Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ILMU SOSIAL DASAR


“ Pertentangan Sosial dan Integrasi Masyarakat “
Dosen Pengampu :
H. Ade Mulyana, S.Ag., M.Si.

DISUSUN OLEH :

RAIHANUDIN RAFIF (191120086)


SUNDARI (191120094)

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA
2019/2020
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penyusun panjatkan kepada ALLAH SWT. atas rahmat Nya
penyusun bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pertentangan Sosial dan
Integrasi Masyarakat “.
Makalah ini disusun berdasarkan objek yang dicari dalam berbagai buku – buku
reverensi dan media sosial, sehingga menghasilkan sebuah makalah yang dapat
dipertanggung jawabkan hasilnya. Penyusun berterimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M.A. selaku rektor UIN Banten.
2. Bapak Dr. H. Yusuf Somawinata, M.Ag selaku dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Dr. H. Muhammad Ishom, M.A. selaku ketua jurusan Hukum Tata Negara.
4. Bapak H. Ade Mulyana, S.Ag., M.Si. selaku dosen mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
Makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangatlah
dibutuhkan untuk menyempurnakan makalah ini. Mudah - mudahan makalah ini dapat
membuka cakrawala berpikir dan bermanfaat khususnya kepada penyusun, umumnya
kepada pembaca.

Serang, 26 November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang……………………………………………….………...………..…. 1
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………………………....……. 2
1.3. Tujuan………………………………………………………………………............ 2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pertentangan Social Dalam Masyarakat ……………..……………………..……... 3
2.2 Prasangka, Diskriminasi dan Ethnosentrisme …………………………………….. 6
2.3 Integrasi Sosial ……………………………………………………………………. 9
2.4 Faktor Asosiatif Dalam Proses Integrasi Masyarakat……………………………. 11

BAB III
KESIMPULAN & PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….…. 13
3.2 Kritik dan Saran ……..………………………………………………………........ 14

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidup bermasyarakat adalah hidup dengan berhubungan baik antara
dihubungkan dengan menghubungkan antara individu-individu maupun antara
kelompok dan golongan. Hidup bermasyarakat juga berarti kehidupan dinamis
dimana setiap anggota satu dan lainnya harus saling memberi dan menerima.
Anggota memberi karena ia patut untuk memberi dan anggota penerima karena
ia patut untu menerima. Ikatan berupa norma serta nilai-nilai yang telah
dibuatnya bersama diantara para anggotanya menjadikan alat pengontrol agar
para anggota masyarakat tidak terlepas dari rel ketentuan yang telah disepakati
itu.
Rasa solider, toleransi, tenggang rasa, tepa selira sebagai bukti kuatnya
ikatan itu. Paa diri setiap anggota terkandugn makna adanya saling ikut
merasakan dan saling bertanggungjawab paa setiap sikap tindak baik megnarah
kepada yang hang positif maupun negative. Sakit anggota masyarakat satu akan
dirasakan oleh anggota lainnya. Tetapi disamping adanya suatu harmonisasi,
disisi lain keadaan akan menjadi sebaliknya. Bukan harmonisasi ditemukan,
tetapi disharmonisasi. Bukan keadaan organisasi tetapi disorganisasi.
Sering kita temui keadaan dimasyarakat para anggotanya pada kondisi
tertentu, diwarnai oleh adanya persamaan-persamaan dalam berbagai hal. Tetapi
juga didapati perbedaan-perbedaan dan bahkan sering kita temui
pertentanganpertentangan. Sering diharapkan panas sampai petang tetapi kiranya
hujan setengah hari, karena sebagus-bagus nya gading akan mengalami keretakan.
Itulah sebabnya keadaan masyarakat dan Negara mengalami kegoyahankegoyahan
yang terkadang keaaan tidak terkendali dan dari situlah terjadinya
perpecahan.. Sudah tentu sebabnya, misalnya adanya pertentangan karena
perbedaan keinginan.

1
Perbedaan kepentingan sebenarnya merupakan sifat naluriah disamping
adanya persamaan kepentingan. Bila perbedaan kepentingan itu terjadi pada
kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada kelompok etnis, kelompok agama,
kelompok ideology tertentu termasuk antara mayoritas dan minoritas.

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan pertentangan social dalam masyarakat ?
2. Bagaimana definisi Prasangka, Diskriminasi dan Ethnosentrisme ?
3. Jelaskan definisi Integrasi Sosial !
4. Seperti apa faktor asosiatif dalam proses integrasi masyarakat ?

1.3 Tujuan
1. Untuk memahami pertentangan social dalam masyarakat.
2. Untuk memahami definisi Prasangka, Diskriminasi dan Ethnosentrisme.
3. Untuk memahami definisi Integrasi Sosial.
4. Untuk memahami faktor asosiatif dalam proses integrasi masyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERTENTANGAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT
Konflik (pertentangan) mengandung suatu pengertian tingkah laku yang lebih
luas daripada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai
pertentangan yang kasar dan perang. Dasar konflik berbeda-beda.
Dalam hal ini terdapat tiga elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi
konflik, yaitu :
 Terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau bagian-bagian yang terlibat di
dalam konflik.
 Unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam
kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-
sikap, maupun gagasan-gagasan.
 Terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-
perbedaan tersebut.
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi
tertentu yang sering dihubungkan dengannya, misalnya kebencian atau
permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu
individu, sampai kepada lingkup yang luas, yaitu masyarakat.
1) Pada taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk kepada adanya
pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan-dorongan yang
antagonistik di dalam diri seseorang.
2) Pada taraf kelompok, konflik-konflik ditimbulkan dari konflik-konflik yang
terjadi di dalam diri individu, dari perbedaan-perbedaan pada para anggota
kelompok dalam tujuan, nilai, dan norma, motivasi mereka untuk menjadi
anggota kelompok, serta minat mereka.
3) Pada taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan di antara nilai-
nilai dan norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma
kelompok yang bersangkutan berada. Perbedaan dalam tujuan, nilai, norma,
serta minat disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman hidup dan

3
sumber-sumber sosio-ekonomis di dalam suatu kebudayaan tertentu dengan
yang ada dalam kebudayaan-kebudayaan lain.
Para penulis seperti Berstein, Coser, Follett, Simmel, Wilson, dan Ryland ;
memandang konflik sebagai sesuatu yang tidak dapat dicegah timbulnya, yang
secara potensial dapat mempunyai kegunaan yang fungsional dan konstruktif ;
namun sebaliknya, dapat pula tidak bersifat fungsional dan destruktif (Berstein,
1995). Konflik mempunyai potensi untuk memberikan pengaruh yang positif
maupun negatif dalam berbagai taraf interaksi manusia.
Sanford mengatakan bahwa : “Seseorang yang telah mempelajari cara-cara
menanggulangi konflik di dalam dirinya sendiri, adalah orang yang akan
berkembang dengan lebih baik, dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah
menghadapi konflik yang serius di dalam dirinya sendiri (Nevitt Sanford, 1966).
Kemampuan orang yang biasa menghadapi konflik dalam melaksanakan atau
menggunakan mekanisme-mekanisme dan tingkah laku penyesuaian diri, akan
semakin luas dan semakin fleksibel, dan kemampuan empatinya dapat meningkat
dengan cepat.
Sebaliknya, konflik-konflik yang terjadi di dalam diri seseorang yang
berlangsung terlalu lama, terlalu gawat, atau terlalu mendasar terhadap struktur
kepribadian seseorang, dapat menuntun kepada desintegrasi kepribadian yang berat
dan kehilangan kemampuan untuk melaksanakan fungsinya.
Pada taraf kelompok, konflik dapat menuntun kepada peningkatan
pemahaman dan penguatan hubungan di antara para anggota kelompok, karena
perbedaan-perbedaan yang timbul dapat disalurkan dan tidak dibiarkan terpendam
di dalam hati masing-masing orang. Konflik menimbulkan rangsangan untuk
bertingkah laku dan merupakan basis interaksi. Coser menyatakan bahwa hanyalah
dengan melalui pengungkapan perbedaan-perbedaan di antara para anggotanya,
yang memungkinkan kelompok untuk dapat menggambarkan nilai-nilai dan minat-
minat bersama.
Pada saat hal-hal yang tidak disepakati diungkapkan, maka hal yang telah
disepakati pun menjadi lebih jelas. Kejelasan mengenai kesepakatan dan
ketidaksepakatan tersebut, pada saatnya, secara langsung menunjang kesatupaduan

4
atau ikatan kelompok. Konflik sosial dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi
yang meningkatkan kemampuan orang untuk melibatkan diri di dalam
kegiatan-kegiatan pemecahan masalah dengan hasil-hasil yang memuaskan. Selain
memperhatikan aspek-aspek dalam konflik yang memberikan manfaat, tidak boleh
dilupakan pula bahwa banyak konflik yang bersifat destruktif dan dapat menuntun
kepada terjadinya desintegrasi kelompok.
Dengan demikian, cara-cara yang digunakan anggota-anggota kelompok
untuk mengenali, memecahkan dan menanggulangi konflik, merupakan hal yang
sangat penting untuk kelangsungan kehidupan berkelompok.
Konflik mungkin realistis maupun tidak realistis. Konflik yang realistis terkait
dengan tujuan yang rasional, dan konflik terjadi berkenaan atau merupakan
kelengkapan untuk pencapaian tujuan.
Dalam konflik yang tidak realistis, konflik tersebut merupakan tujuan itu
sendiri. Tipe konflik ini timbul dari proses-proses yang tidak rasional dan emosional
dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Seringkali pihak-pihak yang terlibat di
dalam konflik, tidak menyadari akan prosesproses emosional yang telah
memotivasi mereka untuk memasuki pertentangan itu. Hampir semua
konflik yang berlangsung di dalam kerumitan situasi kehidupan manusia,
mempunyai elemen rasional maupun elemen tidak rasional. Lebih jauh lagi konflik-
konflik tersebut mungkin fungsional maupun disfungsional pada saat yang
bersamaan.
Upaya untuk memecahkan konflik selalu timbul selama berlangsungnya
kehidupan suatu berkelompok, namun terdapat perbedaan-perbedaan di dalam sifat
dan intensitas konflik pada berbagai tahap perkembangan kelompok. Pemecahan
terhadap konflik-konflik yang besar tidak akan dapat terjadi sampai suatu kelompok
telah berkembang mencapai suatu titik dimana terdapat kesepakatan yang mendasar
di dalam kelompok terjadi dengan pasti. Di dalam proses-proses pembuatan
keputusan, terletak metode-metode pengendalian konflik yang dapat digunakan
terhadap semua atau setiap konflik (Wilson an Ryland, 1969).

5
2.2 PRASANGKA, DISKRIMINASI DAN ETHNOSENTRISME
A. Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka atau prejudice berasal dari kata latin prejudicium, yang
pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagai berikut :
 Semula diartikan sebagai suatu presenden, artinya keputusan diambil atas
dasar pengalaman yang lalu.
 Dalam bahasa Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa
penelitian dan pertimbangan yang cermat, tergesa-gesa atau tidak matang.
 Dalam konteks rasial, prasangka diartikan : “suatu sikap terhadap anggota
kelompok etnis atau ras tertentu, yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu
induksi”. Dalam hal ini terkandung suatu ketidakadilan dalam arti sikap
yang diambilkan dari beberapa pengalaman dan yang didengarnya,
kemudian disimpulkan sebagai sifat dari anggota seluruh kelompok etnis.
 Prasangka (prejudice) diartikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari
seseorang bahwa sesuatu itu buruk tanpa kritik terlebih dahulu. Bahasa arab
menyebutnya “sukhudzon”. Seseorang secara serta merta tanpa timbang-
timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk. Dan disisi lain bahasa arab
“khusudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Prasangka dan diskriminasi adalah dua hal yang ada relevansinya. Kedua
tindakan tersebut dapat merugikan pertumbuhan perkembangan dan bahkan
integrasi masyarakat. Dari peristiwa kecil yang menyangkut dua orang dapat
meluas dan menjelajar, melibatkan sepuluh orang, golongan atau
wilayah disertai tindakan-tindakan kekerasan dan destruktif yang merugikan.
Suatu hal yang saling berkaitan, apabila seorang individu mempunyai
prasangka rasial biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang
diprasangkanya. Tetapi, dapat pula yang bertindak diskriminatif tanpa didasari
prasangka, dan sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak
diskriminatif. Perbedaan terpokok antara prasangka dan diskriminatif adalah bahwa
prasangka menunjukkan pada aspek sikap, sedangkan diskriminatif pada tindakan.
Menurut Morgan (1966), sikap adalah kecenderungan untuk berespons baik
secara positif atau negatif terhadap orang, obyek atau situasi. Sikap seseorang baru

6
diketahui bila ia sudah bertindak atau bertingkah laku. Oleh karena itu, bisa saja
bahwa sikap bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi,
prasangka merupakan kecenderungan yang tidak tampak, dan sebagai tindak
lanjutnya timbul tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian,
diskriminatif merupakan tindakan yang realistis, sedangkan prasangka tidak
realistis dan hanya diketahui oleh diri individu masing-masing.
Prasangka sebagai suatu sikap tidaklah merupakan wawasan dasar dari
individu melainkan merupakan hasil proses interaksi antar individu atau golongan.
Atau lebih tepat jika prasangka itu merupakan hasil proses belajar dan pengenalan
individu dalam perkembangannya. Pada prinsipnya, seseorang akan bersikap
tertentu terhadap orang lain atau terhadap suatu kelompok apabila ia telah
memiliki pengetahuan itu tidak dapat kita pastikan apakah bersifat positif atau
negatif. Pengetahuan itu akan membuat seseorang atau satu kelompok berpersepsi,
berpikir dan merasa terhadap obyek tertentu. Dari sinilah lahirnya suatu sikap dalam
bentuk tingkah laku yang cenderung negatif.
Dengan demikian, prasangka dapat dikatakan seperti yang dikemukakan oleh
Newcomb sebagai sikap yang tak baik dan sebagai suatu predisposisi untuk berfikir,
merasa dan bertindak dengan cara yang menentang atau menjauhi dan bukan
menyokong atau mendekati orang-orang lain, terutama
sebagai anggota kelompok. Pengertian Newcomb tersebut timbul dari gejala-gejala
yang terjadi dalam masyarakat. Pengalaman seseorang yang bersifat sepintas, yang
bersifat performance semata akan cepat sekali menimbulkan sikap negatif terhadap
suatu kelompok atau terhadap seseorang. Melihat penampilan orang-orang negro
makan sering menimbulkan kesan keras, sadis, tidak
bermoral, dan sejenisnya. Pandangan yang demikian akan menimbulkan kesan
segan bergaul dengan mereka dan selalu memandangnya dengan sikap negatif.

B. Perbedaan Prasangka dan Diskriminasi


Antara prasangka dan diskriminasi dapat dibedakan dengan jelas. Prasangka
bersumber dari suatu sikap. Diskriminasi menunjuk kepada suatu tindakan. Dalam
pergaulan seharihari, sikap berprasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tak
dapat dipisahkan. Seseorang yang mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak

7
diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu, bisa saja
seseorang bertindak diskriminatif tanpa berlatarbelakang pada suatu prasangka.
Demikian juga sebaliknya, seseorang yang berprasangka dapat saja berperilaku
tidak diskriminatif.
Di Indonesia, kelompok keturunan cina sebagai kelompok minoritas sering
menjadi sasaran prasangka rasial, walaupun secara yuridis telah jadi warga negara
Indonesia dan dalam UUD 1945 Bab X Pasal 27 dinyatakan bahwa semua warga
negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Sikap
berprasangka jelas tidak adil, sebab sikap yang di ambil hanya berdasarkan pada
pengalaman atau apa yang di dengar. Lebih-lebih lagi bila sikap berprasangka itu
muncul dari pikiran sepintas, untuk kemudian disimpulkan dan di buat pukul rata
sebagai sifat dari seluruh anggota kelompok sosial tertentu. Apabila muncul suatu
sikap berprasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, atau terhadap
suatu suku bangsa, kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan menimbulkan
pertentangan-pertentangan sosial yang lebih luas.

Suatu contoh : beberapa peristiwa yang semula menyangkut beberapa orang


saja, sering menjadi luas, melibatkan sejumlah orang. Akan menjadi lebih riskan
lagi apabila peristiwa itu menjalar lebih luas, sehingga melibatkan orang-orang di
suatu wilayah tertentu, yang diikuti dengan tindakan-tindakan kekerasan dan
destruktif dengan berakibat mendatangkan kerugian yang tidak kecil.

C. Ethnosentrisme
Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki ciri khas kebudayaan,
yang sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Suku bangsa, ras tersebut dalam
kehidupan sehari-hari bertingkah laku sejalan dengan norma-norma, nila-nilai yang
terkandung dan tersifat dalam kebudayaan tersebut. Suku bangsa, ras tersebut
cenderung menganggap kebudayaan mereka sebagai suatu yang prima, riil, logis,
sesuai dengan kodrat alam dan sebagainya. Segala yang berbeda dengan kurang
baik, kurang estesis, bertentangan dengan kodrat alam dan sebagainya.
Hal-hal tersebut diatas dikenal sebagai ethnosentrisme, yaitu suatu
kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya

8
sendiri sebagai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakannya sebagai
tolak ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain.
Ethnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang universal, dan sikap yang
demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar.
Dengan demikian, ethnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk
menginterprestasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak ukur
kebudayaannya sendiri. Sikap ethnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi
nampak canggung, tidak luwes. Akibatnya, ethnosentrisme penampilan yang
ethnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalahpahaman dalam
berkomunikasi. Ethnosentrisme dapat dianggap sebagai sikap dasar ideologi
Chauvinis yang melahirkan Chauvinisme. Chauvinisme pernah dianut oleh orang-
orang Jerman pada zaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinya superior, lebih
unggul dari bangsa-bangsa lain, danmemandang bangsa-bangsa lain sebagai
inferior, nista, rendah, bodoh dan sebagainya.

2.3 PENGERTIAN INTEGRASI SOSIAL


Integrasi berasal dari kata sifat integer, yang berarti “utuh”, “tidak
bercacat”, “tidak retak”, “tidak gempil”, “bulat padu” (P. Soedarno 1992: 38).
Secara etimologi, integrasi berasal dari kata latin yang artinya memberi
tempat bagi suatu unsur demi suatu keseluruhan. Kemudian dari bentuk
kata kerja itu di bentuk kata benda integritas yang artinya keutuhan atau
kebulatan. Selanjutnya, dari kata integritas di bentuk kata sifat integer
yang artinya utuh. Oleh sebab itu, istilah integrasi berarti membuat unsurunsur
tertentu menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. (Emiliana Sadilah 1997:24)
Sedangkan menurut P. Soedarno (1992:39) dalam tulisannya yang berjudul
Ilmu Sosial Dasar integrasi social adalah suatu proses dan sekaligus hasil
dari proses itu, dalam mana individu-individu atau kelompok-kelompok
dalam masyarakat yang semula terkotak-kotak, berbeda-beda, bahkan
bersaing atau bertentangan, menjadi rukun bersatu dan selaras, baik dalam
hal kepentingan-kepentingan, soal hidup-mati, maupun dalam hal

9
pandangan berbagai masalah pokok dalam kehidupan sosial-politik-budaya
masyarakat. Kemudian integrasi sosial dikatakan berhasil apabila:
a) Seluruh anggota masyarakat merasa bahwa mereka saling mengisi kebutuhan
mereka, dan tidak saling merintangi atau merugikan.
b) Terdapat consensus (kesepakatan) antar kelompok mengenai normanorma
social, yang memberi arah pada tujuan yang dicita-citakan dan menjadi kajian
bagi cara dan upaya untuk mewujudkannya.
c) Bertahannya norma-norma tersebut secara relative lama, dan tidak
setiap kali berubah-ubah (konsisten). Phill Astrid (1982:105).
Sejalan dengan itu, Hendropuspito (1989:65) berpendapat, bahwa “secara
umum integrasi diartikan sebagai pernyataan secara terencana dari bagianbagian
yang berbeda menjadi satu kesatuan yang serasi. Kata integrasi
berkaitan erat dengan terbentuknya suatu bangsa, karena suatu bangsa
terdiri dari berbagai unsur seperti suku/etnis, ras, tradisi, kepercayaan dan
sebagainya, yang beranekaragam”.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa Integrasi
sosial adalah suatu proses bersatu padunya masyarakat yang berbeda
suku/etnik, ras, tradisi, kepercayaan dan kebudayaan menjadi masyarakat
yang utuh, hidup rukun, bersatu dan selaras dalam kehidupan socialpolitik-buadaya.
Sedangkan menurut pakar sosiologi Maurice Duverger dalam bukunya,
mengatakan Integrasi di definisikan sebagai dibangunnya interdependensi yang
lebih rapat antara bagian-bagian antara organisme hidup atau antar
anggota-anggota dalam masyarakat sehingga integrasi adalah proses
mempersatukan masyarakat, yang cenderung membuatnya menjadi suatu
kata yang harmonis yang didasarkan pada tatanan yang oleh angotaanggotanya
dianggap sama harmonisnya.
Sedangkan menurut Munandar Soeleman (2000:299) Ilmu Sosial Dasar
Teori dan Konsep Ilmu dalam bukunya Integrasi masyarakat dapat di artikan adanya
kerjasama dari seluruh anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga
dan masyarakat secara keseluruhan sehingga menghasilkan persenyawaan-
persenyawaan berupa adanya konsensus nilai-nilai yang sama-sama di junjung

10
tinggi. Dalam hal ini terjadi akomodasi, asimilasi, dan berkurangnya prasangka-
prasangka di antara anggota masyarakat secara keseluruhan.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan Integrasi sosial
adalah wujud keserasian hidup masyarakat dalam suatu sistem, bukan
penyeragaman karena anggota masyarakat masih memiliki identitas masing-
masing, didalamnya terdapat kerjasama dari seluruh anggota masyarakat sehingga
tercapai keharmonisan hidup dan menghasilkan kesepakatan nilai-nilai yang sama-
sama di junjung tinggi.

2.4 FAKTOR ASSOSIATIF DALAM PROSES INTEGRASI


Kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap
kelompoknya (yaitu in-groupnya) dan kelompok lainnya (yang
merupakan out-groupnya). Kerjasama akan bertambah kuat apabila ada bahaya
mengancam atau ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang
secara tradisional atau institusional telah tertanam di dalam kelompok, dalam diri
seorang atau segolongan orang.
Betapa pentingnya fungsi kerjasama, di gambarkan oleh Charles H. Cooley
di kutip Soerjono soekanto (1982:73) sebagai berikut: “kerjasama timbul apabila
orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama
dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian
terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang sama dan
adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang
berguna”.
Di kalangan masyarakat Indonesia di kenal bentuk kerjasama
tradisional dengan nama ”gotong royong”. Hal mana di sebabkan adanya suatu
pandangan hidup bahwa seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kerjasama
dengan orang lain. Pandangan hidup demikian di tingkatkan dalam taraf
kemasyarakatan, sehingga gotong royong sering kali di terapkan untuk
menyelenggarakan suatu kepentingan. Dalam teori-teori sosiologi di jumpai
beberapa bentuk kerjasama yang biasa di beri nama (cooperation).

11
Kemudian kerjasama di dalam masyarakat di bedakan:
 Kerjasama spontan (spontaneous cooperation). Adalah kerjasama yang serta
merta.
 Kerjasama langsung (directed cooperation) yaitu merupakan hasil dari
perintah atasan atau penguasa
 Kerjasama kontrak contractual cooperation) yaitu merupakan kerjasama atas
dasar tertentu
 Kerjasama tradisional (traditional cooperation) yaitu merupakan
bentuk kerja sama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.
Biasanya dalam konteks sehari-hari, di bedakan antara gotongroyong dengan
tolong menolong. Yang pertama di gambarkan dengan istilah “gugur gunung”
(bahasa jawa) dan yang kedua adalah “sambat sinambat”. (Soerjono Soekanto
1982:72) Keduanya merupakan unsur-unsur kerukunan, yang dapat berdampak
positif atau negatif, kerjasama sebagai salah satu bentuk interaksi social merupakan
gejala universal yang ada pada masyarakat di mana pun juga. Walaupun secara
tidak sadar kerjasama tadi mungkin timbul terutama di dalam keadaan-keadaan di
mana kelompok tersebut mengalami ancaman dari luar.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi
tertentu yang sering dihubungkan dengannya, misalnya kebencian atau
permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu
individu, sampai kepada lingkup yang luas, yaitu masyarakat.
Prasangka dan diskriminasi adalah dua hal yang ada relevansinya. Kedua
tindakan tersebut dapat merugikan pertumbuhan perkembangan dan bahkan
integrasi masyarakat. Dari peristiwa kecil yang menyangkut dua orang dapat
meluas dan menjelajar, melibatkan sepuluh orang, golongan atau
wilayah disertai tindakan-tindakan kekerasan dan destruktif yang merugikan.
Ethnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk
menginterprestasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak ukur
kebudayaannya sendiri. Sikap ethnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi
nampak canggung, tidak luwes. Akibatnya, ethnosentrisme penampilan yang
ethnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalahpahaman dalam
berkomunikasi.
Secara etimologi, integrasi berasal dari kata latin yang artinya memberi
tempat bagi suatu unsur demi suatu keseluruhan. Kemudian dari bentuk
kata kerja itu di bentuk kata benda integritas yang artinya keutuhan atau
kebulatan. Selanjutnya, dari kata integritas di bentuk kata sifat integer
yang artinya utuh. Oleh sebab itu, istilah integrasi berarti membuat unsurunsur
tertentu menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Di kalangan masyarakat Indonesia di kenal bentuk kerjasama
tradisional dengan nama ”gotong royong”. Hal mana di sebabkan adanya suatu
pandangan hidup bahwa seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kerjasama
dengan orang lain. Pandangan hidup demikian di tingkatkan dalam taraf
kemasyarakatan, sehingga gotong royong sering kali di terapkan untuk

13
menyelenggarakan suatu kepentingan. Dalam teori-teori sosiologi di jumpai
beberapa bentuk kerjasama yang biasa di beri nama (cooperation).

3.2 KRITIK DAN SARAN


Penyusun menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Penyusun akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang terpercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan
saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

14
DAFTAR PUSTAKA
P. Soedarno . Ilmu Sosial Dasar. 1992

Alawiyah, Tuti. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar : “Pertentangan –


Pertentangan Sosial dan Integgrasi Masyarakat”. 2011

Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 2009

15

Anda mungkin juga menyukai