Anda di halaman 1dari 6

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi dan Proses Sosial


Menurut chaplin (2011), interaksi sosial merupakan pertalian sosial antar individu
sedemikian rupa sehingga individu yang bersangkutan saling mempengaruhi satu sama
lainnya. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut
hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang
perorangtan dengan kelompok manusia..Jadi interaksi sosial adalah kemampuan seorang
individu dalam melakukan hubungan sosial dengan individu lain atau kelompok dengan
ditandai adanya adanya kontak sosial dan komunikasi. Menurut Marliati et al (2008) Ada faktor
yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial, diantaranya adalah faktor imitasi, sugesti,
identifikasi, empati, dan simpati. Imitasi yaitu proses sosial atau tindakan seseorang untuk
meniru orang lain, baik sikap penampilan, gaya hidupnya, bahkan apa-apa yang dimilikinya.
Imitasi pertama kali muncul di lungkungan keluarga, kemudian lingkungan tetangga dan
lingkungan masyarakat. Simpati adalah suatu proses seseorang merasa tertarik terhadap pihak
lain, sehingga mampu merasakan apa yang dialami, dilakukan dan diderita orang lain. Empati
adalah kemampuan untuk menyadari perasaan orang lain dan bertindak (sesuai) untuk
membantu. Konsep Empati terkait erat dengan rasa iba dan kasih sayang. Identifikasi adalah
pemberian tanda-tanda pada golongan barang-barang atau sesuatu. Sugesti adalah suatu proses
dimana seseorang individu menerima suatu cara penglihatan, atau pedoman-pedoman tingkah
laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Menurut Jafri et al (2015) suatu interaksi sosial
dapat meningkatkan dinamika faktor-faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati antara dua
belah pihak yang berinteraksi sehingga berguna untuk memunculkan rasa saling
ketergantungan, saling pengertian, yang akhirnya akan menjadi kekuatan untuk mendorong
kemandirian pada pihak kelompok yang berinteraksi.

Menurut Muslim (2013) Ada dua jenis proses sosial, yaitu proses asosiatif dan proses
disosiatif. Prose asosiatif menciptakan rasa saling ketergantungan, saling percaya dan
menciptakan interaksi yang mengarah ke dalam peningkatan rasa solidaritas di antara anggota
kelompok. Kemudian bentuk proses asosiatif, yaitu kerja sama, akomodasi, asimilasi, dan
akulturasi. Sedangkan Proses disosiatif merupakan sebuah proses yang mengarahkan
komunitas ke arah perpecahan dan merenggangkan solidaritas di antara anggota-anggotanya.
Ada tiga bentuk proses disosiatif, yaitu persaingan, kontravensi, dan konflik.
2.2 Komunitas Desa Pertanian
Komunitas adalah suatu kumpulan orang-orang dalam jumlah yang banyak dan
membentuk kelompok-kelompok sosial yang bekerjsama untuk mencapai kepentingan atau
tujuan bersama, menempati suatu wilayah tertentu dalam waktu yang cukup lama dan
karenanya menghasilkan suatu kebudayaan (Sumijatun, 2006). Petani merupakan orang atau
sekelompok yang menggantungkan hidupnya pada hasil lahan pertanian sebagai mata
pencaharian utamanya (Anantanyu, 2011). Secara garis besar terdapat tiga jenis petani, yaitu
petani pemilik lahan, petani pemilik yang sekaligus juga menggarap lahan, dan buruh tani.
Komunitas petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori sosial yang seragam
dan bersifat umum. Artinya, banyak yang tidak memahami bahwa pada komunitas petani
terjadi juga diferensiasi berdasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan, jabatan maupun status
sosial. Pada kenyataannya, diferensiasi dalam komunitas petani itu akan terlihat berdasar atas
perbedaan dalam tingkat perkembangan masyarakatnya, jenis tanaman yang mereka tanam,
teknologi atau alat-alat yang mereka pergunakan, sistem pertanian yang mereka pakai,
topografi atau kondisi-kondisi fisik-geografik lainnya. Berdasarkan pandangan masyarakat
pada umumnya, petani dibedakan menjadi petani tradisional dan petani modern.

Pada masyarakat desa masih minim pengetahuan mengenai teknologi sehingga


membuat mereka memanfaatkan kondisi alam yang ada sehingga memutuskan untuk bertani.
Kondisi lingkungan yang masih asri dan subur merupakan faktor pendorong masyarakat desa
tersebut mengelola lahan pertanian sebagai sumber kehidupan. Henslin (2006) menjelaskan
bahwa adanya masyarakat pertanian didasarkan pada pemeliharaan tannaman dengan
menggunakan peralatan tangan. Karena mereka tidak lagi harus meninggalkan suatu wilayah
bilamana persediaan makanan habis, maka masyarakat ini mengembangkan pemukiman
permanen. Pada awalnya hasil pertanian hanya digunakan untuk konsumsi keluarga petani,
namun seiring perjalanan waktu para petani mulai menjual hasil pertanian mereka. Proses ini
disebut juga dengan evolusi di mana manusia semakin mengenal teknologi dan semakin maju
dalam berpikir.

2.3 Aset Komunitas


Aset adalah segala sesuatu yang berharga, bernilai sebagai kekayaan atau
perbendaharaan (Afandi, 2014). Segala yang bernilai tersebut memiliki guna untuk memenuhi
kebutuhan. Pendekatan berbasis aset membantu komunitas melihat kenyataan dan
kemungkinan perubahan secara berbeda. Mempromosikan perubahan fokus pada apa yang
ingin dicapai dan membantu menemukan cara baru dan kreatif untuk mewujudkan visi. Salah
satu bentuk dari aset komunitas adalah modal sosial. Modal sosial mengacu kepada hasil atau
modal yang didapatkan oleh masyarakat ketika dua atau lebih warganya bekerja untuk
kebaikan bersama – membantu warga lain di masyarakat tanpa tujuan mencari keuntungan.
Modal sosial dalam konteks ini mengacu pada aset yang didapat oleh sebuah komunitas ketika
beberapa orang membentuk asosiasi atau kelompok untuk kebaikan bersama.

Besarnya modal sosial yang dimiliki seorang anggota dari suatu kelompok tergantung
pada seberapa jauh kuantitas maupun kualitas jaringan hubungan yang dapat diciptakannya,
serta seberapa besar volume modal ekonomi, budaya dan sosial yang dimiliki oleh setiap orang
yang ada dalam jaringan hubungannya. Menurut Syahra (2014), Suatu kelompok masyarakat
tidak cukup hanya mengandalkan bantuan dari luar untuk mengatasi kesulitan ekonomi, tetapi
mereka sendiri juga harus secara bersama-sama memikirkan dan melakukan langkah-langkah
terbaik guna mengatasi masalah tersebut dengan mengerahkan segenap potensi dan
sumberdaya yang dimiliki. Dengan demikian modal sosial menekankan perlunya kemandirian
dalam mengatasi masalah sosial dan ekonomi, sementara bantuan dari luar dianggap sebagai
pelengkap guna memicu inisiatif dan produktivitas yang muncul dari dalam masyarakat
sendiri.

Modal fisik merupakan salah satu modal dasar yang terdapat dalam setiap masyarakat,
baik itu masyarakat yang hidup secara tradisional maupun masyarakat yang hidup secara
modern. Green dan Hines (2002) mengelompokkan modal fisik menjadi bangunan dan
insfrastruktur. Bangunan yang dimaksud disini dapat berupa rumah, perkantoran, pertokoan,
gedung perniagaan, dan sebagainya. Sementara itu, insfrastruktur dapat berupa jalan raya,
jembatan, jalan kereta api, sarana pembuangan limbah, sarana air bersih, jaringan telpon dan
sebagainya. Modal finansial adalah dukungan keuangan yang dimiliki suatu komunitas yang
dapat digunakan untuk membiayai proses pembangunan yang diadakan dalam komunitas
tersebut. Salah satu indikator yang menggambarkan modal keuangan masyarakat adalah
dengan melihat banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Modal
lingkungan dapat juga berupa potensi yang belum diolah dan mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi, serta mempunyai nilai yang tinggi dalam upaya pelestarian alam dan juga kenyamanan
hidup. Modal teknologi dapat dimanfaatkan oleh suatu komunitas. Keberadaan teknologi
dalam suatu komunitas tidaklah selalu berarti teknologi yang canggih dan kompleks seperti apa
yang dikembangkan di berbagai negara yang berkembang.Modal teknologi yang dimaksud
terkait dengan ketersediaan teknologi tepat guna yang bermanfaat untuk masyarakat. Kekuatan
masyarakat yang menjadi titik tolak berkembangnya suatu negara tidak dapat diragukan lagi
terkait dengan unsur manusia yang menjadi modal dasar pembangunan mereka. Modal manusia
berbicara mengenai sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat menguasaiteknologi
yang bermanfaat bagi masyarakat, baik itu teknologi yang sederhana maupun teknologi yang
canggih.

2.4 Kebudayaan dan Gender dalam Pertanian


Perempuan memberikan kontribusi yang besar dalam ekonomi masyarakat maupun
dalam kehidupan keluarga. Safar (2006) menyampaikan bahwa apabila dilihat dari curahan
waktu kerja rata-rata, perempuan sangat berperan dalam aktivitas pertanian, terutama pada sub
sistem produksi, dimana kontribusi perempuan pada kegiatan produksi pertanian tersebut
masih dipengaruhi budaya, tipe agroekosistem,dan status sosial ekonomi rumah tangga.
Dominasi perempuan di sektor pertanian tersebut telah berlangsung lama dan dipandang
sebagai sesuatu yang wajar. Melihat peran sentral perempuan dalam kegiatan pertanian, maka
perempuan petani harus diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh
akses kepada lahan dan sumberdaya agar dapat memanfaatkan sumberdaya dengan maksimal
(Wahyuni, 2007). Namun, Alokasi sumberdaya pertanian terbukti tidak memberikan
kesempatan yang sama berdasarkan gender. Pilihan dan partisipasi perempuan dalam proses
pembangunan sangat terbatas, menyebabkan perempuan harus melalui banyak rintangan untuk
mendapatkan akses dan kontrol. Pada umunya perkembangan teknologi pertanian
menyebabkan perempuan semakin mendapat akses sedikit karena teknologi pertanian terbaru
berupa mesin–mesin besar yang membutuhkan tenaga laki-laki untuk menjalankannya.

Kebudayaan dinyatakan sebagai suatu kompleks yang menyeluruh, yang mencakup


pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan berbagai kemampuan dan
kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat. Dengan demikian,
kebudayaan tak lain adalah sistem simbol yang berperan sebagai kendaraan pembawa makna.
Sistem simbol yang tersedia di kehidupan umum tak ubahnya menunjukkan pada kita tentang
bagaimana para warga masyarakat yang bersangkutan: melihat, merasa, dan berpikir tentang
dunia mereka dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai (Sutrisno, 2005). Ada beberapa
ciri-ciri yang mendasari kebudayaan masyarakat pertanian indonesia. Pertama-tama sebagai
masyarakat agraris, mampu memenuhi kebutuhan sendiri, khususnya dalam memenuhi
kebutuhan pangan, papan, dan sebagian juga dalam kebutuhan sandang, menetap dalam
wilayah/lokalitas tertentu, dan ciri lainnya adalah ia memiliki struktur otoritas kekuasaan
tersendiri, memiliki sistem nilai, dan mempunyai kesadaran kolektif sebagai suatu grup
inklusif, yaitu bagian dari suatu masyarakat yang lebih besar.

DAPUS

 Afandi, Agus.,dkk.,2014. Modul Participatory Action Research. Surabaya: LPPM UIN


Sunan Ampel. Hal.308
 Chaplin. (2011). Kamus Lengkap Psikologi (terjemahan Kartini Kartono). Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
 Kun, M., Juju, S. 2006. Sosiologi.Jakarta: ESIS.
 Marliati., Sumardjo., Pang, S.A., Prabowo, T., Asep, S. 2008. Faktor-Faktor Penentu
Peningkatan Kinerja Penyuluh Pertanian Dalam Memberdayakan Petani (Kasus Di
Kabupaten Kampar Provinsi Riau). Jurnal Penyuluhan Vol. 4 (2): 92-99
 Jafri, Joni., Rudi, F., Rahmat, S., Asmawi. 2015. Interaksi Partisipatif Antara
Penyuluh Pertanian Dan Kelompok Tani Menuju Kemandirian Petani. Jurnal Agro
Ekonomi Vol 33 (2): 161-177
 Muslim, A. 2013. Interaksi Sosial dalam Masyarakat Multietnis. Jurnal Diskursus
Islam Vol 1(3): 480-489
 Anantanyu, S. 2011. Kelembagaan Petani: Peran Dan Strategi Pengembangan
Kapasitasnya. SEPA: Vol. 7(2): 102 – 109
 Syahra, R. 2003. Modal Sosial: Konsep Dan Aplikasi. Jurnal Masyarakat dan Budaya
Vol 5 (1): 1-19
 Safar, M. 2006. Diferensiasi peran gender dan pengaruh budaya dalam aktivitas pertanian di
perdesaan, Studi di Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.
Selami IPS. Vol 1(19) : 1-9
 Wahyuni, Ekawati S. 2007. Perempuan petani dan penanggulangan kemiskinan. Agrimedia.
Volume 12 (1) : 12-20
 Green, R., Hines, J. 2006. Bringing Buildings Back From Abandoned Properties to
Community Assets. Rutgers University Press.
 Henslin M. James 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Edisi 6 Jilid 2. Jakarta: PT.
Gelora Aksara Pratama.
 Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai