Disusun Oleh:
Supiatun Hapizah
Cristiara Putri Lestari
Gandi Satrio
Sulaiman
Saihullah
Akibat adanya pemenuhan biologis baik itu sandang, pangan dan papan yang akan sangat
susah untuk dilengkapi jika hidup secara individu, maka dalam penyelenggaraannya akan
mudah dilakukan secara bersama-sama.
Kemungkinan untuk bersatu dengan manusia yang lainnya
Keinginan untuk bersatu dengan lingkungannya
Dengan terbentuknya usatu masyarakat, maka ancaman-ancaman akan lebih berkurang,
dan dapat mempertahankan diri dalam menghadapi kekuatan alam, binatang, atau
kelompok lain yang lebih besar
Manusia memiliki ciri sebagai makhluk hidup yang melakukan reproduksi, maka dalam
satu keluarga secara alami sudah terbentuk suatu masyarakat kecil
Manusia mempunyai kecendrungan untuk saling berinteraksi anatra satu dengan yang lain
untuk memperluas wawasan dan pengetahunnya.
Jika kita membahas proses terbentuknya masyarakat, maka kita dapat mengambil proses
terbentuknya keluarga. Dimulai dari pertemuan antara satu orang laki-laki dan perempuan yang
kemudian melakukan hubungan dengan tujuan memiliki keturunan. Setelah itu lama-kelamaan
akan terbentuk “keluarga”. Lalu, keluarga itu juga kaan berkembang sehingga membentuk
“keluarga besar”. Lambat laun, akan terbentuk suatu “wangsa”. Wangsa dengan ciri fisik dan
kebudayaan yang sama kemudian membentuk “bangsa”, dan terakhir akan terbentuk suatu Negara-
bangsa”
C.Ciri-Ciri Masyarakat
1. Hidup Berkelompok
Terkait dengan seorang manusia yang tidak dapat menjalankan hidupnya tanpa bergantung
pada orang lain, maka ciri masyarakat yang pertam adalah manusia yang hidup bersama dan
membentuk sebuah kelompok. Kelompok inilah yang kenudian akan berubah menjadi masyarakat.
Mereka saling mengenal antar satu sama lain, dan salin tergantung.
2. Melahirkan Kebudayaan
Secara ringkas, jika tidak ada masyarakat maka tidak akan ada pula kebudayaan, begitu
juga sebaliknya. Maka suatu masyarakat yang telah hidup secara bersama pasti akan melahirkan
kebudayaan, sehingga kebudayaan ini akan diturunkan ke generasi berikutnya dengan berbagai
penyesuaian.
3. Mengalami Perubahan
Masyarakat bersifat dinamis (tidak diam), oleh karena itu masyarakat akan selalu
menginginkan perubahan dalam hidupnya. Perubahan-perubahan itu juga harus disesuaikan dengan
kebudayaan yang telah terbentuk sebelumnya.
4. Saling Berinteraksi
Salah satu syarat perwujudan dari masyarakat ialah terdapatnya hubungan antar satu orang
dengan orang yang lain (mereka saling berinteraksi). Interaksi ini akan tercapai apabila terdapat
pertemuan diantara mereka.
5. Terdapat Pemimpin
Dibutuhkan pemimpin untuk menindaklanjuti hal-hal yang telah disepakati bersam agar
tidak berjalan bebas atau lari dari kesepakatan. Seperti contoh di satu desa terdapat pimpinan yang
disebut kepala desa untuk memimpin desa itu dibantu oleh beberapa perangkatnya.
6. Terdapat Stratifikasi Sosial
Diantara masyarakat pasti akan terbentuk stratifikasi (golongan) tertentu, baik itu
penggolongan berdasarkan tanggung jawab,tugas, dan tingkat religiusitasnya. Stratifikasi itu dapat
meletakkan orang pada tempatnya sehingga mereka dapat menjalankan peranan masing-masing.
D.Unsur-Unsur Masyarakat
1. Orang Banyak
Orang banyak atau crowd adalah pengelompokan orang banyak pada suatu tempat tertentu.
ciri-ciri orang banyak yaitu :
F.Macam-Macam Masyarakat
1. Masyarakat Primitif
Masyarakat primitive atau masyarakat sederhana merupakan masyarakat dimana belum
terjadi perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berarti di dalam kehidupan mereka.
Perkembangan tersebut hanya sebatas mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Masyarakat primitive ini sangat jarang berhubungan dengan masyarakat yang lain, dikarenakan
pada umumnya, masyarakat primitive ini terisolasi.
Masyarakat primitif terdiri dari beberapa puluh hingga ratus anggota saja serta memiliki
tempat tinggal yang jauh dari perkembangan peradaban. Kehidupan masyarakat ini bersifat
homogen, dimana belum terdapat adanya diferensiasi yang tegas antar anggota. Secara umum, ciri-
ciri masyarakat primitive antara lain :
Dalam masyarakat pedesaan antara anggota yang satu dengan yang lain
mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam daripada hubungan mereka
dengan warga masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya. Sistem kehidupan
biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan
pada umumnya hidup dari pertanian. Walaupun terlihat ada tukang kayu, tukang genting,
dan tukang batu bata, dan lain-lain. Akan tetapi, inti pekerjaan penduduknya adalah
pertanian. Dalam masyarakat pedesaan tidak akan dijumpai pembagian kerja berdasarkan
pad ausia, mengingat kemampuan fisik masing-masing dan juga atas dasar perbedaan
kelamin.
Beberapa ciri lain yang menonjol pada masyarakat kota antara lain sebagai berikut
B.Fungsi Negara
Harold Laski menyatakan bahwa fungsi negara adalah menciptakan keadaan dimana rakyat
dapat tercapai keinginannya secara maksimal (Meriam Budihardjo, 1983:39). Terlepas dari
ideologi yang dianutnya, setiap negara memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Melaksanakan penertiban. Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-
bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban.
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
3. Pertahanan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk itu
negara dilengkapi dengan alat pertahanan.
4. Menegakkan keadilan.
Menurut Charles E. Merriam fungsi negara ada lima:
1. Keamanan ekstern, untuk mencegah ancaman dari luar;
2. Ketetiban intern, untuk ketertiban dalam negeri;
3. Keadilan bagi seluruh warga negara;
4. Kesejahteraan umum;
5. Menjamin kebebasan tiap waga negara berdasar hak asasi manusia (Meriam Budihardjo,
1983:41).
Selain memiliki fungsi, negara juga memiliki sifat-sifat khusus yang merupakan
manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan hanya tyerdapat dalam negara saja. Adapun sifat-
sifat khusus negara tersebut adalah:
1. Sifat memaksa.
Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan penertiban masyarakat tercapai, serta
timbulnya anarki dapat dicegah, maka negara memiliki hak untuk memaksa. Sarana yang
digunakan antara lain adalah polisi, tentara, jaksa dan hakim.
2. Sifat mencakup semua
Semua peraturan perundang-undangan misalnya keharusan membayar pajak, berlaku untuk
semua orang tanpa kecuali. Keadaan demikian memang perlu, sebab kalau seseorang dibiarkan
berada diluar ruang lingkup aktivitas negara, maka usaha negara kearah tercapainya masyarakat
yang dicita-citakan akan gagal.
C.Unsur-Unsur Negara
1.Wilayah
Setiap negara menduduki wilayah tertentu di muka bumi dan memiliki batas-batas wilayah
yang jelas pula. Kekuasaan negara mencakup seluruh wilayah, tidak hanya tanah, tetapi laut di
sekelilingnya dan angkasa di atasnya. Karena kemajuan teknologi dewasa ini masalah wilayah
menjadi lebih rumit dibandingkan masa lampau. Sebagai contoh jika pada masa lampau wilayah
laut cukup sejauh 3 mil dari pantai, sesuai jarak tembak meriam. Maka untuk saat ini menjadi
kurang relevan lagi, sebab jarak tembak peluru kendali bisa ratusan mil. Oleh karena itu beberapa
negara termasuk Indonesia telah mengusulkan wilayah laut 12 mil diukur dari titik terluar, serta
menuntut adanya zona ekonomi eksklusif 200 mil. Kemajuan teknologi telah memungkinkan
pengeboran minyak dan gas di lepas pantai mendorong sejumlah besar negara untuk menuntut
penguasaan wilayah yang lebih luas.
Menurut hukum internasional semua negara sama martabatnya. Tetapi dalam kenyataannya
sering negara kecil mengalami kesulitan untuk mempertahankan kedaulatannya, apalagi jika
tetangganya adalah negara besar. Di lain pihak, negara yang memiliki wilayah yang sangat luas
juga menghadapi berbagai permasalahan, antara lain keaneka ragaman suku, budaya dan agama,
masalah perbatasan dan sebagainya.
2.Penduduk
Setiap negara pasti memiliki penduduk, dan kekuasaan negara menjangkau seluruh
penduduk di dalam wilayahnya. Penduduk dalam suatu negara biasanya menunjukkan beberapa ciri
khas yang membedakannya dari bangsa lain. Perbedaan ini nampak misalnya dalam
kebudayaannya, dalam identitas nasionalnya. Kesamaan dalam sejarah, kesamaan bahasa,
kesamaan kebudayaan, kesamaan suku bangsa dan kesamaan agama merupakan faktor-faktor yang
mendorong kearah terbentuknya persatuan nasional dan identitas nasional yang kuat.
Persamaan dan homogenitas tidak mesti menjamin kokohnya persatuan. Sedangkan
keanekaragaman juga tidak menutup kemungkinan untuk berkembangnya persatuan yang kokoh.
Sebagai contoh Swiss mempunyai empat bahasa, India memiliki enam belas bahasa resmi, akan
tetapi kedua negara sampai sekarang masih tetap bersatu. Indonesia dengan puluhan bahasa daerah,
suku bangsa, dan terdiri dari berbagai agama hingga saat ini juga masih bersatu, meskipun ada
gerakan yang ingin memisahkan diri di beberapa daerah. Sebaliknya Inggris dan Amerika Serikat
memiliki bahasa yang sama, akan tetapi merupakan dua bangsa dan negara yang terpisah. Pakistan
yang didirikan dengan alasan untuk mempersatukan wilayah India yang beragama Islam akhirnya
pecah menjadi dua yaitu Pakistan dan Banglades. Oleh karena itu bagus untuk direnungkan apa
yang dikatakan oleh filsuf Perancis Ernest Renan: “Bahwa pemersatu bangsa bukanlah kesamaan
bahasa, kesamaan agama, kesamaan suku, ataupun kesamaan ras, akan tetapi tercapainya hasil
gemilang di masa lampau dan keinginan untuk mencapai tujuan bersama di masa depan”.
3.Pemerintahan
Setiap negara memiliki organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan
keputusan-keputusan yang mengikat seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Keputusan-keputusan
ini antara lain berbentuk undang-undang dan berbagai peraturan lain. Dalam hal ini pemerintah
bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan dari negara. Negara bersifat lebih
permanen, sedangkan pemerintah biasanya silih berganti. Kekuasaan pemerintahan biasanya dibagi
menjadi tiga yakni legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang), dan
yudikatif (yang mengawasi pelaksanaan undang-undang).
Secara garis besar model sistem pemerintahan dapat dibagi empat:
1) Sistem pemerintahan Presidensiil, contohnya Amerika Serikat, Indonesia, Filipina.
2) Sistem pemerintahan Parlementer, contohnya Inggris, malaysia, Singapura, India.
3) Sistem pemerintahan Campuran (antara Presidensiil dan Parlementer), contohnya Perancis.
4) Sistem pemerintahan Diktator, contohnya Rusia.
4.Kedaulatan
Unsur esensial yang keempat dari negara, adalah kedaulatan. Istilah kedaulatan seringkali
dibatasi sebagai kekuasaan tertinggi dan final yang tidak ada tandingannya. Kedaulatan paling
tidak mempunyai dua dimensi, yaitu apa yang disebut supremasi internal dan kemerdekaan
eksternal. Yang pertama, berarti adanya kekuasaan yang menjangkau seluruh wilayah negara,
sedangkan yang kedua berarti bebas dari pengawasan politik negara lain secara langsung ataupun
organisasi internasional.
Konsep kedaulatan sebagai salah satu unsur negara memang menunjukkan pada kekuasaan
yang tertinggi serta tidak terbatas pada wewenang untuk mengatur masalah- masalah negara, baik
dalam negeri maupun hubungan dengan negara lainnya. Kendatipun konsepnya jelas, tetapi dalam
prakteknya sulit untuk menentukan secara pasti kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara.
Dengan kata lain, kita mengakui sesuatu negara berdaulat, tetapi kita tidak dapat mengetahui secara
pasti apakah negara yang bersangkutan benar-benar dapat melaksanakan kedaulatannya, dalam arti
benar- benar mempunyai kekuasaan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri tanpa
dipengaruhi oleh negara lain. Pada dasarnya kedaulatan internal atau kedaulatan di dalam wilayah
suatu negara memang menunjukkan berbagai variasi antara negara satu dengan negara lainnya
sesuai dengan tempat dan ruang lingkup kekuasaan kedaulatan itu sendiri.
Kedaulatan mencakup kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan
melaksanakannya dengan semua cara, termasuk paksaan. Negara mempunyai kekuasaan yang
tertinggi ini untuk memaksa semua penduduk agar mentaati peraturan perundang- undangan.
Negara juga berkewajiban mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya dari serangan-
serangan dari negara lain. Untuk keperluan itu negara menuntut loyalitas yang mutlak dari seluruh
warga negaranya.
Secara konsepsional format hubungan negara dan masyarakat setidaknya dapat ditelusuri
melalui 4 model yaitu:
1. Model Bureaucratic Polity. (Karl D Jackson) Bureaucratic polity secara khusus melihat sejauh
mana pembuatan keputusan terisolasi dari pengaruh pengaruh kekuatan sosial politik diluar elite.
Jackson mengatakan bahwa ketika pada tahun 1957 format demokrasi di Indonesia diakhiri dengan
diberlakukannya undang-undang darurat perang, ternyata format hubungan masyarakat dengan
negara tidak banyak mengalami perubahan yang fundamental, bahkan sejak kepemimpinan jatuh ke
tangan orde baru kekuasaan masih terkonsentrasikan di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno
(1959-1966). Dalam model Bureaucratic Polity pemegang kekuasaan tertinggi adalah Presiden
dimana ia memiliki kekuasaan yang didasarkan pada kewenangan resmi dan bukan sekedar
legitimasi tradisional. Untuk itu Presiden harus disokong oleh sekurang-kurangnya konsensus
minimal dari elite militer dan birokrasi. Sejalan dengan hal itu maka keputusan-keputusan Presiden
harus dikonsultasikan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada elite militer dan birokrasi.
Peranan Militer di negara berkembang pada dasarnya adalah untuk mendukung aspirasi
politik masyarakat di bawah kepemimpinan sipil. Ketika peranannya telah menyimpang jauh dari
apa yang dimaksud di atas maka, ia dianggap telah melakukan intervensi politik. Sedangkan pada
umumnya di negara berkembang atau di Dunia Ketiga, lebih banyak kecenderungan militer untuk
melibatkan diri dalam perpolitikan nasional. Keterlibatannya militer di Dunia Ketiga dimungkinkan
terjadi oleh karena beberapa faktor, seperti dikemukakan oleh Bilver Singh:
(1). Apabila ada kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat yang mengancam eksistensi angkatan
bersenjata.
(2), militer akan melakukan intervensi politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar yang
oleh korps perwira dianggap lebih sesuai dengan struktur-struktur politik yang ada
dalam masyarakat.
(3). Adanya keterlibatan militer di negara-negara dunia ketiga ini membuat diskusi tentang rezim
militer menjadi semakin menarik terlebih karena memberikan pengaruh pada format hubungan
masyarakat dengan negara, sebagaimana yang dikemukakan oleh Amos Perlmutter bahwa apa yang
disebut sebagai rezim militer tidaklah harus didominasi oleh militer. (Bilver Singh, Dwi Fungsi
ABRI, 1995, hal: 5).
Rezim militer dapat dijelaskan dari bagaimana hakikat hubungan elite negara seperti antara
struktur militer dan sipil; bagaimana otonomi birokrasi negara dan institusi militer; bagaimana
hakikat sarana politis dan administratif yang dimanfaatkan oleh rezim tersebut untuk mencapai
modernisasi, bagaimana legitimasi struktur birokratis, komisi, partai politik, kelompok– kelompok
kepentingan dan militer itu sendiri. Satu hal yang menarik adalah bahwa adanya semacam kaidah
yang biasanya berlaku dalam militer yakni melakukan intervensi, apabila terjadi krisis politik,
ekonomi, sosial yang muncul sebagai akibat dari perubahan masyarakat. Rezim-rezim militer
biasanya terdapat dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan, adanya kekurangteraturan
dan dukungan politik yang sah membuat rezim ini cenderung tumbuh subur terlebih dalam
pemerintahan yang tidak stabil, belum berkembang secara politik, belum padu secara struktural,
dan dalam kebanyakan kasus, belum berfungsi dengan baik. Rezim militer biasanya hadir untuk
menggantikan rezim yang lemah seperti eksekutif dan legislatif yang lemah, khususnya dalam
rangka mempertahankan negara dari pengambilalihan secara revolusioner oleh kaum komunis
maupun para ekstrimis.
Jadi sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya maka alasan militer untuk campur tangan
biasanya meliputi alasan–alasan sbb: Anti kolonialisme, nasionalisme, oposisi terhadap rezim
nasionalis, anti-oligarkisme, dorongan untuk melindungi institusi militer dari pelanggaran dan
ketakutan akan hilangnya otonomi dan kekuasaan militer, keinginan untuk mempromosikan
modernisasi dan perkembangan ekonomi, serta tanggapan terhadap ancaman dari sayap kiri (Amos
Perlmutter, Political Roseland Millitary Rules, 1980, hal 238). Model Kepolitikan birokratik juga
harus dibedakan dengan pemerintahan militer atau kediktatoran militer, atas dasar ”gaya” dan
”tujuan” (bentuk kebijakan) pemerintahan yang lebih bercorak birokratik dan tehnokratik daripada
militeristik. Jackson memberi gambaran bagaimana kompetisi untuk memperoleh kekuasaan yang
berlangsung di lingkungan para pengambil keputusan (the ruling circle) yang jumlahnya kurang
dari 1000 orang di Jakarta, yaitu melalui penggunaan jaringan hubungan ”patron-client” yang
secara nyata dapat mengatasi dan memotong jalur hubungan lain yang lebih sempit, seperti etnik,
famili dan aliran.
Hubungan ”patron-client” adalah hubungan-hubungan yang terjadi antara bapak dan anak
buah yang bersifat pribadi dan saling menguntungkan. Dalam hal ini tugas patron tidak sekedar
memberi imbalan material namun merangkap sebagai pelindung dan penasehat masalah-masalah
pribadi, kepercayaan dan mistik. Sedangkan pihak klien dituntut kesetiaannya untuk mengabdi
sekaligus bersedia secara total untuk ikut berjuang guna mempertahankan keutuhan kekuasaan dari
patron.
2. Model Neopatrimonialism (Donald KEmerson, R William Liddle, Harold Crouch)
Model ini didasarkan pada pandangan Guenther Roth sebagai hasil penafsiran terhadap
tesis ”kekuasaan patrimonial” yang dikemukakan oleh Max Weber. Menurut model ini penguasaan
perorangan/pribadi disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat modern, melalui
detradisionalisasi patrimonialisme klasik dan kemudian dibentuk patrimonialisme baru, dimana
legitimasi didasarkan pada imbalan-imbalan material. Kekuasaan perorangan/pribadi dapat
diperluas daya jangkaunya melalui penggunaan organisasi–organisasi modern seperti, birokrasi,
militer dan organisasi-organisasi kepentingan lainnya. Konsep kekuasaan dalam negara
neopatrimonial diturunkan dari konsep Jawa (Mataram) yang melihat kekuasaan sebagai sesuatu
yang ”homogen, mengumpul dan berjumlah tetap”.
Dalam pengertian ini, antara pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang
merupakan satu kesatuan. Oleh sebab itu aktifitas politik dipahami harus selalu terpusat pada si
pemegang kekuasaan. Benedict Anderson, mengatakan bahwa budaya yang ada di negara-negara
Dunia Ketiga seperti halnya Indonesia masih bersifat feodal. Kekuasaan politik masih dianggap
sebagai perpanjangan dari kekuasaan ke Ilahian, sehingga tidak bisa ditentang" (Benedict
Anderson, Teori Negara, 1996, hal: 107). Adapun kekuasaan dikonsentrasikan kepada
pemegangnya melalui penggunaan hubungan patron-client, sehingga struktur kekuasaan dapat
digambarkan sebagai lingkaran–lingkaran vertikal yang memusat (seperti spiral lancip).
Lingkungan di luar pusat kekuasaan diwarnai oleh kompetisi untuk mendapatkan perhatian dan
keistimewaan dari pusat kekuasaan. Tali pengikat utama dari kelangsungan struktur kekuasaan ini
adalah berupa imbalan– imbalan material yang didiseminasikan dari pusat kekuasaan ke stuktur–
struktur bawahnya, melalui jaringan hubungan yang ada tersebut. Menurut R William Liddle
penguasaan perorangan/pribadi ini terbagi atas tingkatan-tingkatan yaitu:
(1). Lembaga Kepresidenan dengan Presiden sebagai penguasa mutlaknya.
(2). Eselon kedua yang terdiri dari berbagai kelompok yang saling berkompetisi seperti:
militer, partai politik, birokrasi pemerintahan dll.
Jadi pada intinya dalam rezim neopatrimonial, penguasa tertinggi mempunyai kekuasaan
mutlak dan tidak dapat dikontrol. Karenanya keputusan sepenuhnya berada di tangan Presiden, para
menteri dan pejabat-pejabat tinggi negara lainnya hanya memberi pertimbangan dan menyodorkan
alternatifalternatif pilihan beserta perhitungan-perhitungan untung ruginya. Negara-negara merdeka
yang muncul di Dunia Ketiga yang sebelumnya dijajah, terlanjur mempunyai kekuasaan yang
begitu besar. Pemerintah berdiri di atas kelas kelas sosial yang ada. Kekuasaan yang lebih besar
dari pada kekuatan yang ada di tangan rakyatnya. Ketika masyarakat jajahan ini berhasil
memperoleh kemerdekaan, pemerintah atau birokrasi kolonial yang ada masih tetap utuh. Penguasa
nasional yang baru seringkali merasa bahwa perangkat kekuasaan ini memudahkan mereka untuk
memerintah. Karena itu di banyak negara Dunia Ketiga yang memperoleh kemerdekaan, bentuk
pemerintahannya harus dipertahankan, atau sangat sedikit diubah oleh penguasa yang baru, dan
inilah yang disebut sebagai negara pasca kolonial" (Hamza Alavi,Teori Negara, 1996, hal: 109).
3. Model Bureaucratic Capitalist State (Richard Robinson)
Model ini dikembangkan atas dasar ”teori perjuangan kelas” dan persepsi masyarakat yang
mengacu pada pandangan Karl Marx yang mengatakan bahwa: masyarakat sipil merupakan suatu
penipuan. Melindungi masyarakat sipil dan masyarakat sipil yang melindungi negara adalah
mubazir dan penuh penipuan. Menurutnya formulasi masyarakat sipil tidak diperlukan: begitu
eksploitasi berakhir, munculah tatanan sosial yang tak memerlukan penguatan yang bersifat
memaksa. Menurut pandangan ini struktur politik terdiri dari formasi kelas-kelas ekonomi
domestik yang berkoeksistensi dengan dan terintegrasikan kedalam kapitalisme internasional.
Dalam perspektif ini negara sebagai alat yang digunakan oleh kelompok-kelompok konglomerat
untuk mempertahankan penguasaan mereka terhadap sumberdaya ekonomi yang ada.
Kelompok-kelompok ini berkoalisi dengan birokrat dan kaum kapitalis komprador
domestik yang sebagian besar merupakan borjuasi Cina dan kapitalisme internasional.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Peter Evans bahwa persekutuan antara Borjuasi lokal, modal
asing dan pemerintah (Peter Evans, Teori Negara, hal 113,1996). Sehubungan dengan itu maka
nasionalisme merupakan basis ideologi bagi terselenggaranya akumulasi modal negara, berguna
untuk berargumentasi melawan perusahaan–perusahaan multinasional. Nasionalisme memberikan
legitimasi bagi birokrat pemerintah untuk menjalankan perannya di mata borjuasi lokal.
Nasionalisme juga merupakan satu-satunya basis di mana pemerintah dapat menyatakan kepada
rakyat banyak bahwa mereka sedang menjalankan pembangunan nasional, yang hasilnya nanti
dinikmati oleh segala lapisan masyarakat. (Alejandro, Teori Negara, hal: 115, 1996).
Pada model ini struktur politik tersusun sebagai konsekuensi dari-dan merupakan respon
terhadap tekanan-tekanan stuktural yang berbasis pada pertentangan-pertentangan ekonomi, dengan
pemihakan negara kepada kelestarian dominasi kelompok koalisi penguasa ekonomi ini. Atas dasar
itu maka pengambilan keputusan dan kebijakan berorientasi kepada kepentingan kelompok ini,
dengan pertimbanganpertimbangan yang rasional yang menghindari kerugian dari kelompok-
kelompok ini. Apabila kelompok ini mengalami kerugian maka akan berakibat fatal pada struktur
secara keseluruhan, termasuk didalamnya kekuasaan rezim.
4. Model Bureaucratic Authoritarian Regime (Juan Linz, Guillermo O Donnel, Dwight Y King).
Model ini menjelaskan bahwa negara sangat mandiri dalam menghadapi masyarakatnya,
dimana untuk itu negara secara terus menerus menolak tuntutan-tuntutan politik para pemimpin
masyarakat terutama yang berasal dari kelas bawah, bahkan para pemimpin rakyat juga
disingkirkan dari kedudukan–kedudukan politik yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan
yang di lakukan oleh negara (Guillermo O, Donnel, Teori Negara, hal: 109,1996). Model ini
mendalilkan bahwa dominasi negara harus jelas, modern dan relatif stabil dan memiliki keunggulan
struktur serta kemampuan luar biasa untuk mempertahankan diri dan mengendalikan berbagai
macam tekanan potensial yang muncul dari masyarakat selama modernisasi. Model ini memperkuat
dirinya melalui landasan legitimasi yang variatif, yaitu suatu kombinasi yang diperhitungkan antara
prinsip-prinsip tradisional, kharismatik, legalrasional, substantif-rasional dan prinsip-prinsip
efisiensi teknis. Dalam model ini “transisi” dijelaskan sebagai “interval waktu antara satu rezim
politik dan rezim politik yang lain”, dimana dirumuskan bahwa suatu transisi demokrasi akan
berhasil dilakukan suatu negara apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(a) tercapai kesepakatan mengenai prosedur-prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan;
(b)pemerintah pemegang kekuasaan adalah atas dasar hasil pemilu yang bebas;
(c) pemerintah memiliki otoritas untuk menghasilkan kebijakan– kebijakan; dan
(d) kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dihasilkan sudah lebih mandiri serta tidak
dipengaruhi oleh institusi kepentingan lainnya.
Proses transisi menuju demokrasi ini biasanya mencakup tahap liberalisasi politik dan
tahap demokratisasi, dimana hal ini bisa berlangsung secara gradual –liberalisasi lebih dahulu
kemudian berlanjut kepada demokratisasiatau secara bersama-sama dan sekaligus, atau bisa juga
suatu transisi tanpa tahap demokratisasi sama sekali. Liberalisasi politik hanya mencakup perluasan
serta perlindungan bagi hak-hak dan kebebasan individu maupun kelompok dari kesewenangan
negara atau pihak lain. Oleh karenanya maka demokratisasi harus mencakup perubahan struktur
pemerintahan dari yang bersifat otoriter sehingga negara dapat memberikan tanggung jawabnya
kepada masyarakat.
Reprense
https://teropong.id/forum/2017/10/23/pengertian-masyarakat-proses-terbentuknya-ciri-ciri-
macam-macam-dan-unsurnya/
Santoso S. (2004). Dinamika kelompok (Rev. ed.). Jakarta: PT Bumi Aksara. (Hal 85-87)
Linton, R. (2006). dalam Soerjono Soekanto, 22.
Soemardjan, S. (2006). dalam Soerjono Soekanto, 22.
Geertz, Clifford. Negara. Princeton University Press, 1980.
Geertz, C. (1980). Negara. Princeton University Press.
Kleden, Ignas. Masyarakat dan negara: sebuah persoalan. Penerbit Agromedia Pustaka,
2004.
Kleden, I. (2004). Masyarakat dan negara: sebuah persoalan. Penerbit Agromedia Pustaka.
Anderson, Benedict ROG; The Idea Of Power Politic in Javanese Culture, dalam Claire
Holt (ed):
Culture Politics in Indonesia, Itacha: Cornell University Press, 1972.
Budiman, Arif; Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Idiologi, Gramedia Pustaka Utama,
1997.
Emerson, Donald K; Indonesia”s Elite: Political Culture and Cultural Politics, Ithaca,
Cornell
University Press, 1976.
Guillermo O Donnel; Transisi Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta, 1998.
Henningsen, ”Democracy or the Promise of Civil Society and the State”, London-New
York; Verso
1988.
Maruto M.D; Anwari WMK; Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat; Kendala, dan
Peluang
Menuju Demokrasi, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2002
Stepan, Alfred; The State and Society, Peru in Comparative Perspective, New Jersey,
Princeton
University Press, 1978.