Anda di halaman 1dari 14

“PANDANGAN PARA AHLI TENTANG MODAL SOSIAL”

(BAGIAN II)
RESUME
Diajukan untuk Tugas individu Pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Riset

Oleh:

Nama : Irzan Fachrozi


No. BP : 2020812008

PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG

2020
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kapital Sosial atau Modal Sosial sebagai sebuah konsep dan teori sekarang
ini begitu menjadi primadona untuk dikaji para ilmuwan bidang sosial masa kini.
Namun sebelum menjadi sesuatu yang begitu hangat diperbincangkan, Definisi
Modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam
sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Selain itu,
konsep ini juga diartikan sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang
dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan
terjalinnya kerjasama.
Dalam pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan mengenai pemikiran-
pemikran dari Bourdieu, Coleman, Alejandro Portes, dan Putnam. Oleh karena itu
dalam pembahasan kali ini akan disampaikan pemikiran dari Jonathan Turner,
Robert M. Z Lawang, Nan Lin, dan Francis Fukuyama dalam memahami apa itu
kapital sosial atau modal sosial.
PEMBAHASAN

Pandangan Para Ahli tentang Modal Sosial (Bagian II)

1. Pandangan Jonathan H. Turner


Turner mendefinisikan modal sosial sebagai kekuatan yang dapat meningkatkan
potensi perkembangan ekonomi dalam masyarakat dengan menciptakan dan
memperkuat hubungan sosial dan pola-pola organisasi. Kekuatan yang dimaksudkan
oleh Turner terdapat dalam tiga level analisis, yakni makro, meso, dan mikro.

Turner menyimpulkan bahwa modal sosial itu terbentuk dalam 3 hal, yakni:
a) Sebuah populasi yang menjadi terorganisir karena termotivasi untuk mencapai
kebutuhan dasar dan fundamental dalam rangka mempercepat produksi,
reproduksi, regulasi, dan koordinasi (ini disebut dengan level
macroinstitusional). Level makro ini terwujud dalam bentuk institusi sosial yang
mengatur norma dan moral dalam sebuah populasi. Menurut Turner, terdapat
lapisan-lapisan dalam institusi sosial ini yang dapat saling menopang
masyarakat agar dapat mengembangkan potensi ekonominya, yaitu kekerabatan,
agama, ekonomi, politik dan hukum.
b) Korporasi-korporasi yang mengumpulkan human capital/skills, dan satuan-
satuan organisasi atau komunitas yang memiliki kebutuhan dan kepentingan
berbeda, dua hal ini akan membedakan bagaimana masyarakat akan
memperlakukan mereka dan menentukan bagaimana manusia berinteraksi (level
meso). Korporasi contohnya perusahaan-perusahaan ataupun komunitas
kesamaan suku atau pun klan.
c) Interaksi sosial face-to-face antar manusia yang berkembang di dalam korporasi
dan komunitas-komunitas (level micro). Level interaksi sosial ini mencakup
bagaimana emosi individu terbentuk dari hasil interakasi akan mempengaruhi
kuat-lemahnya level interaksi antar manusia.
Tiga level analisis diatas adalah cara pandang dalam melihat pasang surut aktivitas
sosial dalam masyarakat, dan setiap level tersebut dapat membuat gambaran mengenai
bagaimana modal sosial itu terbentuk. Tiga level analisis tersebut tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam melihat
modal sosial. Menurut Turner, tiga level analisis tersebut dapat digambarkan dari
perspektif top-down (dari atas ke bawah) dan dapat juga dipandang dari perspektif
bottom-up (bawah ke atas).
Jika dilihat dari perspektif atas ke bawah, maka modal sosial dalam suatu
masyarakat adalah karena kebutuhan populasi dan memenuhi kebutuhan dasar adalah
cara bertahan hidup yang efektif (level makro) yang mana populasi tersebut terdiri atas
korporasi dan organisasi komunitas (level meso) dan pastinya dalam organisasi tersebut
terdapat interaksi orang antar orang (level micro). Sedangkan jika dilihat dari perspektif
bottom-up, interaksi antar manusia akan membentuk sebuah komunitas atau kooporasi
yang nantinya juga akan membentuk populasi dalam memenuhi kebutuhan dasar dalam
produksi. (Lihat Gambar 1).
Turner menyimpulkan modal sosial terbentuk dalam level-level yang berbeda dalam
organisasi sosial; dan hal tersebut menjadi sangat penting ketika mempertimbangkan
strategi dalam memperkuat modal sosial yang ada dalam masyarakat.
Turner memandang bahwa modal sosial yang terdapat dalam 3 level analisis dalam
masyarakat, dapat diproyeksikan menjadi salah satu bahan kajian dalam meningkatkan
ekonomi nasional. Pemikiran-pemikirannya mengenai modal sosial dalam
meningkatkan kapasitas ekonomi suatu negara hal ini membuat Turner menjadi salah
satu peneliti dari World Bank.

2. Pandangan Robert M.Z. Lawang tentang Modal Sosial


A. Definsi Kapital Sosial
Robert M. Z. Lawang (2005) tidak setuju jika istilah capital social diterjemahkan
dengan modal sosial dan lebih setuju ditulis saja dengan kapital sosial. Karena menurut
Robert M. Z. Lawang (2005: 5) nampaknya konsep social capital itu ada kaitan yang
sangat erat dengan kapitalisme sebagai acuan. Dalam hal ini adalah lebih aman untuk
tidak menerjemahkan konsep social capital itu ke dalam bahasa Indonesia dengan
modal sosial, karena istilah modalisme tidak identik dengan kapitalisme.
Terjemahan Capital dengan kata modal memang tepat, namun dalam konteks ini,
adalah kurang tepat menggunakan kata modal karena bagi Robert M. Z. Lawang
Capital adalah sebuah keterampilan. Robert M.Z. Lawang bahkan memberikan
gambaran dengan mencontohkan penggunaan istilah “modal dengkul” yang berarti
tidak ada uang untuk dijadikan modal belanja kapital fisik, kecuali tenaga fisik orang
itu sendiri. Tenaga fisik memang tidak dapat dipisahkan dengan dari keterampilan,
tetapi keduanya tidak identik. Tidak semua tenaga fisik digabung dengan keterampilan.
Oleh karena itu, Kapital merupakan tidak bisa disepadankan dengan modal, karena
dalam istilah Kapital terdapat sebuah keterampilan di dalamnya.
Robert M. Z. Lawang (2004: 217) mendefinisikan Kapital Sosial sebagai semua
kekuatan sosial komunitas yang dikonstruksikan oleh individu atau kelompok dengan
mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan
individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital-kapital lainnya.
Definisi ini perlu dirinci per komponen menurut perspektif sosiologik.
1. Kekuatan sosial menunjuk pada semua mekanisme yang sudah dan akan
dikembangkan oleh suatu komunitas dalam mempertahankan hidupnya. Yang
menyusun kekuatan itu adalah individu atau kelompok dalam kehidupan sehari-hari
yang digunakannya untuk mengatasi semua masalah sosial yang dihadapi.
2. Pengertian komunitas dapat mengacu pada pembahasan yang sudah dibahas dalam
bagian ke dua buku ini. Tetapi intinya: komunitas mikro, mezzo, dan makro.
Kekuatan-kekuatan sosial sebagai kapital sosial dapat terbatas pada komunitas itu
saja yang dilihat sebagai bounded social capital, atau kalau sudah dikaitkan dalam
bentuk jaringan dengan capital sosial mezzo dan makro dapat disebut sebagai
bridging social capital. Kalau satuan pengamatan dan analisisnya adalah mezzo
sebagai bounded, maka yang makro adalah bridging.
3. Kapital sosial itu pada dasarnya merupakan konstruksi sosial. Artinya, melalui
interaksi sosial individu-individu membangun kekuatan sosial (kolektif) bersama
untuk mengatasi masalah sosial yang dihadapi. Dalam membangun kekuatan
bersama ini prinsip kegunaan memegang peranan penting, mulai dari yang paling
menguntungkan menurut penilaian individu, sampai dengan yang paling kurang.
Karena kapital sosial merupakan konstruksi sosial yang pada dasarnya bersifat
utilitarianistik, maka ada unsur kewajiban, norma dan sanksi di dalamnya.
4. Kapital sosial dalam pengertian ini merupakan alat (means) yang dikonstruksikan
oleh individu-individu dalam mencapai tujuan (end) bersama. Karena itu,
fungsionalitas kapital sosial bagi individu dan kelompok diuji dengan skema ini
(means-and-schema). Unsur rasionalitas kapital sosial dapat dilihat dalam skema
ini.
5. Ada kemungkinan kapital sosial dominan dalam mengatasi suatu masalah sosial.
Tetapi mungkin juga tidak seberapa pentingnya. Namun prinsip sinerji tetap
berlaku agar kapital sosial dapat digunakan sebagai kekuatan sosial untuk
mencapai tujuan bersama.
Menurut Lawang (2005: 209) Kapital sosial bukan suatu entitas yang berdiri
sendiri, melainkan tertambat pada struktur sosial. Prinsip inilah yang harus dipegang.
Karena itu, bukan kapital sosialnya yang menjadi satu analisis, melainkan struktur
sosial di mana suatu tindakan individu atau kolektif itu terjadi.
B. Konsep-Konsep Dasar
Robert M. Z Lawang (2005: 45) mengemukakan beberapa konsep-konsep inti dari
kapital sosial yaitu: kepercayaan, norma, dan jaringan. Sedangkan konsep-konsep
tambahan terdiri dari tindakan sosial, interaksi sosial dan sikap.
1. Kepercayaan, Norma, dan Jaringan Sebagai Konsep Inti
a. Kepercayaan (Trust)
Trust memilik arti kata benda dan kata kerja. Sebagai kata benda, Trust
berarti kepercayaan, keyakinan atau juga rasa percaya. Sedangkan sebagai kata
kerja, trust berarti proses mempercayai sesuatu yang jelas sasarannya.
Kepercayaan yang dimaksud dalam kapital sosial menunjuk pada
hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang
menguntungkan salah satu atau ke dua belah pihak melalui interaksi sosial.
Lawang (2005: 47) membahas tentang hubungan kepercayaan dan risiko
yang mempunyai hipotesis, “semakin tinggi saling percaya antara mereka yang
bekerjasama, semakin kurang risiko yang ditanggung, dan semakin kurang pula
biaya (uang atau sosial) yang dikeluarkan.
Suatu kepercayaan mempunyai fungsi menurut Torsvik (2000) bisa
menjadi (i) suatu aset jika A dan B saling percaya dan masing-masing dari
mereka merasa yakin bahwa tak seorangpun dari antara mereka yang bersifat
oportunistik. (ii) kepercayaan seperti ini berawal dari harapan saja. A berharap
kalau dia melakukan transaksi perdagangan dengan B tidak akan merugikannya,
karena A yakin bahwa B itu tidak oportunistik. Meski begitu harapan bukanlah
sebuah kepastian. (iii) Dengan kondisi seperti itu, maka proses transaksi ini
tergantung dari risiko yang diambil dari A. dalam hal ini A percaya dan berani
mengambil risiko yang paling jelek sekalipun.
b. Jaringan
Jaringan yang dalam bahasa inggris adalah Network. Jika diberi arti secara
etimologik justru membuat lebih jelas.yaitu Net adalah jaring sedangkan Work
adalah kerja. Jika kedua kata ini digabung, maka titik tekannya adalah pada
kerjanya, bukan jaringnya. Lawang (2005: 62) menganalogikan penjelasan
jaringan ini sebagai berikut:
1. Ada ikatan antar sampul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan
media (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan,
boleh dalam bentuk strategik, boleh pula dalam bentuk moralisitik.
Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak.
2. Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan
sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama, kepercayaan
simbiotik bilateral dan kepercayaan interpersonal masuk dalam kategori ini
3. Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar
simpul itu pasti kuat menahan beban bersama, dan malah dapat “menangkap
ikan” lebih banyak.
4. Dalam kerja jaring itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri.
Malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jaring itu tidak bisa
berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki lagi. Semua simpul jadi satu
kesatuan dan ikatan yang kuat.
5. Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan, atau antara
orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan.
6. Ikatan atau pengikat (simpul) dalam kapital sosial adalah norma yang
mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan
dipertahankan.
c. Norma
Lawang (2005: 70) mengemukakan bahwa norma tidak dapat dipisahkan
dari jaringan dan kepercayaan. Kalau struktur jaringan terbentuk karena
pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang. Sifat norma kurang lebih
sebagai berikut:
1. Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan (Blau, 1963,
Fukuyama, 1999). Artinya, kalau dalam pertukaran itu keuntungan hanya
dinikmati oleh salah satu pihak saja, maka pertukaran sosial selanjutnya pasti
tidak akan terjadi. Karena itu, norma yang muncul di sini, bukan sekali jadi
melalui satu pertukaran saja. Jika dalam beberapa kali pertukaran prinsip
saling menguntungkan dipegang teguh, dari situlah muncul norma dalam
bentuk kewajiban sosial, yang intinya membuat kedua belah pihak merasa
diuntungkan dari petukaran tersebut. Dengan cara demikian hubungan
pertukaran terpelihara (Blau).
2. Norma bersifat resiprokal, artinya isi norma menyangkut hak dan kewajiban
kedua belah pihak yang dapat menjamin keuntungan yang diperoleh dari
suatu kegiatan tertentu. Dalam konteks ini, orang yang melanggar norma
resiprokal yang berdampak pada berkurangnya keuntungan di kedua belah
pihak, akan diberi sanksi negatif yang sangat keras.
3. Jaringan yang terbina lama dan menjamin keuntungan kedua belah pihak
secara merata, akan memunculkan norma keadilan. Yang melanggar prinsip
keadilan akan dikenakan sanksi yang keras pula.

2. Interaksi Sosial, dan Sikap Sosial Sebagai Konsep Tambahan


a. Interaksi Sosial
Lawang (2005: 70-72) mengemukakan bahwa dalam kapital sosial, konsep
interaksi sosial juga penting, karena kapital sosial itu selalu dilihat dalam
hubungannya dengan kegiatan bersama, kelompok atau jaringan, di mana
interaksi sosial merupakan media yang paling utama. Sebelum konsep interaksi
itu dijelaskan, perlu memperoleh pemahaman mengenai konsep tindakan
(action) yang lebih banyak menyangkut kegiatan individual, tanpa harus
menghubungkannya dengan orang lain.
1) Tindakan Sosial
Lawang (2005: 70) menyatakan bahwa tindakan sosial merupakan bagian
yang sangat penting dari kapital sosial. Tindakan yang diambil seseorang
merupakan hasil dari keputusan peribadinya untuk melakukan sesuatu.
Keputusan untuk bertindak biasanya diambil dengan pertimbangan makna
atau nilai yang ada pada seseorang (Weber, 1922/1968), yang dipandu oleh
norma, nilai, ide-ide di satu pihak dan kondisi situasional di lain pihak, dan
diarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan cara-cara yang
menurut pertimbangan subyektif efektif dan efisien (Parsons, 1935)
2) Hubungan Interaktif
Interaksi sosial dalam hubungannya dengan kapital sosial merupakan bagian
yang tidak terlepas dari kegiatan kolektif (Narayan & Pritchett, 1999,
Putnam, 1993). Sementara itu, wujud nyata dari jaringan adalah interaksi.
Oleh beberapa ahli jaringannya disebut kapital sosial (Coleman, 1988,
Putnam, 1993), dan oleh beberapa ahli malah interaksinya itulah yang disebut
dengan kapital sosial yang disebut dengan istilah proses (Anderson, 2002).
Hubungan antar simpul dalam suatu jaringan, hanya bisa diketahui dari
interaksi sosial yang terjadi di antara mereka. Interaksi ini berfungsi
menyebarkan informasi ke seluruh anggota, yang memungkinkan mereka
mampu mengambil tindakan kolektif untuk mengatasi masalah secara
bersama-sama (Narayan & Pritchett, 1999, Putnam, 1993)
b. Sikap Sosial
Lawang (2005: 72) menyatakan bahwa Sikap dalam studi tentang kapital
sosial sangat penting, terutama terkait dengan kepercayaan. Sikap menunjuk
pada keadaan pikiran atau perasaan yang berhubungan dengan suatu hal. Bisa
juga sikap itu menunjuk pada kecenderungan, artinya sikap yang dimiliki itu
mempunyai warna dan bentuk tertentu. Seseorang yang dididik dalam bidang
ekologi akan cenderung menghargai alam seitar. Jadi, dalam sikap itu ada pola.
Karena sudah merupakan pola dari cara berpikir, bertindak dan berperasaan
terhadap sesuatu, pembahasan sikap dalam teori kapital sosial masuk dalam
bagian struktural.

3. Pandangan Nan Lin tentang Modal Sosial


Dalam bukunya yang berjudul “Social Capital: a Theory of Social Structure and
Action”, Nan Lin mulai memberikan penjelasan mengenai modal sosial dari apa itu
modal, sebagai berikut:
―What is capital? I define it as investment of resources with expected returns in the marketplace.
Capital is resources when these resources are invested and mobilized in pursuit of a profit – as a goal in
action. Thus, capital is resources twice processed. In the first process, resources are being produced or altered
as investment; in the second, the produced or altered resources are being offered in the marketplace for a
profit.... This theory, and its research enterprise, argue that social capital is best understood by examining
the mechanisms and processes by which embedded resources in social networks are captured as investment. It
is these mechanisms and processes that help bridge the conceptual gap in the understanding of the macro–
micro linkage between structure and individuals.”
“Apa itu modal? Saya mendefinisikan modal adalah aktivitas menginvestasikan
sumber-sumber pada lahan yang diharapkan mampu mendatangkan keuntungan dari
pasar (placemarket). Modal adalah sesuatu yang diinvestasikan dan dimobilisasi untuk
menggapai keuntungan sebagai tujuan akhirnya. Maka, di dalam modal ada dua proses,
pertama sumber-sumber dibuat/diubah untuk diinvestasikan, kedua: modal digunakan
untuk mendapatkan keuntungan.... Maka, modal sosial adalah berpusat pada bagaimana
beragam potensi dan struktur mampu dibangkitkan untuk memanfaatkan peluang,
memahami struktur yang hirarkhis, jejaring sosial, dan pelaku, serta jembatan
penghubung makro-mikro (hirarkhi-individu) untuk kemudian menjadi investasi untuk
mendapatkan tujuan bersama).”
Lebih lanjut Nan Lin memberikan penjelasan mengenai apa itu modal sosial,
sebagai berikut:
―Social capital is defined as resources embedded in one’s social networks, resources that can be accessed
or mobilized through ties in the networks... I have identified three principal sources (exogenous variables)
for social capital: (1) structural positions (an actor’s position in the hierarchical structure of social
stratification—the strength-of position proposition), (2) network locations—(an actor’s location in the
networks that exhibit certain features, such as closure or openness, or bridging, as illustrated in the
strength-of-tie propositions), and (3) purposes of action (instrumental—e.g. for gaining wealth, power, or
reputation, or expressive— e.g. for maintaining cohesion, solidarity, or well-being).‖
“Modal sosial didefinisikan sebagai beragam sumber daya yang otomatis
menempel/lekat di dalam satu jejaring sosial, bisa diakses atau dipindahkan melalui
ikatan-ikatan tertentu di dalam jejaring tersebut ... Saya telah mengidentifikasikan ada 3
sumber prinsip (variabel eksogen) untuk modal sosial, yaitu: (i) Posisi struktur/aktor di
dalam struktur hirarkhi, (ii) lokasi jejaring yang sifatnya erat atau terbuka, ataupun
bridging yang diilustrasikan sebagai proposisi jaringan yang kuat, dan (iii) fungsi dari
aksi untuk memelihara kebersamaan dan kelekatan, solidaritas, kesejahteraan sosial
bersama, dll.)”
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan modal sosial merupakan semua „sumber
daya tertanam dalam struktur sosial yang diakses dan/atau dimobilisasi dalam tindakan
purposif. Definisi ini mencakup tiga aspek modal sosial; sumber daya yang tertanam
dalam struktur sosial (melekatnya), mereka diakses oleh individu (aksesibilitas) dan
individu menggunakan atau memobilisasi mereka dalam tindakan secara purposif
(penggunaan).
Untuk menentukan pengaruh modal sosial, Lin merumuskan tujuh proposisi
berikut:

Nan Lin mencoba memberikan analisis yang cukup komprehensif tentang modal
sosial melalui proposisi-proposisinya yang intinya adalah: (1) Keberhasilan tindakan
berkaitan positif dengan modal sosial; (2) Semakin baik posisi asalnya, semakin besar
kemungkinan pelaku akan mengakses dan menggunakan modal sosial yang lebih baik;
(3) Semakin kuat ikatan, semakin besar kemungkinan modal sosial diakses positif akan
mempengaruhi keberhasilan dari tindakan ekspresif; (4) Semakin lemah ikatan, ego
yang semakin besar kemungkinan akan memiliki akses ke modal sosial yang lebih baik
untuk tindakan instrumental; (5) Orang-orang dekat adalah sebuah jembatan di jaringan,
modal sosial yang lebih baik mereka akan mengakses untuk tindakan instrumental; (6)
Kekuatan lokasi untuk tindakan instrumental bergantung pada sumber daya diferensial
melintasi jembatan; (7) Efek tersebut dibatasi oleh struktur hirarkis untuk aktor yang
terletak di dekat atau di bagian hirarkis atas dan di bawah.

4. Pandangan Fukuyama tentang Modal Sosial


Fukuyama (2000) memberikan definisi modal sosial secara sederhana yaitu sebagai
kumpulan nilai-nilai atau norma-norma informal secara spontan yang terbagi di antara
para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara
mereka. Pentingnya kepercayaan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi merupakan
sorotan utama dalam kajian yang dilakukan Francis Fukuyama. Dalam karyanya Trust:
The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995) Fukuyama mengatakan
kondisi kesejahteraan dan demokrasi serta daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh
tingkat kepercayaan antara sesama warga. Fukuyuma menegaskan bahwa modal sosial
merupakan syarat mutlak bagi terciptanya demokrasi yang stabil dan berpengaruh pada
efisiensi dari fungsi perekonomian modern.

Fukuyama menganggap kepercayaan itu sangat berkaitan dengan akar budaya,


terutama yang berkaitan dengan etika dan moral yang berlaku. Karena itu ia
berkesimpulan bahwa tingkat saling percaya dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari
nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat bersangkutan.

Dalam pandangan Fukuyama terdapat dua hal penting yaitu pertama, ruang
ekonomi dan politik (level makro) memiliki kontribusi penting bagi pengembangan
modal sosial. Ruang tersebut boleh jadi tidak bersentuhan langsung dengan interaksi
sosial di antara aktor-aktor dalam menanamkan trust dan melakukan transaksi-transaksi
yang saling menguntungkan dalam jaringan sosial yang mereka kembangkan, namun
menentukan sekali dalam menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif dalam
menanamkan trust dan melakukan transaksi-transaksi sosial tersebut. Kedua, ketika
modal sosial yang terendap dalam sebuah kelompok tertentu melemah, maka dapat
digerakkan ke arah kegiatan yang melibatkan aktor-aktor lain di luar kelompoknya.

Selanjutnya masih dalam bukunya tersebut Fukuyama mengatakan bahwa


kepercayaan muncul apabila masyarakat sama-sama memiliki seperangkat nilai-nilai
moral yang memadai untuk menumbuhkan perilaku jujur pada warga masyarakat.
Kelangsungan hidup organisasi dan kelembagaan besar ekonomi juga ditentukan oleh
masyarakat sipil (civil society) yang sehat dan dinamis, yang pada gilirannya tergantung
pula pada adat kebiasaan dan etika, sebagai hal-hal yang hanya bisa terbentuk secara
tidak langsung dengan adanya kemauan untuk itu, serta adanya kesadaran yang semakin
besar dan penghargaan terhadap budaya.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pemaparan tokoh-tokoh di atas yaitu Turner, Lawang, Nan Lin, dan
Fukuyama mengenai kapital sosial atau modal sosial setidaknya hampir semua
dari mereka sepakat menempatkan modal sosial atau kapital sosial itu sebagai
variabel independen. Artinya kapital sosial itu merupakan penyebab dari suatu
tindakan individual atau tindakan kolektif yang memungkinkan suatu daya guna
dan daya hasil tercapai.
Sementara itu, terkait perbedaan para tokoh menjelaskan modal sosial atau
kapital sosial dikarenakan fokus analisis mereka berbeda, meskipun muaranya
sama yaitu peran hubungan sosial dalam mendorong dan membentuk tindakan-
tindakan produktif.
Penulis Tertambat Pada Kapital Sosial Variabel
(Independen) Dependen
Turner Hubungan sosial, Kekuatan Potensi
pola organisasi perkembangan
yang diciptakan ekonomi
individu
Fukuyama Agama, Filsafat Kepercayaan, nilai Kerjasama,
keberhasilan
ekonomi
Nan Lin Relasi sosial, Jaringan sosial, Keberhasilan pada
struktur sosial ikatan sosial bidang tertentu
Lawang Struktur sosial Kekuatan sosial Efisiensi dan
mikro, mezo, komunitas efektifitas dalam
makro bersama kapital- pengatasan
kapital lainnya masalah
DAFTAR PUSTAKA

Lawang, Robert. M.Z. (2005). Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik Suatu
Pengantar. Cetakan Kedua. Depok: FISIP UI Press.
Nan Lin. (2001). Social Capital: a Theory of Social Structure and Action.
Cambridge University Press, Melbourne, Australia
Turner, J.H. (2000). The formation of social capital. Social Capital: A multifaceted
perspective hal. 94-146. Washington DC: The World Bank
Usman, Sunyoto. (2018). Modal Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syahra, Rusydi. Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi. 2003. Jurnal Masyarakat dan
Budaya, Volume 5 No. 1 Peneliti Puslit. Kemasyarakatan dan Kebudayaan
(PMB) LIPI
Fukuyama, Francis. 1997. Social Capital. New York : Published Oxford

Anda mungkin juga menyukai