Anda di halaman 1dari 17

PERENCANAAN SOSIAL DALAM

MENGENTASKAN KEMISKINAN

DISUSUN OLEH:

NAMA : NEDIKA GIANTAMA


NPM : 1516011080

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya pada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Serta tak lupa pula
saya ucapkan terimakasih pada dosen yang membimbing dan mengarahkan saya
dalam pembuatan makalah ini yang berjudul PERENCANAAN SOSIAL DALAM
MENGENTASKAN KEMISKINAN.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk,
maupun pedoman bagi pembaca dalam menambah ilmu serta wawasan. Makalah ini
saya akui masih banyak kekurangan, oleh karena itu saya harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, Juli 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB 1, PENDAHULUAN ............................................................................. 1


1.1. Latar belakang ..................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan ................................................................................. 1

BAB 2, PEMBAHASAN ................................................................................ 2


2.1. Definisi Kemiskinan............................................................................ 2
2.2. Kategori Kemiskinan .......................................................................... 2
2.3. Wujud Kemiskinan.............................................................................. 4
2.4. Definisi Perencanaan ........................................................................... 5
2.5. Model Perencanaan ............................................................................. 7
2.6. Batas-batas Perencanaan .................................................................... 8
2.7. Keterkaitan Perencanaan Sosial, Pembangunan dan Kemiskinan ...... 9
2.8. Pengumpulan dan Analisis Data Kemiskinan ..................................... 10
2.9. Strategi dan Alternatif Pengentasan Kemiskinan ................................ 10

BAB 3, PENUTUP.......................................................................................... 13
3.1. Kesimpulan ......................................................................................... 13
3.2. Saran .................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kemiskinan dimanapun selalu menjadi sebuah problema, yang ironisnya sering
terlupakan oleh banyak pihak. Padahal perlu disadari bahwa untuk menjadi bangsa yang
maju dan berkualitas serta mandiri dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia akan
terhambat dengan adanya anggota masyarakat yang dihimpit oleh kemiskinan.
Tantangan untuk menanggulangi kemiskinan dan sekaligus memeratakan pembangunan
dan hasil-hasilnya maka harus ada upaya untuk menciptakan sebuah perencanaan untuk
masyarakat yang tertuang dalam program-program pemerintah. Tentu saja program ini
sangat berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi negara. Berbagai perencanaan tersebut
dituangkan ke dalam program pembangunan sektoral, regional dan khusus. Program
pembangunan sektoral dimaksudkan untuk menyediakan kebutuhan pokok serta saran dan
prasarana yang memadai yang menjangkau lapisan-lapisan masyarakat miskin. Program-
program pembangunan ini didukung sepenuhnya dalam program pembangunan regional.
Selain menyediakan kebutuhan dasarnya, penduduk miskin didorong untuk mengentaskan
dirinya sendiri dari kemiskinan. Semua hal diatas tidak akan tercapai tanpa sebuah
perencanaan sosial yang matang dan melewati prosedur-prosedur perencanaan yang benar.
Hal ini berarti mencakup keinginan, aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat miskin.
Makalah singkat ini berusaha untuk menjabarkan fungsi perencanaan sosial dalam strategi
pengentasan kemiskinan, dimulai dari penjelasan tentang kemiskinan, perencanaan sosial itu
sendiri sampai dengan kaitan perencanaan sosial dan kemiskinan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah ruang lingkup permasalahan perencanaan sosial dalam masalah
kemiskinan?

2. Apa saja contoh kasus perencanaan sosial yang berkaitan dengan kemiskinan ?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :

1. Untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Dasar- dasar Perencanaan Sosial.

2. Untuk mengetahui cara mengentaskan kemiskinan.

1
BAB 2
PEMBAHASAN

KEMISKINAN
2.1. Definisi Kemiskinan
Kemiskinan atau poverty oleh Soerjono Soekanto secara umum diartikan sebagai suatu
kondisi dimana penghasilan tidak sesuai dengan kebutuhan dasar minimal, dalam arti tidak
dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia.
C.T Kurien dalam bukunya Poverty, Planning and Social Transformationmemandang
kemiskinan sebagai the socio-economic phenomenon whereby the resources available to a
society are used to satisfy the wants of the few while the many do not have even their basic
needs met, kemiskinan adalah fenomena sosial ekonomi dimana sumber daya-sumber daya
yang tersedia untuk sebuah masyarakat digunakan untuk memuaskan keinginan sebagian
kecil orang sedangkan sebagian besar yang lain bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya. Konseptualisasi ini menggambarkan sebuah pandangan bahwa kemiskinan pada
dasarnya merupakan fenomena sosial dan secara sekunder merupakan fenomena material
atau fisik.
Dalam bidang ekonomi politik, kemiskinan is seen as a consequence of processes which
concentrate wealth and power, yaitu dipandang sebagai konsekuensi proses-proses
terkonsentrasinya kesejahteraan dan kekuasaan.
Bidang ekologi fisik menginterpretasikan kemiskinan lebih dari hal-hal yang menyangkut
fisik, yang terlihat, teknis dan statistik. Dua hal yang menyebabkan kemiskinan
adalah population growth and pressures on resources and the environment, yaitu
pertumbuhan penduduk dan tekanan pada sumber daya alam dan lingkungan. Ciri-ciri
kemiskinan adalah sebagai berikut:
Akibat besarnya ledakan penduduk maka lahan semakin langka, dimana lahan dibagi-bagi
dengan anak-anaknya sehingga mereka lebih miskin daripada orangtua mereka. Akibat
tenaga kerja banyak maka upah menjadi murah.
Karakteristik-karakteristik seperti penyakit, malnutrisi, kondisi yang tidak sanitair, rumah
yang tidak memadai, dan lain-lain.

2.2. Kategori Kemiskinan


Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran
dan keterbelakangan yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin
umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada kegiatan ekonomi
sehingga semakin tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih
tinggi. Keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan, dan pada dasarnya
dapat dibedakan dalam kemiskinan absolut dankemiskinan relatif. Sedangkan
dari penyebabnya kemiskinan dapat dibedakan dalam tiga pengertian, yaitu kemiskinan
natural (alamiah), kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Dengan sendirinya dapat
dipilih cara analisis yang lain, karena masalah kemiskinan bersifat multidimensional dan
dapat dilihat dari berbagai sudut.
Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatan dibawah garis
kemiskinan atau lebih jelasnya jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi

2
kebutuhan hidup minimum, yang digambarkan dengan garis kemiskinan tersebut. Kebutuhan
hidup minimum ini antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan,
perumahan dan pendidikan, yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kemiskinan absolut umumnya disandingkan dengan kemiskinan relatif. Kemiskinan
relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan
sudah diatas garis kemiskinan sehingga tidak termasuk miskin, tetapi masih lebih miskin
dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Dengan ukuran pendapatan, maka keadaan
ini dikenal dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Ketimpangan ini dapat
mencerminkan pula ketimpangan antar golongan penduduk, antar sektor kegiatan ekonomi
maupun ketimpangan antar daerah.
Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan karena dari asalnya memang miskin.
Kelompok masyarakat ini miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik
sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya pembangunan lainnya,
sehingga mereka tidak dapat ikut secara aktif dalam pembangunan atau kalaupun ikut serta
dalam pembangunan mereka mendapatkan imbalan pendapatan yang amat rendah.
Kemiskinan natural ada dalam setiap negara yang mulai membangun. Pembangunan yang
direncanakan melalui bermacam-macam program dan kebijaksanaan, ditujukan untuk
menghilangkan keadaan kemiskinan natural ini. Namun keadaan pemilikan sumber daya
yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang, dan ketidaksamaan
kesempatan dalam menghasilkan akan menyebabkan keikutsertaan dalam pembangunan
tidak merata pula. Ketimpangan ini pada gilirannya menyebabkan perolehan pendapatan
yang tidak seimbang, dan kemudian menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.
Perbedaan struktur masyarakat yang telah ikut serta dalam proses pembangunan dengan yang
masih tertinggal menyebabkan keadaan kemiskinan. Keadaan kemiskinan, baik absolut
maupun relatif, semacam ini dikenal dengan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural
ini juga dikenal dengan kemiskinan yang disebabkan hasil pembangunan yang belum
seimbang.
Sedangkan kemiskinan kultural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang
disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya, mereka sudah merasa
kecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak mudah untuk
diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mudah melakukan perubahan, menolak
mengikuti perkembangan, dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya
sehingga menyebabkan pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang umum dipakai.
Dengan ukuran absolut, misalnya tingkat pendapatan minimum, mereka dapat dikatakan
miskin, tetapi mereka tidak merasa miskin dan tidak mau disebut miskin. Dalam keadaan
semacam ini bermacam tolak ukur kebijaksanaan pemabungan tidak dengan mudah
menjangkau mereka.
Dengan memperhatikan hakekat kemiskinan seperti terurai diatas maka diperlukan
berbagai langkah kebijaksanaan untuk mengatasinya sesuai dengan sifat kemiskinan dan
penyebabnya. Langkah-langkah kebijaksanaan itu untuk efektifnya harus terpadu dan
mengikutsertakan semua pihak.
Secara teoritis ada beberapa konsep untuk mengukur suatu kemiskinan antara lain (a)
ukuran absolut dan (b) ukuran relatif. Ukuran absolut seperti yang dilakukan oleh BPS dan
Bangdes yaitu pengeluaran setara beras per kapita; sedangkan ukuran relatif seperti yang
dilakukan IPB dan BPS.
Penentuan Kemiskinan Absolut: Garis Kemiskinan Pengukuran kemiskinan secara

3
absolut dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain dengan onsep garis kemiskinan
Sayogyo dan yang dikeluarkan oleh BPS. Pada konsep Sayogyo, dinyatakan bahwa untuk
pedesaan kelompok masyarakat dikatakan miskin bila pengeluarannya kurang dari 320 kg
per kapita per tahun setara beras; miskin sekali jika pengeluaran tersebut kurang dari 240 kg
per kapita per tahun; dan paling miskin bila kurang dari 180 kg per kapita per tahun.
Sedangkan untuk perkotaan, masing-masing kriteria tersebut memiliki tolok ukur 480, 360,
dan 270 kg per kapita per tahun.
Data yang digunakan pada umumnya adalah data pengeluaran konsumsi atau data
pendapatan yang dikumpulkan oleh BPS. Hasil perhitungannya ternyata menunjukkan
adanya perbedaan-perbedaan dari berbagai pihak yang pernah melakukan penghitungan
tersebut. Hal ini disebabkan beragamnya cara dan data yang dipergunakan, demikian juga
cara perapihan data sebelum dipakai untuk perhitungan sangat mempengaruhi angka-angka
yang dihasilkan.
Sampai saat ini masih terjadi ketidaksamaan mengenai batas kemiskinan absolut ini.
Sayogyo mengajukan batas kemiskinan dengan standar setara berasnya, World Bank dengan
standar dolarnya. ILO (International Labour Organization) dengan standar Basic Needs dan
Oshima dengan Threshold Analysis. Menurut Sigit, sebenarnya pencarian tingkat pendapatan
minimum (minimum level of income) bukanlah tujuan terpenting dalam penentuan tingkat
kemiskinan. Yang penting untuk diperhatikan adalah pemakaian kriteria dan penyesuaian
nilainya dengan tingkat perubahan harga-harga. Jika dolar dipakai standar, misalnya, jumlah
dolar tersebutharus disesuaikan dengan perubahan harga barang-barang. Sedangkan jika
beras dipakai standar, harus disesuaikan dengan perubahan tingkat harga relatif beras
terhadap barang konsumsi lainnya.
Garis kemiskinan juga pernah dihitung dengan menggunakan kriteria setara kalori beras
oleh Sayogyo. Berbagai jenis bahan konsumsi pangan di Indonesia juga dikonversikan
kedalam bentuk nilai kalori untuk keperluan tersebut.

Penentuan Kemiskinan Relatif: Gini Rasio


Gini rasio adalah salah satu metode untuk melihat ketidakmerataan pendapatan.
Sebenarnya membaca angka Koefisien Gini membutuhkan pengetahuan bagaimana angka
tersebut diperoleh, misalnya unit kalkulasi, apakah individu atau rumahtangga menyebabkan
angka Gini berbeda.
Pengukuran ketidakmerataan pendapatan dapat dibagi atas dua pendekatan, yaitu: (a)
pengukuran yang dilakukan pada suatu waktu tertentu untuk mengetahui ketimpangan
pendapatan antar wilayah; dan (b) pengukuran yang bersifat inter-temporal atau antar waktu,
yang bermanfaat untuk melihat ke arah mana terjadinya perubahan distribusi pendapatan
pada wilayah tertentu. Metode ini tampaknya baik untuk digunakan pada pendekatan survei
kemiskinan yang mengambil sampel relatif terbatas. Bila terdapat data hanya pada satu
waktu, ketidakmerataan pendapatan antar wilayah, baik kabuoaten atau kecamatan dapat
dianalisis dengan pengukuran yang pertama, sedangkan pengukuran yang kedua dapat
dilakukan apabila tersedia data setidaknya pada dua kurun waktu yang berbeda. Selain itu,
bisa juga dihitungdengan Indeks Kuznet, Oshima Indeks of Decline Inequality, dan Theil
Decomposition Index.

2.3. Wujud Kemiskinan


Dalam usaha mengenali wujud dari kemiskinan yang nyata perlu dipahami adanya

4
penduduk miskin dan desa miskin. Penduduk miskin diukur atas dasar garis kemiskinan dan
desa miskin ditentukan berdasarkan potensi wilayah. Penduduk miskin umumnya erat
kaitannya dengan wilayah miskin. Wilayah dengan potensi daerah yang miskin umumnya
menyebabkan penduduknya miskin. Dengan demikian pengembangan desa miskin yang
dikategorikan tertinggal diharapkan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin.
Dalam pada itu, tingkat pendidikan yang rendah, jumlah anggota rumah tangga yang
besar, sumber penghasilan utama dari kegiatan pertanian dan kegiatan ekonomi informal
yang memberikan penghasilan tidak tetap merupakan ciri penduduk miskin. Pendudukan
miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada kegiatan
ekonomi sehingga semakin tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi
lebih tinggi. Penduduk miskin tidak mempunyai pendapatan yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan hidup minimum seperti kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan
pendidikan yang diperlukan untuk dapat hidup dan bekerja dengan layak.
Sementara itu desa miskin dicirikan oleh dengan adanya potensi sumber daya alam yang
terbatas, mutu sumber daya manusia yang rendah, fasilitas perumahan dan lingkungan yang
tidak memadai, prasarana dan sarana pelayanan dasar yang tidak lengkap, serta kelembagaan
sosial ekonomi yang belum berkembang. Desa miskin tidak memberikan sumber
penghidupan yang memadai kepada penduduk yang tinggal di dalamnya.
Dengan mengenali wujud nyata dan memahami kriteria penentuan kemiskinan,
selanjutnya kita dapat menelusuri sumber penyebabnya. Kepemilikan sumberdaya yang tidak
merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang, dan ketidaksamaan kesempatan dalam
menghasilkan akan menyebabkan keikutsertaan dalam pembangunan tidak merata pula. Ini
semua pada gilirannya menyebabkan perolehan pendapatannya yang tidak seimbang, dan
kemudian menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Kemiskinan struktural ini perlu
ditangani secara menyeluruh, seksama dan bertahap agar tidak menjurus pada kecemburuan
dan gejolak sosial yang dapat mengganggu kelancaran dan kesinambungan pembangunan.
Masalah kemiskinan yang juga harus ditanggulangi melalui upaya pembangunan adalah
kemiskinan kultural yang menyangkut sikap dan mental kelompok masyarakat tertentu
karena gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya yang tidak mudah untuk diajak
berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mudah berusaha perubahan, menolak mengikuti
perkembangan, dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Dalam
negara yang sedang membangun seringkali justru ini yang menjadi beban yang tidak mudah
diselesaikan.

PERENCANAAN SOSIAL
2.4. Definisi Perencanaan
Terdapat bermacam-macam definisi tentang perencanaan, hal ini disebabkan karena
istilah ini dipergunakan untuk menyebut bermacam-macam proses. Pada pengertian yang
umum, perencanaan diartikan sebagai: Planning is generally regarded as a method for
delineating goals and ways of achieving them atau perencanaan pada umumnya dipandang
sebagai suatu metoda untuk menggariskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk
mencapainya. Soerjono Soekanto dalam kamus sosiologi mendefinisikan social
planning sebagai perencanaan tujuan-tujuan yang ingin dicapai masyarakat.
Dror mengungkapkan sebuah definisi perencanaan yang dibuat oleh pemerintah dalam

5
bidang yang agak luas: Planning is the process of preparing a set of decisions for action in
the future, directed at achieving goals by optimal mean, yaitu perencanaan adalah proses
dalam menyiapkan seperangkat keputusan mengenai tindakan di kemudian hari, yang
ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan menggunakan cara-cara yang optimal.

Definisi Dror tersebut mengandung 7 unsur:

1. Dengan perencanaan adalah proses yang dimaksud adalah, bahwa ada kegiatan yang
berjalan terus menerus untuk mencapai keputusan-keputusan tertentu. Di dalam proses
seperti itu dengan sendirinya nampak ada tahap-tahap.

2. Menyiapkankeputusan mengandung arti, bahwa biasanya instansi yang merencanakan


dan instansi yang melaksanakan itu berbeda. Kalau tidak seperti itu, setidak-tidaknya
kegiatan-kegiatan itu berbeda.

3. Seperangkat keputusan menunjuk kenyataan bahwa perencanaan itu mengenai


bermacam-macam keputusan tentang kegiatan yang berbeda-beda, yang satu sama lain ada
kaitannya.

4. Perencanaan itu bertujuan untuk menetapkan keputusan mengenai tindakan. Yang


menjadi tujuan ialah kegiatan untuk mencapai tujuan dan bukan misalnya untuk mencapai
pengetahuan itu sendiri.

5. Anasir di kemudian hari menunjukkan bahwa masalahnya mengenai hal-hal yang masih
harus dicapai. Jadi masih ada ketidaktentuan tentang kemungkinan dan cara-caranya untuk
mencapai tujuan-tujuan itu.

6. Perencanaan itu ditujukan untuk mencapai tujuan. Jadi tujuan itu sudah harus ada dan
harus ditetapkan, agar kegiatan-kegiatan dapat direncanakan.

7. Adapun anasir cara-cara yang optimal itu merupakan anasir yang sangat esensial dalam
perencanaan. Ini mengandung makna, bahwa cara-cara itu harus diseleksi secara rasional,
agar tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai sebaik-baiknya. Disini orang harus berusaha
menggunakan pengetahuan yang maksimum dengan biaya yang minimum.

International Encyclopedia of the Social Sciences (1968) menyatakan perencanaan sosial


sebagai:
Social planning involves the drawing up of plans for future action in regard to social
institution and resources atau Perencanaan Sosial itu meliputi penetapan rencana-rencana
untuk kegiatan yang akan datang yang berhubungan dengan lembaga-lembaga dan sumber-
sumber sosial.
Penjabaran diatas memberikan perhatian khusus kepada situasi dan kemungkinan-
kemungkinan yang ada di dalam masyarakat, dimana proses perencanaan itu terjadi. Dalam
definisi ini sebuah societal planning merupakan perencanaan masyarakat, yang berarti bahwa
perencanaan ekonomi termasuk di dalamnya,menjadi sebuah aspek atau bagian dari
perencanaan seluruhnya. Perencaaan sosial juga digunakan dalam arti sempit sebagai welfare
planning atau perencanaan kesejahteraan.

6
2.5. Model Perencanaan
Perencanaan Model Multidimensional merupakan sebuah ide yang diluncurkan oleh Van
Dusseldorp tentang perencanaan dari pemerintah. Yang dilihatnya sebagai jenis-jenis
dimensi adalah tingkat, sektor, faset dan akhirnya tahap. Tingkat-tingkat dan sektor
perencanaan pemerintah sudah disebut-sebut sebagai tipe pendahuluan. Yang dimaksud
dengan faset adalah aspek-aspek sosial, ekonomi dan fisik, yang berkaitan dengan setiap
perencanaan. Yang dimaksud dengan model adalah suatu sistem yang dinyatakan dengan
pengertian-pengertian, yang dengan bermacam-macam cara merupakan penyederhanaan dan
pembatasan dari sistem yang dinyatakan dengan model itu. Penyederhanaan dan pembatasan
itu mengenai gejal-gejala dan hubungan dianatara gejala-gejala itu, sehingga gejala-gejala itu
dan hubungan-hubungan itu didalam model dapat digambar secara lebih teliti. Pengetahuan
yang diperoleh secara demikian dapat memberi pengertian lebih baik tentang proses-proses
yang terjadi di dalam suatu sistem yang kompleks.
Ada bermacam-macam model untuk proses perencanaan. Disini hanya akan
diketengahkan sebuah model saja, di mana diusahakan untuk menyeleksi tahap-tahap yang
paling esensial dari bermcam-macam model itu.
Model tahap-tahap perencanaan:

1. Pembahasan dan penjelasan situasi ideal yang hendak dicapai dalam jangka panjang:
tujuan. Dalam hal ini merupakan tujuan jangka panjang/tujuan global/tujuan yang
ideal/tujuan umum. Penentuan tujuanini melalui bidang-bidang atau orang-orang yang
menjadi pimpinan.

2. Penyalinan tujuan-tujuan itu menjadi sasaran-sasaran yang kongkret untuk masa


perencanaan tertentu disertai dengan urutan prioritas. Sehingga tujuan umum no.1 dijabarkan
menjadi tujuan spesifik/khusus.

3. Pengumpulan data dan analisa situasi.

4. Evaluasi dan pembahasan dan pembaharuan formulasi serta penetapan tujuan dan sasaran,
disertai urutan prioritas. Pada tahap ini juga dibahas hasil analisis no.3 dan diformulasikan,
tahap ini merupakan tahap yang sulit karena melibatkan banyak pihak untuk merumuskan
masalah.

5. Mencari sarana yang tersedia misalnya menyusun alternatif-alternatif acara kegiatan untuk
mencapai sasaran yang sudah ditentukan. Dicari pula potensi-potensi yang dapat mendukung
kegiatan.

6. Meneliti dan menilai bermacam-macam alternatif yang ada dan memilih alternatif yang
optimal. Tahap ini rumit sebab harus melaui musyawarah berbagai pihak. Namun pada
prinsipnya harus berpegang pada efisiensi dan rasionalitas.

7. Mempelajari lebih mendalam lagi alternatif yang dipilih dengan menggunakan data
tambahan.

8. penjabaran alternatif yang dipilih menjadi acara kegiatan yanglebih mendetil dengan
pengintegrasian yang lebih besar: penyusunan rencana. Antara lain penentuan waktu, tempat,

7
alat, bahan, sasaran, siapa pelaksananya, cara-cara yang akan digunakan, biaya, evaluasi
yang akan diterapkan.

9. Pembicaraan dan perundingan mengenai penetapan rencana; mungkin perbaikan rencana.


Hal ini dilakukan dengan pihak-pihak yang bersangkutan.

10. Penggunaan penasehat untuk pelaksanaan rencana, mungkin perbaikan rencana.


Pendamping penasehat ini bisa jadi konsultan, orang yang berpotensi, fasilitator yang dipilih
secara bottom up.

11. Evaluasi pelaksanaan rencana dan hasil yang dicapai. Evaluasi bisa dilakukan pada awal,
proses dan akhir kegiatan. Hal ini bertujuan untuk mencegah kesalahan yang berlarut-larut.

12. Persiapan rangkaian perencanaan baru.

2.6. Batas-batas Perencanaan


Bauman, seorang perencana Polandia mengemukakan pandangan-pandangannya tentang
batas-batas dari perencanaan yang sempurna. Ia menyebutkan beberapa persyaratan
fungsional untuk perencanaan yang sempurna. Dengan menyebutkan danmenjabarkannya,
orang dapat lebih jelas menyadari di mana letak batas-batas kemungkinan perencanaan itu.
Bagi setiap negara batas-batas tersebut berbeda-beda letaknya, tergantung kepada sistem
politik, tingkat kemajuan rakyat, situasi sosio-budaya dan sebagainya. Syarat-syarat itu
adalah:

1. Harus ada kemungkinan untuk menguasai sepenuhnya sarana produksi, khususnya bahan
mentah. In berarti bahwa negara yang bersangkutan itu harus swasembada sama sekali.
Semua negara bergantung kepada luar negeri untuk sebagian bahan mentah yang
diperlukannya dan banyak negara juga untuk sebagian kapitalnya. Ini menyebabkan
ketidaktentuan. Kecuali ituswasembada itu harus disertai kemungkinan untuk menguasai dan
menggunakan sarana produksi itu secara leluasa. Didalam suatu negara di mana ada
perusahaan-perusahaan swasta, ini terang tidak mungkin. Didalam negara sosialis batas-batas
itu pada manusia sebagai faktor produksi dan pada perubahan alam yang tidak dapat
diramalkan.

2. Harus ada data lengkap yang relevan. Disini yang menjadi batas adalah biaya, tetapi juga
ada masalah pengumpulan informasi. Dalam perencanaan itu misalnya, harus diperhatikan
keperluan individu didalam masyarakat dan perubahan-perubahan keperluan itu. Untuk
mencatat kebutuhan itu saja sudah sukar sekali dan yang lebih sukar lagi untuk mengetahui
perubahan-perubahannya.

3. Perencanaan itu berangkat dari anggapan, bahwa pada si perencana ada pemikiran rasional
yang sempurna. Perencana diharapkan seratus persen obyektif, kompeten sepenuhnya dan
harus mampu memahami realita yang kompleks.

4. Harus ada homogenitas sosial. Rencana itu harus menguntungkan semua orang secara
merata. Nyatanya, juga didalam negara sosialis, selalu ada kepentingan-kepentingan yang
berlawanan. Ini berarti bahwa tidak pernah mungkin untuk memenuhi kebutuhan semua
orang secara maksimal. Pertama-tama ada perlawanan antara kebutuhan yang sekarang ada
dan yang kaan timbul kemudian. Jadi perlawanan antara investasi dan konsumsi. Itu

8
biasanya juga merupakan perlawanan antara generasi yang satu dengan generasi berikutnya.
Kedua, adaperlawanan antara tindakan-tindakan yang sifatnya kolektif dan konsumsi
individual. Ketiga, ada perlawanan antara diferensiasi pendapatan-dengan motif atau fungsi
yang penting: rangsangan untuk usaha-dan keseragaman pendapatan sebagai cita-cita sama
rata-sama rasa. Akhirnya ada masalah, bahwa untuk mengadakan perencanaan yang baik
perlu adanya kebebasan sebesar mungkin untuk mengungkapkan kebutuhan, akan tetapi itu
merupakan hambatan lagi untuk pelaksanaan rencana.

5. Perencanaan yang sempurna harus disertai pengawasan secara hirarki yang sempurna
mengenai perencanaan dan pelaksanaannya. Dalam masyarakat yang kompleks itu tidak
mungkin. Melalui perencanaan pemerintah model multidimensional hal ini sudah dapat
disadari. Lebih-lebih lagi apabila organisasi-organisasi swasta juga ikut memegang peranan.

PERENCANAAN SOSIAL SEBAGAI STRATEGI DALAM PENANGGULANGAN


KEMISKINAN

2.7. Keterkaitan Perencanaan Sosial, Pembangunan dan Kemiskinan


Tujuan Umum
Sebagai salah satu hambatan dan juga merupakan akibat perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masyarakat, penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari pembangunan.
Tujuan umum dari penanggulangan kemiskinan dapat disamakan dengan tujuan inti dari
pembangunan itu sendiri karena keduanya bertujuan untuk memperbaiki kehidupan. Hal ini
disebabkan karena pembangunan merupakan sebuah kenyataan fisik sekaligus tekad suatu
masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin-melalui serangkaian kombinasi proses sosial,
ekonomi dan institusional- demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Apapun
komponen spesifik atas kehidupan yang serba lebih baik itu, proses pembangunan harus
memiliki tiga tujuan inti:

1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kehidupan


hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan.

2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga
meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta
peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak
hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan jati diri
pribadi dan bangsa.

3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara
keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan
ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara-bangsa lain, namun juga terhadap
setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

Tujuan Khusus
Tujuan khusus harus dirumuskan dari tujuan umum yang sudah ditetapkan serta berasal
dari masalah-masalah yang umum terjadi sebagai faktor penyebab kemiskinan. Masalah-
masalah tersebut berkaitan erat dengan angkatan kerja yang menganggur dan lingkungan
kemiskinan. Sehingga tujuan khusus untuk menghilangkan angkatan kerja yang menganggur
ditujukan misalnya pada pemberian lapangan kerja, peningkatan keterampilan dan

9
peningkatan pendidikan. Sedangkan pada lingkungan kemiskinan misalnya dengan cara
memberikan kesadaran dan menghilangkan budaya kemiskinan akibat kemiskinan yang
terjadi secara turun temurun.

2.8. Pengumpulan dan Analisis Data Kemiskinan


Pembangunan dalam bidang sosial memerlukan data tentang perkembangan masyarakat
pada tahap suatu rencana ingin diwujudkan. Selain itu, diperlukan pula data yang seteliti
mungkin untuk memungkinkan pembuatan suatu perencanaan yang sungguh-sungguh dan
relevan dan cocok untuk daerah yang bersangkutan.
Data yang digunakan untuk analisis kemiskinan berakar dari data yang tersedia baik pada
tingkat desa maupun kecamatan. Dengan demikian ketersediaan data merupakan faktor
kritikal dalam analisis keragaan suatu wilayah, baik tingkat desa, kecamatan, maupun tingkat
yang lebih tinggi. Untuk melakukan pembenahan terhadap kelengkapan dan validitas data
keragaan wilayah dan untuk memperbaiki keragaan data dasar (database) desa paling tidak
diperlukan empat unsur utama:

1. ketersediaan petugas pencacah data

2. metode pengukuran dan analisis data

3. keterpaduan data (integrated data)

4. waktu pengumpulan data

2.9. Strategi dan Alternatif Pengentasan Kemiskinan


Hume dan Turner (1990) menyatakan bahwa kebijakan industri dan agrikultur harus
meningkatkan output, meningkatkan income dan menciptakan kesempatan-kesempatan
pekerjaan baru; pertambahan penduduk yang lebih lambat harus menurunkan rasio
ketergantungan, memungkinkan campur tangan pemerintah, meningkatkan pelayanan dan
mengurangi pengangguran; kebijakan pendidikan harus menghasilkan angkatan kerja yang
lebih produktif, lebih baik mengurus keluarga; dan kebijakan lingkungan harus membantu
menjamin bahwa pencapaian pembangunan berkesinambungan dan mengurangi
konsekuensi-konsekuensi negatif.
Kemiskinan dapat ditanggulangi dengan menggunakan beberapa pendekatan yang dapat
digunakan sebagai acuan alternatif-alternatif dalam upaya mewujudkan pemerataan.
Pendekatan-pendekatan tersebut dinyatakan oleh James H. Weaver dalam tulisannya yang
berjudul Growth and Equity: Can They be Happy Together (Susanto, 1995):

1. Sistem Employment Generation, yang mengutamakan pencetakan kesempatan kerja baru


dalam rangka kerja sama dengan pihak swasta. Karena kemampuan keonomi yang terbatas
mereka sukar bersaing dengan sektor formal. Dengan demikian berdasarkan saran
dari ILO dipusatkan perhatian pada bantuan modal untuk golongan ekonomi lemah tetapi
mempunyai kemampuan, sehingga akan tercetaklah lebih banyak lagi kesempatan kerja.
Dalam hubungan ini terutama daerah pedesaan dilihat sebagai sumber angkatan kerja dalam
bidang pertanian sendiri.

2. Teori dari Bank Dunia dan terutama Chenery yang memang mirip dengan teori pertama,
yaitu tetap meningkatkan kemampuan masyarakat melalui peningkatan kemampuan modal

10
terutama untuk golongan ekonomi lemah. Fokus perhatian ialah pengalihan titik berat dari
penanaman modal dalam proyek besar dan tersentralisasi, ke onvestasi secara langsung dan
tidak langsung untuk mesyarakat dalam hal peningkatan pendidikan, fasilitas kesehatan,
kredit dan lain-lain. Dengan perkataan lain, perbaikan situasi praproduksi akan
meningkatkan kemampuan berproduksi oleh pihak golongan ekonomi lemah.

3. Memenuhi kebutuhan dasar sebagai mana dianjurkan oleh Mahbub Ul Haq dari Bank
Dunia bersama James Grant dari Overseas Development Council. Pendekatan ini juga
menitikberatkan pendidikan dan pelayanan sosial lainnya, seperti pelayanan kesehatan dan
lain-lain. Tujuan utama ialah memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih/sehat,
sandang, pelayanan kesehatan bahkan partisipasi dalam pengambilan keputusan apabila
menyangkut dirinya. Unsur-unsur yang disebut tadi berkaitan satu sama lain.

Pengembanagn sumber manusia yang lebih mementingkan unsur penilaian manusia sebagai
sumber manusiawi untuk meningkatkan kemampuan fisik dan nonfisik mereka. Untuk itu
perlu dilakukan redistribusi aset/kekayaan produksi dengan mengambil contoh Jepang,
Taiwan dan Korea. Pemikiran ini antara lain didasarkan pada hsail penelitian Irma
Adelman bahwa pembangunan di berbagai negara berkembang ternyata tidak terlalu berhasil
dalam mengangkat keadaan dari 40-60% penduduk negaranya. Dalam pemikiran
pengembangan sumber manusiawi antara lain terdapat pula pemikiran, bahwa perkembangan
perlu diarahkan pada industrialisasi, mengingat bahwa industrialisasi akan memberi
kesempatan kerja yang lebih banyak dan kesempatan pendapatan bagi masyarakat. Praktis
dapat dikatakan bahwa pemikiran ini melihat antara lain daerah pedesaan sebagai sumber
tenaga kerja untuk industrialisasi sebagai jalan utama mengakhiri kemiskinan tadi.

4. Pendekatan John Mellor yang melihat unsur pemerataan dari segi pemilikan tanah,
terutama untuk daerah pedesaan. Bidang agraria mempunyai dua pokok utama yaitu:
mengahsilkan bahan pangan dengan harga stabil dan dengan jalan ini meningkatkan
pendapatan tingakt pedesaan. Mengingat bahwa terbanyak penduduk tinggal di daerah
pedesaan, maka yang perlu dikembangkan ialah sektor pertanian sehingga terjadi
peningkatan pendapatan dalam arti adanya uang tunai untuk petani. Selanjutnya di desa
dikembangkan suatu industri ringan melalui kegiatan pemrosesan bahan-bahan konsumsi
setempat, sehingga secara mental masyarakat dibina untuk mengembangkan wilayahnya dan
teratasi pula kesenjangan antara desa dan kota.

Dalam usaha lebih lanjut untuk memecahkan masalah kemiskinan di dunia, dikembangkan
teori Membangun Sistem Baru Ekonomi Dunia yang sebagaimana diketahui sampai kini
belum mencapai jalan keluarnya yang jelas, walaupun suatu kongres di Berlin Barat baru-
baru ini telah muali merumuskan langkah-langkah bagaimana para wiraswastawan negara
berembang, demi tercapainya kondisi sebagaimana diharapkan dunia untuk masa mendatang.

Michael Todaro (1997) dalam bukunya Economic Development in the Third


Worldmenitikberatkan penanggulangan kemiskinan sekurang-kurangnya dengan tiga jenis
jaminan, yaitu:

1. Jaminan akan masa depan yang baik (life sustenance)

2. Jaminan akan kebebasan (freedom), dan

11
3. Peningkatan Harga Diri (Self-esteem).

Selain itu, A.T Mosher dalam Long (1980) mengidentifikasikan 5 essentials dan 5
accelerators dalam pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Lima hal esensial yang merupakan syarat wajib tersebut adalah:

1. transportation (transportasi)

2. markets of products (pemasaran produk)

3. new farm technology (teknologi baru)

4. availability of purchasable inputs (ketersediaan input), dan

5. incentives (insentif)

Sedangkan 5 hal akselerator, yaitu yang dapat mempercepat pembangunan tetapi tidak wajib
ada adalah:

1. education (pendidikan)

2. production credit (kredit produksi)

3. farmer associations (kelompok tani)

4. an improving or expanding land base (pendayagunaan lahan), dan

5. planning (perencanaan)

Ada pula kebijaksanaan pembangunan yang hasilnya diukur melalui GNP sebuah negara
yang mengharapkan trickle down effect sebagai hasil strateginya. Pembangunan dengan
orientasi GNP kemudian didiagnosa oleh Chenery dkk., dimana hal-hal yang timbul akibat
strategi pertumbuhan yang GNP Oriented tersebut ternyata tidak memberi pemecahan
terhadap masalah kemiskinan tapi memperlebar kesenjangan antara kaya dan miskin.
Reorientasi kebijaksanaan tersebut bagi Chenery dkk hany akan memberi reorientasi dalam
metode perencanaan, dimana tekanan penanggulangan terhadap kemiskinan tidak akan
berarti ditinggalkannya pertumbuhan sebagai tujuan perencanaan, reorientasi lebih diartikan
sebagai redistribution of benefits growth. Strategi yang disarankan Chenery terarah pada
perubahan pola growth dan distribusi yang ditujukan untuk mempercepat pertumbuhan
pendapatan golongan miskin.
Berdasarkan semua paparan diatas, jelaslah benang merah antara perencanaan sosial
sebagai bagian integral pembangunan dengan strategi pengentasan kemiskinan, dimana
perencanaan sosial dapat merumuskan langkah-langkah yang dapat diambil serta
memberikan alternatif-alternatif dalam upaya mengentas kemiskinan.

12
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah yang telah diuraikan di atas,
dapat disimpulkan sebagai berikut:

Masalah dasar pengentasan kemiskinan bermula dari sikap pemaknaan kita


terhadap kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan.
Dalam artian bahwa semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi maka kebutuhan pun akan semakin banyak. Pengentasan masalah
kemiskinan ini bukan hanya kewajiban dari pemerintah, melainkan masyarakat pun
harus menyadari bahwa penyakit sosial ini adalah tugas dan tanggung jawab bersama
pemerintah dan masyarakat. Ketika terjalin kerja sama yang romantis baik dari
pemerintah, nonpemerintah dan semua lini masyarakat. Dengan digalakkannya hal
ini, tidak perlu sampai 2030 kemiskinan akan mencapai hasil yang seminimal
mungkin.

3.2. SARAN

Dalam menghadapi kemiskinan di zaman global diperlukan usaha-usaha yang


lebih kreatif, inovatif, dan eksploratif. Selain itu, globalisasi membuka peluang untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat Indonesia yang unggul untuk lebih eksploratif.
Di dalam menghadapi zaman globalisasi ke depan mau tidak mau dengan
meningkatkan kualitas SDM dalam pengetahuan, wawasan, skill, mentalitas, dan
moralitas yang standarnya adalah standar global.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2003. P2KP: Proyek Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan. Malang.


Chambers, Robert. 1985. Rural Development: Putting The Last First. Longman Group Ltd. New York.
Hume, David and Turner, Mark.M. 1990. Sociology and Development, Theories, Policies and Practices.
Harvester Wheatsheap. New York.
Kartasasmita, Ginandjar. 1993. Kebijaksanaan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan. Fakultas Ilmu
Administrasi. Universitas Brawijaya. Malang.
Kusnadi. 2003. Catatan Kuliah Perencanaan Sosial. Program Pascasarjana P.S Sosiologi Pembangunan.
Universitas Brawijaya. Malang.
Long, Norman. 1980. An Introduction to the Sociology of Rural Development. Tavistock
Publications.England.
Rusli, Said. dkk. 1995. Metodologi Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin, Suatu Tinjauan dan Alternatif.
Penerbit PT Grasindo. Jakarta.
Schoorl, J.W. 1982. Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang.
Penerbit PT Gramedia. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. CV. Rajawali. Jakarta.
Soesanto, Astrid S. 1995. Sosiologi Pembangunan. Penerbit Binacipta. Jakarta.
Tjokroaminoto, Bintoro dan Mustopadidjaja. 1990. Teori dan Strategi Pembangunan Nasional. CV Haji
Masagung. Jakarta.
Todaro, Michael P. 1997. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid 1. Penerbit Erlangga. Jakarta.
-

14

Anda mungkin juga menyukai