Anda di halaman 1dari 22

TUGAS PAPER SOSIOLOGI PEDESAAN

MASYARAKAT DESA DALAM PEMBANGUNAN PEDESAAN

Disusun Oleh :

Nama : Wiwit Setiaji

NIM : H0812192

Kelas : Agribisnis E

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

TAHUN AJARAN 2012/2013


BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam pembangunan pedesaan diperlukan sebuah kelompok sosial yang mana


kelompok itu mampu mengembangkan potensi untuk memanfaatkan serta
mendayagunakan sumber daya apapun yang ada diwilayah tersebut . Kelompok
sosial itu adalah Masyarakat. Masyarkat sebagai sebuah komponen dengan
berbagai peranan masing masing anggotanya, dengan sendirinya memiliki
permasalahan tersendiri. Perjalanan sebuah masyarakat ibarat perahu layar yang
menyinggahi Bandar dan pelabuhan, bukan tanpa ombak dan batu karang
melintang . Masyarkat pedesaaan identik dengan Dinamis, tidak tetap dan terus
berkembang.

Perkembangan dan perubahan dalam masyarakat justru merupakan salah satu ciri
masyarkat itu sendiri , termasuk masyarakat desa . Untuk masyarakat desa di
Indonesia misalnya, hamper sebagian besar telah mengalami perkembangan dan
perubahan , apalagi pada akhir akhir tahun ini sudah banyak masyarakat desa yang
sudah melek teknologi.

Dalam kaitanya itulah maka pemahaman terhadap masyarakat desa menjadi


semakin perlu , sebab dengan pemahaman yang benar akan terjadi sebuah
penangan yang benar pula . Dengan pemahaman dan penangan yag benar akan
menjadikan pembangunan masyarakat pedesaan menjadi semakin lebih baik
artinya pembangunan itutidak bertentangan dengan pemahaman masyarakat itu
sendiri dan tentunya tidak bertentangan dengan nilai nilai dan norma norma yang
ada di masyarakat .

Dalam pembangunan masyarakat pedesaan, banyak pihak yang harus dilibatkan


secara aktif , seperti misalnya pemimpin desa yang bersifat formal maupun
informal tdak kalah penting yaitu pran masyarakat itu sendiri untuk memabangun
sebuah masyarakat pedesaan yang modernisasi
Desa , sebagai suatu perhimpunan dari keluarga keluarga dan merupkan
masyarakat terbanyak negeri ini , menurut penelitian dan pengamatan yang
dilakukan oleh banyak ahli masih dapat ditemukan banyak penduduk yang masih
berada dibawah garis kehidupan yang sejahtera . Jangankan sejahtera ditingkat
hidup wajar punmasih saja belum terpenuhi. BeberapaAhli juga banyak yang
mengatakan masih banyak penduduk desa yang berada dibawah garis kemiskinan

Oleh karena itu diperlukan sebuah konsep atau pemikiran untuk dapat
menumuhkembangkan masyarakat pedesaan agar pemabagunan masyarakat
pedesaan berjalan dengan benar maksudnya pemikiran atau pemahaman itu tidak
bertentangan dengan pemikiran masyarakat itus sendiri

Perumusan Masalah

Dari penjelasan yang sudah disampaikan pada latar belakang diatas dapat diambil
beberapa rumusan masalah dalam pembangunan Masyarakat pedesaan, yaitu

1. Bagaimana peranan pemimpin desa dalam mewujudkan modernisasi


msyarakat pedesaan….?
2. Dalam pembangunan masyarakat pedesaan pasti ada konfik yang ada,
bagaimana solusi atau cara untuk menyelesaikanya…?
3. Bagaimana perkembanganya masyarakat pedesaan sejak zaman purba
hingga jaman sekarang….?
BAB II LANDASAN TEORITIS

A. Masyarakat Pedesaan

Pengertian masyarakat pedesaan Yang dimaksud desa menurut Sutardjo


Kartohadikusuma mengemukakan sebagai berikut:

“ desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat
pemerintahan sendiri.”

Menurut Bintarto desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, social,


ekonomi, politik dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam
hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain.

Sedangkan menurut Paul h. Landis, desa adalah penduduknya kurang dari 2.500
jiwa.

Ciri-ciri masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut:

1. Di dalam masyarakat pedesaan memiliki hubungan yang lebih mendalam


dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar
batas-batas wilayahnya.
2. System kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
(gemeinschaft atau paguyuban)
3. Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Pekerjaan-
pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time)
yag biasa mengisi waktu luang.
4. Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama,
adat-istiadat dan sebagainya.

Masyarakat pedesaan identik dengan istilah ‘gotong-royong’ yang merupakan


kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Kerja bakti itu ada
dua macam:
1. Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya dari inisiatif warga
masyarakat itu sendiri (biasanya di istilahkan dari bawah).
2. Kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari inisiatif
warga itu sendiriberasal dari luar (biasanya berasal dari atas).

Beberapa gejala-gejala social yang sering diistilahkan dengan:

1. Konflik (pertengkaran)
2. Kontraversi (pertentangan)
3. Kompetisi (persiapan)
4. Kegiatan pada masyarakat pedesaan

Sistem nilai budaya petani Indonesia antara lain sebagai berikut:

1. Para petani di Indonesia terutama di pulau jawa pada dasarnya


menganggap bahwa hidupnya itu sebagai sesuatu hal yang buruk, penuh
dosa, kesengsaraan. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia harus menghindari
hidup yang nyata dan menghindarkan diri dengan bersembunnyi di dalam
kebatinan atau dengan bertapa, bahkan sebaliknya wajib menyadari
keburukan hidup itu dengan jelas berlaku prihatin dan kemudian sebaik-
baiknya dengan penuh usaha atau ikhtiar.
2. Mereka beranggapan bahwa orang bekerja itu untuk hidup, dan kadang-
kadnag untuk mencapai kedudukannya.
3. Mereka berorientasi pada masa ini (sekarang), kurang memperdulikan
masa depan, mereka kurang mampu untuk itu. Bahkan kadang-kadang ia
rindu masa lampau mengenang kekayaan masa lampau menanti datangnya
kembali sang ratu adil yang membawa kekayaan bagi mereka).
4. Mereka menganggap alam tidak menakutkan bila ada bencana alam atau
bencana lain itu hanya merupakan sesuatu yang harus wajib diterima
kurang adanya agar peristiwa-peristiwa macam itu tidak berulang
kembali. Mereka cukup saja menyesuaikan diri dengan alam, kurang
adanya usaha untuk menguasainya.
5. Dan unutk menghadapi alam mereka cukup dengan hidup bergotong-
royong, mereka sadar bahwa dalam hidup itu tergantung kepada
sesamanya.

Pengertian Konflik

Konflik berasal dari bahasa latin (configere) yang artinya saling memukul. konflik
juga bisa diartikan dalam sosiologis yang artinya proses antara 2 orang atau lebih
bisa (kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menghancurkannya atau
membuat tidak berdaya.

Konflik bisa dihilangkan oleh masyarakat yang berkonflik itu hilang atau tiada.
Ciri-ciri yang di bawa individu dalam suatu interaksi :

- Menyangkut ciri fisik

- Kepandaian Pengetahuan

- Adat istiadat, Keyakinan, dsb

Pengertian menurut ahli

1. Menurut Taquri newstrom dan davis (1997),Warisan kehidupan sosial


yang boleh berlaku dalam terbaginya keadaan akibat kontroversi yang
terjadi.
2. Menurut Gibson, et al (1977:437), Hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik
3. Menurut Robbin (1996), Keberadaan Konflik di tentukan oleh presepsi
individu aau kelompok
4. Menurut Minnery (1985), merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak
yang saling berhubungan dan tergantung namun terpisah oleh perbedaan
tujuan
5. Menurut Robbin (1993), Konflik yang terjadi tidak simetris hayng satu
pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik.
6. Menurut Pace dan faules (1994-249), Konflik merupakan ekspresi
pertikaian antara individu dengan individu lain. kelompok dengan
kelompok lain karena beberapa alasan
7. Menurut Folger dan poole (1984), Dirasakan, diketahui, diekspresikan
melalui prilaku-prilaku komunikasi

Penyebab dan faktor-faktor terjadinya konflik

Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a.faktor manusia, dibagi 3 :

1. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya


2. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku
3. Timbul karena ciri-ciri kepribadian individual, antara lain : sikap egoistis,
tempramental, sifat fanatik, dan sikap otoriter

b. Faktor Organisasi :

1. Pesaing dalam menggunakan sumber daya. apabila sumber daya baik


berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi. maka
dapat ditimbul pesaing dalam penggunaannya. ini merupakan potensi
terjadinya konflik antar unit atau departemen dalam suatu organisasi
2. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi, tiap-tiap unit dalam organisasi
mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. perbedaan ini
sering mengarah kepada konflik minat antar unit tersebut. misalnya : unit
penjualan meningkat harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih
menarik konsumen. sementara unit produksi menginginkan harga tinggi
dengan tujuan untuk memajukan perusahaan
3. Interdependensi tugas, maksudnya konflik terjadi karena adanya saling
ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. kelompok
yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dan kelompok
lainnya.
4. Perbedaan nilai dari persepsi, maksudnya suatu kelompok tertentu
mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan
yang tidak adil para manager yang relatif muda, mempunyai persepsi
bahwa mereka dapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit.
sedangkan para manager senior mendapatkan tugas ringan
5. Kekaburan urusdiksional, maksudnya konflik terjadi karena batas-batas
aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih
6. Masalah "Status", konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen
mencoba memperbaiki dan meningkatkan status. sedangkan unit
departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam
posisinya dalam status hirarki organisasi
7. Hambatan komunikasi, maksudnya dalam perencanaan, pengawasan,
kordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar
unit/departemen
BAB III ISI DAN PEMBAHASAN

PERAN PEMIMPIN DESA

Walaupun pada dasarnya masyarakat itu akan berkembang dan terus berkembang.
akan tetapi ada perubahan dan dan perkembangan yang asal berjalan, ada yang
direncanakan dan dirancang dengan cermat.Dalam hal demikian , maka peranan
pemimpin dalam pedesaan sangat menentukan.

Pemimpn desa terdiri dari orang orang yang terpilih secara formal , biasanya
menduduki jabatan jabatan pemerintah desa, juga para pemimpin informal seperti
para pemuka masyarakat, tokoh masyarakat , tokoh agama dan adat. Mereka
semua adalah pemimpin desa , merkalah yang sering kali harus dianggap sebagai
panutan , tempat bertanya dan mengikut.Itulah sebabnya peranan mereka sangat
besar dalam pembangunan masyarakat pedesaan.

Peranan mereka dapat dalam bentuk formal maupun informal , dapat dalam
bentuk lisan maupun tertulis, resmi atau pun tidak, lewat jalur pemerintahan
ataupun tidak. Pemimpin informal misalnya yang dapat menyalurkan gagasan dan
pendapatanya melalui rembug desa . Dalam banyak hal peran pemimpin informal
sangat berpengaruh pada desa tersebut, contoh seperti Ulama, guru, Pengusaha,
dan tokoh desa lainya . Banyak program dari pemimpin formal yang berjalan
apabila pemimpin informal menyetujuinya contoh seperti Program KB, masalah
pertanian, masalah pertanian,dan lain lain.

Harus diakui bahwa masyarakat desa pada umumnya baru merasa aman dan
mantap untuk melakukan sesuatu yang baru kalau mereka melihat bukti kebenaran
dan kebaikan hal yang baru itu melalui praktek yang sudah ada. Mereka juga
menunggu para pemimpin desa berbuat lebih dahulu sebab mereka juga merasa
takut melakukan perbuatan yang melanggar adat yang ada dan perintah perintah
agama . Itulah sebabnya mereka lebih suka menunggu pemimpin mereka sebelum
melakukan tindakan.
KONFLIK DAN PENYELESAIANYA

Konflik adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin bisa dilepaskan dari
kehidupan masyarakat. Selama masyarakat masih memiliki kepentingan,
kehendak, serta cita-cita konflik senantiasa “mengikuti mereka”. Oleh karena
dalam upaya untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan pastilah ada
hambatan-hambatan yang menghalangi, dan halangan tersebut harus disingkirkan.
Tidak menutup kemungkinan akan terjadi benturan-benturan kepentingan antara
individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Jika hal ini terjadi,
maka konflik merupakan sesuatu yang niscaya terjadi dalam masyarakat.
Konflik antarbudaya ataupun multidimensional yang sering muncul dan mencuat
dalam berbagai kejadian yang memprihatinkan dewasa ini bukanlah konflik yang
muncul begitu saja. Akan tetapi, merupakan akumulasi dari ketimpangan–
ketimpangan dalam menempatkan hak dan kewajiban yang cenderung tidak
terpenuhi dengan baik.

.
Istilah konflik itu sendiri seringkali mengandung pengertian negatif, yang
cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengertian keserasian, kedamaian,
dan keteraturan. Konflik seringkali diasosiasikan dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan. Pandangan yang sempit mengenai konflik yang demikian, tidak mudah
untuk diubah. Munculnya budaya “mencegah konflik”, “meredam konflik” dan
anggapan bahwa berkonflik adalah “berkelahi” bukanlah sesuatu yang relevan
untuk kondisi saat ini. Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau
disembunyikan, tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi
suatu kekuatan bagi perubahan positif.
Konflik perlu dimaknai sebagai suatu jalan atau sarana menuju perubahan
masyarakat. Keterbukaan dan keseriusan dalam mengurai akar permasalahan
konflik dan komunikasi yang baik dan terbuka antarpihak yang berkepentingan
merupakan cara penanganan konflik yang perlu dikedepankan. Perlu disadari
bahwa konflik dapat menciptakan perubahan. Konflik merupakan salah satu cara
bagaimana sebuah keluarga, komunitas, perusahaan, dan masyarakat berubah.
Konflik juga dapat mengubah pemahaman kita akan sesama, mendorong kita
untuk memobilisasi sumber daya dengan model yang baru. Konflik membawa kita
kepada klarifikasi pilihan–pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaiannya.
Untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, tentunya harus
diketahui penyebab konflik yang terjadi. Dengan mengetahui sebabnya, konflik
diharapkan segera bisa di-selesaikan. Dalam pandangan teori konflik6 bahwa
masyarakat selalu dalam kondisi perubahan, dan setiap elemen dalam masyarakat
memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik di masyarakat. Dalam pandangan
teori ini bahwa masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan”.
Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan
dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan
Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi kekuasaan dan
otoritas “selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis”.
Namun demikian, secara umum penyebab konflik bisa disederhanakan sebagai
berikut.

1. Kebanyakan konflik terjadi karena perbedaan nilai. Nilai merupakan sesuatu


yang menjadi dasar, pedoman, tempat setiap manusia menggantungkan pikiran,
perasaan, dan tindakan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah konflik yang
bersumber pada perbedaan rasa percaya, keyakinan, bahkan ideologi atas apa
yang diperebutkan.
2. Kurangnya komunikasi

Kita tidak bisa menganggap sepele komunikasi antarmanusia karena konflik bisa
terjadi hanya karena dua pihak kurang berkomunikasi. Kegagalan berkomunikasi
karena dua pihak tidak dapat menyampaikan pikiran, perasaan, dan tindakan
sehingga membuka jurang perbedaan informasi di antara mereka, dan hal seperti
ini dapat menimbulkan sebuah konflik

. 3.Kepemimpinan yang kurang efektif

Secara politis kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang kuat, adil, dan
demokratis. Namun demikian, untuk mendapatkan pemimpin yang ideal tidah
mudah. Konflik karena kepemimpinan yang tidak efektif ini banyak terjadi pada
organisasi atau kehidupan bersama dalam suatu komunitas.

.4.KetidakcocokanPeran
Konflik semacam ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Ketidakcocokan
peran terjadi karena ada dua pihak yang mempersepsikan secara sangat berbeda
tentang peran mereka masing masing

5. Produktivitas Rendah

Konflik seringkali terjadi karena out put dan out come dari dua belah pihak atau
lebih yang saling berhubungan kurang atau tidak mendapatkan keuntungan dari
hubungan tersebut. Oleh karenanya muncul prasangka di antara mereka.
Kesenjangan ekonomi di antara kelompok masyarakat, termasuk dalam konflik
ini.

6. Perubahan Keseimbangan

Konflik ini terjadi karena ada perubahan keseimbangan dalam suatu masyarakat.
Penyebabnya bisa karena faktor alam, maupun faktor sosial.

7. Konflik atau Masalah yang Belum Terpecahkan

Banyak pula konflik yang terjadi dalam masyarakat karena masalah terdahulu
tidak terselesaikan. Tidak ada proses saling memaafkan dan saling mengampuni
sehingga hal tersebut seperti api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa berkobar.
Tujuh penyebab konflik di atas adalah penyebab yang sifatnya umum, dan
sebenarnya masih bisa diperinci lebih detail lagi. Namun demikian, jika
mencermati konflik-konflik yang terjadi khususnya masyarakat Indonesia akhir-
akhir ini, bisa merunut, paling tidak ada salah satu penyebab seperti di atas.
Dengan mengetahui penyebab terjadinya konflik bisa berharap bahwa konflik
akan bisa dikelola, dan diselesaikan dengan baik.

Beberapa Model Penyelesaian Konflik


Setelah mengetahui penyebab terjadinya konflik, kini bisa dimulai untuk mencoba
berbagai alternatif teoretis untuk menyelesaikan konflik yang tejadi. Secara
umum, untuk menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah, yakni (1)
pencegahan konflik; pola ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kekerasan
dalam konflik, (2) penyelesaian konflik; bertujuan untuk mengakhiri kekerasan
melalui persetujuan perdamaian, (3) pengelolaan konflik; bertujuan membatasi
atau menghindari kekerasan melalui atau mendorong perubahan pihak-pihk yang
terlibat agar berperilaku positif; (4) resolusi konflik; bertujuan menangani sebab-
sebab konflik, dan berusaha membangun hubungan baru yang relatif dapat
bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan, (5) transformasi
konflik; yakni mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih
luas, dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan kepada
kekuatan positif.
Selain memahami istilah-istilah penyelesaian konflik tersebut, adalah juga penting
untuk memahami; (1) tahapan konflik; (2) tahap penyelesaian konflik; dan (3) tiga
asumsi penyelesaian konflik.12 Tahapan-tahapan konflik tersebut antara lain
potensi oposisi atau keadaan pendorong, kognisi dan personalisasi, penyelesaian-
penanganan konflik, perilaku konflik yang jelas, dan hasil. Untuk tahapan
penyelesaian konflik adalah pengumpulan data, verifikasi, mendengar kedua belah
pihah yang berkonflik, menciptakan kesan pentingnya kerjasama, negosiasi, dan
menciptakan kerukunan .Sementara itu, asumsi-asumsi dalam penyelesaian
konflik adalah (1) Kalah-Kalah; setiap orang yang terlibat dalam konflik akan
kehilangan tuntutannya jika konflik terus berlanjut, (2) Kalah–Menang; salah satu
pihak pasti ada yang kalah, dan ada yang menang dari penyelesaian konflik yang
terjadi. Jika yang kalah tidak bisa menerima sepenuhnya, maka ada indikasi
munculnya konflik baru; (3) Menang-Menang: dua pihak yang berkonflik sama-
sama menang. Ini bisa terjadi jika dua pihak kehilangan sedikit dari tuntutannya,
namun hasil akhir bisa memuaskan keduanya. Istilah ini lebih popular dengan
nama win-win solution di mana kedua belah pihak merasa menang dan tidak ada
yang merasa dirugikan.
Selain asumsi-asumsi di atas, juga perlu untuk mengetahui strategi- strategi untuk
mengakhiri konflik. Setidaknya ada sepuluh strategi untuk mengakhiri konflik,
yakni abandoning atau mening-galkan konflik, avoiding atau menghindari,
dominating atau menguasai, obliging atau melayani, getting help atau mencari
bantuan, humor atau bersikap humoris dan santai, postponing atau menunda,
compromise atau berkompromi, integrating atau mengintegrasikan, problem
solving atau bekerjasama menyelesaikan masalah.
Sementara itu, untuk menyelesaikan konflik, secara teoretis ada banyak sekali
model, namun dalam tulisan ini hanya akan di sajikan beberapa model saja. Di
antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, model penyelesaian berdasarkan
sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk
terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi,
nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya,
baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah tentunya
memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara
penyelesaian konflik yang tunggal

Kedua, model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri


konflik dengan tiga cara, yakni menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri
konflik sesuai prosedur. Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan
pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya
bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri
konflik. Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan
strategi perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui prosedur
rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat
mengakhiri konflik.

Ketiga, model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu


untuk melakukan resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak
memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan
mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai
asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan
konflik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau lebih
yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, dan
perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan
bersama.

Keempat, model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk,
yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model penyelesaian
konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk
mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil
pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga
harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Sementara itu, mediasi berarti pihak
ketiga hanya berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi
dalam masyarakat

Keempat hal di atas hanyalah sebagian dari berbagai model penyelesaian konflik
yang ada. Masih banyak lagi model-model penyelesaian konflik yang lain. Namun
demikian, satu hal yang harus diingat adalah setiap konflik memiliki kompleksitas
yang berbeda-beda sehingga tidak bisa mengambil salah satu model untuk
langsung diterapkan begitu saja untuk menyelesaikannya. Harus dipahami secara
sungguh-sungguh kerumitan dan kompleksitas konflik yang akan dicari jalan
keluarnya.Budaya Lokal sebagai Sarana Resolusi Konflik. Selain model-model
penyelesaian konflik yang sudah ada secara teoretis di atas, harus diingat juga
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman budaya.
Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi
permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan dalam
menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut
sebagai kearifan lokal (local wisdom). Sejalan dengan banyaknya konflik yang
terjadi di Indonesia, bersamaan itu muncul pula teori-teori tentang penyelesaian
konflik yang berasal dari luar dan dalam negeri sebagai bahan referensi pada
berbagai diskusi, seminar dan analis konflik. Namun demikian, penerapannya
tidaklah mudah karena variabel faktor-faktor lain sulit diprediksi. Konflik-konflik
yang tengah berlangsung di wilayah nusantara, baik konflik vertikal maupun
konflik horisontal telah menimbulkan gangguan terhadap ketahanan bangsa dan
negara karena cenderung melebar ke aspek-aspek kehidupan nasi-onal yang lain,
di antaranya gejala pudarnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa pada sebagian
warga Indonesia

MODERNISASI DAN PEMBANGUNAN PEDESAAN

Pembangunan (development) menurut Todaro (1985) adalah proses


multidimensional, melibatkan reorganisasi dan reorientasi aspek sosial, ekonomi
maupun politik, sedangkan modernisasi lebih menitik beratkan pada
terselenggaranya teknologi baru dalam memperoleh efisiensi kerja. Aspek
pembangunan meliputi meningkatnya taraf hidup manusia dengan terpenuhinya
kebutuhan , meningkatnya harga diri dan menungkatnya kebebasan memilih
barang maupun jasa. Cakupan perubahan dalam pembangunan adalah dimensi
kebudayaan, dimensi system dan dimensi proses yang menjadikan serasinya
kemajuan. Bila demikian maka pembangunan itu adalah dikembangkannya
penggunaan ide baru rekayasa sosial dan rekayasa teknologi secara berencana,
mencakup semua aspek kehidupan yang dilakukan menurut profesi secara
berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas hidup yang berimbang di masyarakat.

Sementara itu modernisasi terjadi sejak ditemukannya alat dan mesin yang
menggantikan tenaga kerja manusia , hewan maupun sumberdaya alam.
Modernisasi dimulai pada abad XVIII di Inggris yaitu dengan adanya revolusi
industri. Revolusi industri telah mengubah struktur dan proses kerja. Modernisasi
adalah perubahan yang bertolak dari dukungan alat dan teknologi baru dengan
tujuan efisiensi, sedangkan pembangunan bertolak dari perubahan perilaku
sumberdaya manusia pelaku pembangunan dadalam menggunakan alat dan mesin
untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih sejahtera. Modernisasi juga bisa
dilihat sebagai perubahan karena adanya teknologi baru dalam meningkatkan
pertumbuhan produksi dan pembangunan adalah perubahan sosial, ekonomi dan
budaya dalam meningkatkan kualitas hidup. Dilihat dari cakupannya, modernisasi
mengandung arti mengubah tradisi dan cenderung pada perubahan meteriil
dahulu, perubahan susunan dan pola masyarakat jarang dikaitkan dengan
modernisasi. Walaupun demikian itu perubahan sikap dan sistem nilai tidak
dikeluarkan dari jangkauan pengertian dan istilah modernisasi, karena itu aspek
pendidikan, komunikasi dan bahkan ideologi dipentingkan.
Perbedaan modernisasi dan pembangunan itu adalah terletak pada pemberian
kesempatan dan rangsangan yang lebih baik kepada masyarakat pada
pembangunan. Hal ini kurang diperhatikan dalam modernisasi. Pembangunan
pada dasarnya adalah upaya untuk pencapaian taraf hidup yang lebih baik. Kita
menyadari bahwa pendekatan ekonomi saja sebagai kunci dari pada permasalahan
pembangunan nasional tidaklah cukup. Oleh karena itu pada rencana
pembangunan jangka panjang diperlukan pendekatan secara interdisipliner
(interdisiplinary approach) yang menyangkut pendekatan dibidang ekonomi,
sosial, politik, budaya, pendidikan dan sebagainya
Indonesia sebagai negara agraris, melakukan pembangunan pertanian dengan
tujuan meningkatkan pendapatan, kesejahteraan dan tarap hidup masyarakat
pertanian dalam prons pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas
produksi, distribusi, keanekaragaman hasil-hasil pertanian, penanganan pasca
panen serta pemasaran.
Sektor pertanian memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perekonomian
Nasional. Hal ini ditunjukkan dengan mayoritas penduduk Indonesia hidup di
pedesaan dengan pertanian sebagai sumber pendapatan petani. Sehingga
pembangunan pertanian biasanya identik dengan pembangunan pedesaan, transfer
teknologi, tenaga kerja pedesaan, pertumbuhan institusi pedesaan, peningkatan
produktivitas, urbanisasi dan lain-lain.
Pembangunan pertanian disatu pihak dan modernisasi di pihak lain merupakan
dua topik yang selalu bersama-sama dibicarakan sesuai dengan perkembangan
iptek, ekonomi, hubungan antar wilayah dan antar negara yang membawa
konsekuensi sesuai tuntutan masing-masing
Modernisasi ditandai dengan tumbuhnya industri-industri baru oleh para investor
dalam negeri dan dari luar negeri, dimana Indionesia merupakan negara yang
menarik bagi para investor diantaranya karena tenaga kerja yang sangat melimpah
dengan upah yang lebih murah. Modernisasi juga telah membawa dampak yang
positif terhadap pembangunan pertanian dengan dukungan penyediaan pupuk,
obat-obatan pertanian, bibit unggul dan penangan pasca panen yang mendukung
peningkatan produktifitas pertanian, tapi yang lebih penting bagi masyarakat tani
adalah peluang kerja yang diperoleh dari industri tersebut memberikan nilai
tambah yang cukup besar (Sajogo, 1996). Modernisasi juga mengalami benturan
dan kendala terutama dalam industrialisasi pertanian pedesaan berawal dari
perbedaan persepsi terhadap kedudukan dan fungsi teknologi serta peran
kelembagaan lokal.
Pergeseran Nilai Tradisional ke Nilai Modern
Masyarakat modern dengan nilai dan tujuan ekonomi yang lebih menonjol
cenderung memandang sumberdaya pedesaan sebagai suatu komoditas yang
secara ekonomi dapat meningkatkan nilai finansial bagi kelompok tertentu,
dimana produktivitas dalam rentang waktu tertentu merupakan pertimbangan
utama. Sebaliknya masyarakat tradisional dan para industri memandang sumber
daya yang sama sebagai milik ulayat yang harus dijaga kelestariannya untuk
kepentingan jangka panjang. Bagi mereka aspek pemerataan lebih penting dari
produktivitas.
Kelembagaan tradisional umumnya lebih memperhatikan aspek pelestarian untuk
kepentingan anak cucu mereka di masa mendatang. Namun munculnya organisasi
ekonomi yang disertai nilai-nilai barat perlahan-lahan mengubah nilai radial
kebersamaan kearah nilai finansial yang kurang mempertimbangkan aspek
pemerataan.
Di lain pihak kalangan petani yang memiliki wawasan lebih luas dan terbuka
menerima peubahan ini sebagai upaya untuk menuju kepada kecenderungan
mencari sistem yang lebih terbuka sebagai jalan keluar terbaik bagi kegiatan
produksi yang tengah dijalani. Kalangan ini cenderung mempertahankan usaha
taninya dengan mengandalkan diri sepenuhnya (atau sebagian) kepada ketersedian
input eksternal. Bagi mereka moderniasasi dapat membuka peluang inovasi, dan
inovasi yang selaras dengan kebutuhan pertanian adalah inovasi yang berkaitan
erat dengan input industri dan proses industrialisasi serta pemasaran yang baik.

Inovasi seperti ini cenderung menuntut hubungan yang lebih kuat dengan sistem
lain diluar usaha tani setempat serta mengurangi ketergantungan terhadap
hubungan internal. Sistem kerja tanpa imbalan berganti menjadi sistem upah
(harian, borongan dan lain-lain). Saling ketergantungan akan kebutuhan tenaga
menjadi berkurang dan hubungan dengan sumberdaya dari luar sistem usaha tani
lebih bersifat ekonomis, dari pada bersifat hubungan radial seperti sebelumnya
(Suradisastra, 1996). Munculnya organisasi ekonomi yang disertai nilai-nilai
Barat perlahan-lahan mengubah nilai radial kearah finansial.
Kondisi di atas bukan saja karena perbedaan persepsi terhadap tujuan
pengembangan masyarakat pedesaan, namun juga disebabkan oleh perbedaan nilai
dan norma sosial dan ekonomi yang dalam proses globalisasi dibawa dari nilai
Barat yang lebih berorentasi ke arah nilai finansial diukur dengan peningkatan
pendapatan. Sedangkan sukses dan kesejahteraan dalam nilai tradisional lebih
bersifat komunal dan tercermin dari nilai-nilai lokal antara lain berupa tepo-sliro
dan kerukunan individu.
Kamaluddin (1983) menyebutkan beberapa sikap tradisional dalam masyarakat
yang tidak sesuai dengan keperluan pembangunan dan modernisasi. Diantaranya
ialah :
(1) Sikap lambat menerima perubahan atau hal-hal yang baru sungguhpun
akan menguntungkan mereka.
(2) Sikap lebih suka mencari jalan yang paling mudah dan cepat
mendatangkan hasil sungguhpun tidak begitu besar, sebaliknya kurang
berani memikul resiko pada usaha-usaha yang kemungkinan
keuntungannya lebih besar dan sifatnya jangka panjang.
(3) Sikap kurang bertanggung jawab dalam tugas pekerjaan serta mudah
untuk tidak menepati janji dalam hubungan-hubungan ekonomi.
Pada umumnya sikap-sikap hidup yang demikian itu lebih berakar dan lebih
banyak terdapat di kalangan masyarakat pertanian tradisional. Dan semakin
berkembang kehidupan ekonomi serta makin jauh pengaruh lingkungan alam
tradisional, maka sikap hidup yang demikian itu telah semakin berkurang.

Namun demikian harus diingat bahwa munculnya sikap tersebut bukan


merupakan indikasi bahwa petani tradisional tidak rasional. Sebaliknya justru
kita sering merasa lebih pintar sehingga kita tidak berusaha memahami petani
dari sudut pandang mereka sendiri. Apa yang dikemukan Kamaluddin di atas
memang benar merupakan potret umum petani kita. Namun sebenarnya sikap
mereka juga dilandasi pertimbangan rasional. Apa yang sering luput dalam
pengamatan para ahli umumnya adalah bahwa petani kita juga memperhatikan
aspek keamanan pangan dalam kebijakan produksi mereka, sementara
kebanyakan ahli kita hanya memperhitungkan pada aspek finansial
komersilnya saja. Sikap menghindari resiko (risk aversion) misalnya, ini
merupakan hal lumrah bagi petani yang penguasaan resourcenya sangat
terbatas. Bila gagal mereka tidak memiliki alternatif yang lain untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sementara sebagian ahli hanya melihat
bahwa potensi produksinya besar, namun resiko dan pertimbangan keamanan
pangan luput dari perhatian mereka.
Petani kita memang lambat menerima inovasi baru. Hal itu sebetulnya bisa
dipahami dalam kaitan dengan penjelasan di atas. Mereka ingin memperoleh
tingkat kepastian yang lebih tinggi bahwa hal baru tersebut memang
menguntungkan. Dalam bisnis besarpun sesungguhnya pertimbangan ini juga
dilakukan, besarnya resiko dan ketidakpastian merupakan faktor yang harus
dipertimbangkan sebagai nilai negatif terhadap suatu usaha atau proyek yang
akan dijalankan.
BAB IV KESIMPULAN

Dari uraian yang telah dipaparkan diatas maka dapat diambil kesimpulan yaitu

1. Peran seorang pemimpin sangat penting dalam pembangunan masyarakat


pedesaan
2. Dalam masyarakat pasti ada konflik yang menghambat pembagunan desa
oleh karena itu diperlukan berbagai solusi yang dapat mengatasi
3. Modernisasi dan pengembangan masyarakat pedesaan menjadi tonggak
untuk mewujudkan masyrakat yang membangun pedesaan
DAFTAR PUSTAKA

1. http://berbagi1lmu.blogspot.com/2012/02/pengertian-konflik-menurut-
beberapa.html di unduh pada tanggal 29 Oktober 2012 jam 09.04
2. Sastrosupono, Suprihadi Drs, DESA KITA , 1983, Anggota IKAPI :
Salatiga
3. Redfield, Robert, Masyarakat petani dan kebudayaan, 1985, Rajawali:
Jakarta
4. http://tisman.blogspot.com/2009/01/modernisasi-dan-pembangunan-
pedesaan.html di unduh pada pada 29 Oktober 2012 jam 09.25

Anda mungkin juga menyukai