net/publication/340087629
CITATION READS
1 2,170
3 authors, including:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilan Dangku (KELOLA Sendang) Sumatera Selatan - The Zoological Society of London (ZSL) View project
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) & Kenari Indonesia Research View project
All content following this page was uploaded by Andreas Budi Widyanta on 22 March 2020.
Sosioloqi KEbudAyAAN
AB. Widyanta
Widyanta, A.B.
Problem modernitas dalam kerangka sosiologi
kebudayaan Georg Simmel/ oleh A.B. Widyanta. --
Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas 2002
208 hal. + xxxii; 15 x 21,5 em
Indeks
ISBN 979-9545-04-8
Pengantar Penulis v
sangat intens dalam mencermati, mendiagnosis, dan mengkritisi
problematika kebudayaan modern seperti dampak-dampak sosial
dari kehidupan modern, kosmopolitan, dan kekhasan hid up ma-
syarakat urban.
Simmel yang menghabiskan hampir seluruh waktu
hidupnya dengan mengembara di rimba belantara modernitas
kota Berlin, telah menjadi saksi dari paradoks-paradoks moder-
nisasi Jerman. Modernisasi telah mengubah wajah Berlin menjadi
kota dunia (meb·opolis) dalam waktu relatif singkat. Berlin pun
berubah menjadi ruang yang subur bagi merajalelanya patologi
modernitas. Kemegahan dan kepengapan Berlin itulah yang
menjadi latar intelektual sekaligus "laboratorium" Simmel untuk
menyemaikan pemikiran kritisnya atas berbagai problem moder-
nitas.
Dalam berbagai karyanya seperti: On Social Differentiation,
The Philosophy of Money, The Metropolis and Mental Life, The Conflict
in Modern Culture, The Crisis of Culture dan The Problem of Style,
Simmel menteorisasikan modernitas. Ia memberi tekanan pada
perkembangan pesat dari ilmu, teknologi, pengetahuan obyektif
berikut diferensiasinya di satu sisi dan erosi budaya subyektif di
sisi lain.
Konflik dan krisis kebudayaan modern dilukiskan Simmel
dalam bentuk pemiskinan-subyektivitas yang disebut atrophy
(terhentinya pertumbuhan budaya subyektif) karena hipertroplzy
(penyuburan budaya obyektif). Perkembangan pesat budaya
obyektif yang dipacu oleh ekonomi uang telah berubah menjadi
tuan yang opresif dan ruang pemekaran individu pun semakin
terbatas. Hal itu menandai pergeseran rasionalitas alat menjadi
rasionalitas tujuan yang terungkap dalam adagium: "Uang adalah
Tuhan di jaman kita".
Unsur-unsur kebudayaan yang semestinya masuk di wila-
yah pengembangan budaya subyektif, ternyata secara massif
menekannya. Cultivated individualihJ kian jauh dari gapaian tatkala
mekanisme balance absorption of culture: form creation-objectivized
form-form appresiation tidak berfungsi. Perhatian Simmel pada
aktualisasi, perkembangan, pemekaran, dan penyelamatan indivi-
Pengantar Penulis ix
Ucapan Terima Kasih
Untuk keluarga-kecilku: Oorn Iyas, Bulik Unik, Dik Ovi dan Dik Dite,
terirnakasih atas kehangatan dan keceriaan yang kalian ciptakan. Untuk
Kakak dan Adikku: Mbak Ning, Mas Sulis, Mas Toni, Mbak Ndari, Dik
Bowo, Denok Rina, Mas Hari, Sofyan, Dik Indras, Dik Utik, dan Dik
Cis, terirnakasih atas darnpingan, perhatian dan cinta kalian yang tulus
selarna ini untuk saya.
Akhirnya, saya rnernpersernbahkan buku ini kepada Bapak A.
Budi Santosa dan Ibu Coletta Sujatmi tercinta, yang telah rnenjadi korban
dari seluruh keliaran dan egoisrne-ku.
Pringgondani, 9 Juli 2002
AB. Widyanta
1 "Money is the jealous god of Israel before whom no other god may exist Money de-
grades all the gods of mankind -and converts them into commodities. Money is the general,
self-sufficient value of evenjthing. Hence it has robbed the whole world, the human world as well
as nature, of its proper worth. Money is the alienated essence of man's labor and life, and this alien
essence dominates him as lu: worship it." K Marx, Writings of the Young Marx, 246.
Kala Pengantar XV
kalau membaca tulisan Lukacs, Berger, dan Giddens). Hanya
karena rasa ingin tahu dan kesediaan untuk belajar, saya dengan
senang hati dan merasa terhormat memberikan kata pembukaan
buku yang unik ini. Untuk itu secara berturut-turut saya akan
meninjau sosiologi Simm.el, sosiologi budaya, kritik atas Sirrunel,
dan akhirnya relevansi buku semacam ini untuk kita sekarang di
Indonesia.
Seperti halnya para pendiri sosiologi klasik, Simmel juga
banyak bergulat dengan kedudukan keilmuan sosiologi itu sendiri
-:suatu ilmu yang sekarang sudah mapan dan terlembagakan.
Persoalan ini bisa diungkapkan dengan pertanyaan: bagaimana
sosiologi itu mungkin? 2 Dalam pertanyaan ini sudah terkandung
dua pertanyaan dasar: obyek macam apa yang musti dipelajari
oleh sosiologi dan dengan cara bagaimana sosiolog memahami
obyek tersebut. Persoalan ini tentu mengingatkan kita pada
pemikiran Kant yang mencari syarat-syarat kemungkinan sebuah
ilmu pengetahuan. Memang, dalam sosiologinya, Simmel mene-
rapkan pendekatan Kant. Dalam teorinya, Kant mengatakan
bahwa pengetahuan adalah hasil dari sintesa kategori a priori dan
pengalaman. Demikian juga Simmel mempunyai tiga aprioritas
(apriorities) dalam sosiologi. Tiga kategori meliputi: "gambaran
tentang orang lain yang diperoleh seseorang lewat kontak per-
sonal berdasarkan distorsi tertentu" 3, ("setiap unsur dari suatu
kelompok bukan hanya merupakan bagian sosietal melainkan le-
bih daripada itu") 4, dan "masyarakat adalah sebuah struktur yang
terdiri dari unsur-unsur yang tidak imbang". 5 Dengan ketiga
aprioritas inilah kita memahami gejala sosial dan akhirnya akan
mewarnai apa yang kita sebut the social. Ketiga aprioritas ini
merupakan bentuk-bentuk sosiasi (forms of sociation). Oleh karena
itu sosiologi Simmel termasuk sosiologi formal (sejajar dengan
2 G. Simmel "How Is Society Possible" dim. Maurice Natanson, ed. Philosophy of the So-
cial Sciences. A Reader, N.Y. Random House, 71-92..
3 Ibidem, 78.
4 Ibidem, 82.
5 Ibidem, 87.
10 Pandangan ini dapat kita saksikan dalam salah satu artikel singkat Emesto Laclau
"The Impossibility of Society" dalam Arthur & Marilouise Kroker, ed. (1991). Ideology and
Power in tilt' Age of Lenin i11 R11i11s, Monreal: New World Perspectives, 24-27.
11 G. Simmel. op.cit., 84.
St. Sunardi
Program Magister
llmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Halaman
Kat a Pengantar Penulis ....... ...... ... ........... ........................ ..... ... ...... .. .. . v
Ucapan Terima Kasih ......................................................................... xi
Kat a Pengantar St Sunardi ....... .. .. ... ...... .......... .. .. .... ........... ..... ... ....... xm
Daftar lsi .......................................................................... ........... ......... xxv
Glossary ............................................................................................... xxix
BAB I. PENDAHULUAN 1
A Melacak Teori Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel ............... 5
B. Georg Simmel dalam Tradisi Kritik Sosiologi atas Modernitas 9
C. Metodologi Penulisan .... ....... ....... .. .. .... .... ...... ....... .. .. ......... .. .. ... ... .. 25
D. Relevansi Wacana Simellian ......................................................... 26
Atroplti
Terhentinya pertumbuhan budaya subyektif individu sebagai akibat
dari pertumbuhan budaya obyektif yang semakin luas dan subur
(hipertrophy).
Balanced absorption of cultm·e
Konsep dari Simmel tentang pola-pola mekanisme pemberdayaan diri
subyek, dengan cara mengolah dan menginternalisasi budaya obyektif
secara seimbang. Penyerapan budaya obyektif yang seimbang dapat
berfungsi sebagai perangkat subyek untuk menciptakan substansi
kepribadian yang terolah/ termekarkan (wltivated individual).
Cultural antagonism
Model pendekatan dari Simmel untuk memahami individu dan
kebudayaan, yang didasarkan pada konsepnya tentang perlawanan
antara bentuk (form) dan hidup (life). Menurut model pendekatan ini,
individu dimaknai sebagai pencipta (creative potential) sedangkan
kebudayaan dimaknai sebagai sistem sosial (bentuk-bentuk kebudayaan
yang ditransformasikan ke dalam sistem sosial yang akhirnya bersifat
otonom).
Glossary· xxix
Cultural ambivalence
Model pendekatan dari Simmel yang mengkonseptualisasikan individu
sebagai konsumen dan kebudayaan sebagai pasar. Sebagai aktor,
individu memiliki orientasi tindakan ambivalen yakni sebagai
konsumen kebudayaan di satu sisi, dan di sisi lain sebagai pelaku aktif
dalam menjalin hubungan dengan unsur-unsur dalam lingkungan
kebudayaannya. Sedangkan kebudayaan di satu sisi dimaknai sebagai
wilayah pasar -sebuah tempat di mana proses-proses pertukaran
kebudayaan berlangsung- dan di sisi lain dimaknai sebagai wilayah
dimana individu menunjukkan kemampuan dalam memenuhi tugas
gandanya, (subyektivitas sosial).
Cultural dualism
Model pendekatan dari Simmel, dimana individu dianalisis dalam peran
mereka sebagai penerima obyek-obyek kebudayaan (recipient)
sedangkan kebudayaan dimaknai sebagai struktur sosial. Pendekatan
ketiga ini didasari oleh prinsip dualisme (antara budaya subyektif dan
budaya obyektif), sehingga dapat disebut sebagai dualisme kebudayaan.
Cultural Malaise
Salah satu bentuk problem modernitas yang digambarkan Simmel --
dalam kerangka pendekatan cultural antagonism (life vs form)- sebagai
suatu keterputusan antara daya kebudayaan dan sistem/ institusi
kebudayaan yang disebabkan oleh individualisasi kreativitas kebudaya-
an. Problem ini bisa juga disebut problem individualisasi.
Cultivated individuality
Konsep dari Simmel tentang kapasitas unik manusia untuk
menyempurnakan kepribadiannya dengan mengasimilasi dan mengin-
ternalisasi pengaruh-pengaruh eksternal yang bertatap muka dengan
wilayah personalnya.
De-obyektivasi
Konsep ini menjelaskan upaya sadar terhadap pemberdayaan eksistensi
subyek melalui refleksi kritis ---atau meminjam istilah kaum post-
strukturalis pemikiran kritis-dekonstruktif--- atas nilai dan makna
obyek. Konsep ini mencakup orientasi untuk mendudukkan kembali
peran subyek sebagai tuan atas obyek (yang dalam proses sebelumnya
berada sebagai tuan dan berlawanan dengan subyek).
Glossary XXXI
proses dialektika yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi -obyektivasi
- internalisasi. Melalui eksternalsiasi masyarakat menjadi produk
manusia, melalui obyektivasi masyarakat menjadi realitas suigeneris,
dan melalui internalisasi manusia menjadi produk masyarakat.
Hipertrophy
Sebuah konsep yang menunjuk pada kenyataan tentang pertumbuhan
budaya obyektif yang semakin luas dan subur.
Internalisasi
Konsep ini merupakan salah satu momen dalam pemahaman triad
dialektis Berger: eksternalisasi --obyektivasi-- internalisasi. Konsep ini
menunjuk pada aktivitas manusia yang menyerap kembali realitas
obyek; suatu proses transformasi struktur dunia obyektif ke dalam
kesadaran subyektif.
Obyektivasi
Konsep ini merupakan salah satu momen dalam pemahaman triad
diaiektis Berger: eksternalisasi - obyektivasi -internalisasi. Konsep ini
mengungkap tentang berlangsungnya interaksi sosial dalam dunia
intersubyektif yang dilembagakan (institusionalisasi). Obyektivasi
menunjuk pada hasil (baik mental atau fisik) yang telah dicapai dari
proses eksternalisasi.
Reifikasi
Berasal dari kata Latin res yang berarti benda. Dalam pengertian umum
reifikasi sering disebut konkretisme. Hal itu merupakan kekeliruan
menerima abstraksi dan menganggapnya sebagai entitas yang benar-
benar ada, yang secara kasual berdaya guna dan secara ontologis
mendahului hal-hal yang menjadi acuannya. Reifikasi berarti juga
kekeliruan anggapan bahwa suatu entitas mental seakan suatu benda.
Tragedy of Culture
Konsep dari Simmel yang menunjuk pada salah satu problem
modernitas bahwa karena logika instrinsiknya sendiri maka perkem-
bangan bentuk-bentuk budaya obyektif menghambat proses kehidupan
yang membuat bentuk-bentuk itu menjadi ada (budaya subyektif).
Dalam kerangka model pendekatan dualisme kebudayaan (cultural du-
alism), konsep ini menjelaskan tentang keterpisahan antara budaya
subyektif dan budaya obyektif.
Bab I Pendahuluan 3
menempuh perjalanan sejarah yang panjang. Sosiologi merupa-
kan hasil pergumulan berbagai pemikiran yang menampilkan re-
kaman realitas sosial masyarakat yang menyejarah.
Ketika sosiologi modern tampil dalam ruang dan waktu
kekinian, ia tidak terlepas dari tradisi ide-ide teoritisi klasik. Ide-
ide tersebut tampil sebagai empitus sosiologi modern. Sosiologi
modern tak mungkin dapat dipahami dengan baik apabila kita
tidak mengetahui percikan pemikiran ahli-ahli sosiologi klasik.
Mempelajari sosiologi tidak dapat menafikan sejarah per-
kembangan pemikiran tokoh-tokoh yang terkait dengannya.
Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa belajar sejarah
pemikiran adalah hal yang esensial dalam sosiologi. Dengan
belajar sejarah pemikiran sosiologi, kita dapat terlibat dalam
"perbincangan imajiner" antar tokoh sosiologi klasik ketika mere-
ka menempatkan "batu-batu dasar" dalam fondasi bangunan
sosiologi.
Kita jadi mafhum tempat masing-masing tokoh di Eropa,
seperti: Marx, Comte, Spencer, Durkheim, Weber, Simmel dan
lain-lain, dan di Amerika, seperti: Sumner, Mead, Cooley, Tho-
mas dan Znaniecki. Kita pun dapat terlibat dalam pembongkaran
dan penyempurnaan beberapa bagian dari bangunan sosiologi
ketika kritik a tau bahkan gugatan total pada tokoh-tokoh sosiologi
klasik dilontarkan oleh proponen-proponen sosiologi modern,
seperti: Merton, Parsons, Homans, Blau, Goffmann, Dahrendorf,
dan generasi Mazhab Frankfurt: Horkheimer, Adorno, Marcuse
dan Habermas, dengan aliran-aliran pemikirannya, seperti: fung-
sionalisme, interaksionisme simbolis, teori pertukaran, pende-
katan fenomenologis etnometodologis, teori konflik, dan teori
kritis.
Studi pemikiran, sebagai salah satu pilihan penelitian dalam
sosiologi, selalu saja menarik dan menggairahkan. Dengannya
kita semakin kaya oleh berbagai pergulatan pemikiran, sudut
pandang dengan segala rona, pernik dan percikan kecerdasan
yang multidimensional dari subyek-tokoh. Melalui diskursus
yang panjang dan bertahap, kita juga akan ikut dalam pergulatan
I Peter Hamilton (ed.) dalam David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), Lon-
don: Ellis Horwood, 1984, hal. 8.
2 Dalam catatan Featherstone, pengertian sosiologi formal ini hanya didasarkan
pada analisis Simmel tentang bentuk-bentu.k sosial, seperti: dyadik, triadik dan massa,
orang pelit, orang asing, orang miskin, kompetisi, sosiabilitas, dan konflik yang lebih
didominasi oleh (kebijakan konvensional) Anglosaksen. Featherstone juga mengung-
kapkan bahwa teks-teks di lnggris maupun Amerika seringkali hanya merunut pemikiran
Simmel dan mempergunakan karya-karyanya sebagai prasyarat dasar bagi teori konflik,
Bab I Pendahuluan 5
Dari sudut pandang yang berbeda, para ilmuwan tersebut
menggali teori kebudayaan Simmel yang terkaitan dengan feno-
mena modernitas. Menurut mereka, teori kebudayaan modern
Simmel itu sangat berpengaruh pada teori sosial (sosiologi) kon-
temporer. Naif bila teoritisi-teoritisi sosial kontemporer mengabai-
kan peran pemikiran Simmel.
Beberapa ilmuwan yang sangat concern terhadap teori
kebudayaan Simmel tersebut diantaranya: Donald Levine (1971 ),
Peter Lawrence (1976), David Frisby (1981, 1983, 1984). 3 Dari keti-
ga tokoh ini yang paling dominan adalah David Frisby. Ia adalah
ilmuwan Inggris yang sangat berperan dalam menghidupkan
karya-karya sosiologi Simmel. Secara internasional, ia mampu
mengembangkan pemikiran-pemikiranSimmel secara sistematis.
Tulisan-tulisan Frisby melukiskan dengan jelas bagaimana
Simmel membatasi sosiologi sebagai "disiplin intelektual khusus"
dengansebuah subyek permasalahan yang spesifik serta bagaima-
na prosedur metodologis awal ini dapat menyusun "kancah"
teori pertukaran dan interaksionisme. Ilmuwan Inggris yang banyak membahas sosiologi
formal Simmel diantaranya: Rex (1961), Cohen (1968), Fletcher (1971), Keat dan Urry
(1975), Hawthorne (1876), Menne! (1980), Cashmore dan Mulla (1983), Johnson (1984),
dan teoritisi kontemporer Anthony Giddens (1971, 1976, 1977, 1979, 1984) maupun Mar-
garet Archer (1988). Lihat Mike Featherstone, Georg Simmel: An Introduction dalam Theon;
Culture & Society: Special Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991; London: Sage
Publication, hal. 1; lihat juga catatan kaki-nya di hal. 12
3 Levine adalah sosiolog Universitas Chicago yang telah membahas secara utuh
pemikiran sosiologi dan filosofis dari Simmel di seputar kehidupan sosial yang
menekankan dialektika antara "hidup" dan "bentuk" (life and form). Karyanya berjudul
Georg Simme/: On Individuality and Social Forms, Chicago: University of Chicago Press,
1971. Lawrence adalah seorang ilmuwan sosial Amerika yang telah memaparkan
terjemahan dari sejumlah karya utama Simmel tentang kebudayaan dan
menginterprestasikannya kembali dalam konteks peradaban masyarakat Eropa pada
waktu itu. Karyanya berjudul Georg Simmel: Sociologist and European, New York: Barnes
& Noble, 1976. Sedangkan Frisby adalah seorang sosiolog Universitas Glasgow yang
banyak menghasilkan kajian yang kaya dan penuh kehati-hatian ten tang spirit intelektual
Simmel yang termasuk dalam wilayah hermeneutik kontemporer. Beberapa karyanya
di antaranya: Sociological Impressionism: A Reassessment of Georg Simme/'s Social Theon;,
London: Heinemann, 1981; The Alienated Mind: The Sociological of Knowledge in Gennany
1918-1933, London: Heinemann, 1983; dan Georg Simmel (Key Sociologist), London:
Tavistock, 1984.
Bab I Pendahuluan 7
Lebih jauh lagi, Frisby menunjukkan dengan jelas bahwa
Simmel merupakan proponen representatif bagi teori sosiologi
modern, khususnya sosiologi pengetahuan dan sosiologi kebuda-
yaan? Adikaryanya The Philosophy of Money dan beberapa karya
seperti: On Social Differentiation, The Metropolis and Mental Life,
The Conflict in Modern Culture, The Crisis of Culture maupun Prob-
lem of Shjle serta esai-esai lainnya dapat menjadi bukti yang mem-
perkuat keyakinan Frisby untuk menyebut Simmel sebagai tokoh
yang sangat peduli terhadap problematika kebudayaan modern.
Simmel yang terlahir dan menghabiskan keseluruhan hi-
dupnya di "rimba belantara" metropolis Berlin menjadi Die
Zeitzeuge (saksi waktu) dari paradoks-paradoks modernisasi
Jerman. Secara mengejutkan, modernisasi telah merubah wajah
Berlin menjadi kota dunia dalam waktu yang relatif singkat. Ke-
megahan kota Berlin menjadi ruang-spasial yang representatif
untuk tumbuh suburnya patologi-patologi kebudayaan modern.
Kemegahan yang mencekam dan kepengapan kota Berlin
inilah yang menjadi setting intelektual Simmel untuk melontarkan
pemikiran kritisnya atas paradoks dan kontradiksi kebudayaan
modern. Ia sangat intens terhadap kalkulasi ekses-ekses moder-
nitas yang kian akumulatif dan endemik, hingga akhirnya krisis
(identitas) kebudayaan pun tampil dalam salah satu bentuknya
yang paling nyata: Perang Dunia I.
Di masa perang dan tahun-tahun terakhir penderitaannya
dalam usaha melawan kanker hati yang menggerogotinya,
pasif" atau hanya "makan angin" semata, tetapi mengacu pada suatu misi pemetaan
kebudayaan masyarakat secara aktif yang hasilnya adalah salinan gambar "day a rekat"
dan "daya perpecahan" di antara kebudayaan yang kompleks dari kota modem a tau
postmodem. Lihat Weinstein & Weinstein dalam Tlzeon1 Culture & Society, vol. 8, no. 3,
August 1991, hal 151-168. Namun dalam hal ini, saya lebih setuju dengan pendapat
Featherstone bahwa kontroversi tersebut tidaklah problema tis, tergantung definisi dan
terminologi dari keduanya. Lihat Featherstone dalam Theon} Culture & Society, vol. 8,
no. 3, August 1991, hal. 3.
7 Gagasan ten tang Simmel yang berkontribusi pada sosiologi pengetahuan dan
sosiologi kebudayaan diajukan oleh David Frisby dalam bukunya yang berjudul Alien-
ated Mind: The SociolOgJJ of Knowledge in Germany 1918-33, hal. 17.
8 Untuk tulisan-tulisan Simmel di masa perang ini lihat tulisan Patrick Watier,
The War Writings of Georg Simmel dalam Theory Culture & Sociehj, vol. 8, no. 3, Augut
1991; London : Sage, hal 219-233
Bab I Pendahuluan 9
Keteraturan baru modemitas (seluk beluk kebudayaan-baik
yang 11Ulterial dan non-material-yang telah menjadi modern) tampil
dalam sifatnya yang elementer, yakni industrialisasi yang deter-
minan pada seluruh kehidupan masyarakat, penghayatan way of
life-nya. 9 Selanjutnya, proses peralihan yang semakin bergulir
secara evolutif itu meritual dalam proses bemama modernisasi.
Modernisasi ditunjang tiga faktor utama: (1) Kapitalisme
dengan teknik modem yang memungkinkan industrialisasi, (2)
Penemuan subyektivitas manusia modem, dan (3). Rasionalis-
me.10
Modernisasi dan modemitas menjadi kata kunci dan isu
sentral dalam wacana berbagai disiplin ilmu, terutama dampak
global yang ditimbulkannya, baik itu yang bersifat progresif-
konstruktif di satu sisi dan degeneratif-destruktif di sisi lain.
Sebagai wujud tanggungjawab moral akademis, ilmu-ilmu
yang hurnanis cenderung concern pada berbagai dampak moder-
nitas yang degeneratif-destruktif itu. Dengan daya nalar-kritis,
mereka tampil sebagai alat kontrol atas tipu daya-ilusif yang
inheren dalam progresifitas kebudayaan modem. Tanpa bermak-
sud untuk memungkiri kegemilangan hasilnya, modernitas secara
simultan telah berakibat buruk, bahkan yang lebih tragis mampu
memusnahkan segala hasil peradaban manusia, sebagai buah
sekian juta tahun evolusi. 11
Bagaimanapun juga, kita tidak bisa mungkir dari watak
ganda modemitas. Dalam sosoknya yang mengagumkan, moder-
nitas menyembunyikan perangkap yang mematikan. Suguhan
dilematis yang disodorkan modernitas tidak bisa tidak harus kita
hadapi. Banyak ilmuwan sosial telah mengingatkan tentang
ancaman besar ini.
9 Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai llmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1993,
hal. 57.
10
Ibid., hal. 59.
Mangunwijaya (penyunting), Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. II,
11 YB.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hal xv.
Bab 1 Pendahuluan 11
Weber juga mengingatkan kita pada ancaman dunia mod-
ern bagi perkembangan manusia. Teorinya teritang rasionalisasi
menghantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa rasionali-
sasi yang pada awalnya adalah pendorong modernisasi, kini telah
menjadi dunia sendiri. Pertumbuhan rasionalitas instrumental
tidak mampu mewujudkan kebebasan universal, bahkan mencip-
takan sangkar besi (iron cage) rasionalitas birokratis yang kian
memasung kebebasan manusia. 15
Seruan lantang tokoh-tokoh teori kritis (Mazhab Frankfurt)
atas kebebasan manusia semakin menggelorakan semangat
perang terhadap patologi modernitas tersebut. Dengan spirit
"Neo-Marxisme" atau "Marxisme-Kritis" yang berbasis pada
daya kekritisan, mereka merumuskan suatu teori yang bersifat
emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern.
Kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan
masyarakat modern, seperti: seni, ilmu pengetahuan, ekonomi,
politik dan kebudayaan pada umurnnya yang bagi mereka telah
menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang
menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus mengasingkan
manusia individual dari masyarakatnya. 16 Maka, kritik dari
Mazhab Frankfurt yang paling dasar adalah kritik atas rasiona-
litas masyarakat modern. 17
15lbid., hal. 60-65.
16 Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengeta/man dan Kepentingan,
Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 46.
17 Pada hakekatnya, kritik mereka terhadap kebobrokan masyarakat modern
dilakukan dalam dua cara: (1) menelusuri kembali akar-akar munculnya cara berpikir
positivistis masyarakat modern dengan merefleksikan proses rasionalisasi di dalam
masyarakat Barat, (2) menunjukkan bahwa cara berpikir positivistis yang telah
mewujudkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku sebagai ideologi
yang diterima secara sukarela oleh masyarakat modern itu sendiri. Melalui kedua cara
itu mereka hendak mengkritik, bukan saja masyarakat modern yang tampil sebagai
struktur yang menindas, melainkan terlebih cara berfikir positivis yang menjadi ideologi
dan mitos. Lihat, Francisco Budi Hardiman, Ibid., hal. 60.
Sesungguhnya terdapat perbedaan paradigma yang signifikan antara generasi
pertama Teori Kritis (Horkheimer, Adorno, Marcuse)-yang mengalarni kebuntuan-dengan
generasi kedua Teori Kritis (Habermas) dengan retasan rasio komunikatifnya, namun
karena terbatasnya tempat, tulisan ini tidak akan menguraikannya. Untuk diskusi ini
lihat, F. Budi Hardiman, Ibid., hal. 71. Lihat juga F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat
Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Bab I Pendahu/uan 13
ungkapannya itu, Benjamin hendak menegaskan bahwa manusia
yang lahir dan menghirup udara modernitas, dipastikan
menerima apa yang disebut sebagai "baptis darah". Hal itu sama
seperti pertaruhan "nyawa" dalam sebuah pertempuran besar
merebut kepenuhan kemanusiaannya. Akhirnya, kematian
menjadi sebuah kata kunci untuk menjelaskan modernitas.
Secara harfiah, seharfiah kematian Benjamin dengan cara
bunuh diri, 20 dalam kata "kematian" terpaparkan kekelaman dan
seakan tak tersisa ruang bagi secuil sikap optimistik sekalipun.
Tetapi bagaimana bila kata itu dimaknai sebagai kiasan semata,
semisal kematian kreativitas subyek? Tentu saja, tafsir seperti itu
tidak sepenuhnya salah, dan sah-sah saja. Hal ini berarti kita
percaya sepenuhnya bahwa ruang untuk pengobatan budaya
masihlah terbuka lebar.
Namun kemanapun arah pemaknaan itu, intinya toh selalu
sama, bahwa modernitas telah menaburkan problem kemanusia-
an yang perlu dijawab dan dicari akar masalahnya. Oleh karena
itu, kita perlu memahami dan memetakan kembali secara holistik
atas elemen-elemen, pilar-pilar penyangga dan struktur dasar dari
bangunan modernitas itu sendiri. Karena modernitas merupakan
hasil ciptaan manusia kultural yang interaktif dan menyejarah,
maka hal yang perlu dipetakan adalah hubungan resiprokal-dasar
antara eksistensi subyek sebagai pencipta kebudayaan maupun
tata-struktur kebudayaan modern yang berpengaruh balik pada
subyek penciptaan tersebut, serta berbagai masalah yang
20 Walter Benjamin, seorang sastrawan dan filsuf Jerman keturunan Yahudi ini
meninggal pada tanggal 25 September 1940 di sebuah hotel di Port Bou, Spanyol.
Kekecewaan, kegagalan dan kekurangberuntungan yang dirasakannya (mulai dari
penolakan Habiliatonsc/zrift-nya sebagai karya pasca-doktoral yang harus dipertahankan
untuk mendapatkan wewenang mengajar hingga kesulitan-kesulitan mengintegrasikan
pandangannya ke dalam lnstitut Penelitian Sosial Frankfurt menyebabkatmya mernilih
jalan bunuh diri dengan memasukkan morfin dalam dosis yang berlebihan ke dalam
tubuhnya. Kematian Benjamin menjadi rnisteri dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada akhimya, rnisteri kematian tersebut sedikit terungkap oleh ungkapan Benjamin di
atas. Ungkapan tersebut ada pada sebuah paragraf dalam esainya ten tang penyair Charles
Baudelaire. Catatan ten tang kematian Walter Benjamin ini say a kutip dari artikel F. Budi
Hardiman Lihat, lbid.
Bab I Pendahuluan 15
Menurut Levine, untuk penangkal krisis tersebut, Simrnel
tertarik pada sejenis proses pendidikan yang asketis terhadap
pengembangan potensialitas individu (kreativitas subyek) melalui
berbagai ajaran dan contoh. Oleh karena itu, program Simmel
tersebut dapat ditempatkan di bawah nama yang sudah banyak
dikenal pada saat ini, yakni "liberal education". 23 Berhubungan
dengan adanya upaya menguraikan konsepsi modernitas dari
Simmel, Levine menganjurkan bahwa kita harus mempertim-
bangkan paling tidak empat tema yang berbeda dari karyanya,
yakni: (1) On Social Differentiation, (2) berbagai tulisan tentang
kebudayaan (filsafat kebudayan), (3) The Philosophy of Money dan
(4) The Metropolis and Mental Life. 24
Dalam menyibak problematika modernitas, Simmel sendiri
mengungkapkan bahwa akumulasi masif budaya obyektif dalam
modernitas menghadapkan individu pada suatu tugas yang sulit
untuk dikerjakan. Lebih jauh, ia menegaskan: 25
Situasi problematis yang khas dari manusia modern muncul tatkala
keberadaannya dikepung oleh unsur-unsur budaya yang tak terhitung
banyaknya; baik itu yang tak bermakna (meaningless) maupun, dalam
analisis terakhir, berhakekat penuh makna (meaningful). Secara massif
mereka menekan manusia modern, hingga ia tidak mampu mengasimilasi
seluruhnya maupun menolaknya, betapapun mereka berpotensi di
wilayah pengembangan budaya(-subyektij)-nya (Simmel, 1968b: 44).
23 Levine menganggap, dengan diagnosis Simmel atas krisis modemitas terse but,
sekarang ini, memungkinkan kita dapat mengenal sejumlah motif-motif utama dari
filsafat pendidikan liberal seperti: menangkal pemujaan atas teknik-teknik dan metode-
metode dengan kembalinya perhatian atas tujuan-tujuan pokok manusia, menolak
atomisasi disiplin-disiplin ilmu dengan sebuah pengertian ten tang keterkaitan berbagai
domain kebudayaan, dan menangkal alienasi dari budaya obyektif dengan
menghubungkan an tara pengetahuan dan pengolahan kekuatan-kekuatan manusia, dan
dengan akar-akamya dalam arus proses kehidupan yang terus menerus mengalir tanpa
henti. Lihat Donald Levine dalam Theory Culture and Society, vol. 8, no. 3, August 1991,
hal. 115.
24 Ibid., hal. 102.
25 Ibid., hal. 10. Featherstone mengutip dari Simmel (1968b:44), "On the Concept
and Tragedy of Culture", dalam The Conflict in Modem Culture and Other Essays, New
York: The Theacers' College Press.
Bah 1 Pendahuluan 17
berbagai babak krisis dalam kebudayaan modern. Menurut
Simmel, kri,sis kronis inilah yang menjadi akar dari "tragedi kebu-
dayaan". Tragedi Kebudayaan ini terjadi dalam kenyataan karena
logika intrinsiknya, dan perkembangan bentuk-bentuk budaya
obyektif semakin menghambat proses kehidupan yang membuat
bentuk-bentuk itu menjadi ada. 29
Dalam beberapa karyanya, Simmel terkesan bersikap pesi-
. mistis dan skeptis atas kebudayaan modern. Namun, kesan itu
tersisih dengan sendirinya ketika Simmel mengemukakan perhi-
tungan terbaiknya ten tang dasar normatif untuk pengobatan bu-
daya, dalam The Crisis of Culture (1917). Secara mengesankan, ia
menuturkan: 30
Perbaikan nurani (subyek) dapat diperjuangkan secara langsung melalui
budaya, dengan jalan menumbuhkan prestasi intelektual manusia,
produk-produk sejarahnya: pengetahuan, gaya hidup, seni, negara, profesi
dan pengalaman hidup manusia; di mana hal-hal ini akan menentukan
sikap budaya yang berjalan melalui spirit subyektif individu, kembali
pada dirinya dan menjadi yang tertinggi ... (Simmel, 1976a: 253).
29 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik da11 Modem, Jakarta: Gramedia, 1994,
hal286.
30 Deena Weinstein & Michael Weinstein, "Simmel and Theory of Postmodem
Society", dalam Bryan S.Tumer (edt), Theory Modernity and Postmodemity, hal. 78.
Bab I Pendahu/uan 19
tang sebuah proses dialektika antara diri (the self) dengan dunia
sosio-kultural. Menurut Berger, dalam masyarakat berlangsung
proses dialektika yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi-
obyektivasi-internalisasi. Kurang lebih, proses dialektika masya-
rakat tersebut dijelaskan oleh Berger sebagai berikut: melalui eks-
ternalisasi masyarakat menjadi produk manusia, melalui obyektivasi
masyarakat menjadi realitas suigeneris, dan melalui internalisasi
man usia menjadi produk masyarakat. 34
Pada momen eksternalisasi, kita dapat memahami manusia
sebagai makhluk yang tak terlepaskan dari kontinuitas pencurah-
an dirinya ke dalam dunia di mana ia tinggal. Manusia sangat
ter-kait dengan keberadaannya dalam lingkungan dan masyara-
katnya (sosio-kultural). Ia bukan sesuatu yang tinggal dalam
dirinya (lingkungan-interioritas yang tertutup ). Eksistensi manu-
sia terajut dalam proses penciptaan dunia bagi dirinya sendiri. Ia
secara terus menerus berada dalam proses menangkap menemu-
kan dirinya dengan membangun dunianya. Ia menghasilkan
dirinya sendiri dalam suatu dunia.
Dalam momen obyektivasi, pada hakekatnya mengungkap
tentang berlangsungnya interaksi sosial dalam dunia inter-
subyektif yang dilembagakan (institusionalisasi). Obyektivasi
menunjuk pada hasil (baik mental atau fisik) yang telah dicapai
dari proses eksternalisasi di atas. Ia menjadi hasil ciptaan yang
otonom berhadapan dengan penciptanya; suatu faktifitas yang
berada "di luar" dan berbeda dari manusia yang menghasilkan-
nya. Dalam hal ini, masyarakat merupakan produk yang berakar
dalam eksternalisasi manusia.
34 Uraian triad dialektis Berger itu dibahas secara eksplisit dalam bukunya The
Sacred Canopy (edisi bahasa Indonesia berjudul Langit Sud: Agama sebagai Realitas Sosial).
Dua buku Berger yang bergerak dalam minat yang sama untuk mempertalikan dimensi
kesadaran dan dimensi struktural masyarakat adalah Tire Social Canstmction of Reality
(Tafsir Sosial atas K.enyataan, Jakarta: LP3ES, 1990) dan Tire Homeless Mind (Pikiran K.embara,
Yogyakarta: Kanisius, 1992). Untuk catatan atas uraian di atas lihat Peter L. Berger, Langit
Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991, hal. 4-5.
35 Lihat uraian panjang Peter L Berger dalam Langit Suci: Agama sebagai Realitas
Sosial, hal. 5-32.
36 Lihat tulisan F. Budi Hardiman, "Kesadaran yang "Tak Bersarang": Refleksi
atas Interaksi Kesadaran dan Struktur dalam Modernisasi", dalam Tim Driyarkara,
Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta : Gramedia, 1991, hal. 113.
37 Ibid., hal. 115.
Bab I Pendahuluan 21
pa Berger mengingkari sumbangan besar Simmel dengan meng-
atakan bahwa ia hanya berhutang gagasan pada Hegel, Marx,
Durkheim dan Mead saja tanpa menyertakan nama Simmel?
Gagasan Simmel muncul jauh sebelum Berger ada. Pendekatan
dan cara pan dang Simmel sangat progresif dalam takaran jaman-
nya danmendahului ide-ide Berger. Bila Berger "mengambil" ide
Simmel adalah suatu kemungkinan yang lebih pasti daripada
yang sebaliknya.
Tatkala mendiagnosis modernitas misalnya, Simmel
mengkhususkan hubungan antara budaya obyektif dan budaya
subyektif yang tidak berjalan simetris, sehingga beberapa sendi
(terutama internalisasi) kebudayaan tidak berfungsi maksimal
dan menimbulkan cacat-cacat dalam modernitas.
Pengertian yang sama dirumuskan oleh Berger dengan
menekankan bahwa simetri kenyataan obyektif dan kenyataan
subyektif tidak bisa sempurna. Keduanya bersesuaian satu sama
lain, tetapi tidak koekstensif. Artinya selalu tersedia lebih banyak
kenyataan obyektif daripada apa yang benar-benar diinternalisasi
ke dalam kesadaran individu. Salah satu sebabnya adalah terdapat
unsur-unsur kenyataan subyektif yang tidak berasal dari
sosialisasi yang ditentukan oleh distribusi pengetahuan dalam
masyarakat.
Biografi subyektif tidak sepenuhnya bersifat sosial. Indivi-
du memahami dirinya sendiri sebagai sekaligus berada di dalam
dan di luar masyarakatnya. Pemahaman Berger itu jelas-jelas
menunjuk konsep Simmel tentang pemahaman diri manusia yang
berada "di dalam" dan "di luar" masyarakat. 38 Di bawah peng-
aruh Simmel, Berger berkesimpulan, simetri antara kenyataan
obyektif dan subyektif tidak pernah menjadi suatu keadaan yang
statis dan tak berubah-ubah selamanya. Ia harus selalu diproduksi
dan direproduksi in actu; suatu aktual penyeimbang yang her lang-
sung terus menerus.
Selanjutnya, untuk uraian tentang cara pandang Simmel
atas seluk beluk modernitas yang sangat kompleks, akan dirujuk
gagasan yang cemerlang dari Briggita Nedelmann. Dalam sebuah
38 Lihat Peter L. Berger, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990, hal. 192.
Bab I Pendahuluan 23
hal ini terdapat penekanan bahwa perubahan-perubahan kebuda-
yaan yang dihasilkan agen manusia telah menambah item-item
kebudayaan yang baru pada sistem kebudayaan, diotonomisasi-
°
kan dan memindahkan item-item lama. 4 Kerangka acuan triadik
Archer tampak dalam hagan berikut:
Tingkat Analisis
Sosiokultural .Dualisme
Sistem Budaya
40 Lihat Brigitta Nedelmann dalam Theon} Culture & Society, vol. 8, no. 3, Au-
gust 1991, hal. 169.
41 Brigitta Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:
Simmel's Three Problems of Culture", dalam Theon} Culture & Society, vol. 8, no. 3,
August 1991, hal. 170-171.
Bab I Pendahuluan 25
The Philosophy of Money, Money in Modern Culture, The Metropolis
and Mental Life, The Problem of Style dan Georg Simmel: On Women,
Sexuality and Loz1e. 42 Sedangkan karya-karyanya seperti: On So-
cial Differentiations, The Conflict in Modern Culture dan The Crisis of
Culture, dan beberapa esai tentang aktivitas seni dan estetika akan
diuraikan menurut referensi sekunder yang menyinggungnya.
D. Relevansi Wacana Simellian
Pemikiran kritis Simmel ten tang modernitas seperti terurai
di atas nampaknya telah luput dari pencermatan ilmuwan-ilmuan
sosial di Indonesia. Dalam lingkup sosiologi sekalipun, kita jarang
mendiskusikan pemikiran Simmellantaran ia masih merupakan
sosokyang asing. Kita lebih tertarik atau terbiasa menggunakan
pemikiran Marx, Weber, Durkheim dan Mazab Frankfurt--khu-
susnya Habermas--ketimbang Simmel. Pendek kata, historisitas
Simmel dan teori-teorinya tetap terkubur dalam-dalam pada
sebuah "mausoleum" di wilayah sosiologi. Meski nama Simmel
dibubuhkan dengan tinta emas dalam deretan the founding father
sosiologi, namun menjadi ironis bila kita tidak tahu kualitas pemi-
kirannya. Sebuah alasan mengapa pemikiran Simmel tidak ba-
nyak dikenal di Indonesia adalah lantaran minimnya buku-buku,
tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentangnya. 43 Namun, apapun
alasannya, fakta tetap tak berubah: secara global, sosiologi kita
mengalami ketertinggalan wacana.
ten tang Simmel, namun dari sekian banyak tulisan pendek ten tang tokoh-tokoh ini, porsi
bahasan ten tang Simmel adalah yang paling minim. Menurut catatan saya, buku-buku
terjemahan maupun ulasan singkat tentang Simmel tersebut di antaranya: Seorjono
Soekanto, Seri Pe11ge11aiall Sosiologi, Georg Simmel: Beberapa Teori Sosiologi, Jakarta: Rajawali,
1986. Hotman M. Siahaan, Pengantar ke Aralz SeJarah dan Teon Sosiologi, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1986. KJ Veeger, Reali las Sosial, Jakarta: Gramedia, 1986. L Laeyendecker, Tala,
Perubalza11 da11 Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia, 1991
(edisi ke-2). Doyle Paul Johnson (terj. Robert M.Z Lawang ), Teori Sosiologi Klasik dan
Modem, Jakarta: Gramedia, 1994 (edisi-3). Tesis S-2 dari Hendry Restuadi, Perspektif Konflik
Memmll Georg Simmel, 1998 (tidak diterbitkan). Bryan Turner (terj. Imam Baehaqi &
Ahmad Baedlowi), Sosiologi Modemitas-Postmodemitas; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,
haL 125-181. Fakta ini menandakan betapa tulisan dan pemikiran Simmel tidak/belum
banyak dikenal di Indonesia.
44 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, haL 59.
Bab I Pendahuluan 27
(menjadi ideologi) hila kita tidak memulai untuk menangkap
nuansa "paradigma baru" dalam hangatnya perdebatan tentang
Simmel di Benua Eropa. Kita tidak bisa terus menerus menjadi
"burung unta" yang tetap menutup mata dengan membenamkan
kepalanya ke dalam pasir, tatkala "rush" perdebatan tentang
Simmel telah lama berkecamuk di belahan bumi utara itu.
Kedua, secara lebih spesifik, kita dapat mengambil saripati
teori kebudayaan Simmel yang sarat dengan nilai-nilai yang hu-
manis. Penekanan nilai humanitas ini dapat kita cermati tatkala
Simmel selalu mengedepankan pentingnya penegakan kembali
eksistensi subyek sebagai tuan, melalui dekonstruksi pemikiran
atas kebudayaan modern yang semakin hingar-bingar dan carut-
marut dalam perjalanan meniti historisitasnya.
Dalam dataran praksis, dekonstruksi pemikiran tersebut
perlu dibiakkan untuk menghadapi semakin melangitnya
meminjam istilah Berger "piramida kurban manusia", yang
merupakan harga-mahal yang harus dibayar untuk sebuah proses
perubahan bernama "pembangunan". Sejarah telah mencatat
bahwa dalam sebuah negeri bernama Indonesia ini, eksistensi
subyek telah digilas, dihancur-lumatkan oleh agensi yang
menamakan diri sebagai "Orde Baru" atau penerima tongkat
estafetnya: "Orde Reformasi", yang sesungguhnya palsu sekali-
gus pongah. Kesadaran subyek sebagai pelaku aktif perubahan
kebudayaan terhegemoni oleh "paradigma dan kebenaran tu-
nggal" the ruling class. Melalui berbagai bentuk "atas nama
pembangunan manusia seutuhnya", subyek-subyek dipaksa
tunduk pada asas tunggal-modernitas: "pembangunanisme".
Sekalipun saat ini Indonesia telah mengalami "Fajar Baru" de-
ngan hadirnya Kabinet Persatuan Nasional dan Kabinet Gotong-
Royong yang nampaknya lebih legitimate, namun kita harus tetap
menghidupkan daya nalar kritis untuk mengontrol dan
mengawasi jalannya pemerintahan yang dari hari ke hari kian
kewalahan mengelola puing-puing bangunan bangsa ini. Sesuai
dengan proyek deobyektivasi Simmel, kita perlu untuk tetap
terjaga dan menghidupkan bara kesadaran kritis, agar tidak kian
terperangkap dan terperdaya oleh segala bentuk--meminjam
Bab I Pendahuluan 29
Bab II
Blografl Intele~tual
Georg Slmmel
I
II
II
II
I I
I I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
Bab II
Biografi Intele~tual
Georg Simmel
1 Kelahiran Simmel ini saya kutip dari sebuah kutipan yang diambil oleh David
Frisby dalam buku Bohringer & K. Grunder (editor) yang berjudul Asthetik wzd Soziologic
wn die Jalzr/nmdertwende: Georg Simmel. Satu-satunya anak Simmel, Hans Simmel,
mengatakan bahwa, ... pada tanggal 1 Maret 1858, Georg Simmel, ayah say a, terlahir di
sebuah rumah di sisi barat laut dari persilangan antara Leipzigerstrasse dan Friedrichstrasse.
Di sisi barat pusat kota yang lama, dua jalan ini nan tiny a menjadi )alan yang mempunyai
sifat khas dan merupakan jalur perdagangan yang sangat penting ... Lihat dalam David
Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 21. Lihat juga Lewis Coser, Master of Sociologi-
cal Tlwu~lzt, lzal. 194
Ungkapan ini pemah diungkapkan oleh Hans Simmel. Ia mengatakan, "Dia
(Simmel) merupakan manusia urban modern, ... seorang yang terasing di tanah
kelahirannya sendiri. Layaknya orang asing yang dilukiskan dalam salah satu esainya
yang sangat terkenal, ia berada dekat dan jauh sekaligus dalam waktu yang sama, seorang
petualang yang penuh daya kekuatan". Untuk uraian di atas lihat David Frisby, Georg
Simmel (Key Sociologist), hal. 21 dan Lewis A. Coser, Master of Sociological Tlzouglzt, hal.
194.
3 Beberapa esai Simmel ten tang agama dan kristianitas pemah dikaji oleh Brad-
ley E. Starr dengan judul: "The Tragedy of The Kingdom, Simmel and Troeltsch on Pro-
phetic Religion", dalam Journal of Religious Ethics GRE) 24. 1, Spring 1996, hal. 141-167.
Sekadar menyebut beberapa esainya ten tang ini, an tara lain: Beitriige wr Erkennthistheone
der Religion (1902); Religioser Gnmd Gedanken rmd modme Wissensclraft (1907), Voom Heil
der See/e (1902-03), Das Clrristentum und die Kunst (1907), Die Peronliclzkekit Gottes (1911 ).
dan Das Prob/eme der religiosen Lage (1911). Simmel juga menulis The Sociology of Religio11
(1906), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Curt Rosenthal pada
tahun 1959 terbitan New York: Philosophical Library.
4 David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 22. Lihat juga Lewis Coser,
Master of Sociological Thought, hal. 194; Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Modern,
hal. 253. Renate Mayntz, dalam David L Shill, International EnCJjclopediaof The Social Sci-
ence, vol. 14, New York: Free Press & Macmillan, 1968, hal. 252.
5 David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), haL 23.
6 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, haL 252.
7 David Frisby, Georg Simme/ (Key Sociologist), haL 23.
8 Ibid. Lihat juga Lewis Coser, Master of Sociological Thought, haL 194-195.
17 Uraian di atas dikutip dari Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 203-
204.
25 /bid. Lihat juga dua karya Simmet The Philosophy of Money (1900) dan The Met-
ropolitan and Mental Life (1903), yang jelas-jelas berlatar kota Berlin. Dalam ungkapan
Karl Joel, seorang filsuf dan ternan Simmel, misalnya: The Philosophy qfMoney merupakan
"Filsafat Jaman". Lebih detailnya, ia mengatakan: "Buku ini hanya dapat ditulis di Ber-
lin pada saat itu ... Dengan kepekaan telinga, karya ini mampu menangkap suara yang
sangat jauh di dalam kehidupan modem. Dari celoteh orang-orang di pasar yang riuh-
rendahnya takkan terdengar oleh layaknya orang, namun bak Pythagorean yang terkait
dengan harmoni lingkungan, ia selalu mampu mendengarkannya. Lihat David Frisby,
"Introduction to The Translation" dalam Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 8.
30 Ibid.,hal. 36-37.
31 Lewis Coser, Master of Sociological Thouglrt, hal. 198.
32 Aspek-aspek dan perspektif psikologi ini bisa ditemukan dalam On Son a/ Dif-
ferentiation (1890), Problems ofP/zilosoplzy ofHistonJ (1892), Introduction to Moral Philosophy
(1892-1893), The Philosophy of Money (1900), bahkan dalam beberapa esainya dalam Soci-
olof51J (1908) sekalipun. Di tahun 1889 sampai dengan 1909, meskipun Simmel banyak
memfokuskan kajian pada sosiologi, namun ia sempat juga mengajar 13 rangkaian
pelajaran tentang psikologi. Empat dari hga belas rangkaian tersebut berjudul: Social
Phsyclwlof51J, yang secara khusus mengacu pada Socialism. Lihat dalam David Frisby,
Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 24-25.
36 Hipotesis yang mengatakan bahwa karya besar Simmel yang satu ini berbasis
kuat pada perspektif sosiologi telah dijelaskan oleh David Frisby dalam berbagai
tulisannya. Lihat tulisan David Frisby dalam pengantar terjemahan The Philosophy of
Money dan Georg Simmel (Key Sociologist). Untuk uraian di atas lihat David Frisby, Georg
Simme/ (Key Sociologist), hal. 25.
37 Kemampuan Simmel untuk bergerak melampaui batas disiplin ilmu,
menggunakan berbagai perspektif teori, dan gaya penulisannya yang esaistik
memunculkan anggapan bahwa karya-karyanya bersifat tidak sistema tis, terpecah-pecah,
terfragmentasi (fragmented). Banyak ilmuwan mengatakan, fragmentasi tulisan Simmel
menyiratkan kegagalannya sebagai ilmuwan sosial dalam mengemban peran keilmiahan
dari komunitas intelektual. Emile Durkheim rnisalnya, mengatakan bahwa karya-karya
Simmel menunjukkan tidak adanya sistem orientasi yang jelas, "tiadanya keterkaitan"
antara tulisan yang satu dengan tulisan-tulisan lainnya. Pitirim Sorokin menulis bahwa
karya-karya Simmel menghasilkan rentetan inkonsistensi-logis, ketidakjelasan konstruksi-
konstruksi teoritis, yang menunjukkan kurangnya sejumlah sistem penulisan yang jelas.
Max Weber, dalam sebuah komentar, menyebut tulisan-tulisan Simmel sungguh-sungguh
cemerlang (simply brilliant), dan hampir setiap karya-karya Simmel berlimpah gagasan-
gagasan teoritis baru yang penting dan observasi-observasi yang sangat tajam. Namun,
Weber menyayangkan, metodologi Simmel "tidak dapat diterima" (unacceptable), serta
cara presentasinya "asing" (strange) dan "menjengkelkan" (rmcongenial). Leopold Von
Weise, orang yang membahas disiplin sosiologi Janna/ Simmel, juga menyoroti "sifat-
tidak bisa diterima" itu. Ia rnenunjuk pada kurangnya peralihan antara satu pemikiran
dengan pemikiran lainnya sebagai sebuah keadaan yang teramat kurang menguntungkan
bagi intisari pemikirannya. Lewis Coser, teoritisi strukturalisme konflik yang banyak
mengembangkan teori konflik Simmel, mengatakan bahwa Simmel tidak pemah tertarik
pada "esprit de systeme". Tak jelas baginya, apakah hal itu disebabkan oleh ketidak-
sabaran Sirnrnel ataukah sungguh-sungguh karena ketidakmampuannya untuk
berkonsentrasi pada sebuah persoalan khusus dalarn waktu yang lama, sehingga ia
meloncat dari satu topik ke topik lainnya, dan bergeser dari satu jalan pikiran ke jalan
pikiran lainnya. Dalam terminologi psikologis, Coser mengatakan bahwa kegagalan dari
tulisan yang terpisah-pisah itu, terkandung sebuah karakter a tau sifat yang negatif. Lihat
dalarn Charles David Axelrod, Studies in Intellectual Brekthrouglz: Freud, Simmel, Buber,
University of Massachusetts: Amherst, hal. 37.
Lain halnya dengan Georg Lukacs, salah seorang murid dan pengagum Simmel,
yang rnenjuluki Simmel sebagai "filsuf impresionisme", yakni seorang tokoh besar yang
mewakili "pluralisrne-metodologis" yang cirinya selalu menghargai perbedaan yang tak
ada akhirnya atas berbagai kemungkinan topik dan pendekatan filosofis. Lihat
Featherstone, "Georg Sirnmel: An Introduction", dalam Theon; Culture & Society, A Spe-
cial Issue 011 Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 3. Lihat juga tulisan Georg
Lukacs, "Georg Simmel'', dalam jumal ini, hal. 145-150.
62 1100% 118
Total
I 100% 180
I
38 Bibliografi yang disusun Erich Rosenthal dan Kurt Oberlander "Books, Pa-
pers, and Essays by Georg Simmel'', dalam A mericau journal of Sociology, XI November,
1945, hal. 238-47 sebagaimana dikutip Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal.
212-213.
39 Uraian ini saya kutip dari tulisan Renate Mayntz dalam David L Shill, Interna-
tional EnCIJclopedia of The Social Science, hal. 253. Bibliografi Simmel yang disusun oleh K.
Gassen dan M. Landmann (ed.) tersebut terdapat dalam buku Buell des Dankes an Georg
Simrne/, Berlin: Duncker & Humblot, 1958, hal. 309-65; merupakan bibliografi yang pal-
ing lengkap dan komprehensif. Dalam hal ini, Frisby pun mengacu padanya.
40 Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 195.
46 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, hal. 253.
47 Ibid., hal. 255.
pengetahuan yang baru. Untuk uraian yang lebih mendalam lihat Francisco Budi
Hardiman, Kritik Jdeologi: Pertautmr Perrgetalruarr dan Keperrtrngarr, hal. 111-1 1'\, dan Harun
Hadiwijono, Sari Se,aralr Filsafat Barat 2, hal. 63-82.
55 Harry Hamersma, Tokolr-tokolr Filsafat Barat Modem, hal. 27. Lihat JUga L.
Laeyendecker, Tala, Pcrubalran dan Ketimpangan: Srwtn Pengantar Sejaralr Sosiolog1, Jakarta:
Gramedia, 1991, hal. 161.
56 Lewis Coser, Master of Sociological Tlrouglrt. hal. 202.
57 Dalam filsafat Kant itulah sosiologi formal Simmel memperoleh keaslian dan
batu dasamya. Dasar pemahamannya adalah seperti halnya Kant yang berpemahaman
bahwa ilmu pengetahaun bersifat umum dan mutlak, serta berpikir bahwa seluruh
pengalaman ten tang alam dipertajam oleh kategori formal a priori, Simmel juga berusaha
menunjukkan bahwa isi kehidupan sosial yangmengalami perubahan dapat diteliti hanya
melalui analisis ten tang bentuk-bentuk sosialnya yang bersifat abadi, a tau melalui kategori
yang mana nan tiny a isi (kehidupan) yang sangat berbeda-beda terse but terkristalisasikan
dan tertangkap oleh kita. Catatan ini saya ambil dari Lewis Coser, Ibid., hal. 202.
58 Berbeda dengan kritisisme dari Kant yang bersifat transendental di mana rasio
yang kritis diletakkan di atas dasar yang pasti dan tak tergoyahkan, yang berarti rasio
yang tak mengenal waktu, netral dan ahistoris-Hegel meletakkan rasio di dalam proses
perkembangan-dirinya (Bildwzgsprozess). Dengan kata lain, rasio-kritis terbentuk dalam
proses perkembangan pengetahuan yang historis. Di sana, raszo vzs a vis dengan berbagai
rintangan, tekanan dan kontradiksi. Dalam konteks tersebut, Hegel memaknai kritik
sebagai rejleksi-diri atas rintatzgan, negasi atau dialektika. Dasar pemahamannya, rasio kritis
atau kesadaran timbul dengan cara menegasi dan mengingkari rintangan-rintangan
tersebut. Lihat uraian ini dalam Francisco Budi Hardiman, Kritik ldeologi: Pertautan
Pengetalzuan dan Kepentingan, hal. 48-50.
59 Franz Magnis Suseno, "Hegel, Filsafat Kritis dan Dialektika", dalam Tim
Redaksi Driyarkara, Diskursus Kemasyarakatan dan Kemarmsiaan, Jakarta: Gramedia, 1993,
hal.19.
60 Ibid., hal. 20.
61 Untuk uraian tentang hal tersebut lihat Lewis Coser, Master of Sociological
Thought, hal. 183-186.
62 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, haL 256.
63 David Jary & Julia Jary, Collins DictionanJ of Sociology, Britain: Harper Collins
Publisher, haL 13-15. Lihatjuga Michael Mann, The lntenzational Enajclopedia ofSocioiOgJJ,
New York: Macmillan Press, 1984, hal. 7-8.
64 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modem: Suatu A1wlisis Karya Tufls
Marx, Durkheim dan Max Weber, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 13-14. Lihat juga Doyle
Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, hal. 139-140.
65 Kemunculan teori alienasi budaya dari Sinunel sesungguhnya mendahului
diskusi Marx ten tang alienasi dalam Paris Manuscripts-nya (yang baru ditemukan pada
tahun 1930-an) dan beberapa aspek dari teori reifikasi dari Georg Lukacs dalam tulisan
yang berjudul History and Class Concuousness, yang terbit pada tahun 1923. Lihat David
Frisby, Georg Si111me/ (Key Sociologist), hal. 107.
68 K. Berten, Filsafat Bam! A bad X X filid II PcraiiCIS, Jakarta: Gramedia, 1985, hal.
261-262. .
69 Harun Hadiwijono, San Sqaralr Fi/safnt Barat 2, hal. 127-129.
70 ST. Sunardi, Nitzsche, Yogyakarta: LKiS, 1996, hal. 14-20.
71 Man usia super yang dicirikan oleh Nietzsche adalah manusia yang bermoral
tuan, yakni: manusia yang kuat, berani, berbudi luhur, berbudaya, estetik, bebas, yang
tidak dihadang oleh belas kasih dengan yang lemah, dan yang seperlunya berani
bertindak kejam. Dalam hal ini, Nietzsche berfokus pada nilai-nilai vital, insting,
pengembangan diri, dan keberanian untuk mengikuti kepentingannya sendiri. Sedangkan
untuk moralitas budak, menurut Nietzsche, adalah moralitas kawanan (Herdcmnoral),
sikap orang yang selalu mengikuti kelompok dan tidak berani bertindak sendiri, yang
perlu dipuji dan takut ditegur. Uraian ini dikutip dari Franz Magnis Suseno, Tiga be/as
Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani smnpai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hal. 198-
203.
72 Harry Hamersma, Tokoh-tokolr Filsafat Barat Modern, hal. 83.
73 David Frisby, "Introduction to The Translation", dalam Georg Simmel (Key So-
ciologist), hal. 4 dan 150.
74 Lewis Coser, MasterofSociologicnl Tltougilt, hal. 199. David Frisby, Georg Simmel
(Key Sociologist), hal. 37.
75 Lukacs mengatakan, "Di tahun 1908, saya membuat sebuah kajian tentang
Capital Marx untuk membuat landasan sosiologis bagi monografi drama modem. Saat
itulah Marx muncul sebagai seorang "sosiolog" yang menarik bagi saya, dan say a melihat
dia melalui kacamata Simmel dan Weber. Lihat Georg Lukacs, HistonJ and Class Con-
sciousness: Studies in Marxist Dialectics, Cambridge: MIT Press, 1994, hal. ix.
76 Ibe Karyanto, Realisme Sosialis Georg Lukacs, Jakarta: Gramedia, 1997, hal. 23.
77 fbid.
81 Ibid.
82 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali, 1992, hal.106-
129. Lihat juga Proposisi 7 dari Lewis Coser, "Impact and Function of Conflict in Group
Structures", dalam bukunya The Functions of Social Conflict, New York: Free Press, 1968,
hal. 72-81; bandingkan dengan Georg Simmel, Conflict The Web of Group-Affiliations, New
York: Free Press, 1964, hal. 17-20. Lihat juga, Mark Abrahamson, Sociological Theon;:An
Introduction to Concepts, Issues, and Research, New Jersey: Prentice-Hall, 1981, hal. 166-168
(khususnya tentang Conflict and Functional Integration and Coser's Fonnulation).
6 Ibid.
9 Exwrsus merupakan bahasa Latin yang secara kiasan berarti mengalir keluar,
pelanturan, perkembangan (dalam hal uraian, pembicaraan/ disputatio11is) yang oleh
Frisby dimaksudkan sebagai teks pendamping, pembawa titik keterkaitan. Dalam konteks
ini, kata ekskursus tersebut menunjuk pada pengertian: meskipun berbagai esai lepas
yang ditulis sebelumnya itu mempunyai judul yang berbeda dan tidak termuat dalam
struktur teks Sociology Simmel, sehingga terlihat saling lepas bahkan 'menyimpang',
namun sesungguhnya ia memiliki keterkaitan yang sangat erat dengannya. Dalam kasus
tertentu, mereka bisa berfungsi sebagai yang dijelaskan sekaligus penjelas, contoh praktis,
bahkan tidak jarang sebagai ide dasamya. Dalam pemahaman Frisby, alasan utama
mengapa antara struktur teks Sociolog1; dan ekskursus-ekskursusnya perlu dipaparkan
seperti di atas adalah agar kita dapat membentuk atau menyusun pemahaman yang
holistik atas karya sosiologi Simmel. Untuk melengkapi pemahaman tentang struktur
teks SociologJJ Simmel dan sejumlah ekskursus berikut tahun penulisannya lihat David
Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 133-134
10 Georg Sinunel, "The Field of Sociology ", dalam Robert Bierstedt, Tire Making
Society : Au Outline of Sociology, hal. 376.
11 Ibid.
13 Pemahaman Simmel ten tang konsep fungsional ini sangat bertolak belakang
dengan asurnsi kaum fungsionalisme yang menganggap bahwa masyarakat adalah suatu
substansi, suatu organisme, sebuah entitas otonom yang tak dapat direduksi lagi. Kata
fungsional Simmel itu lebih tepat bila disebut dengan relation ism. Konsep relation ism ini
menjadi kata kunci untuk menjelaskan prinsip regulatifglobal Simmel. Lihat Renate Mayntz
dalam David. L Shill, lntemational Encyclopedia of The Social Science, hal. 255.
14 David Frisby, Georg Simmel, hal. 49
17 Landasan yang bersifat abstrak untuk prinsip regulatif tersebut pada awalnya
dipresentasikan Simrnel dalam disertasi doktoralnya (1881) yang mengkritisi "konsepsi
benda" dari Kant. Lihat David Frisby, Ibid., hal. 50.
18 Seluruh uraian tentang masyarakat dan individu di atas, sesungguhnya
terangkum sepenuhnya dalam penjelasan Simrnel yang sangat mendasar ten tang tafsir
atas realitas sosial yang dirumuskan melalui pertanyaan: How is Society Possible?
Pertanyaan itu dijawab melalui kondisi-kondisi yang meletakkan apriori dalam unsur-
unsumya sendiri (individu-individu) yang mengombinasikan diri mereka sendiri secara
aktual ke dalam sintesis "masyarakat". Menurut Simrnel, tulisan itu berusaha melacak
prosedur-prosedur a priori sosiologis yang dengan sendirinya akan menjelaskan eksistensi
individu-individu sebagai masyarakat. Pelacakan ini memperlakukan prosedur-prosedur
tersebut secara temporal tidak sebagai contoh sebab atas suatu hasil, tetapi sebagai proses
sintesis parsial yang secara komprehensif kita sebut masyarakat. Dengan demikian, untuk
mencapai sintesis tersebut berarti kita perlu mengacu pada alam yang terletak dalam
pengamatan kita, dengan serta-merta mengacu pada masyarakat melalui unsur-unsumya.
Lihat Georg Simrne!, "How is Society Possible?", dalam American foumal ofSociologt;. vol.
16 (1910-11) via Simmel Home Page, hal. 2-3. Untuk uraian di atas lihat David Frisby, Ibid.,
hal. 51
19 Banyak literatur yang selalu salah kaprah, latah, dan meninggalkan substansi
sebenamya dalam memahami sosiologi formal Simmel. Telah terjadi reduksi atas teori
bentuk-bentuk sosial ini. Menurut Bouman, penjelasan hubungan antara psikologi sosial
dan ilmu bentuk sosial ada dalam sosiologi Simmel ini. Namun dalam sejarah ilmu
pengetahuan kita, masih saja merupakan teka-teki besar bagaimana rumusan yang
menyesatkan tentang sosiologi formal telah menimbulkan bencana yang begitu banyak.
Dengan hal itu orang kemudian memojokkan Simmel yang berakibat menghalangi kita
untuk melihat bentuk ilmu yang dianutnya itu secara jelas. Untuk catatan ini lihat P. J
Bouman, Sosiologi Fundamental. Jakarta: Djambatan, 1982, hal. 57.
20 Georg Simmel dalam Robert Bierstedt, The Making Society: An Outline of Sociol-
ogy, hal. 383.
21 David Jary & Julia Jary, Collin DictionanJ of Sociology, hal. 599.
22 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem, hal. 257.
26 Lihat Lewis Coser, Ibid., hal. 178-179. Meskipun Sirnrnel juga mempertimbang-
kan struktur institusionalisasi lebih besar sebagai bidang kajian dan penelitian sosiologis,
tetapi dia juga membatasi karya-karyanya pacta sesuatu yang disebutnya sebagai "interaksi
dian tara atom-atom masyarakat". !a mernbatasi perhatian pacta pola-pola interaksi funda-
mental di antara individu-individu yang berada dalam formasi sosial yang lebih besar.
Bagi Coser, saat ini, sosiologi Simrnel dapat digambarkan sebagai "mikrososiologi". Metode
sosiologi yang diajukan dan dipergunakannya merupakan fokus perhatian pacta jumlah
terbatas dan abadi dari bentuk-bentuk interaksi. Lihat Lewis Coser, Ibid., hal. 178-179.
Bandingkan dengan Renate Mayntz dalam David L Shill (ed), International Encyclopedia
of tlze Social Science, hal. 255.
27 David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 51.
28 Ibid.
29 Simmel menolak anggapan bahwa sosiologi adalah filsafat sejarah yang
mengkaji hukum-hukum sejarah maupun hukum-hukum masyarakat. Menurutnya
sosiologi berperan dalam pemisahan atas totalitas peristiwa-peristiwa historis sejauh ia
menarik fungsi sosiasi dan bentuk-bentuknya yang tak terhitung berikut
perkembangannya sebagai suatu bidang yang khusus. Meskipun posisi sosiologinya
sudah terpaparkan secara jelas, Simmel masih saja mendapat tuduhan bahwa tak satupun
dari analisisnya tentang bentuk-bentuk sosiasi bersifat historis.
konspirator (orang-orang yang berkomplot), asosiasi ekonomi, sekolah seni, Jan keluarga.
Sedangkan isi-isi interaksi adalah kekuatan-kekuatan motifnya: seperti Jorongan-
dorongan, maksud-maksud, tujuan-tujuan, kepentingan-kepentingan dari masing-masing
individu yang terlibat dalam interaksi terse but. Selain terse but di atas, menurut Mayntz,
Simmel juga membahas bentuk-bentuk sosiasi bersifat spasial dan temporal; Jan d.imensi
kuantitatif, Jepend.ensi-otonomi yang memainkan peran kunci dalam analisisnya ten tang
anggota kelompok dan individualitas. Lihat Georg Simmel dalam Robert Bierstedt, The
Making Society: An Outline of Sociology, hal. 395. Bandingkan Renate Mayntz d.alam David
L.Shill, International Encyclopedia of the Social Science, hal. 256.
33 Pengertian formal berasal dari bahasa Latin forma yang berarti bentuk atau
pola, dan merupakan terjemahan dari bahasa Yunani idea atau eideos. Pengertian forma
dari Simmel cenderung mengacu pada Kant dengan merevisi sudut pandang yang fun-
damental darinya. Bagi Kant, forma dan materi sama dengan struktur dan isi.
Pengertiannya sebagai berikut: (1) Materi diidentikan dengan sensasi (pengi.nderaan)
dan forma dengan konsepsi-konsepsi yang menata sensasi, (2) Ruang dan waktu disaji.kan
sebagai forma-forma mumi sensibilitas, (3) Kategori disajikan sebagai forma-forma mumi
pengertian, (4) Rasio dianggap sebagai pengatur dan bukan melebihi atau mengatasi
fenomena-fenomena. Lihat Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pus taka Utama,
1996, hal. 265, 268.
Dengan mengikuti konsep a priori Kant, Simmel menyatakan forms (fom1a-forma)
sebagai kousep-konsep a priori sintetis. Pengertian itu berbeda baik dengan konsep a priori
konvenswnal yang semata-mata analitis maupun dengan konsep empiris konvensional
yang semata-mata sintetis. Dalam semangat diferensiasi sosial yang berimplikasi pada
diferensiasi ilmu-ilmu berikut spesifikasi tugasnya, Simmel merintis sosiologi dengan
obyeknya yang khusus: bentuk-bentuk sosiasi, yang disebutnya sosiologi mumi atau
sosiologi formal. Lihat D.Jary & ].Jary, Collin Dictionary of Sociologt;, hal. 234-235.
34 Simmel menganalogikan sosiologi formal dengan abstraksi geometri yang hanya
menyelidiki bentuk-bentuk ruang dari benda-benda, meskipun secara empiris bentuk-
bentuk tersebut hanya ditentukan sebagai bentuk-bentuk dari isi pokoknya. Ia juga
menganalogikan dengan grammar yang memisahkan bentuk-bentuk bahasa dengan
36 Dalarn hal ini, sosiologi hanya rnenggali satu aspek dari totalitas fenornena. Ia
rnernpelajari apa yang terjadi dengan rnanusia dan kaidah-kaidahnya dalarn bertingkah
laku, bukan sejauhrnana rnereka rnernbuka eksistensi individunya yang dapat dirnengerti
dalarn totalitas rnereka, tetapi sejauh rnereka rnernbentuk kelornpok-kelornpok dan
terbatasi oleh eksistensi kelornpok hasil dari interaksinya. Lihat Georg Sirnrnel dalarn
Robert Bierstedt, The Making Society: An Outline of Sociolog~;, hal. 384-385.
37 David Frisby, Georg Simme/ (Key Sociologist), hal. 53.
n Georg Simmel dalam Robert Bierstedt, The Making Society: An Outline of Sociol-
0{51). hal. 386.
44 Saat menguraikan hal itu, Simmel memberikan beberapa contoh praktis tentang
pendekatan sosiologis pada berbagai bidang kajian. Dalam kriminologi misalnya, orang
dapat menggunakan penelitian sosiologis untuk mempelajari sifat kejahatan massa. Stimu-
lus-stimulus dari perilaku yang bersifat kolektif-impulsif tetap dapat diketahui secara
jelas. Bagi orang yang belajar tentang agama, melalui kajian sosiologis orang bisa
mengetahui bahwa kesalehan (perilaku beragama) tidak secara eksklusif dipengaruhi
oleh ajaran agama yang bersifat transendental semata, tetapi juga oleh motivasi-motivasi
dan unsur-unsur sosiaL Bagi orang yang mempelajari politik atau sejarah kebudayaan,
ada kecenderungan kuat, kebijakan dalam negeri yang ditetapkan oleh suatu negara
lebih banyak ditentukan dari proses-proses dan kondisi-kondisi ekonomi sebagai alasan
utamanya. Padahal perubahan kondisi ekonomi hanyalah manifestasi perubahan
sosiologis yang fundamental. Analisis sosiologis secara umum juga sangat tepat untuk
menunjukkan jalan menuju sebuah konsepsi sejarah yang lebih besar dari materialisme
his loris, dan bahkan menggantikannya. Jika ekonomi terkesan cukup menentukan seluruh
bidang kebudayaan, kebenaran di belakang penampilan yang mengesankan ini akan
terbongkar bahwa ekonomi pun ditentukan oleh perubahan sosiologis yang juga
menentukan seluruh fenomena kebudayaan. Dengan demikian, sesungguhnya bentuk
ekonomi hanya merupakan suatu superstruktur dari kondisi-kondisi dan transformasi
dalam struktur sosiologis. Pendek kata, struktur sosiologis ini merupakan unsur-pokok
dari sejarah yang mengelilingi hingga menentukan seluruh isi kehidupan yang lain,
termasuk ekonomi. Lihat Georg Simmel dalam Robert Bierstedt, Tire Making Society: An
1s
Outline Sociology, hal. 387-389.
5 Ibid.,, hal. 387.
46 Lihat Renate Mayntz dalam David L Shill (ed.), International EllC1Jclopedia of the
Social Science, hal. 255.
47 Untuk pendapat dari H.J Becher (1971:14) dan M. Steinhoff (1924/25: 228-9)
lihat David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 59.
48 Dalam konteks ini, kita mungkin bertanya-tanya: "Bisakah Simmel dikatego-
rikan sebagai proponen tradisi Culture Studies 7 Ada anggapan bahwa kemunculan cul-
ture studies dipicu o!eh kegerahan dan kegelisahan terhadap kemandegan,tepatnya rigidi-
las atau kekakuan ilmu-ilmu seperti: sosiologi dan antropologi, dan lain-lain. Kita bisa
mencermati berbagai kritik atas grand theories (baik ala Marx, Durkheim dan Weber berikut
penganut-penganutnya) yang dianggap sebagai kelompok yang paling bertanggung
jawab atas tindak pengerdilan sosiologi itu sendiri. Dalam teori-teori besamya berikut
keketatan metode yang diasumsikan dapat berlaku umum danmenjawab seluruh perma-
salahan, lantas mereka abai terhadap uraian yang lengkap ten tang fenomena sosial yang
begitu kompleks. Teori-teori besar yang dibangunnya telah menjadi teori yang rigid,
tepatnya ideologi, yang tidak bisa diganggu gugat. Untuk menjawab pertanyaan di atas,
tentu saja kita perlu penelitian lebih jauh mengenai hal itu.
49 Bandingkan penilaian ini dengan penilaian Berger, dalam kajian tentang
kebudayaan modem, yang menyejajarkan antara konsep abstraksi dari Simmel dengan
konsep rasionalisasi dari Weber. Menurutnya, dalam kerangka menjelaskan modemitas,
51 Lihat Renate Mayntz dalam David L.Shill, International EnCl;clopedia of t!U? So-
cial Science, hal. 255.Lihat juga Lewis Coser, Master of Sociological Tlwuglzt, hal. 178-179.
52 Lihat David Frisby, Georg Simmel (Key Sociologist), hal. 63-64.
53 Menurut Mannheim, Sosiologi Pengetahuan harus menerapkan kedua
pendekatan itu secara altematif dan saling melengkapi. Pendekatan mikroskopis sangat
penting untuk memverifikasi detail-detail dalam cakupan terbatas. Dengannya, kita dapat
menganalisis setepat mungkin, misalnya semua pikiran penting dari suatu arus politis
dengan acuan pada gaya pikir mereka; penggunaan setiap konsep yang berbeda-beda
antara kelompok yang satu dengan yang lainnya; perubahan dalam basis sosial
mempengaruhi gaya berpikirnya, dan lain-lain. Sedangkan pendekatan makroskopis
bermanfaat untuk meletakkan dasar-dasar suatu kompleks masalah yang komprehensif.
Dengannya, kita dapat mendiagnosis langkah-langkah yang paling penting dalam sejarah
kompleks ideologi-utopia, a tau menjelaskan titik-titik peralihan yang tampaknya penting
bila dilihat dari jauh. Lihat Karl Mannheim, ldeologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran
dan Politik, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal. 58.
54 Seperti telah kita ketahui, kesadaran modem memposisikan manusia sebagai
subyek pengetahuan. Ungkapan Bapak Filsafat Modem, Descartes:"Cogito ergo sum,"
56 Georg Simmel, How is Society Possible?, hal. 2. Lihat juga David Frisby, Georg
Simmel, hal. 121.
57 Di sini, Simmel berulangkali meggambarkan simultanitas individu: "di dalam-
di luar", "terrnimts ad quo-terrnimts ad quem", "anggota masyarakat-produk masyarakat", "unsur
organisme-satuan organik terfllfllp", "social animal-unsocial animal"' dan lain-lain.
65 Lihat kutipan dan terjemahan ungkapan Lukacs ini dalam Tom Bottomore
dan David Frisby, The Philosophy of Money, hal. 16. Bandingkan dengan Lukacs, Georg
Simmel yang diterjemahkan oleh Margaret Cerullo dalam Theon; Culture and Society, hal.
148-149. Dalam catatan Bottomore dan Frisby, selain Georg Lukacs, Max Adler, seorang
Marxis-Austria, juga menempatkan The Philosophy of Money sebagai karya sosiologis
Simmel yang sangat signifikan. Tulisan Max Adler ini berjud,ul, "Georg Simmel Bedeutung
fur die Geistesgeschichte (1919). Lihat Bottomore dan David Frisby, Georg Simmel (Key Soci-
ologist), hal. 43. Pengaruh yang sangat kuat dari karya Simmel tersebut juga dapat kita
baca dalam karya Nigel Dodd, The Sociology of Money: Economics, Reason and Con tempo-
ran; Society; Cambridge: Polity Press, 1994.
69 Ibid. Lihat juga David Frisby & Tom Bottomore, "Pengantar" terjemahan The
Philosoplry of Money, hal 6. Lihat juga Alan Swingewood, Cultural Theory and The Problem
of Modenzity, London: MacMillan Press, 1998, hal. 31. Cocokkan dengan Georg Sirnmel
dalam Preface of Tire Philosophy of Money, hal. 56. ·
70 David Frisby dan Tom Bottomore, "Pengantar" dalam The Philosophy of Money,
hal. 6.
71 David Frisby, Tire Alienated Mind, hal. 15.
72 Alan Swingewood, Cultural Theon; and the Problem of Modernity, hal. 31-32.
73 Menurut Mayntz, ada dua pendekatan yang berlaku di sana. Pendekatan
pertama menyangkut pandangannya pada proses kebudayaan yang mempertimbangkan
diferensiasi sosial dan perluasan kelompok, terutama dari sudut pandang pengaruh-
pengaruhnya pada individualisasi. Pendekatan kedua menyangkut pertimbangannya
pada proses perluasan kelompok dan perkembangan sosial yang sebagian berafiliasi pada
teori fungsionalisme. Lihat Mayntz dalam David L Shill, International Enet;clopedia of the
Social Science, hal. 254.
74 Klaus Lichtblau,, "Causality or Interaction? Simmel, Weber and Interpretive
Sociology", dalam Theon; Culture and Society, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 54.
75 Ibid.
3 Konsep hubungan antara beutuk dan hidup ini masih terkait dengan konsep
bentuk dan isi dalam epistemologi maupun dalam sosiologi Simmel seperti yang
dijelaskan dalam Bab III. Terkait dengandefinisi hid up sebagai law an dari bentuk, Simmel
nampaknya menggunakan bahasa yang eksotis. Sehingga bagi Nedelmann dengan me-
ngacu pendapat Scaff (1990 a: 287),hal itu perlu klarifikasi untuk menghindari kesalahan
pemahaman atas maksud Sinunel sesungguhnya. Untuk mengetahui berbagai wilayah
penelitian Simmel yang menggunakan konsep ini lihat Guy Oakes, "Translator's
Introduction", dalam Georg Simmel, Georg Simmel: on Women Sexualitt; and Love, hal. 4-5.
Individu-Individu
-------------------------- ......... -- ... ,
Kebudayaan
..
(potensi kreatif)
1
Kekuatan Penciptaan Bentuk-Bentuk
Kebudayaan
l
1
Kreativitas Kebudayaan
Sist~m Sosial
1
Sistem Kebudayaan
·-·····--········\·············j
Masukan (i11pu t)
Kekuatan Penciptaan
.......................................... ........................... .
9 Georg Simmel, "The Problem of Style", dalam Theon} Culture and Society, vol. 8,
no. 3, August 1991, hal.63
t I Manusia Modern
I t
Berperan dengan cara
Berperan sebagai rnenstrukturkan hubungan antara
konsurnen kebudayaan dirinya dengan unsur-unsur
lingkungan kebudayaannya
t ILingkungan Kebudayaan I t
Dalam persepsi estetis, pengambilan jarak merupakan salah satu strategi yang
san gat penting, yang dengannya jarak an tara inclividu dan kebudayaan dapat ditentukan.
Karenanya, persepsi estetis harus dipertimbangkan sebagai suatu teknik sosial yang sangat
penting (the crucial social technique) untuk mengatasi berbagai persoalan individualitas
(berkaitan dengan kebudayaan). Bila meminjam argumen Frisby (1990: 53), bagi Simmel,
terdapat hubungan antara persepsi estetis sebagai suatu tek:nik peletakan jarak dalam
kehidupan keseharian dan persepsi estetis sebagai teknik ilmiah dari sosiolog untuk
mengambil jarak padanya atau dirinya sendiri dari masyarakat sebagai obyek. Untuk
argumen Frisby ini, lihat catatan kaki dalam Brigitta Nedelmann, "Individualization,
Exaggeration and Paralysations: Simmel' s Three Proi5lems of Culture" dalam Jurnal T1reory
Culture and Society: A Special Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, August 1991,hal. 191.
14 Sketsa eli atas merupakan hasil interpretasi saya atas metafor lingkaran (circle)
dari Simmel. Gambar memperlihatkan individu dilingkupi oleh batas-batas lingkaran
konsentris yang terputus-putus. Hal itu dirnaksudkan sebagai simbol dari batas wilayah
a tau jarak imajiner antara individu dan kebudayaan, seperti yang diimplikasikan Simmel
dalam persepsi estetisnya (strategi peletakan/ pengambilan jarak).
~ :
Obyek-Obyek/
Hasil Keahlian
(Ob;ects of Craft)
.: Karya-Karya Seni
(Works of Art)
~- ;
~
- -
I
Artlessness --- ············"[····-· .. ...... ... ....... . ... i···. -· - ·
'
Stylelessness
~
~
I
: V\lilayah :
l Ketidakseimbangan/ l
Exaggerated :problem keberlebihanl Exaggerated
1 Objectivism i l Subjectivism
t ....... ----- .................................. --------...... .! l .. ------ .... ---......... --.. ----- . ------
17 Sesungguhnya, konsep terse but juga terdapat dalam The Crisis of Culture dan
The Philosophy of Money. Meskipun karya-karya itu memuat ide dasar yang sama, namun
dalam tingkatan tertentu memiliki nuance yang sedikit berbeda, khususnya dalam
menjawab problem modemitas. Misalnya, The Crisis of Culture yang menawarkan rebel-
lion of life (pemberontakan hidup, yang masih berbau Nietzschean) dinilai sebagai
sumbangan gagasan yang penting dari Simmel untuk wacana postmodern. Lihat
D. Weinstein & M. Weins ten dalam Bryan S.Tumer, Tlleories of Modenzity and Postmodernity,
hal. 81-86.
18 Lihat ungkapan Simmel ini dalam catatan kaki Brigitta Nedelmann, "Indi-
vidualization, Exaggeration and Paralysations: Simmers Three Problems of Culture"
dalam Jumal Theory Culture & Society; A Special issue 011 Georg Simmel, vol. 8, no. 3, Agustus
1991, hal. 191-192.
19 Hal itu dapat dibaca dalam ungkapan Simmel: By cultivating objects, that is by
increasing their value beyond the performance of their natural constitution, we wltwate our-
selves: it is tlze same value-increasing process developing out of us and returning back to us tlzat
moves extemalnature or our own nature. Lihat Georg Simmel, The Plzilosoplzy of Money, hal.
447.
20 Lihat Brigitta Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations:
Simmel's Three Problems of Culture" dalam Jumal Theon; Culture & Society; A Special
Issue on Georg Simmen, vol. 8, no. 3, August 1991, hal. 185.
21 Di sini, kebudayaan digambarkan Simmel dalam dua proses pen tin g. Pertmna,
berbagai kekuatan dan kepentingan hidup ditentukan oleh budaya obyektif. Ia
merupakan domain obyek-obyek yang berfungsi sebagai instrumen bagi pengembangan
subyek, atau sebagai kondisi-kondisi yang di bawahnya orang dapat menjadi makhluk
budaya (cultural being). Kedua, berbagai bentuk, artefak kebudayaan ini termasuk dalam
budaya subyektif a tau kebudayaan personal individu. Ia merupakan keadaan kepribadian
yang dihasilkan dari proses pengembangan dan yang melambangkan sintesis dari budaya
obyektif. Perbedaan antara budaya subyektif dan budaya obyektif dari Simmel yang
sesungguhnya agak kabur ini dapat ditelusuri dalam konsep spirit obyektif sebagai
kondisi bagi kemungkinan kebudayaan dalam bukunya yang berjudul Hauptprobleme
der Philosophie, 1910, p.72. Untuk catatan kak.i ini, lihat pada Guy Oakes, "Translator's
Introduction", dalam Georg Simmel, Georg Simmel: 011 Women Sexuality and Love, New
Haven/ London: Yale University Press, 1984, hal. 7.
22 Lihat ungkapan Simmel ini dalam catatan kaki Briggita Nedelmann, "Indi-
vidualization, Exaggeration and Paralysations: Simmel' s Three Problems of Culture"
dalamJumal Theory Culture & Socieh;; A Special Issue on Georg Simmel, vol. 8, no. 3, Agustus
1991, hal. 192.
CI (Cultiz>ntecl Individu)
........................................ Feed Back
,£:·····...... .. ............. /
.... ·································· ............ .·.. ..,..
::::.·~::: ...... ..................................... ...:_:_:._·;;:::;:_::·•.·' C (Culture)
:······· .. .
··· ................................................................ ·.. )
·... .... ····················································· .... .. ··
................................................
I (I wii'u i du)
r ~::·:<_.. - >--:.:..........
~CJn
28 Menurut Berger, terdapat dua reaksi yang khas atas kapitalisme (baca:
modemitas, untuk menyesuaikan konteks Simmel). Di satu pihak bersifat konservatif
yang secara reaksioner melihat ke belakang dan menganggap buruk otonomi individu
dengan serta merta mengidealisasikan bahwa individu akan lebih aman jika ia berada
dalam solidaritas komunal, di pihak yang lain sifat opresif budaya baru itulah yang
dijadikan pusat perhatian dan pembebasan yang dicari justru datang dari budaya baru
otonomi individu tersebut. Reaksi kedua ini seringkali mengambil bentuk apa yang
disebut hyper-individualisme (individualisme berlebihan)-yang dalam kritik Simmel
berikutnya nanti hal itu memiliki keterkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai
exagerated subjectivism and objectivism (subyektivisme dan obyektivisme berlebihan).
Dengan meminjam ungkapan Erich Fromm, Berger menegaskan keduanya (antara reaksi
konservatif dan pemuja individualisme/ otonomi individu) merupakan fenomena ten tang
"pelarian dari kebebasan". Lihat selengkapnya uraian Peter L. Berger, Revolusi Kapitalis,
Jakarta: LP3ES, 1990, hal. 154-155.
32 Pemahaman itu dapat kita jajarkan dengan proposisi Berger yang menyatakan
bahwa kapitalisme membutuhkan lembaga-lembaga yang menyeimbangkan aspek
otonomi individu yang anonim dengan solidaritas komunai ... Bagaimanapun juga, Berger
menyimpulkan, pembebasan dan "keterasingan" merupakan sisi lain dari mata uang
kapitalis yang sama. Pembebasan individu yang disokong oleh kapitalisme Barat hams
"diwadahi" dalam struktur-struktur masyarakat supaya hdak menghancurkan dirinya
sendiri, baik melalui anarki individualisme yang berlebihan maupun perluasan jaringan
hak-hak yang makin mengandung hambata:n. Anark.i progresif ... akan merusak struktur
kepercayaan dan :nilai ... sedangkan pemberlakuan pengawasan kolekhf terhadap individu
oleh suatu pemerintahan yang otoriter atau totaliter juga menimbulkan biaya-biaya
eko:nomi di samping biaya-biaya lainnya ... Lihat Peter L. Berger, Revolusi Kaplfalis, hal.
166.
33 Ibid., hal. 136.
34 Untuk pemyataanSimmel tersebut, lihat kembali uraian yang berkaitan dengan
teorinya ten tang hubungan individu dan masyarakat dalam bab Ill, khususnya kuhpan
Lewis Coser, Master of Sociological Thought, hal. 183-184. Ada ungkapan Berger yang
mungkin relevan untuk membingkai dua pemyataan itu. Ia menegaskan bahwa otonorni
individu dan pembebasan pribadi yang tersirat di dalamnya merupakan sebuah
kenyataan sehdak-hdaknya pada hga hngkat: ide-ide, identitas-idenhtas dan lembaga-
lembaga. Pembebasan pribadi mensyaratkan suatu budaya yang membebaskan. Untuk
ungkapan itu lihat Peter L Berger, Revolusi Kapitalis, hal. 134.
37 Ibid., hal. 116 (Untuk edisi Indonesia oleh L. Simatupang, Ibid., hal. 25).
Bandingkan dengan ungkapan Ragone, bahwa teori klasik tentang fashion yang
dikemukan Veblen dan Simmel berdasar pada konsep-konsep tentang (kelas) elit dan
trickle-down effect dalam Gerardo Ragone, "Consumption Diffusion: Elite Phenomena and
Mass Processes", dalam International SociolOgJJ, vol. 11, no. 3, September 1996, hal. 309-
315, khususnya hal. 309-310. Bandingkan juga dengan Bocock, "The Emergence of the
Consumer Society", dalam Robert Bocock (dkk), The Polity Reader in Cultural Theon;, Cam-
bridge: Polity Press, 1994, hal. 180-184.
38 Meski gencar melontarkan kritik atas subyektivisme berlebihan, Simmel
menyadari bahwa dirinya pun tak luput dari persoalan itu. Dalam The Problem of Style,
Simmel mengungkapkan diri sebagai orang yang menggunakan kritik secara mendalam
pada manusia modem yang bertindak sebagai konsumen kebudayaan. Ia menyalahkan
diri sendiri untuk subyektivismenya yang berlebihan sebagai suatu ekspresi dari
ketidaktahuannya yang teramat sangat tentang gagasan individualitas. Mengingat
kembali uraian dalam bah II, Simmel terlibat banyak dalam berbagai "kawanan"
intelektual dan gerakan seniman Jerman, seperti gerakan seni Jerman bohemian seperti
fugendstill. Mungkin, dominasi perannya sebagai spesialis simbol--yang tinggal dalam
hangatnya dunia intelektual dan seni yang ekslusif-berlebihan--itulah yang hendak
direfleksikan Simmel sebagai bentuk subyektivisme-nya yang berlebihan. Lihat Brigitta
Nedelmann, "Individualization, Exaggeration and Paralysations: Simmel's Three Prob-
lems of Culture" dalam Jumal Theon; Culture & Society; A Special Issue on Georg Simme/,
vol. 8, no. 3, August 1991, hal.178.
Hal itu mungkin relevan dengan ungkapan Berger-yang mengacu pada Cesar
Grafta-bahwa dalam keseluruhan peradaban Barat, paling tidak sejak awal a bad ke-19,
·individualisme berlebihan menjadi ciri semua gerakan seniman dan golongan intelektual
48 Lihat Alan Swingewood, Cultural Theon} and The Problem of Modernity, hal. 35-
36.
49 Lihat Klaus Lichtblau, "Sociology and the Diagnosis of the Times or TheRe-
flexivity of Modernity", dalam Theon; Culture and Society val. 12, no. 1, February 1995
(Explorations in Critical Social Science).
Bab V Epilog: Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 161
oleh motif terhadap material ataukah motif ideologis? Terang saja,
tipe pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan menegaskan perihal
kepastian dari fakta-fakta. Alih-alih, hal itu harus dijawab dengan
interpretasi-interpretasi dari fakta yang diketahui dan berupaya
mengambil unsur-unsur relatif dan problema tis dari realitas sosial
dalam keseluruhan sudut pandang. [Demikianlah] sudut pandang
tidak bersaing dengan tuntutan-tuntutan empiris karena hal itu
memenuhi kepentingan yang sangat berbeda dengan yang
dijawab oleh proposisi-proposisi empiris. (Simmel dalam Biersted,
1968; hal 397)
Upaya memperbaharui minat dalam teori sosial Simmel terlebih
dulu harus memecahkan batas-batas keahlian dalam sosiologi agar
dapat memahami baik pengetahuan mengenai pengalaman sosial
yang tidak dapat digolongkan dengan gampang maupun teori
tentang masyarakat yang melingkupi karya Simmel. Semata-mata
dengan cara inilah kita dapat melihat kontinuitas tema-tema
seperti diferensiasi sosial berikut paradoks hingga tragedi
kebudayaan yang merentang dalam seluruh karyanya di
sepanjang hidup. Seorang teoritisi sosial yang biasa tertarik
dengan proses-proses sosial melihat berbagai tema tersebut
berlaku di sejumlah wilayah yang sesungguhnya sangat tidak
mungkin. Sebagai seorang pengembara intelektual, Simmel bisa
tinggal dimanapun, tidak hanya dalam wilayah kajian dari
seorang sosiolog profesional semata. "Rajutan jala-halus" -nya bisa
menjaring hampir seluruh ceruk kehidupan sosial. (Frisby, 1984;
hal150)
Bah V Epilog: Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 163
Pertama, tatkala membahas orientasi Simmel pada sosiologi,
dua hal yang penting untuk dicatat adalah (1) minat Simmel pada
berbagai disiplin ilmu dan (2) konteks sejarah formasi sosiologi
di Eropa, tepatnya pada pertengahan abad 19 hingga awal a bad
20. Dua aspek historis itu tentu saja sangat penting untuk
memahami bangunan sekaligus posisi sosiologi Simmel. Seperti
terurai di depan, sosiologi lahir bersamaan dengan semakin
kuatnya perkembangan positivisme di Eropa, tepatnya di
Perancis, yang diwakili oleh St. Simon dan Comte pada
pertengahan abad 19 dan Durkheim pada awal abad 20. 1 Dalam
periode yang hampir sama, historisisme Jerman2 - yang ahli waris
tradisinya diwakili oleh Marx dan Weber--muncul sebagai kritik
atas positivisme Perancis tersebut. Memang sejak kesadaran
positivistis itu merebak, sejumlah pemikir Jerman berusaha
mencari dasar metodologi yang baru untuk ilmu-ilmu sosial, agar
terbebas dari pengaruh metodologi ilmu-ilmu alam seperti itu.
Peristiwa penting lainnya yang tidak bisa diabaikan adalah
munculnya methodenstreiP di Jerman pada akhir a bad 19 hingga
awal a bad 20. Meski Simmel tidak pernah tercatat sebagai pemikir
yang terlibat langsung dalam "baku hantam metode" di Jerman
tersebut, namun bagaimanapun juga--seperti terungkap di bab
III--hal itu sangat mempengaruhi Simmel dalam merumuskan
sosiologi sebagai ilmu khusus dan independen. Titik puncak dari
1 Positivisme awal itulah yang melahirkan sosiologi dan ilrnu pengetahuan sosial.
Menurut August Comte (1798-1857) sendiri sebagai Bapak Pendiri Sosiologi memandang
sosiologi berada pada titik kulminasi perkembangan berbagai disiplin ilrniah, puncak
perkembangan positivisme sendiri. Lihat F. Budi Hardiman, Kritik ldeologi: Pertauta11
Pe11getalwmz dan Kepentingan, hal. 23-26. Lihat juga Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi
Klasik dan Modem l, hal.26-27
2Historisisme Jerman merupakan suatu pendekatan yang menekankan pema-
haman atas "jiwa" (spirit) suatu masyarakat tertentu dengan suatu studi menyeluruh
tentang kebudayaan yang khusus dan berbagai tahap sejarah yang dilewatinya. Aliran
ini menolak pemberlakuan hukum-hukum fisik atau hukum alam yang deterministik
untuk kenyataan sosial. Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modem l, hal. 27-
28. David Jary & Julia Jary, Collins Dictionary of Sociology, hal. 278.
3 Di antara tahun 1870-an hingga 1880-an, awal perdebatan tentang metode terjad.i
dalam disiplin ekonorni antara Schmoller dan C. Manger yang mempersoalkan apakah
ekonorni harus bekerja menurut metode eksata a tau historis, metode deduktif a tau induk-
tif, metode abstrak atau empiris. Kali kedua perdebatan tentang metode terjadi pada
akhir abad 19 hingga awal abad 20. Perdebatan tefjadi di kalangan penganut neokan-
tianisme dari Aliran Barat Daya atau Mazhab Baden, yakni antara Windelband dan
Rickert, yang mana Windelband membedakan antara nomothetic science dan ideographic
science. Pembedaan ini diperdalam Dilthey dengan membedakan Geisteswissenschaften
dari Naturwissenschaften. Lagi-lagi, pada tahun 1909 dan 1914, perdebatan di seputar
masalah syarat-syarat kemungkinan suatu ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu sosial yang
bersifat normatif (perdebatan tentang nilai) terjadi antara Sombart dengan lawannya:
Knapp dan Max Weber. Perdebatan Sombart (yang mendukung klaim kebebasan nilai
ilmu-ilmu sosial) dan Knapp (yang menyatakan pakar ilmu-ilmu sosial harus terlibat di
dalam politik), memperoleh tangg~pan dari Weber. Dengan mengemukakan tentang
pentingnya penggabungan anta:ra metode erklaren dan verstehen dalam ilmu-ilmu sosial,
Weber mendukung prinsip kebebasan nilai itu tetapi juga tidak menyangkal adanya
relevansi nilai dari semua penelitian ilmiah. Untuk uraian metlwdenstreit ini, say a ringkas
dari F. Budi Hardiman, Kritik ldeologi: Pertautan Pengeta/man dan Kepentingan, hal. 26-28.
4 Lihat kembali uraian ini di bab III, hal 75-79.
Bab V Epilog : Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 165
harus dirajut demi nilai yang lebih hakiki, yakni nilai humanitas.
Dalam perjalanan intelektual Simmel, aspek humanitas itu sendiri
menjadi "jiwa" dari hampir seluruh tulisannya. Di sini, aspek
humanitas menjadi kunci utama Simmel dalam merekonsiliasi
sudut pandang yang saling bertentangan tersebut. Berdasar pada
keyakinan tentang nilai humanitas sebagai titik koherensi dari
berbagai sudut pandang itulah yang barangkali kita bisa katakan
bahwa posisi teori Simmel berada di jalan tengah. Posisi itu terle-
tak di antara dua aliran berikut logika kekuasaannya yang saling
berebut dominasi, yakni antara ilmu nomotetik versus idiosinkratik,
maupun antara Geisteswissenschaften versus Naturewissenschaften. 5
Uraian di atas semakin memperjelas bahwa ternyata Simmel
membangun teori yang bisa dipilah atau dikategorikan secara
berbeda dari keilmuan sosiologi. Memang, kendati Simmel ada-
lah avant-garde sosiologi di Jerman, namun sikap skeptisnya atas
proyek pelembagaan keilmuan sosiologi tetap tidak bisa dihin-
dari. Minat Simmel pada berbagai disiplin ilmu (seperti psikologi,
filsafat, etika dan estetika) menjadi alasan yang cukup kuat dan
masuk akal untuk menjelaskan sikap skeptisnya terse but. Ketika
mengupas dunia kehidupan misalnya, Simmel menekankan
bahwa antara individu (subyek) dan kenyataan obyektif menjadi
terselaraskan dalam dunia sosial. Akan tetapi perlu ditegaskan
di sini, bagi Simmel, persoalan eksistensi individu sebagai su-
byektivitas sosial tak akanterjelaskan dan terungkap secara repre-
sentatif tanpa menakar dimensi jagad mikro subyek yang tunggal
hingga jagad makro subyek yang interaktif dalam kehidupan
sosial. Pemahaman itu mengindikasikan bahwa aspek "subyek-
tivitas sosial" tidak bisa terkupas seluruhnya hanya dari unsur
sosialnya saja. Selain menganalisis--meminjam terminologi dra-
5 Untuk melengkapi argumen ini, kita bisa menilik kern bali pemyataan Donald
Levine di bab I bahwa Simmel selalu berusaha: (1) menentang segala bentuk pember-
halaan teknik dan metode dengan lebih memusatkan pada manusia sebagai tujuan utama;
(2) menentang atornisasi berbagai disiplin keilmuan dengan lebih memusatkan pada
kesalingterkaitan domain kebudayaan yang berbeda; (3) menentang alienasi oleh budaya
yang telah terobyektivikasi, dengan cara mengaitkan antara pengetahuan dengan
pengolahan kemampuan manusia.
Bah V Epilog. Georg Simme/ Dan Cetak Biru Teori Sosiai-Lintas Batas 167
dayaan) yang menghasilkan beragam dinamika berikut proble-
matikanya sendiri, sesuai dengan interaksi sosial dan konteks
sosial yang mengkerangkainya. Basis pemahaman Simmel itu
dapat ditemukan dalam perspekti£ sosiologis ten tang tiga a priori
bentuk-bentuk sosiasi: peran, individualitas dan struktur, yang
termuat dalam karyanya How is Society Possible? Bila dikaitkan
dengan teori sosial kontemporer, pemahaman Simmel itu sangat
dekat dengan pengertian dari "triad dialektis" Berger. Tatkala
membedah kebudayaan modern (pada locus masyarakat metropo-
lis), nampak jelas analisis Simmel memuat aspek, dimensi keil-
muandan sudut pandang yang majemuk. Mengenai hal itu,
mengutip kembali penjelasan Levine, Simmel menetapkan suatu
rangkaian analisis yang tidak tersatukan dalam skema inter-
pretasi yang tunggal. Di dalamnya terkandung empat praandai-
an yang mendasari seluruh analisisnya tentang kebudayaan,
masyarakat dan personalitas. Keempat praandaian itu dapat diiden-
tifikasikan sebagai prinsip bentuk (menyoroti struktur dan makna
identitas dari isi kehidupan sosial yang terstruktur dalam bentuk-
bentuk), prinsip resiprositas (menjelaskan tingkat resiprositas
diantara individu-individu dan kelompoknya), prinsip jarak
(mengungkap kenyataan bahwa bentuk-bentuk sosial ditetapkan
pada tingkatan yang berkaitan dimensi jarak interpersonal) dan
prinsip dualisme (membahas dualisme sosiologis tertentu). Realitas
masyarakat modern yang terkerangkai oleh analisis pada tingkat
mikro hingga makro pun semakin mematangkan anggapan pe-
rihal kemajemukan cara pandang Simmel itu. Ketika menganalisis
problem kebudayaan modern misalnya, Simmel mengupas tidak
dari superstruktur masyarakat melainkan dari dimensi yang
sangat mikro yakni pada aras (core) individualitas (manusia mo-
dem). Bahkan yang lebih memukau, Simmel mengupasnya dalam
konteks kehidupan keseharian yang sangat "remeh". Dalam kaji-
an tentang individualitas a tau personalitas itu, akan nampak jelas
betapa Simmel sungguh tidak bisa menafikan peran berbagai
disiplin seperti ilmu filsafat, psikologi, dan lain-lain, sebagaimana
yang terlukis dalam sejumlah karyanya seperti Metropolis and Men-
tal Life , The Philosophy of Money, dan lain-lain.
Bab V Epilog: Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 169
memperoleh capaian-capaian perihal teori-teori sosial Simmel
yang bisa dijadikan model bagi pengembangan teori-teori sosial(-
humaniora) yang lintas batas.
Bertolak dari tantangan Frisby itu, lantas muncul perta-
nyaan, mungkinkah teori-teori Simmel bisa menjadi model bagi
pengembangan ilmu-ilmu sosiallintas batas? Tentu saja, perta-
nyaan itu tidak semata-mata dialamatkan pada saya pribadi. Alih-
alih, pertanyaan itu tertujukan juga kepada para pembaca yang
berminat mendalami teori-teori sosial Simmel maupun mereka
yang peduli pada pengembangan teori sosial yang interdisipliner.
Sebagaimana yang seharusnya (das sollen)--lantaran tuntutan
jaman memang begitu--semangat anti kekakuan metodologi
dalam ilmu-ilmu sosial(-humaniora) seperti itu pantas untuk
dihidupkan dan dikembangkan terus. Upaya tersebut tentu saja
harus dipahami sebagai representasi kegelisahan ilmuwan-
ilmuwan sosial atas pembedaan disiplin keilmuan yang ketat dan
kaku, yang hingga kini masih berlangsung. Berdasar pada
kenyataan itu, bukankah dominasi cara pikir diametral", cara
II II
7 Malcolm Alexander dan Jhon Gow dalam Peter Beilharz (ed.), Teori- Teori Sosial:
Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka (penerjemah Sigit Jatmika), Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2002, hal. 351-353.
8 Secara garis besar buku/laporan itu mengangkat tiga hal penting: (1) bagaimana
ilmu sosial secara historis dikonstruksikan sebagai suatu bentuk pengetahuan, dan
mengapa pengetahuan tersebut dibagi-bagi ke dalam suatu kumpulan spesifik berbagai
Bab V Epilog : Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 171
sosial yang lintas batas sejak akhir abad ke-19. Kendati Simmel
sama sekali belum "mampu" --lebih tepatnya belum sampai--
merumu~kan formula teori-teori sosial yang jelas sebagaimana ·
yang disusun Wallerstein, namun patut diakui bahwa Simmel
jauh lebih dulu menghidupi embrio ilmu-ilmu sosial yang
interdisipliner seperti itu. Bila karya kedua tokoh itu dikompa-
rasikan akan nampak jelas bahwa intensitas perhatian dari
Wallerstein pada masalah-masalah epistemologis dan metodo-
logis9 jauh lebih menonjol ketimbang Simmel. Mengenai hal itu,
kita tentu masih ingat bahwa Simmel memang secara sadar
berusaha menghindari wacana seputar metodologi serta lebih
memilih untuk berkarya secara "liar". Apa yang hendak say a
ungkapkan di sini adalah bahwa formula ilmu-ilmu sosial-
interdisipliner dari Wallerstein tersebut bisa kita posisikan sebagai
kerangka yang capable untuk mengkontekstualisasikan teori-teori
sosial Simmel.
Menyoal hal itu, kita sebenarnya memasuki apa yang oleh
C. Wright Mill dimaknai sebagai sociological imagination, yakni
suatu alat a tau metode berfikir yang memungkinkan kita mampu
memahami sejarah dan biografi serta keterkaitan keduanya dalam
masyarakat sebagai bagian dari upaya manusia/ masyarakat
kontemporer membangun kesadaran-dirinya. 10 Oleh sebab itu,
disiplin keilmuan yang relatif terstandarisasi (sejak akhir abad 18 hingga 1945), (2)
membongkar cara-cara dimana perkembangan dunia dalam periode sejak 1945
mendorong timbulnya pertanyaan tentang pembagian kerja intelektual, sekaligus
membuka kembali isu-isu mengenai strukturisasi keorganisasian yang telah ditanamkan
dalam periode sebelumnya, dan (3) membentangkan serangkaian persoalan intelektual
mendasar yang banyak diperdebatkan akhir-akhir ini. Untuk risalah ini lihat Immanuel
Wallerstein, Lintas Balas llmu Sosial (penerjemah Oscar), Yogyakarta: LkiS, 1996, haL 145-
146.
9 Malcolm Alexander dan Jhon Cow dalam Peter Beilharz (ed. ), Op. Cit., hal. 352.
10 Dengan imajinasi sosiologis, Mill meyakini, bahwa: " .. apa yang disebut anal isis sosial
klasik mentpakan permzgkat tradisi yang tetap bisa dimaknai dan digunakan [zmtuk konteks saat
ini]; balzwa ciri-ciri terpentingnya memiliki pertalian dengan stmktur sosiallzistoris; dan bahwa
persoalan-persoalan yang diangkat terkait langszmg dengan isu-isu publik maupun perlzatian
pada berbagai kesulitan yang dihadapi man usia. [Oengan cara itu] ... saat ini tidak ada lagi kendala
yang berarti bagi keberlangszmgan tradisi tersebut...Untuk uraian ini, lihat C Wright Mill,
Sociological Imagination, New York: Oxfoord University Press, 1978, hal, 6, 7, 21.
11 Kendati sumbangan besar dari Simmel tersebut pada awalnya tidak banyak
dikenal, namun dalam beberapa dekade terakhir kajian sosiologis mengenai ruang itu
mulai dikembangkan seperti oleh Giddens, Harvey dan lain-lain. Untuk risalah ten tang
ruang ini lihat Frank J. Lechner, Simmel on Social Space dalam Theon; Culture & Socieh;
Vol. 8 Number 3 August 1991, hal. 195-199.
Bab V Epilog : Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosiai-Lintas Batas 173
tapan ruang untuk bentuk-bentuk sosial dikaitkan dengan ruang 11
Bab V Epilog: Georg Simmel Dan Cetak Biru Teori Sosial-Lintas Batas 175
ten tang pengelolaan ruang( -abstrak) antara persepsi dan pengala-
man.
Sesungguhnya masih banyak teori-teori sosial Simmel yang
bisa diaplikasikan untuk konteks saat ini. Kembali pada ~genda
untuk mengembangkan teori-teori sosial yang interdisipliner, kita
bisa memilih sejumlah tema yang ditawarkan dalam karya-karya
Simmel seperti alienasi, budaya uang, hierarki sosial, trend sosial,
dan lain-lain. Bagaimanapun juga tema-tema tersebut masih
relevan dengan diskursus dan teori-teori kontemporer seperti:
filsafat, sosiologi, ekonomi, psikologi sosial, studi budaya, politik,
maupun estetika. Akhirnya, perkenankan saya menyerahkan
tugas penyempurnaan pemetaan teori-teori Simmel ini kepada
para pembaca. Sudah pasti, ada banyak pilihan yang bisa
ditempuh untuk itu, kecuali jika kita memang mau memilih diam
dan tetap menerima kenyataan atas ketertinggalan wacana
tentang pemikiran Simmel seperti sekarang ini. Upaya penyem-
purnaan itu tentu saja akan sangat berarti bagi kita, baik dalam
kerangka menggali nilai-nilai edukatif hingga praksis darinya,
maupun dalam kerangka mempersiapkan datangnya era baru
yang lebih gemilang dalam sejarah ilmu-ilmu sosial-humaniora
di Indonesia.[]
Lampiran 183
12 1974 Die soziologische Gesamtkonzeption Peter-Ernst
Georg Simmels; eine wissenschafts Schnabel
historische und wissenschafts
theoretische Untersuchung
Lampiran 185
32 1988 Subjektivitat ohne Substanz: Georg Klaus Peter
Simmels Individualitatsbegriff als Biesenbach
produktive Wendung einer theore-
tischen Erniichterung
lndeks 199
Berger, Peter .L., xvi, 22,101,102,142, Croce, Benedetto, xxii
146,149,150,164 Cultivated individuality, vi,18-19, 135,
-triad dialektis, 19-21 140,141
Bergson, Henri, 48,56,65-67 Cultivation, 136-137
- filsafat hidup, 65-67 Cultural antagonism (antagonisme
Berkeley, 104 kebudayaan) viii, 120,121,122-126
Berlin, 38-48 Cultural ambivalence (ambivalensi ke-
-counterculture, 44, 45, 52 budayaan) viii, 120,121,126-135,
-circle socialist, 46 128
-Stefan Georg Circle, 47 Cultural dualism (dualisme kebuda-
Berman, Marshal., 13 yaan), viii, 120,121,135-141
Berten, K., 66 Cultural malaise (malaise kebuda-
Bierstedt, Robert, 76, 82, 87, 92, 93, 94, yaan) ix,xviii,120,121, 125,141-146
96,98,99 Culture studies, 100
Bismarck, Otto van, 39, 41,42 Culture sun,ive, 126
Blau, Peter M, 4
Bloch, Ernst, 67
Bocock, Robert, 149 D
Boklin,50 Dahrendorf, 4
Bordieu,P,150 Dante, 49, 50
Bottomore,Tom, 38,111,113 Darwin, C., 36, 58, 77
Bougie, Celestin, 76 Dehmel, Richard, 42
Bouman, P.J., 87 De-obyektivasi, 18,157,158
Buber, Martin, 52, 68, 108 Descartes, 56, 103, 104
Budiman, Hikmat, 11,13 Dilthey, Wilhelm, 35, 38, 48, 56, 68, 77,
Burdick, Charles B., 41 78, 85,96,164
Burges, Park, 69 Dialektika, 62-63
Diagnosis of the time, 154
Dodd, N., 17,111
c Droysen, 35
Cashmore, 6 Durkheim, E.,v; 4, 5, 26, 38, 45, 51, 77,
Cerullo,Margaret, 111 101,164,
Chicago School, 69, 108 - kritik atas modernitas, 11
Cohen, 6 -ten tang karya Simmel, 51
Cooley, 4
Comte,A, 4, 56, 57, 58, 77, 78, 79,164,
Coser, Lewis; 17, 35, 36, 37, 38, 40, E
42,43, 45, 48, 53, 59, 60, 61, 63, 70, Ekonomi uang, v, vi, xiii, xviii, xxi, 17,
79,88,89, 102,103,109,110,111, 64
146 Eksistensialisme, 67
- tentang karya Simmel, 52 Eksternalisasi, 20
-conflict functionalism theory, 70 Etzkorn, K.P., 50,55
Creative potential, 122, 123, 124, 126, Ernst, Paul, 47
142, 145 Evolusi (teori), 58-59
F H
Featherstone, Mike, 5,6,8 , 16, 52, 69, Hadiwijono, Harun, 56, 57, 61, 65
148,150 Habermas, J., 4, 12, 26
Fechner, 78 Hall, Stanley, 46
fenomenologi, xvii, xix, 4, 97, 106 Hamersma, Harry, 57, 61, 67
Fetishism commodity, 65 Hamilton, Peter., 5, 7, 69
Filsafat hid up, 65-67 Hardiman, F. Budi, 12, 13, 14, 21, 60,
Filsafat sosial, xx, 115 61, 62, 104,164
Filsafat sosial dialogis, 108 Harm, Friedtich., 35
Fletcher, 6 Harnack, Adolf von, 46
Frankfurt School, 158 Hartmann, Nicolai, 68
Frederick III, 41 Hauptmann, Gerhart, 42
Freud, Sigmund, 52 Hawthorne, 6
Freyer, Hans, 68 Hegel, G.W.F., xxii, 22, 56, 62-63
Frisby, D., v, 6-8, 33, 34, 35, 36, 37,38, Heideggar, Martin, 68
43,44,46,47,49,50,51,53,54,55, hermeneutik, 6, 95, 96
58, 59, 67, 69, 76, 78, 79-81 84-86, Hipertrophy, vi, 17
Historisisme, 164
89, 94, 96, 97,102,103,104,105-106,
Hobbes, T., 104
109, 111, 112, 113, 127,
Homans,4
131,147,162,167,170,
Horkheimer, Max., 4, 12, 68
Friedlander, Julius., 35
Hughes, Everett C., 54
From, Erich, 142
Hughes, H. Stuart, 43
Human self-perfection, 137
G Hume, D., 104
Gassen, K., 53 Husser!, Edmund, 46, 48, 56
Geisteswissenschaften, 164
Gellner, 147 I
Generalitas, prinsip-, 131,134 Ideographic science, 164
Georg, Stefan, 37, 42, 46, 47, 48,50 Ilmu kompleksitas, 171
Gerhardt,Uta, 105 lndividualisasi, 67, 125, 142, 143, 144,
Giddens, Anthony, xvi, 6, 64,109,173 154, 155
- teori strukturasi, 97 lndividualitas, prinsip-, vii, xvii, 105,
Goethe, 50 131, 134, 144, 145, 147
Goffmann, Erving., 4,167 Individualisme, 142, 146, 150
Gow, John, 171,172 Interaksionisme simbolik, 4, 106, 111
Graef, Sabine., 37, 47 Internalisasi, 21
lndeks 201
J Liberal education, 16
Jary, David&Julia, 63, 87, 92, 96, Licthblau, Klaus, vii, 85-86, 106, 107,
97,153, 164 111, 114, 147, 156,157
Jastrouw, Ignaz, 46, -tentang teori interprestasi Simmel,
Jenkinson, D.E, 55 108-109
Jerman Raya, 38-43 Liebermann, Max, 42
Johnson, D.P., 6, 18, 19, 27, 35, 58, 60, Liebniz, Gottfried W., 55, 56-58,104
63, 65, 87,140,164, Life and form, 122, 138
Joel, Karl, 44 Liliencron, Detlev von., 42
Lilienfeld, 77
Locke, J., 104
K Lukacs, G., xvi, xviii, 47, 64, 67, 68,
Kant, I, xvi, 36, 50, 55, 56, 57, 60-61, 69,111,112
62,68, 80,86,92,104 - reifikasi, xviii, 112
- a priori dan pengalaman, xvi -tentang karya Simmel, 52
-teori aprioritas, 60-61 Lutz, Ralp H., 41
- filsafat transendental, xvii
Kapitalisme, 11
Karyanto, Ibe, 76 M
Keat,6 Manger, C, 164
Kinel, Gertrud., 37, 47 Mannheim, Karl., 68, 103-104, 112
Knapp, Elly Heuss, 47,164 Mann, Golo, 42
Komoditas, xiv, 147 Mann, Michael, 63
Kritisisme, 60, 62 Mangunwijaya, YB., 10, 11
Kroker, Marilouise, xix Marbun, B.N., 39
Marcuse, H., 4, 12
Marx, K., v, xv, xix, xxii, 4, 5, 22, 26,
L 38, 48, 56, 63-64, 68, 101,
Laclau, Ernesto., xix 124,146,164
Laeyendecker, L., 27, 61 - tentang uang, xiv
Landmann, Edith., 47,48 - teori surplus nilai, xix
Landmann, M., 53 - kritik atas modernitas, 11
Langer, William L., 39, 41, 42 -teori alienasi, 63-65,
Lawang. M.Z., 27 -materialise historis, 112
Lawrence, Peter A., v, 6, 55, 141 Mass culture, 139
Lazarus, Moritz., 35,46 Mayntz, Renate, 35, 37, 53, 65, 84, 89,
Lechner, Frank J., 173 92,97, 100,102,103,111,114
Levi-Strauus, C., 7 Mazhab Baden, 164
Levine, Donald N., v, 6, 55, 111,164 Mazhab Frankfurt, 12, 26
-tentang skema interpretatif Simmel, - kritik atas modernitas, 12
109 Mead, G. Herbert., 4, 22, 106
-tentang teori kebudayaan Simmel, Meinecke, 45
15-16 Mennel, 6
lndeks 203
triad dialektis Berger, 19-22; Stylelessness, ix, 121, 134, 135, 150
riwayat hidup, 33-38; sosiabilitas, Stylization, 132, 134, 148
37; latar sosial-intelektual di Ber- Subjective culture (budaya subyektif),
lin, 38-48; dampak pemikiran, 67- vi, 15, 16,17, 18, 19, 136, 138, 139,
71; Karya-karya, 48-55; Bibliogra- 140, 151, 152, 153, 155
fis, 52-55; Warisan intelektual to- Subury, 55
koh, 55-67; Pengembangan sosio- Subyektivasi, 139
logi di jerman, 75-81; Kritik atas Subyektivitas sosial, 129, 134
positivisme 78-79; sosiologi Sugiharto, I.Bambang,96
sebagai ilmu khusus dan indepen- Sumner, 4
den, 81-99; Sosiasi, 86-93; sifat ab- Sunardi, St., xxiii, 65
strak sosiologi, 93-97, 130; prinsip Suseno, Franz M., 1{),62,67,
strukturasi, 97; sosiologi sebagai Susman, Margaret, 47
suatu metode, 97-99; metodologi Swingewood,Alan, 113,114,155
sosiologi,99; problem of style, Sybel, 35
126,133; tiga model pendekatan
kebudayaan, 122-140; tentang
mode, 128, 147, 148, 149; closed T
unity-unfolding multipleci ty-un- Tenbruck,l01,102
folded unity,137-138; diagnosis dan Thon, 76,
terapi budaya,154-158; teori-teori Tonnies, F., 46, 112
sosial yang interdisipliner, 161- Tunenberg, xvii
176; tentang space, 173-176. Turner, Bryan.S., 7, 17, 18, 136, 147
Simmel, Hans, 33, 34, 37, 43 Tragedy of Culture (tragedi kebuda-
Simon, St, 164 yaan), ix, xviii, 18, 121, 136, 140,
Small, Albion, 69
151-154
Soekanto,Soe~ono,27,88,93
Treitschke, 35
Sombart, Wenner, 109,164
Troeltsch, 34, 48
Sorokin, Pitirim, 51
- tentang karya simmel
Sosiabilitas, 37 u
Sosiasi, 86-93 Ubermensch, 66
Sosiologi interpretatif, 108-109 Unamuno, 7
Sosiologi pengetahuan, 8, 103 Urry, 6
Spencer, Herbert, 4, 56, 58-59, 77, 79
Spinosa, 56,104 v
Spykman, N.J., 69 Veblen; 149
Starr. B.E, 34 Veeger, K.J.,27
Stauth, G., 7 Vierkandt, Alfred, 68
Steinhoff,M., 100,102 Volkerpsychologie, 46
Steinthal, 35,46
Strauss, Claude L., 7 w
Style, 132, 134,150,151 Wallerstein, Immanuel, 171, 172
lndeks 205
Tentang Penulis