Istilah pemberdayaan berasal dari kata empowerment berkembang di Eropa mulai abad
pertengahan, hingga akhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan masyarakat
dibangun dimana mengacu pada kemampuan masyarakat untuk mendapat akses dan kontrol atas
sumber daya. Pemberdayaan pada dasarnya terlahir dari sebuah ide yang menempatkan manusia
sebagai subjek dari kehidupannya sendiri. Pemberdayaan Secara etimologi berasal dari kata
“daya” yang artinya kekuatan atau kemampuan (Ambar Teguh, 2004). Berdasarkan pengertian
tersebut, maka pemberdayaan dapat dilihat sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses
untuk dapat memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan
atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.
Menurut Ambar Teguh (2004) proses otorisasi mengacu pada suatu tindakan nyata yang
dilakukan secara bertahap untuk mengubah situasi masyarakat yang kurang beruntung, termasuk
pengetahuan, sikap, dan praktik untuk menguasi penguasaan pengetahuan, perilaku sadar dan
keterampilan yang baik.
Oleh karena itu, pemberdayaan merupakan sebuah proses sekaligus tujuan. Sebagai
proses, pemberdayaan adalah rangkaian kegiatan untuk memperkuat daya atau keberdayaan
kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu yang mengalami masalah kemiskinan.
Sebagai tujuan, pemberdayaan mengacu pada kondisi atau hasil perubahan sosial, yaitu
masyarakat yang memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat
fisik, ekonomi, maupun sosial seperti rasa percaya diri, maupun menyampaikan aspirasi,
mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalm kegiatan sosial, dan mandiri dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya (Edi Suharto, 2010).
Pemberdayaan dapat juga diartikan sebagai proses di mana individu atau kelompok
mampu meningkatkan kapasitas dan kemampuan mereka untuk memahami, menafsirkan
masalah yang mereka hadapi dan kemudian mampu menentukan kebutuhan serta
menerjemahkannya ke dalam tindakan dengan berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan kegiatan.
Komponen utama pemberdayaan dalam hal ini adalah kemampuan individu untuk mendapatkan
kontrol atau kendali dalam menentukan kehidupan mereka seperti yang mereka inginkan (Samah
dan Aref, 2009).
Selanjutnya, menurut Djohani Rianingsih (2003) dalam Rully Fajar (2019) pemberdayaan
ditingkat masyarakat lokal adalah:
a. Pemberdayaan merupakan proses mengembangkan hubungan yang lebih setara, adil dan
tidak dominan disuatu komunitas dalam masyarakat. Pemberdayaan membutuhkan
pemahaman kritis tentang hak dan kewajiban masyarakat. Pemberdayaan juga
membutuhkan pemimpin lokal yang setara dan memiliki legitimasi di masyarakat.
b. Pemberdayaan adalah proses pemberian kekuasaan atau power kepada yang lemah (yang
tidak berdaya) dan mengurangi kekuasaan (disempower) kepada pihak yang terlalu
berkuasa (powerfull) untuk mencapai keseimbangan.
c. Pemberdayaan perlu adanya pembagian kekuasaan antara kepemimpinan lokal dan
masyarakat. Pembagian kekuasaan yang adil berarti penyelenggaraan sistem demokrasi di
tataran komunitas (community democracy), setidaknya itu yang saat ini masih dipercaya
oleh gerakan demokrasi diseluruh dunia.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah masyarakat tidak dijadikan obyek
dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunannya
sendiri. Subejo dan Narimo (2004) dalam Mardikanto dan Soebiato (2015) mengartikan proses
pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal
dalam merencanakan, memutuskan, dan mengelola sumber daya lokal yang dimiliki melalui
collective dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan
kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial.
Sejalan juga dengan pendapat Kartasasmita (1996) yang mengungkapkan bahwa upaya
memberdayakan masyarakat harus dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu:
Tim Delivery (dalam Rully Fajar: 2019) ada 4 tahap dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu:
a. Tahap Seleski lokasi atau wilayah yaitu Pemilihan wilayah didasarkan dengan standar
yang disepakati bersama lembaga, masyarakat, dan pihak terkait serta menentukan
pemilihan tempat atau lokasi dengan maksimal sehingga tujuan tersebut dapat memenuhi
sesuai keinginan.
b. Tahap Sosialisasi pemberdayaan masyarakat, dimana sosialisasi berperan dalam
mengkomunikasikan kegiatan dalam mencapai kepemahaman dengan masyarakat.
Dengan sosialisasi akan sangat membantu meningkatkan pemahamann masyarakat dan
pihak terkait terhadap program dan atau kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah
direncanakan. Proses sosialisasi sangat penting karena akan menentukan partisipasi
masyarakat dalam pertukaran minat dan terhadap program pemberdayaan.
c. Tahap Proses pemberdayaan masyarakat, bahwa hakekat pemberdayaan masyarakat
adalah untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses tersebut bersama-sama
melakukan identifikasi dan mengkaji potensi. Hal ini dimaksud agar masyarakat mampu
dan percaya diri dalam mengidentifikasi serta menganalisa keadaanya, baik potensi
maupun permasalahannya. Menyusun rencana kegiatan kelompok yang meliputi: (1)
Mengutamakan dan menganalisa masalah-masalah, (2) Identifikasi alternatif pemecahan
masalah yang terbaik, (3) Identifikasi sumberdaya yang tersedia untuk pemecahan
masalah, (4) Pengembangan rencana kegiatan serta pengorganissian pelaksanannya.
Menerapkan rencana kegiatan kelompok. Rencana yang telah disusun bersama dengan
dukungan fasilitasi dari pendamping selanjutnya diimplemntasikan dalam kegiatan yang
kongkrit dengan tetap memperhatikan realisasi rencana awal. Memantau proses hasil
kegiatan secara menerus secara partisipasi.
d. Tahap Pemandirian masyarakat yang berpegang pada prinsip berupa pendampingan
untuk menyiapkan masyarakat agar benar-benar mampu mengelola kegiatannya, yang
bertujuan untuk memandirikan masyarakat dan meningkatkan taraf hidupnya, supaya
masyarakat bisa mandiri.
Kusumahadi (2007) dalam Sutawa (2012) menyatakan bahwa program pembangunan
dapat dikategorikan sebagai proses pemberdayaan jika terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Peningkatan kapasitas masyarakat yang bertujuan untuk memberikan akses yang lebih
baik ke sumber-sumber daya, terpenuhinya kebutuhan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan, dan memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol sosial terhadap aspek
lingkungan,
b. Pengembangan kapasitas masyarakat yang bertujuan untuk mengelola organisasi lokal
(self-management).
c. Pengembangan pemikiran kritis masyarakat agar mereka memiliki pemikiran yang lebih
kritis terhadap diri dan lingkungannya.
Dalam pengelolaan sumber daya alam, pemberdayaan dimaksudkan agar setiap individu
memiliki kesadaran, kemampuan, dan kepedulian untuk mengamankan dan melestarikan sumber
daya tersebut. Pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan diperlukan untuk menjaga
agar manfaat dari sumber daya alam tersebut dapat dirasakan secara terus menerus pada generasi
yang akan datang untuk memperbaiki mutu atau kualitas hidup manusia (Mardikanto dan
Soebiato, 2015). Beberapa manfaat pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
alam antara lain membantu mengurangi kemiskinan, perbaikan kualitas lingkungan, dan
mengatasi konflik pengelolaan sumber daya di antara para pihak yang berkepentingan
(Kullenberg ,2010).
2. Kearifan Lokal
Pada beberapa tahun terakhir banyak orang yang tertarik membahas tentang kearifan
lokal dan mengembangkannya menjadi sebuah isu yang patut untuk diperbincangkan. Kearifan
lokal juga dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran tersebut dilandasi nalar
jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal adalah sebagai karya akal
budi, tentang perasaan yang mendalam, bentuk perangai, tabiat, dan anjuran untuk kemuliaan
manusia. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-
gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, S: 2007).
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga
dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local
knowledge” atau kecerdasan setempat “local genious”.
Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat (local wisdom) sudah ada di dalam
kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sampai saat
sekarang ini. Kearifan lingkungan mengandung nilai positif yang tertuang dalam bentuk perilaku
positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya. Dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan dengan adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan
pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya
lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan, sehingga perencanaan pembangunan seringkali
tidak melibatkan masyarakat.
Berkaitan dengan local genius sebagai ekarifan lokal, menurut pandangan Wales dalam
Ayatrohaedi yaitu “the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people
have in common as a result of their experiences in early life” (Ayatrohaedi, 1986). Sementara
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi: 1986), mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial
sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-
cirinya adalah: a) mampu bertahan terhadap budaya luar, b) memiliki kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, c) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur
budaya luar ke dalam budaya asli, d) mempunyai kemampuan mengendalikan, dan e) mampu
memberi arah pada perkembangan budaya.
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat ataupun dari
kondisi geografis dalam arti yang luas. S.Swarsi Geriya (2009) mengatakan bahwa secara
konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang
bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara
tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan
dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena
kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan
(reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan
mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela
karena dianggap baik atau mengandung kebaikan (Imron A: 2011). Oleh karena itu masyarakat
akan terus melakukan penguatan dengan hal-hal yang baik untuk kelangsungan kehidupannya di
masa yang akan datang, termasuk dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan secara arif
dan bijaksana serta terus memupuknya menjadi sebuah kearifan lokal yang bernilai positif.