OLEH :
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
ABSTRAK
Dalam konteks penyelenggaraan kesejahteraan sosial, modal sosial memiliki pengaruh yang
sangat menentukan. Dalam suatu komunitas yang memiliki modal sosial rendah, kualitas
penyelenggaraan kesejahteraan sosial akan tertinggal. Beberapa dimensi pembangunan yang sangat
dipengaruhi oleh modal sosial antara lain kemampuannya menyelesaikan berbagai masalah kolektif,
mendorong roda perubahan yang cepat di tengah masyarakat, memperluas kesadaran bersama
bahwa banyak jalan yang bisa dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki nasib
secara bersama-sama, memperbaiki mutu kehidupan seperti meningkatkan kesejahteraan, dan
banyak keuntungan lainnya yang dapat diperoleh. Bangsa yang memiliki Modal Sosial tinggi akan
cenderung lebih efisien dan efektif menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan
rakyatnya.
Suatu kelompok masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi akan membuka kemungkinan
menyelesaikan kompleksitas permasalahan kesejahteraan sosial dengan lebih mudah. Hal ini
memungkinkan terjadi terutama pada masyarakat yang terbiasa hidup dengan rasa saling
mempercayai yang tinggi, bersatu dan memiliki hubungan sosial (jejaring sosial) secara intensif dan
dengan didukung oleh semangat kebaikan untuk hidup saling menguntungkan dan saling memberi.
BAB I
PENDAHULAN
A. LATAR BELAKANG
PEMBAHASAN
Modal sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk
mendapatkan sumberdaya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumberdaya
(resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan
diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Dimensi modal
sosial cukup luas dan kompleks. Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya, yaitu Modal
Manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi
individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Pada Modal sosial lebih
menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antarindividu dalam suatu kelompok
dan antarkelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan
antarsesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.
Apa itu modal social atau social capital ?. Para ahli banyak memberikan definisi tentang
modal sosial diantaranya, yaitu :
· James Colemen (1990) modal sosial merupakan inheren dalam struktur relasi antarindividu. Struktur
relasi membentuk jaringan sosial yang menciptakan berbagai ragam kualitas sosial berupa saling
percaya, terbuka, kesatuan norma, dan menetapkan berbagai jenis sanksi bagi anggotanya.
· Francis Fukuyama (2003) menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala sesuatu yang
membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di
dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Situasi tersebutlah
yang akan menjadi resep kunci bagi keberhasilan pembangunan di segala bidang kehidupan, dan
terutama bagi kestabilan pembangunan ekonomi dan demokrasi. Pada masyarakat yang secara
tradisional telah terbiasa dengan bergotong royong serta bekerjasama dalam kelompok atau
organisasi yang besar cenderung akan meraskan kemajuan dan akan mampu, secara efisien dan
efektif, memberikan kontribusi penting bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan masyarakat.
· Putnam (1995) mengartikan modal sosial sebagai “features of social organization such as
networks, norms, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit”.
Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan
kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama.
Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh
komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan
yang produktif.
· Pierre Bourdieu, menegaskan tentang modal sosial mengacu pada keuntungan dan kesempatan
yang didapatkan seseorang di dalam masyarakat melalui keanggotaannya dalam entitas sosial
tertentu (paguyuban, kelompok arisan, asosiasi tertentu).
· Bank Dunia (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai sesuatu yang merujuk kepada dimensi
institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, norma-norma yang membentuk kualitas dan
kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial pun tidak diartikan hanya sekedar
sejumlah institusi dan kelompok sosial yang menopang kehidupan sosial, melainkan juga sebagai
perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama.
· Cox (2005) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkian proses hubungan antar manusia
yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan
efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.
· Robby Djohan (2008) mendefinisikan Modal sosial adalah suatu keadaan yang membuat
masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama. Di dalam prosesnya,
gerakan itu ditopang oleh nilai dan norma yang khas, yaitu trust, saling memberi dan menerima,
toleransi, penghargaan, partisipasi, kerja sama dan proaktif, serta nilai-nilai positif yang dapat
membawa kemajuan bersama.”
Woolcock dan Narayan (2000) mensintesiskan berbagai pengertian modal sosial dalam
literatur sosiologi dan dari hasil sintesis tersebut mereka menyusun 4 kategori modal sosial.
Keempat kategori tersebut memang berbeda, tetapi tidak saling bertentangan satu dengan yang lain
(Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002).
Pertama, perspektif komunitarian. Dari perspektif ini, modal sosial digambarkan dalam pengertian
organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok lokal. Perspektif ini membantu para praktisi
pembangunan untuk memusatkan perhatian pada peran relasi sosial dalam mengurangi kemiskinan.
Kedua, perspektif jejaring (network). Perspektif jejaring mendefinisikan modal sosial dengan
mengacu pada berbagai hubungan (relasi) antara berbagai perkumpulan (asosiasi) vertikal dan
horisontal. Dalam sudut pandang ini, berbagai hubungan tersebut dibedakan menjadi hubungan
interkomunitas dan hubungan antarkomunitas.
Ketiga, perspektif institusional. Dari sudut pandang ini diketahui bahwa lingkungan institusional,
legal dan politis (institutional, legal, and political environment) merupakan penentu penting dan
utama kuat-tidaknya jejaring masyarakat.
Keempat, perspektif sinergi. Perspektif ini memusatkan perhatian pada berbagai hubungan di
antara dan di dalam berbagai pemerintah dan masyarakat sipil. Pada dasarnya, perspektif sinergi ini
mendasarkan diri pada asumsi bahwa tak satu pun aktor atau pelaku pembangunan (negara, swasta,
dan masyarakat) mempunyai akses sendiri terhadap sumber-sumber daya yang diperlukan untuk
menciptakan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.
Konsep dan interpretasi mengenai modal sosial memang sangat banyak dan beragam, tetapi
tampaknya muncul sebuah konsensus bersama bahwa pada dasarnya modal sosial berarti
kemampuan para pelaku (aktor) untuk mengamankan berbagai manfaat (benefits) melalui nilai-nilai
luhur keanggotaan dalam jejaring sosial atau struktur-struktur sosial lain (Grootaert, 2001). Dalam
konteks inilah Grootaert menekankan peran penting berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal. Bagi
Grootaert, berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal tersebut memainkan peran dalam tiga cara.
Pertama, berbagi informasi di antara para anggota perkumpulan; kedua, mengurangi berbagai
perilaku oportunistik; dan ketiga, memfasilitasi pengambilan keputusan kolektif (Grootaert, 2001).
Dari beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan modal sosial adalah serangkaian
nilai-nilai atau norma-norma, seperti rasa saling percaya, saling pengertian, kesamaan nilai dan
perilaku, yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang
memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka dan akhirnya mencapai tujuan bersama.
Hasbullah, (2006: 8), menyatakan masing-masing tokoh yang mempopulerkan konsep modal
sosial memiliki perbedaan penekanan terhadap unsur-unsur yang membentuknya. Perbedaan
tersebut juga dalam hal pendekatan analisis. Namun intinya, konsep modal sosial memberikan
penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan
dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Dalam proses
perubahan dan upaya untuk mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan
norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku serta berhubungan
dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain
sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling
percaya mempercayai, dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur lain
yang memegang peran penting adalah kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk secara
terus menerus pro aktif, baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan-jaringan kerjasa,
maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya .
a. Jaringan Sosial
Modal Sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan terletak pada
kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari
nilai-nilai yang melekat. Modal Sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok
masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya. Salah satu kunci
keberhasilan membangun modal sosial terletak pula pada kemampuan sekelompok orang dalam
suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri pada suatu jaringan sosial.
Masyarakat selalu berhubungan dengan masyarakat lain melalui berbagai variasi hubungan
yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality),
kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota-anggota kelompok atau
masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat
besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok tersebut.
Jaringan sosial dapat terbentuk secara tradisional, misalnya atas dasar kesamaan garis
keturunan (lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun-temurun (repeated social experience),
dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religius beliefs), ada pula yang dibangun
berdasarkan orientasi dan tujuan dengan pengelolaan organisasi yang lebih modern.
Badaruddin (2005), menyatakan dengan pelibatan warga dalam jaringan sosial yang akan
menjadi satuan sosial/organisasi lokal, maka terciptalah apa yang disebut dengan kemampuan
warga kolektif mengalihkan kepentingan ‘saya’ menjadi ‘kita’ terbangunlah kekompakan dan
solidaritas antar warga. Jaringan sosial terdiri dari lima unsur yang meliputi: adanya partisipasi,
pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama dan keadilan (Lubis, 2001).
c. Trust (Kepercayaan)
Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil
resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan
melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola
tindakan yang saling mendukung, paling tidak, yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan
kelompoknya (Putnam, 2002). Dalam pandangan Fukuyama (2002), trust adalah sikap saling
mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang
lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
Berbagai tindakan kolektif yang di dasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam
konteks membangun kemajuan bersama. Kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan
mengundang hadirnya berbagai permasalahan sosial yang serius. Masyarakat yang kurang memiliki
perasaan saling mempercayai akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi
yang mengancam. Semangat kolektifitas tenggelam dan partisipasi masyarakat untuk membangun
bagi kepentingan kehidupan yang lebih baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya
tinggi bagi pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan hanya menunggu apa
yang diberikan oleh pemerintah. Jika rasa saling mempercayai telah luntur maka yang akan terjadi
adalah sikap-sikap menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku.
Tentang pentingnya kepercayaan di dalam modal sosial ini Fukuyama berpendapat : Social
Capital adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum didalam sebuah masyarakat atau
bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan
mendasar demikian juga kelompok-kelompok sosial masyarakat yang paling besar sepert Negara dan
dalam seluruh kelompok lain yang ada diantaranya. Social Capital berbeda dengan bentuk-bentuk
human capital lain sejauh ia bisa diciptakan dan ditransmisikan melaui mekanisme kultural seperti
agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Badaruddin, 2005;37). Qianhong Fu yang membagi tingkatan
trust pada tingkatan individual, tingkatan relasi sosial dan pada tingkatan sistem sosial. Pada
tingkatan relasi sumber trust menurut Nahapit dan Ghosal berasal dari adanya nilai-nilai yang
bersumber dari kepercayaan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan keterbukaan yang telah
menjadi norma di masyarakat. Pada tingkat institusi sosial, trust merupakan atribut kolektif untuk
mencapai tujuan-tujuan kelompok (Hasbullah, 2006;12). Saling percaya akan kemauan baik dan
kesedian untuk saling membantu antara satu dengan yang lainnya merupakan modal sosial.
e. Pranata Sosial
Pranata sosial merupakan salah satu unsur penting dari modal sosial selain dari kepercayaan
dan jaringan sosial. Pranata atau lembaga adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang
memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi (Soekanto, 2003).
Di dalam pranata warga masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain, tetapi sudah diikat oleh
aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Pranata sosial ini sangat bermacam ragam bentuknya,
mulai dari yang tradisional seperti masyarakat adat, sampai pada pranata yang modern seperti
partai politik, koperasi, perusahaan, perguruan tinggi dan lain-lain. Menurut Koentjaraningrat (2005)
ada 8 (delapan) tipe dari pranata sosial, yaitu:
1. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan yang sering disebut
domestic institution.
2. Pranata-pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia untuk mata pencaharian
hidupnya.
3. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan pendidikan.
4. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah manusia, atau sering disebut scientific
institution.
5. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk menghayatkan rasa keindahan.
6. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berbakti kepada Tuhan.
7. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mengatur keseimbangan kekuasaan
dalam masyarakat.
8. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan hidup manusia.
Summer (Soekanto, 2003) mengartikan pranata ini sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan
perlengkapan kebudayaan bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Sosiolog tersebut menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) fungsi pranata ini, yaitu:
1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku atau
bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama menyangkut
kebutuhan-kebutuhan.
2. Menjaga keutuhan masyarakat.
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial.
Suatu pranata supaya dapat tercipta kerjasama, maka harus ada norma-norma yang
mengatur. Norma-norma yang ada pada sebuah pranata dapat terbentuk secara sengaja maupun
secara tidak sengaja. Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat
yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada pula yang kuat ikatannya (Soekanto, 2003).
Norma-norma tersebut di atas akan mengalami suatu proses seiring dengan perjalanan waktu
dan pada akhirnya norma-norma itu akan menjadi bagian tertentu dan pranata sosial. Soekanto
(2003) mengatakan proses itu disebut dengan istilah institutionalization atau proses pelembagaan,
yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu
pranata sosial. Pranata sosial dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi
serta mengatur perilaku orang-orang di dalam lingkungan pranata itu berada (Soekanto, 2003).
Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi dapat berlanjut lebih jauh
lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya melembaga saja dalam kehidupan masyarakat,
namun telah menginternalisasi di dalam kehidupannya. Norma hukum pada dasarnya bertujuan
untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dan
ketentraman.
Hubungan antara manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan,
maka diciptakanlah norma-norma yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Untuk
dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut dikenal ada empat pengertiannya,
yaitu: Cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat (Soekanto, 2003). Masing-masing pengertian tersebut
mempunyai dasar yang lama, yakni merupakan norma-norma kemasyarakatan yang memberikan
petunjuk bagi tingkah laku seseorang di dalam kehidupannya dengan masyarakat.
Dalam masyarakat Batak, onan merupakan pranata yang sudah mapan. Selain sebagai fungsi
perdagangan (tempat transaksi jual beli), juga berfungsi sebagai wadah pergaulan sosial di antara
anggota kelompok suku dan di antara wilayah yang saling bermusuhan dan bahkan yang secara
formal berperang, ditegakkan dan dipertahankan melalui “kedamaian pasar (onan)”.
PENUTUP
Kesimpulan
Kelembagaan didefinisikan sebagai suatu sistem badan sosial atau organisasi yang melakukan suatu
usaha untuk mencapai tujuan tertentu. pengembangan masyarakat adalah sekelompok masyarakat
di tingkat local menginisiasi proses aksi social untuk mengubah kondisi ekonomi, social, budaya dan
lingkungan. modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial, seperti
kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat
meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat. Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan
(connectedness) antara individu dan komunitas
Saran
Diharapkan agar dengan adanya sosial capital dan pemberdayaan masyarakat ini bisa
mempermudah langkah-langkah yang harus kita lakukan dalam memahami masyarakat dan juga
dalam mengatur kelembagaan pemberdayaan ini sendiri.
DAFTAR PUSTAKA