DISUSUN OLEH :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
2020
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Peranan Sosiologi
Hukum Dalam Penuntasan Konflik Sosial” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu
mata kuliah Sosiologi Hukum. Selain itu, penulis juga berharap makalah ini dapat
membantu proses belajar mengajar mahasiswa terutama dalam pembahasan tentang
materi Hukum dalam Sistem Sosial.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................4
3.1 Kesimpulan...................................................................................................10
3.2 Saran.............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................11
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2. Akibat positif dari adanya konflik
a. Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara anggota kelompok, misalnya
apabila terjadi pertikaian antar kelompok, anggota-anggota dari setiap
kelompok tersebut akan bersatu untuk menghadapi lawan kelompoknya.
b. Konflik berfungsi sebagai alat perubahan sosial, misalnya anggota-anggota
kelompok atau masyarakat yang berseteru akan menilai dirinya sendiri dan
mungkin akan terjadi perubahan dalam dirinya.
c. Munculnya pribadi-pribadi atau mental-mental masyarakat yang tahan uji
dalam menghadapi segala tantangan dan permasalahan yang dihadapi
sehingga dapat lebih mendewasakan masyarakat.
d. Dalam diskusi ilmiah, biasanya perbedaan pendapat justru diharapkan untuk
melihat kelemahan-kelemahan suatu pendapat sehingga dapat ditemukan
pendapat atau pilihan-pilihan yang lebih kuat sebagai jalan keluar atau
pemecahan suatu masalah.
Dengan demikian dalam konflik yang buruk atau kurang baik dapat
mengakibatkan suatu akibat yang mengerikan karena dapat menimbulkan kerusakan
pada orang-orang yang terperangkap di dalamnya.
4
teori), kumulatif (gabungan teori), dan non-etis (menjelaskan fakta secara
analisis).
Pengertian hukum bila ditinjau dari berbagai definisi, maka pada hakikatnya
hukum adalah menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pengertian sosiologi hukum tidak dapat dipisahkan dari pengertian sosiologi
dan pengertian hukum itu sendiri, karena ketiganya memiliki objek yang sama yaitu
masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi hukum merupakan suatu cabang
ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan
mengapa ia gagal untuk menaati hukum tersebut
5
menggugatnya atau melarangnya berati mengusik bathin keyakinan umat
islam ,’’ujar dia.
Menurut dia, peristiwa itu tidak akan terjadi apabila masyarakat saling
menghargai dan memiliki toleransi antar umat beragama Untuk itu, dia mengibau
pada masyarakat untuk sikap toleransi antar umat beragama dalam menjalankan
ibadah.
‘’Setiap agama memiliki tatacara ibadah dengan kultur yang berbeda,
disinilah letak pemahaman untuk toleransi antar umat beragama. Jika ini dipahami
maka peristiwa di Tanjung Balai tidak akan terjadi,’’papar dia.
Dalam kesempatan ini, dia meminta pemerintah terkait segera menyikapi
tragedy ini dengan serius.sebab, bila tidak dikhawatirkan akan terjdi kerusuhan
yang meluas.
Terlebih, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal ayat 29 ayat 2
disebutkan bahwa ‘’Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya itu.’’
Djan juga mengajak umat islam agar tidak cepat terprovokasi, reaktif serta
anarkis yang melampaui kewenangan aparat.’’Marilah kita tampilkan wajah islam
yang ramah, santun dan penuh kasih sayang sebagaimana contoh yang ditunjukkan
Rasulullah SAW dalam kehidupan beragama dan bernegara di Madinah, karna
Islam Rahmatan lilalamin,’’ujar Djan dengan semangat.
6
Analisis Konflik Di Tanjung Balai Hilangnya Tolenrasi
Konflik sosial yang terjadi di Aceh merupakan bukti lemahnya ruang dialog
yang dibangun pemerintah, sehingga kekerasan antara kelompok itu tak
terhindarkan. Konflik antar agama terus meningkat, meski dengan pola dan
tindakan yang berbeda-beda. Banyaknya kasus kekerasan tersebut membuktikan
belum optimalnya pemerintah dalam membagun komunikasi antar kelompok-
kelompok beragama tersebut.
Kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa
Indonesia. Hal itu terbukti dengan munculnya berbagai persoalan yang sumbernya
berbau kemajemukan, terutama bidang agama. Dalam perspektif keagamaan, semua
kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar setiap agama adalah toleransi.
Akibatnya, yang muncul intoleransi dan konflik. Seharusnya pada era reformasi ini,
kita menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi.
Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang
otoritarianistik, sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan
pseudotoleransi, yaitu toleransi yang rentan konflik-konflik komunal . Oleh sebab
itu, demokrasi dan toleransi harus terkait baik dalam komunitas masyarakat politik
maupun masyarakat sipil. Disamping itu nilai dasar setiap agama adalah toleransi.
Sehubungan dengan kedua hal tersesbut, dipandang penting adanya toleransi dalam
kehidupan masyarakat untuk memperkuat ketahanan sosial. Permasalahannya
sekarang bahwa toleransi dalam kehidupan bersama semakin lemah dan anti
toleransi semakin menguat.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jangan ada orang yang memancing di air keruh menyangkut soal SARA. Karena
dampak kerusakan sosialnya amat parah. Baik secara fisik maupun secara
psikologis," kata Djan Minggu (31/7/2016).
Djan berharap, rasa saling memahami kultur dan tradisi dari agama masing-masing
terus ditingkatkan dan ditanamkan sebagai langkah awal mencegah kesalahpahaman.
Pasalnya, setiap agama memiliki tata cara ibadah dengan kultur yang berbeda.
Jika ini dipahami maka peristiwa di Tanjung Balai tidak akan terjadi. Kerusuhan di
Tanjung Balai jika tidak disikapi dengan serius, hati-hati dan cepat, baik oleh aparat,
pemerintah dan tokoh agama maka akan bisa meluas menjadi konflik ras dan gejolak
kebencian atas etnis tertentu," ujarnya.
Menurut dia, selain negara, seluruh rakyat Indonesia memiliki kewajiban untuk
menjaga keutuhan dan persatuan dengan menjunjung tinggi sikap saling menghormati
serta menghargai. Untuk itu, masyarakat dituntut untuk saling menjaga hak dan
kewajiban diantara mereka.
"Oleh karena itu kita sebagai warga gegara sudah sepatutnya menjunjung tinggi sikap
saling toleransi antar umat beragama," tutupnya.
3.2 Saran
Saya berharap kepada pembaca bisa memahami apa itu konflik sosial, penyebab
adanya suatu konflik dan hubungannya dengan sosiologi hukum. Konflik social
sebenarnya bias di cegah jika masyarakat bias hidup saling bertoleransi.
8
DAFTAR PUSTAKA
9
Praktisi yang selama ini mendalami hukum kontrak, Ricardo
Simanjuntak, berpendapat force majeur merupakan suatu halangan dimana
salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk menghindari halangan itu
walaupun sudah melakukan upaya terbaik. Unsur lain yang mendukung
terjadinya force majeur, pihak tersebut tidak pernah bisa memprediksi kapan
terjadinya halangan, serta ia tidak memiliki contributory factor atas terjadinya
halangan itu.
Menurut Ricardo, untuk bisa dikategorikan force majeur, halangan itu
tak harus bersifat permanen. Peristiwa yang terjadi secara temporer pun masih
bisa dikategorikan force majeur. Yang penting unsur-unsur tadi terpenuhi.
“Bila seluruh unsur itu menjadi satu kesatuan dan secara manusiawi dia betul-
betul tidak memiliki contributory effect dalam peristiwa itu, maka di
situlah force majeur berlaku,” jelasnya kepada hukumonline.
Keseluruhan unsur itu, disebut Ricardo terpenuhi dalam kasus corona.
Alasannya, Pertama, orang tidak pernah tahu kapan ini akan terjadi (tidak
terprediksi). Kedua, orang tidak memiliki contributory effect atas penyebaran
wabah ini. Ketiga, wabah corona memang suatu halangan dimana orang tidak
bisa mengesampingkannya.
Advokat Rahmat Soemadipraja berpendapat bahwa sebetulnya agak
sulit secara umum menjadikan Covid-19 sebagai dasar untuk menerima
argumen force majeur. Tapi hal ini dapat mudah sekali berubah dengan adanya
keputusan atau kebijakan penguasa lokal, provinsi atau nasional yang isi
ketentuannya dapat menghambat pelaksanaan ketentuan suatu
perikatan/kontrak. “Mesti dimonitor dari jam ke jam mengenai adanya
keputusan atau kebijakan penguasa yang dapat mengubah keadaan,” katanya.
Pertanyaannya, sejak kapan halangan itu bisa dikategorikan force majeur?
Apakah ada parameter tertentu? Menurut Ricardo, force majeur bisa berlaku
ketika regulator mengatur hal tersebut. Regulatornya mungkin saja Presiden,
atau gubernur di level provinsi. Misalnya, jika Gubernur DKI Jakarta
menyatakan Jakarta di-lockdown. Dari kebijakan ini, otomatis kegiatan
transportasi banyak yang diberhentikan. Sehingga, akan ada banyak sekali
kegiatan di hotel-hotel, tiket pesawat yang sudah terlanjur dibeli, terpaksa
harus memilih dua kemungkinan yakni reschedule (penundaan
pelaksanaan)atau frustrated (mengaggap objek yang diperjanjikan musnah).
“Apakah tiket pesawat, sewa hotel itu bisa di reimburse atau di reschedule?
Mau tidak mau otomatis harus bisa dilakukan. Karena ketidak mampuan dia
untuk menggunakan tiket tadi tidak terjadi atas kemauan dia,” jelas Ricardo.
10
terjadi demi hukum. Dasar hukumnya jelas termaktub dalam Pasal 1245
KUHPerdata. Pasal ini menyebutkan: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus
digantinya, apabila karena keadaan memaksa [overmacht] atau karena suatu
keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau
berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah
melakukan perbuatan yang terlarang”.
Meskipun para pihak yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis tidak pernah
memperjanjikan kondisi pandemik covid-19 sebagai bagian dari force
majeur, pembebasan itu tetap berlaku berdasakan Pasal 1245 KUHPerdata.
“Semua pelaku usaha harus mematuhi, kalaupun ada keberatan dari sisi teknis
hukum terkait hak dan kewajiban dalam kontrak, pihak tersebut tetap harus
mengikuti upaya pembebasan semua pihak melalui force majeur,” jelasnya.
Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Abdul Salam,
menjelaskan Pasal 1245 itu masuk dalam bagian Buku III KUHPerdata yang
sifatnya melengkapi perjanjian. Artinya, sepanjang para pihak tidak mengatur
sebaliknya, maka ketentuan Buku III itu, khususnya terkait force majeur,akan
berlaku. Bila perjanjian misalnya mengatur pandemi bukan bagian dari force
majeur, maka harus berlaku demikian. “Akan tetapi, kalau tidak diperjanjikan
para pihak, maka pandemi itu bisa dianggap force majeur,” jelasnya.
Force majeur atau keadaan memaksa memiliki dua sifat, yakni umum dan
khusus. Force majeur yang sifatnya umum berkaitan dengan act of
god, sementara force majeur yang bersifat khusus berhubungan dengan act of
human. Berhubung dalam kasus pandemik corona pemerintah Indonesia
mengeluarkan aturan, maka force majeur konteks corona disebut Abdul masuk
dalam kategori khusus (act of human).
Jika dilihat dari segi posisi kasus, dikenal pula force majeur relatif yang
unsurnya difficulty (kesulitan), dan force majeur absolut yang memiliki
anasir impossibility (ketidakmungkinan). “Kalau corona ini, para pihak masih
bisa melakukan pekerjaan, tapi sulit, karena takut tertular virus. Jadi ukurannya
bukan impossible, tapi difficulties,” jelasnya.
Penanggung Kerugian.
Bila force majeur bisa menjadi alasan pembebasan seseorang dari kewajiban
menunaikan prestasinya sesuai dengan yang diperjanjikan, tentu kerugian dari
berbagai sektor bisnis tak dapat dielakkan. Pertanyaannya, haruskah pelaku
usaha menanggung sendiri risiko kerugian ataukah hukum memberi peluang
penanggungan ganti kerugian yang lebih ideal? Dalam hal ini, Abdul Salam
dan Ricardo Simanjuntak memiliki pandangan yang senada. Pada prinsipnya,
kata Abdul Salam, siapa yang melakukan kesalahan atau kelalaian, maka dia
yang akan menanggung risiko kerugian dalam suatu kontrak.
Lain halnya dengan pandemi corona yang telah disepakati sebagai bencana
diluar kehendak dan kemampuan manusia. Ia berpandangan, konteks
11
penanggungan rugi dalam kondisi epidemi tetap harus merujuk pada bentuk
perjanjiannya terlebih dahulu. Bila belum diatur khusus, harusnya semua orang
yang terlibat dalam transaksi itu harus menanggung risiko, setengah-setengah
pembagiannya lebih ideal. “Di sini berlaku prinsip keadilan, setiap pihak harus
tanggung, lain halnya kalau di perjanjian sudah diatur siapa yang harus
tanggung risiko dalam kondisi pandemik,” jelasnya.
Abdul menggaris bawahi konteks penanggungan risiko ini sedikit berbeda
dengan konteks penumpang airlines. Dalam kondisi pandemi, masyarakat
yang telah membeli tiket pesawat harusnya bisa memperoleh refund 100
persen dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan maskapai. Persoalannya,
kalau penumpang membeli tiket promo. Untuk tiket promo, biasanya maskapai
tidak menyediakan refund. “Tapi dalam kondisi ini harusnya penumpang tetap
mempunyai hak untuk reschedule,” jelasnya.
Sepakat dengan Abdul, Ricardo juga berpandangan untuk tiket promo
harusnya bisa dilakukan reschedule dalam kondisi force majeur. Bila
maskapai enggan membuka peluang reschedule, artinya maskapai tidak
mematuhi akibat hukum dari force majeur. “Dalam kondisi ini maskapai bisa
dituntut lewat gugatan,” tegas Ricardo.
Lagi pula, bila maskapai tak mematuhi force majeur, belum tentu akan
menguntungkan untuk maskapai, mengingat maskapai pun sebetulnya juga
berkontrak dengan pihak lain seperti mitra supplier. “Kalau dia tidak mau
menghargai force majeur terhadap konsumen dia, dia juga jangan excuse force
majeur kepada mitra supplier dia,” tukasnya.
12
Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN. 4. Pajak
Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan se
bagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh. 5. Wajib Pajak adalah orang
pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut
pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Pengusaha Kena Pajak adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ a tau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
PPN. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang PPN. 8. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang PPN. 9. Daerah Pabean adalah wilayah Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya,
serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen
yang didalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan. 10. Masa Pajak adalah
jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu
tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 11. Surat
Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean, yang selanjutnya disebut SKJLN, adalah surat keterangan yang
menyatakan bahwa W ajib Pajak melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 12. Kantor Pelayanan Pajak,
yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal
Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. 13. Pihak Tertentu adalah pihak
yang menerima insentif perpajakan. 14. Badan/Instansi Pemerintah adalah
badan/instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang ditunjuk untuk
melakukan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). 15.
Rumah Sakit adalah rumah sakit yang ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan
untuk penanganan pasien pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
16. Pihak Lain adalah pihak selain Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah
Sakit yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit untuk
13
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai sarana layanan pengajuan
permohonan perpajakan tanpa tatap muka melalui email resrm masing-masing
KPP yang diumumkan melalui akun media sosial KPP atau di laman
www.pajak.go.id/unit-kerja.
Pasal 2 (1) Insentif PPN diberikan kepada Pihak Tertentu atas impor atau
perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak, dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak
September 2020. (2) Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
meliputi: a. Badan/Instansi Pemerintah; b. Rumah Sakit; atau c. Pihak Lain. (3)
Barang Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi
Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), meliputi: a. obat-obatan; b. vaksin; c. peralatan laboratorium; d. peralatan
pendeteksi; e. peralatan pelindung diri;
14
berupa pemberian cuma- cuma. (7) Dalam hal Pihak Tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) melakukan impor Barang Kena Pajak yang digunakan
untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak
15