Anda di halaman 1dari 7

Jurnal IOSR Humaniora Dan Ilmu Sosial (IOSR-JHSS)

Volume 23, Edisi 8, Ver. 1 (Agustus 2018) PP 51-57


e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845.
www.iosrjournals.org

Modal Sosial Indonesia Dan Perkembangannya

Nina Fitriya Yulaika


(Program Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya, Indonesia)
Penulis Koresponden: Nina Fitriya Yulaika

Abstrak: Modal sosial terkait dengan nilai kolektif dalam jaringan sosial yang tumbuh-berkembang sebagai
implikasi dari hubungan timbal balik yang terjadi di dalamnya. Nilai kolektif secara alami menciptakan dan
memelihara modal sosial. Bertambah, berkurang, atau bertahannya modal sosial tergantung pada nilai-nilai
kolektif yang ada dalam suatu jaringan sosial. Singkatnya, modal sosial diakui memiliki pengaruh besar dari
pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Di Indonesia untuk menggali dan mengambil modal
sosial yang tersembunyi perlu dirajut kepercayaan dari setiap elemen bangsa ini. Trust adalah media dan
langkah awal untuk mengikat “Bridging Social Capital” Indonesia. Etika, agama, ras, bahasa, partai, ideologi, dan
berbagai hambatan primordial lainnya harus dibina untuk memperkuat modal sosial.

Kata kunci: Modal Sosial, Pembangunan.


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal Pengiriman: 25-07-2018 Tanggal penerimaan: 08-08-2018


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

I. PENDAHULUAN
Dalam “The Forms of Capital”, Pierre Bourdieu (1986) membagi modal menjadi tiga bentuk, yaitu: modal ekonomi (economic
capital), modal budaya (cultural capital) dan modal sosial (social capital). Modal ekonomi lebih diarahkan pada penguasaan sumber-
sumber ekonomi, seperti uang dan harta benda (aset). Modal budaya mengacu pada bentuk-bentuk pengetahuan, keterampilan,
pendidikan yang memberikan banyak manfaat bagi manusia untuk mendapatkan harkat dan martabat yang lebih tinggi – termasuk cita-
cita besar – dalam masyarakat. Dan, modal sosial mengacu pada sumber daya yang terkandung, mempengaruhi dan mendukung suatu
kelompok sosial (dan juga masyarakat - pena) dalam bentuk keanggotaan, hubungan/hubungan dan jaringan/jaringan. Dari ketiga
modal tersebut, untuk konteks strategi pembangunan di Indonesia cenderung bertumpu pada modal ekonomi.
Selama ini, modal ekonomi sering diartikan dengan akumulasi sumber daya uang yang berdampak pada kegiatan
yang lebih pragmatis. Dalam konteks ini, seolah-olah uang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi aktivitas individu atau
kelompok. Uang adalah tangan yang tidak terlihat untuk mengintegrasikan semua kepentingan manusia, baik individu maupun
kelompok. Namun menurut Lawang (dalam Adnan, 2006: 96) modal ekonomi bukanlah akumulasi dari keuangan, modal
ekonomi tidak sama dengan uang. Ia (baca: uang) hanya berfungsi sebagai alat tukar. Sedangkan modal ekonomi adalah
kapasitas untuk mengorganisasikan peluang atau peluang untuk mendapatkan uang (memenuhi kebutuhan). Dalam proses
pemenuhan kebutuhan itulah terjadi interaksi sosial dan pertarungan ego selalu berkembang.
Modal ekonomi mendorong individu/kelompok untuk memperjuangkan uang atau memenuhi kebutuhan. Hal ini membuat
relasi sosial yang dibangun bersifat materialistis-individual. Hubungan sosial yang altruistik, demi kebaikan bersama, menjadi
terabaikan. Strategi pembangunan yang mengutamakan modal ekonomi – secara signifikan – berimplikasi pada persaingan (atau
bahkan konflik) di masyarakat. Banyak kasus di lapangan (YIIS, 2001:26) menunjukkan bahwa keresahan sosial seringkali disebabkan
oleh kecemburuan sosial, akibat jurang yang tajam antara si kaya dan si miskin.
Apalagi orientasi pembangunan yang berbasis modal ekonomi juga menimbulkan masalah sosial yang kompleks,
seperti kriminalitas, prostitusi, kenakalan remaja, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pengangguran, perilaku bias gender,
kemiskinan, munculnya kawasan kumuh, polusi udara dan sebagainya. Dalam bahasa lain, pembangunan yang hanya
bertumpu pada modal ekonomi ini justru melahirkan ironi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya,
substansi pembangunan mengalami distorsi fungsional, seperti frekuensi kekerasan dan ketimpangan sosial yang semakin
tajam. Bukti konkritnya adalah terjadinya keresahan sosial dan tingginya kriminalitas di banyak tempat.

Oleh karena itu, para ahli teori sosial berpendapat bahwa "Studi Pembangunan" adalah bidang studi multi-dimensi.
Pembangunan tidak bisa dinilai hanya dengan menggunakan perspektif ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek lain, aspek
sosial dan budaya, misalnya.
Tulisan ini bermaksud mengurai “benang kusut” pembangunan di Indonesia dengan menggunakan perspektif
modal sosial. Modal sosial merupakan konsep baru dalam sosiologi ilmu yang muncul menjelang akhir abad ke-20. Di
Indonesia, studi mendalam tentang modal sosial jarang dilakukan - hampir tidak ada. Bahkan, untuk

DOI: 10.9790/0837-2308015157 www.iosrjournals.org 51 | Halaman


Modal Sosial Indonesia Dan Perkembangannya

Dalam konteks pembangunan di Indonesia, kajian modal sosial sangat relevan dilakukan. Kami berharap makalah ini dapat
menginspirasi kesadaran kognitif kita akan pentingnya mempelajari perkembangan dalam persiapan sosial (dan budaya
tentunya).

II. MODAL SOSIAL


Konsep modal sosial didasarkan pada premis utama bahwa manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri alamiah untuk
mengikat persahabatan atau persaudaraan. Pierre Bourdieu (1986), mendefinisikan modal sosial sebagai berikut:
"Modal Sosial sebagai agregat dari sumber daya aktual atau potensial yang terkait dengan hubungan
saling akuisisi dan pengakuan yang dilembagakan." (Bourdieu, 1986).
Bourdieu berpendapat bahwa setiap jaringan sosial memiliki kemampuan untuk mereproduksi kekuasaan (power) dan
keragaman (Dwyer et.all, 2006). Ketimpangan yang direproduksi dalam sebuah jejaring sosial memiliki nilai keuntungan dalam hal
pembagian “job description” masing-masing individu/kelompok dalam jejaring sosial tersebut.
Dalam bahasa lain, modal sosial berkaitan dengan nilai-nilai kolektif dalam jaringan sosial yang berkembang sebagai
implikasi dari hubungan timbal balik yang terjadi di dalamnya. Nilai kolektif inilah yang "secara alami" menciptakan dan
memelihara modal sosial. Bertambah, berkurang atau bertahannya modal sosial tergantung pada nilai kolektif yang ada dalam
suatu jaringan sosial. Selanjutnya Putnam, penggagas awal modal sosial (walaupun tidak orisinal) mendefinisikan modal sosial
sebagai:
“Modal Sosial adalah ciri-ciri organisasi sosial seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial yang
memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk saling menguntungkan” (Putnam 1995).
Makna modal sosial dari Bourdieu dan Putnam di atas menunjukkan bahwa - berbeda dengan modal ekonomi
yang cenderung individualistis - modal sosial mensyaratkan adanya masyarakat yang dibangun secara komunal. Modal
sosial lebih diarahkan untuk membangun masyarakat (juga negara) dengan menggali potensi sumber daya sosial
berupa konektivitas timbal balik dalam jaringan sosial.
Secara teoritis, Lin (1999) memasukkan teori modal sosial dalam kerangka "The Neo Capital Theories" (lihat Tabel 1).
Lin sendiri—berlawanan dengan Bourdieu dan Putnam—melihat modal sosial lebih condong ke perspektif individu, yakni
seberapa jauh kemampuan individu/kelompok dalam mengakses untuk/dan menggunakan sumber daya sosial yang tertanam
dalam sebuah jejaring sosial. Kapasitas individu/kelompok dalam mengakses sumber daya sosial
akan memperkuat dan mempertahankan eksistensinya.

Tabel 1. Teori Modal


Teori Modal Klasik
Teori Neo-Kapital
Itu Klasik
Modal Manusia Kultural
Teori Modal Modal Sosial
Modal
Lin, Burt, Bourdieu,
Ahli teori Marx Schultz, Becker Bourdieu Marsden, Tutup, Coleman,
Coleman Putnam
Reproduksi-
Sosial hubungan:
tion dari
Eksploitasi dengan Akumulasi Akses ke dan Solidaritas dan
penjelasan- dominan
kapitalis dari nilai lebih penggunaan tertanam dalam
Bangsa simbol dan
(bougeoise) dari proletariat buruh. jaringan sosial reproduksi kelompok
arti
(nilai).
A. Bagian dari nilai lebih
antara penggunaan
nilai (dalamkonsumsi
pasar) dan Investasi dalam
internasional
nilai tukar (dalam saling
Investasi di isasi atau
produksi-tenaga kerja Investasi dalam pengenalan
Modal keterampilan teknis salah mengenali
pasar dari itu jaringan sosial dan
dan pengetahuan n dominan
komoditas) pengakuan
nilai-nilai
B. Investasi dalam ent
produksi dan
sirkulasi dari
komoditas.
tingkat Struktural (kelas) Individu Individu/kelas individu ss Individu atau
analisis kelompok

Sumber: Lin, 1999: 30

DOI: 10.9790/0837-2308015157 www.iosrjournals.org 52 | Halaman


Modal Sosial Indonesia Dan Perkembangannya

Bagi Lin, setiap komunitas atau kelompok sosial harus memiliki sumber daya yang tertanam secara sosial. Individu yang
mampu mengeksplorasi, mengumpulkan, dan memanfaatkan sumber daya sosial dapat menikmati modal sosial. Oleh karena itu, Lin
menyarankan, untuk melipatgandakan/memperkaya modal sosial, individu harus banyak berinvestasi dalam jejaring sosial. Investasi
sosial ini dapat berupa: aktif dalam organisasi sosial; memberikan penghargaan, bantuan atau empati kepada rekan kerja; memperluas
jejaring sosial dengan membuka perkenalan dan pertemanan baru atau suasana (tempat) baru.
Meskipun ada perbedaan pandangan tentang modal sosial di antara para ahli teori, ada persepsi umum di
antara mereka bahwa jaringan sosial adalah elemen terpenting dari modal sosial.
Singkatnya, modal sosial diakui memiliki pengaruh besar dari peningkatan ekonomi dan pengentasan
kemiskinan (Rudy, 2006, Hayami, 1997 dan Quillian, 2006;), hingga penciptaan masyarakat sipil [Putnam 1993;
Burt, 2000; De Fillipis, 2001; Dwyer, et.ell, 2006; dan Fukuyama, 1999].

AKU AKU AKU. MODAL SOSIAL UNTUK MEMBANGUN INDONESIA


Membuka pembahasan kita pada bagian ini, ada baiknya kita simak dan renungkan secara mendalam gambaran
Indonesia yang diuraikan oleh Nababan (1995) – seorang aktivis lingkungan – berikut ini:
“Dengan luas wilayah kurang lebih 5 juta Km2 dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia merupakan negara
kepulauan tropis terbesar di dunia. Dengan posisinya yang membentang sekitar 5.000 Km di garis khatulistiwa,
Indonesia diperkirakan memiliki tidak kurang dari 47 jenis ekosistem. yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati,
salah satu yang terkaya di dunia.Kekayaan hayati ini telah menopang lebih dari 500 suku bangsa asli di negeri ini
selama ratusan bahkan ribuan tahun.Mereka hidup tersebar dari garis pantai, seperti suku Bajau di Teluk Tomini, naik
di pegunungan, seperti suku Dani di Lembah Baliem, Pegunungan Jayawijaya.”
Luar biasa! demikian ungkapan yang seharusnya keluar dari mulut kita mendengarkan gambaran tentang Indonesia.
Kekayaan hayati dan sumber daya alamnya yang melimpah menjadi bahan baku modal ekonomi Indonesia. Demikian pula
keragaman suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke merupakan bahan baku modal budaya. Dan, jika
kehebatan Indonesia berkepanjangan, negara yang dihuni lebih dari 200 juta orang ini termasuk dalam 4 negara berpenduduk
terbesar di dunia. Kelimpahan penduduk yang melimpah ini merupakan bahan baku bagi sumber daya manusia. Singkatnya,
dilihat dari banyak aspek, Indonesia adalah negara yang kaya.
Modal, rakyat, ekonomi, dan budaya yang melimpah – Indonesia, jika dikelola dengan baik bukan tidak mungkin
menjadikan negara ini sebagai mercusuar dunia – seperti yang dicita-citakan oleh para founding fathers. Namun sayang,
kehebatan dan kekayaan modal yang dimiliki Indonesia – hingga saat ini – belum mampu mengangkat harkat dan martabat
bangsa secara kolektif. Indonesia masih terjebak dalam multikrisis berkepanjangan.
Masalah kronis Indonesia yang menyebabkan negara ini begitu rapuh adalah hancurnya modal sosial sebagai
kekuatan pengikat dan penggerak semua modal (lihat Gbr.1). Mustahil, negara kaya ini bisa bangkit untuk membangun dirinya
sendiri jika jaringan sosial yang ada di dalamnya membusuk, terpisah, bahkan direkonstruksi.

Angka1. Modal Sosial Sebagai Pengikat dan Penggerak semua modal

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Memang, keberhasilan Indonesia bangkit tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan individu (human capital),
kekayaan alam (modal ekonomi) yang melimpah dan keragaman budaya (modal budaya) yang dimilikinya. Namun,
pondasi utama dalam membangun Indonesia terletak pada akumulasi kerja kolektif yang diupayakan oleh setiap
elemen anak bangsa. Setiap anak bangsa harus bahu membahu, bekerja sama, dan menanggung derita

DOI: 10.9790/0837-2308015157 www.iosrjournals.org 53 | Halaman


Modal Sosial Indonesia Dan Perkembangannya

membangun Indonesia. Nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas sebagai bangsa harus kita rajut kembali. Jejaring
sosial yang dipecah oleh egoisme dan kepentingan individu/kelompok sudah saatnya direkonstruksi. Inilah
modal sosial Indonesia,
Penulis percaya bahwa hubungan sosial yang saling menghormati, menghargai, dan saling percaya merupakan kekuatan pendorong
yang kuat untuk membangun Indonesia. Ada enam hal yang harus dijunjung tinggi oleh setiap bangsa untuk tetap melestarikan modal
sosial Indonesia, yaitu:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia, komitmen awal para pendiri bangsa yang menetapkan NKRI sebagai pilihan
untuk menyelenggarakan negara harus dipertahankan. Setiap upaya separatisme atau yang mengarah pada
separatisme harus dicegah. Pemisahan satu wilayah dari NKRI tentunya akan menghancurkan modal sosial yang
sudah terbangun.
2. Saka Merah Putih, kita memiliki bendera nasional "Merah-Putih" yang suci dan memiliki nilai kepahlawanan. Keberadaannya
harus mengatasi segala bentuk bendera kelompok, kelompok, organisasi, partai, dan kepentingan. Berbicara tentang
kepentingan nasional, semua atribut bendera kelompok yang beragam harus tunduk pada kesakralan Saka Merah Putih.

3. Bahasa Nasional Sumpah Pemuda 1928 telah mencanangkan menjadikan bahasa Indonesia yang berdasarkan
bahasa Melayu sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa persatuan. Kita harus menjaga eksistensi bahasa
Indonesia – tanpa merusak keunikan bahasa tradisional yang dimiliki oleh setiap suku bangsa. Bahasa (atau lebih
tepatnya komunikasi) adalah minyak pelumas untuk memudahkan interaksi antara “Bridging Social Capital” yang
dimiliki Indonesia.
4. Lagu Kebangsaan Sumpah Pemuda 1928 juga pertama kali dinyanyikan untuk umum dengan lagu Indonesia
Raya karya WR. Supratman dan lagu ini juga dinyanyikan kembali mengiringi pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Semangat dan tenaga yang dimiliki lagu Indonesia Raya sungguh dalam
dan dahsyat menggetarkan setiap relung jiwa bangsa. anak-anak. Lagu Indonesia Raya harus dijadikan
sebagai pengikat persaudaraan bagi seluruh elemen bangsa.
5. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa, kita menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia adalah negara multikultural.
Keberagaman ini—untuk memperkuat Bridging Social Capital—harus diikat oleh satu ideologi nasional, yaitu
Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus terus digali dan diterapkan dalam hubungan sosial.
Setiap sila Pancasila merupakan karakter inti dari nilai-nilai budaya setiap suku bangsa di Indonesia.
6. TNI-Polri dan Law Firm yang Tangguh dan Berwibawa, Indonesia memiliki TNI-Polri yang berfungsi semata-mata
sebagai penjaga pertahanan dan keamanan negara. Posisinya harus kuat dan berwibawa. Kuat dalam arti
dilengkapi dengan peralatan persenjataan yang memadai dan layak. Makna otoritatif memiliki kemampuan untuk
mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan diri/golongan, bahkan untuk kepentingan TNI-Polri
sendiri. Amal juga berarti bebas dari campur tangan pihak asing, dan kelompok kepentingan tertentu yang dapat
mempengaruhi independensi dan objektivitas TNI-Polri. Begitu juga dengan lembaga hukum (Kejaksaan,
Kehakiman dan Mahkamah Agung) harus mampu menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan. Kepercayaan
akan tumbuh jika hukum dan hukum bekerja dengan baik.
Keenam item tersebut merupakan sistem abstrak yang berfungsi untuk menjamin kepercayaan pada setiap elemen bangsa
Indonesia yang multikultural. Sistem abstrak ini harus dapat diterjemahkan dan dikomunikasikan dengan baik oleh para ahli dan
agen awam kepada semua komunitas (dan komunitas internasional). Kegagalan menerjemahkan dan mengomunikasikan sistem
abstrak tersebut dalam kehidupan sehari-hari berimplikasi pada hilangnya kepercayaan dan terurainya modal sosial Indonesia.
Dampaknya, semangat kolektif untuk membangun bangsa memudar.
Keyakinan pada enam sistem abstrak ini juga harus didukung oleh keyakinan pada individu (orang), yang
dirujuk dalam dua item di bawah ini:
1. Pemimpin/pemimpin Publik, pemimpin, baik formal maupun informal, nasional dan lokal, selain berfungsi
sebagai ahli dan agen awam juga harus mampu meneladani sebagai orang yang dipercaya. Budaya KKN
yang bersumber dari korupsi harus dihilangkan. Mentalitas koruptor tidak hanya merugikan negara tetapi
juga berdampak pada krisis kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada pemimpin (termasuk pejabat).
Selain itu, pemimpin harus pandai memilih dan menepati janji. Kemampuan untuk memilih dan menepati
janji tersebut akan memperkuat kepercayaan publik. Selain pemimpin, tokoh masyarakat – yang biasanya
hadir dan diangkat oleh media massa – juga harus mampu menampilkan diri sebagai individu yang
berkarakter kuat. Hal ini penting karena publik figur ini biasanya memiliki karisma yang kuat dan
penggemar yang militan.
2. Keluarga dan kekerabatan, studi Putnam dan Fukuyama menunjukkan bahwa hubungan keluarga dan kekerabatan memiliki
pengaruh yang kuat dalam menciptakan suasana yang kondusif bagi modal sosial. Lebih lanjut Erikson (Juliawan, 2000)
menjelaskan bahwa rasa aman dibangun sejak kecil, yaitu antara anak dengan ibu atau pengasuhnya. Anak-anak belajar untuk
mempercayai dan mempercayai ibu atau wali mereka. Kepercayaan dasar yang awalnya dibangun melalui interaksi dengan sosok
ibu ini kemudian Callahan akan berkembang menjadi kepercayaan pada orang lain. Oleh karena itu, keluarga dan kekerabatan
harus mampu membangun kepercayaan ini. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi momok bagi rusaknya kepercayaan.
Bukankah keluarga adalah organisasi sosial terkecil?

DOI: 10.9790/0837-2308015157 www.iosrjournals.org 54 | Halaman


Modal Sosial Indonesia Dan Perkembangannya

Sinergi antara kepercayaan pada sistem abstrak dan personel ini akan menciptakan modal sosial yang kuat bagi bangsa
Indonesia untuk mewujudkan cita-cita pembangunan nasionalnya, yaitu: 1) melindungi segenap bangsa dan tumpah
darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3) dan 4) melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Akhirnya, penulis mengingat filosofi sapu. Jika ada seikat sapu yang diikat erat maka dia (sapunya) sulit dipatahkan
bahkan mampu membersihkan pekarangan yang kotor. Sebaliknya, jika hanya ada satu sapu, bukannya tidak
terputus, tidak mungkin membersihkan pekarangan yang kotor. Agaknya, dalam mengelola modal sosial untuk
membangun Indonesia, kita harus berpijak pada filosofi sapu ini.
SAYA. Impian Indonesia
Di wilayah yang kini berdiri di Indonesia - ribuan tahun yang lalu - telah ada dua peradaban besar dengan
sejarah dan filosofi peradaban yang menakjubkan. Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera dan Kerajaan
Majapahit di Jawa – hadir dalam kurun waktu yang berbeda – turut menyumbangkan gemerlap
peradabannya ke dunia. Secara historis, Kerajaan Sriwijaya sudah ada sebelum Kerajaan Majapahit. Namun
jika dilihat dari capaian peradabannya, Kerajaan Majapahit lebih menonjol dibandingkan Kerajaan Sriwijaya.
Hal ini ditunjukkan dengan cakupan wilayah yang dikuasainya (Majapahit lebih luas), ketahanan
peradabannya (Majapahit mempertahankan generasi yang lebih panjang) dan pencapaian kemakmuran
(Majapahit lebih sejahtera).
Ada tiga visi yang membuat Kerajaan Majapahit mampu melampaui keagungan Kerajaan Sriwijaya. Ketiga
visi ini dirangkum dalam setting populer: "Punjung Panjang Pasir Wukir, Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata
Tentrem Karta Raharja". Sesanti populer karena selalu dikomunikasikan kepada masyarakat luas melalui
media seni wayang. Secara rinci makna penyajian ini dijelaskan dalam penjelasan berikut (Purwadi, 2005):

1. Panjang Punjung Pasir Wukir, terdiri dari empat kata yang terurai sebagai berikut: 1) Panjang, dalam pedalangan bambu
dideskripsikan panjang dawa tunda artinya memiliki sejarah yang panjang. Bangsa yang akar sejarahnya jika ditelusuri
dan dihayati akan menambah rasa percaya diri yang kuat. Dengan membandingkan peristiwa masa lalu dan peristiwa
yang sedang berlangsung akan mudah untuk menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang memiliki nilai yang sama.
Kegagalan dan keberhasilan masa lalu akan memberikan pelajaran berharga. Begitulah Majapahit, kerajaan besar yang
tumbuh membangun peradaban tanpa melupakan sejarah masa lalu yang mengikutinya. Kemuliaan masa lalu adalah
semangat yang kuat untuk menciptakan kejayaan baru. Tokoh pergerakan Indonesia Modern, Soekarno pernah berkata:
“Jangan Pernah Lupakan Sejarah (JAS RED). 2) Punjung, merujuk pada keluhuran kekuasaan yang dimiliki Majapahit.
Kewibawaan negara Majapahit diperoleh dari pengakuan rakyat di negara tersebut dan pengakuan kedaulatan dari
negara lain. Rakyat sejahtera lahir-batin dan negara tetangga yang utang bersihnya merupakan modal utama negara
Majapahit untuk tampil menonjol mendapat pengakuan dan martabat. 3) Pasir - dalam dunia wayang - diartikan sebagai
lautan. Arti kata tersebut dan tentunya didasarkan pada kenyataan bahwa Majapahit memiliki wilayah yang sebagian
besar merupakan lautan dalam. Harus diakui, lautan atau samudra merupakan sumber kekayaan alam yang melimpah.
Ada sumber daya laut yang sangat besar dan merupakan perdagangan utama, maritim dan pelabuhan Majapahit. Bahan
tambang juga disimpan di laut. Produksi garam besar-besaran dapat dilakukan di sekitar laut. Demikian pula
keanekaragaman hayati, vegetasi laut, terumbu karang, dan ikan pasti bisa membawa kemakmuran. Oleh karena itu,
penting bagi masyarakat dan negara Majapahit untuk menguasai teknologi dan ilmu kelautan. Dalam sejarah
keemasannya, Majapahit pernah memiliki armada laut yang kuat dan bermartabat. 4) Wukir artinya pegunungan, istana
Majapahit - selain berada di hamparan lautan yang luas - dikelilingi oleh panorama indah gunung yang indah. Kehadiran
pegunungan meningkatkan kesuburan tanah. Hutam Majapahit mengandung kekayaan hewani dan nabati. Kayu yang
sangat mahal kualitasnya tinggi melimpah di hutan-hutan Majapahit. Misalnya, kayu jati di hutan Pulau Jawa dan kayu
rotan di hutan belantara Kalimantan. Pengelolaan hutan yang terbuka, adil dan teratur membuka kesempatan seluas-
luasnya bagi kesejahteraan. Wukir juga bisa diartikan dengan pegunungan yang indah. Majapahit kaya akan jajaran
pegunungan yang menawan, menyuguhkan pemandangan panorama yang indah dan udara sejuk yang membuat orang
merasa nyaman dan nyaman. Keindahan panorama Majapahit menarik banyak orang asing untuk datang berwisata. Hal
ini tentunya menambah kemakmuran rakyat.
2. Gemah Ripah Loh Jinawi, Negara Majapahit berhasil mewujudkan masyarakat yang gemah ripah Loh Zenawi, artinya: 1) Kelemahan
dalam dunia wayang berkaitan dengan kesibukan perdagangan rakyat. Perdagangan merupakan kegiatan ekonomi yang sangat
penting. Negara yang lancar dan aman dalam proses perdagangannya, menandakan bahwa perekonomian berjalan dengan baik
dan dinamis. Pertukaran barang membuat hidup bergairah dan ini tentang semangat kerja. Etos kerja dapat dirangsang dengan
penghargaan yang memadai. Dunia perdagangan yang lemah menjanjikan itu. Siang malam orang berjualan di pasar tidak lelah
dan tidak mengantuk. Hujan dan panas tidak menyurutkan usahanya untuk berkembang. Untuk itu, negara harus menjamin
keamanan perdagangan. 2) Ripah mengacu pada keramaian Negara Majapahit. Daya tarik Majapahit dalam banyak hal (alam,
manusia, pengetahuan (terutama agama), sosial dan budaya) membuat banyak orang berkunjung dan berbondong-bondong
untuk mencari nafkah, belajar atau sekedar berwisata. Kemanapun yang banyak dikunjungi orang pasti banyak keuntungan yang
didapat. Seperti pepatah: ada gula, semut.
3) Loh artinya kesuburan. Tanah yang subur dan dapat menumbuhkan semua tanaman dengan baik disebut tanah. Di daerah Majapahit,

DOI: 10.9790/0837-2308015157 www.iosrjournals.org 55 | Halaman


Modal Sosial Indonesia Dan Perkembangannya

tanahnya sangat subur. Palawija, palagandul, dan palakependem di mana-mana tumbuh subur hijau dan menenangkan
mata. Ketenangan ini berbuah pada kenyamanan setiap orang untuk tidak bersaing satu sama lain. Kekerasan dan
kecemburuan dapat dihindari. Tanah yang menggumpal ini perlu dikelola dengan baik. 4) Jinawi dalam dunia wayang
artinya yang dibeli murah. Kebutuhan hidup sehari-hari dapat dijangkau oleh masyarakat Majapahit dengan mudah.
Kesenjangan daya beli antara orang dan orang tidak terlalu lebar. Kecemburuan sosial terkait kesenjangan daya beli
membuat masyarakat yang merasa tidak mampu akan membuat dirinya putus asa untuk mengejar ketertinggalannya.
Orang ingin merebut, mencopet, merampok, membajak, korupsi dan menjadi PSK karena dengan fairway dia tidak bisa
(sulit) mendapatkan rejeki. Negara yang mendapat predikat Jinawi, masyarakatnya akan ramah dan murah senyum. Salam
tidak mahal dan yang lebih penting, orang akan mulai berpikir tentang cara hidup yang bermakna, baik dengan seni atau
mengembangkan pemikiran keagamaan-ilmiah. Seni, religiositas, dan sains berkembang pesat.

3. Tata-Tentrem Kerta Raharja, Negara Majapahit juga berhasil mewujudkan masyarakat yang alay
mengatur. 1) Penataan pusat artinya tentram, tentram, aman, tentram dan dapat membahagiakan lahir dan batin.
Tata-pusat mengacu pada aspek psikologis. Untuk mencapai suasana damai ini, antar masyarakat harus saling
menghormati hak dan kewajiban, terbuka, toleran, toleran, tepa sefira, mawas diri, mawas diri, berkompromi, dan
humanis. Di sini, pengendalian diri dalam berhubungan intim sangat diperlukan. Orang-orang pusat akan
membuat hidup terasa betah atau betah. Dalam suasana tentram tidak akan ada orang yang merasa terhina dan
diremehkan, apalagi merasa terancam jiwa dan hartanya. 2) Karta berkaitan dengan kemakmuran dan aktivitas
kerja masyarakat Majapahit. Kesuburan tanah dan kekayaan laut yang dipadukan dengan etos kerja yang tinggi
akan menghasilkan kemakmuran. Hal ini menunjukkan suasana orang yang senang bekerja, produktif dan sibuk
sesuai dengan potensi bakatnya. Pedagang rajin berdagang, petani sibuk bertani, petani penggembala berangin,
pejabat negara sibuk mengurus hajat hidup orang banyak. Beban kerja yang produktif akan mencegah terjadinya
penyimpangan sosial yang berujung pada kejahatan. Setiap individu memiliki kesempatan untuk menyumbangkan
kemampuannya bagi kejayaan negara. 3) Raharja artinya jauh dari kejahatan. Koruptor, pencuri, perampok, dan
penyakit umum lainnya tidak akan mendapatkan tempat. Harta dan kekayaan, ternak dan hasil pertanian aman
untuk ditaruh dimana saja, tidak ada kebodohan dan kejahatan yang merugikan. Mereka yang cukup terbantu
tidak berkecukupan. Hal ini membuat kekurangan pekerjaan menjadi rajin mengejar dan dapat membagi hartanya
kepada orang lain.
Ketiga hal inilah yang mampu mengantarkan Majapahit sebagai kerajaan yang makmur dan sederhana. Makmur
karena kekayaan alamnya dikelola dengan baik dan menghasilkan devisa yang melimpah. Pemahaman bahwa
kemakmuran yang dihasilkannya didukung atas dasar kepentingan bersama. Gotong royong dan gunung jatuh
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Modal sosial Majapahit sangat kuat dalam menopang dan mendorong
kemakmurannya. Dan, keragaman agama, ras, dan suku tidak menimbulkan gejolak. Kita masih ingat konsepsi
agung dari fondasi modal sosial Majapahit: "Bhinneka tunggal IKEA tan Hana dharma mangrwa". Konsepsi inilah
yang sekarang ingin kita terapkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Apa yang menjadi visi dan perwujudan sukses Kerajaan Majapahit adalah apa yang seharusnya menjadi
impian saya, impian Anda, impian kita, impian Indonesia. Impian Indonesia.

IV. KESIMPULAN
Dalam tulisan ini, penulis berpendapat bahwa untuk mengurai benang kusut pembangunan di Indonesia,
tidak bisa jika hanya mengandalkan modal ekonomi. Rezim Orde Baru cukup membuktikan bahwa orientasi sepihak terhadap
modal ekonomi akan berdampak pada rapuhnya bangsa secara kolektif. Untuk itu, bagi penulis, konsep modal sosial layak
dijadikan alternatif untuk membangun Indonesia. Oleh karena itu, kita harus berjuang bersama secara kolektif untuk
membangun kembali jaringan sosial di masyarakat yang tampaknya memudar saat ini.

REFERENSI
[1]. Adnan, Ricardi. S ,. (2006). "Potret Negeriku, Aksi dan Alternatif Desain Pembangunan", Uniiverstas
Indonesia Press.
[2]. Burt, Ronald S, (2000). Struktur Jaringan Modal Sosial, dalam Penelitian Perilaku Organisasi, Volume 22,
Greenwich, CT, JAI Press.
[3]. Bourdieu, Pierre. (1986) "Bentuk Modal", dalam Buku Pegangan Teori dan Penelitian untuk Sosiologi
Pendidikan, diedit oleh John G. Richardson. Westport, CT.: Pers Greenwood.
[4]. De Fillipis, James. (2010). Mitos Modal Sosial dalam Pengembangan Masyarakat, dalam Debat Kebijakan
Perumahan, Volume 12 edisi 4, Fannie Mae Foundation.
[5]. Dwyer, Claire et.all, (2006). "Etnisitas sebagai Modal Sosial? Menjelaskan Perbedaan Prestasi Pendidikan
Pria dan Wanita Muda Inggris-Pakistan", Makalah dipresentasikan pada Konferensi Program Leverhulme
'Etnisitas, Mobilitas dan Masyarakat' di Universitas Bristol, 16-17 Maret.

DOI: 10.9790/0837-2308015157 www.iosrjournals.org 56 | Halaman


Modal Sosial Indonesia Dan Perkembangannya

[6]. Fukuyama, Francis. (1999) .Social Capital and Civil Society, disiapkan penyampaiannya pada Konferensi IMF tentang
Reformasi Generasi Kedua.
[7]. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - , (2002). Gangguan Besar, Sifat Manusia dan Rekonstitusi Sosial
Pesan, Buku Profil, London,
[8]. Hayami, Y, Ekonomi Pembangunan: Dari Kemiskinan hingga Kekayaan Bangsa, Oxford: Clarendon Press,
1997.
[9]. Juliawan, B.Harry. (2000) .World Running, di Majalah BASIS Nomor 01 - 02, tahun ke-49, Januari
- Februari.
[10]. Lin, Nan. (1999). Building a Network Theory of Social Capital, makalah dipresentasikan sebagai Keynote
Address di XIX International Sunbelt Social Network Conference, Charleston, South Carolina, 18-21
Februari.
[11]. Mas'oed, Mochtar. (2003). Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
[12]. Murata, Sachiko. (1997). The Tao of Islam: The Book of Reference Tentang Hubungan Gender dalam
Kosmologi Islam, Mizan, Bandung.
[13]. Nababan, Abdon, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan di Indonesia, makalah yang dipresentasikan
dalam Seminar Setengah Hari, CSIS dan Yayasan SEJATI Merayakan Setengah Abad Kemerdekaan, dengan tema:
"Budaya, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan", Jakarta 7 Agustus 1995 .
[14]. Purwadi (2005). Abad Majapahit, Media Abadi, Yogyakarta.
[15]. Putnam, Robert. D, (1995). "Bowling sendiri: modal sosial Amerika yang menurun", Journal of Democracy 6:
1, Januari.
[16]. ----------------------------, (1999). Membuat Demokrasi Bekerja, Tradisi Kewarganegaraan di Italia Modern, Princeton
University Press, New Jersey.
[17]. ----------------------------, (2000). Dowling Alone: Keruntuhan dan Kebangkitan Komunitas Amerika. NY: (ed)
Simon dan Schuster,
[18]. Quillian, Lincoln, Dapatkah Modal Sosial Menjelaskan Kesenjangan Kemiskinan Ras yang Persisten?, Makalah disiapkan untuk The
Colors of Poverty, 12 Juni 2006.
[19]. Rudy, Hilangnya Ruang Publik: Ancaman Modal Sosial di Indonesia, dalam Jurnal INOVASI Vol. 7 / XVIII / Juni
2006.
[20]. Yayasan Ilmu Sosial (YIIS), Kerusuhan Sosial di Indonesia, dalam Jurnal Sosiologi Indonesia No. 5/2001.

IOSR Journal of Humaniora dan Ilmu Sosial (IOSR-JHSS) adalah Jurnal yang disetujui UGC dengan
Sl. 5070, Jurnal no. 49323.

Nina Fitriya Yulaika “Modal Sosial Indonesia Dan Perkembangannya”. IOSR Journal Of
Humaniora Dan Ilmu Sosial (IOSR-JHSS) vol.23 no.08, 2018, hlm.51-57.

DOI: 10.9790/0837-2308015157 www.iosrjournals.org 57 | Halaman

Anda mungkin juga menyukai