kebudayaan Simmel tersebut diantaranya: Donald Levine (1971 ),
Peter Lawrence (1976), David Frisby (1981, 1983, 1984). 3 Dari keti-
ga tokoh ini yang paling dominan adalah David Frisby. Ia adalah
ilmuwan Inggris yang sangat berperan dalam menghidupkan
karya-karya sosiologi Simmel. Secara internasional, ia mampu
mengembangkan pemikiran-pemikiranSimmel secara sistematis.
Tulisan-tulisan Frisby melukiskan dengan jelas bagaimana
Simmel membatasi sosiologi sebagai "disiplin intelektual khusus"
dengansebuah subyek permasalahan yang spesifik serta bagaima-
na prosedur metodologis awal ini dapat menyusun "kancah"

teori pertukaran dan interaksionisme. Ilmuwan Inggris yang banyak membahas sosiologi
formal Simmel diantaranya: Rex (1961), Cohen (1968), Fletcher (1971), Keat dan Urry
(1975), Hawthorne (1876), Menne! (1980), Cashmore dan Mulla (1983), Johnson (1984),
dan teoritisi kontemporer Anthony Giddens (1971, 1976, 1977, 1979, 1984) maupun Mar-
garet Archer (1988). Lihat Mike Featherstone, Georg Simmel: An Introduction dalam Theon;
Culture & Society: Special Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991; London: Sage
Publication, hal. 1; lihat juga catatan kaki-nya di hal. 12
3 Levine adalah sosiolog Universitas Chicago yang telah membahas secara utuh
pemikiran sosiologi dan filosofis dari Simmel di seputar kehidupan sosial yang
menekankan dialektika antara "hidup" dan "bentuk" (life and form). Karyanya berjudul
Georg Simme/: On Individuality and Social Forms, Chicago: University of Chicago Press,
1971. Lawrence adalah seorang ilmuwan sosial Amerika yang telah memaparkan
terjemahan dari sejumlah karya utama Simmel tentang kebudayaan dan
menginterprestasikannya kembali dalam konteks peradaban masyarakat Eropa pada
waktu itu. Karyanya berjudul Georg Simmel: Sociologist and European, New York: Barnes
& Noble, 1976. Sedangkan Frisby adalah seorang sosiolog Universitas Glasgow yang
banyak menghasilkan kajian yang kaya dan penuh kehati-hatian ten tang spirit intelektual
Simmel yang termasuk dalam wilayah hermeneutik kontemporer. Beberapa karyanya
di antaranya: Sociological Impressionism: A Reassessment of Georg Simme/'s Social Theon;,
London: Heinemann, 1981; The Alienated Mind: The Sociological of Knowledge in Gennany
1918-1933, London: Heinemann, 1983; dan Georg Simmel (Key Sociologist), London:
Tavistock, 1984.

6 Problem Modernitas dalam Kerangk.a Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


untuk penempatan karya-karya Simmel. Bagi Frisby, konsepsi
sosiologi Simmel mengimplikasikan dirinya sebagai seorang yang
sangat rasionalis dan cenderung menghindari berbagai upaya
generalisasi empiris.
Frisby menjuluki Simmel selain sosiolog impresionisme" ,4
II

juga seorang sosiolog modernitas pertama". Julukan sosiolog


11 11

modernitas pertama" ini didasarkan atas keyakinannya pada


Simmel yang mempunyai perhatian intensif pada berbagai topik
seperti: dampak-dampak sosial dari kehidupan modern, kosmo-
politan, dan kehidupan perkotaan (urban) yang khas. Frisby
memandang topik terse but banyak mengupas kebudayaan mod-
ern, dan Simmel dianggapnya sebagai seorang modernis Kota
Berlin. 5 Pendapat Frisby ini berbeda dengan pendapat Stauth dan
Turner (1988) yang mengatakan bahwa Simmel mungkin dapat
dihargai sebagai sosiolog postmodernitas yang pertama". 6
II

4 Penilaian ini ada dalam buku Frisby: Sociologicallmppresiouism: A Reassessmentof


Georg Simme/'s Social Theory; London: Hinemman,1981.
5 Peter Hamilton dalam David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 9.
6 Menurut Georg Stauth dan BryanS Turner (1988:16), Simmei: selain merupakan
sosok representatif pada jamannya ia juga seorang ilmuwan pemuka yang melampaui
zamannya. Karya-karya Simmel tentang kebudayaan yang ditulisnya selama PO I,
misalnya, memungkinkannya dapat dihargai sebagai "sosiolog postmodemime pertama".
Pemikiran tersebut digemakan lagi oleh Weinstein & Weinstein (1991). Dalam tulisan
bei'Judul Simmel and Theory of Postmodemity Society, mereka melacak posisi Simmel dalam
jajaran teoritisi postmodernitas. Dengan menyerang Frisby, yang dianggapnya
memasukkan Simmel dalam lingkungan orang yang pesimis terhadap kebudayaan mod-
ern; Weinstein berargumen, sesungguhnya, Simmel menemukan krisis modemitas pada
suatu kontradiksi internal kebudayaan, dania pun berjuang keras untuk melihat tanda-
tanda yang memungkinkan rekonsiliasi. Dia bukan merupakan "manusia tanpa kualitas
yang teramat sangat, ia merupakan korban dari suatu patologi kebudayaan. !a layaknya
seorang pendiagnosa dan penerapi Nietszchian yang mencari kesehatan kebudayaan.
Seorang penyembuh yang menderita, seperti halnya seorang pejuang Spanyol Unamuno.
Lihat Weinstein & Weinstein dalam Bryan S Turner, Theories of Modernity and
Postmodenzity, London: Sage Publication, 1991, hal. 83.
Dalam tulisan berjudul Georg Simmel: Sociological RimettF Bricoleur, Weinstein
& Weinstein kembali membahas Simmel dalam kaitannya dengan teori postmodemisme.
Dalam tulisan ini, mereka melacaknya dengan mempertentangkan kata jlaneur-yang
digunakan Walter Benjamin dalam bukunya Passagenwerk (1982) untuk diskusinya
tentang Baudelaire, yang juga dipakai Frisby untuk membahas Simmel-dengan kata
bricoleur. Menurut Weinsteins, Simmellebih layak dilihat seperti bricoleur-nya Claude
Levi-Strauus. Pengertian bricoleur lebih tepat karena tidak menyatakan "jalan-jalan yang

Bab I Pendahuluan 7
Lebih jauh lagi, Frisby menunjukkan dengan jelas bahwa
Simmel merupakan proponen representatif bagi teori sosiologi
modern, khususnya sosiologi pengetahuan dan sosiologi kebuda-
yaan? Adikaryanya The Philosophy of Money dan beberapa karya
seperti: On Social Differentiation, The Metropolis and Mental Life,
The Conflict in Modern Culture, The Crisis of Culture maupun Prob-
lem of Shjle serta esai-esai lainnya dapat menjadi bukti yang mem-
perkuat keyakinan Frisby untuk menyebut Simmel sebagai tokoh
yang sangat peduli terhadap problematika kebudayaan modern.
Simmel yang terlahir dan menghabiskan keseluruhan hi-
dupnya di "rimba belantara" metropolis Berlin menjadi Die
Zeitzeuge (saksi waktu) dari paradoks-paradoks modernisasi
Jerman. Secara mengejutkan, modernisasi telah merubah wajah
Berlin menjadi kota dunia dalam waktu yang relatif singkat. Ke-
megahan kota Berlin menjadi ruang-spasial yang representatif
untuk tumbuh suburnya patologi-patologi kebudayaan modern.
Kemegahan yang mencekam dan kepengapan kota Berlin
inilah yang menjadi setting intelektual Simmel untuk melontarkan
pemikiran kritisnya atas paradoks dan kontradiksi kebudayaan
modern. Ia sangat intens terhadap kalkulasi ekses-ekses moder-
nitas yang kian akumulatif dan endemik, hingga akhirnya krisis
(identitas) kebudayaan pun tampil dalam salah satu bentuknya
yang paling nyata: Perang Dunia I.
Di masa perang dan tahun-tahun terakhir penderitaannya
dalam usaha melawan kanker hati yang menggerogotinya,

pasif" atau hanya "makan angin" semata, tetapi mengacu pada suatu misi pemetaan
kebudayaan masyarakat secara aktif yang hasilnya adalah salinan gambar "day a rekat"
dan "daya perpecahan" di antara kebudayaan yang kompleks dari kota modem a tau
postmodem. Lihat Weinstein & Weinstein dalam Tlzeon1 Culture & Society, vol. 8, no. 3,
August 1991, hal 151-168. Namun dalam hal ini, saya lebih setuju dengan pendapat
Featherstone bahwa kontroversi tersebut tidaklah problema tis, tergantung definisi dan
terminologi dari keduanya. Lihat Featherstone dalam Theon} Culture & Society, vol. 8,
no. 3, August 1991, hal. 3.
7 Gagasan ten tang Simmel yang berkontribusi pada sosiologi pengetahuan dan
sosiologi kebudayaan diajukan oleh David Frisby dalam bukunya yang berjudul Alien-
ated Mind: The SociolOgJJ of Knowledge in Germany 1918-33, hal. 17.

8 Problem Modernitas dalam Kerangkn Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Simmel tetap tampil sebagai subyek yang kritis dan reaksioner
terhadap tekanan kehidupan modern. Tulisan-tulisannya di
seputar perang besar dalam Strassburger Post,8 menjadi bukti dari
pertaruhan terbesarnya atas sebuah tanggungjawab intelektual
bagi proses penyehatan kebudayaan, sebagai prasyarat pertum-
buhan subyek.
Simmel pantas diperhitungkan sebagai penggiat kebuda-
yaan yang berbobot maupun sebagai tokoh penting dalam sosio-
logi kebudayaan. Say a menyadari upaya penggolongan atas pemi-
kiran seorang tokoh ke dalam suatu bidang kajian tertentu
tidaklah sama dengan klaim-buta-manipulatif seorang pemimpin
partai politik guna menggelembungkan jumlah partisannya. Ia
memerlukan reinterpretasi dan reeksposisi berbagai literatur
tentangnya, untuk sampai pada sebuah paparan-baru yang
representatif. Agar dapat mewujudkan hal tersebut, studi ini
berjalan melalui proses: Pertama, melacak konsep-konsep sosiologi
Simmel untuk basis teori kebudayaannya. Kedua, menginter-
pretasikan berbagai karya Simmel yang berintensitas pada kajian
tentang pola hubungan individu dan kebudayaan modern berikut
problematikanya.
B. Georg Simmel dalam Tradisi Kritik Sosiologi atas Mo-
dernitas
Munculnya masyarakat modern di belahan bumi Eropa
Barat sekitar dua ratus tahun yang lalu selalu menjadi peristiwa
monumental yang tak kunjung habis diperbincangkan oleh
filsafat, ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Hal ini terjadi karena ia
merupakan peristiwa menyingsingnya kebudayaan manusia yang
paling revolusioner: revolusi industri. Revolusi industri telah
menjadi titik pemberangkatan bagi proses metamorfosa per-
adaban, dari masyarakat tradisional yang bercorak agraris menuju
masyarakat modern yang bercorak industrial.

8 Untuk tulisan-tulisan Simmel di masa perang ini lihat tulisan Patrick Watier,
The War Writings of Georg Simmel dalam Theory Culture & Sociehj, vol. 8, no. 3, Augut
1991; London : Sage, hal 219-233

Bab I Pendahuluan 9
Keteraturan baru modemitas (seluk beluk kebudayaan-baik
yang 11Ulterial dan non-material-yang telah menjadi modern) tampil
dalam sifatnya yang elementer, yakni industrialisasi yang deter-
minan pada seluruh kehidupan masyarakat, penghayatan way of
life-nya. 9 Selanjutnya, proses peralihan yang semakin bergulir
secara evolutif itu meritual dalam proses bemama modernisasi.
Modernisasi ditunjang tiga faktor utama: (1) Kapitalisme
dengan teknik modem yang memungkinkan industrialisasi, (2)
Penemuan subyektivitas manusia modem, dan (3). Rasionalis-
me.10
Modernisasi dan modemitas menjadi kata kunci dan isu
sentral dalam wacana berbagai disiplin ilmu, terutama dampak
global yang ditimbulkannya, baik itu yang bersifat progresif-
konstruktif di satu sisi dan degeneratif-destruktif di sisi lain.
Sebagai wujud tanggungjawab moral akademis, ilmu-ilmu
yang hurnanis cenderung concern pada berbagai dampak moder-
nitas yang degeneratif-destruktif itu. Dengan daya nalar-kritis,
mereka tampil sebagai alat kontrol atas tipu daya-ilusif yang
inheren dalam progresifitas kebudayaan modem. Tanpa bermak-
sud untuk memungkiri kegemilangan hasilnya, modernitas secara
simultan telah berakibat buruk, bahkan yang lebih tragis mampu
memusnahkan segala hasil peradaban manusia, sebagai buah
sekian juta tahun evolusi. 11
Bagaimanapun juga, kita tidak bisa mungkir dari watak
ganda modemitas. Dalam sosoknya yang mengagumkan, moder-
nitas menyembunyikan perangkap yang mematikan. Suguhan
dilematis yang disodorkan modernitas tidak bisa tidak harus kita
hadapi. Banyak ilmuwan sosial telah mengingatkan tentang
ancaman besar ini.

9 Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai llmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1993,
hal. 57.
10
Ibid., hal. 59.
Mangunwijaya (penyunting), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. II,
11 YB.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hal xv.

10 Problem Modernitas dalam Keranglw Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Adalah Karl Marx yang pertama kali menunjukkan adanya
anca-man itu. Menurutnya, dunia industri dengan segala kaitan-
kaitannya dalam berbagai sektor aktivitas masyarakat semakin
menjadi otonom, semakin menjadi tuan, bahkan menjadi Waren-
fetisj, yakni berhala (takhayul) yang dianggap memiliki kekuatan
berdaulat. 12
Maka gejala gawat yang disebutnya sebagai Entfremdung
(alienasi) menjadi tak terhindarkan. Alienasi menunjuk pada
kenyataan bahwa daya-daya produksi dalam masyarakat terde-
terminasi oleh suatu hukum obyektif, sehingga manusia berpro-
duksi tidak dalam alam sukarela. Ia berproduksi di bawah paksa-
an kekuasaan luar yang asing (eine fremde auszerihnen stehende
Gewalt).
Kekuatan asing tersebut tidak diketahui dari mana dan ke
mana arahnya, hingga tidak bisa dikendalikan, bahkan lepas dari
kemauan dan perjalanan manusia, memaksa manusia menjalani
urutan-urutan penahapan dan tingkat-tingkat perkembangan di
bawah perintah. 13
Kapitalisme merupakan proses sosial yang tidak hanya
kondusif bagi inovasi, perkembangan, tetapi juga bagi individu-
alisasi, fragmentasi, alienasi, kesesatan, penghancuran kreatif,
perkembangan spekulatif, berbagai pergeseran tak terduga dalam
metode-metode produksi dan konsumsi serta pergeseran pengala-
man tentang ruang dan waktu. 14
Konsep Durkheim tentang anomi semakin mempertegas
adanya permasalahan gawat dalam dunia modern. Anomi men-
jadi tanda bagi pudarnya kohesivitas masyarakat yang dise-
babkan oleh hilangnya guiding principle dalam menentukan arah
kehidupannya. Masyarakat mengalami kehampaan norma
(normlessness).

12 Sebagairnana dijelaskan oleh YB. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein:


Esei-Esei ten tang Kebudayaan Indonesia A bad ke-21, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hal 142.
13 Ungkapan Karl Marx yang dikutip oleh YB. Mangunwijaya, dalam Ibid., hal
143.
14 Hikmat Budiman, Pembunuhan yang Se/alu Gaga/: Modemisme dan Krisis
Rasiona/itas menumt Daniel Bell, Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 1997, hal. 57.

Bab 1 Pendahuluan 11
Weber juga mengingatkan kita pada ancaman dunia mod-
ern bagi perkembangan manusia. Teorinya teritang rasionalisasi
menghantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa rasionali-
sasi yang pada awalnya adalah pendorong modernisasi, kini telah
menjadi dunia sendiri. Pertumbuhan rasionalitas instrumental
tidak mampu mewujudkan kebebasan universal, bahkan mencip-
takan sangkar besi (iron cage) rasionalitas birokratis yang kian
memasung kebebasan manusia. 15
Seruan lantang tokoh-tokoh teori kritis (Mazhab Frankfurt)
atas kebebasan manusia semakin menggelorakan semangat
perang terhadap patologi modernitas tersebut. Dengan spirit
"Neo-Marxisme" atau "Marxisme-Kritis" yang berbasis pada
daya kekritisan, mereka merumuskan suatu teori yang bersifat
emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern.
Kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan
masyarakat modern, seperti: seni, ilmu pengetahuan, ekonomi,
politik dan kebudayaan pada umurnnya yang bagi mereka telah
menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang
menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus mengasingkan
manusia individual dari masyarakatnya. 16 Maka, kritik dari
Mazhab Frankfurt yang paling dasar adalah kritik atas rasiona-
litas masyarakat modern. 17
15lbid., hal. 60-65.
16 Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengeta/man dan Kepentingan,
Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 46.
17 Pada hakekatnya, kritik mereka terhadap kebobrokan masyarakat modern
dilakukan dalam dua cara: (1) menelusuri kembali akar-akar munculnya cara berpikir
positivistis masyarakat modern dengan merefleksikan proses rasionalisasi di dalam
masyarakat Barat, (2) menunjukkan bahwa cara berpikir positivistis yang telah
mewujudkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku sebagai ideologi
yang diterima secara sukarela oleh masyarakat modern itu sendiri. Melalui kedua cara
itu mereka hendak mengkritik, bukan saja masyarakat modern yang tampil sebagai
struktur yang menindas, melainkan terlebih cara berfikir positivis yang menjadi ideologi
dan mitos. Lihat, Francisco Budi Hardiman, Ibid., hal. 60.
Sesungguhnya terdapat perbedaan paradigma yang signifikan antara generasi
pertama Teori Kritis (Horkheimer, Adorno, Marcuse)-yang mengalarni kebuntuan-dengan
generasi kedua Teori Kritis (Habermas) dengan retasan rasio komunikatifnya, namun
karena terbatasnya tempat, tulisan ini tidak akan menguraikannya. Untuk diskusi ini
lihat, F. Budi Hardiman, Ibid., hal. 71. Lihat juga F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat
Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

12 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Masih banyak ilmuwan yang menyorot tajam cacat-cacat
modernitas, namun dalam studi ini tidak mungkin dijelaskan satu
per satu. Sekadar contoh, saya akan meminjam penggambaran
paradoks modernitas dari Berman: 18
... Menjadi modern berarti mendapatkan diri kita sendiri dalam suatu
keadaan yang menjanjikan petualangan, kekuasaan, keriangan,
pertumbuhan, transformasi diri dan dunia dan pada saat yang sama,
yang mengancam akan memusnahkan segala yang kita punya, semua
yang kita tahu, segalanya dari kita ...

Modernitas ibarat sebuah mesin berfungsi ganda : sebagai


pembangun sekaligus penghancur peradaban. Maka bersepakat
dengannya berarti kita bersiap bagi meroketnya martabat
kemanusiaan kita secara tinggi-tinggi dan dalam sekejap jatuh
terjerembab, hancur-lumat. Mengenyam modernitas berarti
pertaruhan besar seluruh kemanusiaan kita. Tak jarang, kilau-
gemerlap modernitas membutakan mata. Kegelapan dan
kekelaman pun tak terhindarkan. Sedikit berbeda dengan
ungkapan Berman di atas, dalam sebuah refleksi yang lebih
diliputi atmosfer pesimisme yang mencekam tak terperikan, Ben-
jamin memaknai modernitas sebagai berikut: 19
"Pertentangan-pertentangan yang ditimbulkan oleh modernitas
melawan bakat-bakat kreatif manusia melampaui batas kekuatan-
kekuatan manusia. Dapatlah dimengerti kalau manusia menjadi lelah
dan mencabut nyawanya sendiri. Modernitas harus berdiri di bawah
tanda bunuh diri yang diterakan atas kehendak heroik itu, suatu materai
yang tidak menerima cara berpikir manapun yang memusuhinya ... "

Dibandingkan dengan Berman, ungkapan Benjamin lebih


kuat dalam melukiskan kekelaman atmosfer modernitas. Dalam

18 Ungkapan Marshal Berman ini dikutip dalarn Hikrnat Budiman, Pembunulzan


yang Selalu Gagal, hal. 1.
19 Ungkapan ini dikutip dari artikel F. Budi Hardiman, "An tara Estetika
Penyelarnatan dan Dernistifikasi: Perdebatan Walter Benjamin dan Theodor Adorno",
dalarn Majalah Kalam edisi 2, 1994, hal. 115.

Bab I Pendahu/uan 13
ungkapannya itu, Benjamin hendak menegaskan bahwa manusia
yang lahir dan menghirup udara modernitas, dipastikan
menerima apa yang disebut sebagai "baptis darah". Hal itu sama
seperti pertaruhan "nyawa" dalam sebuah pertempuran besar
merebut kepenuhan kemanusiaannya. Akhirnya, kematian
menjadi sebuah kata kunci untuk menjelaskan modernitas.
Secara harfiah, seharfiah kematian Benjamin dengan cara
bunuh diri, 20 dalam kata "kematian" terpaparkan kekelaman dan
seakan tak tersisa ruang bagi secuil sikap optimistik sekalipun.
Tetapi bagaimana bila kata itu dimaknai sebagai kiasan semata,
semisal kematian kreativitas subyek? Tentu saja, tafsir seperti itu
tidak sepenuhnya salah, dan sah-sah saja. Hal ini berarti kita
percaya sepenuhnya bahwa ruang untuk pengobatan budaya
masihlah terbuka lebar.
Namun kemanapun arah pemaknaan itu, intinya toh selalu
sama, bahwa modernitas telah menaburkan problem kemanusia-
an yang perlu dijawab dan dicari akar masalahnya. Oleh karena
itu, kita perlu memahami dan memetakan kembali secara holistik
atas elemen-elemen, pilar-pilar penyangga dan struktur dasar dari
bangunan modernitas itu sendiri. Karena modernitas merupakan
hasil ciptaan manusia kultural yang interaktif dan menyejarah,
maka hal yang perlu dipetakan adalah hubungan resiprokal-dasar
antara eksistensi subyek sebagai pencipta kebudayaan maupun
tata-struktur kebudayaan modern yang berpengaruh balik pada
subyek penciptaan tersebut, serta berbagai masalah yang

20 Walter Benjamin, seorang sastrawan dan filsuf Jerman keturunan Yahudi ini
meninggal pada tanggal 25 September 1940 di sebuah hotel di Port Bou, Spanyol.
Kekecewaan, kegagalan dan kekurangberuntungan yang dirasakannya (mulai dari
penolakan Habiliatonsc/zrift-nya sebagai karya pasca-doktoral yang harus dipertahankan
untuk mendapatkan wewenang mengajar hingga kesulitan-kesulitan mengintegrasikan
pandangannya ke dalam lnstitut Penelitian Sosial Frankfurt menyebabkatmya mernilih
jalan bunuh diri dengan memasukkan morfin dalam dosis yang berlebihan ke dalam
tubuhnya. Kematian Benjamin menjadi rnisteri dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada akhimya, rnisteri kematian tersebut sedikit terungkap oleh ungkapan Benjamin di
atas. Ungkapan tersebut ada pada sebuah paragraf dalam esainya ten tang penyair Charles
Baudelaire. Catatan ten tang kematian Walter Benjamin ini say a kutip dari artikel F. Budi
Hardiman Lihat, lbid.

14 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simme/


ditimbulkannya, sebagai konsekuensi logis dari pola hubungan
resiprokal keduanya. Dalam pemahaman tersebut, tulisan ini me-
nemukan titik tolak penelusuran atas teori sosiologi kebudayaan
Simmel.
Berkaitan dengan teori kebudayaan modern dari Simmel,
Levine (1991) mengajukan skema interpretatif yang mencakup
berbagai cara untuk menggambarkan kajian modernitas dalam
teks-teks klasik. Ia mendudukkan skema interpretatif terse but se-
bagai pendukung jenis program pendidikan (educational pro-
gramme) yang baru. Menurut Levine, dalam teks-teks klasik bia-
sanya advokasinya mempunyai tujuan yang didasarkan pada tiga
gagasan-pengertian: Pertama, mereka menganalisis ciri-ciri pokok
dari keteraturan baru (new order) yang terlihat memperkembang-
kan kesejahteraan manusia, Kedua, mereka mengkritisi beberapa
ciri dari keteraturan baru yang berpengaruh buruk pada kemanu-
siaan, dan Ketiga, mereka mengusulkan beberapa bentuk pendi-
dikan yang akan membantu menetralkan atau menolak ciri-ciri
yang dianggap buruk tersebut. 21 Dalam kerangka itu, lebih lanjut
Levine mengatakan: 22
"Bagi Simmel, pengaruh-pengaruh yang sangat menonjol yang
dihasilkan oleh jaman modern-perluasan masyarakat dan konsentrasi
populasi di kota-kota besar, pembagian kerja secara luas dan meluasnya
penggunaan uang sebagai medium pertukaran yang tergeneralisir-
menciptakan sejumlah transformasi yang menguntungkan bagi
kemanusiaan. Tetapi pada waktu yang sama, kekuatan-kekuatan tersebut
memunculkan bermacam-macam persoalan baru bagi manusia, yang
ditunjukkan dengan fenomena yang dilukiskan sebagai anomi atau
alienasi, perubahan yang sungguh-sungguh mengancam integrasi moral
dan perkembangan kultural individu-individu. Di jaman modern, anca-
man untuk budaya subyektif menjadi sangat akut, yang ditandai oleh
keadaan krisis yang kronis."

21 Donald Levine, "Sinunel as Educator: On Individuality and Modem Culture",


dalam The01y Culture & Socieh;, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 99.
22 Ibid., hal. 114.

Bab I Pendahuluan 15
Menurut Levine, untuk penangkal krisis tersebut, Simrnel
tertarik pada sejenis proses pendidikan yang asketis terhadap
pengembangan potensialitas individu (kreativitas subyek) melalui
berbagai ajaran dan contoh. Oleh karena itu, program Simmel
tersebut dapat ditempatkan di bawah nama yang sudah banyak
dikenal pada saat ini, yakni "liberal education". 23 Berhubungan
dengan adanya upaya menguraikan konsepsi modernitas dari
Simmel, Levine menganjurkan bahwa kita harus mempertim-
bangkan paling tidak empat tema yang berbeda dari karyanya,
yakni: (1) On Social Differentiation, (2) berbagai tulisan tentang
kebudayaan (filsafat kebudayan), (3) The Philosophy of Money dan
(4) The Metropolis and Mental Life. 24
Dalam menyibak problematika modernitas, Simmel sendiri
mengungkapkan bahwa akumulasi masif budaya obyektif dalam
modernitas menghadapkan individu pada suatu tugas yang sulit
untuk dikerjakan. Lebih jauh, ia menegaskan: 25
Situasi problematis yang khas dari manusia modern muncul tatkala
keberadaannya dikepung oleh unsur-unsur budaya yang tak terhitung
banyaknya; baik itu yang tak bermakna (meaningless) maupun, dalam
analisis terakhir, berhakekat penuh makna (meaningful). Secara massif
mereka menekan manusia modern, hingga ia tidak mampu mengasimilasi
seluruhnya maupun menolaknya, betapapun mereka berpotensi di
wilayah pengembangan budaya(-subyektij)-nya (Simmel, 1968b: 44).

23 Levine menganggap, dengan diagnosis Simmel atas krisis modemitas terse but,
sekarang ini, memungkinkan kita dapat mengenal sejumlah motif-motif utama dari
filsafat pendidikan liberal seperti: menangkal pemujaan atas teknik-teknik dan metode-
metode dengan kembalinya perhatian atas tujuan-tujuan pokok manusia, menolak
atomisasi disiplin-disiplin ilmu dengan sebuah pengertian ten tang keterkaitan berbagai
domain kebudayaan, dan menangkal alienasi dari budaya obyektif dengan
menghubungkan an tara pengetahuan dan pengolahan kekuatan-kekuatan manusia, dan
dengan akar-akamya dalam arus proses kehidupan yang terus menerus mengalir tanpa
henti. Lihat Donald Levine dalam Theory Culture and Society, vol. 8, no. 3, August 1991,
hal. 115.
24 Ibid., hal. 102.
25 Ibid., hal. 10. Featherstone mengutip dari Simmel (1968b:44), "On the Concept
and Tragedy of Culture", dalam The Conflict in Modem Culture and Other Essays, New
York: The Theacers' College Press.

16 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosio/ogi Kebudayaan Georg Simmel


Simmel mengungkapkan bahwa budaya obyektif yang ter-
amat besar, sifatnya menjadi jauh lebih buruk dari tuntutan untuk
melayani. Budaya obyektif telah berubah menjadi tuan yang
opresif bagi subyektivitas, yang berarti melebihi peran "pelayan
individu", seperti yang diduga dalam tuntutan normatif. Akhir-
nya, budaya obyektif membentuk dan menentukan spirit indivi-
du. Proses pemiskinan subyek pun tak terhindarkan lagi. 26
Dalam tingkat yang sangat ekstrim, Simmel melukiskan kri-
sis kebudayaan modern sebagai endemi "atropi" (atrophy), yakni
terhentinya pertumbuhan budaya subyektif individu sebagai
akibat dari "hipertropi" (hipertrophy), yakni sebuah konsep yang
menunjuk pada kenyataan pertumbuhan budaya obyektif yang
semakin luas dan subur. 27
Contoh konkret tentang kebangkrutan subyek ini diurai-
kan Simmel secara cemerlang dalam The Philosophy of Money.
Menurutnya, patologi atropi dan hipertropi tersebut di antaranya
dipengaruhi oleh semakin kuatnya ekonorni uang dalam masya-
rakat modern. U ang yang hakekatnya sebagai alat telah bergeser
menjadi tujuan yang absolut. Masyarakat modern mengalarni
krisis rasionalitas atas uang. Adagium masyarakat modern yang
inengatakan, "Dang adalah Tuhan di jaman kita" 28 menjadi repre-
sentasi yang kuat atas patologi modernitas tersebut.
Tak pelak lagi perkembangan budaya obyektif yang menja-
mur secara berlebihan (ovenvhelming) telah membonsai budaya
subyektif. Krisis kronis pun tak terhindarkan dan menjadi muara

26 Deena Weinstein & Michael Weinstein, "Simmel and Theory of Postmodem


Society" dalam Bryan S. Turner, Theon; Modernity and Postmodernity, London: Sage Pub-
lication, 1991, hal. 79.
27 Georg Simmel, "The Metropolis and Mental Life" dalam C. Wright Mill, The
Image of Man: The Classic Tradition in Sociological Thinking, New York: Georg Braziller,
hal. 447. Lihat juga Lewis Coser, Master of Sociological Thought, New York: Harcourt
Brace Jovanovich, 1971, hal. 192-193.
28 George Simmel, The Philosophy of Money, London: Routledge & Kegan Paul,
hal. 232-238. Lihat juga George Simmel, "Money in Modem Culture" dalam Theon; Cul-
htre and Society, vol. 8, no. 3, August. 1991, hal. 27-28. Bandingkan dengan Nigel Dodd,
The Sociologt; of Money, Cambridge: Polity Press, 1994, hal. 41-58 (sub-bab: Cultural As-
pects of The Mahtre Money Economy).

Bah 1 Pendahuluan 17
berbagai babak krisis dalam kebudayaan modern. Menurut
Simmel, kri,sis kronis inilah yang menjadi akar dari "tragedi kebu-
dayaan". Tragedi Kebudayaan ini terjadi dalam kenyataan karena
logika intrinsiknya, dan perkembangan bentuk-bentuk budaya
obyektif semakin menghambat proses kehidupan yang membuat
bentuk-bentuk itu menjadi ada. 29
Dalam beberapa karyanya, Simmel terkesan bersikap pesi-
. mistis dan skeptis atas kebudayaan modern. Namun, kesan itu
tersisih dengan sendirinya ketika Simmel mengemukakan perhi-
tungan terbaiknya ten tang dasar normatif untuk pengobatan bu-
daya, dalam The Crisis of Culture (1917). Secara mengesankan, ia
menuturkan: 30
Perbaikan nurani (subyek) dapat diperjuangkan secara langsung melalui
budaya, dengan jalan menumbuhkan prestasi intelektual manusia,
produk-produk sejarahnya: pengetahuan, gaya hidup, seni, negara, profesi
dan pengalaman hidup manusia; di mana hal-hal ini akan menentukan
sikap budaya yang berjalan melalui spirit subyektif individu, kembali
pada dirinya dan menjadi yang tertinggi ... (Simmel, 1976a: 253).

Kritik dan deskripsi analisis Simmel tentang kebudayan


modern secara terbuka menawarkan ide-ide yang ideal dan
normatif. Dengan mengajukan tiga bentuk hubungan: kreasi
bentuk-bentuk yang terobyektivasi-apresiasi bentuk (form creation-
objectivized form-form appreciation) dalam teori kebudayaannya,
Simmel mengedepankan pola-pola mekanisme pemberdayaan
diri subyek. Melalui mekanisme balanced absorption of culture,
subyek dapat mengolah dan menginternalisasi budaya obyektif.
Penyerapan budaya obyektif yang seimbang dapat berfungsi seba-
gai perangkat subyek untuk menciptakan substansi kepribadian
yang terolah atau termekarkan (cultivated individu).

29 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik da11 Modem, Jakarta: Gramedia, 1994,
hal286.
30 Deena Weinstein & Michael Weinstein, "Simmel and Theory of Postmodem
Society", dalam Bryan S.Tumer (edt), Theory Modernity and Postmodemity, hal. 78.

18 Problem Modemitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Dalarn keyakinan Sirnrnel, konsep cultivated individualihJ itu
rnenunjuk pada kapasitas unik rnanusia untuk rnenyernpurna-
kan kepribadiannya dengan rnengasirnilasi dan rnenginternalisasi
pengaruh-pengaruh eksternal yang bertatap rnuka dengan wila-
yah personalnya. 31 Pengertian itu dapat disepadankan dengan
sebuah proses aktif deobyektivasi, 32 yakni sebuah proses rekon-
siliasi bagi kontradiksi internal kebudayaan yang rnewujud da-
larn krisis rnodernitas. Rekonsiliasi antara budaya obyektif dan
budaya subyektif.
Terlukiskan di atas, betapa besar perhatian Sirnrnel pada
geliat pernberontakan subyek rnanusia modern. Sirnrnel telah
rnernberikan sernangat optirnistik untuk rnengobarkan perjuang-
an rnenjadi kreatif. Meski tak rnarnpu rnenghela kepesirnisannya,
Sirnrnel tetap rnenyisakan sikap optirnistiknya bahwa energi
kehidupan yang utarna, yakni surnber kreativitas budaya tidak akan
dapat dikungkung dalarn waktu yang tidak ada akhirnya -dengan
batas-batas ketat rnernbelenggu oleh bentuk-bentuk tanpa hidup
yang rnasih ada- rnelainkan akan rnengatasinya. 33
Sirnrnel rnarnpu rnensintesiskan gejala-gejala sosial yang
bersifat kontradiktif dan paradoksal ke dalarn suatu sistern penaf-
siran yang sistematis dan ilrniah. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa
Sirnrnel telah rnernbangun sebuah tradisi sosiologi yang bersifat
rnakro dan universal, seperti yang dicirikan oleh sosiologi kon-
ternporer saat ini. Contoh konkret, kita bisa rnernbandingkan
"triad dialektis" Sirnrnel: form creation- objectivized form-form ap-
preciation, dengan triad dialektis Berger yang rnenguraikan ten-

31 Brigita Nedelmann, "Individualization, Exageration and Paralysation: Sirnmel' s


Three Problems of Culture", dalam Tlteori Culture and Society, vol. 8, no. 3, Agustus 1991,
hal. 185.
32 Deobyektivasi merupakan konsep yang menjelaskan upaya sadar terhadap
proses pemberdayaan eksistensi subyek melalui refleksi-kritis-atau meminjam istilah
kaum post-strukturalis, pemikiran kritis-dekonstmktifatas nilai dan makna obyek. Dalam
pengertian yang lebih jelas mendudukkan kembali peran subyek sebagai "tuan" atas
obyek (yang dalam proses sebelurrmya betada sebagai tuan dan berlawanan dengan
subyek).
33 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, hal. 288.

Bab I Pendahu/uan 19
tang sebuah proses dialektika antara diri (the self) dengan dunia
sosio-kultural. Menurut Berger, dalam masyarakat berlangsung
proses dialektika yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi-
obyektivasi-internalisasi. Kurang lebih, proses dialektika masya-
rakat tersebut dijelaskan oleh Berger sebagai berikut: melalui eks-
ternalisasi masyarakat menjadi produk manusia, melalui obyektivasi
masyarakat menjadi realitas suigeneris, dan melalui internalisasi
man usia menjadi produk masyarakat. 34
Pada momen eksternalisasi, kita dapat memahami manusia
sebagai makhluk yang tak terlepaskan dari kontinuitas pencurah-
an dirinya ke dalam dunia di mana ia tinggal. Manusia sangat
ter-kait dengan keberadaannya dalam lingkungan dan masyara-
katnya (sosio-kultural). Ia bukan sesuatu yang tinggal dalam
dirinya (lingkungan-interioritas yang tertutup ). Eksistensi manu-
sia terajut dalam proses penciptaan dunia bagi dirinya sendiri. Ia
secara terus menerus berada dalam proses menangkap menemu-
kan dirinya dengan membangun dunianya. Ia menghasilkan
dirinya sendiri dalam suatu dunia.
Dalam momen obyektivasi, pada hakekatnya mengungkap
tentang berlangsungnya interaksi sosial dalam dunia inter-
subyektif yang dilembagakan (institusionalisasi). Obyektivasi
menunjuk pada hasil (baik mental atau fisik) yang telah dicapai
dari proses eksternalisasi di atas. Ia menjadi hasil ciptaan yang
otonom berhadapan dengan penciptanya; suatu faktifitas yang
berada "di luar" dan berbeda dari manusia yang menghasilkan-
nya. Dalam hal ini, masyarakat merupakan produk yang berakar
dalam eksternalisasi manusia.

34 Uraian triad dialektis Berger itu dibahas secara eksplisit dalam bukunya The
Sacred Canopy (edisi bahasa Indonesia berjudul Langit Sud: Agama sebagai Realitas Sosial).
Dua buku Berger yang bergerak dalam minat yang sama untuk mempertalikan dimensi
kesadaran dan dimensi struktural masyarakat adalah Tire Social Canstmction of Reality
(Tafsir Sosial atas K.enyataan, Jakarta: LP3ES, 1990) dan Tire Homeless Mind (Pikiran K.embara,
Yogyakarta: Kanisius, 1992). Untuk catatan atas uraian di atas lihat Peter L. Berger, Langit
Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991, hal. 4-5.

20 Problem Modernitas dalam Keranglw Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Sedangkan momen internalisasi menunjuk aktivitas
manusia yang menyerap kembali realitas obyek; suatu proses
transformasi struktur dunia obyektif ke dalam kesadaran su-
byektif. Pada tahap ini berarti, masyarakat berfungsi sebagai
pembentuk kesadaran individu. Individu menangkap dunia
obyektif sebagai fenomena yang berada dalam kesadarannya,
sekaligus sebagai fenomena di luar kesadarannya. 35
Dalam kerangka analisis triad dialektisnya, Berger berhasil
memadukan dan menjelaskan bahwa kesadaran manusia dan
struktur dalam modernisasi bukanlah dua hal yang saling
eksklusif. Baginya, persoalan modernitas tidak berarti banyak
bila hanya didekati secara struktural dengan kategori-kategori
yang diklaim "obyektif" semata (seperti ekonomi, politik, dan
teknologi).
Pendekatan struktural-obyektivistik tersebut di samping
menyesatkan, memiskinkan kenyataan sosial, juga cenderung
meremehkan manusia sebagai subyek (aktor) modernisasi. Mela-
lui triad dialektisnya, Berger telah secara arif menyodorkan sebu-
ah pendekatan yang tidak secara diametral mempertentangkan
antara kesadaran dan struktur dalam modernitas. 36
Bila triad dialektis itu diterapkan untuk fenomena moderni-
sasi, pada momen pertama menunjuk pada suatu bentuk kesadar-
an modern yang mewujud dalam praksis kehidupan sosial. Da-
lam momen kedua, kesadaran modern mewujud dalam kenyataan
obyektif, berupa pranata-pranata modern. Sedangkan untuk momen
ketiga, pranata-pranata modern pada gilirann/a menentukan
kesadaran manusia yang hidup di dalamnya. 3
Berangkat dari penjelasan di atas, bukankah gagasan triad
dialektis Berger itu sama dengan milik Simmel? N amun, menga-

35 Lihat uraian panjang Peter L Berger dalam Langit Suci: Agama sebagai Realitas
Sosial, hal. 5-32.
36 Lihat tulisan F. Budi Hardiman, "Kesadaran yang "Tak Bersarang": Refleksi
atas Interaksi Kesadaran dan Struktur dalam Modernisasi", dalam Tim Driyarkara,
Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta : Gramedia, 1991, hal. 113.
37 Ibid., hal. 115.

Bab I Pendahuluan 21
pa Berger mengingkari sumbangan besar Simmel dengan meng-
atakan bahwa ia hanya berhutang gagasan pada Hegel, Marx,
Durkheim dan Mead saja tanpa menyertakan nama Simmel?
Gagasan Simmel muncul jauh sebelum Berger ada. Pendekatan
dan cara pan dang Simmel sangat progresif dalam takaran jaman-
nya danmendahului ide-ide Berger. Bila Berger "mengambil" ide
Simmel adalah suatu kemungkinan yang lebih pasti daripada
yang sebaliknya.
Tatkala mendiagnosis modernitas misalnya, Simmel
mengkhususkan hubungan antara budaya obyektif dan budaya
subyektif yang tidak berjalan simetris, sehingga beberapa sendi
(terutama internalisasi) kebudayaan tidak berfungsi maksimal
dan menimbulkan cacat-cacat dalam modernitas.
Pengertian yang sama dirumuskan oleh Berger dengan
menekankan bahwa simetri kenyataan obyektif dan kenyataan
subyektif tidak bisa sempurna. Keduanya bersesuaian satu sama
lain, tetapi tidak koekstensif. Artinya selalu tersedia lebih banyak
kenyataan obyektif daripada apa yang benar-benar diinternalisasi
ke dalam kesadaran individu. Salah satu sebabnya adalah terdapat
unsur-unsur kenyataan subyektif yang tidak berasal dari
sosialisasi yang ditentukan oleh distribusi pengetahuan dalam
masyarakat.
Biografi subyektif tidak sepenuhnya bersifat sosial. Indivi-
du memahami dirinya sendiri sebagai sekaligus berada di dalam
dan di luar masyarakatnya. Pemahaman Berger itu jelas-jelas
menunjuk konsep Simmel tentang pemahaman diri manusia yang
berada "di dalam" dan "di luar" masyarakat. 38 Di bawah peng-
aruh Simmel, Berger berkesimpulan, simetri antara kenyataan
obyektif dan subyektif tidak pernah menjadi suatu keadaan yang
statis dan tak berubah-ubah selamanya. Ia harus selalu diproduksi
dan direproduksi in actu; suatu aktual penyeimbang yang her lang-
sung terus menerus.
Selanjutnya, untuk uraian tentang cara pandang Simmel
atas seluk beluk modernitas yang sangat kompleks, akan dirujuk
gagasan yang cemerlang dari Briggita Nedelmann. Dalam sebuah

38 Lihat Peter L. Berger, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990, hal. 192.

22 Problem Modernitas dalam Keranglw Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


tulisannya, Nedelmann (1994) mengungkapkan bahwa bagi
Simmel untuk memahami fenomena kebudayaan modern tidak
cukup hanya dari satu perspektif saja, sehingga berakibat pada
teori yang tidak tunggal rula. Awalnya, Nedelmann mengacu
gagasan Margaret Archer39 tentang skema hubungan segitiga
kebudayaan (triadic frame of reference) yang menyatakan bahwa
pengertian dasar tentang hubungan antara kebudayaan dan
individu merupakan topik utama dari penelitian sosiologi kebu-
dayaan. Nedelmann menerapkan tiga permasalahan sosiologi
kebudayaan ini untuk mengangkat sosiologi kebudayaan Simmel.
Menurut Nedelmann, hubungan antara kebudayaan dan agensi
dalam terminologi sistemik itu dikonseptualisasikan Archer (1988)
melalui pengadopsian pendekatan dualistik. Ia menjelaskan
pengaruh antara sistem kebudayaan (cultural system) atas agensi
manusia (socio-cultural), dan pengaruh aktor-aktor manusia atas
sistem kebudayaan.
Prinsip analisis dualisme ini memungkinkannya mampu
membedakan an tara tiga persoalan yang berbeda: Pertama, prin-
sip ini lebih mempertimbangkan tentang bagaimana manusia
membuat kebudayaan. Sistem kebudayaan dianalisis sebagai
permulaan dari tingkat sosio-kultural dan agen-agen manusia
sebagai produsen sistem kebudayaan.
Kedua, dalam jangka panjang prinsip ini menyelidiki bagai-
mana sistem kebudayaan setelah menjadi otonom mempengaruhi
tingkat sosio-kultural dan bertindak kembali dalam generasi sesu-
dahnya. Pada gilirannya sistem kebudayaan telah berpengaruh
atas generasi-generasi selanjutnya sebagai agen penerima produk-
produk kebudayaan tersebut.
Ketiga, berkaitan dengan masalah perubahan kebudayaan,
prinsip ini melihat bagaimana item-item baru memasuki sistem
kebudayaan dan bagaimana pula item-item lama bergeser. Dalam

39 Margaret Archer adalah seorang ilmuwan Inggris. Dalam bukunya, Culture


a11d AgenCtJ, ia mengatakan bahwa untuk kembali ke teorisasi kebudayaan dalam basis
sosiologi, tidak ada tempat bagi Simmel. Namun, tulisan Nedelmann yang mengacu
pada gagasan Archer ini telah terbukti menjadi counter yang Iayak untuk diperhitungkan
pemyataan Archer sendiri.

Bab I Pendahuluan 23
hal ini terdapat penekanan bahwa perubahan-perubahan kebuda-
yaan yang dihasilkan agen manusia telah menambah item-item
kebudayaan yang baru pada sistem kebudayaan, diotonomisasi-
°
kan dan memindahkan item-item lama. 4 Kerangka acuan triadik
Archer tampak dalam hagan berikut:

Tingkat Analisis
Sosiokultural .Dualisme

Sistem Budaya

Bagi Nedelmann, skema hubungan segi tiga (triadic scheme)


tersebut didudukkan sebagai metode heuristik yang akan berguna
untuk memunculkan persoalan-persoalan teoritis dan empiris
yang penting dalam lapangan sosiologi kebudayaan. Dengan
bertitik tolak pada "teori-teori" kebudayaan Simmel-untuk
menggambarkan pluralitas teorinya yang masih saja ruwet dan
kompleks -Nedelmann mengatakan bahwa kekayaan pemikiran
Simmel diakibatkan oleh cara-cara yang berbeda pada saat ia
mendefinisikan konsep dasar kebudayaan. Ia juga menggunakan
cara-cara yang berbeda dalam mengonseptualisasikan peran
individu dalam proses kebudayaan serta memakai prinsip-prinsip
analitis yang berbeda ketika menganalisis hubungan antara
tingkat kebudayaan dan tingkat individu. 41 Pada tataran ini, kita
memperoleh sebuah sketsa yang representatif untuk menguak
sosiologi kebudayaan Simmel.

40 Lihat Brigitta Nedelmann dalam Theon} Culture & Society, vol. 8, no. 3, Au-
gust 1991, hal. 169.
41 Brigitta Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:
Simmel's Three Problems of Culture", dalam Theon} Culture & Society, vol. 8, no. 3,
August 1991, hal. 170-171.

24 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


C. Metode Penulisan
Buku ini muncul sebagai sebuah kajian yang berusaha ·
menganalisis isi (content analysis) dari berbagai teks tentang
Simmel, baik yang primer maupun sekunder. Metode yang dipilih
adalah metode interprestasi, untuk membantu dalam mende-
skripsikan teori sosiologi kebudayaan Simmel. Mengingat Simmel
adalah '~a master of wanderer" di rimba pengetahuan, maka pen-
jelasan yang utuh atas kekayaan pemikirannya merupakan suatu
kesulitan tersendiri. Hal ini dikuatkan oleh kelangkaan referensi
ten tang Simmel di ruang-ruang perpustakaan di Indonesia--seti-
daknya hingga kini.
Buku ini secara garis besar dipilah menjadi dua bagian.
Pertama, menelusuri riwayat hidup dan komitmen Simmel pada
disiplin sosiologi (Bab II dan Bab II). Langkah ini ditempuh dalam
rangka menemukan posisi perspektif dan metode sosiologinya,
sehingga capable untuk membingkai teori-teori kebudayaannya.
Kedua, menguraikan konsep Simmel tentang hubungan-elementer
sendi-sendi kebudayaan modern, yakni hubungan-resiprokal
antara individu-individu dan kebudayaannya (Bab N). Fungsinya
untuk mendiagnosis dan mencari pengobatan atas berbagai
patologi dan cacat dalam kebudayaan modern. Sebab, ba-
gaimanapun, cacat-cacat modernitas diproduksi oleh pola hu-
bungan yang tidak sehat di antara sendi-sendi kebudayaan itu
sendiri.
Pada bagian kedua, saya sepenuhnya mengacu pada
gagasan Brigita Nedelmann dalam, "Individualization, Exaggera-
tion and Paralysations: Simmel' s Three Problems of Culture"
dalam Jurnal Theory Culture & Socieh;; A Special Issue on Georg
Simmel, vol. 8, no. 3, Agustus 1991. Dengan kategori-kategori yang
diajukan Nedelmann, argumen tentang sosiologi kebudayaan
Simmel menemukan dasar pijakan yang kuat. Singkatnya, sintesis
tentang sosiologi kebudayaan Simmel menemukan paparan-
argumen yang relatif valid dalam tulisan Nedelmann tersebut.
Di samping itu, untuk menjaga obyektivitas penulisan,
karya-karya Simmel diposisikan sebagai acuan utama, seperti:

Bab I Pendahuluan 25
The Philosophy of Money, Money in Modern Culture, The Metropolis
and Mental Life, The Problem of Style dan Georg Simmel: On Women,
Sexuality and Loz1e. 42 Sedangkan karya-karyanya seperti: On So-
cial Differentiations, The Conflict in Modern Culture dan The Crisis of
Culture, dan beberapa esai tentang aktivitas seni dan estetika akan
diuraikan menurut referensi sekunder yang menyinggungnya.
D. Relevansi Wacana Simellian
Pemikiran kritis Simmel ten tang modernitas seperti terurai
di atas nampaknya telah luput dari pencermatan ilmuwan-ilmuan
sosial di Indonesia. Dalam lingkup sosiologi sekalipun, kita jarang
mendiskusikan pemikiran Simmellantaran ia masih merupakan
sosokyang asing. Kita lebih tertarik atau terbiasa menggunakan
pemikiran Marx, Weber, Durkheim dan Mazab Frankfurt--khu-
susnya Habermas--ketimbang Simmel. Pendek kata, historisitas
Simmel dan teori-teorinya tetap terkubur dalam-dalam pada
sebuah "mausoleum" di wilayah sosiologi. Meski nama Simmel
dibubuhkan dengan tinta emas dalam deretan the founding father
sosiologi, namun menjadi ironis bila kita tidak tahu kualitas pemi-
kirannya. Sebuah alasan mengapa pemikiran Simmel tidak ba-
nyak dikenal di Indonesia adalah lantaran minimnya buku-buku,
tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentangnya. 43 Namun, apapun
alasannya, fakta tetap tak berubah: secara global, sosiologi kita
mengalami ketertinggalan wacana.

42 Buku ini merupakan kumpulan esai-esai Sinunel tentang persoalan perempuan


dalam lingkup kebudayaan modem, yang diterjemahkan, diedit dan diberi pengantar
oleh Guy Oakes. Dalam pengantarnya, Guy Oakes, sebagai penyunting, mencoba
menampilkan esai-esai terse but dalam bingkai teori kebudayaan Simmel. Buku ini akan
sangat membantu upaya penulis untuk menjelaskan teori kebudayaan Simmel dalam
bab-bab selanjutnya. Lihat "Kata Pengantar" Guy Oakes tersebut dalam Georg Snnmel:
On Women Sexuality, and Love, New-Haven: Yale University Press, 1984. hal3-62
43 Persoalan ini sesungguhnya juga disebabkan oleh ilmuwan Jerman yang dengan
sikap arogan dan sovinisme-nya (chauvinism) yang kuat, enggan untuk menulis
pemikirannya dalam Bahasa Inggris. Maka rentetan kausalitasnya, persoalan ini
melahirkan sebuah persoalan fenomenal, yakni bahwa ilmuwan di luar Jerman (Inggris,
Amerika) juga harus berhadapan dan berjuang keras mengatasi kendala bahasa ini untuk
memahami karya-karya Simmel tersebut. Hingga saat ini, bel urn ada satupun dari karya-
karya Simmel yang terbit dalam edisi berbahasa Indonesia. Ada beberapa tulisan pendek

26 Problem Modernitas dalam Keranglw Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Terdorong oleh keprihatinan terhadap kenyataan di atas,
studi ini muncul menawarkan beberapa butir tara£ kemajuan dan
kebaruan (no·uelhj). Bila ditinjau dari sasaran programatisnya, tara£
kemajuan dan kebaruan itu meliputi: (1) studi ini berusaha meng-
inventarisasi sejumlah karya Simmel yang nampak masih "ter-
bengkelai" dan belum terspesifikasi dalam wilayah sosiologi,
sernisal sosiologi kebudayaan, (2) secara praktis, studi ini mencoba
mengadaptasikan atau memburnikan pernikiran kritis Simmel
tersebut untuk konteks kebudayaan Indonesia. Meski hanya se-
pintas, hal ini sangat penting dilakukan agar kita tidak terjebak
pada narsisme intelektual semata-mata.
Meskipun cakupan bahasannya masih hanya menyentuh
"kulit ari", studi ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa
kegunaan. Pertnma, memperkaya wacana sosiologi di Indonesia.
Hal itu berarti, kemunculan studi ini dapat menjadi pernicu bagi
kita untuk selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan per-
spektif, cara berpikir dan berteori dari berbagai tokoh sosiologi,
yang salah seorang di antaranya adalah Simmel. Saya berke-
yakinan, merninjam ungkapan Johnson, dengan memaharni dan
menginterpretasi suatu teori berarti kita mempelajari ide-ide yang
dinyatakan secara eksplisit dan juga peka terhadap implikasi-
implikasi intelektual dan ideologisnya, termasuk pandangan
hidup yang mendasarinya. 44 Sosiologi yang ditengarai sebagai
disiplin yang berparadigma ganda (mulh;-pnradigm) akan mandeg

ten tang Simmel, namun dari sekian banyak tulisan pendek ten tang tokoh-tokoh ini, porsi
bahasan ten tang Simmel adalah yang paling minim. Menurut catatan saya, buku-buku
terjemahan maupun ulasan singkat tentang Simmel tersebut di antaranya: Seorjono
Soekanto, Seri Pe11ge11aiall Sosiologi, Georg Simmel: Beberapa Teori Sosiologi, Jakarta: Rajawali,
1986. Hotman M. Siahaan, Pengantar ke Aralz SeJarah dan Teon Sosiologi, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1986. KJ Veeger, Reali las Sosial, Jakarta: Gramedia, 1986. L Laeyendecker, Tala,
Perubalza11 da11 Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia, 1991
(edisi ke-2). Doyle Paul Johnson (terj. Robert M.Z Lawang ), Teori Sosiologi Klasik dan
Modem, Jakarta: Gramedia, 1994 (edisi-3). Tesis S-2 dari Hendry Restuadi, Perspektif Konflik
Memmll Georg Simmel, 1998 (tidak diterbitkan). Bryan Turner (terj. Imam Baehaqi &
Ahmad Baedlowi), Sosiologi Modemitas-Postmodemitas; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,
haL 125-181. Fakta ini menandakan betapa tulisan dan pemikiran Simmel tidak/belum
banyak dikenal di Indonesia.
44 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, haL 59.

Bab I Pendahuluan 27
(menjadi ideologi) hila kita tidak memulai untuk menangkap
nuansa "paradigma baru" dalam hangatnya perdebatan tentang
Simmel di Benua Eropa. Kita tidak bisa terus menerus menjadi
"burung unta" yang tetap menutup mata dengan membenamkan
kepalanya ke dalam pasir, tatkala "rush" perdebatan tentang
Simmel telah lama berkecamuk di belahan bumi utara itu.
Kedua, secara lebih spesifik, kita dapat mengambil saripati
teori kebudayaan Simmel yang sarat dengan nilai-nilai yang hu-
manis. Penekanan nilai humanitas ini dapat kita cermati tatkala
Simmel selalu mengedepankan pentingnya penegakan kembali
eksistensi subyek sebagai tuan, melalui dekonstruksi pemikiran
atas kebudayaan modern yang semakin hingar-bingar dan carut-
marut dalam perjalanan meniti historisitasnya.
Dalam dataran praksis, dekonstruksi pemikiran tersebut
perlu dibiakkan untuk menghadapi semakin melangitnya
meminjam istilah Berger "piramida kurban manusia", yang
merupakan harga-mahal yang harus dibayar untuk sebuah proses
perubahan bernama "pembangunan". Sejarah telah mencatat
bahwa dalam sebuah negeri bernama Indonesia ini, eksistensi
subyek telah digilas, dihancur-lumatkan oleh agensi yang
menamakan diri sebagai "Orde Baru" atau penerima tongkat
estafetnya: "Orde Reformasi", yang sesungguhnya palsu sekali-
gus pongah. Kesadaran subyek sebagai pelaku aktif perubahan
kebudayaan terhegemoni oleh "paradigma dan kebenaran tu-
nggal" the ruling class. Melalui berbagai bentuk "atas nama
pembangunan manusia seutuhnya", subyek-subyek dipaksa
tunduk pada asas tunggal-modernitas: "pembangunanisme".
Sekalipun saat ini Indonesia telah mengalami "Fajar Baru" de-
ngan hadirnya Kabinet Persatuan Nasional dan Kabinet Gotong-
Royong yang nampaknya lebih legitimate, namun kita harus tetap
menghidupkan daya nalar kritis untuk mengontrol dan
mengawasi jalannya pemerintahan yang dari hari ke hari kian
kewalahan mengelola puing-puing bangunan bangsa ini. Sesuai
dengan proyek deobyektivasi Simmel, kita perlu untuk tetap
terjaga dan menghidupkan bara kesadaran kritis, agar tidak kian
terperangkap dan terperdaya oleh segala bentuk--meminjam

28 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


istilah Weber--"iron cage" modernitas. Singkatnya, teori sosiologi
kebudayaan Simmel akan banyak berfungsi sebagai acuan
kerangka berpikir untuk menganalisis subyek-subyek manusia
yang berjuang keras menumbangkan benteng-benteng megah
patologi modernitas dalam pembangunan di Indonesia serta
merintis pertumbuhan kebudayaan yang sehat untuk menjamin
eksistensinya.
Ketiga, studi yang mengulas kembali sosok Simmel dalam
wilayah sosiologi kebudayaan menawarkan kebaruan referensi
pada peminat budaya. Studi ini banyak membantu dalam
menentukan kerangka berpikir, metode, sudut pandang peneli-
tian pada berbagai wilayah dan cakupan kebudayaan yang sa-
ngat luas.

Bab I Pendahuluan 29
Bab II
Blografl Intele~tual
Georg Slmmel
I
II
II
II
I I
I I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
Bab II
Biografi Intele~tual
Georg Simmel

A. Riwayat Hidup Georg Simmel

G eorg Simmellahir pada tanggall Maret 1858, di sudut


Leipzigerstrasse dan Friedrichstrasse, pusat kota Berlin. 1
Tempat kelahirannya secara simbolis cocok dengan kehi-
dupan seorang yang berada dalam titik pertemuan (intersections)

1 Kelahiran Simmel ini saya kutip dari sebuah kutipan yang diambil oleh David
Frisby dalam buku Bohringer & K. Grunder (editor) yang berjudul Asthetik wzd Soziologic
wn die Jalzr/nmdertwende: Georg Simmel. Satu-satunya anak Simmel, Hans Simmel,
mengatakan bahwa, ... pada tanggal 1 Maret 1858, Georg Simmel, ayah say a, terlahir di
sebuah rumah di sisi barat laut dari persilangan antara Leipzigerstrasse dan Friedrichstrasse.

Bab II Biografi lnteleklual Georg Simmel 33


berbagai gerakan yang secara intensif sangat dipengaruhi oleh
"persilangan arus-arus" (cross-currents) lalu-lintas intelektual dan
keserbaragaman arah moral (multiplicity of moral directions).
Simmel merupakan "sosok urban modern" (a modern urban
man) yang tidak berakar dalam budaya masyarakat tradisional.
Seperti layaknya yang terlukis dalam salah satu esainya, "Orang
Asing" (The Stranger), Simmel berada dalam jarak yang" dekat"
dan sekaligus "jauh" pada waktu yang bersamaan, "seorang
pengembara penuh daya kekuatan" (a potential wanderer). Kendati
tidak "berjalan" terus-menerus, ia selalu tidak dapat mengatasi
kebebasan untuk datang dan pergi. 2 Bagaimanapun juga, di
pergantian abad ke-19, Simmel merupakan salah seorang filsuf
dan sosiolog yang membingungkan sekaligus sangat mempesona
bagi ternan-ternan yang sejaman dengannya.
Georg Simmel merupakan anak bungsu dari tujuh ber~
saudara. Ayahnya merupakan seorang pedagang Yahudi yang
kaya, yang menganut agama Katolik Roma. Sedangkan ibunya
adalah seorang Yahudi tulen yang menganut agama Kristen Pro-
testan (Lutheran). Ia dibaptis dalam tradisi iman Kristen Protestan
yang di kemudian hari meninggalkan keanggotaan Gerejanya,
namun masih saja "meng-imani" tatkala minatnya terhadap filsa-
fat agama muncul. 3 Saat Georg masih dalam usia sekolah, yang

Di sisi barat pusat kota yang lama, dua jalan ini nan tiny a menjadi )alan yang mempunyai
sifat khas dan merupakan jalur perdagangan yang sangat penting ... Lihat dalam David
Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 21. Lihat juga Lewis Coser, Master of Sociologi-
cal Tlwu~lzt, lzal. 194
Ungkapan ini pemah diungkapkan oleh Hans Simmel. Ia mengatakan, "Dia
(Simmel) merupakan manusia urban modern, ... seorang yang terasing di tanah
kelahirannya sendiri. Layaknya orang asing yang dilukiskan dalam salah satu esainya
yang sangat terkenal, ia berada dekat dan jauh sekaligus dalam waktu yang sama, seorang
petualang yang penuh daya kekuatan". Untuk uraian di atas lihat David Frisby, Georg
Simmel (Key Sociologist), hal. 21 dan Lewis A. Coser, Master of Sociological Tlzouglzt, hal.
194.
3 Beberapa esai Simmel ten tang agama dan kristianitas pemah dikaji oleh Brad-
ley E. Starr dengan judul: "The Tragedy of The Kingdom, Simmel and Troeltsch on Pro-
phetic Religion", dalam Journal of Religious Ethics GRE) 24. 1, Spring 1996, hal. 141-167.
Sekadar menyebut beberapa esainya ten tang ini, an tara lain: Beitriige wr Erkennthistheone
der Religion (1902); Religioser Gnmd Gedanken rmd modme Wissensclraft (1907), Voom Heil

34 Problem Modernitas dalam Kerangk.a Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


terhitung masih sangat kecil, ayahnya meninggal dunia. Hu-
bungannya yang agak jauh dengan ibunya menyebabkan Georg
merasa tidak mempunyai lingkungan keluarga yang am<'m hingga
menimbulkan perasaan marjinalitas dan ketidakamanan di masa
kanak-kanak dan remajanya. Hal ini semakin relevan tatkala ia
mengatakan bahwa tak seorangpun dari penghuni rumah
ayahnya itu yang berbasis pada budaya intelektua1. 4
Setelah kematian ayah Georg, Julius Friedlander- seorang
ternan dari keluarga Georg dan produser musik yang sangat suk-
ses- banyak berperan dalam membesarkan Georg dari masa kecil
hingga mencapai gelar doktornya. Tidak heran bila Georg mem-
persembahkan disertasinya untuk "ayah angkatnya" tersebut. 5
Warisan uang ayah angkatnya memungkinkan Georg memper-
tahankan gaya hid up borjuis. Kendati karir akademis tidak men-
datangkan banyak uang bagi Georg. 6
Di tahun 1876, sesudah lulus Gymnasium, Simmel masuk
Universitas Berlin. Pada awalnya, ia ban yak mempelajari sejarah,
folk psychology, seni, dan filsafat. Beberapa figur akademisi yang
sangat penting dan berpengaruh pada waktu itu di antaranya
sejarawan Theodor Mommsen, Treitschke, Sybel, dan Droysen;
filsuf Friedrich Harms dan Eduard Zeller; sejarawan seni
Hermann Grimm; antropolog Moritz Lazarus--Wilhelm Dilthey
dan Wilhelm Wundt ikut diajarnya-- 7 dan Steinthal (seorang
pendiri Voelkerpsychologie) dan psikolog Adolf Bastian. 8 ltu

der See/e (1902-03), Das Clrristentum und die Kunst (1907), Die Peronliclzkekit Gottes (1911 ).
dan Das Prob/eme der religiosen Lage (1911). Simmel juga menulis The Sociology of Religio11
(1906), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Curt Rosenthal pada
tahun 1959 terbitan New York: Philosophical Library.
4 David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 22. Lihat juga Lewis Coser,
Master of Sociological Thought, hal. 194; Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Modern,
hal. 253. Renate Mayntz, dalam David L Shill, International EnCJjclopediaof The Social Sci-
ence, vol. 14, New York: Free Press & Macmillan, 1968, hal. 252.
5 David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), haL 23.
6 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, haL 252.
7 David Frisby, Georg Simme/ (Key Sociologist), haL 23.
8 Ibid. Lihat juga Lewis Coser, Master of Sociological Thought, haL 194-195.

Bab II Biografi lntelektual Goerg Simmel 35


sebabnya tulisan awalSimmel berada di wilayah studi filsafat
dan psikologi.
Pada tahun 1880, disertasinya tentang musik berjudul Psy-
chological and Ethnographic Studies on Music ditolak. 9 Setahun
berikutnya baru Simmel menerima gelar doktor di Universitas
Berlin. Disertasinya membahas tentang Discription and Assesment
of Kant's Various Views on the Nature of Matter dengan judul The
Nature of Matter According to Kant's Physical Monadology. Bebe-
rapa tahun berselang disertasi itu mendapat penghargaan. 10
Sejak Januari 1885, ia mulai mengajar di Universitas Berlin
sebagai Privatdozent (dosen yang tidak digaji, melainkan hanya
tergantung pada iuran mahasiswanya sebagai upah). Banyak or-
ang mengakui Simmel mempunyai komitmen kuat. Ia memu-
tuskan untuk tetap tinggal dan mengajar di Universitas Berlin.
Komitmennya yang kuat tidak terpengaruh oleh kebanyakan
akademisi Jerman yang secara tipikal berpindah dari universitas
yang satu ke universitas lain, baik selama studi maupun ketika
mereka mengajar.
Sebagai seorang pengajar yang cemerlang, peka, dan sangat
mendalam pengetahuannya tentang pelbagai hal, kuliahnya
berpengaruh sangat luas dan banyak membangkitkan antusiasme
audiens. Ia merupakan pengajar yang sangat terkenal. Kuliahnya
secara cepat menjadi peristiwa intelektual yang terkemuka dan
dianggap penting. Dalam kuliahnya, tidak hanya mahasiswa saja
yang menghadirinya tetapi juga kaum elit intelektual di Berlin.
Kali pertama, Simmel mengajar logika, sejarah filsafat hi-
ngga etika, psikologi sosial, sosiologi, dan metafisika. Ia mengajar
tentang Kant, Schopenhauer, Darwin, Nietzsche, dan beberapa
tokoh lainnya. Tetapi segera sesudahnya, ia mulai menekankan
beberapa aspek sosiologis dalam tema-tema kuliahnya dan
selanjutnya mencurahkan seluruh hal pada subyek pengetahuan
yang baru ini yang pada waktu itu belum ada orang lain yang

9 David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 23.


10Ibid. Lihat juga Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 194.

36 Problem Modernitas dalam Keranglw Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


mengajarkannya. Kendati begitu, sosiologi hanya berarti kurang
lebih separuh dari seluruh bagian yang ditawarkannya.
Di bulan Juli 1890, Simmel menikah dengan Gertrud
Kinel, 11 seorang ahli filsafat. Dari perkawinannya ini, ia mem-
punyai seorang anak laki-laki bernama Han§ Simmel yang kelak
juga menjadi seorang intelektual dan penulis dalam bidang
filsafat. 12 Dengan menggunakan nama samaran Marie-Luise
Enckendorf, Gertrud menerbitkan berbagai topik seperti filsafat
agama dan seksualitas. Gertrud juga menjadikan salon di ru-
mahnya sebagai ajang diskusi dan pertemuan rutin kelompok,
sehingga Sosiabilitas yang ditulis Simmel menemukan setting
memadai. 13 Salon itu juga menjadi ruang diskusi yang hangat
bagi para elit intelektual Berlin.
Meskipun Simmel sangat dikagumi orang karena penge-
tahuan yang luas, kecemerlangan kuliahnya, dan mutu tulisan-
tulisannya namun pengakuan profesional yang diberikan
kepadanya sangat minim. Di Universitas Berlin, setelah jabatan
Privatdozent dijalaninya hingga kurang lebih lima belas tahun
(1885 -1900). Pada tahun 1901 (dalam usia 53 tahun) ia menerima
gelar "Ausserordentlicher Professor" (Profesor Luar Biasa).Titel ini
melulu gelar kehormatan (titular professor) bahkan menyebabkan
dirinya semakin tersingkirkan dari urusan akademis.

11 Pertemuan pertama antara Simmel dengan Gertrud Kine! terjadi di rumah


ternan dekatnya Sabine Graef-yang kemudian bemama Sabine Lepsius-seorang ilmuwan
yang memperkenalkan dan membawa Simmel dalam diskusi "lingkaran Stefan Georg"
(the circle around tlze poet Stefan Georg). Lihat dalam David Frisby, Georg Simme/ (Key Soci-
ologist), hal. 35.
12 Renate Mayntz dalam David L. Shill, International Encyclopedia of tlze Social Sci-
ence, hal. 252.
13 Di rumah Simmel terdapat salon, yakni sebuah ruangan/ tempat khusus untuk
benda-benda antik/ seni, seperti furnihtre, lukisan, patung dan benda-benda antik lainnya,
yang sering menjadi ruang tamu a tau ternpat diskusi kelompoknya. Dalam konteks ini,
tatkala Leopold van Weise me-review "The Sociology of Sociability", ia mengatakan bahwa
sosiologi Simmel merupakan "a sociologtj for tire literan; salon". Lihat dalam David Frisby,
Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 35 dan Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal.
196.

Bab If Biografi lntelektual Georg Simmel 37


Setelah seluruh upaya mencapai profesor penuh dirasakan
gagal, hingga mencapai usia yang ke-56, pada tahun 1914 Simmel
meninggalkan Universitas Berlin. Ia mendapat panggilan untuk
menduduki kursi di Universitas Strassburg sebagai profesor pe-
nuh. Malang tidak dapat ditolak untung tidak dapat diraih. Kehi-
dupan akademisnya terhenti karena pecah perang. Empat tahun
ia bekerja di Universitas Strassburg. Kanker hati merenggut
nyawanya pada 28 September 1918, tak lama sebelum Perang
Dunia I ber-akhir. 14
B. Berlin: Latar Sosial-Intelektual Georg Simmel
1. Situasi Sosial-Politik Global Jennan Raya
Di sepanjang hidupnya, Simmel mengalami pelbagai
perubahan sosial-politik Jerman yang cukup penting. Ia menjadi
saksi waktu (Zeitseuge) dari sejarah peradaban bangsanya.
Peristiwa-peristiwa sosial-politik global telah menjadi basis pem-
bentuk komitmen dan asketisme hidupnya. Perjalanan Bangsa

14 Dapat dilukiskan, betapa kematian Simmel telah mengakhiri kesepian di


sepanjang hidupnya. Ruang modernitas kota Berlin dan naungan Jerman Raya tak
memberi pilihan bagi kebebasan bernafas. Simmel menjadi orang yang tersingkir dan
terbuang. Perhitungan kurangnya penghargaan akademis yang penuh pada karya-karya
Simmel ini harus dilampirkan historisitas perembesan anti-semitisme di kehidupan
akademis Jerman pada waktu itu. Namun terdapat ilmuwan yang bequang keras
memperjuangkan eksistensi Simmel di lingkungan akademis Jerman, yakni Max Weber.
Dalam beberapa kesempatan,Weber berusaha keras menjamin kursi professorial untuk
Simmel, tetapi setiap kali ditentang dengan permusuhan, tidak hanya oleh otoritas negara
tetapi juga dari akademisi-akademisi terkenal dengan alasan-alasan yang kuat untuk
menolak Simmel. Dalam catatan Baumgarten, Weber tak akan pernah memberikan maaf
pada Dithey, Rickert, dan Windelband yang dengan terang-terangan menghalangi
sebutan gelar keprofesoran penuh untuk Georg Simmel, dengan alasan, karena dia adalah
seorang Yahudi (Namun menurut Frisby, hal ini perlu pengecekan dan pembandingan
dengan berbagai surat rekomendasi untuk Simmel berkaitan dengan karirnya, yang
ternyata ditandatangani di antaranya oleh Dilthey dan Windelban).
Dengan mempergunakan penilaian yang "ad hominem" mereka semakin
memperpuruk eksistensi subyek dan intelektualitas Simmel. Sebuah kenyataan tak
terpungkiri, Simmel tidak banyak mendapat tempat dan melegenda seperti Marx,
Durkheim dan Weber, serta ilmuwan sosiallainnya. Bagaimanapun juga, seperti yang
dikatakan oleh Coser, Simmel merupakan "stranger in the academy". Lihat dalam Tom
Bottomore dan David Frisby, "Introduction to the Translations" dalam George Simmel,
The Philosophy of Money, London: Routledge & Kegan Paul, 1978, hal. 3.

38 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Jerman yang timbul tenggelam oleh arus modernisme akan
diuraikan lebih lanjut guna melacak otentisitas sosok Simmel
sebagai "anak jaman" modernitas kota Berlin.
Pada usia dua belas tahun, Simmel mengalarni peristiwa-
politik besar, yaitu terbentuknya Jerman Raya. Jerman Raya (Ger-
man Reich) berdiri setelah kemenangan Jerman atas Perancis
dalam perang Franco-Prussian 1870-1871. 15 Di tahun 1871, Jerman
Raya kemudian dipimpin oleh sang "Kanselir Besi" Otto von Bis-
marck. Jerman waktu itu di bawah Kaisar Wilhelm I.1 6 Tahun-
tahun sesudahnya, wajah-wajah kota Jerman berubah dengan
sangat kontras. Berlin misalnya, secara mendadak berubah
menjadi kota dunia. Populasinya mencapai jurnlah 400.000 di
tahun 1848. Pada tahun 1914 penduduk Berlin meledak menjadi
4 juta. Tak jauh berbeda dengan kota-kota besar Jerman lainnya,
seperti Hamburg, Koln, Munich, Leipzig, dan Frankfurt, juga
berkembang dengan sangat cepat. Hingga empat per lima dari
populasi Jerman yang pada tahun 1830 masih tetap hidup di
wilayah rural (pedesaan), setelah tahun 1895 hanya tinggal
seperlimanya.

15 Sebelum terbentuknya Jerman Raya pada tahun 1871, pengertian Jerman


hanyalah penamaan umum terhadap bahasa dan kebudayaan Jerman, bukan dalam arti
negara sebagai satu kesatuan politik. Ia merupakan kumpulan negara yang berbentuk
kerajaan. Beberapa kerajaan yang cukup terkenal, di antaranya adalah Prusia, Bayern
(Bavaria), Hohenzolem, Sachsen, Westfalen, Baden dan beberapa kerajaan kecillainnya. Lihat
dalam B.N. Marbun SH, Demokrasi Jerman: Perkembangan dan Masa/almya, Jakarta: Sinar
Harapan, 1983, hal. 20.
16 Selama perang berlangsung, opini publik yang beredar di Jerman menghendaki
adanya penyatuan antara Jerman Utara dan Jerman Selatan. Secara terpisah, Bismarck
bemegosiasi dengan setiap negara bagian untuk membuat konsesi penting tersebut-yang
nantinya pada akhir November tahun 1871, treaty tersebut ditandatangani oleh seluruh
negara bagian. Jerman Raya ini diproklamasikan pada tanggal 18 Januari 1871 oleh
Wilhelm I di "The Hall of Minors" Versailles. Konstitusi Jerman Utara Serikat kemudian
diubah menjadi persetujuan yang disepakati oleh berbagai negara, yang kemudian
terbentuk Dewan dan Parlemen (Reichtag) Jerman Raya. Jerman Raya ini meliputi 25
negara-yang tercakup dalam4 kerajaan besar (Pmsia, Bavaria, Saxony, dan Wzlrttemmberg),
5 wi!ayah besar kebangsawanan (duchies), 13 wi!ayah kebangsawanan dan kepangeranan,
serta tiga "kota-bebas" (free cities), yakni Hamburg, Bremen dan Lubeck. Lihat dalam
William L. Langer (edt), An EnCJjclopedia of World HistonJ, London: Georg G. Harrap,
1968, hal. 736.

Bab II Biografi lntelektual Georg Simmel 39


Di bidang ekonomi, dari tahun 1871 hingga 1874 saja, telah
berdiri tak kurang dari 857 perusahaan baru di mana dalam
11 11
,

suasana bisnis, modal yang diperlukan berada di atas empat mil-


yar mark. Perbankan di Berlin pun akhimya membuka anak-anak
cabangnya dan membawahi perusahaan-perusahaan baru yang
tumbuh memenuhi seluruh Jerman.
Sesungguhnya, pemunculan industri Jerman lebih lambat
dibandingkan dengan yang terjadi di Inggris dan Perancis, akan
tetapi dalam tingkat kepesatan perkembangannya tidak kalah.
Produksi industrial Jerman telah melampaui Perancis di tahun
1870-an, dan mencapai rekor produksi Inggris di tahun 1900, per-
mulaan Perang Dunia I, dan hanya ketinggalan dengan Amerika
Serikat. Di tahun 1875, Jerman memproduksi 34 juta ton batubara,
yang dua puluh lima tahun kemudian telah mencapai 74 juta ton
dan meningkat dua kali lipat di tahun 1910. Jerman sungguh men-
jadi negara industrial besar dengan rekor waktu tercepat.l 7
Kemenangan besar dan munculnya kapitalisme Jerman,
selama dua puluh lima tahun terakhir a bad ke-19, temyata tidak
disertai perubahan mendasar dalam bidang politik. Jerman
merupakan negara kapitalis dengan sistem politik yang semi-
feodal. Orang-orang baru dari lingkungan pengusaha dan
industriawan telah bertindak brutal, penuh ambisi dan arogansi.
Dengan pongahnya, mereka merasa telah membangun landasan
ekonomi dan dianggap sebagai poros-poros or de baru" (a pivots
11

of new order). Kaum borjuis yang banyak mendapatkan per-


wakilan politik, secara leluasa dan dengan mudahnya melakukan
ekspansi ekonomi, sehingga semakin meraup banyak keuntung-
an. Partai-partai kelas menengah memperoleh kenyamanan di
bawah Bismarck, sehingga yang tadinya merupakan Partai Lib-
eral Demokratik akhimya menjadi Partai Nasional Liberal, sebagai
penggembira" dari status quo. Hanya ada tiga partai yang meno-
II

lak bergabung dengan sistem Bismarckian, yakni Social Democrats

17 Uraian di atas dikutip dari Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 203-
204.

40 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Party, Catholic Center Party dan Old-Fashioned Liberals. Kelaspekerja
baru yang ditimbulkan oleh adanya industrialisasi,
membengkakkan Partai Sosial Demokrat meskipun ditentang
keras dan dihalangi sepenuhnya oleh pemerintah dengan
mengatakan: "inkonstitusional". Bismarck mencoba membeli
pekerja-pekerja itu dan menjinakkannya melalui berbagai "iming-
iming" kesejahteraan dan jaminan keamanan sosial. Tetapi,
mereka tetap saja bertindak menentang sistem politik yang
mencabut hak-hak rakyat serta membatasi kekuatan-kekuatan
politiknya. Namun ketika kelas menengah liberal menjadi sangat
lemah, partai kelas pekerja menanggung be ban perjuangan yang
berat untuk tuntutan demokrasi--yang di Perancis maupun
Inggris telah lama disadari sebagai bagian dari program untuk
kelanggengan partai kelas menengah itu sendiri. 18
Pemerintahan Jerman Raya di bawah kepemimpinan
"Kanselir Besi" Bismarck dengan bengisnya menindas dan mem-
berangus lawan-lawan politik dan kelompok oposisi. Kepemim-
pinannya telah merusak dan meruntuhkan formasi berbagai ke-
lompok oposisi serta perbedaan gagasan-gagasan politik yang
dimunculkannya. Keadaan tersebut terjadi lantaran sikap Bis-
marck yang pongah dan jumawa, yang merasa telah berandil be-
sar dalam kemajuan di bidang ekonomi, politik dan sosial di nega-
ranya. Nampaknya bentuk authoritarian tersebut tetap tidak
banyak berubah hingga pada masa kekaisaran Wilhelm II. 19
Dua tahun sebelum pemerintahan Bismarck berakhir di
tahun 1890, Kaisar Baru Wilhelm II memerintah (1888-1918). 20
18 Ibid., hal. 204.
19 Bagaimanapun juga, kenyataan itu dianggap sebagai Jatar belakang his loris
yang panjang untuk menjelaskan teryadinya revolusi Jerman di tahun 1918-1919. Sarna
seperti revolusi-revolusi lainnya, bibit ketidakpuasan tersebar pada masa-masa kejayaan
dan kegemilangan penyatuan negara-negara bagian. Lihat dalam Charles B. Burdick &
RalpH. Lutz (ed.), The Politicallnstitutions of the German Revolution 1918-1919, New York:
Frederick A. Praeger, 1966, hal. 1.
20 William II menggantikan ayahnya Frederick Ill. Ia merupakan kaisar muda,
orang yang pandai, mempesona, idealis. Tetapi yang disayangkan, ia seorang yang
impulsif dan keras kepala, dan mengatur negara merupakan kekuasaan mutlak dirinya.
Dapat dikatakan, ia adalah hukum itu sendiri. Lihat dalam William L. Langer (ed.), An
EnC1Jclopedia of World HistonJ, hal. 740.

· Bab II Biografi lnte/ektual Georg Simmel 41


Dalam kepemimpinannya, kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak
dilatari kecakapan (kedetailan) perhatian pada banyak aspek,
yang mencirikan kebiasaan Bismarck. Pada masa-masa kemu-
dian, Kaisar segera memulai ekspansi keluar dan mencanangkan
program alat-alat perang, yang tentunya menjadi ancaman besar
bagi bangsa-bangsa imperialis yang lebih tua. 21
Dalam situasi sosial-politik yang tidak sehat seperti itu,
ternyata kehidupan intelektual Jerman tetap tumbuh subur. Buk-
tinya, sarjana-sarjana Jerman secara produktif memunculkan
berbagai karya yang berkualitas dan tak terkalahkan. Dalam
bidang puisi misalnya, muncul sosok seperti Detlev von
Liliencron, Richard Dehmel (1863-1920) dan selanjutnya muncul
Rainer Maria Rilke (1875-1926) dan Stefan Georg (1868-1933)
sebagai pelopor dalam "poetic renaissance" (pembaharuan dalam
bidang puisi). Naturalisme, terutama dalam permainan Gerhart
Hauptmann, yang dengan tajam membidik dan menampilkan
potret-potret kritis di jamannya, yang mengindikasikan kepuasan
diri kelas menengah dalam wajah penderitaan kaum proletar.
Dalam lukisan impresionistik, meskiimn banyak tergantung pada
sekolah Paris, lahir maestro seperti Max Liebermann. 22
Namun secara garis besar, keadaan intelektual di periode
industrialisasi Jerman tersebut dapat digambarkan, seperti yang
diungkapkan Golo Mann, bahwa antara the spirit and the state,
hidup terpisah satu sama lain" (Mann, 1958: 548). Bagaimanapun
juga, dunia intelektual secara politik "mandul". Berbeda dengan
Perancis, seniman dan intelektual Jerman tidak berminat pada
perannya sebagai warga negara atau hal-hal berbau politik dan
lebih menarik diri menekuni studinya. Mereka lebih memilih
sebagai subyek yang tunduk-mengalah daripada sebagai aktivis
politik. Di masyarakat liberal semisal Perancis dan Inggris,
intelektual tidak terikat pada dunia akademis. Sejak abad ke-18,

21Lewis Coser, Master of Sociological Tlrouglrt, hal. 205.


Master of Sociological Tlrouglrt, hal. 205. Bandingkan dengan
22 Lihat Lewis Coser,
William L. Langer (ed.), An Enctjclopedia of World HistonJ, hal. 742-743.

42 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


mereka aktif dan sibuk dalam "percaturan gagasan" dan mena-
nggung peran kuncinya sebagai analis-kritis, pentakbir idiologis
dan "perongrong manusia-manusia kekuasan". Baik dalam pera-
saan, moral dan politik, mereka menjadi ujung tombak kelas
menengah. Lain halnya dengan di Jerman, kaum intelektual se-
makin mengukuhkan kemunduransosial politik negerinya. Sifat
apatis kelas menengah tidak banyak punya andil dalam
memainkan gagasan-bebas. 23
2. Kiprah Simmel di Belantara Modernitas Kota Berlin
Adalah suatu kenyataan bahwa Simmel tidak bisa dipisah-
kan dengan Berlin. Benih kehidupan akademis dan intelektuali-
tasnya tertabur, tumbuh, mengakar, mekar, berbunga dan ber-
buah di Berlin. Simmel banyak menghabiskan hidupnya di kota
tempat ia lahir, dibesarkan, dan merintis kesarjanaannya itu. Di
kota Berlin ini, ia menjelajah dan mengalami berbagai keadaan,
baik antara kemiskinan maupun kesejahteraan, baik kesuksesan
rrlaupun berbagai penolakan atas dirinya. Kuatnya afinitas
Simmel dengan Berlin tak dapat diragukan lagi. Simmel sendiri
pernah mengatakan: 24
Perkembangan Berlin dari kota kecil menjadi metropolitan di seputar
masa pergantian abad, bertepatan dengan perkembangan diri saya yang
sangat kuat dan luas.
Tumbuhnya kota Berlin berarti pula pertumbuhan kapasitas
intelektual dan kekaryaan Simmel. Dengan demikian, budaya
metropolitan sangat berperan dalam membentuk karakter ·

23 Gambaran tentang kondisi intelektual Jerman tersebut oleh H Stuart Hughes


pernah dilukiskan dalam ungkapan berikut: "Eksistensi mereka (profesor-profesor
Jerman) ada dalam kerja keras dan suka ria (jovial). Kehidupannya tak jauh dari minum
anggur dan bir, Jiburan ke Alpine dan ziarah ke !tali, mencari tempat yang Jayak dan
pantas baginya, yang kesemuanya mengesankan sifat gembira dan produktif." Lihat
Lewis Coser, Master of Sociological Tlzouglzt, hal. 206.
24 Lihat, kutipan Hans Simmel dalam David Frisby, Georg Simmel (Key Sociolo-
gist), hal. 34.

Bab II Biograji lnteleklual Georg Simmel 43


kepengarangannya. Lingkungan yang inspiratif di Berlin seakan
tersketsa dalam berbagai karya Simmel. Dalam sebuah ungkapan,
sekali lagi ia menegaskan pernyataannya: 25
Mungkin, saya tetap mampu mencapai segala sesuatu yang bernilai di
kota lain, tetapi hasil spesifik yang telah saya capai dalam dekade tersebut,
jelas-jelas dilingkupi oleh lingkungan Berlin.

Telah dikatakan di muka, Berlin sangat strategis sebagai


ruang interseksi berbagai arus pemikiran kaum intelektual. Peran
berbagai paguyuban seni dan kelompok diskusi di Berlin telah
ikut andil dalam perkembangan pemikiran Simmel. Di sanalah
ia berkiprah, baik dalam dunia kampus maupun dunia luar kam-
pus. Spirit petualang" Simmel muncul ketika tindak diskriminasi
II

dan marjinalisasi dialaminya di dunia akademis (kampus). Bak


emas yang teruji dalam bara api, kapasitasnya kian mekar dan
berkembang di dunia luar kampus. Ia berperan aktif dalam
berbagai kelompok sosial dan lingkaran budaya (cultural circle).
Ia menjalin hubungan yang bersifat personal dengan berbagai
kalangan (intelektual, jurnalis, penulis, budayawan, seniman dan
kritikus seni, dan penyair, bahkan orang awam sekalipun) khu-
susnya yang tertarik pada kuliah, pengajaran, diskusi dan semi-
narnya.
Dari sana terlukiskan bahwa Simmel hid up dan beraktuali-
sasi dalam dua dunia':: eksistensinya ada dalam lingkungan
II

budaya akademis (universitas) maupun budaya non-akademis.


Simmel memekarkan hubungan tidak hanya dengan kawan-
kawan dan guru-gurunya di dunia akademis, tetapi juga dengan
anggota kelompok budaya tanding non-akademis Berlin (yang

25 /bid. Lihat juga dua karya Simmet The Philosophy of Money (1900) dan The Met-
ropolitan and Mental Life (1903), yang jelas-jelas berlatar kota Berlin. Dalam ungkapan
Karl Joel, seorang filsuf dan ternan Simmel, misalnya: The Philosophy qfMoney merupakan
"Filsafat Jaman". Lebih detailnya, ia mengatakan: "Buku ini hanya dapat ditulis di Ber-
lin pada saat itu ... Dengan kepekaan telinga, karya ini mampu menangkap suara yang
sangat jauh di dalam kehidupan modem. Dari celoteh orang-orang di pasar yang riuh-
rendahnya takkan terdengar oleh layaknya orang, namun bak Pythagorean yang terkait
dengan harmoni lingkungan, ia selalu mampu mendengarkannya. Lihat David Frisby,
"Introduction to The Translation" dalam Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 8.

44 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


biasa disebut counterculture Berlin). Kelompok yang terakhir ini
muncul atas dasar keprihatinan sejumlah warga masyarakat
ten tang kehidupan di berbagai kota besar, khususnya Berlin, yang
banyak didominasi oleh kaum profesoriat atau intelektual
kampus.
Sejak semula, Simmel sendiri bosan terhadap gaya hidup
dan standar ketat dunia akademis yang berlaku di Universitas
Berlin, yang menganggap dirinya sebagai "First Guards Regiment
of Learning" (Meinecke,1964:145). Maka tidaklah mengherankan
jika Simmel kemudian tertarik masuk dalam dunia pengkajian
sastra, salon yang bercorak semi bohemian, diskusi lintas budaya
yang bergulir-bebas dalam "lingkaran non-akademis" tersebut. 26
Berkaitan dengan hal tersebut, maka tatkala kita membaca karya-
karya Simmel, satu hal yang tak dapat disisihkan dan dilupakan
begitu saja adalah lampiran utama tentang konteks peran sosial
Simmel dalam dua komunitas tersebut. Bagaimanapun juga,
realitas Simmel yang berinterseksi dalam berbagai lingkaran
terse but merupakan kunci utama untuk mencerna ciri, corak dan
gaya khusus dari pemikiran maupun penulisan Simmel; yang
tentunya berbeda--bahkan harus dibedakan dengan tajam--
dengan tokoh-tokoh yang sejaman dengannya, semisal Durkheim
atau Weber. 27
26 Cormterwlhm Berlin ini mencakup berbagai kalangan yang tidak bisa dianggap
remeh, di antaranya kelompok-kelompok kritis kaum jumalis, seniman teater dan
dramawan, pengarang, seniman bohemian dan lain-lain. Masing-masing dari mereka
ikut ambil bagian dalam pertukaran gagasan yang lebih berani dibandingkan kalangan
akademis. Meskipun sama-sama jauh dari kancah kehidupan politik, namun dapat
dikatakan, kelompok budaya tanding Berlin tersebut lebih banyak berandil dan terlibat
aktif dalam menyuarakan berbagai persoalan-persoalan dunia sosialnya. Bukti nyata
keterlibatannya, ia memperoleh lebih banyak simpati dari berbagai kalangan dan anggota
masyarakat. Untuk uraian tentang dua kelompok besar (audiens Simmel) di atas lihat
dalam penjelasan Lewis Coser, Master of SoCiological Tlrouglrt, hal. 207-209.
27 Orientasi-ganda Simmel pada dua kelompok terse but nantinya tergambar jelas
dalam tulisan-tulisan yang dihasilkannya. Pada dasamya, tulisan-tulisan Simmel yang
diterbitkan dalam berbagai media lebih banyak ditujukan untuk konsumsi masyarakat
non-akadernis. Awalnya, Simmel nampak aktif dalam dua kelompok tersebut, namun
tatkala dunia akadernis bertindak diskrirninatif padanya, ia kemudian lebih memusatkan
pada kelompok non-akademis. Karenanya, karya-karya yang dihasilkannya lebih banyak
yang bersifat non-akadernis. Untuk persoalan ini, lihat uraian selanjutnya dalam bahasan
perkembangan karya-karya Simmel.

Bab II Biografi Intelektua/ Georg Simmel 45


Lebih jauh, kita dapat melihat gambaran betapa luas dan
intensifnya hubungan pribadi Simmel dengan tokoh-tokoh dari
berbagai kalangan dan komunitas di Berlin. 28 Pada awalnya,
tatkala Simmel masih mahasiswa dan hendak melengkapi
tugasnya untuk meraih gelar doktor, ia menjalin hubungan de kat
dengan ternan kuliahnya, Stanley Hall yang nantinya menjadi
editor Vossischer Zeitung, sebuah surat kabar Berlin terkemuka,
di mana Simmel juga sering menyumbangkan tulisannya. Pada
waktu Hall menjadi psikolog Amerika, Simmel tetap berkores-
pondensi dengannya. Dalam dunia akademis, Lazarus dan
Steinthal (psikolog) terkesan dengan sejumlah karya Simmel dan
berusaha menerbitkannya dalam jumal mereka, Volkerpsychologie.
Di awal karir akademisnya, Simmel sangat terdukung oleh
kehadiran Gustav Schmoller (seorang ekonom) dan dalam per-
kembangan karirnya juga tak terlepas dari dukungan-kuat ternan-
ternan dekatnya, seperti Weber, Heinrich Rickert, Edmund
Husser! dan Adolf von Harnack. Berkat perjuangan mereka lah,
Simmel sedikit banyak memperoleh kedudukan terkemuka.
Selain itu, dalam perjuangan mengembangkan disiplin sosiologi,
Simmel bersama dengan Weber dan Tonnies aktif dalam German
Society for Sociology.
Di Berlin, Simmel juga berjumpa dengan Ignaz Jastrouw,
seorang ekonom yang nantinya menjadi tetangga dan ternan
dekatnya dan juga editor dalam Jurnal Liberal Kiri, Sociale Praxis.
Karena Jastrouw lah, di awal tahun 1890-an, Simmel mulai tertarik
dan bergabung dengan "lingkaran sosialis" (circle socialist) yang
biasa menerbitkan jurnal kaum sosialis maupun majalah partai
sosialis Vorwiits. Selain itu, Simmel juga aktif dalam kegiatan "So-
cial Science Student Association". Di sana, ia bergabung dalam divisi
a tau bidang kajian psikologi sosial dan memberi pelajaran tentang
The Psychologtj of Socialism, di mana Max Weber juga-ikut memberi
pelajaran dalam kelompok yang sama tentang Agrarian Worker
Question.
28 Perna paran ten tang aktivitas Simmel bersarna tokoh-tokoh di Berlin ini sebagian
besar disadur dari David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 34-37.

46 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosio/ogi Kebudayaan Georg Simme/


Tokoh lain yang cukup berjasa dalam perkembangan
Simmel adalah Sabine Graef. Berkat Sabine, Simmel kenai dengan
"the circle around the poet Stefan George". Pada suatu waktu di paruh
kedua tahun 1880-an, di rumah Sabine, Simmel diperkenalkan
dengan Getrud Kinel - yang kemudian menjadi istrinya. Dalam
kelompok ini, Simmel mendapat lingkungan diskusi yang cukup
kondusif untuk perkembangan intelektualnya, terutama yang
berkaitan dengan pandangannya tentang kebudayaan kontem-
porer.29
Perbintangan dan diskusi hangat dalam kelompok ini pada
akhirnya membuahkan persahabatan yang kental an tara Simmel
dengan dua penyair terkemuka dari Jerman, yakni Stefan George
dan Rainer Maria Rilke. Di sana, Simmel juga berdiskusi secara
intens dengan tokoh-tokoh, seperti Elly Heuss Knapp dan Paul
Ernst-nantinya menjadi ternan dekat Georg Lukacs, seorang mu-
rid Simmel yang juga menulis tema-tema sosialis dalam karya-
karya awalnya. Dalam waktu yang cukup lama Simmel tetap
bergabung dengan kelompok ini, walaupun tidak secara formal
menjadi anggotanya. Akhirnya, jaringan dalam bidang sosial dan
seni dari Simmel meluas jauh melampaui Stefan George Circle itu
sendiri.
Hiperaktivitas Simmel semakin kentara ketika ia menyibuk-
kan dirinya dalam kelompok diskusi yang diadakan di salonnya.
Dengan dibantu oleh istrinya, Simmel menyelenggarakan perte-
muan rutin kelompok diskusi terse but. Pertemuan yang diadakan
seminggu sekali tersebut mendapat banyak simpati berbagai
kalangan masyarakat, baik kaum intelektual maupun rnasyarakat
awam Berlin. Beberapa partisipan salon yang cukup dikenal
adalah Edith Landmann dan Margaret Susman (ternan dekat
Simmel). Oleh kedua partisan tersebut, Simmel dianggap sosok

29 Pandangan Simmel tentang kebudayaan kontemporer dapat dibaca dalam


karyanya The Philosophy of Money dan beberapa karya lainnya. Oleh banyak orang karya
ini dianggap dipengaruhi oleh program pembaruan budaya kaum elit yang digarap oleh
Stefan George Circle tersebut. Lihat, Ibid., hal. 36.

Bab II Biografi lntelektual Georg Simmel 47


yang mengesankan dalam membeberkan tema kebudayaan
maupun estetika. Dalam sebuah komentar tentang Simmel,
selayaknya menggambarkan lingkup budaya Jerman sebelum
pecah Perang Dunia I, Landmann mengatakan: 30
Seperti halnya Dilthey, Husser[ dan Bergson,Simmel juga seorang yang
sangat representatif dalam periode ini, yang mungkin orang tidak dapat
menemukan ekspresi dan ungkapan yang jelas seperti dalam dirinya.
Dalam Simmel .. .orang dapat merasakan denyut nadi jam an yang sangat
kuat. Audiensnya di Universitas Berlin sangat luas dan merupakan
orang-orang pilihan. Di jamannya, ia berhubungan tidak hanya dengan
para filsuf dan akademisi terkemuka seperti Bergson, Troeltsch dan Max
Weber, tetapi juga dengan seniman dan penyair, seperti Rodin, George
dan Rilke. Ia merupakan pusat elit intelektual....
Kita sampai pada sebuah tataran pemahaman bahwa peran
sosial Simmel telah mendapat simpati besar dari berbagai anggota
komunitas dan kelompok masyarakat di kota Berlin. Kita dapat
mengatakan, Simmel telah menjadi "public figure" pada jamannya.
Dengan reputasi dan perannya sebagai intelektual sekaligus
aktivis di luar kampus, Simmel menjadi sosok yang khas dan
sepadan dengan tokoh-tokoh besar Jerman, seperti yang disebut
Landmann di atas.
C. Karya-karya Simmel
1., Buah Berbagai Orientasi
Seperti telah disebutkan di muka, Simmel adalah seorang
penulis yang sangat produktif. Dalam catatan Coser, selama
hidup didunia intelektual (28 tahun), Simmel menghasilkan lebih
dari dua ratus artikel yang terbit di berbagai jurnal, surat kabar
dan majalah ternama. Selain lima atau enam karya besarnya,
Simmel juga menghasilkan lima belas tulisan di berbagai bidanf
seperti filsafat, etika, sosiologi dan kritisisme kebudayaan. 1

30 Ibid.,hal. 36-37.
31 Lewis Coser, Master of Sociological Thouglrt, hal. 198.

48 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Selain itu ia juga belajar sejarah, psikologi sosial dan ilmu logika.
Karya-karyanya memanifestasikan kegairahan dan minat
besarnya pada berbagai bidang kajian. Dengan bebasnya, ia
"berlenggang" melintasi batas-batas antar ilmu. Dapat dikatakan,
karya-karya Simmel merupakan buah dari berbagai orientasi
minatnya. Berikut ini, minat Simmel di berbagai disiplin ilmu
akan diuraikan secara kronologis.
Dalam catatan Frisby, pada awalnya, minat Simmel ada
dalam bidang kajian psikologi dan filsafat. Usulan disertasinya
yang berjudul, Psychological and Ethnographic Studies on Music
(1880)--meskipun ditolak oleh pengujinya--menggambarkan
minat besarnya pada bidang psikologi. Beberapa tulisan lainnya
adalah Dante's Psychologtj (1884), The Psychologtj ofMoney sebagai
embrio dari The Philosophy of Money (1900) dan tak terkecuali
esainya yang berjudulTI1e Metropolis and Mental life (1903). Antara
tahun 1882-1909 tersebut, Simmel juga banyak menerbitkan
artikel-artikel yang berperspektif psikologi, meskipun judulnya
tidak menggambarkan bidang kajian itu.32
Di samping mengembangkan pemikiran tentang psikologi,
Simmel juga sangat potensial mengkaji filsafat. Masih dalam
catatan Frisby, di semester musim dingin 1886/1887 dan 1888/
1889, Simmel menyelenggarakan seminar tentang "The Philosophi-
cal Consequences of Darwinism". Selain itu, antara tahun 1887-1891,
ia mengadakan seminar dan perkuliahan tentang "Recent Philo-
sophical71reonj" terutama dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu alam
(natural sciences) sebanyak empat kali. Untuk tahun-tahun
berikutnya, ia menghasilkan berbagai karya dalam bidang filsafat,

32 Aspek-aspek dan perspektif psikologi ini bisa ditemukan dalam On Son a/ Dif-
ferentiation (1890), Problems ofP/zilosoplzy ofHistonJ (1892), Introduction to Moral Philosophy
(1892-1893), The Philosophy of Money (1900), bahkan dalam beberapa esainya dalam Soci-
olof51J (1908) sekalipun. Di tahun 1889 sampai dengan 1909, meskipun Simmel banyak
memfokuskan kajian pada sosiologi, namun ia sempat juga mengajar 13 rangkaian
pelajaran tentang psikologi. Empat dari hga belas rangkaian tersebut berjudul: Social
Phsyclwlof51J, yang secara khusus mengacu pada Socialism. Lihat dalam David Frisby,
Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 24-25.

Bab II Biograji lntelektual Georg Simmel 49


seperti The Problems of Philosophy of History (1892), Introduction to
Moral Philosophy (1892-1893), esai yang berjudul On The Relation
between the Doctrine of Selection and Epistemology (1895), The Phi-
losophy of Money (1900). Antara tahun 1900-1908, Simmel semakin
memperdalam minatnya pada filsafat. Ia menerbitkan koleksi
pelajaran ten tang Kant (1904), Problems of the Philosophy of History
(edisi kedua, 1905), maupun Kant and Goethe (1906), Religion (1906),
Schopenhauer and Nietzsche (1907).
Simmel juga intens dalam penulisan yang berada dalam
kategori filsafat seni dan filsafat kebudayaan. Dalam filsafat seni,
selain karya-karya awalnya tentang musik, Dante, Michelangelo,
Boklin dan Stefan George, ia juga menulis Rembrandt (1916) dan
On the Philosophy of Art, yakni kumpulan tulisannya yang baru
terbit pada tahun 1922, empat tahun setelah kematiannya. 33 Se-
dangkan filsafat kebudayaannya dapat ditemukan dalam esai-
esai, seperti On the Concept and Tragedy of Culture (1911), The Cri-
sis of Culture (1917), The Conflict in Modern Culture (1918). 34 Masih
erat kaitannya dengan filsafat kebudayaan, dalam bayang-bayang
kematiannya, Simmel menulis sebuah karya filsafat hid up den~an
judul Lebensanschauung, yang merupakan karya terakhirnya. 5
Frisby menambahkan, untuk bidang sosiologi, minat besar
Simmel berkembang secara intens antara tahun 1880-an sampai
dengan 1908. Tepatnya tahun 1887, Simmel mulai mengajar
tentang Etichs with Special Reference to Sociological Problems ..Setelah
itu, pengajaran sosiologi berjalan rutin di setiap tahunnya hingga
di tahun 1908 (yang kemudian hanya diadakan di tahun 1909/
1910, 1911/1912, 1917/1918). Karya.,.karya Simmel yang berper-
spektif sosiologi, di antaranya On Social Differentiation: Sociologi-
cal and Psychological Investigations (1890), The Problems of Sociology
(ditulis pada tahun 1894, yang kemudian menjadi bah pertama

33 David Frisby, [bid., hal. 24-26, 31.


34 Beberapa esai kebudayaan tersebut terkumpul dalam buku The Conflict in Mod-
ern Culture and Other Essays. Terjemah dan pengantar oleh K.P Etzkorn, New York:
Theachers Colege Press, 1968.
35 Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 203.

50 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


dalam bukunya, Sociology), Sociology (1908), Basic Questions of
Sociologr.; (1917) dan beberapa esai sosiologi lainnya. Selain karya-
karya tersebut, ada satu karya besar Simmel yang sangat kental
perspektif sosiologinya, meskipun berada dalam kajian filsafat-
yakni, The Philosophy of Money (1900). 36
Dari uraian di atas, ada satu kesan yang muncul bahwa
Simmel sangat "liar" dalam memadukan berbagi ilmu yang dige-
lutinya ke dalam suatu tulisan. Metode dari sebuah ilmu yang
seringkali menjadi limitas penentu identitas dengan ilmu yang
lain tidak banyak berarti a tau digubris oleh Simmel. Tidak sedikit
orang merasa bingung ketika harus menilai dan menelaah tulisan-
tulisan Simmel tersebut. Dengan dasar penilaian dan telaah yang
berbeda-beda (substansi tulisan, metode, sistematika dan lain-
lain), banyak ilmuwan menilai bahwa hal itu merupakan gaya
intelektual Simmel yang khas, namun tidak sedikit pula yang
menganggapnya sebagai kekurangbecusan Simmel. Tafsir demi
tafsir bermunculan dan hingga kini Simmel tetap merupakan
sosok yang kontroversialP

36 Hipotesis yang mengatakan bahwa karya besar Simmel yang satu ini berbasis
kuat pada perspektif sosiologi telah dijelaskan oleh David Frisby dalam berbagai
tulisannya. Lihat tulisan David Frisby dalam pengantar terjemahan The Philosophy of
Money dan Georg Simmel (Key Sociologist). Untuk uraian di atas lihat David Frisby, Georg
Simme/ (Key Sociologist), hal. 25.
37 Kemampuan Simmel untuk bergerak melampaui batas disiplin ilmu,
menggunakan berbagai perspektif teori, dan gaya penulisannya yang esaistik
memunculkan anggapan bahwa karya-karyanya bersifat tidak sistema tis, terpecah-pecah,
terfragmentasi (fragmented). Banyak ilmuwan mengatakan, fragmentasi tulisan Simmel
menyiratkan kegagalannya sebagai ilmuwan sosial dalam mengemban peran keilmiahan
dari komunitas intelektual. Emile Durkheim rnisalnya, mengatakan bahwa karya-karya
Simmel menunjukkan tidak adanya sistem orientasi yang jelas, "tiadanya keterkaitan"
antara tulisan yang satu dengan tulisan-tulisan lainnya. Pitirim Sorokin menulis bahwa
karya-karya Simmel menghasilkan rentetan inkonsistensi-logis, ketidakjelasan konstruksi-
konstruksi teoritis, yang menunjukkan kurangnya sejumlah sistem penulisan yang jelas.
Max Weber, dalam sebuah komentar, menyebut tulisan-tulisan Simmel sungguh-sungguh
cemerlang (simply brilliant), dan hampir setiap karya-karya Simmel berlimpah gagasan-
gagasan teoritis baru yang penting dan observasi-observasi yang sangat tajam. Namun,
Weber menyayangkan, metodologi Simmel "tidak dapat diterima" (unacceptable), serta
cara presentasinya "asing" (strange) dan "menjengkelkan" (rmcongenial). Leopold Von
Weise, orang yang membahas disiplin sosiologi Janna/ Simmel, juga menyoroti "sifat-

Bab !I Biograji lntelektual Georg Simmel 51


2. Bibliografi
Melakukan pendataan atas karya Simmel, seorang yang
produktif menulis buku maupun naskah dan esai-esai pendek,
tidaklah mudah. Dan tidak dapat dipastikan berapa banyak
sesungguhnya karya Simmel. Dalam bagian ini disajikan berbagai
bibliografinya, meskipun masing-masing bibliografi berbeda
dalam menghitung karya-karya Simmel.
Salah satu bibliografi Simmel disusun oleh Rosenthal dan
Oberlander (1945). Dala?TI catatan mereka, ketika menerbitkan
naskah-naskahnya, Simmellebih banyak mengalamatkan pada
audiens non-ilmiah, khususnya anggota counterculture Berlin.
Karyanya meliputi 180 artikel yang terbit dalam berbagai jurnal,
surat kabar dan ulasan, beberapa di antaranya hanya 64 artikel
yang terbit dalam jurnal ilmiah, dan 116 lainnya muncul dalam
terbitan non-ilmiah yang diperuntukkan bagi publik berpen-
didikan yang lebih luas seperti dalam surat kabar liberal, majalah
seni dan majalah bulanan. Seluruh naskahnya diklasifikasikan

tidak bisa diterima" itu. Ia rnenunjuk pada kurangnya peralihan antara satu pemikiran
dengan pemikiran lainnya sebagai sebuah keadaan yang teramat kurang menguntungkan
bagi intisari pemikirannya. Lewis Coser, teoritisi strukturalisme konflik yang banyak
mengembangkan teori konflik Simmel, mengatakan bahwa Simmel tidak pemah tertarik
pada "esprit de systeme". Tak jelas baginya, apakah hal itu disebabkan oleh ketidak-
sabaran Sirnrnel ataukah sungguh-sungguh karena ketidakmampuannya untuk
berkonsentrasi pada sebuah persoalan khusus dalarn waktu yang lama, sehingga ia
meloncat dari satu topik ke topik lainnya, dan bergeser dari satu jalan pikiran ke jalan
pikiran lainnya. Dalam terminologi psikologis, Coser mengatakan bahwa kegagalan dari
tulisan yang terpisah-pisah itu, terkandung sebuah karakter a tau sifat yang negatif. Lihat
dalarn Charles David Axelrod, Studies in Intellectual Brekthrouglz: Freud, Simmel, Buber,
University of Massachusetts: Amherst, hal. 37.
Lain halnya dengan Georg Lukacs, salah seorang murid dan pengagum Simmel,
yang rnenjuluki Simmel sebagai "filsuf impresionisme", yakni seorang tokoh besar yang
mewakili "pluralisrne-metodologis" yang cirinya selalu menghargai perbedaan yang tak
ada akhirnya atas berbagai kemungkinan topik dan pendekatan filosofis. Lihat
Featherstone, "Georg Sirnmel: An Introduction", dalam Theon; Culture & Society, A Spe-
cial Issue 011 Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 3. Lihat juga tulisan Georg
Lukacs, "Georg Simmel'', dalam jumal ini, hal. 145-150.

52 Problem lvfodernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simme/


ke dalam dua periode, yakni sebelum dan sesudah tahun 1900.
Untuk jelasnya, dapat dilihat pada hagan berikut: 38

Sebelum 1900 Sesudah 1900


I I
Jenis Jurnal Jml 1 Persen JmliPersen Jml. Total
Jurnal Ilmiah 31 1 50% 33 I 28% 64
Jurnal non-Ilmiah 31 I 50% 85 I 72% 116

62 1100% 118
Total
I 100% 180
I

Selain bibliografi di atas, kita dapat melihat perhitungan


bibliografi yang disusun oleh Gassen dan Landmann (1958).
Mereka mencatat karya-karya Simmel kurang lebih terdiri dari
31 buku (beberapa di antaranya buku yang sangat pendek), 256
artikel, esai dan lain-lain (yang beberapa di antaranya diterbitkan
dalam jurnal non-ilmiah) dan 100 di antaranya telah diterjemah-
kan ke dalam berbagai bahasa, 39 di antaranya bahasa lnggris, Pe-
rancis, Rusia, Italia, dan Polandia. 40
Penghitungan karya-karya Simmel dilakukan juga oleh
Frisby (1984). Dalam bibliografinya, Frisby mencatat dan menya-
takan bahwa sampai pada kematian Simmel di tahun 1918, ia telah
menerbitkan 25 buku yang masing-masing berbeda ketebalannya
yang meliputi karyanya tentang etika, Einleitung in die Moral-
philosophie (893 halaman), karya tentang uang, Philosophie des
Geldes (554 halaman), dan karya tentang sosiologi, Sociologie (782

38 Bibliografi yang disusun Erich Rosenthal dan Kurt Oberlander "Books, Pa-
pers, and Essays by Georg Simmel'', dalam A mericau journal of Sociology, XI November,
1945, hal. 238-47 sebagaimana dikutip Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal.
212-213.
39 Uraian ini saya kutip dari tulisan Renate Mayntz dalam David L Shill, Interna-
tional EnCIJclopedia of The Social Science, hal. 253. Bibliografi Simmel yang disusun oleh K.
Gassen dan M. Landmann (ed.) tersebut terdapat dalam buku Buell des Dankes an Georg
Simrne/, Berlin: Duncker & Humblot, 1958, hal. 309-65; merupakan bibliografi yang pal-
ing lengkap dan komprehensif. Dalam hal ini, Frisby pun mengacu padanya.
40 Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 195.

Bab II Biograji lntelek.tual Georg Simmel 53


halaman) dan sekitar 300 artikel, esei dan lain-lain. 41 Dalam
catatan Frisby, sejumlah karya utama Simmel (karya asli dan karya
terjemahan) dapat dilihat berikut ini: 42
Karya-karya Asli
1890 Uber Sociale Differenzierung. Soziologische und
Psychologische Untersuchungan. Leipzig : Duncer &
Humblot.
1892 Die Probleme der Geschichtsphlosophie. Eine erkennt-
nistheoretische Studie. Leipzig: Dunker & Humblot
(revisi-penuh edisi kedua di tahun 1905 dan edisi ke
tiga di tahun 1907).
1892-93 Einleitung in die Moralphilosophie Eine Kritik der ethischen
Grundbegriffe. Berlin: Hertz. Dalam dua seri.
1900 Plzilosophie des Geldes. Leipzig: Duncer & Humblot, (edi-
si kedua diperluas di tahun 1907)
1908 Soziologie: Untersuchungen uber die Formen der
Vergesellscaftung. Leipzig: Duncker & Humblot.
1911 Philosophische Kultur, Gesammelte Essais. Leipzig:
Klinkhard
1917 Grundfragen der Soziologie (Individuum und Gesellschaft).
Berlin /Leipzig: Goschen.
Karya-karya Terjemahan
1950 The Sociology of Georg Simmel. Terjemahan dan peng-
antar oleh Kurt H. Wolff, Glencoe: Free Press.
1955 Conflict and The Web of Group Affiliations. Terjemahan
oleh Kurt H. Wolff dan Reinhard Bendix, dengan peng-
antar oleh Everett C. Hughes, Glencoe: Free Press.
1958 Essays on Sociology, Philosophy and Aesthetic by Georg
Simmel. Editor: Kurt H. Wolff, ColombU:s, Ohio: Ohio
State University Press.

41 Lihat David Frisby, Georg Simmel (Key Siciologist), hal. 22.


42 Ibid., hal. 152-154.

54 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosio/ogi Kebudayaan Georg Simme/


1959 Sociology of Religion. Terjemahan oleh C. Rosental dengan
pengantar oleh F. Gross, New York: Philosophical Li-
brary.
1968 The Conflict in Modern Culture and Other Essays. Terje-
mahan dan pengantar oleh K.P. Etzkorn, New York:
Theachers Colege Press.
1971 On Individuality and Social Forms. Tulisan-tulisan pilihan.
Editor dan pengantar oleh D.N. Levine, Chicago: Uni-
versity of Chicago Press.
1976 Georg Simmel: Socologist and European. Terjemahan oleh
D.E. Jenkinson dengan pengantar oleh P.A. Lawrence,
Sunbury, Middx, Nelson; New York: Barnes & Noble.
1977 The Problems of Philosophy of History. Terjemahan, editor
dan pengantar oleh G. Oakes, New York: Frree Press.
1978 The Philosophy of Money. Terjemahan oleh David Frisby,
London/ Boston: Routledge.
1980 Essays on Interpretation in Science. Terjemahan, editor dan
dan kata pengantar oleh G. Oakes, Social Totowa, N.J.:
Rowman & Littlefield; Menchester University Press.
1984 Georg, Simmel: On Women SexualihJand Love. Terjemahan,
editor dan kata pengantar oleh G. Oakes, New York: Yale
University.
D. Warisan Intelektual Tokoh
Simmel adalah seorang yang peka pada arus-arus intelek-
tual di jamannya. Ia berusaha merefleksikan berbagai pemikiran
tokoh tanpa mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu dari
mereka. Bila dirunut berdasarkan sejarah pemikiran filsafat,
awalnya Simmel banyak mengacu pada pemikiran Liebniz (1646-
1716), yakni seorang filsuf jaman modem (abad ke-18) yang berada
dalam kategori filsafat jaman Barak. Teori monadologi Liebniz
banyak mempengaruhi karya-karyanya. Selanjutnya, filsuf jaman
Fajar Budi, yakni Kant (1724-1804) juga mewarnai pemikiran
Simmel secara dominan. Metodologinya dikembangkan menurut
prinsip-prinsip Kant dengan beberapa modifikasi. Salah satu

Bab II Biografl lntelektual Georg Simmel 55


pemikiran Kant yang jelas diacu Simmel adalah teori a prioritas.
Selain terpesona oleh pemikiran kedua filsuf di atas, Simmel juga
tertarik pada pemikiran filsuf jaman Romantik, yakni Hegel (1770-
1831). Hampir di seluruh karya Simmel, teori dialektika Hegel
selalu menjadi jiwanya. Selanjutnya, pemikiran filsafat abad ke-
19 juga berpengaruh banyak pada pemikiran Simmel. Kita dapat
menyebut beberapa di antaranya adalah filsuf Jerman, seperti
Schopenhauer (1788-1868), Marx (1818-1883), Nietzche (1844-
1900), filsuf Perancis Comte (1798-1857), filsuf Anglosaksen Spen-
cer (1820-1903). Marx, Comte dan Spencer merupakan tokoh-
tokoh yang berpengaruh dalam sosiologi Simmel, tetapi ia
menolak positivisme kontemporer dan Darwinisme sosial, dan
secara lantang menegaskan bahwa dirinya bukan seorang Marxis.
Selain dipengaruhi oleh pemikiran kedua generasi filsafat
di atas (filsafat modern: Barok, Fajar Budi, Romantik dan filsafat
abad ke-19), Simmel juga mempunyai afinitas yang sangat jelas
dengan pemikiran dan karya filsuf abad ke-20 yang notabene
adalah filsuf-filsuf yang sejaman dengannya, seperti filsuf Jerman
Wilhelm Dilthey (1833-1911) yang pengaruhnya dapat ditemukan
baik dalam sosiologi dan filsafat kebudayaan Simmel, terutama
dalam pandangannya tentang diferensiasi, interaksi (Wechsel-
wirkung) dan individu. Pengaruh Edmund Husser! (1859-1938)
ada pada geometri sosialnya. Filsafat hidup dari Henri Bergson
(1859-1941) juga turut mewarnai pemikiran Simmel. Untuk keje-
lasan, sebagian dari berbagai pengaruh pemikiran di atas akan
diuraikan di bawah ini.
1. Gottfried Wilhelm Liebniz: Teori Monadologi
Gottfried Wilhelm Leibniz merupakan filsuf yang hidup di
tahun 1646-1716. Ia merupakan ahli pikir modern Jerman yang
pertama,43 yang mempunyai pengaruh besar. Ia sangat mumpuni
di berbagai bidang pengetahuan. Hampir seluruh bidang ilmu

43 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1989,


hal. 39.

56 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


dikuasainya. Selain perannya sebagai diplomat dan bibliotekaris,
ia juga banyak menerbitkan tulisan-tulisannya tentang filsafat,
teologi, sejarah, hukum, ilmu pasti dan ilmu alam. 44
Salah satu pikiran Liebniz yang terkenal dan sangat berpe-
ngaruh dalam filsafat adalah monadologi. Konsep dasar mona-
dologi tersebut terletak dalam pengertian tentang substansi. Bila
Spinosa mengatakan bahwa substansi hanya ada satu: alam a tau
Allah; dan Descartes menyebut adanya tiga substansi yakni: Al-
lah, pernikiran dan keluasan; maka menurut Liebniz, kenyataan
terdiri substansi yang jumlahnya tak terhingga. Oleh Liebniz, tiap
substansi disebut monade. Tiap monade bersifat: tunggal dan tak
dapat dibagi-bagi, berdiri sendiri dan mewujudkan keseluruhan
yang tertutup, meskipun dernikian ia bersifat aktif. Ia mengung-
kapkan diri semata-mata di dalam dirinya dan oleh dirinya
sendiri. Dalam keaktifannya, setiap monade memantulkan alam
semesta dalam dirinya. Hal ini berarti setiap monade sebagai
"mikrokosmos" merupakan bayangan dari "makrokosmos".
Lebih lanjut, keaktifan semua monade tersebut diatur oleh suatu
harmonia praestabilita, yakni harmoni yang ditetapkan sebelumnya
oleh Allah sebagai monade tertinggi. Oleh karena Allah sebagai
actus purus (Keaktifan yang sempurna), keaktifan semua monade
memiliki suatu appetitus (yakni: tujuan, keinginan a tau kehendak)
di dalamnya. 45
Lalu, bagaimana monadologi Liebniz terse but berpengaruh
kuat dalam pemikiran Simmel? Pengaruh tersebut tertera secara
eksplisit dalam disertasinya yang berjudul The Nature of Matter
According to Kant's Physical Monadology. Dalam karya tersebut,
Simmel jelas-jelas menggunakan monadologi Liebniz sebagai
pisau analisis untuk membedah pemikiran Kant tentang hakekat
suatu entitas. Dalam perkembangannya, pengaruh monadologi
ini membentuk pemikiran Simmel yang mikroskopis. Konsep

44 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modem, Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama, 1990, hal. 14.
45 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hal. 40-41. Lihat juga Harry
Hamersma, Tokoh-tokolr Filsafat Barat Modern, hal. 14-15

Bab II Biograji lntelektua/ Georg Simme/ 57


sosiologi mikro yang dikembangkan Simmel semakin menegas-
kan hal tersebut. Semangat perspektif sosiologi mikro mengantar-
kan Simmel pada sebuah pemahaman bahwa struktur sosial
terbentuk oleh pola-pola interaksi timbal-balik antar-individu.
Dengan kata lain, kompleksitas masyarakat dapat terlihat secara
riil dan obyektif pada individu sebagai komponen dasamya. Bagi-
nya, individu berperan sebagai cermin yang dapat memantulkan
realitas masyarakatnya. 46 Persis dalarn paham Simmel itulah
pemikiran Liebniz berpengaruh.
2. Herbert Spencer: Teori Evolusi
Meskipun Simmel menolak model masyarakat organis (se-
perti yang dikembangkan Comte di Perancis dan Spencer di
Inggris) dalam hal-hal tertentu ia dipengaruhi oleh model evolusi
Spencer. Pada dasarnya, teori evolusi, baik dari Darwin maupun
Spencer, menjelaskan perubahan masyarakat secara bertahap dari
suatu struktur sederhana dengan diferensiasi yang rendah dan
sangat homogen menuju ke struktur masyarakat yang lebih kom-
pleks dengan diferensiasi serta heterogenitas yang tinggi. Simmel
mengunakan konsepsi tersebut misalnya dalam diskusinya
tentang dasar-dasar pembentukan kelompok yang berubah dan
keterlibatan sosial dari individu. 47
Ketika publikasi pertama dari Simmel yang berjudul On
Social Differentiation muncul, orang dapat menemuka'n dengan
mudah pengaruh pemikiran Spencer di dalamnya. Menurut
Frisby, meskipun menggunakan dalil-dalil evolusi dari Spencer,
Simmel tidak hanya melihat diferensiasi sebagai proses perkem-
bangan yang universal dalam dunia sosial dan alam. Pada berba-
gai tingkatan, Simmel mengembangkan aspek-aspek penting dari
diferensiasi yang tidak tercakup dalam teori diferensiasi awal,
misalnya tentang mediator khusus dari diferensiasi, yakni uang.

46 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, hal. 253.
47 Ibid., hal. 255.

58 Problem Modernitas dalam Kerangk.a Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Dimana ide tersebut dijelaskan secara mendalam dalam karyanya
kemudian, The Philosophy of Money. 48
Frisby juga mengatakan bahwa karya On Social Differentia-
tion mencakup dua tema pokok, yakni proses diferensiasi so sial dan
perkembangan individuasi manusia. Pada awalnya, kepentingan
Simmel yang paling dasar untuk diferensiasi terletak dalam
konteks hubungan antara yang umum dan khusus, suatu
konseptualisasi hubungan antara kelompok sosial dan individu.
Namun kemudian, studi Simmel berkembang menjadi lima
bentuk hubungan sosial yang lebih luas, yakni tanggung jawab
kolektif dalam berbagai tingkat diferensiasi sosial, hubungan
ketergantungan yang ada di antara perluasan kelompok sosial
secara kuantitatif dan perkembangan individualitas, penciptaan
dunia bersifat kreatif dan internal dalam suatu tingkatan sosial
tertentu, bentuk-bentuk hubungan yang muncul dari interseksi
berbagai lingkungan sosial, diferensiasi individu-individu dan
kelompok-kelompok dalam kaitannya dengan penggunaan dan
pengembangan energi. 49
Baik dalam karya tersebut maupun beberapa karyanya yang
lain, Simmel menguraikan dan melukiskan perubahan masyara-
kat terjadi secara linier-evolutif, dari tradisional menuju mo-
dern. Perkembangan progresif umat manusia dari kelompok
primitif menuju individu yang bersifat otonom dalam masyarakat
modern menjadi bukti kuat bekerjanya pengaruh Spencer, wa-
laupun sebagian di antaranya adalah pengaruh teori etnologi dari
gurunya, Adolf Bastian. Bukti yang lain tentang pengaruh Spen-
cer, kita dapat menemukannya dalam metode sosiologi Simmel
yang memusatkan pada interaksi, hubungan fungsional, keter-
gantungan yang resiprokal, 50 yang ujung-ujungnya berkaitan erat
pada model masyarakat yang or.ganis seperti yang dikembangkan
oleh Comte dan Spencer.

48 David Frisby, Georg Sirmnel (Key Sociologist), hal. 93.


49 Ibid., hal. 77-78.
50 Lewis Coser, Master of Sociological Tllougllt, hal. 201.

Bab II Biografi lntelek.tual Georg Simmel 59


3. Immanuel Kant: Teori Aprioritas
Kant merupakan salah satu tokoh dalam tradisi teori kritis 51
yang sangat berpengaruh pada pemikiran Simmel. Konsep
tentang a priori dalam filsafat pengetahuan Kant merupakan ba-
sis penting dalam pemikiran Simmel. Berkaitan dengan prinsip a
priori dalam pengetahuan tersebut, Kant mengatakan bahwa
pengetahuan manusia tidak pernah dapat sampai pada hakekat
dasar benda-benda seperti dalam dirinya sendiri (things in
themselj). Namun ia hanya diperantarai oleh a categorical appara-
tus, sebuah kategori-kategori mental yang sifatnya fundamental, 52
semacam kesadaran atau pikiran tertentu yang bersifat a priori.
Kategori pikiran fundamental yang bersifat a priori tersebut tidak
didasarkan pada rangsangan inderawi namun tetap membentuk
kesadaran subyektif kita terhadap dunia empiris di luar kita. 53
Gagasan Kant tersebut muncul untuk mempertemukan
rasionalisme (yang hanya berdasarkan akal pikiran) dan empi-
risme (yang hanya berdasarkan pada pengalaman). Kant meng-
ambil posisi tengah di antara keduanya. Ia menganggap kedua
aliran tersebut terlalu bersifat ekstrem dan mementingkan dirinya
masing-masing, sehingga setiap analisisnya selalu berat sebelah.
Menurutnya, pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara
pengalaman inderawi (yang merupakan unsur a posteriori) dan
keaktifan akal budi (sebagai unsur dari a priori). 54 Dengan kata lain,

51 Filsafat Kant dianggap bersifat kritis karena mempertanyakan "the coll(/itious


of possibilities" dari pengetahuan kita sendiri. Kant menyelidiki ten tang kemampuan dan
batas-batas dari rasio untuk menunjukkan sampai Sejauhmana klaim-klaim dari rasio
tersebut dapat dianggap benar. Kant menyebutnya sebagai kritisisme yang merupakan
perlawanan dari dogmatisme yang dilakukan oleh para filsuf sebelumnya. Untuk uraian
filsafat kritis Kant ini lihat dalam Francisco Budi Hardiman, Kritik ldeologi: Pertautau
Pengetalwan dan Kepentiugau, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 47-48.
52 Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 201.
53 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, hal. 256.
54 Untuk sampai pada pengetahuan yang rasional, rasio menempuh tiga tahap
refleksi: (1) pengetahuan inderawi, (2) aka! budi (Verstand), dan (3) rasio (Vermlllft).
Refleksi Kant seperti itu sering disebut sebagai rejleksi transendental karena pada dasamya
ia mencari syarat dari segala syarat dari pengetahuan kita. Menurutnya, syarat dasar
bagi segala ilmu pengetahuan adalah bersifat umum dan mutlak serta memberi

60 Problem Modernitas dalam Kerangk.a Sosiologi Kebudayaan Georg Simme/


pengetahuan selalu merupakan sintesis dari kedua ekstremitas
pandangan tersebut. 55
Dengan sangat jelas, Simmel menerapkan model berpikir
ini untuk melihat kenyataan sosial. Tulisan Simmel yang berjudul
Problems of The Philosophy ofHistonJ menunjukkan hal itu. Dalam
tulisan tersebut, tema tentang pengetahuan historis (historical
knowledge) dari Simmel sangatmirip dengan pengetahuan tentang
alam (the knowledge of nature) dari Kant. Keduanya seakan
sepaham bahwa pengetahuan merupakan hasil penyeleksian,
ka tegorisasi, dan· konstruksi pikiran. 56
Dalam tulisan-tulisan sosiologi Simmel pun, pengaruh pe-
mikiran Kant masih tetap kental. Bukti nyata untuk hal tersebut
ada dalam pemahaman Simmel bahwa perkembangan pengeta-
huan sosiologi meliputi lebih dari pada hanya sekedar mencatat
hukum-hukum universal yangjelas tersingkap oleh data empiris.
Sebaliknya, pemikiran manusia menjalankan fungsi memilih,
mengorganisasi, pada waktu menginterprestasikan data empiris.
Ia menggunakan kriterianya sendiri dalam proses yang tidak
terdapat dalam fakta empiris itu sendiri. Pengaruh filsafat Kant
juga tercermin dalam pembedaan Simmel antara bentuk dan isi,
yang secara kasar, kira-kira sejajar dengan pembedaan Kant antara
kategori pikiran yang bersifat a priori dan benda-benda empiris. 57

pengetahuan yang baru. Untuk uraian yang lebih mendalam lihat Francisco Budi
Hardiman, Kritik Jdeologi: Pertautmr Perrgetalruarr dan Keperrtrngarr, hal. 111-1 1'\, dan Harun
Hadiwijono, Sari Se,aralr Filsafat Barat 2, hal. 63-82.
55 Harry Hamersma, Tokolr-tokolr Filsafat Barat Modem, hal. 27. Lihat JUga L.
Laeyendecker, Tala, Pcrubalran dan Ketimpangan: Srwtn Pengantar Sejaralr Sosiolog1, Jakarta:
Gramedia, 1991, hal. 161.
56 Lewis Coser, Master of Sociological Tlrouglrt. hal. 202.
57 Dalam filsafat Kant itulah sosiologi formal Simmel memperoleh keaslian dan
batu dasamya. Dasar pemahamannya adalah seperti halnya Kant yang berpemahaman
bahwa ilmu pengetahaun bersifat umum dan mutlak, serta berpikir bahwa seluruh
pengalaman ten tang alam dipertajam oleh kategori formal a priori, Simmel juga berusaha
menunjukkan bahwa isi kehidupan sosial yangmengalami perubahan dapat diteliti hanya
melalui analisis ten tang bentuk-bentuk sosialnya yang bersifat abadi, a tau melalui kategori
yang mana nan tiny a isi (kehidupan) yang sangat berbeda-beda terse but terkristalisasikan
dan tertangkap oleh kita. Catatan ini saya ambil dari Lewis Coser, Ibid., hal. 202.

Bab !1 Biograji lnte/ektua/ Georg Simmel 61


4. George Wilhelm Friederich Hegel: Analisis Dialektis
Hegel merupakan salah satu dari filsuf Barat yang paling
menonjol dan berpengaruh. Ia juga termasuk dalam tradisi teori
kritis setelah Kant dan disebut-sebut sebagai nabi besar dalam
filsafat kritis. Konsep tentang dialektika atau negasi menjadi
artikulasi penting dalam filsafatnya. 58 Dalam filsafat Hegel,
konsep dialektika diartikan sebagai kesadaran bahwa setiap
bentuk (bentuk realitas maupun bentuk pengetahuan) atau mo-
men dalam isolasinya adalah hal yang tidak benar, maka me-
manggil penyangkalannya, dan penyangkalannya itu sendiri lalu
perlu disangkalnya, dan seterusnya. 59 Menurutnya, pola dasar
dialektika adalah pola dialog yang mempunyai mekanisme saling
menyangkal sehingga dapat saling membenarkan dan
memajukan. Setiap tesis" memanggil antitesis" dan setiap
11
II

antitesis dengan sendirinya merupakan tesis yang memanggil


antitesisnya lagi, begitu seterusnya. 60
Nampaknya,Simmel sangat terkesan oleh pemikiran Hegel
tersebut. Sifat dasar, konsepsi dan perspektif sosiologi yang
dikembangkan Simmel berpijak pada pendekatan dialektis
tersebut. Ia selalu menganalisis dan menempatkan berbagai
kesalingterkaitan dan konjlik yang dinamis antara unit-unit sosial.
Konsep sosiasinya, misalnya, selalu melibatkan mekanisme
dialektis: konflik dan harmoni, daya tarik dan penolakan, cinta dan

58 Berbeda dengan kritisisme dari Kant yang bersifat transendental di mana rasio
yang kritis diletakkan di atas dasar yang pasti dan tak tergoyahkan, yang berarti rasio
yang tak mengenal waktu, netral dan ahistoris-Hegel meletakkan rasio di dalam proses
perkembangan-dirinya (Bildwzgsprozess). Dengan kata lain, rasio-kritis terbentuk dalam
proses perkembangan pengetahuan yang historis. Di sana, raszo vzs a vis dengan berbagai
rintangan, tekanan dan kontradiksi. Dalam konteks tersebut, Hegel memaknai kritik
sebagai rejleksi-diri atas rintatzgan, negasi atau dialektika. Dasar pemahamannya, rasio kritis
atau kesadaran timbul dengan cara menegasi dan mengingkari rintangan-rintangan
tersebut. Lihat uraian ini dalam Francisco Budi Hardiman, Kritik ldeologi: Pertautan
Pengetalzuan dan Kepentingan, hal. 48-50.
59 Franz Magnis Suseno, "Hegel, Filsafat Kritis dan Dialektika", dalam Tim
Redaksi Driyarkara, Diskursus Kemasyarakatan dan Kemarmsiaan, Jakarta: Gramedia, 1993,
hal.19.
60 Ibid., hal. 20.

62 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


kebencian, dan lain-lain. 61 Pada intinya, paradoks dan kontradiksi
yang ada dalam kehidupan sosial menjadi kunci utama dalam
karya-karya Simmel. Terminologi tersebu t muncul dalam konsep-
nya tentang kelompok-kelompok yang berbeda, bentuk-bentuk
yang seolah saling berlawanan seperti: bentuk dan isi, individu
dan masyarakat, budaya obyektif dan budaya subyektif, dan lain-
lain. Dalam hal ini, Simmel jelas-jelas berkiblat pada analisis
dialektis Hegel, meskipun secara substansial terdapat tingkat
kedalaman analisis yang berbeda di antara keduanya. 62
5. Karl Marx: Teori Alienasi
Sumbangan pemikiran yang tidak kalah pentingnya bagi
pemekaran ide-ide Simmel adalah dari Marx. Meskipun Simmel
menolak bila disebut seorang Marxian, sejumlah karyanya
membuktikan keterlibatan gagasan-gagasan Marx yang mendasar
dan penting. Salah satunya adalah teori alienasi. Pengertian yang
sederhana dari alienasi adalah perasaan terasing dari individu
terhadap suatu situasi kelompok, kebudayaan bahkan dirinya
sendiri. Pada awalnya, konsep ini digunakan Marx dalam uraian-
nya tentang hubungan produksi kaum kapitalis dan pekerja-
pekerjanya, serta dampak psikologis yang ditimbulkannya. 63
Analisis Marx tentang alienasi bertolak pada suatu fakta
ekonomi kontemporer bahwa semakin maju kapitalime kaum
buruh semakin mengalami pemiskinan (pauperisation).
Menurutnya, dalam kapitalisme obyek-obyek material yang
diproduksi disejajarkan dengan si buruh itu sendiri. Si buruh
bahkan menjadi komoditi yang murah dengan semakin ba-
nyaknya barang yang dihasilkannya. Si buruh telah menjadi
budak dari obyek yang diciptakannya sendiri. Devaluasi dunia

61 Untuk uraian tentang hal tersebut lihat Lewis Coser, Master of Sociological
Thought, hal. 183-186.
62 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, haL 256.
63 David Jary & Julia Jary, Collins DictionanJ of Sociology, Britain: Harper Collins
Publisher, haL 13-15. Lihatjuga Michael Mann, The lntenzational Enajclopedia ofSocioiOgJJ,
New York: Macmillan Press, 1984, hal. 7-8.

Bab If Biografi Intelektual Georg Simmel 63


manusia terjadi bersamaan dengan semakin meningkatnya nilai
dunia benda. Kenyataan itu, oleh Marx, sering disebut sebagai
distorsi dari obyektivikasi (Vergegenrtandlichung). Kini menjadi
jelas bahwa alienasi atau keterasingan si buruh diakibatkan oleh
disparitas antara kemampuan produksi dari buruh--yang semakin
besar akibat meluasnya kapitalisme--dengan tidak adanya
pengendalian oleh si buruh terhadap obyek-obyek yang dipro-
duksinya.64 .
Hampir serupa dengan alienasi Marx tersebut, dalam The
Philosophy of Money, Simmel, selain membahas tentang konse-
kuensi negatif dan positif dari ekonomi uang juga menguraikan
teori alienasi budaya. Teori alienasi budaya tersebut diletakkan da-
lam konteks perkembangan kebudayaan modern, khususnya me-
ngenai pergulatan antara budaya obyektif dan budaya subyektif.
Menurutnya, perkembangan masyarakat yang semakin kompleks
menyebabkan naiknya grafik ketegangan antara bentuk-bentuk
budaya obyektif dan proses kehidupan subyektif. Uang yang
berkembang pesatdalam kebudayaan modern, khususnya dalam
sistem ekonomi moneter, menampilkan diri sebagai obyektivitas
(entitas obyektif) yang berhadapan dengan budaya subyektif.
Dunia supra-individual sebagai budaya benda-benda tersebut
menjadikan individu merasa terasing (baik dari dunia subyektif
maupun dunia obyektifnya). 65
Masih berkaitan dengan teorialienasi budaya, Simmel juga
mempergunakan pandangan Marx tentang fetishism of comma-

64 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modem: Suatu A1wlisis Karya Tufls
Marx, Durkheim dan Max Weber, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 13-14. Lihat juga Doyle
Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, hal. 139-140.
65 Kemunculan teori alienasi budaya dari Sinunel sesungguhnya mendahului
diskusi Marx ten tang alienasi dalam Paris Manuscripts-nya (yang baru ditemukan pada
tahun 1930-an) dan beberapa aspek dari teori reifikasi dari Georg Lukacs dalam tulisan
yang berjudul History and Class Concuousness, yang terbit pada tahun 1923. Lihat David
Frisby, Georg Si111me/ (Key Sociologist), hal. 107.

64 Problem Moderniras dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


dihj,66 dalam The Concept and Tragedy of Culture. Di kemudian
hari, teori elienasi dari Simmel tersebut banyak digunakan dan
dikembangkan oleh berbagai ilmuwan sosial Jerman.
6. Friedrich Nietzsche- Henri B(!rgson: Filsafat Hidup
Bagi Simmel, hidup merupakan proses kontinuitas yang
tak ada akhirnya, mengalir tanpa henti, suatu gerakankreatif. Ia
menyebutnya sebagai more-life. Sebagai proses yang kreatif dan
mengalir, hidup tidak dapat terwadahi dalam bentuk-bentuk
yang baku, ketat dan statis. Ia akan selalu mengubah dan meru-
saknya dan mengkristal dalam bentuk-bentuk yang baru, begitu
seterusnya. Dalam hal ini, Simmel menyebut hid up sebagai more
than life, di mana hidup menjadi nyata dan mengekspresikan diri
dalam penciptaan obyek-obyek (bentuk). 67
Pernyataan vitalisitik tersebut ada dalam beberapa karya
Simmel, salah satunya adalah buku terakhirnya yang lxirjudul:
Lebensanschauung. Meskipun pada saat menulis buku tersebut
Simmel berada dalam bayang-bayang kematiannya, namun ia
tetap menggelorakan semacam pemujaan atas hidup dan arus
energi hidupnya yang terus mengalir. Dalam pemahaman
tersebut, Simmel telah "kerasukan" oleh tHan vital-nya Bergson
dan energi kreatif (dekonstruktif)-nya Nietzsche. Berdasar pada
konsep evolusi kreatif, Bergson meyakinkan bahwa elan vital
(day a pendorong hid up) dapat meresapi seluruh proses evolusi
dan menentukan semua cirinya yang penting. Dengannya kita
sanggup mengerti perkembangan kehidupan secara kreatif dan

66 Ia menggunakan konsep fetishism commodity untuk mengemukakan bahwa


produk materi yang dihasilkan oleh kegiatan kreatif manusia menjadi benda-benda yang
kelihatannya mengikuti hukum pasar yang bersifat impersonal, yang jelas-jelas secara
mutlak terlepas dari kemauan, maksud atau kebutuhan manusia yang menciptakannya.
Sehingga individu merasa terasing dari kekuasan kreatifnya sendiri. Untuk catatan kaki
ini Iihat dalam Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, hal. 287.
67 Renate Mayntz dalam David L Shill, lntemational Enn;clopedia of Social Science,
hal. 253. Lihat juga Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, hal. 288.

·Bab II Biograji lntelektual Georg Simmel 65


tidak mekanistis. Energi kreatif dari elan vital tersebut akan ber-
usaha terus menuju perkembangan (yang selalu) baru. 68
Jauh sebelum Bergson, pemikiran Nietzsche tentang energi
vitalitas tersebut telah berkembang. Filsafat kehendak dari
Nietzsche telah menguraikan tentangnya. Energi vital itu ada
dalam nafsu, yang olehnya dipandang sebagai daya kekuatan
pendorong bagi manusia. Oleh karenanya, ia sering dijuluki seba-
gai filsuf nafsu-nafsu yang vital, dan filsafatnya sering disebut
filsafat kehendak. 69 Dalam karyanya yang berjudul Der ~Ville zur
Macht: Versucheiner Umwerthung aller Werthe, misalnya, Nietzsche
menekankan pentingnya dekonstruksi atas nilai-nilai yang diaju-
kan oleh agama, moral dan filsafat sebagai rangkaian dari mega
proyeknya yang dikenal dengan sebutan nihilisme. Menurutnya,
nihilisme dapat berperan sebagai proses pembebasan. Transva-
luasi nilai-nilai yang terkandung dalam nihilisme akan menjadi-
kan orang terbebas dari be ban nilai-nilai lama tersebut, sehingga
ia sanggup untuk berkata "Ya" pada hidupnya?0 Bagi Nietzsche,
takbir kematian Allah berarti peluang terbuka untukkedatangan
"manusia-super" (Ubennensclz) yang memiliki ciri-ciri moral tuan,
yang dibedakannya dengan moral budak. Manusia super adalah
manusia baru yang kembali ke semangat kekuasaan, yang telah
bebas dari belenggu sistem nilai dan dan inoralitas lama serta
secara bebas mewujudkan kehendak untuk berkuasa (Wille zur
Macht). Berkuasa berarti berani bersemangat dan hid up menurut
semangat itu. 71

68 K. Berten, Filsafat Bam! A bad X X filid II PcraiiCIS, Jakarta: Gramedia, 1985, hal.
261-262. .
69 Harun Hadiwijono, San Sqaralr Fi/safnt Barat 2, hal. 127-129.
70 ST. Sunardi, Nitzsche, Yogyakarta: LKiS, 1996, hal. 14-20.
71 Man usia super yang dicirikan oleh Nietzsche adalah manusia yang bermoral
tuan, yakni: manusia yang kuat, berani, berbudi luhur, berbudaya, estetik, bebas, yang
tidak dihadang oleh belas kasih dengan yang lemah, dan yang seperlunya berani
bertindak kejam. Dalam hal ini, Nietzsche berfokus pada nilai-nilai vital, insting,
pengembangan diri, dan keberanian untuk mengikuti kepentingannya sendiri. Sedangkan
untuk moralitas budak, menurut Nietzsche, adalah moralitas kawanan (Herdcmnoral),
sikap orang yang selalu mengikuti kelompok dan tidak berani bertindak sendiri, yang

66 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Nietzsche merupakan pemikir revolusioner yang luas
pengaruhnya. Dalam banyak sebutan, filsafat Nietzsche mewakili
suatu gaya hidup, seperti individualisme, vitalisme, voluntarisme
dan eksistensialisme. 72 Dalam deretan pengagum dan penganut
pemikirannya, Simmel adalah salah satunya.
E. Dampak Pemikiran Simmel
Sejak awal, Simmel sangat menyadari bahwa di kemudian
hari pemikirannya akan memperoleh tanggapan yang sangat
minimal dari penulis-penulis Jerman. Hal ini dapat kita baca ke-
tika Simmel menerbitkan Filsafat Uang. Maka dengan spirit Filsa-
fat Uangnya, Simmel menyadari bahwa ia berada dalam posisi-
marjinal. Dalam tulisannya, ia mengungkapkan?3
Saya sadar bahwa saya hams mati tanpa ahli waris spiritual (dan ini
merupakan hal yang baik). Harta yang saya wariskan seperti layaknya
uang tunai yang diserahkan di antara banyak ahli waris; mereka
mengambil bagiamzya nzasing-masing dan mempergunakannya dalam
pertukaran yang sesuai dengan sifat dasarnya (uang), nanzun tidak lagi
dapat dikenali dari mana harta warisan itu berasal. (Simmel, 1978: 5)
Pernyataan itu dapat ditangkap sebagai sifat inferioritas
Simmel yang sudah mengkristal. Kristalisasi inferioritas Simmel
itu sangatlah erat kaitannya dengan kekecewaan dan kegetiran
diskriminasi di sepanjang hidupnya.
Meski tidak secara eksplisit terbaca, seperti yang telah
diisyaratkan sendiri oleh Simmel di atas, berbagai pengaruh
pemikiran-nya dapat kita telaah dalam karya-karya dari sejurnlah
tokoh. Di Benua Eropa, pemikiran Simmel berpengaruh pada
tokoh-tokoh, seperti filsuf Marxis, Georg Lukacs dan Ernst Bloch,

perlu dipuji dan takut ditegur. Uraian ini dikutip dari Franz Magnis Suseno, Tiga be/as
Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani smnpai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hal. 198-
203.
72 Harry Hamersma, Tokoh-tokolr Filsafat Barat Modern, hal. 83.
73 David Frisby, "Introduction to The Translation", dalam Georg Simmel (Key So-
ciologist), hal. 4 dan 150.

Bab II Biograji lntelektual Georg Simme/ 67


filsuf eksistensialis-teologian Martin Buber, filsuf-sosiologi Max
Scheler, sejarawan sosial Bernhard Groethuysen,sosiolog Jerman
Karl Mannheim, Alfred Vierkandt, Hans Freyer, dan Leopoid von
Weise, juga generasi Sekolah Frankfurt Theodor Adorno, Max
Horkeimer, serta filsuf Jerman Modern dari Nicolai Hartmann
sampai pada Martin Heidegger. 74
Bagi Georg Lukacs, misalnya--seorang kritikus sastra dan
filsuf modern yang kontrovers'ial namun cukup disegani--merasa
sangat puas dengan iklim studi yang diciptakan Simmel (dan
Dilthey). Keduanya sangat mempengaruhi perkembangan inte-
lektual Lukacs, terutama dalam pemahaman sosiologi dan
sejarah. Dalam komentar khususnya, Lukacs mengakui kepan-
daian Simmel ketika ia menggunakan teori-teori Marx untuk
pembahasan ilmu sosial. 75 Baginya, Simmel juga telah membe-
rikan perangkat teori baru untuk mendapatkan wawasan baru
yang memperlihatkan aspek-aspek sosiologis dari karya cipta
seni. 76 Secara terbuka, Lukacs menuliskan kekagumannya pada
Simmel?7
Dian tara ftlsuf yang dikagwni pada sa at itu, Simmel dan Dilthey adalah
yang paling kuat mempengarulzi saya. Kehadirmz mereka sangatlah
berarti dalam proses penjemilzan ide-ide saya mengenai bacaan-bacaan
sosiologi dan sejaralz. Karma itulalz untuk pertama kalinya saya berke-
nalan dengan tulismz-tulisan Marx. Saat itulah awalmula saya mema-
hami gagasan Marx lewat pandangmz Simmel.
Teori Simmel ten tang isi dan bentuk, yang banyak dipenga-
ruhi oleh pemikiran Kant tentang gejala (appearence) dan hakekat

74 Lewis Coser, MasterofSociologicnl Tltougilt, hal. 199. David Frisby, Georg Simmel
(Key Sociologist), hal. 37.
75 Lukacs mengatakan, "Di tahun 1908, saya membuat sebuah kajian tentang
Capital Marx untuk membuat landasan sosiologis bagi monografi drama modem. Saat
itulah Marx muncul sebagai seorang "sosiolog" yang menarik bagi saya, dan say a melihat
dia melalui kacamata Simmel dan Weber. Lihat Georg Lukacs, HistonJ and Class Con-
sciousness: Studies in Marxist Dialectics, Cambridge: MIT Press, 1994, hal. ix.
76 Ibe Karyanto, Realisme Sosialis Georg Lukacs, Jakarta: Gramedia, 1997, hal. 23.
77 fbid.

68 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


benda-benda (things in themselves), juga mewarnai tulisan-tulis-
an awal Lukacs. Dalam teori estetikanya, Lukacs memberlakukan
dikotomi bentuk (form) dan jiwa (soul) seni yang ditafsirkannya
sebagai gaya (style) dan makna (essence). Teori kebudayaan
Sirnmel juga punya andil dalam pernikiran Lukacs. Keterasingan
individu di dalam pola-pola obyektif kebudayaan ataupun
tekanan pada kreativitas subyektif individu, sangat berpengaruh
pada pemahaman Lukacs tentang "teori alienasi"?8
Selain di Benua_Eropa, pernikiran Sirnmel juga berkembang
dan berpengaruh di Amerika, terutama di Chicago School. Di
lingkungan sosiologi Amerika, berbagai konsep penting dari
Sirnmel, seperti role, interaction, conflict, dominations dan subordi-
nation, diterjemahkan dan diterapkan dalam teori-teori yang lebih
sistematis dan empiris dari pembahasnya. Sebagai contoh, esai
Simmel The Metropolis and Mental Life (1903), di mana kota
merupakan entitas sosiologis yang dibentuk secara spasial, ber-
pengaruh terhadap "teori ekologis masyarakaturban" dari Park,
Burges, Thomas. Di Chicago School of Sociology itu, tulisan-tulisan
Sirnmel dipromosikan secara aktif oleh para pendirinya -terutama
Albion Small dan Robert Park yang sangat berrninat mengikuti
kuliah Sirnmel di Berlin pada tahun 1899-1900-- dalam American
Journal of Sociology. Selain itu pernikirannya juga dimasukkan
dalam pengajaran Introducton to the Science ofSociologtj yang cukup
berpengaruh dari Park dan Burges (1921). Buku Park dan Burges
tersebut, kemudian menjadi teks utama dalam The Structure of
Social Action-nya Parson (1937).79 Di sana, pernikiran sosiologis
Simmel menyumbang pada teori tindakan sosialmluntaristik. 80
Seorang tokoh yang juga san gat berperan dalam meluaskan
penerimaan pernikiran Sirnmel di Amerika adalah N.J Spykman.
Melalui karya Tize Social Theon} of Georg Simmel (1925), ia mengaju-
kan berbagai konsepsi karya Sirnmel secara menyeluruh. Dalam
78 Ibid., hal. 25-26.
79 Mike Featherstone, "Georg Simmcl: An Introduction", dalam Theon} Culture and
Society vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 12. Lihat juga Peter Hamilton (ed.), "Editor's
Foreword", dalam David Friby, Georg Simme/ (Key Sociqlogist), hal. 8.
80 David Friby, Ibid., hal.148-149.

Bab II Biografi lntelektual Georg Simmel 69


kajian yang berbeda nuansa, T. Abel mencitrakan sosok Simmel
yang negatif sebagai sosiolog formal dalam karyanya Systematic
Sociology in Germany (1926). Sosiolog Amerika kenamaan, Robert
Merton, juga tak terlepas dari pengaruh pemikiran Simmel, khu-
susnya dalam teori peran dan kelompok-acuan (reference-group).
Pada tahun 1950-an, perkembangan pemikiran Simmel
mencapai titik terpenting di sosiologi Amerika; Lewis Coser dan
Kurt H.Wolff banyak berkarya di bawah inspirasi sosiologi
Simmel. Karya Wolff di antaranya The Sociologtj of Georg Simmel
(1950) dan Essays on Sociologi, Philosophy and Aesthetics (1959).
Bersama Reinhard Bendix, Wolff meneiiemahkan buku Georg
Simmel: Conflict The Web GroupofGroup-Affiliations. Nampaknya,
karya Simmel tentang konflik tersebut menginspirasikan Coser
untuk menjadikannya sebagai kunci utama dalam karya The Func-
tions of Social Conflict (1956). 81 Dengan menggunakan cara pan-
dang Simmel, Coser berusaha menyatukan dua perspektif yang
berbeda: fungsional struktural dan konflik. Menurut Coser, ahli
sosiologi kontemporer seringkali mengacuhkan analisis konflik
yang secara implisit melihat konflik sebagai sesuatu yang de-
struktif atau patologis bagi struktur sosial. Dari sudut pandang
yang berbeda, ia berusaha menunjukkan berbagai sumbangan
konflik yang secara potensial-positif untuk membentuk serta
mempertahankan struktur sosial. Oleh karena itu teori yang
dikembangkan Coser sering disebut sebagai conflict functionalism
theory. 82
Jauh sebelum pemikiran Coser muncul, fungsionalisme
konflik itu telah menjadi gagasan orisinal Simmel. Mengapa Coser
--yang notabene hanyalah pewaris pemikiran Simmel--lebih

81 Ibid.
82 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali, 1992, hal.106-
129. Lihat juga Proposisi 7 dari Lewis Coser, "Impact and Function of Conflict in Group
Structures", dalam bukunya The Functions of Social Conflict, New York: Free Press, 1968,
hal. 72-81; bandingkan dengan Georg Simmel, Conflict The Web of Group-Affiliations, New
York: Free Press, 1964, hal. 17-20. Lihat juga, Mark Abrahamson, Sociological Theon;:An
Introduction to Concepts, Issues, and Research, New Jersey: Prentice-Hall, 1981, hal. 166-168
(khususnya tentang Conflict and Functional Integration and Coser's Fonnulation).

70 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


banyak diperhitungkan sebagai tonggak terpenting dalam
fungsionalisme konflik ketimbang Simmel, sang empu? Bukan-
kah ini merupakan fenomena ketidakadilan terhadap Simmel?
Bisa jadi, selama ini sosiolog kontemporer berperan sebagai
"Malinkundang" di jaman modem yang ikut menyuburkan keti-
dakadilan itu, meskipun Simmel sendiri telah memaklumi dan
sadar akan hal tersebut.
Memang, ketidakadilan bisa terjadi di mana saja dan kapan
saja, termasuk dalam dunia akademis. Maka, agenda penting
yang harus selalu kita jalani dalam dunia akademis, khususnya
sosiologi, adalah penegakan orisinalitas pemikiran sebagai bentuk
penghargaan terhadap pewaris-pewarisnya, yang salah satu di
antaranya adalah Georg Simmel. 83 Seruan moral dan keadilan
itu saya kedepankan sebagai bentuk keprihatinan atas munculnya
fenomena "intelektual-Malinkundang", bahkan lebih tepatnya
"Maling Kondang" di dunia akademis kita.

83 Sebuah kajian khusus yang menginventarisasi perspektif sosiologi konflik dari


Simmel telah ditulis oleh Hendri Restuadi, PerspektifKonflik Menurut Georg Simmel. Karya
tersebut merupakan Tesis di Program Pasca Sarjana UGM, 1998 (tidak diterbitkan).

Bab II Biografi /ntelektua/ Georg Simmel 71


Bab III
Kerang~a Teori Sosiologi
Georg Simmel
\1
II
II
I I
I
I
Bab III
Keranglla Teorl Soslologl
Georg Slmmel

A. Georg Simmel dan Pengembangan Sosiologi di Jerman

B ab ini mencoba mengelaborasi arti penting Simmel dalam


pengembangan sosiologi di Jerman. Konsep-konsep
Simmel tentang sosiologi meliputi: (1) sosiologi sebagai
ilmu yang khusus dan ind_fpenden yang men~akup permasalah-
an konsepsi masyarakat dan individu, sosiasi dalam sosiologi
formal, sosiologi berkarakter abstrak, sosiologi sebagai suatu
metode, (2) metodologi sosiologi Simmel, (3) menggerinda sosio-
logi kebudayaan Simmel. Untuk kepentingan itu saya banyak

Bab Ill Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 75


menggunakan tulisan Sirrunel, The Field of Sociology 1 dan karya
Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist).
Dalam perkembangan ilmu sosial di Jerman, sosiologi seba-
gai suatu disiplin yang independen muncul relatif terlambat di-
bandingkan disiplin lainnya. Salah satu alasannya bersifat politis,
yakni sosiologi tidak diajarkan di universitas-universitas Jerman
sampai dengan akhir abad ke-19. Menurut Frisby, kali pertama
pengajaran sosiologi sangat mungkin dilakukan oleh Georg
Simmel. Pandangan itu didasarkan pada laporan ten tang kondisi
sosiologi di Amerika, Rusia dan Eropa yang dipersiapkan untuk
"The Paris Exhibitions of1900" oleh sosiolog Amerika, Lester Ward
dan kawan-kawannya.
Alasan Frisby itu juga didasarkan pada sebuah kutipan dari
Paul Bart, saat berkomentar tentang kosongnya kursi sosiologi
di Jerman hingga tahun 1918, yang menyebut-nyebut nama
Simmel dari Universitas Berlin, sebagai orang yang banyak mem-
berikan pengajaran sosiologi hampir setiap semester untuk enam
tahun terakhir. Lagi-lagi, Frisby memperkuat argumennya de-
ngan mengutip laporan Thon dalam American Journal of Socio-
logy, yang saatitubaru berdiri, tentang "The Present Status of Socio-
logy in Germany" yang di dalamnya nama Simmellagi-lagi disebut
secara khusus dan istimewa. Frisby juga mencatat, Simmel pemah
menyatakan pada Celestin Bougie, seorang ternan dekatnya dari
Durkheimian School, bahwa sosiologinya merupakan disiplin yang
sangat terspesialisasi, dan menurutnya, di Jerman tidak ada yang
representatif selain sosiologinya. 2
Percaturan ide dalam berbagai asosiasi sosiologi semakin
membuktikan peran besar Simmel bagi sosiologi di Jerman. Selain
menjadi anggota dari German SociehJ for Sociologtj (lihat kembali

1 Karena keterbatasan referensi, saya hanya menggunakan cuplikan tulisan


Simmel The Field ofSociologi dalam Bierstedt (1959: hal. 375-398), bukan dari buku induk/
kompilasinya: The SociolOgJJ of Georg Simmel yang diterjemahkan, diedit, dan diberi kata
pengantar oleh Kurt H. Wolff.
2 David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 14.

76 Problem Modernitas dalarn Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Sirnrnel


bab II) pada pertengahaD tahun 1890-an, Simmel juga aktif dalam
Institute Internationale de Sociologie yang awalnya didirikan oleh
Rene Worms. Di tahun 1896, institusi tersebut menerbitkan L'
Annee Sociologique sebagai buku perdananya. Dalam buku yang
diedit oleh Durkheim itu, esai Simmel ditempatkan sebagai tulis-
an yang kedua dari berbagai tulisantokoh.
Peran besarnya bagi sosiologi di Jerman juga nampak dalam
German Sociological Association, yang berdiri pada awal tahun 1909.
Di sana, Simmel menduduki posisi institusional yang cukup pen-
ting dan patut dipertimbangkan. Ia menjadi salah satu dari tiga
anggota eksekutifnya. Dalam Kongres Pertama Sosiologi Jerman
yang diadakan di Frankfurt 19 Oktober 1910, ia tampil sebagai
pembicara pembuka yang mengangkat bahasan tentang, The So-
ciology of Sociabilih;. 3
Titik awal keterlibatan Simmel dalam sosiologi di Jerman
muncul ketika ia berusaha mengedepankan apa yang disebutnya
sebagai "konsep baru sosiologi". Sejak saat itu, Simmel selalu
menekankan pentingnya usaha mendudukkan sosiologi sebagai
disiplin yang independen, yang berprasyarat utama pada sebuah
konsepsi yang khusus. Bagaimanakah konteks Simmel memun-
culkan gagasan tersebut? Bermula di akhir tahun 1880-an, ber-
bagai usaha mengangkat sosiologi berbenturan dengan konsepsi
positivis yang dikembangkan Comte di Perancis, yang kemudian
meluas dalam teori evolusi Spencer di Inggris.
Di Jerman, teori evolusi terutama evolusionisme Darwin
juga telah berpengaruh secara luas pada teori sosial, khususnya
dalam konsepsi sosiologis yang berorientasi organistik dan bio-
logis seperti yang dikembangkan Schaffle dan Lilienfeld. Di ba-
wah pengaruh perkembangan statistika, berbagai usaha mem-
bangun fisika sosial juga semakin diimpikan. Berbagai penolakan
dan kritik terhadap positivisme pun tak terelakkan. Di berbagai
tulisan di tahun 1870-an dan 1880-an, Wilhelm Dilthey (1923;27)

3 Ibid., hal. 15.

Bab Ill Keranglw Teori Sosiologi Georg Simmel 77


misalnya, menyerang positivisme Comte dan Mill ataupun
konsepsi sosiologis Comtean dan Spencerian sebagai a gigantic
dream concept. Melalui kritik yang dilontarkannya di tahun 1883,
Dilthey berbicara tentang masyarakat sebagai "permainan
interaksi-interaksi" a tau "penjumlahan interaksi-interaksi".
Individu-individu menipakan unsur-unsur interaksi dari
masyarakat; mereka merupakan titik interseksi berbagai sistem
interaksi yang bereaksi dengan maksud dan tindakan sadar atas
pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. 4 Dengan reaksi yang
sama, Gumplowicz (1885) menyerang perlakuan yang berlebihan
atas konsep masyarakat sebagai konsep sosiologi yang funda-
mental dan mencoba menggantikannya dengan kelompok-
kelompok sosial sebagai obyek studinya. 5
Kritik serupa dilontarkan Simmel. Meskipun tidak sepe-
nuhnya berhasil menolak pengaruh positivisme tersebut, dalam
tingkatan tertentu Simmel berhasil memformulasikan pemaham-
an baru tentang sosiologi. Karena pengaruh pemikiran Fechner
(gurunya) tentang interaksi unsur-unsur, Simmel memahami
konsep masyarakat lebih sebagai interaksi individu-individu
(unsur-unsur) daripada sebagai suatu substansi, suatu organisme,
ataupun entitas riil yang tak dapat direduksi lagi.
Konsepsi tersebut menjadi simbol penolakan Simmel atas
konsepsi realitas dari kaum positivis tentang berlakunya
kekuatan tunggal hukum-hukum perkembangan masyarakat.
Simmel menyadari, meskipun sosiologi menghadapi persoalan
kompleksitas obyeknya, namun ia menolak pemisahan unsur-
unsur terkecil dengan berbagai kemampuan dan hubungan
dasarnya.
Simmel berusaha mengisolir sosiologi dari pengaruh "hu-
kum-hukum perkembangan sosial", yang dalam asumsinya seti-
ap unsur masyarakat bergerak menurut hukum-hukum alam. Se-

4 Pandangan Dilthey itu mempengaruhi konsepsi Simmel tentang masyarakat.


Meskipun demikian, ia tidak pemah menyebut secara terbuka berbagai ide Dilthey. Lihat,
David Frisby, Georg Simme/ (Key Sociologist), hal. 47.
5Tbid.

78 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


rupa dengan ungkapan kaum positivis: "Tidak ada hu/sum yang
menyeluruh seperti halnya hukum alam", di sini Simmel juga mem-
berlakukan ungkapan: "Tidak ada hukum yang lebih tinggi melebihi
hukum-hukum yang memerintah dan menggerakkan unsur-unsur
terkecil" (Simmel, 1890: 9). 6 Kesimpulannya, pendekatan sosiologi
Simmel merupakan upaya-sadar untuk menolak teori organistik
Comte dan Spencer, maupun deskripsi-historis pada peristiwa-
peristiwa khusus yang ketika itu banyak digandrungi di Jerman. 7
Dalam catatan Frisby, secara kronologis, titik puncak dari
seluruh usaha Simmel menggagas sosiologi sebagai ilmu yang
independen tercapai ketika karyanya, Sociologt; muncul di tahun
1908. Seperti yang disinggung dalam bab II, titik awal Simrhel
berkarya dalam sosiologi dimulai pada tahun 1887, sedangkan
publikasi awal dimulai tahun 1888. Bila didasarkan pada inten-
sitasnya, Simmel banyak mencurahkan perhatian pada sosiologi
baru terhitung sejak tahun 1894.
Kekaryaan Simmel dalam sosiologi selama kurang lebih 20
tahun itu banyak mengalami fluktuasi, terutama antara tahun
1899 hingga 1901. Timbul dan tenggelamnya hasrat untuk
merintis sosiologi yang independen terjadi berulang kali dalam
periode itu. Karya-karya sosiologis Simmel muncul bersamaan
dengan sikap skeptis bahkan apatis terhadap proyek besarnya
sendiri.
Untuk kali pertama, di tahun 1890, Simmel menerbitkan
On Social Differenciation. Karya ini sangat berarti dan penting bagi
perkembangan konsep-konsep sosiologi Simmel di kemudian ha-
ri. Dua bab dari karya itu yakni On The Intersection of Social Circles
dan The Enlargement of The Group dimasukkan dalam Sociology.
Selanjutnya, di tahun 1894, Simmel mempublikasikan The Prob-
lem of Sociology. Melalui proses revisi dan pengembangan, esai
tersebut akhirnya ditetapkan Simmel menjadi bab pertama Socio-
logt;. Tulisan ini memuat dasar-dasar terpenting dari gagasan

6 Ibid.

7 Lewis Coser, Master of Sociological Tltougilt, hal. 177.

Bab Ill Kerangk.a Teori Sosiologi Georg Simme/ 79


Sirnmel atas perintisan sosiologi sebagai disiplin yang otonom
dengan menekankan penelitian pada bentuk-bentuk sosiasi.
Pada tahun 1895, ia berbicara tentang rencananya menulis
epistemologi ilmu-ilmu sosial yang akhirnya tidak terlaksana.
Menurut berbagai tokoh, dalam esai sosiologis How Sociehj is Pos-
sible? Sirnmel sedikit-banyak telah mewujudkan rencananya itu.
Di tahun 1896, Sirnmel memberikan gambaran bahwa esainya
tentang Superordination and Subordination akan menjadi salah satu
bab dalam Sociologtj.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pad a tahun 1899,
pendirian Simmel mulai goyah. Ia mengatakan bahwa suatu
ketika bila ia telah menerbitkan sosiologi yang komprehensif, ia
tidak akan membicarakannya lagi. Berlanjut hingga di tahun 1901,
Sirnmel berbicara secara rahasia pada Rickert bahwa sosiologi
komprehensif adalah sebuah kewajiban yang ia sendiri merasa
tidak simpati lagi. Anehnya, pada tahun-tahun berikutnya,
Sirnmel mulai lagi menge1jakan berbagai esai yang cukup menen-
tukan karya Sociology.
Simmel, pada tahun 1902, memberikan kata pengantar
dalam artikelnya 77ze Quantitati11e Determination of The Group yang
juga menjadi salah satu bab dalam Sociologtj. Tahun 1908 menjadi
titik terpenting bagi kekaryaan sosiologi Sirnmel. Ia berhasil me-
nerbitkan berbagai tulisan yang sebagian menyatu dalam Socio-
logy berikut ekskursusnya. Satu ekskursus yang dianggap paling
menarik adalah Problem: How is SociehJ Possible? 8
Struktur teks Sociologtj, yang sebagian diangkat dari esai-
esai sebelumnya berikut ekskursusnya, diurutkan Frisby sebagai
berikut:
- The Problem of Sociologtj (Excurcus on: Problem: How is
SociehJ Possible?);

8 Esai Simmel ini merupakan pengembangan Simmel atas pertanyaan filosofis


fundamental dari Kant: How is Nature Possible? Di sini, konsepsi a pnori Kant digeser dan
diarahkan Simmel menuju tiga a priori sosiologis bentuk-bentuk sosiasi: peran,
individualitas dan struktur. Karya itu dianggap banyak tokoh sebagai karya yang sangat
penting karena di sana terkandung basis ide Simmel untuk pendekatan sosiologisnya.

80 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


-The Quantitative Determination of the Group;
-Superordination and Subordination (Exurcus on: Out-vot-
ing);
-Conflict; The Secret and Secret Society (Excurcus on: Adorn-
ment; Written Communication);
-The Intersection of Social Circle; The Poor (Excursus on:
Negativity of Collective Modes of Beluwiour);
-The Self-Preservation of the Social Group (Excursus on: He-
reditan; Office; Social Psychology; Faithfulness and Grati-
tude);
-Space and the Spatial Structures of Sociology (Excursus on:
Social Boundan;; Sociologt; of the Senses; Stranger/ The Phi-
losophy of Money);
-The Enlargement of the Group and the Development of Indi-
vidualihj (Excursus on: Nobilih;; the Awzlogy between Indi-
vidual-Psychological and Sociological Circumstances). 9
B. Sosiologi Sebagai Disiplin Khusus dan Independen
1. Konsepsi Masyarakat dan Individu
Usaha Simmel mengangkat sosiologi sebagai disiplin yang
khusus dan independen diletakkan dalam kerangka kritik atas
isi kajian (renewal of subject) dalam sosiologi, yakni konsepsi ·
masyarakat dan individu. Munculnya berbagai penolakan atas

9 Exwrsus merupakan bahasa Latin yang secara kiasan berarti mengalir keluar,
pelanturan, perkembangan (dalam hal uraian, pembicaraan/ disputatio11is) yang oleh
Frisby dimaksudkan sebagai teks pendamping, pembawa titik keterkaitan. Dalam konteks
ini, kata ekskursus tersebut menunjuk pada pengertian: meskipun berbagai esai lepas
yang ditulis sebelumnya itu mempunyai judul yang berbeda dan tidak termuat dalam
struktur teks Sociology Simmel, sehingga terlihat saling lepas bahkan 'menyimpang',
namun sesungguhnya ia memiliki keterkaitan yang sangat erat dengannya. Dalam kasus
tertentu, mereka bisa berfungsi sebagai yang dijelaskan sekaligus penjelas, contoh praktis,
bahkan tidak jarang sebagai ide dasamya. Dalam pemahaman Frisby, alasan utama
mengapa antara struktur teks Sociolog1; dan ekskursus-ekskursusnya perlu dipaparkan
seperti di atas adalah agar kita dapat membentuk atau menyusun pemahaman yang
holistik atas karya sosiologi Simmel. Untuk melengkapi pemahaman tentang struktur
teks SociologJJ Simmel dan sejumlah ekskursus berikut tahun penulisannya lihat David
Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 133-134

Bab /II Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 81


kemungkinan sosiologi sebagai sebuah ilmu khusus, menurut
Simmel, disebabkan oleh karakter problematis dua konsepsi itu.
Keduanya jatuh dalam ektremitas masing-masing dan berusaha
melebih-lebihkan argumennya dengan cara meminimasi pihak
lain.
Menurut Simmel, paham pertama menganggap bahwa
hanya individu yang nyata (realitas primer). Kehidupan
merupakan sifat eksklusif individu, kualitas dan pengalaman-
pengalaman individu. Sedangkan masyarakat hanya dianggap
sebagai abstraksi. Meskipun sangat diperlukan untuk tujuan-tuju-
an praktis dan sangat berguna untuk suatu penelitian yang men-
dasar tentang fenomena yang mengelilingi kita, namun masyara-
kat bukan obyek yang nyata. Ia tidak ada di luar individu dan ju-
ga bukan penjumlahan dari individu-individu maupun proses-
proses di antara mereka. Paham ini juga menganggap, setelah
masing-masing individu diteliti secara alamiah dan historis, tak
satu pun subyek persoalan yang terlewatkan oleh suatu ilmu khu-
sus.
Sedangkan paham kedua menganggap bahwa masyarakat
jauh lebih besar dan lebih penting untuk diangkat sebagai subyek
persoalan dari suatu ilmu khusus. Menurutnya, hanya masyarakat
yang nyata, sedangkan individu hanya merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat sehingga ia terbatasi oleh masyarakat.
Perilaku dan gerak-gerik tindakan individu yang saling men-
stimulir serta perubahan-perubahan yang terjadi merupakan se-
suatu yang tidak dapat diraba. 10
Menanggapi dua perangkap ekstremitas itu, Simmel menya-
takan, dua paham itu sama-sama menyesatkan bagi sosiologi
dalam menjalani proses pencarian jati diri. Terkait pada upaya
menghindari paham yang menyesatkan, Simmel mengingatkan: 11
ketika sosiologi mencakup banyak pendapat yang kacau balau mengenai
isi dan tujuan-tujuannya atau terkandung banyak kontradiksi dan kebi-

10 Georg Sinunel, "The Field of Sociology ", dalam Robert Bierstedt, Tire Making
Society : Au Outline of Sociology, hal. 376.
11 Ibid.

82 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


ngungan di dalamnya, maka orang menjadi ragu~ragu untukmenegaskan
bahwa sosiologi merupakan sebuah ilmu yang dapat dipercaya. Lagi"
lagi, orang akan meragukan apakah sosiologi dapat mengelola permasa-
lahan, yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
Namun, kurangnya definisi-jelas dalam sosiologi ini, tidak akan menjadi
san gat buruk apabila kita mengejarnya dengan menempatkan sejumlah
"permasalahan spesifik", yang tidak secara mendalam dibicarakan oleh
ilmu-ilmu lain; dimana mereka juga memuat fakta atau konsep masyara-
kat sebagai unsur-unsur umum dan titik keterkaitannya. Masing-masing
dari mereka bisa juga berbeda dalam isi, orientasi dan metode pemecahan
yang diperlakukannya dalam lapangan yang homogen dari penelitian.
Dalam konteks itu, ungkapan Simmel di atas menjadi sangat
jelas. Ia sangat berhasrat membangun sosiologi menjadi ilmu yang
spesifik, sehingga mampu menunjukkan jati diri yang kokoh dan
terpercaya. Sosiologi dituntut mengeksplorasi kekhasannya yang
terletak dalam kualifikasi permasalahan spesifik yang secara
potensial dapat digalinya.
Mengingat kedua pemahaman sama-sama kurang mema-
dahi, Simmel memahaminya dengan mengatakan: 12
Berbagai sistem besar atau organisasi supraindividual yang biasa
menghampiri pikiran kita ketika berpikir ten tang masyarakat sebenarnya
tidak ada secara nyata; tetapi interaksi di antara manusia yang terjadi
secara langsung dan konstan, di setiap waktu, telah memperolelz bentuk
yang jelas dalam medan yang permanen ini, sebagai suatu fenomena
yang otonom. Dalam bentuk yang jelas, mereka memperoleh eksistensi
dan· pelbagai dalil dan hukumnya sendiri, meskipun dengan sendirinya

12 Dalam sub-judul dari "TI1e Field of Sociology", yaitu "Masyarakat dan


Pengetahuan tentang Masyarakat", Simmel ingin mengatakan bahwa pemahaman atas
peta-posisi individu dan masyarakat hanya bisa terjadi melalui proses kognisi yang harus
diletakkan sepenuhnya pada dasar prinsip struktural yang berbeda. Prinsip tersebut
adalah abstraksi fenomena kompleks tertentu dari sejumlah obyek heterogen dari
kesadaran yang-meskipun begitu-diakui sebagai sesuatu yang sama-sama sangat
menentukan dan konsisten. Prinsip ini bisa dinyatakan sebagai simbol d.ari perbedaan
jarak antara fenomena kompleks dan pikiran manusia (berkaitan d.engan kategori a priori).
Pada jarak pandang yang berbeda, kita akan mendapatkan gambar yang berbeda pula
d.ari suatu obyek. Dapat diartikan, perbedaan di an tara keduanya hanya terjadi karena
perbedaan an tara maksud-kegunaan dari kesadaran, dan perbedaan ini pada gilirannya
berhubungan d.engan suatu perbedaan dalam jarak. Lihat Ibid., hal. 376-384.

Bab lll Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 83


nampak berhadapan dan berlawanan dengan interaksi-interaksi di dalam-
nya. Pada waktu yang sama, masyarakat dengan kehidupan yang disadari
tak ada hentinya ini, selalu menandakan bahwa individu-individu dihu-
bungkan oleh pengaruh dan penentuan bersama ... Karenanya, sesuatu
yang dilakukan dan diperoleh individu tersebut merupakan sesuatu yang
fungsional.

Simmellebih banyak melukiskan hubungan formal unsur-


unsur yang kompleks dalam konstelasi fungsional tersebut. Kata
fungsional itu sendiri nantinya menjadi kata kunci yang penting
dalam sosiologi Simmel. 13 Terkait dengan hal itu, dalam tulisan
lainnya yang dikutip oleh Frisby, Simmel menjelaskan realitas
aktual yang seharusnya dipaharni sosiologi adalah aktivitas indi-
vidu~individu yang memunculkan masyarakat. Ia mengatakan: 14
Jika masyarakat hanyalah sebuah ... kumpulan individu-individu yang
merupakan realitas-realitas aktual; dan kemudian individu-individu
dmgan tingkah lakunya tersebut juga menentukan mzmculnya obyek
riil dari ilmu dan konsep masyarakat ... Maka apa yang sesunggulmya
ada lzanyalah mmzusia-manusia individual beserta keadaan-keadamz
maupun aktivitas-aktivitas mereka. Karenanya, gugus tugas [sosiologi-
pen.] hanya dapat dipalzami dalam hal-hal tersebut; sedangkan esensi
masyarakat, yang muncul melalui suatu sintesis ideal semata-mata dan
tidak pernah bisa dipegang, tidak membentuk obyek refleksi yang bisa
diarah oleh penyelidikan realitas.(Simmel, 1890: 10)

Terbukti, pandangan Simmel sangat berbeda baik dengan


konsepsi masyarakat sebagai entitas yang otonom maupun
konsepsi individualis yang berusaha mereduksi realitas sosial
dalam individu ke dalam atom-atom yang terisolasi sernata. Bagai-
manapun juga, menurutnya, obyek studi sosiologi bukan konsepsi
masyarakat ataupun individu-individu yang telah tereduksi
seperti itu.

13 Pemahaman Simmel ten tang konsep fungsional ini sangat bertolak belakang
dengan asurnsi kaum fungsionalisme yang menganggap bahwa masyarakat adalah suatu
substansi, suatu organisme, sebuah entitas otonom yang tak dapat direduksi lagi. Kata
fungsional Simmel itu lebih tepat bila disebut dengan relation ism. Konsep relation ism ini
menjadi kata kunci untuk menjelaskan prinsip regulatifglobal Simmel. Lihat Renate Mayntz
dalam David. L Shill, lntemational Encyclopedia of The Social Science, hal. 255.
14 David Frisby, Georg Simmel, hal. 49

84 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Kembali melansir pendapat Frisby, dalam tataran ini, kita
sesungguhnya telah menemukan inti dari gagasan Simmel
tentang landasan baru bagi sosiologi, dengan memulai dari suatu
prinsip dunia regulatifatau prinsip regulatifglobal. 15 Simmel meng-
anggap segala sesuatu berinteraksi dengan yang lainnya dalam
berbagai cara dan antara setiap hal yang ada di dunia dan kekuat-
an lainnya secara permanen bergerak menurut hubungan-hu-
bungan yang ada (Simmel, 1890: 13).
Dengan tetap berpegang pada argumen ten tang komplek-
sitas realitas, Simmel mengungkapkan bahwa kita tidak dapat
memaksakan unsur tunggal dari interaksi yang tak ada hentinya
ini, dan hal itu merupakan unsur yang menentukan. Oleh karena
itu, kita harus menegaskan bahwa apa yang menyatukan unsur-
unsur dalam sejumlah bentuk obyektif adalah interaksi.
Bagi Simmel hanya terdapat satu faktor dasar yang membe-
rikan obyektivitas relatif dari penyatuan: interaksi (Wechsel-
wirkung) dari bagian-bagian. Kita mencirikan suatu obyek yang
tersatukan ke dalam tingkatan yang bagian-bagiannya berdiri
dalam hubungan dinamis resiprokal. (Simmel,1890:12-13).1 6
Sosiologi Simmel tidak bertitik tolak pada konsep masyara-
kat, melainkan pada konsep interaksi sosial dari sejumlah indivi-
du dan kelompok yang berfungsi sebagai kesatuan. Konsep rna-

15 Dengan menunjuk pada pengertian yang sama, Frisby menggunakan


terjemahan a regulative world principle (suatu prinsip dunia yang regulatif), sedangkan
Lichtblau lebih familiar dengan ungkapan global regulative principle (prinsip regulatif glo-
bal). Lihat, Klaus Lichtblau, "Causality or Interaction? Simmel, Weber and Interpretive
Sociology", dalam Theon} Culture and Society, vol .8, no. 3, August 1991, hal. 48.
16 Berkat pengaruh Dilthey, Simmel meletakkan konsep interaksi sebagai prinsip
regulatif global melalui pemahaman: (1) berpegang teguh pada ketidakterbatasan dari
seluruh peristiwa, (2) memahami seluruh peristiwa itu secara terus-menerus sebagai
peristiwa-peristiwa yang dihubungkan oleh berbagai interaksi, dan (3) menempatkan
bahasan analisis interaksi ini ke dalam prinsip simultanitas (principle of simultanity).
Pemahaman Simmel itu secara fundamental berbeda dengan prinsip regulatif global
Weber yang diletakkan dalam konsep kausalitas. Lihat, Klaus Lichtblau, "Causality or
Interaction? Simmel, Weber and Interpretive Sociology", dalam Theory Culture and Soci-
ety, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 47. Untuk uraian di atas lihat David Frisby, Georg
Simmel (Key Sociologist), hal. 49-50.

Bab Ill Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 85


syarakat hanyalah nama untuk jumlah interaksi-interaksi. Ia
bukanlah konsep yang utuh dan pasti, melainkan suatu konsep
yang terjadi secara gradual. Ia terbentuk menurut jumlah orang
dan kohesi interaksi-interaksi yang terjadi di antara mereka.
Melalui mekanisme itu, konsep masyarakat kehilangan wajah
gaibnya dan mewujud dalam wajah yang dapat dilihat seperti
dikehendaki realisme individualistik. (Simmel, 1890: 3).
Simmel tidak memfokuskan konsep masyarakat sebagai
substansi tetapi sebagai unsur-unsurnya. Perhatiannya tertuju
pada hubungan-hubungan sosial (social relationships), a tau biasa
disebut interaksi sosial, dan sosiologinya ditetapkan dalam prin-
sip regulatif dari interaksi dan kesalingterkaitan (inter-relatedness)
seluruh fenomena. 17 Dengan kata lain, resiprositas interaksi-in-
teraksi adalah inti sosiologi Simmel, yang terlepas dari pertim-
bangan sepihak, prioritas logis ataukah prioritas masyarakat. 18
2. Sosiasi: Persoalan-Khusus dalam Sosiologi Simmel
Setelah perdebatan antara konsepsi masyarakat dan indivi-
du berikut titik lemah masing-masing terurai, tiba waktunya
Simmel mengajukan konsep yang dianggapnya lebih substansial,

17 Landasan yang bersifat abstrak untuk prinsip regulatif tersebut pada awalnya
dipresentasikan Simrnel dalam disertasi doktoralnya (1881) yang mengkritisi "konsepsi
benda" dari Kant. Lihat David Frisby, Ibid., hal. 50.
18 Seluruh uraian tentang masyarakat dan individu di atas, sesungguhnya
terangkum sepenuhnya dalam penjelasan Simrnel yang sangat mendasar ten tang tafsir
atas realitas sosial yang dirumuskan melalui pertanyaan: How is Society Possible?
Pertanyaan itu dijawab melalui kondisi-kondisi yang meletakkan apriori dalam unsur-
unsumya sendiri (individu-individu) yang mengombinasikan diri mereka sendiri secara
aktual ke dalam sintesis "masyarakat". Menurut Simrnel, tulisan itu berusaha melacak
prosedur-prosedur a priori sosiologis yang dengan sendirinya akan menjelaskan eksistensi
individu-individu sebagai masyarakat. Pelacakan ini memperlakukan prosedur-prosedur
tersebut secara temporal tidak sebagai contoh sebab atas suatu hasil, tetapi sebagai proses
sintesis parsial yang secara komprehensif kita sebut masyarakat. Dengan demikian, untuk
mencapai sintesis tersebut berarti kita perlu mengacu pada alam yang terletak dalam
pengamatan kita, dengan serta-merta mengacu pada masyarakat melalui unsur-unsumya.
Lihat Georg Simrne!, "How is Society Possible?", dalam American foumal ofSociologt;. vol.
16 (1910-11) via Simmel Home Page, hal. 2-3. Untuk uraian di atas lihat David Frisby, Ibid.,
hal. 51

86 Problem Modernitas dalam Kerangk.a Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


yakni sosiasi. Konsep sosiasi merupakan gagasan murni dari
Simmel yang dianggap penting dalam sosiologinya. Meskipun
demikian, berkaitan dengan penguraian Sosiologi Formal, konsep
tersebut pada akhirnya lebih banyak disalahpahami daripada
dipahami orang secara benar. 19 Untuk menjelaskan persoalan
sosiasi ini, kembali merujuk pada ungkapan Simmel: 20
Adalah benar bahwa karakter dasar dalam bidang dan fenomena yang
pennanen ini, orang harus mengatakan secara tepat, bukannya masyara-
kat melainkan sosiasi. Masyarakat hanya merupakan nama bagi sejumlah
individu yang berhubungan melalui interaksi. lnteraksi mereka yang
kemudian menjadi kesatuan, hanya sebagaz sebuah sistem-ragawi dari
massa; sebagai kesatuan yang saling pengaruh dan membatasi perilaku-
bersamanya .... Dalam hal ini, masyarakat tentu saja bukan merupakan
suatu isi, namun hanya suatu peristiwa (event); ia merupakan fimgsi
dalam penerimaan dan pengarulz nasib maupzm perkembangan individu
oleh individu lainnya.

Menurut sejumlah pendapat, sosiasi secara harfiah dapat


diartikan pengelompokan sadar dari manusia. 21 Menurut Johnson,
sosiasi yang berasal dari bahasa Jerman Vergesellschaftung, yang
secara harfiah berarti proses di mana masyarakat itu terjadi.
Sosiasi meliputi interaksi timbal-balik. Melalui proses ini,
individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi, yang
akhirnya masyarakat itu sendiri muncul. 22 Pengertian yang pa-

19 Banyak literatur yang selalu salah kaprah, latah, dan meninggalkan substansi
sebenamya dalam memahami sosiologi formal Simmel. Telah terjadi reduksi atas teori
bentuk-bentuk sosial ini. Menurut Bouman, penjelasan hubungan antara psikologi sosial
dan ilmu bentuk sosial ada dalam sosiologi Simmel ini. Namun dalam sejarah ilmu
pengetahuan kita, masih saja merupakan teka-teki besar bagaimana rumusan yang
menyesatkan tentang sosiologi formal telah menimbulkan bencana yang begitu banyak.
Dengan hal itu orang kemudian memojokkan Simmel yang berakibat menghalangi kita
untuk melihat bentuk ilmu yang dianutnya itu secara jelas. Untuk catatan ini lihat P. J
Bouman, Sosiologi Fundamental. Jakarta: Djambatan, 1982, hal. 57.
20 Georg Simmel dalam Robert Bierstedt, The Making Society: An Outline of Sociol-
ogy, hal. 383.
21 David Jary & Julia Jary, Collin DictionanJ of Sociology, hal. 599.
22 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, hal. 257.

Bab Ill Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 87


ling ringkas dan spesifik dari sosiasi adalah bentuk dan isi dari
suatu interaksi psikologis man usia. 23
Simmel sendiri menjelaskan sosiasi dalam pengertian yang
terakhir. Menurutnya, jika konsep masyarakat diletakkan dalam
pengertian yang sangat umum, ia berkaitan dengan interaksi psi-
kologis di antara individu manusia. Satu hal yangharus diingat,
kebutuhan interaksi.:.interaksi yang semula hanya sementara/
pendek, kemudian menjadi lebih sering dan intensi£ dalam berhu-
bungan akan lebih tepat disebut sebagai sosiasi, yakni bentuk dan
isi dari suatu interaksi psikologis individu-individu. Jadi, beberapa
aspek yang terkandung dalam konsep sosiasi meliputi: interaksi
yang relati£ stabil dan individu yang terlibat dalam interaksi pasti
melibatkan berbagai ke:Eentingan, alasan, persangkaan psikolo-
gisnya masing-masing. 4
Menurut Coser, penjelasan sosiasi dimulai ketika Simmel
mengajukan konsepsi masyarakat sebagai jaringan interaksi-
interaksi terpola sebagaimana mereka terjadi dan berulang-terjadi
dalam berbagai periode sejarah dan latar kebudalaan, dan itu
merupakan tugas sosiologi untuk mempelajarinya. 2 Bagi Simmel,
masyarakat terdiri dari jaringan berbelit-belit dari berbagai hu-
bungan an tara individu yang berada dalam interaksi yang relati£
stabil dan konstan dengan individu lainnya. Masyarakat hanyalah
nama untuk sejumlah individu yang dihubungkan oleh interaksi
(Simmel, 1950;10).
Struktur-struktur supraindividual yang lebih besar, seperti
negara, klan, keluarga, kota, a tau kelompok perdagangan hanya
merupakan kristalisasi interaksi. Akhirnya, mereka mencapai
otonomi dan permanensi, dan berhadapan dengan individu
seolah-olah mereka merupakan kekuatan yang bertentangan.

23 Soerjono Soekanto,Kamus Sosiologi, Jakarta: Rajawali,1983, hal. 466.


24 Georg Simmel dalam Robert Biersted, The Making Society: An Outline of
SociologJJ. hal. 382.
25 Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 177.

88 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Bidang studi yang utama untuk orang yang mempelajari ma-
syarakat adalah sociation (sosiasi), yakni bentuk-bentuk dan pola-
pola khusus di mana manusia saling bergaul dan berinteraksi.26
Seluruh gagasan tersebut sesungguhnya telah dimunculkan
Simmel dalam berbagai kesempatan sejak ia tertarik pada sosio-
Iogi di tahun 1890. Karena pada tahun-tahun itu Simmel masih
intens dalam penulisan filsafat, terbukti dengan terbitnya The
Problems of the Philosophy ofHiston; (1892) dan Introduction to Moral
Philosophy (1892/ 93), maka gagasan itu baru memperoleh pijakan-
konkret pada penelitiannya ten tang bentuk-bentuk sosiasi, dalam
The Problem ofSociologtj (1894).
Substansi pokok dan pengembangannya senantiasa dimun-
culkan Simmel pada awal maupun akhir tulisan di hampir setiap
esai sosiologisnya antara tahun 1894-1898. Bagi Simmel sendiri,
esai itu sangat penting dan mencakup "program kerjanya". 27 Na-
mun bila dilacak lebih jauh, embrio gagasan tentang bentuk-
bentuk sosiasi sesungguhnya terkait dengan pemahaman Simmel
atas sejarah dalam The Problems of the Philosophy of Histon;. Di
sana ia mengungkapkan: Seperti halnya "alam" menandakan
pembentukan (Formung) material-material secara inderawi
dengan menggunakan kategori pemahaman, "sejarah" juga
menandakan pembentukan peristiwa-peristiwa yaitu obyek-
obyek pengalaman langsung dengan menggunakan kategori a
priori.
Simmel memang pernah mengungkapkan bahwa sebelum
tertarik pada sosiologi, ia telah memulai dari kajian-kajian

26 Lihat Lewis Coser, Ibid., hal. 178-179. Meskipun Sirnrnel juga mempertimbang-
kan struktur institusionalisasi lebih besar sebagai bidang kajian dan penelitian sosiologis,
tetapi dia juga membatasi karya-karyanya pacta sesuatu yang disebutnya sebagai "interaksi
dian tara atom-atom masyarakat". !a mernbatasi perhatian pacta pola-pola interaksi funda-
mental di antara individu-individu yang berada dalam formasi sosial yang lebih besar.
Bagi Coser, saat ini, sosiologi Simrnel dapat digambarkan sebagai "mikrososiologi". Metode
sosiologi yang diajukan dan dipergunakannya merupakan fokus perhatian pacta jumlah
terbatas dan abadi dari bentuk-bentuk interaksi. Lihat Lewis Coser, Ibid., hal. 178-179.
Bandingkan dengan Renate Mayntz dalam David L Shill (ed), International Encyclopedia
of tlze Social Science, hal. 255.
27 David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 51.

Bab Ill Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 89


epistemologis dan Kantian bersama-sama dengan berbagai minat
dalam ilmu sejarah dan sosial. Mengacu pada pemahaman atas
sejarah dan penjelasan tentang minat-minat awalnya itu, lebih
lanjut Simmel mengungkapkan: 28
Pemisahan-pemisahan bentuk dan isi dari imaji historis ini, yang bagi
saya semata-mata muncul secara epistemologis, akan saya lanjutkan
dalam sebuah prinsip metodologis di dalam suatu disiplin yang khusus.
Saya mendapatkan konsep baru sosiologi dengan cara memisahkan
bentuk-bentuk sosiasi dari isi-isi seperti: maksud-maksud, tujuan-tujuan,
dan isi material, yang hanya akan menjadi berciri kemasyarakatan (so-
cietal) bila ia dibicarakan bersama dengan interaksi-interaksi di antara
individu-individu. (Simmel, 1958: 9)
Dalam The Problem of Sociologt;, Simmel semakin memper-
tajam hal tersebut. Di awal tulisannya, ia membahas perkembang-
an yang sangat berarti d"alam studi-studi tentang manusia dan
sejarah, yakni perombakan "perspektif individualistik" yang digan-
tikan dengan "perspektif yang menekankan pada kekuatan sosial dan
gerakan sosial".
Pergantian tersebut memastikan bahwa ilmu tentang manu-
sia telah bergeser menjadi ilmu tentang masyarakat. Namun,
kecenderungan ini hanya menetapkan suatu prinsip regulatif
untuk seluruh ilmu ten tang manusia, tidak untuk ilmu yang khu-
sus seperti sosiologi. Simmel menolak "sejarah masyarakat" seba-
gai gagasan pokok (spesifik) dalam sosiologi. Ia hanya berfungsi
sebagai prinsip heuristik, yakni sebuah metode semata yang akan
mengantarkan pada pemahaman ten tang aspek historis dari ber-
bagai kekuatan dan bentuk sosiasi berikut perkembangannya. 29

28 Ibid.
29 Simmel menolak anggapan bahwa sosiologi adalah filsafat sejarah yang
mengkaji hukum-hukum sejarah maupun hukum-hukum masyarakat. Menurutnya
sosiologi berperan dalam pemisahan atas totalitas peristiwa-peristiwa historis sejauh ia
menarik fungsi sosiasi dan bentuk-bentuknya yang tak terhitung berikut
perkembangannya sebagai suatu bidang yang khusus. Meskipun posisi sosiologinya
sudah terpaparkan secara jelas, Simmel masih saja mendapat tuduhan bahwa tak satupun
dari analisisnya tentang bentuk-bentuk sosiasi bersifat historis.

90 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Di sini, Sirnmel menekankan kembali bahwa spesifikasi~osiologi
ditentukan dari artinya yang terbatasi. Dengan menggunakan
bentuk analogi dengan psikologi, Sirnmel mengungkapkan: 30
Sebagaimana diferensiasi psikologis yang spesiftk atas persoalan obyektif
menghasilkan psikologi sebagai ilmu, sosiologi pun hanya dapat memper-
lakukan apa yang secara spesiftk berciri kemasyarakatan, seperti bentuk-
bentuk sosiasi (Vergessellschaftung) tersebut, yang berbeda dengan
kepentingan-kepentingan khusus dan isi-isi di dalam dan melalui mana
sosiasi terwujud. (Simmel,1894: 272)
Sejak batasan tugas sosiologi terurai dalam pemahaman da-
sar tentang masyarakat, yakni bahwa masyarakat dalam pengerti-
an yang luas ditemukan di mana pun ketika beberapa individu
terlibat dalam interaksi, maka yang harus dilakukan kemudian
adalah mengenal sosiasi dalam berbagai tingkatan yang sangat
beraneka ragam, baik dari tipe yang sangat sederhana hingga
yang sangat kompleks. Karena bentuk-bentuk sosiasi cenderung
lebih sedikit daripada isi-isinya (sebab dan tujuan khusus), maka
tipe atau bentuk sosiasi yang sama dapat masuk dalam material
yang sangat beraneka ragam. Singkatnya, sosiasi merupakan
bentuk yang isinya membajui dirinya sendiri. Tanpa sebab-sebab
dan tujuan-tujuan khusus tidak akan ada sosiasi yang akan
menentukan bentuk (body), material dari proses sosial. 31
Demikianlah bentuk-bentuk sosiasi menjadi gagasan pen-
ting dalam proyek Simmel mewujudkan new concept of sociology
menuju sosiologi sebagai disiplin yang khusus dan otonom. Dari
uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sosiologi sebagai
ilmu yang khusus dan independen terletak,pada basis penelitian-
nya tentang bentuk-bentuk interaksi atau bentuk-bentuk sosial, atau
lebih tepatnya bentuk-bentuk sosiasi. 32
30 David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 52.
31 Ibid., hal. 53.
32 Menurut Simmel, bentuk-bentuk sosiasi meliputi: superordinasi (superioritas)
dan subordinasi, kompetisi dan konflik, pembagian kerja dan hubungan interdependensi
fungsional, formasi/bentuk partai-partai, perwakilan, solidaritas internal (ingroup) yang
berhubungan dengan keeksklusifan dalam menghadapi solidaritas luar (outgroup) dan
ciri-ciri serupa yang tak terhitung dalam negara, komunitas religius, kelompok

Bab Ill Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 91


Sosiologi yang secara khusus mempelajari bentuk-bentuk
sosiasi itu oleh Simmel diberi nama Sosiologi Murni atau sering
disebutjuga Sosiologi Formal. 33 MenurutSimmel, Sosiologi Formal
mengabstraksikan unsur-unsur dari sosiasi. Ia memisahkan seca-
ra induktif dan psikologis bentuk-bentuk sosiasi dari heterogenitas
isi dan maksud a tau tujuannya, yang dalam dirinya sendiri tidak
bersifat sosial.
Secara epistemologis, sosiologi formal dijelaskan Simmel
sebagai berikut: dari sudut pandang yang berbeda, abstraksi il-
miah memotong kekonkretan fenomena sosial sepenuhnya. Ia
menghubungkan seluruh fenomena sosial yang merupakan
fenomena sosiologis. Hanya dengan abstraksi ilmiah kita dapat
menghasilkan suatu cara kognisi yang konsisten.

konspirator (orang-orang yang berkomplot), asosiasi ekonomi, sekolah seni, Jan keluarga.
Sedangkan isi-isi interaksi adalah kekuatan-kekuatan motifnya: seperti Jorongan-
dorongan, maksud-maksud, tujuan-tujuan, kepentingan-kepentingan dari masing-masing
individu yang terlibat dalam interaksi terse but. Selain terse but di atas, menurut Mayntz,
Simmel juga membahas bentuk-bentuk sosiasi bersifat spasial dan temporal; Jan d.imensi
kuantitatif, Jepend.ensi-otonomi yang memainkan peran kunci dalam analisisnya ten tang
anggota kelompok dan individualitas. Lihat Georg Simmel dalam Robert Bierstedt, The
Making Society: An Outline of Sociology, hal. 395. Bandingkan Renate Mayntz d.alam David
L.Shill, International Encyclopedia of the Social Science, hal. 256.
33 Pengertian formal berasal dari bahasa Latin forma yang berarti bentuk atau
pola, dan merupakan terjemahan dari bahasa Yunani idea atau eideos. Pengertian forma
dari Simmel cenderung mengacu pada Kant dengan merevisi sudut pandang yang fun-
damental darinya. Bagi Kant, forma dan materi sama dengan struktur dan isi.
Pengertiannya sebagai berikut: (1) Materi diidentikan dengan sensasi (pengi.nderaan)
dan forma dengan konsepsi-konsepsi yang menata sensasi, (2) Ruang dan waktu disaji.kan
sebagai forma-forma mumi sensibilitas, (3) Kategori disajikan sebagai forma-forma mumi
pengertian, (4) Rasio dianggap sebagai pengatur dan bukan melebihi atau mengatasi
fenomena-fenomena. Lihat Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pus taka Utama,
1996, hal. 265, 268.
Dengan mengikuti konsep a priori Kant, Simmel menyatakan forms (fom1a-forma)
sebagai kousep-konsep a priori sintetis. Pengertian itu berbeda baik dengan konsep a priori
konvenswnal yang semata-mata analitis maupun dengan konsep empiris konvensional
yang semata-mata sintetis. Dalam semangat diferensiasi sosial yang berimplikasi pada
diferensiasi ilmu-ilmu berikut spesifikasi tugasnya, Simmel merintis sosiologi dengan
obyeknya yang khusus: bentuk-bentuk sosiasi, yang disebutnya sosiologi mumi atau
sosiologi formal. Lihat D.Jary & ].Jary, Collin Dictionary of Sociologt;, hal. 234-235.
34 Simmel menganalogikan sosiologi formal dengan abstraksi geometri yang hanya
menyelidiki bentuk-bentuk ruang dari benda-benda, meskipun secara empiris bentuk-
bentuk tersebut hanya ditentukan sebagai bentuk-bentuk dari isi pokoknya. Ia juga
menganalogikan dengan grammar yang memisahkan bentuk-bentuk bahasa dengan

92 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Karena fenomena sosiologis tidak berada dalam:isolasi
melainkan dihasilkan dari realitas hidup dengan menggl.Inakan
konsep tambahan, maka berarti fakta-fakta sosial tidak sepenuh-
nya bersifat sosial. Ia selalu merupakan isi obyektif (perasaan,
intelektual, teknis atau psikologis), yang oleh masyarakat diwu-
judkan, diciptakan a tau ditularkan dan yang akhirnya mencipta-
kan totalitas kehidupan sosial. Jika masyarakat dipahami sebagai
interaksi an tar individu, maka deskripsi bentuk-bentuk interaksi
itu merupakan tugas ilmu tentang masyarakat dalam arti yang
paling tepat dan esensial.34
3. Sifat Abstrak Sosiologi: Representasi Prinsip-prinsip
Strukturasi Simmel
Dalam uraian di atas, Simmel banyak menyinggung
keterkaitan antara sosiasi dan abstraksi. Satu hal penting dari
uraian di atas adalah bahwa munculnya konsep sosiasi tidak
terlepas dari mekanisme rasio (imaji) manusia yang disebut
abstraksi. Sebelum memaparkan konsep abstraksi Simmel,
etimologi dari abstraksi itu perlu dijelaskan terlebih dulu.
Pada intinya, abstraksi berasal dari bahasa latin abstractio
yang asal katanya abstrahere yang berarti "menarik dari". Secara
harfiah abstraksi berarti memisahkan suatu bagian dari suatu
keseluruhan. Pengertian yang umum dari abstraksi ini menunjuk
pada sebuah proses yang ditempuh pikiran untuk sampai pada
konsep yang bersifat universal. Proses ini berangkat dari penge-
tahuan obyek individual yang bersifat spasio-temporal (ruang
dan waktu). Selanjutnya, pikiran melepaskan sifat individual dari
obyek dan membentuk konsep yang universal. 35

isinya, yang meskipun demikian bentuk-bentuk tersebut sampai (digunakan) dalam


kehidupan. Dalam cara yang dapat disamakan dengan kedua analogi tersebut, Simmel
lebih jauh berargumen tentang sosiologi formal ini: "Kelompok-kelompok sosial dapat
dibayangkan dengan sangat beragam dalam maksud, arti umum, meskipun juga bisa
ditunjukkan bentuk-bentuk yang identik tentang tingkah laku yang satu dengan yang
lain dari anggota-anggotanya (individu-individu yang ada di dalamnya)". Lihat Georg
Simmel dalam Robert Bierstedt, Tile Making Society. An Outline of Sociology, hal. 394-395.
35 Untuk pemahaman yang komprehensif ten tang abstraksi ini lihat Lorens Bagus,
Kamus Filsafat, hal. 6-8. Lihat juga Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, hal. 3.

Bab III Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 93


Saatmenjelaskan konsep abstraksi, Simmel mengungkap-
kan, sosiologi pada dasarnya mempunyai karakter a tau sifat yang
abstrak. Topik-topik dalam penelitian sosiologi selalu muncul
melalui proses abstraksi ini. Meskipun demikian, sifat abstrak
itu tidak membedakan sosiologi dari ilmu-ilmu yang lain. Mereka
sama-sama berpedoman pada berbagai konsepsi dari realitas
yang membuat fenomena-fenomena menjadi saling berhubung-
an. Karena pada dasarnya di dunia ini tidak ada sesuatu yang
dapat dialami secara langsung, maka orang hanya menemukan
hukum-hukum dan evolusi dari realitas.
Semenjak individu dengan seluruh aspek tindakan dalam
kehidupannya terbatasi oleh fakta bahwa ia merupakan makhluk
sosial, seluruh ilmu tentang dirinya direduksi ke dalam bagian-
bagian dari ilmu tentang kehidupan sosial. Seluruh pokok
bahasan ilmu-ilmu tidak lebih dari saluran-saluran khusus di
dalam aliran kehidupan sosial sebagai pembawa seluruh kekuat-
an dan signifikansinya. Dengan demikian, abstraksi telah membe-
rikan sebuah nama, umum yang baru bagi seluruh cabang penge-
tahuan yang tentunya akan terus ada, tak tergoyahkan dan
otonom berikut seluruh muatan khusus, nomenklatur, kecende-
rungan dan metodenya sendiri-sendiri. Khusus untuk sosiologi,
tentu saja ia berdiri di atas suatu abstraksi dari realitas konkret
yang diselenggarakan dengan berpedoman pada konsep masya-
rakat.36
Lebih jauh, Simmel mengungkapkan, praktis penetapan
sosiologi sebagai sebuah ilmu bertumpu pada mekanisme basis
itu, yakni: 37

36 Dalarn hal ini, sosiologi hanya rnenggali satu aspek dari totalitas fenornena. Ia
rnernpelajari apa yang terjadi dengan rnanusia dan kaidah-kaidahnya dalarn bertingkah
laku, bukan sejauhrnana rnereka rnernbuka eksistensi individunya yang dapat dirnengerti
dalarn totalitas rnereka, tetapi sejauh rnereka rnernbentuk kelornpok-kelornpok dan
terbatasi oleh eksistensi kelornpok hasil dari interaksinya. Lihat Georg Sirnrnel dalarn
Robert Bierstedt, The Making Society: An Outline of Sociolog~;, hal. 384-385.
37 David Frisby, Georg Simme/ (Key Sociologist), hal. 53.

94 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


sebuah bidang yang disyahkan oleh abstraksi: sosiasi dan bentuk-
bentuknya. Bentuk-bentuk itu berkembang dari hubungan individu-
individu, yang relatif independen dari rasio-rasio tentang hubungan
tersebut;dan jumlah totalnya secara konkret menentukan entitas yang
ditandakan oleh abstraksi:masyarakat. (Simmel, 1894: 273)

Persoalan pokok dalam sosiologi Simmel adalah realitas


sosial sebagai perpaduan (fusion) antara bentuk dan isinya.
Sosiologi menggunakan abstraksi bentuk dari isi realitas sosial.
Dalam mekanisme abstraksi tersebut, sosiologi menarik unsur-
unsur sosial semata-mata dari totalitas sejarah manusia --yakni
apa yang terjadi di dalam masyarakat- sebagai bentuk perhatian
khusus dan mengungkapkannya melalui keringlazsan-paradoksal: 38
yang berarti ia meneliti apa yang ada (terjadi) dalam masyarakat
adalah "masyarakat" (Simmel, 1894: 275). Studi "masyarakat"
tersebut meliputi penelitian tentang kekuatan-kekuatan, bentuk-

38 Istilah keriugkasau-paradoksal merupakan istilah yang menerangkan proses


transformasi dari realitas masyarakat yang konkret menuju kousep universal "masyarakat".
Kata "masyarakat" -sengaja diberi tanda kutip-muncul dari kemampuan rasio melakukan
abstraksi atas realitas masyarakat yang konkret. Dengan demikian, konsep "masyarakat"
itu adalah contoh atau bentuk ringkasau-paradoksal. Pada dasamya, gagasan Simmel itu
terletak dalam kerangka kajian atas rasionalitas dan epistemologi. Berkaitan dengan hal
itu, ada satu pertanyaan yang patut dikemukakan: bukankah ringkasan-paradoksal dalam
proses abstraksi dari Simmel ini identik dengan konsep Ricoeur tentang "Acuan yang
terbelah" (Split reference) dan "Kebenaran yang bertegangan" (Tensional tmth) yang selalu
melekat dalam metafor? Benarkah titik keterkaitan pemikiran Simmel dan tradisi
hermeneutik terletak di sini? Karena menunjuk pada makna yang hampir sama, saya
memberanikan diri (ceroboh?) untuk menyejajarkan antara abstraksi dan keringkasan-
paradoksal dari Simmel dengan metafor dan acuan yang terbelah atau kebenaran yang
bertegangan dari Ricoeur tersebut. Metafor dalam arti luasnya berarti kondisi dasar
antropologis di mana manusia hanya bisa memahami dunia dengan cara
[}lempersamakannya dengan hal yang ia pahami, dengan simbol-simbol yang
diciptakannya sendiri alias dengan hal yang bukan dunia itu sendiri. Dengan kata lain,
hubungan an tara man usia dan dunianya pada dasamya selalu bersifat metaforis. Dengan
demikian, metafor yang dimaknai sebagai peristiwa transformasi selalu ditandai oleh
dua hal tersebut. Pada dasamya, seperti halnya abstraksi, metafor ini terkait erat dengan
imajinasi. Karena imajinasi dianggap sebagai akar a tau pusat rasionalitas, maka ia juga
merupakan akar dari abstraksi atau metafor itu sendiri. Pemikiran Ricoeur ini
diungkapkan dalam konteks pembelaan atas kesahihan filsafat, rasionalitas dan
epistemologi yang dalam wacana postmodemisme dipertanyakan kernbali secara radikal.
Untuk uraian tentang Ricoeur ini lihat sebuah buku yang sangat berperan dalam
menghentikan gonjang-ganjing postmodernisme di Indonesia, yang ditulis secara

Bab lii Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 95


bentuk, dan perkembangan sosiasi; kerjasama, pengelompokan
dan ko-eksistensi antar individu. 39
Sekadar mencontohkan pemberlakukan abstraksi dalam
fenomena historis-sosiologis, Simmel menggambarkan, sebuah
periode seperti abad 18 yang menjelaskan isi-isi kehidupan
sejarah--seperti bahasa, agama, bentuk-bentuk negara,
kebudayaan materiil--pada dasarnya adalah ciptaan dari
individu-individu. Namun, untuk menjelaskan fenomena sejarah
itu, akal budi dan kepentingan individu semata belurn merupakan
dasar penjelasan yang memadai. Dua hal yang tidak memadai
ini digantikan oleh gagasan yang merupakan konstruksi atau
produk sosial yang mana seluruh fenomena tersebut muncul
dalam interaksi-interaksi manusia.
Penciptaan fenomena melalui kehidupan sosial ini terjadi
dalam dua cara: (1) kesertamertaan individu-individu yang
berinteraksi masing-masing menciptakan sesuatu yang tidak
dapat dijelaskan oleh dirinya sendiri, (2) pergantian generasi.
Warisan dan tradisi dalam pergantian generasi ini melebur secara
tak terpisahkan dengan hasil atau perolehan yang dibuat oleh
individu. Dalam hal ini, manusia sosial tidak hanya berperan
sebagai pengganti (pencipta yang baru) tetapi juga seorang ahli
waris. 40

cemerlang oleh I. Bambang Sugiharto, Postmodemisme: Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta:


Kanisius, 1996, hal. 163-164.
39 Simmel sangat menekankan pentingnya pembedaan an tara: "masyarakat" dalam
arti hanya suatu nama kolektif yang muncul dari ketidakmampuan memperlakukan
fen omena individu secara terpisah dengan masyarakat yang menentukan fenomena melalui
kekuatan-kekuatan sosial yang bersifat khusus. Suatu pembedaan an tara: apa yang ada
semata-mata di dalam (within) masyarakat sebagai sebuah kerangka dan apa yang
sungguh-sungguh ada melalui (tlzrouglz) masyarakat (Simmel, 1894: 274). Penentuan yang
sesungguhnya atas persoalan pokok sosiologi adalah dalam pengertian yang terakhir.
Pemahaman inilah yang membedakan antara konsep sosiologi Simmel dengan teori-
teori maiJ'arakat sebelumnya. Lihat David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 53.
Pemahaman Simmel ini sangat dekat dengan terminologi Dilthey--tradisi
hermeneutik awal-yang menunjuk pada metode ilmu-ilmu kebudayaan yakni peran
ganda subyek sebagai creator dan interpreter. Lihat David Jary & Julia.Jary, Collin Dictio-
nanJ of Sociology. hal. 272. Untuk uraian di atas lihat Georg Simmel dalam Robert Bierstedt,
The Making Society: An Outline ofSociologJ;, hal. 385-386.

96 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Dalam sebuah gambaran yang mudah dipahami, Mayntz
menjelaskan karakter abstrak sosiologi ini sebagai konfigurasi-
konfigurasi struktural dasar atau prinsip-prinsip strukturasi dalam
sosiologinya. Menurut Mayntz, Simmel menganggap bentuk-
bentuk sosial atau interaksi bukanlah entitas-entitas riil yang
terstruktur tetapi sesuatu yang abstrak, aspek-aspek analitis dari
realitas sosial. Dengan demikian rriaka karakter abstrak sosiologi
merupakan representasi prinsip-prinsip strukturasi Simme1. 41
Hal itu berarti, tugas-khusus sosiologi menurut Simmel
adalah bukan penjelasan kausal atas bentuk-bentuk sosial
tersebut, melainkan analisis atas makna obyektifmereka. Pengertian
itu serupa dengan analisis bentuk-bentuk kebudayaan seperti
obyek-obyek seni dan sistem-sistem gagasan yang memiliki suatu
makna obyektif; sesuatu yang berbeda dari asal-usulnya yang
dijelaskan secara psikologis. Makna obyektif bentuk-bentuk sosial
ini diletakkan Simmel dalam berbagai karakteristik yang esensial,
cakupan variasi empiris maupun dalam konsekuensinya. Dari
gambaran di atas, kita bisa menarik kesimpulan, tatkala Simmel
membahas tentang karakteristik-esensial dari bentuk-bentuk
sosial, tulisannya mempunyai citarasa fenomenologis yang sangat
kuat. 42
4. Sosiologi sebagai Suatu Metode: Kesalingterkaitan Ber-
bagai Fenomena
Berdasar pada spesialisasi ilmu, Simmel mengungkapkan,
sosiologi bukan semata-mata sebuah ilmu dengan pokok bahasan

41 Dalam sosiologi kontemporer, teori strukturasi merupakan pendekatan


sosiologis yang dikembangkan Anthony Giddens (1984). Konsep strukturasi itu menunjuk
pada pengertian: menstrukturkan hubungan-hubungan sosial yang berada dalam jarak
lintas waktu dan ruang sebagai hasil dari bekerjanya struktur-struktur pra-ada dan agensi
individual tanpa pernah masing-masing dari keduanya memiliki eksistensi yang
terpisahkan (dualitas yang berkoeksistensi). Lihat Anthony Gidden, The Constitution of So-
cieh;: Outline of the Theon; of Stmcturation, Cambridge: Polity Press, 1984, hal. 25. Lihat
juga D. Jary & J. Jary, Collin Dictionary ofSociologJ;, hal. 635.
42 Lihat Renate Mayntz dalam David L. Shill, lntematioual Enct;clopedia of tire So-
cial Science, hal. 256. Lihat juga David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 117.

Bab Ill Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 97


yang dibedakan dari ilmu-ilmu lain. Sosiologi juga menjadi meto-
de dari ilmu sejarah dan ilmu-ilmu yang menyelidiki manusia
secara umum, seperti ekonomi, politik, sejarah kebudayaan, etika,
agama, hukum. Untuk menggunakan metode ini, ilmu-ilmu itu
tidak perlu menanggalkan perspektif khususnya karena sosiologi
dapat menyesuaikan diri dengannya. Bagi Simmel, sosiologi sama
pentingnya dengan metode induksi. Induksi sebagai sebuah prinsip
baru dalam penelitian dapat merasuk ke dalam berbagai wilayah
permasalahan dan dapat menyumbangkan solusi baru untuk
tugas-tugas yang ditentukan.
Tidak berarti bahwa sosiologi kehilangan fungsinya sebagai
ilmu khusus dan tinggal sebentuk metode induksi. Tatkala
sosiologi selalu menekankan gagasan bahwa manusia adalah
"binatang sosial" (social animal) dan bahwa masyarakat
merupakan medium dari seluruh peristiwa sejarah, maka tidak
berlebihan jika sosiologi diposisikan sama pentingnya dengan
metode induksi. Hal itu sekedar melukiskan, melalui metode ilmi-
ahnya, sosiologi berperan besar dalam membuka jalan baru bagi
ilmu-ilmu lain. 43
Simmel secara interpretatif melihat sosiologi sebagai suatu
ilmu yang khusus sekaligus terkandung sebuah metode ilmiah
yang kemampuannya selalu dapat dipakai oleh ilmu-ilmu lain. 44
Membaca argumen ini, apakah agenda sosiologi Simmel sesu-
ngguhnya? Dengan tegas ia menjawab untuk membentuk landas-

n Georg Simmel dalam Robert Bierstedt, The Making Society: An Outline of Sociol-
0{51). hal. 386.
44 Saat menguraikan hal itu, Simmel memberikan beberapa contoh praktis tentang
pendekatan sosiologis pada berbagai bidang kajian. Dalam kriminologi misalnya, orang
dapat menggunakan penelitian sosiologis untuk mempelajari sifat kejahatan massa. Stimu-
lus-stimulus dari perilaku yang bersifat kolektif-impulsif tetap dapat diketahui secara
jelas. Bagi orang yang belajar tentang agama, melalui kajian sosiologis orang bisa
mengetahui bahwa kesalehan (perilaku beragama) tidak secara eksklusif dipengaruhi
oleh ajaran agama yang bersifat transendental semata, tetapi juga oleh motivasi-motivasi
dan unsur-unsur sosiaL Bagi orang yang mempelajari politik atau sejarah kebudayaan,
ada kecenderungan kuat, kebijakan dalam negeri yang ditetapkan oleh suatu negara
lebih banyak ditentukan dari proses-proses dan kondisi-kondisi ekonomi sebagai alasan
utamanya. Padahal perubahan kondisi ekonomi hanyalah manifestasi perubahan

98 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


an yang umum bagi wilayah permasalahan yang kurartg jelas
kesalingterkaitannya. Lebih jauh, ia mengungkapkan: 45
Keuniversalan sosiasi, yang mencitakan pembentukan individu-individu
secara resiprokal, mempunyai persesuaiannya dalam prosedur tunggal
sosiologis dari kognisi. Pendekatan sosiologis memberikan kemungkinan
solusi atau kajian yang lebih mendalam, yang diperoleh dari berbagai
bidang pengetahuan yang mungkin berdasarkan isinya sangat berbeda
dengan bidang permasalahan khusus dalam penelitian. (Simmel1959,
. 386-7)

C. Metodologi Sosiologi Simmel


1. Metodologi atau Cara Pandang?
Berbicara tentang hakekat ilmu, adalah suatu kenyataan
bahwa dalam tradisi sosiologi, berbagai aliran pemikiran selalu
dituntut kejelasan metode yang digunakan. Kesahihan suatu teori
teruji dalam terang metodologinya. Sebaliknya, sosiologi Simmel
dianggap bermasalah karena persoalan metodologi yang tidak
transparan. Bila kita mencermati lagi uraian di atas, sesung-
guhnya hal itu sudah dijelaskan dalam kajian tentang sosiologi
yang menggunaknn sarana abstraksi untuk obyek-khususnya.
Seperti diungkapkan Mayntz, satu kontribusi Simmel yang
sangat penting untuk sosiologi adalah ketika metodologinya
memberikan status independen pada sosiologi sebagai disiplin
yang khusus. Sosiologinya bukanlah studi komprehensif pada

sosiologis yang fundamental. Analisis sosiologis secara umum juga sangat tepat untuk
menunjukkan jalan menuju sebuah konsepsi sejarah yang lebih besar dari materialisme
his loris, dan bahkan menggantikannya. Jika ekonomi terkesan cukup menentukan seluruh
bidang kebudayaan, kebenaran di belakang penampilan yang mengesankan ini akan
terbongkar bahwa ekonomi pun ditentukan oleh perubahan sosiologis yang juga
menentukan seluruh fenomena kebudayaan. Dengan demikian, sesungguhnya bentuk
ekonomi hanya merupakan suatu superstruktur dari kondisi-kondisi dan transformasi
dalam struktur sosiologis. Pendek kata, struktur sosiologis ini merupakan unsur-pokok
dari sejarah yang mengelilingi hingga menentukan seluruh isi kehidupan yang lain,
termasuk ekonomi. Lihat Georg Simmel dalam Robert Bierstedt, Tire Making Society: An
1s
Outline Sociology, hal. 387-389.
5 Ibid.,, hal. 387.

Bah l/1 Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 99


keseluruhan fakta-fakta sosial, karena fakta-fakta sosial itu hanya
menjadi label untuk sejumlah disiplin-disiplin khusus yang
memperlakukan aspek-aspek berbeda dari obyek umum yang
sama, yakni kehidupan manusia dan produk-produknya.
Sosiologi Simmelian menetapkan obyek khusus dari kognisi
melalui pemisahan secara analitis aspek-aspek interaksi dari
seluruh realitas sosial.46 Memang, seperti diuraikan Steinhoff,
Simmel mendasarkan sosiologi sebagai disiplin yang independen
tidak pada penemuan "obyek material bant" melainkan pada "obyek
formal": suatu cara penelitian, sudut pandang, atau abstraksi (Steinhoff,
1924/25: 228-9).
Di sini dapat ditarik pemahaman bahwa obyek formal itulah
basis metode sosiologi Simmel. Namun ketika kita menyebut
metodologi, ada sesuatu yang mengganjal dan tidak pas untuk
diterapkan dalam kasus Simmel. Seperti diungkapkan Becher
(1971:14), hal itu berarti kita memberlakukan pengertian yang
kaku dan kurang tepat. Menurutnya, keasyikan pada metodologi
sama dengan bentuk fethishism. Maka akan lebih tepat bila konsep
metode digantikan dengan sudut atau cara pandang, titik
pandang, cara observasi, atau kecenderungan penelitian. 47 Pem-
bedaan dan koreksi itu sangat berguna untuk menghidari tafsir
tunggal-ketat atas alat bernama "metode".
Dengan kualifikasi itu paling tidak kita memperoleh legiti-
masi untuk menguraikan elemen-elemen dasar sosiologi Simmel
yang jelas-jelas menunjuk pada pengertian yang sama dengan
konsep metode. Singkatnya, berbeda dengan konsepsi metode
yang cenderung kaku, konsepsi cara pandang lebih mencirikan
watak alat yang lentur, toleran, tanpa batas-batas yang ketat-
membelenggu.48 ·

46 Lihat Renate Mayntz dalam David L Shill (ed.), International EllC1Jclopedia of the
Social Science, hal. 255.
47 Untuk pendapat dari H.J Becher (1971:14) dan M. Steinhoff (1924/25: 228-9)
lihat David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 59.
48 Dalam konteks ini, kita mungkin bertanya-tanya: "Bisakah Simmel dikatego-
rikan sebagai proponen tradisi Culture Studies 7 Ada anggapan bahwa kemunculan cul-
ture studies dipicu o!eh kegerahan dan kegelisahan terhadap kemandegan,tepatnya rigidi-

l 00 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Pemahaman yang representatif atas pemikiran Simmel
sesungguhnya terletak pada pengertian terakhir, yakni cara pan-
dang sosiologi Simmel. Tanpa meremehkan pembedaan antara
metodologi dan cara pandang, saya tetap mencantumkan kata
metodologi di sini semata-mata karena alasan sederhana: kata
metodologi telah umum dipakai dan telah terlanjur menjadi kata
yang familiar. Penggunaan kata metodologi hanyalah persoalan
nama atau kulit luar semata, sedangkan jiwa dan semangatnya
ada dalam pengertian yang kedua. Saya menyadari hal itu bisa
beresiko pada simplifikasi atau pengerdilan pernikiran Simmel
yang sungguh-sungguh jauh dari semangat "gila metode".
2. Abstraksi, Prosedur Induktif, dan Mikro-Makro Sosio logi
Dalam risalah pendek, sosiologi Simmel mengangkat in-
teraksi-interaksi sosial sebagai obyek-khusus. Melalui abstraksi,
ia mernisahkan bentuk-bentuk dari isi-isi interaksi sosial terse but.
Bagi Simmel, mekanisme abstraksi itu sendiri merupakan proses
penempatan sosialitas interaksi dalam kesadaran. Banyak
ilmuwan sosial salah memaharni abstraksi ini dengan meng-
anggap Simmel bekerja di aras metafisika belaka.
Menanggapi hal itu, Tenbruch mengungkapkan, meskipun
Simmel menggunakan abstraksi untuk bentuk-bentuk sosiasi dari
realitas sosial, tidak berarti ia berada dalam kategori keabstrakan
yang sangat tinggi. Sosiologinya didasarkan pada prosedur in-
duktif, bukan deduktif. 49

las atau kekakuan ilmu-ilmu seperti: sosiologi dan antropologi, dan lain-lain. Kita bisa
mencermati berbagai kritik atas grand theories (baik ala Marx, Durkheim dan Weber berikut
penganut-penganutnya) yang dianggap sebagai kelompok yang paling bertanggung
jawab atas tindak pengerdilan sosiologi itu sendiri. Dalam teori-teori besamya berikut
keketatan metode yang diasumsikan dapat berlaku umum danmenjawab seluruh perma-
salahan, lantas mereka abai terhadap uraian yang lengkap ten tang fenomena sosial yang
begitu kompleks. Teori-teori besar yang dibangunnya telah menjadi teori yang rigid,
tepatnya ideologi, yang tidak bisa diganggu gugat. Untuk menjawab pertanyaan di atas,
tentu saja kita perlu penelitian lebih jauh mengenai hal itu.
49 Bandingkan penilaian ini dengan penilaian Berger, dalam kajian tentang
kebudayaan modem, yang menyejajarkan antara konsep abstraksi dari Simmel dengan
konsep rasionalisasi dari Weber. Menurutnya, dalam kerangka menjelaskan modemitas,

Bab lJl Kerangka Teori Sosio/ogi Georg Simmel 101


Melalui prosedur induktif, Simmel mengabstraksikan ben-
tuk-bentuk sosial dari berbagai fenomena sosial. Bentuk-bentuk
itu merepresentasikan lapisan khusus dari realitas. Meskipun
bentuk-bentuk itu tidak dapat menerangkan interaksi itu sepe-
nuhnya tetapi mereka telah bertindak menerangkan pola-polanya
(Tenbruck, 1958:75,85).
Bagi Simmel sendiri, karena interaksi itu berasal dari
berbagai motif dan kepentingan individu-individu maka analisis
interaksi menjadi relevan dan· syah bila praandaian-praandaian
psikologisnya juga dipertimbangkan. Dengan demikian, merujuk
pada ungkapan Steinhoff lagi, Simmel memperlakukan abstraksi
sejauhmerniliki suatufundamentum in re (Steinhoff, 1924/25:231).
Ia sama sekali tidak tertarik pada klasifikasi abstrak atau suatu
tipifikasi dan taksonomi yang tak ada akhirnya atas interaksi-interaksi
so sial sebagaimana sosiologi formal yang diidentikan dengannya. 50
Sirtunel memberlakukan prosedur induktif dengan asumsi
bahwa pola-pola interaksi fundamental di antara individu-
individu adalah pembentuk formasi sosial yang lebih besar.
Asumsi itu sangat menentukan pendekatan sosiologinya, yang
oleh Mayntz disebut sub institusional atau oleh Coser dilukiskan
sebagai mikro sosiologi. Meskipun Simmel banyak mempertim-
bangkan struktur institusionalisasi lebih besar, namun fokus
perhatiannya berangkat dari "interaksi dian tara atom-atom masya-
rakat" sebagai bidang kajian dan penelitian sosiologisnya. Pada

para sosiolog selalu menggunakan caranya masing-masing. Simmel di bawah konsep


abstraksi membahas permpsalahan yang sama dengan yang disampaikan Weber sebagai
rasionalisasi. Keduanya sama-sama hendak menyatakan bahwa dunia modem, karena
kapitalisme dan perekonomian uang yang diakibatkannya, telah menjadi kian abstrak,
berlawanan dengan hubungan yang amat konkret pada masyarakat pra-modem. Bila
gagasan Simmel itu ada dalam The Philosophy of Money, untuk gagasan Weber terdapat
dalam The Protestant Ethics. Lihat Peter L Berger, Revo/usi Kapitalis, Jakarta: LP3ES, 1990,
hal. 38. Bandingkan pula dengan C. Wright Mills, Tlze Sociological Imagination, New York:
Oxford University Press, 1978, hal. 23, 50-75 (sub-bab abstracted empirism) dan Dennis H.
Wrong, Skeptical Sociology, London : Heinemann, 1977, hal. 68-70.
50 Untuk pendapat Tenbruck, Steinhoff, Sinunel tersebut di atas lihat David Frisby,
Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 62.

102 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simme/


saat itu, pendekatan sub institusional seperti yang dikembangkan
Simmel merupakan sebuah konsep baru dalam sosiologi. 51
Pendekatan itu diisyaratkan Simmel dalam The Problem of
Sociology maupun dalam Soziologische Aesthetik yang menurutnya
san gat berbeda dengan proyek sosiologi empiris ortodok. 52
Analisis sosiologis Simmel atas berbagai hubungan interpersonal
sampai pada interaksi-interaksi yang terkristalisasi dalam
struktur-struktur a tau institusi-institusi yang lebih besar dan per-
manen, semakin membuktikannya sebagai sosiolog yang memili-
ki cara pandang holistik atas kehidupan.
Dalam pemikiran sosiologi modern, perimbangan pende-
katan sosiologi mikro-makro tersebut berfungsi sebagai dasar
perspektif relationism. Karl Mannheim adalah orang yang meng-
gunakan gagasan relationism itu untuk menjelaskan analisis
sosiologis tentang makna yang menekankan kesalingterkaitan
an tara si pengamat dan pengetahuannya. 53 Dalam karyanya,
Mannheim melanjutkan sekaligus mempertajam kritik Simmel
atas realisme individualistik. Ia menjelaskan bahwa kekurang-
lengkapan berbagai ilmu, seperti epistemologi dan psikologi,
untuk menjelaskan asal-usul makna individu yang sangat erat
kaitannya dengan konteks kehidupan kelompok telah dapat
diatasi sejak lahirnya sosiologi.54

51 Lihat Renate Mayntz dalam David L.Shill, International EnCl;clopedia of t!U? So-
cial Science, hal. 255.Lihat juga Lewis Coser, Master of Sociological Tlwuglzt, hal. 178-179.
52 Lihat David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 63-64.
53 Menurut Mannheim, Sosiologi Pengetahuan harus menerapkan kedua
pendekatan itu secara altematif dan saling melengkapi. Pendekatan mikroskopis sangat
penting untuk memverifikasi detail-detail dalam cakupan terbatas. Dengannya, kita dapat
menganalisis setepat mungkin, misalnya semua pikiran penting dari suatu arus politis
dengan acuan pada gaya pikir mereka; penggunaan setiap konsep yang berbeda-beda
antara kelompok yang satu dengan yang lainnya; perubahan dalam basis sosial
mempengaruhi gaya berpikirnya, dan lain-lain. Sedangkan pendekatan makroskopis
bermanfaat untuk meletakkan dasar-dasar suatu kompleks masalah yang komprehensif.
Dengannya, kita dapat mendiagnosis langkah-langkah yang paling penting dalam sejarah
kompleks ideologi-utopia, a tau menjelaskan titik-titik peralihan yang tampaknya penting
bila dilihat dari jauh. Lihat Karl Mannheim, ldeologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran
dan Politik, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal. 58.
54 Seperti telah kita ketahui, kesadaran modem memposisikan manusia sebagai
subyek pengetahuan. Ungkapan Bapak Filsafat Modem, Descartes:"Cogito ergo sum,"

Bab III Keranglro Teori Sosiologi Georg Simmel 103


Sosiologi dianggap sebagai jalan baru untuk mencapai cara
pandang atas kenyataan yang lebih lengkap. Satu contoh tentang
kelengkapan cara pandang itu ada di dalam sosiologi pengetahu-
an. Secara khusus, sosiologi pengetahuan menekankan bahwa
cara pandang atas kenyataan, proses kerja kognisi dan hasilnya
(pengetahuan) tak terlepas dari proses kooperatif kehidupan
kelompok yang berdimensi historis. Pengetahuan yang dimiliki
individu hanyalah fragmen dari pengetahuan kolektif, sehingga
pengetahuan dan realitas dapat dimaknai sebagai hasil konstruksi
sosial dari individu-individu yang berinteraksi. 55
3. Signifikansi How is Society Possible?
Menyoal kritisisme metodologi sosiologi Simmel, ada salah
satu karya yang dianggap representatif untuk menjawabnya: How
is Sociehj Possible? Pada intinya, karya itu memuat gagasan Simmel
tentang a prioritas sosiologis atau lebih tepatnya a priori bentuk-
bentuk sosiasi. Berbeda dengan a priori Kant untuk pengetahuan
dunia material yang ditumpukan pada subyek yang mengetahui-
dalam How is Nature Possible?, dasar a priori Simmel bukan
semata-mata diri sendiri (self) melainkan orang lain (other). Jawab-
an atas pertanyaan bagaimana masyarakat mungkin (terjadi) ada

merupakan tonggak penemuan subyektivitas dan gerakan rasionalisme di Eropa.


Kemunculan berbagai ilmu dan perkembangannya semakin meneguhkan hal itu. Dalam
terang kesadaran modem itu pula, kehadiran sosiologi melengkapi konsepsi-konsepsi
dasar eprstemologi (baik rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes, Spinosa,
Leibniz dan Kant, maupun empirisme yang dikembangkan oleh Bacon, Hobbes, Locke,
Berkeley, dan Hume), psikologi dan ilmu sejarah yang masing-masing masih berperspektif
individualistik (individu yang terisolasi dari dunia sosial). Sosiologi hadir dengan
mengusung gagasan bahwa sesungguhnya asal-usul makna (pengetahuan) individu
sangat terkait dengan konteks kehidupan kelompok. Lihat Karl Mannheim, ldeologi dan
Utopia: Mcnyingkap Kaitan Pikiratz dan Politik, hal. 14-16. Bandingkan F. Budi Hardiman,
"Kesadaran yang Tak Bersarang: Refleksi atas Interaksi Kesadaran dan Struktur dalam
Modernisasi," dalam Tim Redaksi Driyarkara, Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan,
Jakarta Gramedia, 1993, hal. 120-121.
55 Lihat Karl Mannheim, ldeologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dau Politik,
hal. 29-34. Bandingkan Frisby yang menghubungkan pemikiran Simmel dan karya Karl
Mannheim: Eine Soziologische T/zeorieder Kultur wzd ihrer Erkemzbarkeit, dalam David Frisby,
The Alienated Mind, hal. 137.

104 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


dalam dasar hubungan interaksi antara aku: (I) dan kamu (You)
melalui perlambangan-perlambangan yang diidealkan (idealized
hjpifications) tentang diri dan orang lain. Di sini, You dimaknai
sebagai "sesuatu yang independen dari representasi ego kita",
"sesuatu yang otonom (genau so fur Sich ist) seperti eksistensi diri
kita". 56
Dalam karya ini, menurut Frisby--dengan meminjam
terminologi Uta Gerhardt (1971: 27-40)--Simmel menguraikan tiga
a priori bentuk-bentuk sosiasi: peran, individualitas dan struktur.
A priori pertama adalah mediasi sosial dari tindakan yang berarti
bahwa setiap tindakan individu adalah tindakan "sosial". Hu-
bungan aktor-aktor merupakan hasil abstraksi-abstraksi sosial
atau imaji tentang orang lain yang digeneralisir. Tindak genera-
lisasi itu sendiri menggambarkan sifat dasar dari keterbatasan
atau ketidaksempurnaan manusia.
Peran sosial individu ditentukan tidak semata-mata oleh
gambaran tentang orang lain tetapi juga pengetahuan tentang
konteks struktural dimana tindakan sosial individu itu berlang-
sung (suatu a priori yang ditentukan lingkungan dimana setiap
kesadaran menjadi bagian darinya). Tatkala kita melambangkan
(typifiJ) aktor-aktor lain, perlambangan (hjpification) itu menjem-
batani antara pengetahuan dan tindakan.
A priori kedua menjelaskan bahwa setiap individu dalam
dirinya sendiri memiliki nucleus individualitas yang tidak dapat
direproduksi secara subyektif oleh orang lain yang memiliki indi-
vidualitas yang secara esensial berbeda. Pengertian itu menunjuk
pada ungkapan Simmel sendiri bahwa: "Hidup tidak sepenuhnya
bersifat sosial". Individu bukan suatu buntelan peran semata, tetapi
juga sebuah eksistensi-otonom non-sosial: suatu identitas diri a tau
individualitas. 57

56 Georg Simmel, How is Society Possible?, hal. 2. Lihat juga David Frisby, Georg
Simmel, hal. 121.
57 Di sini, Simmel berulangkali meggambarkan simultanitas individu: "di dalam-
di luar", "terrnimts ad quo-terrnimts ad quem", "anggota masyarakat-produk masyarakat", "unsur
organisme-satuan organik terfllfllp", "social animal-unsocial animal"' dan lain-lain.

Bab III Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 105


Sedangkan a priori ketiga menjelaskan bahwa "struktur"
terletak pada struktur masyarakat yang bersifat fenomenologis,
seperti jumlah atau hubungan berbagai eksistensi dan tindakan
dari seluruh unsur-unsur masyarakat yang secara historis bersifat
obyektif. Struktur menjadi semacam pusat-pusat koordinasi
berbagai fungsi dan pemfungsian. Jenis a priori ini menetapkan
"kemungkinan" individu menjadi unsur sosial atau anggota
masyarakat. Individualitas menemukan posisi dalam struktur
masyarakat, meskipun tetap saja, struktur ini tergantung pada
individualitas itu berikut fungsinya. A priori struktural, maupun
dua a priori lainnya, merupakan praandaian logis dan ideasional
tentang masyarakat yang sempurna.
Kesempurnaan itu tidak dalam pengertian konsepsi etis
atau eudaemonistik tetapi pengertian tentang penyempurnaan
konseptual, hingga kita memiliki masyarakat yang utuh. Menim-
bang seluruh pengertian di atas, Frisby menegaskan, ide-ide
Simmel muncul mendahului gagasan sosiologi interaksionis
Georg Herbert Mead maupun konstruksi tipe ideal dari Max
Weber. 58
Senada dengan Frisby, Lichtblau mengungkapkan bahwa
Simmel menerapkan prinsip-prinsip dasar yang mempunyai
implikasi bagi metode interpretatif, khususnya dalam The Pro-
blem of Philosophy of History dan How is Society Possible? Menurut
Lichtblau, prinsip-prinsip itu dapat dibicarakan dalam tiga
batasan. Pertama, bagi Simmel pemahaman historis, seperti halnya
pengetahuan, merupakan pemindahan dari apa yang langsung
ada ke dalam suatu bahasa baru yang hanya mengikuti berbagai
bentuk, kategori, dan tuntutannya sendiri (Simmel, 1905: 40ff).
Pandangan ini menunjuk pada suatu tingkat yang dapat dime-
ngerti, yang identik baik dengan tindakan yang terpisah dari kesa-
daran sebagian ahli sejarah maupun dengan berbagai motif dari
individu-individu yang historis.
58 Uraian di atas merupakan ringkasan tulisan Frisby. Untuk melengkapinya,
say a menyisipkan di sana-sini beberapa kutipan ungkapan Simmel sendiri dalam How is
Society Possible? Lihat David Frisby, The Alienated Mind. hal. 122. Lihat juga Georg Simmel,
How is Socieh; Possible?, hal. 4,7-8,9.

l 06 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simme!


Kedua, perihal interaksi, suatu permainan proyeksi dan
penolakan terjadi di antara individu-individu yang bertindak dan
yang mengalami. Kita selalu melihat orang lain hanya dalam kaca
generalisasi dan tipifikasi kita sendiri, dan kita memperoleh
gambaran kita sendiri hanya melalui "generalized other".
Ketiga, prinsip regulatif global dalam metode interpretasi
Simmel ini sangat erat kaitannya dengan filsafat kebudayaan--
yang diadopsi dari karya estetis Baudelaire--yang menggambar-
kan modernitas sebagai suatu eternal present. Pilihan Simmel pada
kategori interaksi--dan bukannya kategori kausalitas--sangat
menentukan hasil-hasil analisisnya ten tang kebudayaan modern
dan kontemporer (Frisby,1981,1985). 59
Dalam batas-batas penyelidikan itu, Lichtblau sampai pada
pemahaman bahwa aspek dasar dari teori pemahaman historis
Simmel adalah bukan perbedaan antara sebab dan akibat, atau
antara makna subyektif dan makna obyektif, tetapi antara aku
dan kamu (I and You) yang memberi pengertian tentang hubungan
konstitutif-konstruktif dari jiwa yang satu dengan jiwa lainnya
(one spirit to another). Hubungan itu menemukan garis bentuk-
nya, yang terpisah-pisah dalam praktek dunia kehidupan, setelah
dianalisis secara epistemologis berkenaan dengan premis-premis
a priori-nya. Kategori kamu (you) dan pemahaman (understand-
ing) identik dengan proses itu, yang di dalamnya kondisi manusia
dinyatakan secara serentak sebagai suatu substansi sekaligus
suatu fungsi. 60
Di sini, metafor "jalan memutar" (detours) sering digunakan
Simmel untuk mengindikasikan bahwa kita dapat memahami diri
kita sendiri dan orang lain melalui pure self-referentialihj, karena
hal tersebut berada dekat sekaligus jauh dari kita (near to and far
from us). Sesungguhnya, jalan memutar, simpangan-simpangan
dari kelangsungan hubungan diri dan pemahaman terhadap

59 Klaus Lichtblau, "Causality or Interaction? Simmel, Weber and Interpretive


Sociolo~", dalam Theon; Culhtre and Socieh;, hal. 48.
Ibid., hal. 50.

Bab lli Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 107


orang lain inilah yang dimaksudkan Simmel sebagai obyek dari
sosiologi formal maupun teori kebudayaannya seperti yang di-
gambarkan dalam The Philosophy of Money. "Jalan memutar" itu
mengindikasikan tingkat diferensiasi sosial dalam berbagai kasus;
suatu peningkatan yanJi secara umum dinilai Simmel sebagai
kemajuan kebudayaan.
Seperti yang ditekankan Simmel dalam pengantar Sociolo-
gtj, pemahaman transendental dan perbedaan konseptual-funda-
mental antara I and You itu berguna bagi landasan a priori ilmu-
ilmu so sial. la juga mengungkapkan, bentuk a priori terjadi dalam
bentuk interaksi yang sangat beraneka ragam yang selalu menem-
patkan isi interaksi-interaksi (berbagai rangsangan, motif, penga-
laman, tujuan subyektif) dalam konteks sosiasi. Isi-isi itu sendiri
ikut dipertimbangkan dalam pendekatan sosiologis Simmel sema-
ta-mata karena dianggap telah ambil bagian dalam proses pem-
bentukan quasi-transendental. Mereka telah disintesiskan atau
disosiasikan dalam suatu a priori sosial yang sesuai dengannya.
Dalam konteks itu, adanya usaha mempersoalkan perbe-
daan konseptual yang mendasar antara makna subyektif (subjec-
tively intended meaning) dan makna valid obyektif (objectively valid
meaning) dari Weber menjadi tidak relevan lagi, baik dengan
metateori sejarah Simmel maupun analisis sosiologisnya ten tang
bentuk-bentuk interaksi sosial.
Perbedaan an tara I and You yang dibangun dalam tindakan
interpretasi itu sendiri,yang didasarkan pada landasan formal a
priori dari sosiologi Simmel, sesungguhnya telah menjadi feno-
menon permulaan (a primeval phenomenon) yang melampaui
konflik an tara makna subyektif dan obyektif. Lichtblau berkesim-
pulan, analisis Simmel memuat suatu teori interpretasi yang
otonom dibandingkan Weber. Teori interpretasi Simmel itu
selanjutnya dikembangkan secara produktif tidak hanya oleh
muridnya, Martin Buber, tetapi juga Chicago School, yang san~at
berarti untuk Filsafat Sosial Dialogis atau Sosiologi Interpretatif 2

61 Ibid., hal. 53.


62 Menurut Lichtblau, berbeda dengan Simme!, Weber tidak mendiskusikan
tindakan interpretasi seperti yang direkonstruksikan Simmel. Ia menganggap

108 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Uraikandi atas menggambarkan betapa sosiologi Simmel
menyediakan banyak cara pandang atas individu dan masyarakat.
Berbagai cara pandang itu secara metaforis merupakan lahan
persemaian subur, tempat di mana benih-benih potensial per-
spektif sosiologi kontemporer berakar. Seperti digambarkan
Donald Levine, sosiologi Simmel menetapkan suatu rangkaian
analisis yang tidak tersatukan dalam skema interpretatif yang
tunggal. Di dalamnya terkandung empat pra andaian dasar yang
mendasari seluruh analisis kebudnyaan, masyarakat dan personalitas.
Keempat praandaian itu dapat diidentifikasi sebagai prinsip-
prinsip bentuk, resiprositas, jarak dan dualisme. Prinsip-prinsip
bentuk menyoroti pada struktur dan makna identitas tertentu dari
isi-isi kehidupan sosial yang distrukturkan dalam bentuk-bentuk
sosial. Prinsip resiprositas menjelaskan tingkat resiprositas diantara
individu-individu dan kelompoknya. Prinsip jarak mengungkap-
kan kenyataan bahwa seluruh bentuk-bentuk sosial ditetapkan
pada suatu tingkat yang berkaitan dengan dimensi jarak inter-
personal. Sedangkan prinsip dualisme membahas ten tang dualisme
sosiologis tertentu, seperti dunia publik dan privat, antagonisme
dan solidaritas, kebebasan dan ketidakleluasaan, dan lain-lain. 63
Pengertian tentang prinsip dualisme dari Levine itu, bila
diterjemahkan menurut pemahaman Coser, merupakan kerangka
pendekatan dialektis Hegelian. Seperti yang ditegaskan Coser,

kemungkinan interpretasi terbukti dengan sendirinya, untuk dapat mernfungsikan


kepentingan kognitifnya, yakni penjelasan kausal. Hal itu rnernbuktikan bahwa
rnetodologi sosiologi Simrnel seperti diuraikan di atas--dan bukannya metode
individualisrne Weber--adalah titik tolak sesungguhnya bagi pengernbangan sosiologi
interpretatif. Pendapat itu sesungguhnya telah rnenJadi kesepakatan dari para partisipan
dalarn rnenanggapi rnakalah Wenner Sombart ten tang "Interpretasi" (Das verstelze11) pada
Kongres Sosiologi Jerman ke-6 di Zurich. Mengingat pada fakta sejarah itu, Lichtblau
rnengajukan satu pertanyaan yang sangat menarik dalam kerangka analisis sosiologis
tentang sejarah sosiologi saat ini, yakni rnengapa setelah tahun 1945, karya Weber dan
bukannya karya Simmel yang ditetapkan sebagai pangkal a tau surnber tradisi sosiologi
interpretatif? Untuk uraian di atas lihat Klaus Lichtblau, Ibid., hal. 51, 57. Untuk
memperluas diskusi, kita dapat mernbandingkan gagasan Simmel eli atas dengan butir-
butir kesimpulan Anthony Gidden, New Rules of Sociological Method: A Positive Critique of
lnterpretatifSociologies, London: Hutchinson, 1976, hal. 98, 160-162.
63 David Frisby, The Alienated Mi11d, hal. 116-117.

Bab lll Kerangk.a Teori Sosiologi Georg Simmel 109


pendekatan dialektis itu tampak dalam kajiannya atas berbagai
hubungan antara individu dan masyarakat. Di satu sisi, Simmel
menganggap individu-individu sebagai mata rantai dalam proses
sosial di mana totalitas isi kehidupan (the total content of life)
sepenuhnya diperhitungkan dalam pengertian antiseden-anti-
seden dan interaksi-interaksi sosial. Di sisi lain, ia melihat individu
berada di bawah aspek ketunggalan yang berorientasi pada
pengalaman-pengalaman individual (Simmel,1908: 40).
Individu yang tersosialisasikan selalu berada dalam
hubungan rangkap dengan masyarakat. Ia tidak secara parsial
bersifat sosial a tau individual saja, tetapi eksistensinya dibentuk
oleh suatu kesatuan fundamental yang tidak dapat diperhitung-
kan dalam cara yang lain kecuali sintesis atau koinsiden dua
determinasi yang secara logis bertentangan. Ia merupakan "mata
rantai-sosial" sekaligus makhluk untuk dirinya sendiri; sebagai
produk masyarakat dan hidup dari suatu pusat yang otonom
(Simmel, 1956: 22-23). Individu terdeterminasi sekaligus
mendeterminasi, digerakkan (to be acted) masyarakat sekaligus
bertindak-sendiri (self-actuating).
Pendekatan dialektis tersebut berpengaruh pada pandang-
an Simmel tentang karakter ambi-ualen: sifat positif dan sifat negatif.
Artinya, masyarakat memberi peluang sekaligus menghalangi
pemunculan individualitas dan otonominya. Bentuk-bentuk sosial
memungkinkan setiap individu menjadi manusia-khusus, tetapi
juga andil dalam memenjarakan dan mematikan kepribadian
manusia dengan menekan "permainan spontanitas-bebas" -nya.
Hanya di dalam dan melalui bentuk-bentuk institusional manusia
dapat meraih kebebasan, meskipun kebebasannya selalu terancam
oleh bentuk-bentuk institusional itu sendiri. 64
D. Menggerinda Sosiologi Kebudayaan Simmel
Berbagai gagasan Simmel di atas adalah unsur-unsur pokok
yang harus dipertimbangkan dalam memahami sosiologi

64 Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 183-184.

11 0 Problem Modernitas dalarn Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Sirnrnel


kebudayaan Sirnmel. Nampaknya, di sana terdapat kesepahaman
baik dari Mayntz, Coser, Levine, Lichtblau dan Frisby bahwa
sosiologi Sirnmel memuat konsep-konsep dasar bagi perspektif
sosiologi kontemporer, seperti: fenomenologi, hermeneutik, interak-
sionisme simbolik dan terutama kebudayaan. Dikuatkan oleh
berbagai pendapat itu, saya akan mengutip ungkapan yang me-
ngesankan dari Georg Lukacs guna menggerinda sosiologi kebu-
dayaan Simmel. Mengenai sumbangan-besar Simmel untuk
sosiologi kebudayaan Lukacs menyatakan: 65
Peranan besar Simmel bagi sosiologi, yang saya pikir terutama dalam
Filsafat Uang, terdapat dalam kenyataan bahwa ia memancangkan analz-
sis-penentuan dan menobatkannya dengan kepekaan, yang sebelum dia
tidak pernah dan belum pernah ada yang memilikinya. Seketika itu juga,
dengan keseksamaan yang tak terbandingkan, ia memperjelas perubahan
yang tiba-tiba dalam aneka penentuan, penzbatasan yang otononz dan
penghentian-penghentiannya, yang sebelunz itu orang-orang tidak dapat
melakukannya. Sosiologi kebudayaan yang dikerjakan Max Weber,
Troeltsch,Sombart dan lain-lainnya, betapapun mereka mungkin juga
berharap dapat menjauhkan diri dari metodologi, semata-mata menjadi
mungkin hanya dalam dasarjlandasaan yang diciptakannya. (Lukacs,
1918: 175)

Lukacs berulangkali menganggap Filsafat Uang sebagai


karya sosiologi Sirnmel yang penting. Dalam artikel-artikelnya
yang terbit tahun 1915 tentang sifat dasar dan metode sosiologi,
Lukacs selalu menunjuk pada dua karya yang dia anggap signifi-
kan untuk sosiologi kebudayaan yakni Gemeinschaft and

65 Lihat kutipan dan terjemahan ungkapan Lukacs ini dalam Tom Bottomore
dan David Frisby, The Philosophy of Money, hal. 16. Bandingkan dengan Lukacs, Georg
Simmel yang diterjemahkan oleh Margaret Cerullo dalam Theon; Culture and Society, hal.
148-149. Dalam catatan Bottomore dan Frisby, selain Georg Lukacs, Max Adler, seorang
Marxis-Austria, juga menempatkan The Philosophy of Money sebagai karya sosiologis
Simmel yang sangat signifikan. Tulisan Max Adler ini berjud,ul, "Georg Simmel Bedeutung
fur die Geistesgeschichte (1919). Lihat Bottomore dan David Frisby, Georg Simmel (Key Soci-
ologist), hal. 43. Pengaruh yang sangat kuat dari karya Simmel tersebut juga dapat kita
baca dalam karya Nigel Dodd, The Sociology of Money: Economics, Reason and Con tempo-
ran; Society; Cambridge: Polity Press, 1994.

Bab Ill Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 111


Gessellschaft dari Tonnis dan Philosophie des Geldes dari Simmel.
Saat membahas persoalan sosiologi kebudayaan, Lukacs menem-
patkan sosiologi sebagai suatu bentuk yang memberikan kesan
kesetiaannya terhadap sikap dan posisi Simmel. Di sana, Lukacs
menandaskan: 66
andaikata sosiologi kebudayaan sebagai suatu disiplin tersendiri
terbentuk ... maka kemudian pertanyaan mendasarnya adalah apakah
sudut pandang baru muncul jika kita memperlakukan obyektivasi-
obyektivasi kebudayaan sebagai fen omena sosial? Bila diungkapkan dalam
logika transendental: apakah yang berubah dalam makna, isi dan struktur
obyektivasi-obyektivasi kebudayaan jika mereka diperoleh dari bentuk
sosiologi sistematis hingga muncul sebagai produk-produk sosial dan
juga obyek-obyek sosiologi? Sosiologi, seperti sebuah metode atau seperti
setiap ilmu, adalah suatu bentuk dan bukannya suatu bidang kajian
(realm of study) atau wilayah isi. Maka apapun yang terjadi, apakah
be~:~tuk ini dipandang sebagai ilmu konstruktif-abstrak dari bentuk-bentuk
sosiasi (Formen der Vergesellschaftung) ataukah sebagai sosiologi
interpretatif maupun sosiologi deskriptif, persoalannya masih selalu
sama, yakni untuk meneliti kepentingan sosial semata-mata dalam
obyektivasi-obyektivasi kebudayaan.(Lukacs, 1915: 216)

Lukacs menetapkan secara terang-terangan sosiologi


Simmel sebagai landasan bagi pengembangan sosiologi kebuda-
yaan dan menerima konsep sosiologi sebagai suatu kerangka
kajian dan bukan isi. Bahkan akhirnya, teori alienasi yang ter-
kandung dalam karya Simmel itu sangat ber~engaruh pada
konsep reifikasi dalam teori kebudayaan Lukacs 6 maupun sosio-
logi pengetahuan Mannheim. Berkaitan dengan hal itu, Frisby
mengungkapkan:68
Dalam Filsafat Uang maupun beberapa tulisan lainnya, Simmel menun-
jukkan kepada kita "teori alienasi kebudayaan" dan "dualitas subyek-

66 GeorgLukacs, Zwn Wesen und wr Methode der Kultursoziologie, yang dikutip


Bottomore dan David Frisby dalam "Pengantar", The Philosophy of Money, hal. 43
67 Lihat Georg Lukacs, HistonJ and Class Consciousness: Studies in Marxist Dialec-
tics, hal. 95, 156.
68 David Frisby, The Aliwated Mind, London: Heinemann, 1983, hal. 15.

112 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


obyek tak terjembatani" yang termanifestasikan dalam jurang antara
budaya subyektifdan budaya obyektif Dalanz teori krisis kebudayaannya,
dualitas ini menyumbangkan "a tragic patlws" -nya. (Frisby, 1983: 15)

Banyak orang menganggap teori alienasi Simmel tersebut


sama dengan teori alienasi Marx. Namun sesungguhnya dorong-
an utama dari argumen Simmel berbeda dengan materialisme
historis dari Marx. Hal itu terbaca jelas tatkala Simmel secara
eksplisit menegaskan maksud dan tujuannya:69
untuk menyusun lapisan baru di bawah materialisme historis, yang mana
(saat) nilai penjelasan dari penggabungan kehidupan ekonomi ke dalam
sebab-sebab budaya intelektual itu dipertalzankan, dengan serta merta
bentuk-bentuk ekonomi itu sendiri dikenal sebagai akibat atau hasil dari
penilaian-penilaian dan arus-arus psikologis, maupun prakondisi-
prakondisi metafisis yang lebih mendalanz. (Simmel,1982: 56)

Interaksi mutual tanpa henti antara ekonomi dan dunia


intelektual, pemeliharaim otonomi relatif atas dunia intelektual,
reduksi dunia ekonomi ke dalam dunia psikologis, maupun pra-
kondisi-prakondisi metafisis ini menunjukkan upaya metodologis
Simmel untuk sampai pada pengertian materialisme historis dari
seorang Marxis kontemporer?0 Di sana, Simmel berusaha menan-
daskan bahwa bentuk-bentuk alienasi dan pengasingan yang
didiskusikannya hanya akan menetapkan sebagian dari situasi
tragis yang lebih besar?1
Seakan menyimpulkan seluruh pendapat di atas, Swinge-
wood mengatakan bahwa dari seluruh sosiolog klasik, Georg
Simmel adalah satu-satunya orang yang menjadikan persoalan
kebudayaan modern sebagai fokus studi sosiologinya. Menurut-
nya, modernitas diteorisasikan Simmel ke dalam terminologi yang

69 Ibid. Lihat juga David Frisby & Tom Bottomore, "Pengantar" terjemahan The
Philosoplry of Money, hal 6. Lihat juga Alan Swingewood, Cultural Theory and The Problem
of Modenzity, London: MacMillan Press, 1998, hal. 31. Cocokkan dengan Georg Sirnmel
dalam Preface of Tire Philosophy of Money, hal. 56. ·
70 David Frisby dan Tom Bottomore, "Pengantar" dalam The Philosophy of Money,
hal. 6.
71 David Frisby, Tire Alienated Mind, hal. 15.

Bab Ill Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 1.13


menekankan antara perkembangan pesat dari ilmu, teknologi
pengetahuan obyektif dan erosi budaya subyektif a tau personal.
Kekayaan budaya obyektif yang kian meningkat menghasilkan
budaya eksternal dan impersonal yang didasarkan pada hu-
bungan-hubungan kuantitatif semata: moneter. Sesungguhnya,
pikiran individu dapat memperkaya bentuk-bentuk dan isi-isi
perkembangannya sendiri dengan menjaga jarak antara dirinya
dengan kebudayaan obyektif, sehingga sumber utama (ultimate
source) dari seluruh proses sosial atau kehidupan budaya bukan
produksi material atau kondisi-kondisi ekonomi tetapi meta-
fisis.72
Tepat apa yang ditegaskan Mayntz bahwa saat Simmel
membahas proses perkembangan kepribadian individu, pertalian
teori filsafat dan sosiologi Simmel terjadi. Munculnya pemahaman
bahwa realisasi perkembangan kepribadian individu terancam
oleh tragedi kebudayaan merupakan hasil analisisnya atas proses
diferensiasi sosial dan perluasan kelompok-kelompok sosial dan
secara kuat didukung oleh pertumbuhan ekonomi uang. Teori
perkembangan sosial dari Simmel itu dapat dipertimbangkan
sebagian dari sosiologi formalnya 73 dan, tambahan Licthblau,
dalam jangkauan suatu keutuhan cara pandangan atas dunia
kehidupan masyarakat (a constructive ·uie.w of the whole society)?4
Simmel sendiri, terkait keutuhan cara pandang itu, ber-
ulangkali mengatakan, setiap ilmu yang terspesialisasi secara
terperinci mempunyai batas atas dan batas bawah (upper limit
and lower limit). Di satu sisi epistemologi ilmu yang terspesialisasi

72 Alan Swingewood, Cultural Theon; and the Problem of Modernity, hal. 31-32.
73 Menurut Mayntz, ada dua pendekatan yang berlaku di sana. Pendekatan
pertama menyangkut pandangannya pada proses kebudayaan yang mempertimbangkan
diferensiasi sosial dan perluasan kelompok, terutama dari sudut pandang pengaruh-
pengaruhnya pada individualisasi. Pendekatan kedua menyangkut pertimbangannya
pada proses perluasan kelompok dan perkembangan sosial yang sebagian berafiliasi pada
teori fungsionalisme. Lihat Mayntz dalam David L Shill, International Enet;clopedia of the
Social Science, hal. 254.
74 Klaus Lichtblau,, "Causality or Interaction? Simmel, Weber and Interpretive
Sociology", dalam Theon; Culture and Society, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 54.

114 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


dengan berdasar pada asumsi-asumsi a priori, dan di sisi lain
adalah metafisika. Bila dalam kasus sejarah kebutuhan terhadap
metafisika dapat terpenuhi dengan filsafat sejarah maka dalam
sosiologi formal dengan sosiologi filosofis a tau filsafat sosial.
Berbagai karya Simmel secara logis dapat diletakkan di
dalam dan di luar sifat pengetahuan dalam suatu disiplin yang
terspesialisasi itu?5 Penjelasan Simmel atas makna hidup dan
isi-isi yang utama dari nilai-nilai pokok yang mendasari meru-
pakan wujud keutuhan cara pandangnya. Melalui jalan itulah
Simmel mampu mencapai aspek-aspek yang penting maupun
keluasan dimensi sosiologi kebudayaannya.

75 Ibid.

Bab Ill Kerangka Teori Sosiologi Georg Simmel 115


BabiV
Individu, Kebudayaan, dan
Tiga Problem Modernitas:
SRetsa Sosiologi Kebudayaan
Georg Simmel
il
II
II
II
II
I
BabiV
Individu, Kebudayaan, dan
Tiga Problem Modernitas: S~etsa Sosiologi
Kebudayaan Georg Simmel

A. Representasi T esis N edelmann

U ntuk bab ini, saya banyak mengacu pada tulisan


Nedelmann yang memuat tesis tentang sosiologi
kebudayaan Simmel. Karena seluruh cara pandang
Simmel atas individu, kebudayaan dan persoalan modernitas
telah dipaparkan secara representatif dalam tulisan Nedelmann,
di sini saya mencoba untuk memaparkannya kembali dan
mempersandingkannya dengan berbagai tulisan Simmel sendiri
maupun argumen dari sejumlah tokoh.
Bab IV lndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :
Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 119
Pada saat mengajukan tesisnya, Nedelmann mengungkap-
kan bahwa karya-karya Simmel menawarkan tiga model pende-
katan yang berbeda dalam menganaiisis kebudayaan modern.
Ketiga model pendekatan itu menggunakan prinsip analitis, kon-
sep dan definisinya sendiri-sendiri dalam kerangka pemetaan atas
pola hubungan antara individu dan kebudayaan modern. 1 Pada
pendekatan pertama, kutub individu dikonseptualisasikan berkaitan
dengan pengertian kreativitas budaya, dan kebudayaan sebagai
suatu sistem sosial/budaya. Prinsip analitis yang mendasari tipe
pendekatan ini adalah prinsip antagonisme (antagonism). Dengan
demikian, kita dapat menyebutnya sebagai model antagonisme
kebudayaan (cultural antagonism).
Pada pendekatan kedua, individu-individu dianalisis dari
sudut pandang aktor-aktor sosial yang secara sadar mengkon-
sumsi (consuming) benda-benda kebudayaan, dan kebudayaan
dimaknai sebagai lingkungan sosial (dunia kebudayaan), yang
mana proses-proses pertukaran kebudayaan dan pengelolaan
gaya hid up terjadi di sana. Dalam pendekatan ini, Simmel meng-
gunakan prinsip ambivalensi (ambiz1alence). Di sini, kita dapat
menyebutnya sebagai model ambivalensi kebudayaan (cultural
ambivalence).
Sedangkan pada pendekatan ketiga, individu-individu di-
analisis dalam peran mereka sebagai penerima obyek-obyek
kebudayaan dan kebudayaan dimaknai sebagai struktur sosial/
kebudayaan. Prinsip yang mendasari pendekatan ketiga ini ada-
lah prinsip dualisme (dualism), sehingga kita dapat menyebutnya
sebagai model dualisme kebudayaan (cultural dualism).
Berdasar pada ketiga pendekatannya tersebut, Simmel da-
pat mendiagnosis dan mengidentifikasi tiga persoalan kebudaya-
an modern. Pada pendekatan pertama, Simmel menggunakan
konsep malaise kebudayaan (cultural malaise), pada pendekatan

1 Brigitta Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:


Simmel's Three Problems of Culture" dalam Jumal Theon; Culture and Society: A Special
Issue on Georg Si11nnel, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 171.

120 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simme/


kedua adalah subyektivisme berlebihan (exaggerated subjectiz1ism)
atau ketidakbergayaan (stylelessness)--yang sesungguhnya
berkelit-berkelindan dengan obyektivisme berlebihan (exagger-
ated obyektivismj artlessness)--dan pendekatan ketiga berkenaan
dengan konsep tragedi kebudayaan (tragedy of culture). Dalam
bentuk bagan hasilnya sebagai berikut?

I. Model II. Model III. Model


Antagonisme Ambivalensi Dualisme
Kebudayaan Kebudayaan Kebudayaan
Kutub Individu- Individu-individu Tndividu-individu
Individu Individu sebagai sebagai konsumen sebagai penerima
pencipta kebudayaan atau kebudayaan
kebudayaan pengelola gaya (budaya subyektif)
(hid up) hid up
Kutub Kebudayaan Kebudayaan Kebudayaan
Kebuda- sebagai sistem sebagai lingkung- sebagai struktur
yaan sosial (bentuk- an/bidang/ sosial
bentuk) dunia estetis (budaya obyektif)
Prinsip Antagonisme Ambivalensi Dualisme antara
An ali tis antara hid up orientasi tindakan kebudayaan
dan bentuk subyektif dan
obyektif
Pro bern Malaise Subyektivisme Tragedi kebudayaan:
Kebuda Kebudayaan berlebihan atau kebangkrutan
yaan (individualisasi) ketidakbergayaan (keadaan yang
(styleless11ess) tidak dapat
kebudayaan di perbandingkan)
modern antara budaya
subyektif dan
budaya obyektif

2 Pemetaan/bagan dikutip dan diterjemahkan dari Brigitta Nedelmann, Ibid.,


hal. 172.

Bab IV lndividu. Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas .


Sketsa Sosiologi Kebudavaan Georg Simmel 121
B. Tiga Model Pendekatan Simmel
1. Antagonisme Kebudayaan: Pencipta versus Sistem Sosial
Dalam model pendekatan ini, pemahaman Simmel ten tang
individu dan kebudayaan dapat dilacak dalam kerangka dasar
konseptualnya, yakni perlawanan antara bentuk dan hidup. 3
Menurut Nedelmann, pendekatan ini digunakan Simmel dalam
esainya yang berjudul The Conflict of Modern Culture (Simmel,
1976). Di sana, Simmel memaknai hidup sebagai potensi kreatif
(creative potential) pada tingkat individu dan sebagai kekuatan
produktif dari kebudayaan. Meskipun demikian, aktivitaskreatif
dari individu yang tunggal bukanlah fokus utamanya. Beranjak
dari sudut pandang sosiologi makro, Simmellebih memusatkan
perhatian pada kreativitas kebudayaan sebagai usaha-usaha
kultural yang bersifat kolektif dari individu-individu. Dengan
mengguhakan terminologi Marxian tentang kekuatan-kekuatan
produksi sebagai kekuatan utama dari proses perubahan sosial,
Simmel mendefinisikan hidup sebagai kekuatan penggerak yang
utama dari proses perubahan kebudayaan.
Ia beranggapan dinamika kreatif dari hid up selalu berusaha
memperoleh kepenuhan dirinya dengan menciptakan berbagai
artefak atau bentuk kebudayaan berikut keleluasaan maupun
keteraturannya, seperti hukum-hukum sipil, konstitusi, karya
seni, agama, ilmu, teknologi dan bentuk-bentuk lain yang tak
terbilang jumlahnya (Simmel, 1976: 223). Persis dalam konsep
bentuk-bentuk kebudayaan itulah terletak pemahaman
kebudayaan sebagai suatu sistem. Hal itu semakin gamblang

3 Konsep hubungan antara beutuk dan hidup ini masih terkait dengan konsep
bentuk dan isi dalam epistemologi maupun dalam sosiologi Simmel seperti yang
dijelaskan dalam Bab III. Terkait dengandefinisi hid up sebagai law an dari bentuk, Simmel
nampaknya menggunakan bahasa yang eksotis. Sehingga bagi Nedelmann dengan me-
ngacu pendapat Scaff (1990 a: 287),hal itu perlu klarifikasi untuk menghindari kesalahan
pemahaman atas maksud Sinunel sesungguhnya. Untuk mengetahui berbagai wilayah
penelitian Simmel yang menggunakan konsep ini lihat Guy Oakes, "Translator's
Introduction", dalam Georg Simmel, Georg Simmel: on Women Sexualitt; and Love, hal. 4-5.

122 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


tatkala ia menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kebudayaan itu
merupakan kualitas yang khas dari hasil-hasil proses-hidup.
Bentuk-bentuk kebudayaan yang ditransformasikan ke dalam
sistem-sistem sosial pada akhimya mencapai tingkat otonomi a tau
independensi vis a vis dinamisme spiritual yang memberinya
hidup (Simmel, 1976: 223). 4
Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa dalam hubungan
antara sistem kebudayaan dan kreativitas kebudayaan terlekat
suatu sifat mutual-interdepensi dan antagonistik. Guna
mempermudah pemahaman, kita dapat menganalogikannya
dengan dua sisi mata uang, meskipun tidak sepenuhnya tepat.
Secara intrinsik, suatu mata uang mempunyai dua sisi yang
berbeda, meskipun demikian keduanya saling melengkapi dan
tidak bisa dipisahkan. Mereka terpisalz sekaligus tersatukan dalam
suatu kesatuan. Bila kita kembali pada konteks teori sosiologi
Simmel, pemahaman itu sesungguhnya masih relevan dengan
konsep hubungan individu dan masyarakat yang pernah
dirumuskannya. 5 Menurut Nedelmann, penggambaran hu-
bungan yang saling tergantung dan antagonis itu didasarkan pada
dua asumsi Simmel. Pertama, hidup a tau kreativitas kebudayaan
dapat menjadi realitas sosial hanya dalam kedok lawannya, yakni
sebagai bentuk. la harus menciptakan atau beralih ke dalam
bentuk-bentuk kebudayaan.
Kedua, bentuk-bentuk kebudayaan tersebut bisa tetap sur-
vive dalam jangka panjang jika menerima masukan dari individu-
individu, seperti, berbagai gagasan, keinginan a tau hasrat, motif
dan kepentingan, dan lain-lain. Karenanya bentuk-bentuk
kebudayaan butuh kekuatan-kekuatan pengubah. Maka, ketika

4 Briggita Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:


Simmel's Three Problems of Culture" dalam Jumal Theon; Culture and Society: A Special
Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 172-173.
5 Tengok kembali konsep sosiologi Simmel tentang hubungan individu dan
masyarakat yang secara khusus dibahas dalam sub-bab Ill, Signifikansi How Society is
Possible?

Bab IV Individu. Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas .


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 123
individu-individu memproduksi bentuk-bentuk kebudayaan,
mereka tidak hanya menciptakan lawan dari berbagai kebutuhan
dan hasrat spontannya, melainkan juga bermaksud mengubah
kebudayaan secara terus menerus. Asumsi itu terbaca jelas dalam
ungkapan Simmel berikut ini: 6
Menciptakan (bentuk) dalam diri sendiri adalah szfat dari hidup, yang
mana ia berusaha menuntzm dan melepaskan, menentang, menaklukkan
dan ditaklukan olehnya. (Simmel, 1976: 236)

Hidup menjadi realitas semata-mata ketika ia menyamar dalam kedok


lawannya, yakni sebagai bentuk. (Simmel, 1976: 240)

Di sana, Simmel menyiratkan bahwa masing-masing kutub


sangat tergantung pada perimbangan antagonistiknya. Keber-
langsungan bentuk-bentuk kebudayaan yang mewujud dalam
suatu sistem kebudayaan tergantung pada kekuatan-kekuatan
penciptaannya, begitu pun sebaliknya. Pada saat sistem kebu-
dayaan terbentuk, proses destruksinya pun dimulai saat itu juga.
Secara metaforis, proses perubahan kebudayaan seperti itu digam-
barkan Simmel sebagai proses death and rebirth: kematian dan
kelahiran kembali dan sebaliknya (Simmel, 1976:224).
Metafor itu memiliki kesamaan dengan pola perubahan
sosial dari Marx. Seperti Marx, Simmel menggunakan dua asumsi
sebagai basis argumentasinya. Pertama, Simmel berasumsi
terdapat oposisi Iaten di dalam tubuh kebudayaan: an tara kekuat-
an-kekuatan penciptaan (creative forces) dan kebudayaan sebagai
sistem (cultural system). Oposisi Iaten menjadi semakin menguat
ketika sistem kebudayaan semakin otonom dan penciptanya
semakin tidak dapat menyadari dirinya dalam konteks institusi-
institusi kebudayaan yang ada. Simmel mengindikasikan bahwa

6 Briggita Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:


Simmel' s Three Problems of Culture" dalam jumal T/zeon; Culture and Society: A Special
lssrze on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 174

124 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


esensi bentuk telah melebihi validitas sementara yang tidak
terpengaruhi oleh impuls-impuls hid up. Karena itulah mengapa
sejak awal ketegangan laten antara bentuk-bentuk dan hidup
terjadi, hingga kemudian meledak dalam berbagai bidang
aktivitas dan kehidupan kita (Simmel, 1976: 224-5).
Kedua, Simmel mengemukakan bahwa kekuatan-kekuatan
penciptaan kebudayaan berkembang jauh lebih cepatketimbang
institusi-institusi kebudayaan yang telah tercipta. Sistem
kebudayaan sebagai hasil ciptaan dari hidup menjadi tidak
fleksibel dan tertinggal jauh di belakang perkembangan hidup.
Ketika hidup menerima keadaan eksternalnya hanya dalam satu
bentuk saja, maka perubahan kebudayaan berlangsung menurut
proses pemindahan satu bentuk oleh bentuk yang lain (Simmel,
1976: 224)?
Dalam diagnosisnya, dengan menggunakan cara pandang
itu, Simmel mampu membeberkan bagaimana problem indi-
vidualisasi menghasilkan malaise kebudayaan tampak semakin
menggumpal dalam kehidupan modern. Namun patut disadari,
dalam pendekatan ini, nampaknya Simmel memahami perubah-
an kebudayaan sebagai dinamika kebudayaan yang bersifat ha-
kiki. Konflik dan perubahan kebudayaan menurut pola dialektis
death and rebirth dan sebaliknya merupakan unsur-unsur dasar
dalam model antagonisme kebudayaan. Baginya, dinamika per-
ubahan kebudayaan yang otonom semata-mata tertumpu pada
kebutuhan mereka untuk menghubungkan diri dengan perim-
bangan antagonistiknya masing-masing yang pada dasarnya
tidak berkesudahan. Ia juga menegaskan bahwa antagonisme
kebudayaan yang bersifat kekal ini tidak terdapat solusi yang
pasti. Adalah pilistinisme tulen yang berasumsi bahwa seluruh
konflik dan permasalahan harus diselesaikan (Simmel, 1976: 241).
Model antagonisme kebudayaan Simmel tersebut bisa
diilustrasikan dalam bagan berikut: 8

7 Ibid., hal. 175.


8 Bagan ini adalah hasil
interprestasi say a sendiri dengan mengacu pada berbagai
gagasan Simmel yang telah dipaparkan kembali oleh Nedelmann

Bab IV Individu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebuda.vaan Georg Simmel 125
versus

Individu-Individu
-------------------------- ......... -- ... ,
Kebudayaan
..
(potensi kreatif)

1
Kekuatan Penciptaan Bentuk-Bentuk
Kebudayaan
l
1
Kreativitas Kebudayaan
Sist~m Sosial
1
Sistem Kebudayaan

·-·····--········\·············j
Masukan (i11pu t)
Kekuatan Penciptaan
.......................................... ........................... .

Keberlangsungan Kebudayaan .,.,.!---- Perubahan Kebudayaan


(Culture Sun;ives)

2. Ambivalensi Kebudayaan: Konsumen Versus Pasar


Dalam membahas tentang perbedaan prinsip seni terapan
dan seni murni yang terdapat dalam The Problem ofSh;le (1908),
Simmel mengungkapkan: 9

9 Georg Simmel, "The Problem of Style", dalam Theon} Culture and Society, vol. 8,
no. 3, August 1991, hal.63

126 Problem Modernitas dalarn Keranglw Sosiologi Kebudayaan Georg Sirnrnel


Jauh sebelumnya telah dikatakan bahwa eksistensi praktis kemanusiaan
terserap ke dalam wilayah perebutan antara individualitas dan genera-
litas, yang pada hampir setiap titik eksistensi kita kepatuhan terhadap
suatu hukum yang berlaku (valid) untuk semua orang --entah itu datang
dari dalam (inner) ataukah dari luar (outer)-- menimbulkan konflik de-
ngan ketetapan internal eksistensi kita, ataupun dengan individualitas
seseorang yang semata-mata patuh pada perasaannya sendiri. Barangkali,
hal ini nampak semakin paradoksal dalam kenyataan bahwa tabrakan-
tabrakan di bidang politik, ekonomi dan moral semata-mata merupakan
suatu bentuk ekspresi diri darinya yang lebih umum dan menyolok, yang
mana ia juga mewarisi sifat gaya artistik yang sama dengan ekspresi-
fundamen talnya.

Untuk mengetahui maksud dalam ungkapan tersebut, kita


perlu mengingat kembali ketertarikan Simmel pada peng-
ungkapan dimensi estetis dalam kehidupan sosial modern. Sete-
lah menyelesaikan The Philosophy of Money di tahun 1900, Simmel
berkeinginan menulis filsafat seni atau estetika secara kompre-
hensif. Meski keinginan itu tidak pernah terwujud, namun pema-
haman dan interpretasinya tentang dimensi estetis dalam kehi-
dupan sosial tetap meresapi berbagai karyanya kemudian. Bahkan
penekanan Simmel atas bentuk-bentuk interaksi/ sosiasi yang
direncanakan untuk sosiologi pun mengindikasikan suatu kepen-
tingan untuk mengungkap dimensi estetis seluruh interaksi sosial
yang tidak dapat kita rasakan secara langsung dalam kehidupan
kita sehari-hari. Bab terakhir dari The Philosophy of Money yang
berjudul The Style of Life merupakan gambaran yang paling jelas
tentang minat Simmel tersebut. Untuk beberapa esai lainnya, kita
dapat menyebut seperti Sociological Aesthetics, The Problem of Style,
Bridge and Door, The Picture and Frame: An Aesthetic Study, Die
Mode. 10
10 Seperti digambarkan Frisby, Simmel mengajar estetika dan kebudayaan hampir
pada setiap tahun selama periode 1902-1915 (kecuali tahun 1903). Analisisnya tentang
dirnensi estetis kehidupan modem mencoba mengaitkan secara kritis hubungan dian tara
gerakan estetika modem, seperti naturalisme, impresionisme, simbolisme, art nouveou,
dan ekspresionisme. Untuk uraian yang komprehensif ten tang hal itu, lihat David Frisby,
"The Aesthetics of Modem Life: Simmel' s Interpretation", dalam Theory Culture and So-
ciety, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 73-93.

Bab IV Individu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 127
Digayutkan dengan konteks itu, ungkapan Sirnmel di atas
menjadi jelas. Melalui wacana seni atau estetika, Simmel ingin
menegaskan bahwa pada dasarnya hidup kita diperintah oleh
kutub individualitas dan kutub yang bersifat umum. Prinsip ini
mewakili dua kutub esensial dari eksistensi m:anusia yang sama
pentingnya. Dimanapun individu-individu saling berinteraksi,
mereka selalu dihadapkan pada kemenduaan referensialitas a tau
prasyarat normatif ganda itu. Di satu sisi, mereka harus mengikuti
prinsip pengembangan kepribadian yang mencirikan kekhususan
atau keunikan eksistensi individu yang tunggal dan di sisi lain
harus mengikuti prinsip generalitas untuk menunjukkan eksis-
tensinya yang khusus/unik tersebut, sehingga memperoleh pe-
ngakuan dalam lingkungan sosial dan kebudayaannya. Dalam
interaksi sosial, kutub-kutub yang berlawanan itu memanifestasi-
kan diri sebagai osilasi (daerah kisaran) kebutuhan-kebutuhan
atau cita-cita yang saling bertentangan, seperti disebutkan
Sirnmel: kebutuhan untuk berhenti dan bergerak, penyatuan dan
pemisahan, penentangan dan kepatuhan, kebebasan dan kewajib-
an, dan lain-lain. Semisal dalam Die Mode (yang membahas
tentang fashion), Simmel melihat kehidupan sosial modern
sebagai suatu daerah pertempuran yang setiap jengkalnya
diperebutkan habis-habisan oleh kedua prinsip tersebut (Sirnmel,
1986: 40) .11
Paparan di atas menunjukkan bahwa dalam beberapa
karyanya, Simmel menggunakan model pendekatan kebudayaan
yang oleh Nedelmann disebut ambivalensi kebudayaan. Sedangkan
prinsip analitis yang digunakannya adalah prinsip ambivalensi, te-
patnya orientasi tindakan ambivalen. Pada model kedua ini, individu
dikonseptualisasikan dalam kaitannya sebagai pelaku (actor),
yakni konsumen benda-benda kebudayaan yang menghitung dan
mengelola secara strategis gaya hidupnya. Singkatnya, selain

11 Brigita Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:


Simmel' s Three Problems of Culture" dalam Jumal Theon} Culture and Society: A Special
Issue on Georg Simme/, vol.8, no. 3, August 1991, hal. 180.

128 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


menjadi konsumen kebudayaan, individu juga menjadi pelaku
aktif dalam menjalin hubungan dengan unsur-unsur dalam
lingkungan kebudayaannya. Sedangkan kebudayaan dimaknai
sebagai wilayah pasar (market-place), sebuah tempat di mana
proses-proses pertukaran kebudayaan berlangsung. Terkait de-
ngan individualitas normatif ganda di atas, lingkungan kebuda-
yaan ini mempunyai arti selain sebagai bidang sosial bagi individu
untuk dapat memuaskan kebutuhan budayanya, juga sebagai
wilayah di mana individu menunjukkan kemampuan dalam
memenuhi tugas gandanya, yakni membangun subyektivitas
sosial. 12 Hubungan ambivalen antara individu dan kebudayaan
bisa dilihat dalam hagan berikut:

t I Manusia Modern
I t
Berperan dengan cara
Berperan sebagai rnenstrukturkan hubungan antara
konsurnen kebudayaan dirinya dengan unsur-unsur
lingkungan kebudayaannya

Lingkungan kebudayaan sebagai


Lingkungan kebudayaan sebagai rnedanf bidang dirnana manusia
dunia sosial tempat dimana modern rnenunjukkan kemampuan
rnanusia modern memuaskan untuk rnemenuhi tugas ganda
kebutuhan kulturalnya subyektivitas sosial yang sesuai
dengannya

t ILingkungan Kebudayaan I t

12 Terrninologi subyektivitas .sosial ini digunakan Heinrich Popitz (1987) untuk


rnengonseptulisasikan prasyarat normatif ganda dalarn kaitannya dengan gagasan
Sirnrnel tentang individualitas. Untuk seluruh uraian di atas lihat Brigita Nedelrnann,
Ibid, hal. 178-179.

Bab IV lndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 129
Meskipun disadari bahwa hubungan antara keduanya tidak
dapat ditentukan secara pasti, namun berdasarkan pada persepsi
estetis yang menjalankan strategi pengambilan jarak
(Distanzierung) terhadap suatu obyek sebagai suatu teknik sosial
yang penting, 13 Simmel berulangkali menggunakan metafor
lingkaran untuk melukiskannya (1982: 272). Dalam metafor ling-
karan itu, dengan memposisikan dirinya sebagai subyek (self),
Simmel menggambarkan manusia sebagai makhluk yang berada
dalam pusat berbagai lingkaran konsentris. Obyek-obyek kebu-
dayaan diletakkan dalam bidang yang sangat dekat dengan
lingkaran dalam. Sedangkan pada lingkaran luar diisi oleh unsur-

................................... "' ................................................................ ---- .................................................. --- ....... ---- ........................,


...

13 Strategi pengambilan jarak ini sesungguhnya berakar pada persepsi sosiologis


Simmel yang telah diuraikan dalam sub-bab III ten tang Sifat Abstrak Sosiologi sebagai
Prinsip-prinsip Strukturasi Simmel dan Signifikansi HCIW is Society Possible?, di mana
Simmel memetakan berbagai kemungkinan model hubungan antara individu dan
masyarakatnya.

130 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


unsur lingkungan kebudayaan yang termasuk dalam wilayah
sosial individu. Metafor itu bisa divisualisasikan seperti pada
sketsa di atas. 14
Gambar di atas memperlihatkan individu berada dalam
titik utama (pusat) berbagai lingkaran (baca: wilayah kehidupan).
Dalam lingkungan kebudayaan, Selfberada di dalam dua ling-
karan sekaligus, yang masing-masing menuntut kepenuhan pe-
ran atau keterlibatannya. Konflik internal selalu terjadi di sana.
Ketika berusaha memenuhi keinginan dan kebutuhan di wilayah
privatnya guna memperoleh kepenuhan dan otentisitas diri, Self
selalu terbentur pada konvensi besar lagi keras dan kaku (entah
itu norma-norma dan berbagai keteraturan institusional) yang
ada wilayah sosialnya. Tarik-menarik di antara keduanya dalam
memperebutkan keterlibatan Self nampak menjadi fenomena
umum bahkan eternal dalam kehidupan manusia.
Untuk memperjelas hubungan tersebut, kita perlu meng-
ulas kembali ungkapan Simmel sebelumnya bahwa bidang estetis
merupakan daerah pertempuran (battle ground) ambivalensi
antara prinsip generalitas dan individulitas. Kemudian, bagaimana
Simmel menjelaskan hal itu? Pada awalnya, ia mengajukan
gagasan tentang dua jenis prinsip persepsi estetis yang berbeda:

Dalam persepsi estetis, pengambilan jarak merupakan salah satu strategi yang
san gat penting, yang dengannya jarak an tara inclividu dan kebudayaan dapat ditentukan.
Karenanya, persepsi estetis harus dipertimbangkan sebagai suatu teknik sosial yang sangat
penting (the crucial social technique) untuk mengatasi berbagai persoalan individualitas
(berkaitan dengan kebudayaan). Bila meminjam argumen Frisby (1990: 53), bagi Simmel,
terdapat hubungan antara persepsi estetis sebagai suatu tek:nik peletakan jarak dalam
kehidupan keseharian dan persepsi estetis sebagai teknik ilmiah dari sosiolog untuk
mengambil jarak padanya atau dirinya sendiri dari masyarakat sebagai obyek. Untuk
argumen Frisby ini, lihat catatan kaki dalam Brigitta Nedelmann, "Individualization,
Exaggeration and Paralysations: Simmel' s Three Proi5lems of Culture" dalam Jurnal T1reory
Culture and Society: A Special Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991,hal. 191.
14 Sketsa eli atas merupakan hasil interpretasi saya atas metafor lingkaran (circle)
dari Simmel. Gambar memperlihatkan individu dilingkupi oleh batas-batas lingkaran
konsentris yang terputus-putus. Hal itu dirnaksudkan sebagai simbol dari batas wilayah
a tau jarak imajiner antara individu dan kebudayaan, seperti yang diimplikasikan Simmel
dalam persepsi estetisnya (strategi peletakan/ pengambilan jarak).

Bab IV lndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosio/ogi Kebudayaan Georg Simme/ 131
prinsip gaya (style) dan seni (art). Menurut logikanya, gaya
merupakan pernyataan dari prinsip generalitas. Bila persepsi
estetis seseorang mengacu pada gaya, maka ia berorientasi pada
hukum-hukum umum dari bentuk a tau desain. Dalam kerangka
itu, individu butuh menggunakan teknik sosial yang disebut
penyetiliran (stylization). Layaknya suatu alat, penyetiliran
merupakan strategi individu sebagai konsumen seni untuk dapat
mengambil jarak antara dirinya dan obyek-obyek artistik. Melalui
proses penyetiliran, individu dapat mencapai kutub sosial dan
prinsip generalitas dalam struktur orientasi ambivalen.
Berbeda dengan prinsip gaya, prinsip seni merepresentasi-
kan totalitas atau kepenuhan individualitas. Persepsi estetis
menurut prinsip seni (art) mempunyai fokus atau mengacu pada
aspek ketunggalan, keunikan dan individualitas dari suatu karya
seni. Seperti yang diungkapkan Simmel, pengalaman artistik to-
tal terletak sepenuhnya pada keunikan karya seni. Karya seni
Michelangelo, Rembrant atau Velasquez menyentuh seluruh
kepribadian kita bukan karena gayanya melainkan keunikannya
(Simmel, 1908: 280). Di sini, teknik sosial yang dibutuhkan
individu untuk menyusun hubungan intensif antara dirinya dan
obyek-obyek estetis adalah estetisasi (aestheticization). Dengan
estetisasi, individu sebagai konsumen kebudayaan dapat menya-
dari kutub personal dan prinsip-prinsip individualitas dalam
orientasi tindakan ambivalennya.
Kedua teknik persepsi estetis (penyetiliran dan estetisasi)
yang dikemukakan Simmel di atas mengimplikasikan ambi-
valensi an tara generalitas dan individualitas dalam bidang estetis.
Sejalan dengan itu, pembedaannya atas dua tipe obyek estetis
antara obyek-obyek keahlian (Kunstgewerbe) dan kan;a-kan;a seni
(Kunstwerke) pun menggambarkan hal serupa. Pada intinya,
obyek-obyek keahlian merupakan hasil dari teknik (persepsi
estetis) penyetiliran atas obyek oleh individu dengan mengacu
pada prinsip keumuman, di mana gaya (stt;le) menjadi rohnya.
Dengan kata lain, obyek-obyek yang distilir merupakan icon gay a

132 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


yang nampak nyata ketika mereka mempunyai fungsi pragmatis
(utility) dalam kehidupan sehari-hari (seperti dicontohkan
Simmel: kursi untuk duduk, gelas sebagai tempat menuang
anggur, perhiasan berfungsi sebagai dandanan, dan lain-lain).
Karena kegunaannya berlaku umum, maka ciri utama dari obyek-
obyek keahlian adalah dapat direproduksi secara terus menerus
dan masif. Dengan demikian, antara kegunaan dan gaya selalu
dapat direproduksi secara bersamaan.
Berbeda dengan obyek-obyek keahlian, karya-karya seni
sama sekali tidak tunduk pada hukum umum dari bentuk atau
gaya. Mereka terpisah dari fungsi pragmatis dalam kehidupan
sehari-hari (Simmel, 1908: 310). Menciptakan dunianya sendiri
dan menetapkan hukum-hukum dengan mengacu dan diacu
dirinya sendiri adalah sifat utama dari karya-karya seni. Di sini,
Simmel seringkali melukiskannya sebagai seni untuk seni (l'art pour
l'art). Menurutnya, meskipun mereka merupakan sesuatu yang
berlebihan (superflous) namun mereka sangatlah esensial.
Berlawanan dengan sifat dari obyek-obyek keahlian yang dapat
direproduksi, karya-karya seni akan musnah keunikan dan eksis-
tensinya jika direproduksi. Mereka tidak dapat eksis dalam jumlah
yang besar (masi£).1 5 Untuk mereview uraian di atas lihat hagan
berikut: 16

15 Uraian tentang ambivalensi an tara generalitas dan individualitas dalam bidang


estetis dapat dibaca selengkapnya dalam Simmel, "The Problem of Style", dalam Jtimal
Theon; Culture and Society: A Special issue 011 Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991, hal.
63-73. Masih terkait dengan eksplorasi Simmel atas dimensi-dimensi estetik, rnisalnya:
t/ze fine arts dan the applied arts, lihat juga esai-esai Simmel, seperti: "The Bridge and Door"
dan "The Picture of Frame: An Aesthetic Study", dalam Theon; Culture and Society vol.
11,1994, hal. 1-10; 11-17. Untuk paparan di atas, lihat Briggita Nedelmann, "Individual-
ization, Exaggeration and Paralysations: Simmer-s Three Problems of Culture" dalam
Jumal Theon; Culture and Society: A Special Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August
1991, 180-182. '
16 Pada dasarnya, bagan ini merupakan pengembangan dari bagan yang
digambarkan oleh Nedelmann. Lihat Brigitta Nedelmann, "Individualization, Exaggera-
tion and Paralysations: Simmers Three Problems of Culture" dalam Jumal Tlleory Cul-
tural Socieh;: A Special Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 183.

Bab IV Individu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 133
r
.------------ .. -----·- .. --- .. -. ----·--
Orientasi Tindakan Arnbivalen
(Ambivalent Action Orientation) 1---~~

... -- .. ---- ..... -- ...... --- .. ------------ i

!Wilayah Sosial Individu !Wilayah Privat Individu:


~
l Kutub Generalitas
~ ~
! Kutub Individualitas
~
~
' Prinsip Gaya
~ ~
l Prinsip Seni
~
Penyetiliran
~ V\lilayah
~
:
Estetisasi
~
(Stylization) Keseimbangan ! (Aestheticizntion)

~ :
Obyek-Obyek/
Hasil Keahlian
(Ob;ects of Craft)
.: Karya-Karya Seni
(Works of Art)
~- ;
~
- -
I
Artlessness --- ············"[····-· .. ...... ... ....... . ... i···. -· - ·
'
Stylelessness
~
~
I

: V\lilayah :
l Ketidakseimbangan/ l
Exaggerated :problem keberlebihanl Exaggerated
1 Objectivism i l Subjectivism
t ....... ----- .................................. --------...... .! l .. ------ .... ---......... --.. ----- . ------

Meskipun dua obyek estetis rnempunyai sifat yang berbeda


bahkan saling berlawanan narnun keduanya sangat berarti bagi
individu dalarn menjalin hubungan dengan lingkungan
kebudayaannya. Hanya dalarn karya seni dan obyek keahlian
itulah individu dapat rnempertahankan keseirnbangan antara
kutub individualitas dan kutub generalitas, sehingga rnenjadi
individu yang diakui secara sosial (subyektivitas sosial). Melalui

134 Problem Modernitas dalam Kerangk.a Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


perspektif fungsionalistik ini, Simmel ingin melukiskan bahwa
meskipun bidang estetika masyarakat modern semakin terdefe-
rensiasi yang dimanifestasikan dalam seni dan gaya, namun
secara khusus keduanya berfungsi sebagai ruang aktualisasi
individualitas. lndividu memerlukan karya seni sebagai wahana
pemenuhan aspek individualitasnya. Sedangkan untuk pemenuh-
an aspek-aspek sosialnya, individu memerlukan obyek-obyek
keahlian.
Bagaimanapun juga, manusia budaya harus mengintegrasi-
kan kedua tipe obyek estetis itu dalam dirinya dan memberinya
suatu representasi yang sama-sama kuat dalam bidang estetis
kepribadiannya. Bila pengintegrasian gagal dilakukan, maka akan
terjadi kekacauan dan pencampuradukan di bidang estetis. Keka-
cauan terjadi ketika individu merasakan obyek keahlian seperti
layaknya karya seni dan sebaliknya merasakan karya seni sebagai
obyek keahlian.
Pencampuradukan prinsip-prinsip persepsi estetis itu
semata-mata disebabkan oleh subyektivisme berlebihan dan
obyektivisme berlebihan, yang dalam aktivitasnya masing-
masing mencirikan ketidakbergayaan (stylelessness) dan
ketidakbersenian (artlessness). Kekacauan di bidang estetis yang
oleh Simmel ditengarai sebagai problem modernitas yang khas
ini akan diurai-kan kembali dalam sub-bab berikutnya.
3. Dualisme Kebudayaan: Resipien Versus Struktur Sosial
Bila sebelumnya konsep individu sebagai konsumen kebu-
dayaan menekankan pengaruh individu pada kebudayaan maka
konsep individu sebagai penerima (recipient) kebudayaan ini lebih
berfokus pada dampak kebudayaan atas individu. Dalam pende-
katan ini, Simmel membahas dua hal pokok. Pertama, kebudayaan
dalam terminologi pemekaran (cultivation) dan kedua, kapasitas
individu untuk menginternalisasi unsur-,unsur lingkungan
kebudayaan ke dalam struktur kepribadiannya, sehingga ia ter-
mekarkan (cultivated). Konsep ini berbeda dengan konsep sebe-
lumnya yang menyatakan bahwa individu menggunakan, secara
Bab IV lndividu. Kebudayaan. dan Tiga Problem Modernitas :
Sketsa Sosio/ogi Kebudayaan Georg Simme/ 135
strategis, unsur-unsur lingkungan kebudayaan untuk pengelola-
an gaya hidupnya. Menurut Nedelmann, pendekatan ini ada
dalam esai Simmel berjudul On Concept and Tragedy of Culture
(1911)_17 Di sana, Simmel mengungkapkan:l 8
Seni dan moralitas, ilmu dan obyek-obyek yang dibentuk dengan maksud
tertentu, agama dan hukum, teknologi dan norma-norma sosial,
mentpakan suatu pangkalan yang dengamzya subyek harus mencapai
nilai individual khusus (Eigenwert) yang disebut kebudayaannya.
(Simmel, 1968a: 30).
Konsep pemekaran dipresentasikannya dengan jelas dalam
kalimat: ... "Subyek harus mencapai nilai indiz,idual khusus yang disebut
kebudayaannya." Kata kebudayaannya yang dimaksudkan di sini
adalah obyek-obyek kebudayaan yang telah diinternalisasi dan
akhimya menjadi kebudayaan subyek yang otonom. Meimrut
model pendekatan dualisme kebudayaan, Simmel mengonsep-
tualisasikannya sebagai budaya subyektif (subjective culture) yang
dibedakan dengan konsep budaya obyektif (objective culture). Pen-
dek kata, konsep budaya subyektif itu digunakan Simmel untuk
melukiskan tingkatan di mana individu-individu telah menyerap
unsur-unsur budaya obyektif dan menyatakannya ke dalam
struktur kepribadiannya.
Dengan demikian, konsep cultimtion dapat diartikan seba-
gai suatu proses pengaruh arus-balik (feed-back) antara tingkat
individu dan tingkat kebudayaan, yang diawali dari individu-

17 Sesungguhnya, konsep terse but juga terdapat dalam The Crisis of Culture dan
The Philosophy of Money. Meskipun karya-karya itu memuat ide dasar yang sama, namun
dalam tingkatan tertentu memiliki nuance yang sedikit berbeda, khususnya dalam
menjawab problem modemitas. Misalnya, The Crisis of Culture yang menawarkan rebel-
lion of life (pemberontakan hidup, yang masih berbau Nietzschean) dinilai sebagai
sumbangan gagasan yang penting dari Simmel untuk wacana postmodern. Lihat
D. Weinstein & M. Weins ten dalam Bryan S.Tumer, Tlleories of Modenzity and Postmodernity,
hal. 81-86.
18 Lihat ungkapan Simmel ini dalam catatan kaki Brigitta Nedelmann, "Indi-
vidualization, Exaggeration and Paralysations: Simmers Three Problems of Culture"
dalam Jumal Theory Culture & Society; A Special issue 011 Georg Simmel, vol. 8, no. 3, Agustus
1991, hal. 191-192.

136 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


individu dan kembali lagi kepada mereka setelah melewati sistern
kebudayaan obyekti£.1 9 Namun, hal itu bukan berarti pemekaran
adalah sebuah proses alamiah (terjadi dengan sendirinya). Ia
adalah sebuah proses yang harus ditempuh subyek secara aktif.
Tercapainya pemekaran sangat ditentukan seberapa besar tingkat
aktivitas subyek dalam menyerap unsur-unsur dari budaya
obyektif itu.
Di sini, budaya obyektif dianggap bernilai dan berguna bagi
penyempurnaan diri manusia (human self-perfection). Bagi Simmel,
budaya obyektif (seni, ilmu pengetahuan, teknologi, agama, hu-
kum dan lain-lain) berfungsi sebagai alat atau stasiun perantara
an tara subyek yang belurn mekar dan subyek yang telah mengala-
mi pemekaran. Suatu saat, bila tidak dapat lagi memenuhi fungsi
pemekaran, ia akan kehilangan makna khusus dan nilai budaya-
nya. Hal itu berarti pemekaran menjadi tujuan utama yang diarah
(goal-oriented) dalam kebudayaan. Kebertujuan itu menjadi sema-
kin jelas dalam definisi Simmel berikut: 20
Kebudayaan merupakan jalan yang menwztun dari kesatuan tertutup
melewati keserbaragaman yang membentang menuju pada kesatuan
terbuka (closed unity-unfolding multiplicity-the unfolded unity).
(Simmel, 1968 a: 118).

Definisi yang terkesan berkarakter evolutif itu hendak


melukiskan bahwa kebudayaan bergulir melalui berbagai tahap
untuk sampai pada tingkat pemekaran. Di permulaan proses
pemekaran, kebudayaan berpengaruh pada perubahan subyek
dari kesatuan yang tertutup (closed unity) menuju pada tahap

19 Hal itu dapat dibaca dalam ungkapan Simmel: By cultivating objects, that is by
increasing their value beyond the performance of their natural constitution, we wltwate our-
selves: it is tlze same value-increasing process developing out of us and returning back to us tlzat
moves extemalnature or our own nature. Lihat Georg Simmel, The Plzilosoplzy of Money, hal.
447.
20 Lihat Brigitta Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:
Simmel's Three Problems of Culture" dalam Jumal Theon; Culture & Society; A Special
Issue on Georg Simmen, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 185.

Bab IV /ndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 137
kedua di mana tingkat diferensiasi yang semakin meningkat,
subyek harus mengasimilasi obyek-obyek dalam lingkungan
kebudayaan (unfolding multiplecity), hingga akhirnya menjadi
"kesatuan yang terbuka" (unfolded unihj) setelah ia berhasil meng-
internalisasi pengaruh-pengaruh eksternal kebudayaan ke wila-
yah personalnya.
Secara ideal-normatif, kebudayaan mencapai kepenuhan-
nya bila berbagai tahap hubungan antara budaya obyektif dan
budaya subyektif tersebut terlampaui. Singkatnya, keberlang-
sungan kebudayaan ditentukan oleh sintesis dua kutub itu. 21 Le-
bih jauh, Simmel mengungkapkan: 22
Kebudayaan terjadi dari pertemuan dua zmsur, yang tak satupun dari
keduanya dapat mencakup kebudayaa11 dalam diri11ya sendiri; jiwa
subyektif dan produk spiritual obyektif (Simmel, 1968 a:36).

Serupa dengan konsep Simmel sebelumnya ten tang life and


form, budaya subyektif harus menghubungkan diri dengan
perimbangannya: budaya obyektif, begitu juga sebaliknya. Proses
arus balik pemekaran yang ideal ini oleh Simmel dilukiskan seba-

21 Di sini, kebudayaan digambarkan Simmel dalam dua proses pen tin g. Pertmna,
berbagai kekuatan dan kepentingan hidup ditentukan oleh budaya obyektif. Ia
merupakan domain obyek-obyek yang berfungsi sebagai instrumen bagi pengembangan
subyek, atau sebagai kondisi-kondisi yang di bawahnya orang dapat menjadi makhluk
budaya (cultural being). Kedua, berbagai bentuk, artefak kebudayaan ini termasuk dalam
budaya subyektif a tau kebudayaan personal individu. Ia merupakan keadaan kepribadian
yang dihasilkan dari proses pengembangan dan yang melambangkan sintesis dari budaya
obyektif. Perbedaan antara budaya subyektif dan budaya obyektif dari Simmel yang
sesungguhnya agak kabur ini dapat ditelusuri dalam konsep spirit obyektif sebagai
kondisi bagi kemungkinan kebudayaan dalam bukunya yang berjudul Hauptprobleme
der Philosophie, 1910, p.72. Untuk catatan kak.i ini, lihat pada Guy Oakes, "Translator's
Introduction", dalam Georg Simmel, Georg Simmel: 011 Women Sexuality and Love, New
Haven/ London: Yale University Press, 1984, hal. 7.
22 Lihat ungkapan Simmel ini dalam catatan kaki Briggita Nedelmann, "Indi-
vidualization, Exaggeration and Paralysations: Simmel' s Three Problems of Culture"
dalamJumal Theory Culture & Socieh;; A Special Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, Agustus
1991, hal. 192.

138 Problem Modernitas dalam Kerangk.a Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


gai suatu proses subyektivasi budaya obyektif dan obyektivasi
budaya subyektif. Karena masih terkait erat dengan konsep life
and form, maka kedua konsep itu dapat kita telusuri dalam pemba-
hasan Simmel ten tang "cara hid up" (mode of existence) sebagai
dasar kehidupan manusia. Pada dasarnya, cara hidup adalah
kebudayaan itu sendiri yang dimaknai Simmel sebagai suatu
proses di mana pertama-tama hidup memperanakkan dirinya
secara "lebih hidup" (more life) dan kemudian pemunculan ben-
tuk-bentuk melebihi dirinya sehingga ia berubah menjadi sesuatu
yang "lebih dari sekadar hidup" (more than life).
Bila dipaparkan lebih jauh, mode of existence itu mencakup
empat hal: pertama, cara di mana hidup menciptakan bentuk-
bentuk kebudayaan, kedua, cara di mana bentuk-bentuk ini
menjadi terobyektivasi --terminologi Simmel untuk transformasi
struktur-struktur kebudayaan yang terpisah dari hidup-- ketiga,
kualitas-kualitas khusus dari berbagai bentuk, ungkapan, lam-
bang hidup yang terobyektivasi dalam hubungan-hubungan
sosial individu, dan keempat, konsekuensi-konsekuensi yang tim-
bul dari proses obyektivasi. 23
Dalam konteks kehidupan modern, menurut Simmel, proses
arus-balik pemekaran yang ideal cenderung terbatasi dan terham-
bat. Ada dua alasan untuk hal itu. Pertama, budaya obyektif mem-
punyai kapasitas yang besar sekali untuk akumulasi (a voracious
capasity for accumulation) (Simmel, 1968a: 44), sehingga.pertum-
buhan kuantitatifnya tidak terbatas. Di landskap modernitas,
budaya obyektif, seperti seni, hukum, adat istiadat, ilmu dan lain-
lain semakin lama semakin berubah menjadi kebudayaan massa
(mass cultures) yang mengembangkan logika imanen, kriteria

23 Konsepsi kebudayaan sebagai obyektivasi pikiran/pengalaman manusia itu


menjadi premis penting yang banyak digunakan Simmel dalam berbagai esainya.
Berdasarkan pada pemahaman Simmel di atas, Oakes mencoba menyimpulkan, bahwa
kebudayaan merupakan proses di mana mode of existence itu dieksplorasi, diungkapkan
dan dicapai. Lihat Guy Oakes, "Translator's Introduction", dalam Georg Simmel, Georg
Simmel: on Women Sexuality and Love, hal. 9. Cocokan dengan Georg Simmel, The Philoso-
plry of Money, hal. 452- 453.

Bab II' fndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 139
pembagian kerja dan spesialisasinya sendiri. Itu artinya, budaya
obyektif telah kehilangan fungsi instrumentalnya untuk peme-
karan manusia modern. Ia menjadi alat di dalam dan untuk
dirinya sendiri; suatu sistem yang otonom (self-reflexive social sys-
tem), terpisah bahkan berlawanan dengan budaya subyektif.
Alasan kedua mengacu pada pembatasan/keterbatasan
inheren dalam budaya subyektif. Stimulus yang berlebihan dari
budaya obyektif menyebabkan individu sebagai resipien tidak
mampu menginternalisasi secara sempurna. Meskipun mungkin
mengalarni pemekaran, namun individu-individu tetap meng-
alarni ketidakberdayaan atau teralienasi. 24 Ketika membahas pro-
blem modernitas, situasi tragis itulah yang dilukiskan Simmel
sebagai "Tragedi Kebudayaan". Seperti telah disebut dalam
Pendahuluan, tragedi terjadi dalam kenyataan bahwa karena
logika intrinsiknya sendiri, maka perkembangan bentuk-bentuk
budaya obyektif menghambat proses kehidupan yang membuat
bentuk-bentuk ini menjadi sesuatu yang ada· 25
Uraian di atas bisa dilihat dalam dua bagan berikut ini: 26

CI (Cultiz>ntecl Individu)
........................................ Feed Back
,£:·····...... .. ............. /
.... ·································· ............ .·.. ..,..
::::.·~::: ...... ..................................... ...:_:_:._·;;:::;:_::·•.·' C (Culture)
:······· .. .
··· ................................................................ ·.. )
·... .... ····················································· .... .. ··
................................................
I (I wii'u i du)

24 Briggita Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:


Simmel's Three Problems of Culture" dalam Jumal Theory Culture & Society; A Spenal
Issue on Georg Simme/, vol. 8, no. 3, Agustus 1991, hal.188.
25 Lihat kembali ungkapan Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Mo-

dern, hal. 286.


26 Sketsa ini merupakan interprestasi say a sendiri dengan didasarkan pada uraian
tentang dualisme kebudayaan dari Simmel yang dipresentasikan Nedelmann.

140 Problem Modernitas da/am Kerangka Sosio/ogi Kebudayaan Georg Simme/


Culture
(Multiple Unfolding)
Exposure to Culture
c Asirnmilation and
t .......•·... Intemalisation of int1uences
~-----
...... --..···· ··.,',.., external to personal space
t
I •..·· c1 ···...
Individual· '•:.t.
(Closed Unity) _.:f'...., .··• CI
/
. •./ .••••
\.; Cultivated Individual
(Unfolded Unity)
11 ··.i·.... en ···...
_,•... .~. CI 1

r ~::·:<_.. - >--:.:..........
~CJn

C. Tiga Problem Modernitas


1. Malaise Kebudayaan: Individualisasi
Seperti telah disebut di atas, menurut diagnosis Simmel,
antagonisme antara kreativitas individu dan institusi-institusi
kebudayaan (modern) mencapai titik klimaksnya dalam gambar-
an problem modernitas yang sangat mencolok di awal abad ke-
20 yang disebut Simmel sebagai a general kulturnot, yang oleh P A
Lawrence diterjemahkan sebagai a cultural malaise. Meskipun
tidak sepenuhnya tepat, pengertian itu dapat kita translasikan
sebagai kebangkrutan kebudayaan. 27 Guna menghindari perde-

27 Kebangknttan kebudayaan merupakan hasil translasi dan interpretasi say a sendiri


yang mengacu pacta uraian Simmel tentang Kultunzot tersebut.

Bab IV lndividu. Kebudayaan. dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 141
batan peristilahan.semata, di sini saya memakai malaise kebuda-
yaan untuk pengertian itu. Malaise kebudayaan digambarkan
Simmel sebagai suatu keterputusan antara daya kebudayaan dan
sistem/ institusi kebudayaan yang disebabkan oleh individu-
alisasi kreativitas kebudayaan. Proses ini menunjuk pada tinda-
kan idiosinkratis (eksklusivitas) individu-individu yang mengaki-
batkan pembentukan sistem kebudayaan menjadi terabaikan,
terhenti, terpuruk, tak terberdayakan hingga mengalami kebang-
krutan. Proses individualisasi kreativitas kebudayaan sebagai
jalan keluar dari sistem kebudayaan inilah yang ditengarai
Simmel sebagai suatu dilema fundamental masyarakat modern.
Berbicara tentang individualisasi, yang menunjuk pada
proses pengukuhan individualisme atau otonomi individu, kita
tidak bisa memisahkannya dengan ihwal modernisasi. Terlepas
dari perdebatan apakah ia merupakan sebab ataukah akibat dari
modernisasi, ada satu pemahaman pasti, bahwa keduanya
mempunyai kaitan iritrinsik berikut representasi nilai kebebasan
maupun "keterpencilan/keterasingan" individu dari ikatan ko-
munalnya yang masih tetap diperdebatkan hingga kini. 28
Bagi Simmel, perkembangan perekonomian kapitalis tim-
bul bersama seluruh perangkat pembebasan individu (sebagian
implikasi dari individualisasi), namun persoalan yang ditimbul-
kannya pun tak terelakkan. Misalnya gambaran Simmel tentang

28 Menurut Berger, terdapat dua reaksi yang khas atas kapitalisme (baca:
modemitas, untuk menyesuaikan konteks Simmel). Di satu pihak bersifat konservatif
yang secara reaksioner melihat ke belakang dan menganggap buruk otonomi individu
dengan serta merta mengidealisasikan bahwa individu akan lebih aman jika ia berada
dalam solidaritas komunal, di pihak yang lain sifat opresif budaya baru itulah yang
dijadikan pusat perhatian dan pembebasan yang dicari justru datang dari budaya baru
otonomi individu tersebut. Reaksi kedua ini seringkali mengambil bentuk apa yang
disebut hyper-individualisme (individualisme berlebihan)-yang dalam kritik Simmel
berikutnya nanti hal itu memiliki keterkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai
exagerated subjectivism and objectivism (subyektivisme dan obyektivisme berlebihan).
Dengan meminjam ungkapan Erich Fromm, Berger menegaskan keduanya (antara reaksi
konservatif dan pemuja individualisme/ otonomi individu) merupakan fenomena ten tang
"pelarian dari kebebasan". Lihat selengkapnya uraian Peter L. Berger, Revolusi Kapitalis,
Jakarta: LP3ES, 1990, hal. 154-155.

142 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


kehidupan masyarakat metropolis di awal a bad 20, individu-indi-
vidu yang produktif secara kultural tidak lagi puas dan bangkit
menentang bentuk-bentuk atau institusi-institusi kebudayaan
yang ada serta berusaha mengubahnya menurut kebutuhan-
kebutuhan mereka.
Dalam pengertian (teori) umum, tentu saja, fenomena itu
adalah gambaran tentang perubahan kebudayaan yang hakiki:
suatu proses penggantian institusi-institusi lama oleh yang baru
secara terus menerus/ dinamis seperti yang telah digambarkan
di atas. Namun dalam realitas tertentu, perubahan kebudayaan
tidaklah semekanis yang dilukiskan. Tidak jarang, proses peru-
bahan itu menghasilkan semacam unintended inovation.
Untuk problem individualisasi ini, Simmel mencontohkan
bahwa proses perubahan sejumlah institusi tradisional, seperti
perkawinan yaJ"tg tergeser oleh maraknya prostitusi, menunjuk-
kan suatu perubahan yang terpecah. Keduanya sama-sama tidak
cocok untuk pencapaian hasrat erotis. Di dalam hubungan-
hubungan erotis, antagonisme antara institusi kebudayaan dan
kreativitas budaya telah memunculkan baik inovasi institusi-
institusi maupun ketidakbermoralan dan birahi- anarkis semata-
mata, untuk penghancuran bentuk-bentuk tradisional dan ketia-
daan bentuk. Seperti yang dikutip Nedelmann, Simmel meng-
ungkapkan:29
Terdapat tema kritik yang mendasar bahwa kehidupan erotis merupakan
usaha keras untuk menyatakan kecenderungan kemampuan batiniah
sejati dan alamiah-dasar menentang bentuk-bentuk yang dalam
kebudayaan kita secara umum memenjarakan, merampas vitalitas dan
melanggar sifat dasarnya. Perkawinan terkonstruksi dalam kasus yang
banyak digunakan untuk alasan-alasan lain selain alasan-alasan erotis
aktual. Tentu saja, dalam banyak kasus,impuls erotik yang vital menjadi
binasa ketika individualitasnya menentang tradisi-tradisi yang tidak

29 Lihat Brigitta Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:


Simrnel's Three Problems of Culture" dalarn Jumal Theon; Culture & Society; A Special
Issue 011 Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 176.
Bab IV lndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :
Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 143
fleksibel dan kekerasan yang bersifat legal. Kemunculan prostitusi yang
hampir menjadi institusi yang dilegalkan, kekuatan hidup dari cinta
anak muda mengambil bentuk yang diturunkan nilai-derajadnya,
menjadi suatu karikatur yang melampaui sifat batiniahnya. Hal itu
merupakan bentuk-bentuk yang dalam kehidupan spontan-sejati berada
dalam pemberontakan (Simmel, 1976: 237).

Pada intinya, bentuk-bentuk selalu menjerat hidup dalam


pola-pola dan susunan yang diinstitusionalisakan dan melakukan
kekerasan pada individualitas. Mereka bertempur habis-habisan
untuk memperjuangkan kebertujuannya masing-masing: indivi-
dualitas dan standarisasi. Terdapat dua proses-paralel yang terjadi
di sini. Pertama, semakin banyak institusi-institusi menuntut oto-
nomi semakin kecil ruang individu-individu untuk mengekspre-
sikan kreativitas kebudayaannya, sehingga retreatism dari sistern
kebudayaan berikut respon-respon ekstrem yang berkarakter
individualistis (unrelated idiosyncratic acts) tidak terelakkan.
Kedua, semakin besar kreativitas kebudayaan menemukan
saluran ekspresi individualistik maka semakin banyak sistem ke-
budayaan tertumpuk menjadi artefak-artefak tak "bernyawa"
(kehilangan vitalitasnya), karena terputus dari daya kreatif indi-
vidu-individu. Bila keadaan ini berjalan dalam intensitas yang
tinggi, maka semakin banyak malaise kebudayaan yang ditrans-
formasikan ke dalam suatu dilema yang akut dan menjadi karak-
ter dari seluruh bidang kebudayaan dalam masyarakat modern-
tidak hanya dalam bidang/hubungan erotis tersebut. Untuk
paradoks modernitas ini, Simmel mengungkapkan lebih jauh: 30
Nampaknya, paradoks ini menjadi semakin akut, semakin tidak dapat
dipecahkan pada tingkatan batiniah yang hanya dapat menyebut hidup
terlalu pendek untuk menegaskan vitalitasnya yang tidak berbentuk,
semen tara itu bentuk-bentuk yang tidak fleksibel dan bebas menuntut
legitimasi tanpa batas waktu dan meminta kita untuk menerimanya
sebagai makna dan nilai hidup yang benar--boleh jadi paradoks kian
terintensifkan di dalam tahap kemajuan kebudayaan. (Simmel,1976:
240).
30 fbid., hal. 177.

144 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simme{


Jelas, bahwa individualisasi semakin mempertegas karakter
modernitas yang paradoksal. Bagi Simmel, hal itu menyebabkan
semakin sulitnya upaya mengidentifikasi pola-pola sosial dari
tingkah laku budaya individu. Kebudayaan individu tidak terben-
tuk secara sosial lantaran ekspresi yang sangat ekstrem dalam
individualisasi. Bisa dipastikan, peningkatan individualisasi ti-
dak hanya merusak institusi-institusi kebudayaan sebagai suatu
sis tern, tetapi juga merusak kebudayaan ind,ividu yang dipaharni
sebagai fenomenon makro (macrophenomenon). Individualisasi
daya kebudayaan dan devitalisasi institusi-institusi kebudayaan
merupakan dua proses-paralel yang mempunyai semacam
konsekuensi, tidak hanya menghilangkan hubungan antara
sistem-sistem itu, tetapi juga menghasilkan penghancuran diri
(self destruction) kedua sistem terse but berikut karaktreristik kehi-
dupan sosialnya.31
Bila diagnosis itu kita simpulkan, Simmel tampak sangat
concern terhadap terbangunnya keterkaitan an tara sistem kreati-
vitas individu dan sistem kebudayaan. Peningkatan referensialitas
diri dari masing-masing sistem akan menjadi kontraproduktif
bagi keduanya. Untuk konteks jaman sekarang, diagnosis Simmel
itu mungkin dapat dipakai sebagai acuan-strategi untuk pena-
nganan berbagai perubahan (transisi) kebudayaan dengan penuh
kehati-hatian. Jatuhnya pilihan pada salah satu kubangan eks-
trernitas itu berarti undangan menuju "tindak kekerasan-siste-
rnik" di satu sisi dan "tindak kekerasan tandingan" yang berciri
eksklusif individu di lain sisi, yang keduanya berkontribusi pada
penghancuran kebudayaan secara keseluruhan. Misalnya dalam
kebijakan-kebijakan pembangunan, analisis Simmel itu dapat
diaplikasikan sebagai strategi untuk mengelola/ mempertim-
bangkan proporsi antara kepentingan pada sistem kelembagaan

31 Ibid., hal. 178.

Bab IV lndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 145
maupun keberdayaan individu-individu 32 sebagai subyek pemba-
ngunan.
Dalam beberapa kasus, kita tidak dapat memungkiri bahwa
pembangunan/kebangunan kebudayaan seringkali berjalan
dalam keketatan pilihan yang terasakan dilematis seperti itu, la-
yaknya potret kecil dari karakter modernitas yang kian paradok-
sal. Di sini, kita perlu mengacu kembali dasar pemahaman Simmel
tentang hal itu. Sebagaimana pemahaman Marx bahwa manusia
merupakan insan kolektif, sehingga kebebasannya hanya bisa di-
laksanakan dalam kolektivitas,3 3 Simmel juga berpemahaman
bahwa kebutuhan-kebutuhan kreatif, agama, erotis, etis, ilmiah
atau artistik hanya dapat terungkapkan dalam bentuk-bentuk.
Kebebasan hanya dapat diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk,
meskipun dengan serta-merta mereka terbatasi oleh bentuk itu
(Simmel, 1976: 239).34

32 Pemahaman itu dapat kita jajarkan dengan proposisi Berger yang menyatakan
bahwa kapitalisme membutuhkan lembaga-lembaga yang menyeimbangkan aspek
otonomi individu yang anonim dengan solidaritas komunai ... Bagaimanapun juga, Berger
menyimpulkan, pembebasan dan "keterasingan" merupakan sisi lain dari mata uang
kapitalis yang sama. Pembebasan individu yang disokong oleh kapitalisme Barat hams
"diwadahi" dalam struktur-struktur masyarakat supaya hdak menghancurkan dirinya
sendiri, baik melalui anarki individualisme yang berlebihan maupun perluasan jaringan
hak-hak yang makin mengandung hambata:n. Anark.i progresif ... akan merusak struktur
kepercayaan dan :nilai ... sedangkan pemberlakuan pengawasan kolekhf terhadap individu
oleh suatu pemerintahan yang otoriter atau totaliter juga menimbulkan biaya-biaya
eko:nomi di samping biaya-biaya lainnya ... Lihat Peter L. Berger, Revolusi Kaplfalis, hal.
166.
33 Ibid., hal. 136.
34 Untuk pemyataanSimmel tersebut, lihat kembali uraian yang berkaitan dengan
teorinya ten tang hubungan individu dan masyarakat dalam bab Ill, khususnya kuhpan
Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 183-184. Ada ungkapan Berger yang
mungkin relevan untuk membingkai dua pemyataan itu. Ia menegaskan bahwa otonorni
individu dan pembebasan pribadi yang tersirat di dalamnya merupakan sebuah
kenyataan sehdak-hdaknya pada hga hngkat: ide-ide, identitas-idenhtas dan lembaga-
lembaga. Pembebasan pribadi mensyaratkan suatu budaya yang membebaskan. Untuk
ungkapan itu lihat Peter L Berger, Revolusi Kapitalis, hal. 134.

146 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


2. Subyektivisme dan Obyektivisme Berlebihan
Sekadar mengulas kembali pendekatan ambivalensi kebu-
dayaan, Simmel melalui perspekti£ fungsionalistik berusaha melu-
kiskan bahwa meskipun bidang estetika masyarakat modern
semakin terdiferensiasi yang dimanifestasikan dalam seni dan
gaya; namun secara khusus keduanya berfungsi sebagai ruang
aktualisasi individualitas. Kulturmensch perlu mengintegrasikan
kedua tipe obyek estetis itu dalam bidang estetis individualitasnya
untuk penyelamatan dan pelestarian tatanan dunia dalam" dari 11

kepungan komoditas yang teramat masif di dunia luar" .35 II

Pemahaman ini sangat relevan dengan catatan Featherstone


atas tulisan Gellner, (1979) dan B.S Turner (1986) yang juga diala-
matkan untuk Simmel (1979): "Di sini budaya konsumtif dilihat
sebagai bagian suatu proses demokratisasi fungsi yang ditawar-
kan oleh hukum-hukum pembatasan pembelanjaan uang diba-
rengi dengan maraknya perataan perimbangan kekuasaan (an tara
kelas dengan kelas, laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak),
yakni ketika pihak kekuasaannya kecil mulai mampu menirukan
(melakukan emulasi) praktik konsumsi dan gaya dari pihak yang

35 Menurut catatan Frisby, pengamatan Simmel pada dua domain modemitas,


yakni ekonomi uang dan metropolis merupakan studi tentang obyektifikasi-obyektifikasi
yang terfragmentasi dan fragmen pengalaman yang ditemukan dalam permukaan hid up
sehari-hari. Ciri-ciri yang permanen dari pengalaman sehari-hari, fragmentasi dan
kehancuran yang menyertainya dianggap Simmel mengancam bagian penting dari
pengalaman estetis. Oleh karena itu, Simmel mencoba mendapatkan kembali pengalaman
estetis tersebut dengan mengungkap kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk,
betapapun mereka terpisah-pisah dan berlalu cepat melalui apa yang disebutnya
"penggalian permukaan hid up" (deeping of the surface of life); suatu penggalian atas setiap
stratum intelektual dibalik permukaannya (Simmel 1923: 11). Bagi Frisby, Simmel
sungguh-sungguh merupakan seorang teoritisi sosial pertama yang membuat kita sadar
pada estetika kehidupan modern maupun relevansinya dengan studi yang sering disebut
kebudayaan postmodern. Lihat David Frisby, "Simmel and the Aesthetics of Modem Life",
dalam Theon; Culh1re and Soden;, vol.-8, no. 3, August 1991, hal. 89-90. Bandingkan dengan
bahasan Lichtblau yang mengaitkan an tara karya-karya sosiologis Simmel: ekonomi uang,
metropolis, fashion dengan kepentingannya pada pendiagnosisan jaman, dalam Klaus
Lichtblau, "Sociology and the Diagnosis of the Time or: The Reflexivity of Modernity",
dalam Theory Culture and Society, val. 12, no. 1, February 1995, hal. 25-52 (khususnya hal
33-35).
Bab IV lndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :
Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 147
berkekuasaan lebih besar, sebatas menyangkutmode yang dimas-
salkan". Menurutnya, kecenderungan pada emulasi, ekualisasi
dan imitasi di satu sisi dan diferensiasi individualitas serta penciri-
an distingsi itu telah dicatat Simmel sebagai hal yang sangat pen-
ting dalam mode. Catatan Featherstone itu, dengan mengacu pada
pendapat Frisby, mengungkapkan: 36
Dalam wawasan Simnzel, dinamika mode itu adalah kompromi antara
kepatuhsetiaan serta keterserapan pada kelompok sosial, dengan
diferensiasi dan distingsi individual terhadap anggota-anggota lain
dalam kelompok sosial yang bersangkutan. Simmel nzengaitkan mode
dengan fragmentasi kehidupan modern, letih-syaraf, rangsangan
berlebihan dan sentakmz syaraf yang berakselerasi seiring pertumbuhan
metropolis. Individu modern diperhadapkan pada perubalzan mode yang
cepat dan memuyengkan serta pluralitas gaya yang menanarkan. Maka,
bagi Simmel ketanpa-gayaan masa sebagaimmza tennanifestasikan dalam
kebudayaan obyektif, yakni budaya publik yang tampak mata,
dikompensasi olelz penggayaan interior lewat penggayaan interior inilalz
individu mencoba mengzmgkapkan subyektivitasnya.

Melanjutkan catatannya, Featherstone mengemukakan ada


dua hal penting berkaitan dengan pembicaraan Simmel tentang
mode dan relevansinya dengan pemahaman budaya konsumtif.
Pertama, mode berkaitan erat dengan suatu stratum sosial tertentu,
yaitu kelas menengah dan lokasi tertentu: meh·opolis. Kedua,
penggayaan (sh;lization) barang-barang rumah tangga--seperti
yang dilakukan oleh gerakan Jugendstill di Jerman a tau Aestheti-
cism di Inggris--dapat dikaitkan 9.engan proyek yang lebih besar,

36 Lihat Mike Featherstone, Consumer Culture & Postmodemism, London: Sage,


1991, h~l. 115. Untuk uraian di atas dan kutipan berikut ini sepenuhnya say a ambil dari
terjemahan Bab 8 dari buku terse but oleh Landung Simatupang, Budaya Konsumsi dan
Kesemrawutan Global (Consumer Culture and Global Disorder) dalam Majalah Semesta (edisi
khusus pameran), Yogyakarta: Yayasan Rumah Budaya Semesta, 1999, hal. 24-25.

148 Problem Modernitas da/am Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


yaitu penggayaan kehidupan harian dan pencantikan kehi-
dupan.37
Membahas problem subyektivisme berlebihan,38 Simmel
menjelaskannya sebagai kegagalan subyek dalam berstrategi
mengintegrasikan cultural things. Orientasi yang berlebihan (over-
emphasizing) dari individu pada individualitasnya (referensia-
litas-diri berlebihan) menyebabkan pencampuradukan prinsip-
prinsip estetis dan pemutarbalikan makna fungisonal dari dua
tipe obyek estetis, yang keduanya sama-sama berguna untuk pe-
ngembangan kepribadiannya. Mengagumi kursi, gelas, atau ba-
rang-barang perhiasan layaknya karya-karya seni dan merasakan
karya-karya seni layaknya obyek-obyek keahlian merupakan
estetisasi obyek keahlian dan stilisasi seni. Keduanya menunjuk pada
tindak peniadaan-pembedaan (de-differentiating) antara bidang
material keahlian dan material seni.

37 Ibid., hal. 116 (Untuk edisi Indonesia oleh L. Simatupang, Ibid., hal. 25).
Bandingkan dengan ungkapan Ragone, bahwa teori klasik tentang fashion yang
dikemukan Veblen dan Simmel berdasar pada konsep-konsep tentang (kelas) elit dan
trickle-down effect dalam Gerardo Ragone, "Consumption Diffusion: Elite Phenomena and
Mass Processes", dalam International SociolOgJJ, vol. 11, no. 3, September 1996, hal. 309-
315, khususnya hal. 309-310. Bandingkan juga dengan Bocock, "The Emergence of the
Consumer Society", dalam Robert Bocock (dkk), The Polity Reader in Cultural Theon;, Cam-
bridge: Polity Press, 1994, hal. 180-184.
38 Meski gencar melontarkan kritik atas subyektivisme berlebihan, Simmel
menyadari bahwa dirinya pun tak luput dari persoalan itu. Dalam The Problem of Style,
Simmel mengungkapkan diri sebagai orang yang menggunakan kritik secara mendalam
pada manusia modem yang bertindak sebagai konsumen kebudayaan. Ia menyalahkan
diri sendiri untuk subyektivismenya yang berlebihan sebagai suatu ekspresi dari
ketidaktahuannya yang teramat sangat tentang gagasan individualitas. Mengingat
kembali uraian dalam bah II, Simmel terlibat banyak dalam berbagai "kawanan"
intelektual dan gerakan seniman Jerman, seperti gerakan seni Jerman bohemian seperti
fugendstill. Mungkin, dominasi perannya sebagai spesialis simbol--yang tinggal dalam
hangatnya dunia intelektual dan seni yang ekslusif-berlebihan--itulah yang hendak
direfleksikan Simmel sebagai bentuk subyektivisme-nya yang berlebihan. Lihat Brigitta
Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations: Simmel's Three Prob-
lems of Culture" dalam Jumal Theon; Culture & Society; A Special Issue on Georg Simme/,
vol. 8, no. 3, August 1991, hal.178.
Hal itu mungkin relevan dengan ungkapan Berger-yang mengacu pada Cesar
Grafta-bahwa dalam keseluruhan peradaban Barat, paling tidak sejak awal a bad ke-19,
·individualisme berlebihan menjadi ciri semua gerakan seniman dan golongan intelektual

Bab IV Individu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel . 149
Dengan estetisasi obyek keahlian, kita mengabaikan kaidah-
kaidah umum dari gaya dan bentuk (sebagai hukum-hukum
estetis umum) serta menodai fungsi obyek keahlian yang
sesungguhnya berguna bagi pengembangan aspek sosial
kepribadian. Akhirnya, gaya (style) diporak-porandakan dan
ketidakbergayaan (stt;lelessness) menjadi sifat modernitas yang
tipikal. Bagaimanapun, fenomena itu muncul dari motivasi-
motivasi spontan, idiosinkratis semata-mata, dan kurangnya ba-
sis sosial untuk standard-standard normatif dan perasaan-pera-
saan estetis yang diterima secara umum (Simmel, 1908: 314).
Simmel menyebut pencampuradukan prinsip-prinsip estetis dan
pemutarbalikan makna fungsional seperti terse but di atas sebagai
the most caricaturing misunderstanding of modem individualism
(Simmel, 1908: 301-303). 39

yang disebut "bohemian". Apa yang biasa digambarkan sebagai individualisme


berlebihan dalam kebudayaan Barat modern itu mengandung arti perhatian yang
mendalam terhadap subyektivitas individu. Hal itu merupakan suatu anggapan ten tang
individu sebagai sesuatu yang kompleks, yang dianggap mengandung kedalaman yang
tanpa batas dan karenanya sangat berharga. Kemunculan individualisme yang sering
disebut individualisme pujangga itu dipicu oleh individualisme borjuasi yang
menciptakan suatu rnasyarakat dengan tujuan yang diind.ividualisasikan. Berbeda dengan
individualisme borjuis yang mempunyai target ekonorni dan politis, serta memandang
dunia sebagai sesuatu yang dapat diukur, diatur dan dimanfaatkan secara nyata,
ind.ividualisme pujangga sepenuhnya memusatkan perhatian pada man usia sebagai suatu
kenyataan intelektual dan imajinatif. Karenanya batasan keduniawian usaha dan ambisi
borjuis dianggap seorang ind.ividualis pujangga sebagai suatu hal yang tak bisa diterima.
Tetapi, menurut Featherstone (1991), meskipun seniman dan intelektual punya
kepentingan untuk mempertontonkan bahwa mereka tanpa pamrih, penolakan atau
kebencian mereka pada soal-soal material di dunia ini boleh jadi menyembunyikan
kepentingan dan pamrih mereka menumpuk modal kultural. Penumpukan status dan
gengsi itu berlaku efektif sebagai semacam ganti untuk mata uang dan kekuasaan.
Bukankah para seniman dan intelektual itu, meminjam ungkapan Bord.ieu, mengandalkan
apa yang disebut "ideologi kharisma". Lihat terjemahan Landung Simatupang, Budaya
Konswnsi, hal. 26 atau Featherstone, Consumer Culture and Postmodemisrn, hal.117.
Meminjam ungkapan Berger, bukankah keduanya merupakan fenomena "men of their
world" yang diliputi oleh ego ideal dan inner-direction. Lihat Peter L. Berger, Revolusi
Kapitalis, hal. 155-156.
39 Brigitta Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:
Simmel's Three Problems of Culture" dalam Jumal Theory Culture & Society; A Special
Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 183,191.

150 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Untuk problem obyektivisme berlebihan, Simmel tidak se-
cara eksplisit rnembicarakannya. Namun dalam beberapa esainya,
ia mengindikasikan deviasi dan kesalahpahaman dalam bentuk
yang lain itu. Ketika mengkritik penyalahgunaan karya seni,
Simmel mengatakan: 40
Duduk pada suatu kanJa seni; memperlakukan atau menggunakannya
untuk suatu tujuan praktis sama halnya dengan kanibalisme (cannibal-
ism), tak berbeda pula dengan pereduksian status tuan menjadi status
budak... (Simmel, 1908:310).

Ungkapan ini mau menegaskan bahwa karya-karya seni


yang tidak dirasakan dalam orientasi prinsip-prinsip kepribadian
(tetapi disalahgunakan untuk tujuan-tujuan sosiasi) berarti kita
berorientasi pada prinsip generalitas atau gaya (sytle). Stilisasi
karya seni itu berujung pada kehancuran bidang estetis karya
seni dan ketidak-bersenian (artlessness) pun kian mendominasi.
Apabila subyektivisme dan obyektivisme berlebihan tersebut
berjalan bersamaan, maka dunia estetika akan terjungkirbalikkan.
Meminjam ungkapan Nedelmann, pencapaian suatu kepribadian
yang stabil pun akhirnya menjadi cita-cita yang tak tergapai. 41
3. Tragedi Kebudayaan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada model pendekat-
an ketiga modernitas diteorisasikan Simmel dalam terminologi
tekanan budaya obyektif dan erosi budaya subyektif. Analisis
Simmel tentang rasionalitas budaya dan peningkatan tekanan
ekonomi uang ke dalam kehidupan sosial mengesankan kaitan
yang erat antara pengalaman hidup sehari-hari yang berlalu cepat
dan terfragmentasi serta kegagalan kebudayaan untuk memberi-
kan suatu tujuan penyatuan yang lebih tinggi: pemekaran subyek
(subyek yang terolah).

40 Ibid., hal. 184.


41 lbid

Bab IV Jndividu. Kebudayaan. dan Tiga Problem Modernitas .


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 151
Sekalipun berperan sebagai pencipta kebudayaan, dalam
perannya sebagai resipien kebudayaan, subyek tetap menjadi
sasaran-sasaran dari pengaruh-pengaruh budaya obyektif yang
destruktif. Hal itu berarti tindak penciptaan kebudayaan mengha-
silkan kekuatan destruktif dalam dirinya (self-destructive poten-
tial). Proses diferensiasi dan "keserbaragaman yang membentang"
yang menyebabkan budaya subyektif bersifat problematis itulah
yang digambarkan Simmel sebagai tragedi kebudayaan. Simmel
menggunakan istilah tragedi untuk melukiskan "hubungan-hu-
bungan tragis" yang ditimbulkan oleh kekuatan destruktif dalam
dirinya sendiri. Kekuatan destruktif itu selanjutnya berkembang
menjadi struktur yang logis dan membangun bentuk-nyatanya
sendiri (Simmel,1968a: 43).
Dalam tindakan kulturalnya yang produktif sekaligus
reseptif, subyek (manusia modern) kehilangan dirinya baik dalam
suatu lorong jalan buntu maupun dalam kehampaan kehidupan-
nya yang paling pribadi (Simmel,1968a: 44). Lebih jauh, Simmel
menjelaskan tragedi kebudayaan sebagai berikut: 42
Situasi itu tragis: ketika dalam eksistensinya yang pertama, kebudayaan
memuat sesuatu dalam dirinya sendiri, yang seolah-olah oleh sifat
instrinsiknya, tertentukan untuk memblokir, mempersulit, mengaburkan
dan memecah belah tujuannya yang paling dalam, transisi jiwa (transi-
tion of soul) dari yang tidak sempurna menjadi sempurna (Simmel,
1968 a:46).

Pengertian tragedi dari Simmel itu menunjuk secara jelas


pada gambaran paradoks modernitas yakni meskipun diciptakan
oleh dan untuk individu-individu, produk-produk kebudayaan
telah berkembang menurut logika imanennya sendiri hingga
akhirnya mereka menjauhkan diri dari sumbernya maupun dari
tujuannya. (Simmel, 1968a: 42). Perkembangan budaya obyektif
berikut pengaruh makro sistemiknya semakin lama semakin
adikuasa (a Ubermacht) (Simmel, 1968 a: 46) dan semakin mengem-

42 Ibid., hal. 188-189.

152 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


bangkan jangkauan. Olehnya, subyek dibebani beribu-ribu obyek
secara berlebihan (superflous objects). 43
Perkembangan kebudayaan benda-benda yang semakin
ekstensif, kompleks, dan njlinzet hingga mengelabui budaya su-
byektif inilah yang sering disebut reifikasz44 bentuk-bentuk kebu-
dayaan. Mengacu pada uraian Oakes, pengertian ten tang reifikasi
bentuk-bentukkebudayaan dapat dipahami sebagai suatu proses
dan sebagai suatu keadaan perkembangan budaya bagi empat
kondisi yang penting berikut ini. Pertama, muatan eksistensial
dalam bidang kehidupan--entah itu ilmiah, politis, moral, agama,
estetis, ataupun erotik--dinyatakan dalam artefak-artefak bentuk
kebudayaan. Kedua, bentuk-bentuk ini menjadi entitas yang relatif
independen, memuat dirinya sendiri, mengekalkan diri, dan ber-

43 Lihat kembali kutipan ungkapan Simmel di Bab I khususnya uraian tentang


paradoks modemitas. Bandingkan dengan ulasan Oakes bahwa tragedi kebudayaan
terjadi ketika artefak-artefak kebudayaan tidak dapat digabungkan secara sempurna ke
dalam budaya subyektifnya. Karena produk-produk budaya obyektif menunjukkan suatu
kecenderungan untuk berkembang menjadi "kerajaan-kerajaan" (kingdoms/empires) yang
otonom dan memuat-dirinya sendiri (self-co!ltained) (Simmel, 1957: 94), dunia artefak-
artefak kebudayaan menjadi kian kompleks, sistematis dan sempuma. Bagaimanapun
juga, proses yang pasti dari kebudayaan-sintesis bentuk-bentuk kebudayaan dalam hid up
individu-tidak terjadi dalam tingkat kecepatan yang sepadan. Sebagai hasilnya, budaya
obyektif menjadi semakin memuat dirinya sendiri dan mengekalkan diri (self perpetuat-
ing). Lihat Guy Oakes, "Translator's Introduction", dalam Georg Simmel, 011 Women
Sexuality and Love, hal9-10.
44 Reifikasi, dalam bahasa Inggris: rcificatioti/reism, berasal dari kata Latin res
yang berarti benda. Dalam pengertian yang umum, reifikasi kadang-kadang disebut
konkretisme. Hal itu merupakan kekeliruan menerima abstraksi dan menganggapnya
sebagai entitas yang benar-benar ada yang secara kausal berdaya guna dan secara
ontologis mendahului hal-hal yang menjadi acuannya (referennya). Reifikasi berarti juga
kekeliruan anggapan bahwa suatu entitas mental seakan-akan suatu benda. Reifikasi
juga disebut hipostatisasi, yang termasuk salah satu kekeliruan informal a tau material.
Misalnya, dalam individualistik metodologis konsep ini dapat dipakai untuk melihat
"masyarakat" a tau "struktur". Pengertian ini berasal dalam tradisi Marxisme, yang
digunakan baik oleh Marxian maupun non-Marxian untuk mempertalikan status sesuatu
yang nampaknya sulit, sebagaimana Iebih dilihat seperti perangkat hubungan sosial yang
komplek dan berubah-ubah. Konsep reifikasi, dalam Sosiologi belurn ada stan dar tertentu
untuk bisa diterima atau tidaknya. Lihat dalam Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 945. Bandingkan juga dengan David Jary dan Julia
Jary, Collins Dictionan; of Sociology, Great Britain: Harper Collins Publishers, 1991, hal
525.

Bab ll' lndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 153
kembang menurut prinsip-prinsip imanennya sendiri. Ketiga,
sebagai hasilnya, hal ini juga menjadi semakin jauh dari kekuatan-
kekuatan dan kepentingan-kepentingan yang semula ditanamkan
di dalamnya. Akhirnya keempat, perkembangan bentuk ini
melebihi (outstrips) kemampuan individu dalam menguasai atau
mengontrolnya. 45
Dalam kondisi seperti itu, individu tidak mampu menolak
a tau membebaskan diri dari stimuli-berlebihan yang bersifat tetap
ataupun mengasimilasi stimuli tersebut ke dalam kreativitas
kebudayaan. Ia mungkin menikmati banyak barang, tetapi
barang-barang terasakan seperti layaknya pemberat yang sangat
besar lagi berat untuk dapat diasimilasikan/ disatukan ke dalam
struktur kepribadiannya. Sekalipun mempunyai energi untuk
memberontak atau memprotes sistem kebudayaan maupun ber-
eaksi dalam bentuk penyimpangan/ cara-cara yang berlebihan,
namun individu tetap menerima stimuli yang berlebihan itu yang
akhirnya menimbulkan ketidakberdayaan dan kebuntuan bagi
berbagai alternatif tindakan menuju kepribadian yang
termekarkan atau terolah. 46
D. Diagnosis Simmel dan Potensi Terapi Budaya
Berbasis pada pengalaman modernitas, Simmel telah mem-
babar sejarah intelektual untuk pengembangan proyek diagno-
sis jaman (diagnosis of the times). Melalui berbagai model pende-
katan dan sudut pandang sosiologi kebudayaanya, ia mampu
memetakan berbagai persoalan di pelataran jaman "masyarakat
risiko" (the age of risk sociehj). Gambaran Simmel tentang tiga pro-
blem modernitas: individualisasi, keberlebihan dan pelumpuhan
(paralysation) yang kian berkelit-berkelindan menyiratkan kepri-

45 Guy Oakes, "Translator's Introduction", dalarn Georg Sirnrnel, On Women


Sexuality and Love, hal. 12.
46 Lihat Brigitta Nedelrnann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:
Sirnrnel's Three Problems of Culture" dalarn Jumal Theon; Culture & Society; A Special
Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 188.

154 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


hatinannya pada keterserakan sisi rnikro dan makro kebudayaan
oleh hempasan gelombang modernisasi.
Pada model ketiga, kita melihat Simmel tertarik pada peme-
karan atau pengolahan (cultivation) yang seimbang antara dua
proses hubungan: perantaraan budaya obyektif ke dalam wilayah
subyektif individu (subyektivikasi budaya obyektif) dan
perantaraan budaya subyektif ke dalam wilayah institusi-institusi
kebudayaan (obyektivikasi budaya subyektif). Apabila semakin
kuat individu-individu bereaksi terhadap ancaman budaya
obyektif dengan retreatisme kebudayaan (individualisasi, dan
keberlebihan), maka semakin besar pula kemungkinan budaya
obyektif dan budaya subyektif menjadi terpisahkan (mengalarni
pelumpuhan).
Sebaliknya, semakin besar proses arus balik yang terjadi
an tara budaya subyektif dan budaya obyektif itu terganggu, maka
semakin besar pula kemungkinan terjadinya tingkah laku
kebudayaan yang menyimpang (menurut model kedua) dan
penolakan bentuk-bentuk kebudayaan yang ada (menurut model
pertama). Dalam sistem kebudayaan, jika alternatif-alternatif
tindakan manusia budaya (Kulturmensch) dilumpuhkan, maka
kebudayaan-warisan (Kulturerbe) akan bertambah buruk dan/
a tau menjadi berubah bentuk (menyimpang), dan mungkin tidak
lagi mampu menyelesaikan fungsi pemekaran manusia modern. 47
Berkaitan dengan diagnosis Simmel tersebut, mungkin
terdapat sebuah pertanyaan besar yang membuat ragu banyak
orang untuk membenarkan pernyataan bahwa Simmel mampu
menjawab berbagai problem modernitas itu dengan menawarkan
terapi budaya (baca: strategi kebudayaan). Banyak tokoh menilai,
Simmel tidak pernah menunjukkan bagaimana kebudayaan itu
berubah. Swingewood (1998), rnisalnya, mengungkapkan bahwa
meskipun Simmel telah secara luas dihargai untuk tulisan-tulis-
annya tentang modernitas, namun analisisnya tetap sangat pro-
blematis. Menurutnya sosiologi kebudayaan Simmel diperlemah

47 Ibid., haL 190.

Bab II' lndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simme/ 155
oleh dikotomi kaku yang dikembangkannya antara kebudayaan
sebagai ekspresi dan kewenangan interioritas (inner-world)
dengan kebudayaan sebagai bentuk eksternal, impersonal dan
tereifikasi.
Di sini, Sirnrnel mendasarkan modernitas dalam sifat meta-
naratif tragedi kebudayaan yang tak terdamaikan. Individu
ditakdirkan untuk berada dalam kepasifandan kepasrahan yang
tragis. Menurutnya, modernitas Sirnrnel kekurangan refleksivitas,
tidak ada pengertian individu yang berinteraksi secara dialogis,
sebagai produser a tau pencipta kebudayaan yang aktif. Moderni-
tas Sirnrnel didominasi oleh wilayah pengaruh yang pendek di
mana kebudayaan didefinisikan tanpa berkaitan dengan unsur-
unsur mikro, institusi, dan agen kebudayaan dikosongkan dari
seluruh hubungan komunikatif dan kekuatan-kekuatan historis. 48
Tanpa berusaha menafikan berbagai kritik dan kesangsian
itu, mungkin ada baiknya bila kita menilils bahasan tentang
sosiologi dan diagnosis jaman. Topik tentang sosiologi dan diag-
nosis jaman, menurut Lichtblau (1995), memiliki dua dimensi
pokok yang harus dibedakan. Pertama, hal ini berkaitan dengan
self description sosiologi modern sebagai sebuah kajian kontem-
porer dan potensi diagnosis yang dimilikinya. Kedua, sosiologi
modern itu sendiri merupakan suatu fen omena khusus / tertentu
sebagai bagian dari suatu diagnosis jaman. Dengan demikian,
sosiologi menceritakan seluruh kualitas dari semangat jaman hi-
ngga dapat dibuat obyek bagi suatu diagnosis jaman yang bersifat
refleksif, atau lebih tepatnya, sosiologi tentang sosiologi.
Kita akan melihat bahwa sosiologi memahami dirinya seca-
ra esensial sebagai sebuah kajian atas jaman yang dikarakteris-
tikan dan dipengaruhi oleh parakdoks jaman itu sendiri yang me-
rupakan basis dari kesadaran modern tentang suatu pengalaman
historis yang bersifat khusus dari jaman. Dalam pengertian itu,

48 Lihat Alan Swingewood, Cultural Theon} and The Problem of Modernity, hal. 35-
36.

156 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


sosiologi juga mengekspos proyek diagnosis ilmiah atasjaman (a
scientific diagnosis of the times) pada berbagai kemungkinan dan
risiko dari suatu deskripsi waktu yang paradoksal (a paradoxical
description of present). 49
Dari uraian Lichtblau tersebut, kita bisa memahami bahwa
ketika sosiologi kontemporer berusaha menghadirkan kembali
diagnosis jaman (modernitas) dalam sosiologi Simmel, berarti kita
memasuki perbincangan sosiologi tentang sosiologi seperti
termaksud dalam dimensi kedua tersebut di atas. Di sini, sosio-
logi menjalankan tindakan self-critic, kritik sosiologi atas sosiologi.
Dengan metode itu, sosiologi berarti menyempurnakan dirinya
sesuai kekuatan-kekutan historis dan konteks jaman. Sebagaima-
na Simmel sendiri pernah mengatakan, ide-ide sosiologisnya
yang masih berceceran adalah tugas sosiologi masa depan untuk
menyatukan dan menyempurnakannya dalam sebuah teori yang
lebih lengkap.
Di sini, kita tersadarkan bahwatidak terlepas dari banyak-
nya kekurangan, kelebihan diagnosis Simmel atas modernitas
(minimal dalam takaran jamannya) berikut potensi terapi kebuda-
yaannya tetap perlu diapresiasi. Bagaimanapun juga, ia telah
banyak memetakan berbagai cara pandang atas formasi-defor-
masi kebudayaan yang cukup menentukan perkembangan dan
kekayaan teori sosiologi kontemporer.
Untuk mengangkat kemungkinan bagi potensi pengobatan
budaya dari Simmel, kita bisa mengingat kembali leitmotive utama
tentang dialektika kebudayaan penciptaan bentuk-bentuk yang
terobyektivasi-apresiasi bentuk, seperti terurai di bab I. Keterasingan
dan keterpisahan antara dua kutub: budaya subyektif dan budaya
obyektif, kekuatan kreatif dan bentuk-bentuk, yang termanifesta-
sikan dalam terhambatnya "pemekaran jiwa" manusia modern
hanya dapat diatasi melalui deobyektivasi atas bentuk-bentuk.

49 Lihat Klaus Lichtblau, "Sociology and the Diagnosis of the Times or TheRe-
flexivity of Modernity", dalam Theon; Culture and Society val. 12, no. 1, February 1995
(Explorations in Critical Social Science).

Bab IV lndividu, Kebudayaan, dan Tiga Problem Modernitas :


Sketsa Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel 157
Deobyektivasi ini merupakan tindakan subyek yang aktif, kreatif
dalam mengapresiasi segala bentuk budaya obyektif. Tentu saja
apresiasi ini mensyaratkan kesadaran kritis. Ia merupakan inti
dari keseluruhan proses aktualisasi diri manusia untuk tetap
bertahan sebagai subyek yang sa dar lagi kritis terhadap berbagai
budaya obyektif. Dengannya, subyek akan terbebas dari perang-
kap dan berhala-berhala modernitas.
Jika ingatan kita tidak berusaha menafikan sumbangan
Simmel pada teori-teori sosiologi kontemporer, maka kita akan
menemukan benang merah an tara deobyektivasi Simmel terse but
dengan agenda Frankfurt School tentang kebebasan dan nalar kri-
tis. Mendahului kritik Frankfurt School tentang masyarakat dan
kebudayaan massa, Simmel mencatat bagaimana teknologi-tekno-
logi produksi membangkitkan konsumerisme hingga manusia
modern terkepung ketat oleh obyek-obyek kebudayaan.
Kebudayaan modern cenderung menyetarakan dan
menyeragamkan berbagai nilai dari obyek kebudayaan ke dalam
bentuk uang. Kekuatan riil yang terkandung dalam uang itulah
yang menyebabkan masyarakat berusaha menggapainya melalui
berbagai cara. Hingga akhirnya, uang tidak ditempatkan lagi
sebagai alat (means) melainkan sebagai tujuan (end). Pergeseran
rasionalitas alat menjadi rasionalitas tujuan pun menjadi fenome-
na modernitas yang tipikal. Upaya perlindungan dan pemberda-
yaan subyek bisa ditempuh dengan tetap menghidupkan nalar
dan kesadaran kritis. Upaya perlindungan terhadap ruang gerak
subyektif dalam deobyektivasi Simmel itu pun memiliki semangat
dan roh yang sama dengan upaya dekonstruksi atas teks dalam
aliran postruktural atau postmodern.

158 Problem Modernitas dalam Keranglw Sosio/ogi Kebudayaan Georg Simmel


BabV
Epilog: Georg Simmel
dan Ceta~ Biru Teori Sosiai-
Lintas Batas
BABV
EPILOG: GEORG SIMMEL DAN CETAK BIRU
TEORI SOSIAL-LINTAS.BATAS

Apakah masyarakat merupakan tujuan man usia ataukah semata-


mata menjadi alat bagi individu? Apakah nilai pokok dari
perkembangan sosial terletak dalam perkembangan personalitas
ataukah perkembangan asosiasi? Apakah makna dan tujuan ada
dalam fenomena sosial seluruhnya ataukah secara ekslusif ada
dalam individu? Apakah tahapan khusus dari perkembangan ma-
syarakat memperlihatkan suatu analogi dengan evolusi-evolusi
kosmis yang memungkinkan terbentuknya rumusan atau ritme
yang umum dari perkembangan secara keseluruhan (semisal
fluktuasi an tara diferensiasi dan integrasi) yang menerapkan data
sosial dan data material serupa? Apakah gerakan-gerakan sosial
dituntun oleh prinsip kekekalan energi? Apakah mereka diatur

Bab V Epilog: Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 161
oleh motif terhadap material ataukah motif ideologis? Terang saja,
tipe pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan menegaskan perihal
kepastian dari fakta-fakta. Alih-alih, hal itu harus dijawab dengan
interpretasi-interpretasi dari fakta yang diketahui dan berupaya
mengambil unsur-unsur relatif dan problema tis dari realitas sosial
dalam keseluruhan sudut pandang. [Demikianlah] sudut pandang
tidak bersaing dengan tuntutan-tuntutan empiris karena hal itu
memenuhi kepentingan yang sangat berbeda dengan yang
dijawab oleh proposisi-proposisi empiris. (Simmel dalam Biersted,
1968; hal 397)
Upaya memperbaharui minat dalam teori sosial Simmel terlebih
dulu harus memecahkan batas-batas keahlian dalam sosiologi agar
dapat memahami baik pengetahuan mengenai pengalaman sosial
yang tidak dapat digolongkan dengan gampang maupun teori
tentang masyarakat yang melingkupi karya Simmel. Semata-mata
dengan cara inilah kita dapat melihat kontinuitas tema-tema
seperti diferensiasi sosial berikut paradoks hingga tragedi
kebudayaan yang merentang dalam seluruh karyanya di
sepanjang hidup. Seorang teoritisi sosial yang biasa tertarik
dengan proses-proses sosial melihat berbagai tema tersebut
berlaku di sejumlah wilayah yang sesungguhnya sangat tidak
mungkin. Sebagai seorang pengembara intelektual, Simmel bisa
tinggal dimanapun, tidak hanya dalam wilayah kajian dari
seorang sosiolog profesional semata. "Rajutan jala-halus" -nya bisa
menjaring hampir seluruh ceruk kehidupan sosial. (Frisby, 1984;
hal150)

Dalam epilog ini, sengaja nukilan ungkapan Simmel dan


Frisby tersebut saya tempatkan sebagai entry point sekaligus sti-
mulus bagi kegairahan kita meneruskan pemetaan teori-teori
Simmel secara lebih lengkap dan detail. Tersadari sejak awal,
bukanlah perkara mudah menakar pemikiran Simmel yang syarat
dengan "keliaran cara pandang" atas dunia kehidupan sosial. Se-
lain dikenal sebagai pemikir yang mempunyai multi minat dan
bakat, sosok Simmel pun kiranya representatif untuk dijuluki se-
bagai phenomenon; sosok pengembara-intelektual yang ganjillagi
"nyleneh". "Ke-nyeleneh-an" itulah yang barangkali menyebabkan
teori-teori Simmel menjadi tanda dari "anomali sosiologi". Upaya

162 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


pemetaan pemikiran Simmel--yang tidak berada dalam ranah
sosiologi melainkan dalam domain yang lebih luas yakni ilmu-
ilmu sosial--seperti itu tentunya jauh dari keinginan dan
kemampuan saya untuk menuntaskannya dalam epilog pendek
ini. Karena memiliki orientasi yang relatif berbeda dengan buku
ini, penelusuran teori-teori sosial Simmel itu tentu saja memuat
dasar, sudut pandang, aspek dan dimensi yang relatif berbeda
pula.
Di sini, saya hanya akan menebalkan catatan dari sejumlah
teoritisi sosial--yang di bab-bab sebelumnya telah disinggung--
bahwa teori-teori Simmel bisa dijadikan referensi bagi upaya
pengembangan kultur teori sosial multisentral yang toleran dan
saling kait, serta melintasi demarkasi berbagai disiplin ilmu
(interdisipliner), sehingga mampu untuk mengkerangkai berbagai
isu dan problem, atau paling tidak mampu menjelaskan sejumlah
gejala dalam gelombang perubahan masyarakat yang kian
mondial ini. Boleh jadi, epilog ini kontradiktif dengan uraian sebe-
lumnya. Munculnya gugatan mengenai "kesahihan" atas buku
ini pun tak dapat ditampik. Mengapa pemikiran Simmel harus
diletakkan di luar bingkai sosiologi? Bukankah upaya ini hanya
akan "meruntuhkan" struktur gagasan yang telah dibangun da-
lam buku ini? Lantas "kesimpulan" atau "pemahaman" macam
apa yang bisa ditarik dari buku ini?
Pertanyaan itu memang pantas terlontar sebagai kritik bah-
kan gugatan yang cukup mendasar atas buku ini. Menjawab hal
itu, saya sungguh sadar bahwa seluruh tulisan ini hanyalah se-
buah pengantar yang teramat pendek perihal pemikiran Georg
Simmel, lantaran hanya mencuplik dimensi sosiologinya saja.
Dengan kata lain, buku ini hanya cuilan kecil dan bukannya kese-
luruhan corpus teori Simmel; suatu permulaan dan bukannya
kesimpulan. Kiranya, kesimpulan bukan kata yang pas digunakan
karena di dalamnya terkandung sesat-pikir yang menunjuk pada
proses penjelajahan yang ·paripurna a tau tuntas dalam mencapai
pemahaman atas seluruh teori Simmel. Sementara itu, menyoal
runtuhnya struktur gagasan buku ini, barangkali catatan-catatan
berikut bisa menjelaskannya.

Bah V Epilog: Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 163
Pertama, tatkala membahas orientasi Simmel pada sosiologi,
dua hal yang penting untuk dicatat adalah (1) minat Simmel pada
berbagai disiplin ilmu dan (2) konteks sejarah formasi sosiologi
di Eropa, tepatnya pada pertengahan abad 19 hingga awal a bad
20. Dua aspek historis itu tentu saja sangat penting untuk
memahami bangunan sekaligus posisi sosiologi Simmel. Seperti
terurai di depan, sosiologi lahir bersamaan dengan semakin
kuatnya perkembangan positivisme di Eropa, tepatnya di
Perancis, yang diwakili oleh St. Simon dan Comte pada
pertengahan abad 19 dan Durkheim pada awal abad 20. 1 Dalam
periode yang hampir sama, historisisme Jerman2 - yang ahli waris
tradisinya diwakili oleh Marx dan Weber--muncul sebagai kritik
atas positivisme Perancis tersebut. Memang sejak kesadaran
positivistis itu merebak, sejumlah pemikir Jerman berusaha
mencari dasar metodologi yang baru untuk ilmu-ilmu sosial, agar
terbebas dari pengaruh metodologi ilmu-ilmu alam seperti itu.
Peristiwa penting lainnya yang tidak bisa diabaikan adalah
munculnya methodenstreiP di Jerman pada akhir a bad 19 hingga
awal a bad 20. Meski Simmel tidak pernah tercatat sebagai pemikir
yang terlibat langsung dalam "baku hantam metode" di Jerman
tersebut, namun bagaimanapun juga--seperti terungkap di bab
III--hal itu sangat mempengaruhi Simmel dalam merumuskan
sosiologi sebagai ilmu khusus dan independen. Titik puncak dari

1 Positivisme awal itulah yang melahirkan sosiologi dan ilrnu pengetahuan sosial.
Menurut August Comte (1798-1857) sendiri sebagai Bapak Pendiri Sosiologi memandang
sosiologi berada pada titik kulminasi perkembangan berbagai disiplin ilrniah, puncak
perkembangan positivisme sendiri. Lihat F. Budi Hardiman, Kritik ldeologi: Pertauta11
Pe11getalwmz dan Kepentingan, hal. 23-26. Lihat juga Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi
Klasik dan Modem l, hal.26-27
2Historisisme Jerman merupakan suatu pendekatan yang menekankan pema-
haman atas "jiwa" (spirit) suatu masyarakat tertentu dengan suatu studi menyeluruh
tentang kebudayaan yang khusus dan berbagai tahap sejarah yang dilewatinya. Aliran
ini menolak pemberlakuan hukum-hukum fisik atau hukum alam yang deterministik
untuk kenyataan sosial. Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem l, hal. 27-
28. David Jary & Julia Jary, Collins Dictionary of Sociology, hal. 278.
3 Di antara tahun 1870-an hingga 1880-an, awal perdebatan tentang metode terjad.i
dalam disiplin ekonorni antara Schmoller dan C. Manger yang mempersoalkan apakah
ekonorni harus bekerja menurut metode eksata a tau historis, metode deduktif a tau induk-

164 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


seluruh usaha Simmel menggagas sosiologi sebagai ilmu yang
otonom terwujud ketika karya Sociolof51J muncul pada tahun 1908,
yang memunculkan bentuk-bentuk sosiasi sebagai kata kunci bagi
penelitian dalam sosiologi.
Dengan kata lain, perjuangan Simmel dalam melembagakan
sosiologi tetap tidak bisa luput dari pengaruh positivisme
(Perancis dan Inggris) maupun historisisme (Jerman) yang ketika
itu tengah saling berebut pengaruh. 4 Bahkan hampir dapat
dipastikan, teori-teori sosial (atau teori-teori di luar domain sosio-
logi) dari Simmel pun menunjukkan formula teori yang memadu-
kan unsur-unsur dari kedua aliran itu. Dalam peta perdebatan
tersebut, dapat dikatakan bahwa posisi Simmel berada di "jalan
tengah". Sebagai dasar dari argumen ini, barangkali kita bisa me-
nilik kembali kutipan ungkapan Simmel di atas. Di sana Simmel
menyatakan bahwa untuk mencari jawaban tentang makna dan
kebenaran dari realitas kehidupan, diperlukan " ... interpretasi-
interpretasi dari fakta yang diketahui dan berupaya mengambil unsur-
unsur relatifdan problema tis dari realitas so sial dalam keseluruhan sudut
pandang". Ungkapan tersebut seakan menegaskan bahwa tidak
ada kebenaran tunggal melainkan ada ban yak jalan menuju kebe-
naran. Bagi Simmel, kemajemukan pandangan dunia merupakan
hal yang esensial karena merupakan nilai-nilai elementer yang

tif, metode abstrak atau empiris. Kali kedua perdebatan tentang metode terjadi pada
akhir abad 19 hingga awal abad 20. Perdebatan tefjadi di kalangan penganut neokan-
tianisme dari Aliran Barat Daya atau Mazhab Baden, yakni antara Windelband dan
Rickert, yang mana Windelband membedakan antara nomothetic science dan ideographic
science. Pembedaan ini diperdalam Dilthey dengan membedakan Geisteswissenschaften
dari Naturwissenschaften. Lagi-lagi, pada tahun 1909 dan 1914, perdebatan di seputar
masalah syarat-syarat kemungkinan suatu ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial yang
bersifat normatif (perdebatan tentang nilai) terjadi antara Sombart dengan lawannya:
Knapp dan Max Weber. Perdebatan Sombart (yang mendukung klaim kebebasan nilai
ilmu-ilmu sosial) dan Knapp (yang menyatakan pakar ilmu-ilmu sosial harus terlibat di
dalam politik), memperoleh tangg~pan dari Weber. Dengan mengemukakan tentang
pentingnya penggabungan anta:ra metode erklaren dan verstehen dalam ilmu-ilmu sosial,
Weber mendukung prinsip kebebasan nilai itu tetapi juga tidak menyangkal adanya
relevansi nilai dari semua penelitian ilmiah. Untuk uraian metlwdenstreit ini, say a ringkas
dari F. Budi Hardiman, Kritik ldeologi: Pertautan Pengeta/man dan Kepentingan, hal. 26-28.
4 Lihat kembali uraian ini di bab III, hal 75-79.

Bab V Epilog : Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 165
harus dirajut demi nilai yang lebih hakiki, yakni nilai humanitas.
Dalam perjalanan intelektual Simmel, aspek humanitas itu sendiri
menjadi "jiwa" dari hampir seluruh tulisannya. Di sini, aspek
humanitas menjadi kunci utama Simmel dalam merekonsiliasi
sudut pandang yang saling bertentangan tersebut. Berdasar pada
keyakinan tentang nilai humanitas sebagai titik koherensi dari
berbagai sudut pandang itulah yang barangkali kita bisa katakan
bahwa posisi teori Simmel berada di jalan tengah. Posisi itu terle-
tak di antara dua aliran berikut logika kekuasaannya yang saling
berebut dominasi, yakni antara ilmu nomotetik versus idiosinkratik,
maupun antara Geisteswissenschaften versus Naturewissenschaften. 5
Uraian di atas semakin memperjelas bahwa ternyata Simmel
membangun teori yang bisa dipilah atau dikategorikan secara
berbeda dari keilmuan sosiologi. Memang, kendati Simmel ada-
lah avant-garde sosiologi di Jerman, namun sikap skeptisnya atas
proyek pelembagaan keilmuan sosiologi tetap tidak bisa dihin-
dari. Minat Simmel pada berbagai disiplin ilmu (seperti psikologi,
filsafat, etika dan estetika) menjadi alasan yang cukup kuat dan
masuk akal untuk menjelaskan sikap skeptisnya terse but. Ketika
mengupas dunia kehidupan misalnya, Simmel menekankan
bahwa antara individu (subyek) dan kenyataan obyektif menjadi
terselaraskan dalam dunia sosial. Akan tetapi perlu ditegaskan
di sini, bagi Simmel, persoalan eksistensi individu sebagai su-
byektivitas sosial tak akanterjelaskan dan terungkap secara repre-
sentatif tanpa menakar dimensi jagad mikro subyek yang tunggal
hingga jagad makro subyek yang interaktif dalam kehidupan
sosial. Pemahaman itu mengindikasikan bahwa aspek "subyek-
tivitas sosial" tidak bisa terkupas seluruhnya hanya dari unsur
sosialnya saja. Selain menganalisis--meminjam terminologi dra-

5 Untuk melengkapi argumen ini, kita bisa menilik kern bali pemyataan Donald
Levine di bab I bahwa Simmel selalu berusaha: (1) menentang segala bentuk pember-
halaan teknik dan metode dengan lebih memusatkan pada manusia sebagai tujuan utama;
(2) menentang atornisasi berbagai disiplin keilmuan dengan lebih memusatkan pada
kesalingterkaitan domain kebudayaan yang berbeda; (3) menentang alienasi oleh budaya
yang telah terobyektivikasi, dengan cara mengaitkan antara pengetahuan dengan
pengolahan kemampuan manusia.

166 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


maturgi Erving Goffman--front stage (baca: permukaan luar)
subyek yang berada dalam lapis interaksi sosial, Simmel juga tidak
menafikan takaran makna back stage (baca: nukleus individualitas)
dari subyek. Dengan menganut relationism seperti itu, Simmel
memang dituntut untuk berpijak di wilayah interseksi dari berba-
gai disiplin ilmu. Kekaryaannya menyiratkan dengan jelas bahwa
ia selalu berusaha menekankan peran-penting masing-masing
disiplin keilmuan dalam formula analisis yang menyajikan
kemajemukan makna dari keseluruhan dunia kehidupan.
Dalam hal ini, Simmel nampak menjadi sosok pemikir yang
visioner dan tampil sebagai pemuka dalam tradisi keilmuan yang
interdisipliner. Tidak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai
avant-garde sosiologi sekaligus avant-garde ilmu-ilmu sosial yang
lintas batas. Bila meminjam pelukisan Frisby, kentalnya pema-
haman sosiologi Simmel yang acapkali tertuang dalam esai-
esainya pun tidak lagi bisa digolongkan sepenuhnya dalam
disiplin sosiologi. Lebih jauh, Frisby melukiskan--sebagaimana
terpapar di atas--bahwa analisis Simmel tak ubahnya "pukat
harimau" yang mampu menjangkau hampir seluruh ceruk kehi-
dupan sosia1. 6 Agenda untuk menulis epistemologi ilmu-ilmu
sosial pada tahun 1895--kendati tidak tertuntaskan--semakin
mempertegas kepedulian Simmel mengenai hal itu. Bertolak dari
uraian di atas, pemaknaan terpenting yang bisa dikemukakan di
sini adalah bahwa pemikiranSimmel mengandung kepekaan dan
menganut kemajemukan cara pandang yang melampaui takaran
jamannya. Meskipun pada jamannya Simmel dicap sebagai sosok
pemikir yang mencampuradukkan berbagai dimensi keilmuan,
namun naga-naganya sejarah ilmu-ilmu sosial-humaniora kini
berbalik arah menuju semangat interdisipliner seperti yang
dirasuk Simmel.
Kedua, menyoal kembali teori sosiologi kebudayaan Simmel,
hampir seluruh topik yang dikemukakan berkaitan dengan pola
hubungan individu dan kelompok (struktur masyarakat/kebu-

6 Frisby, Georg Simmel, hal. 150.

Bah V Epilog. Georg Simme/ Dan Cetak Biru Teori Sosiai-Lintas Batas 167
dayaan) yang menghasilkan beragam dinamika berikut proble-
matikanya sendiri, sesuai dengan interaksi sosial dan konteks
sosial yang mengkerangkainya. Basis pemahaman Simmel itu
dapat ditemukan dalam perspekti£ sosiologis ten tang tiga a priori
bentuk-bentuk sosiasi: peran, individualitas dan struktur, yang
termuat dalam karyanya How is Society Possible? Bila dikaitkan
dengan teori sosial kontemporer, pemahaman Simmel itu sangat
dekat dengan pengertian dari "triad dialektis" Berger. Tatkala
membedah kebudayaan modern (pada locus masyarakat metropo-
lis), nampak jelas analisis Simmel memuat aspek, dimensi keil-
muandan sudut pandang yang majemuk. Mengenai hal itu,
mengutip kembali penjelasan Levine, Simmel menetapkan suatu
rangkaian analisis yang tidak tersatukan dalam skema inter-
pretasi yang tunggal. Di dalamnya terkandung empat praandai-
an yang mendasari seluruh analisisnya tentang kebudayaan,
masyarakat dan personalitas. Keempat praandaian itu dapat diiden-
tifikasikan sebagai prinsip bentuk (menyoroti struktur dan makna
identitas dari isi kehidupan sosial yang terstruktur dalam bentuk-
bentuk), prinsip resiprositas (menjelaskan tingkat resiprositas
diantara individu-individu dan kelompoknya), prinsip jarak
(mengungkap kenyataan bahwa bentuk-bentuk sosial ditetapkan
pada tingkatan yang berkaitan dimensi jarak interpersonal) dan
prinsip dualisme (membahas dualisme sosiologis tertentu). Realitas
masyarakat modern yang terkerangkai oleh analisis pada tingkat
mikro hingga makro pun semakin mematangkan anggapan pe-
rihal kemajemukan cara pandang Simmel itu. Ketika menganalisis
problem kebudayaan modern misalnya, Simmel mengupas tidak
dari superstruktur masyarakat melainkan dari dimensi yang
sangat mikro yakni pada aras (core) individualitas (manusia mo-
dem). Bahkan yang lebih memukau, Simmel mengupasnya dalam
konteks kehidupan keseharian yang sangat "remeh". Dalam kaji-
an tentang individualitas a tau personalitas itu, akan nampak jelas
betapa Simmel sungguh tidak bisa menafikan peran berbagai
disiplin seperti ilmu filsafat, psikologi, dan lain-lain, sebagaimana
yang terlukis dalam sejumlah karyanya seperti Metropolis and Men-
tal Life , The Philosophy of Money, dan lain-lain.

168 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Ketiga, upaya mengkonstruksikan berbagai tulisan yang
saling lepas dari Simmel ke dalam "label keilmuan tertentu" --
seperti halnya buku ini--memang mengandung prasyarat dan
konsekuensi tersendiri, yakni (1) perlunya kehati-hatian dalam
mengambil, memilah, mengkategorisasi, dan menginterpre-
tasikan aspek-aspek dan dimensi keilmuan terkait. Kehati-hatian
itu perlu dijaga untuk menghindari terjadinya kontradiksi ide di
antara tulisan-tulisan yang dikelompokkan tersebut. (2) Kendati
prasyarat itu telah terpenuhi, namun penekanan kajian hanya dari
satu sisi disiplin ilmu (sosiologi) semata mengandaikan kemeru-
cutan atau keluputan sisi, aspek dan dimensi keilmuan lain yang
juga dipakai Simmel untuk membedah realitas kehidupan mo-
dern (yang selain filsafat dan psikologi seperti disebut di atas,
juga dikupas dari sisi estetika bahkan etika).
Keempat, menimbang pada sifat rentan itu, catatan penting
lainnya yang ingin saya ungkapkan di·sini adalah bahwa pema-
paran kembali tulisan-tulisan Simmel dan memasukkannya dalam
ranah sosiologi kebudayaan cenderung menghasilkan grand nar-
rative yang niscaya jauh lebih rigid ketimbang esai-esai lepas yang
dibaca menurut sifat otonom dari masing-masing tulisan itu
sendiri. Tentu saja catatan ini menjadi kritik tersendiri atas buku
ini, kendati sejak awal, saya menyadari bahkan berulangkali me-
lontarkan kekhawatiran perihal "proyek" pelacakan pemikiran
Simmel dalam ranah sosiologi. Bagaimanapun juga, harus saya
akui bahwa ada yang "bolong" dalam buku ini. Oleh karena itu,
guna menutup "bolongnya" peta pemikiran Simmel di wilayah
teori-teori sosial itu, kita perlu melanjutkan penelitian secara lebih
detail mengenai esai-esai Simmel yang kontekstual (berikut
wataknya yang interdisipliner). Dengan begitu, pencermatan
Simmel pada kekuatan-kekuatan historis dan semangat jaman
menjadi lebih transparan. Tepat pada titik inilah ungkapan Frisby
dalam kutipan di atas pantas untuk dicermati. Menurut saya,
pernyataan Frisby itu tidak lain adalah ajakan sekaligus tantangan
yang menarik bagi kita untuk berekskursi dalam keluasan dimensi
teori-teori sosial Simmel. Dengan ekskursi itu, niscaya kita akan

Bab V Epilog: Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 169
memperoleh capaian-capaian perihal teori-teori sosial Simmel
yang bisa dijadikan model bagi pengembangan teori-teori sosial(-
humaniora) yang lintas batas.
Bertolak dari tantangan Frisby itu, lantas muncul perta-
nyaan, mungkinkah teori-teori Simmel bisa menjadi model bagi
pengembangan ilmu-ilmu sosiallintas batas? Tentu saja, perta-
nyaan itu tidak semata-mata dialamatkan pada saya pribadi. Alih-
alih, pertanyaan itu tertujukan juga kepada para pembaca yang
berminat mendalami teori-teori sosial Simmel maupun mereka
yang peduli pada pengembangan teori sosial yang interdisipliner.
Sebagaimana yang seharusnya (das sollen)--lantaran tuntutan
jaman memang begitu--semangat anti kekakuan metodologi
dalam ilmu-ilmu sosial(-humaniora) seperti itu pantas untuk
dihidupkan dan dikembangkan terus. Upaya tersebut tentu saja
harus dipahami sebagai representasi kegelisahan ilmuwan-
ilmuwan sosial atas pembedaan disiplin keilmuan yang ketat dan
kaku, yang hingga kini masih berlangsung. Berdasar pada
kenyataan itu, bukankah dominasi cara pikir diametral", cara
II II

pandang yang tunggal-terkotakkan" atau kebiasaan pada11

struktur pendisiplinan ilmu-ilmu sosial seperti itulah yang


seharusnya segera didesakkan untuk dikritisi, kalau toh tidak mau
disebut, untuk dibongkar?
Bila kita merunut kembali historiografi ilmu-ilmu sosial,
upaya itu sesungguhnya telah bergulir di Benua Eropa maupun
Amerika sejak tahun 1945. Terjadinya konvergensi berbagai di-
siplin keilmuan pada saat itu memunculkan kajian-kajian yang
baru seperti: areas studies, development studies, women's studies, media
studies, cultural studies, human rights studies, dan lain-lain. Seiring
dengan perkembangan jaman, kajian-kajian tersebut muncul
sebagai studi modern ten tang kehidupan, yang berusaha meres-
pon dan menjawab perubahan dunia global berikut problematika
yang kian rumit. Kini berbagai studi itu makin berkembang pesat
dengan subject matter yang jauh lebih beragam dan konvergen.
Karena itulah kini kita mengenal apa yang disebut sebagai ilmu
kompleksitas. Fenomena tersebut menunjukkan adanya kecen-

170 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


derungan kuat dari para ilmuwan untuk memadukan dan me-
ngaitkan fungsi maupun peran berbagai disiplin seperti ilmu
sosial, ilmu humaniora maupun ilmu alam. Sebagai co11toh, kita
bisa menyebut salah seorang ilmuwan sosial kontemporer yang
sangat concern pada pengembangan ilmu-ilmu sosial yang inter-
disipliner, yakni Immanuel Wallerstein. Dalam khasanah ilmu-
ilmu so sial kontemporer, kita telah mengenal Wallerstein dengan
teorinya tentang sistem dunia. Secara ringkas, teori sistem dunia
sering dipahami sebagai sintesis atas suatu tradisi panjang berupa
penyusunan teori tandingan yang mempersoalkan dasar-dasar
teoritis ilmu sosial Barat. Melalui kritiknya atas mitos pengorgani-
sasian yang dominan dalam historiografi abad ke-19 dan ke-20,
Wallerstein menawarkan skema teoritis a tau mitos pengorganisir
alternatif, yang dalam analisis-analisisnya selalu menekankan
bahwa sifat interdisipliner merupakan metode terpenting bagi
teori sistem dunia tersebut? Dalam upaya mendorong refleksi
tentang kondisi global saat ini dan masa depan ilmu-ilmu sosial,
Wallerstein lebih jauh memprakarsai pembentukan Komisi
Gulbenkian tentang Restrukturisasi Ilmu-Ilmu Sosial pada Juli 1993,
yang menghasilkan laporan/buku yang berjudul Open The Social
Science (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
Lintas Batas Ilmu Sosial). 8
Kembali pada ulasan tentang teori-teori sosial Simmel, kira-
nya apa yang bisa dimaknai dari paparan mengenai perkem-
bangan ilmu-ilmu sosial kontemporer di atas? Bila diletakkan
dalam kerangka tafsir ke-kini-an, sudah bisa diduga, uraian di
atas hendak menegaskan bahwa apa yang diperjuangkan
Wallerstein terkait erat --atau paling tidak sejalan-.:dengan
kepedulian dan keberpihakan Simmel pada model ilmu-ilmu

7 Malcolm Alexander dan Jhon Gow dalam Peter Beilharz (ed.), Teori- Teori Sosial:
Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka (penerjemah Sigit Jatmika), Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2002, hal. 351-353.
8 Secara garis besar buku/laporan itu mengangkat tiga hal penting: (1) bagaimana
ilmu sosial secara historis dikonstruksikan sebagai suatu bentuk pengetahuan, dan
mengapa pengetahuan tersebut dibagi-bagi ke dalam suatu kumpulan spesifik berbagai

Bab V Epilog : Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 171
sosial yang lintas batas sejak akhir abad ke-19. Kendati Simmel
sama sekali belum "mampu" --lebih tepatnya belum sampai--
merumu~kan formula teori-teori sosial yang jelas sebagaimana ·
yang disusun Wallerstein, namun patut diakui bahwa Simmel
jauh lebih dulu menghidupi embrio ilmu-ilmu sosial yang
interdisipliner seperti itu. Bila karya kedua tokoh itu dikompa-
rasikan akan nampak jelas bahwa intensitas perhatian dari
Wallerstein pada masalah-masalah epistemologis dan metodo-
logis9 jauh lebih menonjol ketimbang Simmel. Mengenai hal itu,
kita tentu masih ingat bahwa Simmel memang secara sadar
berusaha menghindari wacana seputar metodologi serta lebih
memilih untuk berkarya secara "liar". Apa yang hendak say a
ungkapkan di sini adalah bahwa formula ilmu-ilmu sosial-
interdisipliner dari Wallerstein tersebut bisa kita posisikan sebagai
kerangka yang capable untuk mengkontekstualisasikan teori-teori
sosial Simmel.
Menyoal hal itu, kita sebenarnya memasuki apa yang oleh
C. Wright Mill dimaknai sebagai sociological imagination, yakni
suatu alat a tau metode berfikir yang memungkinkan kita mampu
memahami sejarah dan biografi serta keterkaitan keduanya dalam
masyarakat sebagai bagian dari upaya manusia/ masyarakat
kontemporer membangun kesadaran-dirinya. 10 Oleh sebab itu,

disiplin keilmuan yang relatif terstandarisasi (sejak akhir abad 18 hingga 1945), (2)
membongkar cara-cara dimana perkembangan dunia dalam periode sejak 1945
mendorong timbulnya pertanyaan tentang pembagian kerja intelektual, sekaligus
membuka kembali isu-isu mengenai strukturisasi keorganisasian yang telah ditanamkan
dalam periode sebelumnya, dan (3) membentangkan serangkaian persoalan intelektual
mendasar yang banyak diperdebatkan akhir-akhir ini. Untuk risalah ini lihat Immanuel
Wallerstein, Lintas Balas llmu Sosial (penerjemah Oscar), Yogyakarta: LkiS, 1996, haL 145-
146.
9 Malcolm Alexander dan Jhon Cow dalam Peter Beilharz (ed. ), Op. Cit., hal. 352.
10 Dengan imajinasi sosiologis, Mill meyakini, bahwa: " .. apa yang disebut anal isis sosial
klasik mentpakan permzgkat tradisi yang tetap bisa dimaknai dan digunakan [zmtuk konteks saat
ini]; balzwa ciri-ciri terpentingnya memiliki pertalian dengan stmktur sosiallzistoris; dan bahwa
persoalan-persoalan yang diangkat terkait langszmg dengan isu-isu publik maupun perlzatian
pada berbagai kesulitan yang dihadapi man usia. [Oengan cara itu] ... saat ini tidak ada lagi kendala
yang berarti bagi keberlangszmgan tradisi tersebut...Untuk uraian ini, lihat C Wright Mill,
Sociological Imagination, New York: Oxfoord University Press, 1978, hal, 6, 7, 21.

172 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


di penghujung epilog ini, saya akan mencoba menampilkan salah
satu contoh teori Simmel yang mencirikan tradisi ilmu-ilmu sosial
yang lintas batas tersebut. Sekilas saya akan mengulas karyanya
tentang space.
Selama ini signifikansi ruang (space) h~rada di tingkat pi-
nggiran dalam lingkup kajian disiplin keilmuan secara luas. Tema
itu hanya menjadi bagian kecil dari kajian seperti: sosiologi perko-
taan, sosiologi arsitektur, ataupun geografi sosial. Dalam catatan
Lechner, di antara para sosiolog klasik, ternyata hanya Georg
Simmel yang mengkaji ruang secara sistema tis. Secara garis besar,
penjelasan Simmel tentang space berbeda dengan perspektif spa-
tial determinism (yang beranggapan bahwa fungsi ruang hanya
sebagai konteks dari tindakan) maupun perspektif social construc-
tionism (yang beranggapan bahwa ruang semata-mata sebagai
konstruksi sosial). Berada di antara dua perspektif itu, Simmel
menegaskan posisinya dengan menegaskan signifikansi space
dalam dua bagian, yakni (1). menjelaskan aspek-aspek ruang yang
relevan secara sosial dan (2) mempertimbangkan pengaruh
bentuk-bentuk sosial pada kondisi-kondisi spasial. Dalamhal ini,
Simmel ingin menekankan bahwa berbagai bentuk sosiasi tidak
akan bisa dipahami· tanpa memperhitungkan konteks spasial
maupun tata guna ruang mereka. 11
Ketika membahas ruang yang memiliki relevansi sosial,
Simmel mengidentifikasi beberapa aspek terkait seperti: eks-
klusivitas, pembagian ruang, ketetapan ruang untuk bentuk-
bentuk sosial, jarak ruang, mobilitas lintas ruang, dan lain-lain.
Relevansi sosial tersebut dibeberkan dengan mengkaitkan
berbagai hal berikut: penguasaan ruang secara eksklusif dengan
konfigurasi sosial; pembagian (batas) ruang dengan tingkat
integrasi, keteraturan ataupun konflik dalam masyarakat; kete-

11 Kendati sumbangan besar dari Simmel tersebut pada awalnya tidak banyak
dikenal, namun dalam beberapa dekade terakhir kajian sosiologis mengenai ruang itu
mulai dikembangkan seperti oleh Giddens, Harvey dan lain-lain. Untuk risalah ten tang
ruang ini lihat Frank J. Lechner, Simmel on Social Space dalam Theon; Culture & Socieh;
Vol. 8 Number 3 August 1991, hal. 195-199.

Bab V Epilog : Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosiai-Lintas Batas 173
tapan ruang untuk bentuk-bentuk sosial dikaitkan dengan ruang 11

personal" (dunia privat individu); tingkat kedekatan jarak di-


kaitkan dengan tingkat hubungan emosional ataupun idealisasi
dari interaksi; kedekatan jarak secara fisik dikaitkan dengan
konfigurasi hubungan sosial (misalnya transaksi); tingkat mobi-
litas (misalnya kelompok nomaden) dikaitkan dengan tingkat
diferensiasi internal atau tingkat integrasi kelompok; dan lain-
lain.
Sementara itu, ketika membahas tentang pengaruh bentuk-
bentuk sosial pada kondisi-kondisi spasial, Simmel menjelas-
kannya dalam contoh berikut: organisasi sosial biasanya butuh
semacam pengelolaan ruang. Semisal bentuk organisasi politik-
. rasional biasanya memiliki kecenderungan untuk melakukan
penataan secara spasial, yang mana rakyat diklasifikasi menurut
lokasi ketimbang ikatan emosinal (rasa simpati). ~ila menyangkut
penguasaan (dominasi) ataupun pembagian wewenang biasanya
mereka juga memerlukan semacam kontrol teritorial. Implikasi-
implikasi spasiallainnya terkait juga dengan bentuk solidaritas
organisasi, di mana bentuk-bentuk sosiasi yang memiliki ruang II

a tau kewilayahan sendiri" tentu saja sangat berbeda dengan aso-


siasi yang berbasis pada masa mengambang.
Dari uraian di atas, kita bisa mencermati bahwa Simmel
menggunakan perpaduan dari berbagai pendekatan dan
perspektif. Di samping menggunakan pendekatan abstrak-formal
(misalnya ketika membahas tentang mobilitas virtual) dan
muatan-historis khusus, Simmel melengkapinya dengan per-
spektif mikro (seperti ruang privat individu, hubungan interper-
sonal) maupun perspektif makro (seperti negara, agama, orga-
nisasi politik) agar bisa mengkerangkai seluruh dimensi kehidup-
an sosial. Bila kajian di atas diurai berdasarkan disiplin ilmu yang
terkait, kita akan menemukan paduan bukan saja ilmu-ilmu sosial
humaniora seperti: sosiologi, filsafat, psikologi, ilmu politik me-
lainkan juga berkaitan dengan estetika, ilmu ekonomi bahkan
ilmu pasti seperti geometri, arsitektur, dan lain-lain.
Mengenai hal itu, sekilas kita bisa menilik kembali beberapa
karya Simmel tentang ruang yang tercakup dalam analisisnya

174 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


tentang modernitas. Di sini, lanskap metropolis Berlin menjadi
lokus yang representatif bagi Simmel untuk menganalisis berbagai
dimensi ruang kehidupan modern, baik yang bersifat abstrak
(dimensi sosial dan psikologis, filosofis) maupun yang riil (dimen-
si spasial fisik). Dalam karya Metropolis and Mental Life misalnya,
kita akan menemukan penggambaran Simmel bahwa pening-
katan kompleksitas fisik dari ruang metropolis--seperti penduduk
yang padat, lalu lintas yang ruwet, aktivitas kerja yang sangat
heterogen, perputaran ekonomi uang yang sangat cepat, tingginya
tingkat diversitas sosial--sangat menentukan struktur (ruang) ke-
pribadian dan gaya hidup individu maupun supra-individu. Da-
lam karya ini, penjelasan tentang bagaimana manusia metropo-
lis mengelola ruang, nampaknya Simmellebih banyak menyorot
dimensi ruang (yang abstrak) di tingkat mikro.
Karya Simmel di seputarestetika kehidupan modem (seper-
ti Die Mode) juga melukiskan hal serupa. Pesatnya perkembangan
estetisasi maupun stilisasi lanskap metropolis melalui arsitektur,
papan iklan, jendela pajang toko, iklan, dan rambu-rambu jalan
mengindikasikan suatu percepatan stilisasi "ruang interior" oleh
individu dalam kerangka mengekspresikan subyektivitasnya.
Dari pemahaman itu, kita bisa paham bahwa persoalan seperti
budaya konsumtif sejatinya merupakan bagian yang tak terpi-
sahkan dari fenomena tentang fragmentasi estetika kehidupan
modem. Untuk menelusuri lebih lanjut dimensi ruang serupa,
kita bisa menunjuk karya Simmel seperti Berlin Trade Exhibition,
Alpine Journey, dan lain-lain.
Lebih jauh, dalam magnum opus The Philosophy of Money
maupun dalam Money in Modern Culture, kembali kita akan
menemukan identifikasi Simmel mengenai kecenderungan cara
masyarakat modern mengelola ruang dalam dimensinya yang
abstrak. Simmel menganggap uang sebagai medium yang abstrak;
suatu perwujudan abstrak dari nilai benda sekaligus perwujudan
abstrak dari bentuk pertukaran ekonomi dalam dunia modern
yang mensyaratkan adanya abstraksi dari individulitas, dan
dibutuhkan kapasitas intelektual bagi abstraksi tersebut. Prinsip
ruang seperti ini bisa diletakkan dalam pemahaman Simmel

Bab V Epilog: Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 175
ten tang pengelolaan ruang( -abstrak) antara persepsi dan pengala-
man.
Sesungguhnya masih banyak teori-teori sosial Simmel yang
bisa diaplikasikan untuk konteks saat ini. Kembali pada ~genda
untuk mengembangkan teori-teori sosial yang interdisipliner, kita
bisa memilih sejumlah tema yang ditawarkan dalam karya-karya
Simmel seperti alienasi, budaya uang, hierarki sosial, trend sosial,
dan lain-lain. Bagaimanapun juga tema-tema tersebut masih
relevan dengan diskursus dan teori-teori kontemporer seperti:
filsafat, sosiologi, ekonomi, psikologi sosial, studi budaya, politik,
maupun estetika. Akhirnya, perkenankan saya menyerahkan
tugas penyempurnaan pemetaan teori-teori Simmel ini kepada
para pembaca. Sudah pasti, ada banyak pilihan yang bisa
ditempuh untuk itu, kecuali jika kita memang mau memilih diam
dan tetap menerima kenyataan atas ketertinggalan wacana
tentang pemikiran Simmel seperti sekarang ini. Upaya penyem-
purnaan itu tentu saja akan sangat berarti bagi kita, baik dalam
kerangka menggali nilai-nilai edukatif hingga praksis darinya,
maupun dalam kerangka mempersiapkan datangnya era baru
yang lebih gemilang dalam sejarah ilmu-ilmu sosial-humaniora
di Indonesia.[]

176 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Lampiran
I
I
I I
I I
I I
II
fl
fl
fl
fl
fl
I
I
Lampiran I. Tulisan-Tulisan Simmel dalam Urutan Tahun
•Psychological and Ethnographic Studies on Music (1882)
•Dante's Psychology (1884)
•Etichs with Special Reference to Sociological Problems (materi kuliah
1887)
•SocialPsychology -with special reference to Socialism (materi kuliah
1889-1909)
• The Psychology of Money (makalah seminar 1889)
•On Social Differentiation: Sociological and Psychological Investiga-
. tions (1890)
•The Problems of Sociology (1894)
•"The Philosophical Gmsequences of Darwinism" (seminar 1886/
1887)
•"Recent Philosophical Theon/' (materikuliah dan seminar 1887-
1891)
•The Problems of Philosophy of His ton; (1892)
•Introduction to Moral Philosophy (1892-1893)
•On The Relation between the Doctrine of Selection and Epistemology
(1895)
• The Philosophy of Money (1900).
•The Metropolis and Mental Life (1903).
•Kant (1904)
•Problems of the Philosophy of History (edisi kedua, 1905)
• Kant and Goethe (1906)
• Religion (1906)
• Schopenhauer and Nietzsche (1907)
• Sociology (1908)
•Rembrandt (1916)
•On the Concept and Tragedy of Culture (1911)
•The Crisis of Culture (1917)
• Basic Questions of Sociology (1917)
•The Conflict in Modern Culture (1918)
• Lebensanschauung (1918)
•On the Philosophy of Art, (kumpulan tulisannya yang baru terbit
tahun 1922)

Lamp iran 179


Lampiran II. Karya-Karya Simmel (dalam Jurnal dan Buku)
Simmel, G. 1890. Uber sociale Differenzierung. Leipzig: Duncker &
Humblot.
Simmel, G. 1893. 'Moral Deficiencies as Determining Intellectual
Functions', International Journal of Ethics 3.
Simmel, G. 1894195. 'Das Problem der Sociologie', Jahrbuch fur
Gesetzgebung, Verwaltung und Volkswirtschaft, Vol
18.(1894).'The Problem of Sociology', Annals of American
Academy of Political Science 6.(1895).
Simmel, G. 1896. 'Superiority and Subordination as Subject-Mat-
ter of Sociology', The American Journal of Sociologtj 2 (2)
Simmel, G.1897198. 'The Persistence of Social Groups',American
Journal ofSociologtj 3(4).
Simmel, G. 1899. 'II problema della sociologia', Riforma sociale 6.
Simmel, G. 189911900. 'A Chapter in Philosophy of Value', The
American Journal of Sociologtj 5.
Simmel, G. 1902. 'Tendencies in German Life and Thought Since
1870', International Monthly 5.
Simmel, G. 19021 3. 'The Number of Members as Determining
the Sociological Form of the Group', The American Journal
of Sociologtj 8.
Simmel, G. 190314. 'The Sociology of Conflict', The American Jour-
nal Sociologtj 9.
Simmel, G. 1904. 'Fashion', International Quarterly 10.
Simmel, G. 1905l6a. 'A Contribution to The Sociology of Reli-
gion', The American Journal of Sociologtj 11.
Simmel, G. 1905I 6b. 'The Sociology of Secrecy and of the Secret
Societies', The American Journal of Sociologtj 11.
Simmel, G. 1908. Soziologie. Leipzig: Duncker & Humblot.
Simmel, G. 1909. De godsdienst. Amsterdam: Cohen.
Simmel, G. 1909I 10.'The Problem of Sociology', The American Jour-
nal of Sociologtj 15.
Simmel, G. 1910.'How Is Society Possible?', The American Journal
ofSociologtj 16.
Simmel, G. 1912. Melanges de philosophie relativiste. Paris: Alcan.

180 Problem Modernitas dalam Keranglw Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Simmel, G. 1915. Schopenhauer & Nietzsche. Madrid: Beltran.
Simmel, G. 1917a.'Individualismus Formen', Spectator, 28 Janu-
ary.
Simmel, G. 1917b. Grundfragen der Soziologie. Berlin/ Leipzig:
Goschen
Simmel, G. 1917c. Der Krieg und die geistigen Entscheidungen.
Munich/ Leipzig: Duncker & Humblot.
Simmel, G. 1918a. Der Konflikt der modernen Kultur. Munich/
Leipzig: Duncer & Humblot
Simmel, G. 1918b. Lebensanschauung. Munich/ Leipzig: Duncer
& Humblot. ·
Simmel, G.1922. Zur Philosophie der Kunst. Potsdam: Kiepenheuer.
Simmel, G. i 923. Fragmente und Aufsatze. Edited with an afterword
by G. Kantorowicz. Munich: Drei Masken Verlag.
Simmel, G. 1949. 'The Sociology of Sociability', The American Jour-
nal of Sociology 55.
Simmel, G. 1950. The Sociology of Georg Simmel, ed. & trans. By
Kurt H. Wolff New York, The Free Press.
Simmel, G. 1955/6. Conflict and the Web of Group Affiliations.
Glencoe, IL: Free Press.
Simmel, G. 1958. Anfang einer unvollendeten Selbstdarstellung, in
K. Gassen and M. Landmann (editors), Buch des Dankes an
Georg Simmel, Berlin, Duncker & Humblot, 1958.
Simmel, G. 1959. Sociology of Religion. Translated by C. Rosenthal
and introduced by F. Gross. New York: Philosophical Li-
brary.
Simmel, G. 1965. 'The Poor', Social Problems 13 (2).
Simmel, G. 1968a. The Conflict in Modern Culture and Other Essays.
Translated and Introduced by K.P Etzkorn. New York: The
Theachers' College Press.
Simmel, G. 1968b. 'A Review of Social Medicine', Social Forces, 47
(3).
Simmel, G. 1971. On Individuality and Social Forms. Edited and
introduced by D.N Levine. Chicago: University of Chicago
Press.

Lamp iran 181


Simmel, G. 1976. 'The Conflict in Modern Culture', pp.223-42 in
Georg Simmel. Edited and Translated by P.A Lawrence.
London: Nelson & Sons.
Simmel, G. 1977. The Problems of the Philosophy of Histon;. Trans-
lated and Edited by Guy Oakes. New York: Free Press.
Simmel, G.1978. (1900) The Philosophy ofMoney (second, enlarged
edition). Translated by T.B. Bottomore and D. Frisby and
introduced by D. Frisby. London/ Boston: Routledge.
Simmel, G. 1980. Essays on Interpretation in Social Science. Trans-
lated and introduced by G. Oakes. Totowa, NJ: Rowman &
Littlefield; Manchester: Manchester University Press.
Simmel, G. 1984. On Women Sexuality and Love. Translated and
introduced by G. Oakes. New Haven/ London: Yale Uni-
versity Press.
Simmel, G. 1986. Schopenhauer and Nietzsche. Translated and in-
troduced by H. Loiskandl, D. Weinstein and M. Weinstein.
Amherst: University of Massachusetts Press.
Simmel, G. 1986. 'Die Mode', pp. 38-63 in Die philosophische Kultur,
Berlin: Wagenbach Verlag.

182 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Lampiran III. Karya-Karya tentang Georg Simmel

No Tahun JudulBuku Penulis

1 1925 The Social Theory of Georg Simmel Nicholas John


Spykman

2 1937 Filosofisk kultur; Georg Simmel John Nome


som moderne tenker

3 1946 Moderne doodsproblematiek: een Reiner Franciscus


vergelijkende studie over Simmel, Beerling
Heidegger en Jaspars

4 1959 Die deistige Gestalt Georg Simmels Margarete Susman

5 1962 Die Tragik in der Existenz des mo- Isadora Bauer


dernen Menschen bei Georg Simmel

6 1962 Experience and Culture: The Philo- Rudolf Herbert


sophy of Georg Simmel Weingartner

7 1968 Teoria della conoscenza e filosofia Giorgio Di Gio-


della vita in Georg Simmel vanni

8 1970 Von Georg Simmel zu Franz Hans Liebeschiitz


Rosenzwieg

9 1971 Georg Simmel: die Grundlagen Heribert J. Becher


seiner Soziologie

10 1974 Geometrie van de samenleving: A.M. Bevers


filosofie en sociologie in het werk
van Georg Simmel

11 1974 Methode unde Geschicthe: die Heinrich Brinkman


Analyse der Entfremdung in Georg
Simmels "Philosophie des Geldes

Lampiran 183
12 1974 Die soziologische Gesamtkonzeption Peter-Ernst
Georg Simmels; eine wissenschafts Schnabel
historische und wissenschafts
theoretische Untersuchung

13 1978 Einheit und Zwiesplat: zum hegeli- Petra Christian


anisierende Denken in der Philoso-
phie und Soziologie Georg Simmels

14 1979 Studies in intellectual breakthrough: Charles David


Freud, Simmel, Buber Axelrod

15 1980 Simmel and Parsons: two approaches Donald Nathan


to the study of society Levine

16 1980 Simmel Slawomir Magala

17 1981 Soziologie als exakte Wissenschaft: Heinz-Jtirgen


Georg Simmel Ansatz und seine Dahme
Bedeutung in der gegewartigen
Soziologie

18 1981 Immanent Transzendenz: Petter-Otto Ullrich


Georg Simmels Entwurf einer nach-
christlichen Religionsphilosphie

19 1982 La democrazia insicura: etica e Bruno Accarino


politica in Georg Simmel

20 1982 Georg Simmel: dalla filosofia del Vittorio D' Anna


denaro alia filosofia della vita

21 1982 Georg Simmels Konzeption von Sibylle Hubner-


Gesellschaft: ein Beitrag zum Funk
Verhaltnis von Soziologie, Asthetik
und Politik

184 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


22 1982 Die Geschichtsphilosophie Georg Sakiko Kitagawa
Simmels

23 1983· Homo duplex: die Zweiheit des Men- Regina Mahlmann


schen bei Georg Simmel

24 1984 Sociology at the turn of the century: Yoshio A toji


on Georg Simmel in comparison with
F.Tonnies, M. Weber and E.Durkheim

25 1984 Georg Simmel David Frisby

26 1985 Dynamik der Formen bei Georg AM Bevers


Simmel: eine Stu die tiber die metho-
dissche und theoretische Einheit eines
Gesamtwerkes

27 1986 Fragments of modernity: theories of David Frisby


modernity in the work of Simmel,
Kracauer, and Benjamin

28 1986 Dilthey, Simmel und Verstehen: !Horst Jiirgen Helle


Vorlesungen zur Geschichte der
Soziologie

29 1987 Individualitat, Geld und Rationalitat: Friedrich


Georg Simmel zwischen Karl Marx Pohlmann
und Max Weber

30 1987 Weber contro Simmel; l'epistemologia Sandro Segre


di Simmel alia prova della "sociologia
comprendente"

31 1987 Das Freiheitsproblem bei Georg Erhard Volzke


Simmel

Lampiran 185
32 1988 Subjektivitat ohne Substanz: Georg Klaus Peter
Simmels Individualitatsbegriff als Biesenbach
produktive Wendung einer theore-
tischen Erniichterung

33 1988 Dietro il paesaggio: saggio su Simmel Laura Boella

34 1988 Literary methods and sociological Bryan Green


theory: case studies of Simmel and
Weber

35 1988 Soziologie und Erkenntnistheorie Horst Jiirgen Helle


bei Georg Simmel

36 1988 Sapere della superficie: da Nietzsche Marco Vozza


a Simmel

37 1989 La pensee de Georg Simmel: contribu- Fran<;ois Leger,


tion a l'histoire des idees en Allemag-
ne au debut du Xxe siecle

38 1989 Frauenfragen, Miinergedanken: zu Marianne Ulmi


Georg Simmels Philosophie und So-
ziologie der Geschlechter

39 1990 Struktur & Dynamik sozialer Prozesse: Manfred


makrosoziologische Aspekte der Kauffmann
Kulturentwicklung bei Georg Simmel

40 1990 Principi metodologici nella sociologia Sandra Segre


di Simmel

41 1991 Der Konflikt zwischen dem Begriff des Maria Luisa P.


Individuums und der Geschlechter- Cavana
theorie bei Georg Simmel und Jose
Ortega y Gasset

186 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


42 1991 Georg Simmels Beitrag zur Padagogik Stefan Danner

43 1991 Von Georg Simmel zu Martin Heide- Michael


· gger: Philosophie zwischen Leben Grossheim
und Existenz

44 1991 Georg Simmel: la filosofia della storia Francesco Mora


tra teoria della forma e filosofia della
vita

45 1992 Simmel and Since: Essays on Georg David Frisby


Simmel' s Social Theory

46 1992 Sociological impressions: a reassess- David Frisby


ment of Georg Simmel' s social theory

47 1992 Subjektive und objektive Kultur:Georg Ursula Menzer


Simmels Philosophie er Geschlechter
vor dem Hintergrund seines Kultur-
Begriffs

48 1993 Money and the Modern Mind: Georg Gianfranco Poggi


Simmel' s Philosophy of Money

49 1993 Postmodern(ized) Simmel Deena Weinstein


& Michael Wein-
stein

50 1994 11 conflitto della modernite: il pensiero Alessandro Dal


di Georg Simmel La go

51 1994 Die Kunst als Gegenstand der Kultur Felicitas Dorr-


analyse im Werk Georg Simmels Backes

52 1994 "Aus dem Tempel der Sehnsucht": Ute Luckhardt


Georg Simmel und Georg Lukacs:
Wege in und aus der Moderne

Lamp iran 187


53 1994 A blend of contradictions: Georg Ann-Mari Seller-
Simmel in theory and practice berg,

54 1994 Lebenspathos und Decadence urn ~ngeia Sendlinger


1900: studien zur Dialektick der De-
cadence und Lebensphilosophie am
Beispiel Eduard von Keyserlings und
Georg Simmels

56 1995 Individualisierung: Georg Simmel, Nicola Ebers


Norbert Elias, Ulrich Beck

57 1995 Geld, Wirtschaft und Gesellschaft: Paschen von Flo-


Georg Simmels "Philosophie des tow
Gel des"

58 1996 Der junge Simmel: in Theoriebezie- Klaus Christian


hungen und sozialen Bewegungen Kohnke

59 1997 Georg Simmel and the American Gary Jaworski


Prospect

60 1998 Georg Simmel: moraalfilosoof van de Tom Claes


moderniteit

61 1998 Mehr-als-Kunst: zur Kunstphiloso- Ute Faath


phie Georg Simmels

62 1998 Das Leben der Form: Georg Simmels Alois Kolbl


kunstphilosophischer Versuch tiber
Rembrandt

63 1998 Georg Simmels Religionstheorie Volkhard Krech

188 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Daftar PustaRa
I
I I
I I
I I
I I
I I
II
II
I
Daftar Pusta~a
Buku
Abrahamson, Mark. 19.. Sociological Theory; An Introduction to Con-
cept, Issues and Research, New Jersey: Prentince
Hall. & Englewood Cliffs.
Axelrod, Charles David. 1979. Studies in Intellectual Breakthrough:
Freud, Buber and Simmel, Amherst: University
of Massachusetts Press.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Beck, Ulrich, Giddens, Anthony & Lash, Scott. 1995. Reflexive
Modernization: Politics, Tradition and Aesthetics in
The Modern Social Order. Cambridge: Polity
Press.
Beilharz, Peter. 2002. (penerjemahSigitJatmiko), Teori-Teori Sosial:
Observasi Kritis terhadap Para FilosofTerkemuka,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Daflar Pustaaka 191


Berger, Peter L. 1990 Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES .
. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial,
Jakarta: LP3ES .
. 1992. Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran
Man usia, Yogyakarta: Kanisius .
. 1990. Revolusi Kapitalis, Jakarta: LP3ES.
Bertens, Dr.K. 1990. Filsafat Barat Abad XX Ingris-Jerman (cetakan
ke-4), Jakarta: Gramedia .
. 1990. Filsafat Barat Abad XX filid II Perancis,
Jakarta: Gramedia.
Bierstedt, Robert.(edt)1959.The Making Society; An Outline ofSoci-
ologtj, New York: Random House (The Modern
Library).
Borgatta, Edgar F.& Meyer, Henry J (edt).1956. Sociological Theonj;
Present-Day Sociology from Past, New York:
Alfred A. Knopf.
Bouman, Dr.P.J. 1982. Sosiologi Fundamental, Jakarta: Djambatan.
. 1976. Sosiologi: Pengertian dan Masyarakat,
Yogyakarta: Kanisius.
Bocock, Robert & Wolff, Janet dkk. 1994. The Polihj Reader in Cul-
tural Theon), Cambridge: Polity Press.
Budiman, Hikmat. 1997. Pembunuhan yang selalu Gagal: Modernisme
dan dan Krisis Rasionalitas menurut Daniel Bell,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Burdick, Charles B. & Lutz, RalpH (edt).1966. The Political Insti-
tutions ofThe German Revolution 1918-1919, New
York: Frederick A. Praeger.
Coser, Lewis A.1968. The Functions of Social Conflict; An Examina-
tion of The Concept of Social Conflict and Its Use in
Empirical Sociological Research, New York: Free
Press .
.1971. Master of Sociological Thought; Ideas in His-
torical and Social Context, New York: Harcourt
Brace Jovanovich.

192 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Degrange, 1953. The Nature and Elements of Sociology, New Haven:
Yale University Press.
Dodd, Nigel. 1994. The Sociology of Money; Economics, Reason
& Contemporary Society, Cambridge: Polity
Press.
Driyarkara,Tim Redaksi.1993. Diskursus Kemasyarakatan dan
Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia.
Featherstone, Mike. 1991. Consumer Culture & Postmodernism, Lon-
don: Sage Publications.
Frisby, David.1983. The Alienated Mind; The Sociological of Knowl-
edge in Germany 1918-1933, London: Heinemann
1984. Georg Simmel (Key Sociologist), London:
Tavistock Publications.
Giddens, Anthony. 1976. New Rules of Sociological Method: A Posi-
tive Critique of Interpretative Sociologies, London:
Hutchinson.
1984. The Constitution of Society: Outline of the
Theory of Structuration, London: Polity Press.
1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu
analisis kanJa tulis Marx, Durkheim dan Max We-
ber, Jakarta: UI Press.
Hadiwijono, Dr. Harun. 1989. Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta: Kanis ius.
Hamersma, Harry.1990. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta:
Gramedia.
Hardiman, F Budi, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan, Yogyakarta: Kanisius
.1993. Menuju Masyarakat Komunikatif,
Yogyakarta: Kanisius .
.1994. Antara Estetika Penyelamatan dan
Demistiftkasi: Perdebatan Walter Benjamin dan
Theodor Adorno dalam Majalah Kalam (edisi 2).
Jary, David & Julia.1991. Collins DictionanJof Sociology, London:
Harper Collins Publishers.
Johnson, Doyle Paul.1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta:
Gramedia Pus taka U tama.

Daftar Pustaaka 193


Karyanto, Ibe. 1997. Realisme Sosialis Georg Lukacs, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Laeyendecker, L. 1991. Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia.
Lash, Scott & Urry, John. 1994. Economics of Signs & Space, Lon-
don: Sage Publications.
Lukacs, Georg.1994. (cet.ke-13)Histon; and Class Conciousness:
Studies in Marxist Dialectics, Cambridge: The
MIT Press.
Mangunwijaya, Y.B. (penyunting).1985. Teknologi dan Dampak
Kebudayaannya, Jakarta: Yayasan Obor Indone-
sia .
.1999. Pasca-Indonesia Pasca-Einstein: Esei-Esei
tentang Kebudayaan Indonesia Abad ke-21,
Yogyakarta: Kanisius.
Mann, Michael.1984. The International EnC1Jclopedia of Sociologt;,
New York: Macmillan Press.
Mills, C Wright (edt).1967. The Image of Man The Classic Tradition
in Sociological Thinking, New York: Georg
Braziller .
.1978. The Sociological Imagination, New York:
Oxford University Press.
Parsons, Talcott dkk.(edt.).1965. Theories ofSocieh;; Foundations of
Modern Sociological Theory, New York: Free
Press.
Po lorna, Margaret M. 1992. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali
Pers.
Restuadhi, Hendri. 1998. Perspektif Konflik Menuru t Georg Simmel,
Tesis S-2 UGM.
Sills, David L. (edt)1968. International EnCl;clopedia of The Social
Science, New York: Free Press & Mamillan.
Simmel, Georg. 1918. Der Konflik der Moderne Kulture, Muncen/
Leipzig: Duncker & Humblot.
1964. Conflict The Web Group-Affiliations, New
York :Free Press.

194 Problem Modernitas dalam Keranglw Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


1982. The Philosophy of Money, London:
Routledge & Kegan Paul.
1984. Georg Simmel: On Women, Sexuality, and
Love (Translated, edited and with an Introduc-
tion by Guy Oakes) London/ New Haven: Yale
University Press.
1910-11. How is Society Possible ? (paper dalarn
American Journal of Sociology vol.16 via
Sirnrnel Horne Page)
Siahaan, Hotrnan M.1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori
Sosiologi, Jakarta: Erlangga.
Soekanto, Soerjono.1983. Kamus Sosiologi, Jakarta: Rajawali.
1986. Georg Simmel: Beberapa Teori Sosiologis (Seri
Pengenalan Sosiologi 5), Jakarta: Rajawali.
Sugiharto, I. Barnbang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Sunardi, St. 1996. Nietzsche, Yogyakarta: LKiS
Suseno, Franz Magnis.1993. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta:
Kanis ius.
1997. Tiga belas Tokoh Etika: Sejak Jaman Yunani
Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius.
Swingewood, Alan. 1998. Cultural Theory and The Problem of Mo-
dernihJ, London: Macmillan Press.
Turner, Bryan S.(edt).1991. Theories ofModernihJ and Postmoder-nihJ,
London:Sage Publications.
Turner, Jonathan H. 1986 (ed. ke-6). The Structure of Sociological
Theory, Chicago: The Dorsey Press.
Tirnasheff, Nicholas S. 1967 (ed. ke-3). Sociological I1reoni Its Na-
ture and Growth, New York: Random House.
Veeger, K.J. 1986. Realitas So sial: Rejleksi filsafat so sial atas hubungan
individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah
sosiologi, Jakarta: Grarnedia.
Wallerstein, Immanuel. 1997 (penerjernah: Oscar), Lintas Batas Ilmu
So sial, Yogyakarta: LkiS.
Wrong, Dennis H. 1977. Skeptical Sociologtj, London: Heinemann.

Daftar Pustaaka 195


Jurnall Majalah:
International Sociology, Vol. 11 Number 3 September 1996. Con-
sumption Diffusion: Elit Phenomena and Mass Pro-
cess (Gerardo Ragone, hal. 309-315), London:
Sage Publications.
Journal of Religious Ethics (JRE), 24.1 Spring 1996. The Tragedy
ofThe Kingdom; Simmel and Troeltschon Prophetic
Religion (Bradley E Starr), Washington
Georgtown University & Scholar Press.
Majalah Kalam, Edisi 21994.
Semesta: Media Komunikasi Kebudayaan, Edisi Khus11s Pameran
1999; Budaya Konsumsi dan Kesemrawutan Global
(Mike Featherstone; penerjemah: Landung
Simatupang, hal. 22-29), Yogyakarta: Yayasan
Rumah Budaya Semesta, 1999.
Theory Culture & Society; A special Issue on Georg Simmel, Vol.8
No.3 Agustus 1991, London: Sage Publications.
Theory Culture & Society, Explorations in Critical Social Science
Vol. 11, 1994, London: Sage Publications.
Theory Culture & Society, Explorations in Critical Social Science
Vol. 12, Februari 1995, London: Sage Publica-
tion
Theory Culture & Society, Explorations in Critical Social Science
Vol. 12 No.2, Mei 1995, London: Sage Publica-
tion

196 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Inde~
Inde~s

A -the fine art and applied art, 133


Abel, T., 70 -work of art, 134
Abercrombie, Nicholas, xvii Arthur, xix
Abstraksi,82,83,93,94,95, 96,99,100, Artlessness, 121,134,135,151
101-104 Atrophy, vi, 17
Adler, Max, 111 Axelrod, Charles D., 52
Adorno, Theodor., 4, 12, 13,68
Aestheticism, 148 B
Aestheticization, 132,134,149,150
Bacon, F., 104
Alexander, Malcolm, 171, 172
Bagus, Loren, 92,93,153
Alienasi, 11, 15, 63-65, 69,112,140
Balanced absorption of culture, vi, 18
Althusser, Luis., xxii
Anomi, 11,15 Bastian, Adolf, 35,59
A prioritas sosiologis, vii, xvi, xx, Baudelaire, Charles., 7, 14,107
86,104-106 Baumgarten, 38
A prioritas, xx, 60-61 Becher, H.J., 100
ArchelMargaret., 6, 23 Bendix, Reinhard, 54, 70
Art, 132,134 Benjamin, Walter, 7,13-14
-!'art pour /'art, 133 Beilharz, Peter, 19, 165,172

lndeks 199
Berger, Peter .L., xvi, 22,101,102,142, Croce, Benedetto, xxii
146,149,150,164 Cultivated individuality, vi,18-19, 135,
-triad dialektis, 19-21 140,141
Bergson, Henri, 48,56,65-67 Cultivation, 136-137
- filsafat hidup, 65-67 Cultural antagonism (antagonisme
Berkeley, 104 kebudayaan) viii, 120,121,122-126
Berlin, 38-48 Cultural ambivalence (ambivalensi ke-
-counterculture, 44, 45, 52 budayaan) viii, 120,121,126-135,
-circle socialist, 46 128
-Stefan Georg Circle, 47 Cultural dualism (dualisme kebuda-
Berman, Marshal., 13 yaan), viii, 120,121,135-141
Berten, K., 66 Cultural malaise (malaise kebuda-
Bierstedt, Robert, 76, 82, 87, 92, 93, 94, yaan) ix,xviii,120,121, 125,141-146
96,98,99 Culture studies, 100
Bismarck, Otto van, 39, 41,42 Culture sun,ive, 126
Blau, Peter M, 4
Bloch, Ernst, 67
Bocock, Robert, 149 D
Boklin,50 Dahrendorf, 4
Bordieu,P,150 Dante, 49, 50
Bottomore,Tom, 38,111,113 Darwin, C., 36, 58, 77
Bougie, Celestin, 76 Dehmel, Richard, 42
Bouman, P.J., 87 De-obyektivasi, 18,157,158
Buber, Martin, 52, 68, 108 Descartes, 56, 103, 104
Budiman, Hikmat, 11,13 Dilthey, Wilhelm, 35, 38, 48, 56, 68, 77,
Burdick, Charles B., 41 78, 85,96,164
Burges, Park, 69 Dialektika, 62-63
Diagnosis of the time, 154
Dodd, N., 17,111
c Droysen, 35
Cashmore, 6 Durkheim, E.,v; 4, 5, 26, 38, 45, 51, 77,
Cerullo,Margaret, 111 101,164,
Chicago School, 69, 108 - kritik atas modernitas, 11
Cohen, 6 -ten tang karya Simmel, 51
Cooley, 4
Comte,A, 4, 56, 57, 58, 77, 78, 79,164,
Coser, Lewis; 17, 35, 36, 37, 38, 40, E
42,43, 45, 48, 53, 59, 60, 61, 63, 70, Ekonomi uang, v, vi, xiii, xviii, xxi, 17,
79,88,89, 102,103,109,110,111, 64
146 Eksistensialisme, 67
- tentang karya Simmel, 52 Eksternalisasi, 20
-conflict functionalism theory, 70 Etzkorn, K.P., 50,55
Creative potential, 122, 123, 124, 126, Ernst, Paul, 47
142, 145 Evolusi (teori), 58-59

200 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Exaggerated objectivism (obyektivisme Gramsci, xxii
berlebihan) ix, xviii, 121,134,147- Grana,Cesar, 149
151 Grimm,Hermann, 35
Exaggerated subjectivism (subyekti- Groethuysen, Bernhard, 68
visme berlebihan) ix, xviii, 121, Gross, F., 54
134, 147-151 Gumplowicz,,]8

F H
Featherstone, Mike, 5,6,8 , 16, 52, 69, Hadiwijono, Harun, 56, 57, 61, 65
148,150 Habermas, J., 4, 12, 26
Fechner, 78 Hall, Stanley, 46
fenomenologi, xvii, xix, 4, 97, 106 Hamersma, Harry, 57, 61, 67
Fetishism commodity, 65 Hamilton, Peter., 5, 7, 69
Filsafat hid up, 65-67 Hardiman, F. Budi, 12, 13, 14, 21, 60,
Filsafat sosial, xx, 115 61, 62, 104,164
Filsafat sosial dialogis, 108 Harm, Friedtich., 35
Fletcher, 6 Harnack, Adolf von, 46
Frankfurt School, 158 Hartmann, Nicolai, 68
Frederick III, 41 Hauptmann, Gerhart, 42
Freud, Sigmund, 52 Hawthorne, 6
Freyer, Hans, 68 Hegel, G.W.F., xxii, 22, 56, 62-63
Frisby, D., v, 6-8, 33, 34, 35, 36, 37,38, Heideggar, Martin, 68
43,44,46,47,49,50,51,53,54,55, hermeneutik, 6, 95, 96
58, 59, 67, 69, 76, 78, 79-81 84-86, Hipertrophy, vi, 17
Historisisme, 164
89, 94, 96, 97,102,103,104,105-106,
Hobbes, T., 104
109, 111, 112, 113, 127,
Homans,4
131,147,162,167,170,
Horkheimer, Max., 4, 12, 68
Friedlander, Julius., 35
Hughes, Everett C., 54
From, Erich, 142
Hughes, H. Stuart, 43
Human self-perfection, 137
G Hume, D., 104
Gassen, K., 53 Husser!, Edmund, 46, 48, 56
Geisteswissenschaften, 164
Gellner, 147 I
Generalitas, prinsip-, 131,134 Ideographic science, 164
Georg, Stefan, 37, 42, 46, 47, 48,50 Ilmu kompleksitas, 171
Gerhardt,Uta, 105 lndividualisasi, 67, 125, 142, 143, 144,
Giddens, Anthony, xvi, 6, 64,109,173 154, 155
- teori strukturasi, 97 lndividualitas, prinsip-, vii, xvii, 105,
Goethe, 50 131, 134, 144, 145, 147
Goffmann, Erving., 4,167 Individualisme, 142, 146, 150
Gow, John, 171,172 Interaksionisme simbolik, 4, 106, 111
Graef, Sabine., 37, 47 Internalisasi, 21

lndeks 201
J Liberal education, 16
Jary, David&Julia, 63, 87, 92, 96, Licthblau, Klaus, vii, 85-86, 106, 107,
97,153, 164 111, 114, 147, 156,157
Jastrouw, Ignaz, 46, -tentang teori interprestasi Simmel,
Jenkinson, D.E, 55 108-109
Jerman Raya, 38-43 Liebermann, Max, 42
Johnson, D.P., 6, 18, 19, 27, 35, 58, 60, Liebniz, Gottfried W., 55, 56-58,104
63, 65, 87,140,164, Life and form, 122, 138
Joel, Karl, 44 Liliencron, Detlev von., 42
Lilienfeld, 77
Locke, J., 104
K Lukacs, G., xvi, xviii, 47, 64, 67, 68,
Kant, I, xvi, 36, 50, 55, 56, 57, 60-61, 69,111,112
62,68, 80,86,92,104 - reifikasi, xviii, 112
- a priori dan pengalaman, xvi -tentang karya Simmel, 52
-teori aprioritas, 60-61 Lutz, Ralp H., 41
- filsafat transendental, xvii
Kapitalisme, 11
Karyanto, Ibe, 76 M
Keat,6 Manger, C, 164
Kinel, Gertrud., 37, 47 Mannheim, Karl., 68, 103-104, 112
Knapp, Elly Heuss, 47,164 Mann, Golo, 42
Komoditas, xiv, 147 Mann, Michael, 63
Kritisisme, 60, 62 Mangunwijaya, YB., 10, 11
Kroker, Marilouise, xix Marbun, B.N., 39
Marcuse, H., 4, 12
Marx, K., v, xv, xix, xxii, 4, 5, 22, 26,
L 38, 48, 56, 63-64, 68, 101,
Laclau, Ernesto., xix 124,146,164
Laeyendecker, L., 27, 61 - tentang uang, xiv
Landmann, Edith., 47,48 - teori surplus nilai, xix
Landmann, M., 53 - kritik atas modernitas, 11
Langer, William L., 39, 41, 42 -teori alienasi, 63-65,
Lawang. M.Z., 27 -materialise historis, 112
Lawrence, Peter A., v, 6, 55, 141 Mass culture, 139
Lazarus, Moritz., 35,46 Mayntz, Renate, 35, 37, 53, 65, 84, 89,
Lechner, Frank J., 173 92,97, 100,102,103,111,114
Levi-Strauus, C., 7 Mazhab Baden, 164
Levine, Donald N., v, 6, 55, 111,164 Mazhab Frankfurt, 12, 26
-tentang skema interpretatif Simmel, - kritik atas modernitas, 12
109 Mead, G. Herbert., 4, 22, 106
-tentang teori kebudayaan Simmel, Meinecke, 45
15-16 Mennel, 6

'202 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Merton, Robert, 4, 70 Prinsip regulaif global, vii, 84, 85, 86,
Metafor, 95 107
Methodenstreit, 164
Metode induksi, 98, 101-104 R
Michelangelo, 50 Ragone, Gerardo,149
Mikro-Makro Sosiologi, 101-104 Reifikasi, xviii, xxi, xxiii, 153
Middx, 55 Relationism, 84, 103
Mill, C. Wright, 17, 102,172 Rembrandt, 50
Mulla, Restuadhi, H., 27, 71
Monadologi, 55, 56-58 Rex,6
Mommsen,Theodor., 35 Rickert, Heinrich., 38, 46, 80,164
Ricoeur, P., 95
N Rilke, Rainer Maria, 42,47,48
Natanson, Maurice, xvi, xvii Rodin, 48
N a turewissenschaften .Rosenthal, C., 35, 54
Nedelmann, B., v, viii, 19, 22-24, 122, Rosental, Erich, 52, 53
123, 124, 125, 128, 129, 131, 133,
136, 137, 138, 140, 143, 149, 150
- tesis sosiologi kebudayaan Simmel, s
119-121 Saussure, xxii
Nelson, 55 Scaff, 122
Neo-Marxisme, 12 Schaffle,77
Nietzsche, F., 36, 50, 56, 65-67 Scheler, Max, 68
- filsafat hid up, 65-67 Schmoller, Gustav, 46, 164
Nomothetic science, 164 Schopenhauer, 36,50,56
Schutz, A., xviii
0 Siahaan, Hotman.M., 27
Oakes, Guy, 26, 55, 122, 138, 139, 153, Sills, David L., 35, 37, 53, 65, 84, 89,
154 92,97, 100,103,114
Oberlander,Kurt, 52, 53 Simatupang, Landung, 148, 149, 150
Objective culture (budaya obyektif), vi, Simmel, G.; -a prioritas sosiologis,
16, 17,18, 19,136,138,139,140,151, vii, xvi; sosiologi formal, xvi, 5, 6,
152, 153, 155, 157, 158 92, 114; individu dan masyarakat,
Obyektivasi, 20, 139 xvii, 81-86; tiga problem moderni-
Orientasi tindakan ambivalen, 128, tas, xviii, tiga problem modernitas,
134 141-154 ; sosiasi, xvi-xvii, 86-93;
signifikansi haw is society possible?,
p xix, 104-110, 123; proponen
Park, Robert, 69 sosiologi kebudayaan dan sosio-
Parson, Talcot, 4, 69 logi pengetahuan, 8; dalam tradisi
Persepsi estetis, 130,131-132, kritik sosiologi atas modernitas,
Popitz, Heinrich, 129 15-24; ekonomi uang dan metro-
Postmodern,v,7,8,136 polis, 17,147; komparasi dengan

lndeks 203
triad dialektis Berger, 19-22; Stylelessness, ix, 121, 134, 135, 150
riwayat hidup, 33-38; sosiabilitas, Stylization, 132, 134, 148
37; latar sosial-intelektual di Ber- Subjective culture (budaya subyektif),
lin, 38-48; dampak pemikiran, 67- vi, 15, 16,17, 18, 19, 136, 138, 139,
71; Karya-karya, 48-55; Bibliogra- 140, 151, 152, 153, 155
fis, 52-55; Warisan intelektual to- Subury, 55
koh, 55-67; Pengembangan sosio- Subyektivasi, 139
logi di jerman, 75-81; Kritik atas Subyektivitas sosial, 129, 134
positivisme 78-79; sosiologi Sugiharto, I.Bambang,96
sebagai ilmu khusus dan indepen- Sumner, 4
den, 81-99; Sosiasi, 86-93; sifat ab- Sunardi, St., xxiii, 65
strak sosiologi, 93-97, 130; prinsip Suseno, Franz M., 1{),62,67,
strukturasi, 97; sosiologi sebagai Susman, Margaret, 47
suatu metode, 97-99; metodologi Swingewood,Alan, 113,114,155
sosiologi,99; problem of style, Sybel, 35
126,133; tiga model pendekatan
kebudayaan, 122-140; tentang
mode, 128, 147, 148, 149; closed T
unity-unfolding multipleci ty-un- Tenbruck,l01,102
folded unity,137-138; diagnosis dan Thon, 76,
terapi budaya,154-158; teori-teori Tonnies, F., 46, 112
sosial yang interdisipliner, 161- Tunenberg, xvii
176; tentang space, 173-176. Turner, Bryan.S., 7, 17, 18, 136, 147
Simmel, Hans, 33, 34, 37, 43 Tragedy of Culture (tragedi kebuda-
Simon, St, 164 yaan), ix, xviii, 18, 121, 136, 140,
Small, Albion, 69
151-154
Soekanto,Soe~ono,27,88,93
Treitschke, 35
Sombart, Wenner, 109,164
Troeltsch, 34, 48
Sorokin, Pitirim, 51
- tentang karya simmel
Sosiabilitas, 37 u
Sosiasi, 86-93 Ubermensch, 66
Sosiologi interpretatif, 108-109 Unamuno, 7
Sosiologi pengetahuan, 8, 103 Urry, 6
Spencer, Herbert, 4, 56, 58-59, 77, 79
Spinosa, 56,104 v
Spykman, N.J., 69 Veblen; 149
Starr. B.E, 34 Veeger, K.J.,27
Stauth, G., 7 Vierkandt, Alfred, 68
Steinhoff,M., 100,102 Volkerpsychologie, 46
Steinthal, 35,46
Strauss, Claude L., 7 w
Style, 132, 134,150,151 Wallerstein, Immanuel, 171, 172

204 Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel


Ward, Lester, 76 Wilhelm I, 39
Watier, P., 9 Wilhelm II, 41
Weber, Max., v, xvi, 4, 5, 26, 38, 45, 46, Windelband, 38,164,
48, 68, 85, 101, 102, 106, 107, Wolff, Kurt H., 54, 70,76
164,165 Worm, Rene, 77
- kritik atas modernitas, 12 Wrong, Denis H., 102
- tentang karya Simmel, 51 Wundt,W., 35
-tentang sosiologi interpretatif, 85,
108-109 .
Weinstein, D.& M.,v, 7-8, 17,18,136 z
Weise, Leopold von, 37, 68 Zeller, Eduard, 35
- tentang karya Simmel, 51 Znaniecki, 4

lndeks 205
Tentang Penulis

AB. Widyanta lahir di Gunungkidul, Yogya-


karta, pada 9 April 1974. Setelah menempuh
pendidikan dasar (1988) dan menengah (1990)
di Gunungkidul, ia meneruskan pendidikan di
SMU Negeri 6 Yogyakarta (1992). Karena terke-
san dengan materi dan metode pembelajaran dari
guru sosiologinya di SMU tersebut, ia terdorong
melanjutkan studi dengan minat khusus
sosiologi. Setelah merampungkan studi S-1 di
Jurusan Sosiologi Fisipol Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta, sejak
tahun 2000 ia menjadi staf peneliti pada Cindelaras Institute for Rural Em-
powerment and Global Studies (CIREGS) Yogyakarta.

Lantaran hobi fotografi dan keikutsertaannya dalam membantu


penelitian dan kelompok diskusi di luar kampus, se~~~a kuliah ia tidak
banyak terlibat dalam kegiatan kemahasiswaart.:Selain menjadi
penyunting dan editor buku Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman
Hayati, Pertaruhan Bangsa yang Terlupakan (CPRC, 2001), ia juga
menerjemahkan buku di seputar Kajian Global yakni Globalisasi Perangkap
Negara-Negara Selatan (CPRC, 2002) dan Globalisasi & Krisis Pembangunan
Berkelanjutan (CPRC, 2002). []

Tentang Penulis 207


View publication stats

Anda mungkin juga menyukai