Anda di halaman 1dari 17

HUKUM ADAT

SEJARAH HUKUM ADAT DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :

KADEK EDO CAHYA NUGRAHA


NPM:1904742010159
HUKUM REGULER 2 /REGULER D

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
2020

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Peranan Sosiologi
Hukum Dalam Penuntasan Konflik Sosial” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu
mata kuliah Sosiologi Hukum. Selain itu, penulis juga berharap makalah ini dapat
membantu proses belajar mengajar mahasiswa terutama dalam pembahasan tentang
materi Hukum dalam Sistem Sosial.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Denpasar, 27 Maret 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................3

1.1 Latar Belakang................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................3

1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................4

2.1 Pengertian Konflik Sosial...............................................................................4

2.2 Pengertian Sosiologi Hukum..........................................................................5

2.3 Peranan Sosiologi Hukum Dalam Penuntasan Konflik Sosia.........................6

BAB III PENUTUP...................................................................................................10

3.1 Kesimpulan...................................................................................................10

3.2 Saran.............................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................11

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah konflik sosial merupakam masalah yang tak dapat lepas dari
kehidupan manusia. Konflik selalu muncul dalam konteks individual maupun
kelompok. Dalam konteks individual konflik terjadi sebagai suatu pertentangan hati
nurani dalam diri setiap manusia. Sedangkan konflik kelompok maupun sosial adalah
pertentangan antara individu dengan individu, atau kelompok dengan kelompok lain
secara berhadapan dalam mempertahankan kepentingan masing-masing. Setiap
konflik pada dasarnya tidak berdiri sendiri, tetapi melibatkan aktor dan kepentingan
lain. Rentetan peristiwa tersebut dimulai dari konflik sosial yang merambah pada
struktur kehidupan sosial yang paling kecil hingga besar.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi
yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari konflik sosial?
2. Apa pengertian sosiologi hukum ?
3. Bagaimana peranan sosiologi hukum dalam penuntasan konflik sosial?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian dari konflik sosial.
2. Untuk mengetahui pengertian dari sosiologi hukum.
3. Untuk mengetahui peranan sosiologi hukum dalam penuntasan konflik sosial.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konflik Sosial


Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2012 pasal 1 ayat (1) tentang
Penanganan Konflik Sosial, konflik sosial diartikan sebagai berikut: “Konflik Sosial,
yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan
kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu
tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi
sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
nasional”.
Konflik tidak selamanya selalu membawa dampak negatif, namun juga
membawa dampak yang positif dalam interaksi kehidupan sosial, oleh karena itu
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin memberikan pendapat dalam bahasa yang lebih
konkrit berupa “beberapa kabar baik dan buruk tentang konflik”. Berikut akibat-
akibat yang ditimbulkan akibat terjadinya konflik.
1. Akibat negatif dari adanya konflik
a. Retaknya persatuan kelompok. Hal ini terjadi apabila terjadi pertentangan
antara anggota dalam satu kelompok.
b. Perubahan kepribadian individu. Pertentangan di dalam kelompok atau antara
kelompok dapat menyebabkan individu-individu tertentu merasa tertekan
sehingga mentalnya tersiksa.
c. Dominasi dan takluknya salah satu pihak. Hal ini terjadi jika kekuatan pihak-
pihak yang bertikai tidak seimbang, akan terjadi dominasi oleh salah satu
pihak terhadap pihak lainnya. Pihak yang kalah menjadi takhluk secara
terpaksa, bahkan terkadang menimbulkan kekuasaan yang otoriter (dalam
politik) atau monopoli (dalam ekonomj).
d. Banyak kerugian, baik harta benda maupun jiwa, akibat kekerasan yang
ditonjolkan dalam penyelesaian suatu konflik.

3
2. Akibat positif dari adanya konflik
a. Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara anggota kelompok, misalnya
apabila terjadi pertikaian antar kelompok, anggota-anggota dari setiap
kelompok tersebut akan bersatu untuk menghadapi lawan kelompoknya.
b. Konflik berfungsi sebagai alat perubahan sosial, misalnya anggota-anggota
kelompok atau masyarakat yang berseteru akan menilai dirinya sendiri dan
mungkin akan terjadi perubahan dalam dirinya.
c. Munculnya pribadi-pribadi atau mental-mental masyarakat yang tahan uji
dalam menghadapi segala tantangan dan permasalahan yang dihadapi
sehingga dapat lebih mendewasakan masyarakat.
d. Dalam diskusi ilmiah, biasanya perbedaan pendapat justru diharapkan untuk
melihat kelemahan-kelemahan suatu pendapat sehingga dapat ditemukan
pendapat atau pilihan-pilihan yang lebih kuat sebagai jalan keluar atau
pemecahan suatu masalah.
Dengan demikian dalam konflik yang buruk atau kurang baik dapat
mengakibatkan suatu akibat yang mengerikan karena dapat menimbulkan kerusakan
pada orang-orang yang terperangkap di dalamnya.

2.2 Pengertian Sosiologi Hukum


Terdapat beberapa pakar yang memberikan pengertian tentang sosiologi, yaitu
sebagai berikut.
1. Alvin Bertrand, sosiologi adalah studi tentang hubungan antara manusia (human
relationship).
2. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, sosiologi atau ilmu masyarakat adalah
ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-
perubahan sosial.
3. Harry M. Johnson, sosiologi merupakan pengetahuan yang berdiri sendiri, karena
sosiologi bersifat empiris (pengetahuan didasarkan atas dasar observasi), teoretis
(menjelaskan hubungan sebab akibat dari hasil observasi sehingga melahirkan

4
teori), kumulatif (gabungan teori), dan non-etis (menjelaskan fakta secara
analisis).

Pengertian hukum bila ditinjau dari berbagai definisi, maka pada hakikatnya
hukum adalah menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pengertian sosiologi hukum tidak dapat dipisahkan dari pengertian sosiologi
dan pengertian hukum itu sendiri, karena ketiganya memiliki objek yang sama yaitu
masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi hukum merupakan suatu cabang
ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan
mengapa ia gagal untuk menaati hukum tersebut

2.3 Peranan Sosiologi Hukum Dalam Penuntasan Konflik Sosial


A. Kronologi Konflik Di Tanjung Balai Hilangnya Toleransi
Jakarta,WOL – Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muktamar
Jakarta, H. Djan Faridz, prihatin dan menyayangkan atas peristiwa kerusuhan
pembakaran rumah dan vihara di Tanjungbalai.
‘’Sebagai Ketua Umum partai Islam, PPP menghimbau untuk menjaga
keutuhan dan persatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling
menghormati dan saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat
menimbulkan pertikaian dapat dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk saling
menjaga hak dan kewajiban di antara mereka antara yang satu dengan yang
lainnya,’’ kata Djan, Jakarta, Minggu (31/7).
Dia menyebut, kerusuhan itu terjadi lantaran dipicu oleh segelentir orang yang
sudah kehilangan kultur toleransi antar umat beragama. Sebab, kultur dalam agama
Islam,adzan selalu dikumandangkan memalui pengeras suara.
‘’Adzan bagi umat Islam bukan sekedar panggilan solat tapi juga syair suci
atas nama asma Allah, sangat menggugah batin umat islam, karenanya

5
menggugatnya atau melarangnya berati mengusik bathin keyakinan umat
islam ,’’ujar dia.
Menurut dia, peristiwa itu tidak akan terjadi apabila masyarakat saling
menghargai dan memiliki toleransi antar umat beragama Untuk itu, dia mengibau
pada masyarakat untuk sikap toleransi antar umat beragama dalam menjalankan
ibadah.
‘’Setiap agama memiliki tatacara ibadah dengan kultur yang berbeda,
disinilah letak pemahaman untuk toleransi antar umat beragama. Jika ini dipahami
maka peristiwa di Tanjung Balai tidak akan terjadi,’’papar dia.
Dalam kesempatan ini, dia meminta pemerintah terkait segera menyikapi
tragedy ini dengan serius.sebab, bila tidak dikhawatirkan akan terjdi kerusuhan
yang meluas.
Terlebih, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal ayat 29 ayat 2
disebutkan bahwa ‘’Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya itu.’’
Djan juga mengajak umat islam agar tidak cepat terprovokasi, reaktif serta
anarkis yang melampaui kewenangan aparat.’’Marilah kita tampilkan wajah islam
yang ramah, santun dan penuh kasih sayang sebagaimana contoh yang ditunjukkan
Rasulullah SAW dalam kehidupan beragama dan bernegara di Madinah, karna
Islam Rahmatan lilalamin,’’ujar Djan dengan semangat.

6
Analisis Konflik Di Tanjung Balai Hilangnya Tolenrasi
Konflik sosial yang terjadi di Aceh merupakan bukti lemahnya ruang dialog
yang dibangun pemerintah, sehingga kekerasan antara kelompok itu tak
terhindarkan. Konflik antar agama terus meningkat, meski dengan pola dan
tindakan yang berbeda-beda. Banyaknya kasus kekerasan tersebut membuktikan
belum optimalnya pemerintah dalam membagun komunikasi antar kelompok-
kelompok beragama tersebut.
Kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa
Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya berbagai persoalan yang sumbernya
berbau kemajemukan, terutama bidang agama. Dalam perspektif keagamaan, semua
kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar setiap agama adalah toleransi.
Akibatnya, yang muncul intoleransi dan konflik. Seharusnya pada era reformasi ini,
kita menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi.
Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang
otoritarianistik, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan
pseudotoleransi, yaitu toleransi yang rentan konflik-konflik komunal . Oleh sebab
itu, demokrasi dan toleransi harus terkait baik dalam komunitas masyarakat politik
maupun masyarakat sipil. Disamping itu nilai dasar setiap agama adalah toleransi.
Sehubungan dengan kedua hal tersesbut, dipandang penting adanya toleransi dalam
kehidupan masyarakat untuk memperkuat ketahanan sosial. Permasalahannya
sekarang bahwa toleransi dalam kehidupan bersama semakin lemah dan anti
toleransi semakin menguat.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Jangan ada orang yang memancing di air keruh menyangkut soal SARA. Karena
dampak kerusakan sosialnya amat parah. Baik secara fisik maupun secara
psikologis," kata Djan Minggu (31/7/2016).

Djan berharap, rasa saling memahami kultur dan tradisi dari agama masing-masing
terus ditingkatkan dan ditanamkan sebagai langkah awal mencegah kesalahpahaman.
Pasalnya, setiap agama memiliki tata cara ibadah dengan kultur yang berbeda.

Jika ini dipahami maka peristiwa di Tanjung Balai tidak akan terjadi. Kerusuhan di
Tanjung Balai jika tidak disikapi dengan serius, hati-hati dan cepat, baik oleh aparat,
pemerintah dan tokoh agama maka akan bisa meluas menjadi konflik ras dan gejolak
kebencian atas etnis tertentu," ujarnya.

Menurut dia, selain negara, seluruh rakyat Indonesia memiliki kewajiban untuk
menjaga keutuhan dan persatuan dengan menjunjung tinggi sikap saling menghormati
serta menghargai. Untuk itu, masyarakat dituntut untuk saling menjaga hak dan
kewajiban diantara mereka.

"Oleh karena itu kita sebagai warga gegara sudah sepatutnya menjunjung tinggi sikap
saling toleransi antar umat beragama," tutupnya.

3.2 Saran
Saya berharap kepada pembaca bisa memahami apa itu konflik sosial, penyebab
adanya suatu konflik dan hubungannya dengan sosiologi hukum. Konflik social
sebenarnya bias di cegah jika masyarakat bias hidup saling bertoleransi.

8
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan


Pluaritas Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Ali Zainuddin, Sosilogi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2015

Hendricks, William. Bagaimana Mengelola Konflik (Petinjuk Praktis Untuk


Manajemen Konflik Yang Efektif). Jakarta, Bumi Aksara, 2006

Muhammad Abduh, Sosiologi Hukum. Medan: Modul Kuliah Sekolah Pascasarjana


Universitas Sumatera Utara, 2002

Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik


Sosial

Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat


Penyebaran Covid-19

Aktivitas korporasi baik nasional maupun global ikut menerima dampak


yang sangat besar akibat merebaknya Corona Virus Disease 19 (Covid-19).
Tingkat penularan yang sangat cepat, risiko kematian bagi orang dengan daya
tahan tubuh lemah hingga anti-virus yang belum ditemukan membuat sejumlah
negara dan pemerintahan mengambil kebijakan yang berimplikasi secara
hukum.
Kebijakan lockdown atau social distancing membuat entitas bisnis
terganggu. Diperkirakan banyak perusahaan atau orang yang tidak dapat
menepati janjinya. Misal, pengiriman barang ke suatu negara yang sedang
menerapkan lockdown. Dengan kata lain, kemungkinan besar banyak kontrak,
perjanjian, transaksi bisnis atau kegiatan yang tertunda akibat penyebaran
wabah Covid-19.
Dalam lingkungan bisnis, kegagalan memenuhi perjanjian alias wanprestasi
acapkali dapat dibenarkan oleh hukum jika orang yang tak memenuhi prestasi
dapat membuktikan ada halangan yang tak dapat dihindari. Bencana alam,
misalnya. Terkait dengan wabah Covid-19, apakah secara hukum pandemik
global ini dapat dijadikan alasan sebagai force majeur untuk tidak menjalankan
perjanjian? Apakah harus ada penetapan bencana nasional agar kejadian
Covid-19 dapat disebut force majeur atau kahar?

9
Praktisi yang selama ini mendalami hukum kontrak, Ricardo
Simanjuntak, berpendapat force majeur merupakan suatu halangan dimana
salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk menghindari halangan itu
walaupun sudah melakukan upaya terbaik. Unsur lain yang mendukung
terjadinya force majeur, pihak tersebut tidak pernah bisa memprediksi kapan
terjadinya halangan, serta ia tidak memiliki contributory factor atas terjadinya
halangan itu.
Menurut Ricardo, untuk bisa dikategorikan force majeur, halangan itu
tak harus bersifat permanen. Peristiwa yang terjadi secara temporer pun masih
bisa dikategorikan force majeur. Yang penting unsur-unsur tadi terpenuhi.
“Bila seluruh unsur itu menjadi satu kesatuan dan secara manusiawi dia betul-
betul tidak memiliki contributory effect dalam peristiwa itu, maka di
situlah force majeur berlaku,” jelasnya kepada hukumonline.
Keseluruhan unsur itu, disebut Ricardo terpenuhi dalam kasus corona.
Alasannya, Pertama, orang tidak pernah tahu kapan ini akan terjadi (tidak
terprediksi). Kedua, orang tidak memiliki contributory effect atas penyebaran
wabah ini. Ketiga, wabah corona memang suatu halangan dimana orang tidak
bisa mengesampingkannya.
Advokat Rahmat Soemadipraja berpendapat bahwa sebetulnya agak
sulit secara umum menjadikan Covid-19 sebagai dasar untuk menerima
argumen force majeur. Tapi hal ini dapat mudah sekali berubah dengan adanya
keputusan atau kebijakan penguasa lokal, provinsi atau nasional yang isi
ketentuannya dapat menghambat pelaksanaan ketentuan suatu
perikatan/kontrak. “Mesti dimonitor dari jam ke jam mengenai adanya
keputusan atau kebijakan penguasa yang dapat mengubah keadaan,” katanya.
Pertanyaannya, sejak kapan halangan itu bisa dikategorikan force majeur?
Apakah ada parameter tertentu? Menurut Ricardo, force majeur bisa berlaku
ketika regulator mengatur hal tersebut. Regulatornya mungkin saja Presiden,
atau gubernur di level provinsi. Misalnya, jika Gubernur DKI Jakarta
menyatakan Jakarta di-lockdown. Dari kebijakan ini, otomatis kegiatan
transportasi banyak yang diberhentikan. Sehingga, akan ada banyak sekali
kegiatan di hotel-hotel, tiket pesawat yang sudah terlanjur dibeli, terpaksa
harus memilih dua kemungkinan yakni reschedule (penundaan
pelaksanaan)atau frustrated (mengaggap objek yang diperjanjikan musnah).
“Apakah tiket pesawat, sewa hotel itu bisa di reimburse atau di reschedule?
Mau tidak mau otomatis harus bisa dilakukan. Karena ketidak mampuan dia
untuk menggunakan tiket tadi tidak terjadi atas kemauan dia,” jelas Ricardo.

Force Majeur Demi Hukum


Ricardo juga menyebutkan bahwa pada prinsipnya  suatu kondisi force
majeur bukanlah semata-mata keadaan yang terjadi demi kont brak, melainkan

10
terjadi demi hukum. Dasar hukumnya jelas termaktub dalam Pasal 1245
KUHPerdata. Pasal ini menyebutkan: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus
digantinya, apabila karena keadaan memaksa [overmacht] atau karena suatu
keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah
melakukan perbuatan yang terlarang”.
Meskipun para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis tidak pernah
memperjanjikan kondisi pandemik covid-19 sebagai bagian dari force
majeur, pembebasan itu tetap berlaku berdasakan Pasal 1245 KUHPerdata.
“Semua pelaku usaha harus mematuhi, kalaupun ada keberatan dari sisi teknis
hukum terkait hak dan kewajiban dalam kontrak, pihak tersebut tetap harus
mengikuti upaya pembebasan semua pihak melalui force majeur,” jelasnya.
Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Abdul Salam,
menjelaskan Pasal 1245 itu masuk dalam bagian Buku III KUHPerdata yang
sifatnya melengkapi perjanjian. Artinya, sepanjang para pihak tidak mengatur
sebaliknya, maka ketentuan Buku III itu, khususnya terkait force majeur,akan
berlaku. Bila perjanjian misalnya mengatur pandemi bukan bagian dari force
majeur, maka harus berlaku demikian. “Akan tetapi, kalau tidak diperjanjikan
para pihak, maka pandemi itu bisa dianggap force majeur,” jelasnya.
Force majeur atau keadaan memaksa memiliki dua sifat, yakni umum dan
khusus. Force majeur yang sifatnya umum berkaitan dengan act of
god, sementara force majeur yang bersifat khusus berhubungan dengan act of
human. Berhubung dalam kasus pandemik corona pemerintah Indonesia
mengeluarkan aturan, maka force majeur konteks corona disebut Abdul masuk
dalam kategori khusus (act of human).
Jika dilihat dari segi posisi kasus, dikenal pula force majeur relatif yang
unsurnya difficulty (kesulitan), dan force majeur absolut yang memiliki
anasir impossibility (ketidakmungkinan). “Kalau corona ini, para pihak masih
bisa melakukan pekerjaan, tapi sulit, karena takut tertular virus. Jadi ukurannya
bukan impossible, tapi difficulties,” jelasnya.
Penanggung Kerugian.
Bila force majeur bisa menjadi alasan pembebasan seseorang dari kewajiban
menunaikan prestasinya sesuai dengan yang diperjanjikan, tentu kerugian dari
berbagai sektor bisnis tak dapat dielakkan. Pertanyaannya, haruskah pelaku
usaha menanggung sendiri risiko kerugian ataukah hukum memberi peluang
penanggungan ganti kerugian yang lebih ideal? Dalam hal ini, Abdul Salam
dan Ricardo Simanjuntak memiliki pandangan yang senada. Pada prinsipnya,
kata Abdul Salam, siapa yang melakukan kesalahan atau kelalaian, maka dia
yang akan menanggung risiko kerugian dalam suatu kontrak.
Lain halnya dengan pandemi corona yang telah disepakati sebagai bencana
diluar kehendak dan kemampuan manusia. Ia berpandangan, konteks

11
penanggungan rugi dalam kondisi epidemi tetap harus merujuk pada bentuk
perjanjiannya terlebih dahulu. Bila belum diatur khusus, harusnya semua orang
yang terlibat dalam transaksi itu harus menanggung risiko, setengah-setengah
pembagiannya lebih ideal. “Di sini berlaku prinsip keadilan, setiap pihak harus
tanggung, lain halnya kalau di perjanjian sudah diatur siapa yang harus
tanggung risiko dalam kondisi pandemik,” jelasnya.
Abdul menggaris bawahi konteks penanggungan risiko ini sedikit berbeda
dengan konteks penumpang airlines. Dalam kondisi pandemi, masyarakat
yang telah membeli tiket pesawat harusnya bisa memperoleh refund 100
persen dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan maskapai. Persoalannya,
kalau penumpang membeli tiket promo. Untuk tiket promo, biasanya maskapai
tidak menyediakan refund. “Tapi dalam kondisi ini harusnya penumpang tetap
mempunyai hak untuk reschedule,” jelasnya.
Sepakat dengan Abdul, Ricardo juga berpandangan untuk tiket promo
harusnya bisa dilakukan reschedule dalam kondisi force majeur. Bila
maskapai enggan membuka peluang reschedule, artinya maskapai tidak
mematuhi akibat hukum dari force majeur. “Dalam kondisi ini maskapai bisa
dituntut lewat gugatan,” tegas Ricardo.
Lagi pula, bila maskapai tak mematuhi force majeur, belum tentu akan
menguntungkan untuk maskapai, mengingat maskapai pun sebetulnya juga
berkontrak dengan pihak lain seperti mitra supplier. “Kalau dia tidak mau
menghargai force majeur terhadap konsumen dia, dia juga jangan excuse force
majeur kepada mitra supplier dia,” tukasnya.

Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Undang-


Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. 2. Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut
Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. 3. Pajak
Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan

12
Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN. 4. Pajak
Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan se
bagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh. 5. Wajib Pajak adalah orang
pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut
pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Pengusaha Kena Pajak adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ a tau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
PPN. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang PPN. 8. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang PPN. 9. Daerah Pabean adalah wilayah Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya,
serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen
yang didalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan. 10. Masa Pajak adalah
jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu
tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 11. Surat
Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean, yang selanjutnya disebut SKJLN, adalah surat keterangan yang
menyatakan bahwa W ajib Pajak melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 12. Kantor Pelayanan Pajak,
yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal
Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. 13. Pihak Tertentu adalah pihak
yang menerima insentif perpajakan. 14. Badan/Instansi Pemerintah adalah
badan/instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang ditunjuk untuk
melakukan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). 15.
Rumah Sakit adalah rumah sakit yang ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan
untuk penanganan pasien pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
16. Pihak Lain adalah pihak selain Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah
Sakit yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit untuk

membantu penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). 1 7.


Pihak Ketiga adalah pihak yang bertransaksi dengan Badan/lnstansi
Pemerintah, Rumah Sakit atau Pihak Lain untuk penanganan pandemi Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19). 18. Saluran Tertentu adalah saluran yang

13
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai sarana layanan pengajuan
permohonan perpajakan tanpa tatap muka melalui email resrm masing-masing
KPP yang diumumkan melalui akun media sosial KPP atau di laman
www.pajak.go.id/unit-kerja.

BAB II FASILITAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Pasal 2 (1) Insentif PPN diberikan kepada Pihak Tertentu atas impor atau
perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak, dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak
September 2020. (2) Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
meliputi: a. Badan/Instansi Pemerintah; b. Rumah Sakit; atau c. Pihak Lain. (3)
Barang Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), meliputi: a. obat-obatan; b. vaksin; c. peralatan laboratorium; d. peralatan
pendeteksi; e. peralatan pelindung diri;

f. peralatan untuk perawatan pasien; dan/ atau g. peralatan pendukung lainnya


yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19). (4) Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka
penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. jasa konstruksi; b. jasa konsultasi, teknik,
dan manajemen; c. jasa persewaan; dan/ a tau d. jasa pendukung lainnya yang
dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19). (5) PPN yang terutang atas: a. impor Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) oleh Pihak Tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tidak dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; b. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ditanggung pemerintah; dan c. pemanfaatan Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean oleh Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditanggung
pemerin tah. (6) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, termasuk juga penyerahan

14
berupa pemberian cuma- cuma. (7) Dalam hal Pihak Tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) melakukan impor Barang Kena Pajak yang digunakan
untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak

15

Anda mungkin juga menyukai