Anda di halaman 1dari 18

Teori Soisologi Modern

“ERVING GOFFMAN : TEORI DRAMATURGI (Panggung


dan Perangkat Interaksi Sosial)”

Dosen Pengampu : Dr. ARGYO DEMARTOTO M.Si

Disusun oleh :
Bekti Cahyono Putro D0315012
Nabila Hafizha Rahma D0315044
Vebrianti Rahayu D0315060

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
lindungan dan bimbingan-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini
sebagai tugas mata kuliah Teori Sosiologi Modern pada Program Studi Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret.
Dengan terselesaikannya makalah yang berjudul, “Erving Goffman : Teori
Dramaturgi (Panggung dan Perangkat Interaksi Sosial)” maka perkenankan penyusun
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Argyo Demartoto, M.Si sebagai dosen
pengampu mata kuliah Teori Sosiologi Modern yang telah memberikan tugas ini dan
memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penyusun dalam proses penyelesaian makalah
ini.
Akhir kata, penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Karena itu, diharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna penyempurnaan
makalah ini.

Surakarta, Maret 2017

Penyusun
A. Biografi Erving Goffman

Goffman wafat tahun 1982 ketika berada di puncak ketenarannya. Ia sejak lama
dianggap sebagai tokoh “pujaan” dalamteori sosiologi. Status ini dicapai meski ia telah lama
menjadi profesor di jurusan sosiologi bergengsi di Universitas California, Berkeley dan
kemudian menjadi ketua di Liga Ivy, Universitas Pennsylvania.
Menjelang 1980-an ia tampil sebagai teoritisi yang sangat penting. Di tahun
kematiannya sebenarnya ia terpilih sebagai presiden The American Sociological Association,
tetapi tak memungkinkan menyampaikan pidato pengangkatannya karena ia tertimpa
penyakit. Berkenaan dengan status Goffman ini, Randall Collins dalam pidatonya mengatakan
: “Tiap orang ingin tahu apa yang akan dia sampaikan dalam pidato pelatikannya sebagai
presiden asosiasi sosiologi: prestasi tradisional langsung jelas tak mungkin disampaikan
Goffman berkenaan dengan reputasinya sebagai seorang yang menentang pemujaan lembaga-
lembaga sosial yang ada…kami menerima pesan yang lebih dramatis Pidato pelatikan
dibatalkan, Goffman meninggal. Itu adalah jalan keluar Goffmania yang tepat” (1986b:112).
Goffman lahir di Alberta, Canada, 11 Juni 1922 (Williams, 1986). Ia menerima gelar
doktornya dari Universitas Chicago dan sebagai teoritisi interaksionisme simbolik. Tetapi
ketika ia ditanya tak lama sebelum meninggal apakah ia seorang interaksionis simbolik, ia
menjawab bahwa nama itu terlalu samar untuk memungkinkannya menempatkan dirinya ke
dalam kategori itu (Manning, 1992). Kenyataannya, sulit memasukkan karyanya ke dalam
kategori tunggal manapun. Dalam menciptakan perspektif teoritisnya, Goffman menggunakan
berbagai sumber dan menciptakan sebuah orientasi khusus.
Collins (1986b; Williams, 1986) lebih menghubungkan Goffman kepada antropologi
sosial ketimbang kepada interaksionisme simbolik. Ketika belajar S1 di Universitas Toronto,
Goffman telah belajar dengan seorang antropolog dan ketika di Chicago, kontrak utamanya
bukanlah dengan teoritisi interaksionisme simbolik, tetapi dengan W.L. Wamer (antropolog),
(Collins, 1986b:109). Menurut Collins, hasil pemeriksaan atas kutipan dalam karya awal
Goffman menunjukkan bahwa ia dipengaruhi oleh antropolog-sosial dan jarang mengutip
pemikiran interaksionis simbolik dan bila ia menyinggung pemikiran interaksionisme
simbolik, hal itu adalah untuk mengkritik pemikiran tersebut. Namun, Goffman dipengaruhi
oleh studi deskriptif yang dihasilkan di Chicago dan menyatukan hasil studi deskriptif itu
dengan hasil studi antropologi sosial untuk menciptakan perspektif khususnya sendiri. Jadi,
pakar interansionis simbolik memperhatikan bagaimana cara aktor menciptakan atau
merembukkan citra diri mereka, sebaliknya Goffman memperhatikan bagimana cara
masyarakat… memaksa orang untuk menampilkan citra tertentu mengenai diri mereka
sendiri…karena masyarakat memaksa kita berpindah-pindah diantara berbagai peran yang
kompleks maka kita akan menjadi selalu agak tidak jujur, tak taat asas dan tidak hormat”
(Collins, 1986a:107).
Meski ia mempunyai perspektif khusus, Goffman berpengaruh besar terhadap
interaksionisme simbolik. Lagi pula, dapat dikatakan bahwa ia pun berperan dalam
membentuk etnometodologi, bagian lain dari sosiologi kehidupan sehari-hari. Collins melihat
Goffman sebagai tokoh kunci dalam pembentukan etnometodologi dan metode analisis
percakapan. “Goffmanlah yang memprakarsai studi empiris yang teliti tentang kehidupan
sehari-hari, walaupun ia melakukannya dengan mata telanjang sebelum ramainya pemakaian
tape-recorder dan video-recorder” (1986:111). (Lihat Bab 7 tentang diskusi hubungan antara
etnometodologi dan analisa percakapan). Sebenarnya, sejumlah pakar etnometodologi penting
(Sackes, Schegloff) semula sama-sama belajar dengan Garfinkel, pendiri etnometodologi.
Menurut penjelasan diatas dapat dilihat bahwa Erving Goffman sering digolongkan
ke dalam ahli teori yang sangat memperhatikan analisa interaksi manusia, karena Goffman
berlatar belakang Interasionisme Simbolik. Tetapi kritik-kritinya melihat karya-karyanya
sendiri sebagai teralalu menekankan bahwa yang menetukan tindakan manusia ialah situasi-
situasi yang memiliki struktur. Teori Goffman menganggap individu (bukan struktur yang
lebih besar)bsebagai satuan analisa. Akan tetapi, untuk mengembangkan model sosiolgisnya
Goffman tidak menggunakan suatu teori ilmiah lain. Untuk menjelaskan tindakan manusia
Goffman memakai analogi drama dan teater. Karena alasan inilah Goffman disebut sebagai
seorang dramaturgist, yang menggunakan bahasa dan tamsil panggung teater.
Mengingat pengaruhnya terhadap interaksionisme simbolik, strukturalisme dan
etnometodologi, teori Goffman mungkin akan tetap berpengaruh dalam jangka panjang.
B. Sosiolog-Sosiolog Terdahulu yang Mempengaruhi
Membaca gagasan Goffman sesungguhnya tidak lepas dari pekembangan Mazhab
Chicago yang selain memerikan konstribusi studi interaksi sosial pada sosiologi, juga pernah
mendominasi tradisi sosiologi Amerika. Bagaimanapun juga, pekerjaan sosiolog dari
Universitas Chicago muncul secara serentak dengan dukungan ilmuwan yang tidak sedikit.
Erving Goffman dikenal sebagai seorang interaksionis, pendekatan dramatruginya
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Mead, Blumer, dan Cooley. Adapun pemikiran para
sosiolog yang mempengaruhi Goffman ialah :
a. Pemikiran Cooley tentang sikap orang lain merupakan cermin bagi diri kita sendiri untuk
menilai objek dalam lingkungan sosial yang dimaksud disini adalah individu
membayangkan bagaimana penampilan diri di mata orang lain. Bagaimana penilaian
orang lain terhadap diri individu tersebut. Kemudian membayangkan perasaan diri
tentang penilaian orang lain tersebut, seperti haraga diri atau rasa malu.
Pengembangan diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh
gagasan Cooley tentang the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga
komponen. Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain; kedua,
kita membayangkan bagimana peniliaian mereka atas penampilan kita; ketiga, kita
mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat
membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam
pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan,
karakter teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh
olehnya.
b. Pemikiran Blumer mengenai diri merupakan sebuah proses, bukan benda. Diri membantu
manusia bertindak tak hanya sekedar memberikan tanggapan semata atas stimulus dari
luar.
c. Pemikiran George Herbert Mead tentang “I” dan “me”, yang memfokuskan
pandangannya pada The Self. Ketidaksesuaian antara diri manusiawi dan diri kita sebagai
hasil proses sosialisasi. Adanya perbedaan antara sikap spontan kita dengan diri kita yang
diharapkan orang lain. Misalnya, The Presentation of self in everyday life (1955),
merupakan pandangan Goffman yang menjelaskan mengenai proses dan makna dari apa
yang disebut sebagai interaksi (antar manusia). Dengan mengambil konsep mengenai
kesadaran diri dan The Self Mead, Goffman kembali memunculkan teori peran sebagai
dasar teori Dramaturgi. Goffman mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai
panggung sandiwara, lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh
individu sebagai aktor “kehidupan.”
Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Goffman bagi perluasan teori interaksi
simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban
individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam
bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat
hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa
pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku”
dengan “yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi
orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil
pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya”
yang berasal dari “aku.”
Pada pandangan Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaran-ajaran
Durkheim. Dan bagi Goffman, struktur sosial merupakan countless minor synthesis
(sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana manusia –ini menurut Simmel-
merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat kecil dari sebuah masyarakat
yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi Goffman itu sendiri, menolong kita untuk
mengkaji hal hal yang berada di luar perhitungan kita (hal-hal kecil yang tak terbilang
tersebut), manakala kita menggunakan semua sumber daya yang ada di bagian depan dan
bagian belakang (front and back region) dalam rangka menarik perhatian orang-orang
yang disekeliling kita. Bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan
pengembangan konsep-konsep sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi
interaksionis simbolik bahkan Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar
interaksionis simbolik. Walaupun pada karya terakhirnya, Goffman terfokus pada
gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk-bentuk strukturalisme masyarakat.
Selain itu, Erving Goffman dibesarkan dalam tradisi Chicago. Ia tidak bisa
menghindari pengaruh dari antropologi sosial, observasi partisipan, dan peenlitian
sosiologis yang mirip dilakukan para jurnalis seerti Robert E. Park. Tetapi ada yang
mengatakan bahwa garis intelektual Goffman tidak lepas dari jasa tutornya, Everett
Hughes.
C. Latar Belakang Teori Dramaturgi Erving Goffman
Latar belakang dari munculnya teori dramaturgi Erving Goffman berawal dari tahun
1945, Kenneth Duva Burke (5 Mei 1897–19 November 1993) seorang teoritis literatur
Amerika dan filosof yang memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk
memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan
sosial. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif
tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan.Dramatisme
memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik dari model pengetahuan. Pandangan
Burke adalah bahwa hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama.
Kemudian Erving Goffman (11 Juni 1922–19 November 1982), seorang sosiolog
interaksionis dan penulis, pada tahun 1959 ia tertarik dengan teori dramatisme Burke,
sehingga memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya dalam bukunya
yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial “The
Presentation of Self in Everyday Life”. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena
interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi.
Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM,
Aristoteles, seorang filosof asal Yunani, menelurkan “Poetics”, hasil pemikirannya yang
sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater. Aristoteles
menjabarkan penelitiannya tentang penampilan/drama-drama berakhir tragedi/tragis ataupun
kisah-kisah komedi. Untuk menghasilkan “Poetics”, Aristoteles meneliti hampir seluruh karya
penulis Yunani pada masanya.
Bila Aristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman
mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman
memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi
melalui bukunya, “The Presentation of Self In Everyday Life”. Buku tersebut menggali segala
macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari
yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor
menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Tujuan dari presentasi
dari Diri–Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi.
D. Lahirnya Teori Dramaturgi
Teori dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman. Dramaturgi adalah salah satu teori
sosiologi yang mengkaji terhadap tindakan sosial dari individu atau kelompok masyarakat.
Tindakan sosial seorang individu atau kelompok masyarakat didasarkan atas motif-motif
tertentu. Untuk mengetahui motif-motif tindakan masyarakat, Goffman menciptakan sebuah
kerangka pembacaan yang dikenal dikenal dengan “dramaturgi” atau “teori panggung”.
Teori Dramaturgi kental dengan pengaruh drama teater atau pertunjukan fiksi diatas
panggung dimana seorang aktor menggabungkan karakteristik personal dan tujuan melalui
sebuah pertunjukan dari drama itu sendiri. Dalam pertunjukannya seorang tokoh memainkan
karakter manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari
tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.
Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian social psikologis dan
sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut
menerangkan bahwa segala macam perilaku interaksi yang dilakukan manusia dalam sebuah
pertunjukan kehidupan sehari-hari seolah-olah adalah menampilkan diri mereka sendiri, hal
tersebut sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah
pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan dalam segala hal
baik itu sifat, perilaku, penampilan, dll, yang berarti dalam hal ini membuktikan bahwa ada
pertunjukan yang ditampilkan. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan
yang baik untuk mencapai tujuan.
E. ESENSI TEORI : Kaitannya dengan Interaksionisme Simbolik

Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentational of Self in


Everyday Life” memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan teateris.
Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini ini berada di antara tradisi
interaksi simbolik dan fenomenologi (Sukidin, 2002: 103).
Maka sebelum menguraikan teori dramaturgis, perlu kita uraikan terlebih dahulu
sekilas tentang inti teori interaksi simbolik. Hal ini didasari bahwa perspektif interaksi
simbolik banyak mengilhami teori dramaturgis, di samping persektif-perspektif yang lain.
Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran
Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang
dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak
bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-
pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari
tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif,
dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga.
Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi.
Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat
dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia
menyatakan bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang
digunakan oleh Blumer.
Dari sekian banyak ahli yang punya andil popular sebagai peletak dasar interaksi
simbolik adalah George Herbert Mead yang dikembangkan pada tahun 1920-1930. Kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Herbert Blumer (1937) sebagai mahasiswa Mead dengan
menggunakan istilah interaksi simbolik. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang
merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia
menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi
dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang mengilhami perspektif
dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu eksponen interaksionisme simbolik,
maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran dramaturgisnya. Pandangan
Goffman agaknya harus dipandang sebagai serangkaian tema dengan menggunakan berbagai
teori. Ia memang seorang dramaturgis, tetapi juga memanfaatkan pendektan interaksi
simbolik, fenomenologis Schutzian, formalisme Simmelian, analisis semiotic, dan bahkan
fungsionalisme Durkhemian.
Salah satu kontribusi interaksionisme simbolik (Jones) adalah penjabaran berbagai
macam pengaruh yang ditimbulkan penafsiran orang lain terhadap identitas atau citra diri
individu yang merupakan objek interpretasi. Dalam kaitan ini, perhatian Goffman adalah apa
yang ia sebut “ketertiban interaksi” (interaction order) yang meliputi struktur, proses, dan
produk interaksi sosial. Ketertiban interaksi muncul untuk memenuhi kebutuhan akan
pemeliharaan “keutuhan diri.” Seperti ini pemikiran kaum interaksionis umumnya. Inti
pemikiran Goffman adalah “diri” (self), yang dijabarkan oleh Goffman dengan cara yang unik
dan memikat yaitu Teori Diri Ala Goffman (Mulyana, 2004:106).
Kalau kita perhatikan diri kita itu dihadapkan pada tuntutan untuk tidak ragu-ragu
melakukan apa yang diharapakan diri kita. Untuk memelihara citra diri yang stabil, orang
melakukan “pertunjukan” (performance) di hadapan khalayak. Sebagai hasil dari minatnya
pada “pertunjukan” itu, Goffman memusatkan perhatian pada dramaturgi atau pandangan atas
kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan
drama di panggung.
Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang
ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka
melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang layak atas
perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi
ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam
dramatisme. Burke memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi terdiri
dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang
mengandung makna dan tidak bertujuan. Masih menurut Burke bahwa seseorang dapat
melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat berbicara tentang ucapan-ucapan atau
menulis tentang katA-kata, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Karena
adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-aksi mereka, bahasa pun
membentuk perilaku.
F. Gagasan-Gagasan Penting
1. Panggung Sosial : Watak Teatrikal dari Kehidupan Sosial
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip
dengan pertunjukan di atas penggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para
aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan
menampilkan perilaku noverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya
kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu.
Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri,
melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan
situasi.
Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah depan” (front
region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa
sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka
sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton.
Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang yang
memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat
panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang
wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias
tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan
perannya di panggung depan.
Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal
front) dan setting front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai
perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting, misalnya dokter diharapkan mengenakan
jas dokter dengan stetoskop menggantung dilehernya. Personal front mencakup bahasa verbal
dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing,
intonasi, postur tubuh, kespresi wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya. Hingga
derajat tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan aktor. Ciri yang relatif tetap seperti ciri
fisik, termasuk ras dan usia biasanya sulit disembunyikan atau diubah, namun aktor sering
memanipulasinya dengan menekankan atau melembutkannya, misalnya menghitamkan
kembali rambut yang beruban dengan cat rambut. Sementar itu setting merupakan situasi fisik
yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan, misalnya seorang dokter bedah
memerlukan ruang operasi, seorang sopir taksi memerlukan kendaraan. (Mulyana, 2004:115)
Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir struktural dalam arti
bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili kepentingan kelompok atau
organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan
lembaga tempat dia bernaung. Meskipun berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman
terletak pada interaksi. Ia berpendapat bahwa umumnya orang-orang berusaha menyajikan
diri mereka yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di pangung depan, meresa merasa
bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Hal itu
disebabkan oleh (Mulayan, 2004:116) :
1. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi (misalnya
meminum minuman keras sebelum pertunjukan).
2. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan
pertunujkan, langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut
(misalnya sopir taksi menyembunyikan fakta bahwa ia mulai salah arah).
3. Aktor mungkin merasa perlu menunjukan hanya produk akhir dan menyembunyikan
proses memproduksinya (missal dosen menghabisakan waktu beberapa jam untuk
memberi kuliah, namun mereka bertindak seolah-olah telah lama memahami materi
kuliah).
4. Aktor mungkin perlu menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat
produk akhir dari khalayak (kerja kotor itu mungkin meliputi tugas-tugas yang “secara
fisik kotor, semi-legal, dan menghinakan”)
Dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standar
lain (missal menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang dibuat sehingga
pertunjukan dapat berlangsung) (Ritzer, 2004:298).
Aspek lain dari dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor sering berusaha
menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak sosial lebih dekat
dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya. Goffman mengakui bahwa orang
tidak selamanya ingin menunjukan peran formalnya dalam panggung depannya. Orang
mungkin memainkan suatu perasaan, meskipun ia menggan akan peran tersebut, atau
menunjukkan keengganannya untuk memainkannya padahal ia senang bukan kepalang akan
peran tersebut. Akan tetapi menurut Goffman, ketika orang melakukan hal semacam itu,
mereka tidak bermaksud membebaskan diri sama sekali dari peran sosial atau identitas
mereka yang formal itu, namun karena ada perasaan sosial dan identitas lain yang
menguntungkan mereka.

2. Sebuah Tim yang Sukses Memainkan Pertunjukan


Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga kelompok
atau apa yang ia sebut tim. Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-
aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu
keluarga, tempat bekerja, parati politik, atau organisasi lain yang mereka wakili. Semua
anggota itu oleh Goffman disebut “tim pertunjukan” (performance team) yang
mendramatiasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam
menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Mereka harus mempersiapkan
perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan, memain pemain inti yang
layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin , dan kalau perlu juag memilih
khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi arahan lewat
isyarat nonverbal, seperti isyarat dengan tangan atau isyarat mata, agar pertunjukan berjalan
mulus. (Mulyana, 2004:123)
Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat
bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia
tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Dalam
kerangka yang lebih luas, sebenarnya khalayak juga dapat dianggap sebagai bagian dari tim
pertunjukan. Artinya agar pertunjukan sukses, khalayak juga harus berpartisipasi untuk
menjaga agar pertunjukan secara keseluruhan berjalan lancar.

3. Keunikan-Keunikan dalam Interaksi Sosial


Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia, yakni bahwa
makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi
dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah
maka perilaku manusia bersifat dramatik.
Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia
berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada
orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin
menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai
“pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor
untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam perspektif Goffman unsur penting lainnya adalah pandangan bahwa interaksi
mirip dengan upacara keagamaan yang sarat dengan berbagai ritual, aspek-aspek “remeh”
dalam perilaku yang sering luput dari perhatian orang merupakan bukti-bukti penting, seperti
kontak mata antara orang-orang yang tidak saling mengenal ditempat umum. Bagi Goffman,
perilaku orang-orang yang terlibat dalam interaksi yang sepintas tampak otomatis itu
menunjukan pola-pola tertentu yanbg fungsional. Perilaku saling melirik satu sama lain untuk
kemudian berpaling lagi kearah lain menunjukan bahwa orang-orang yang tidak saling
mengenal itu menaruh kepercayaan untuk tidak saling mengganggu. (Mulyana, 2004: 126)
Bagi Goffman, tampaknya hamper tidak ada isyarat nonverbal yang kosong dari
makna. Isyarat yang tampak sepelepun, seperti “berpaling ke arah lain,” atau “menjaga jarak”
dengan orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga privasi orang adalah ritual antarpribadi
atau dalam istilah Goffman menghargai diri yang “keramat” (“sacred” self), bukan sekedar
adat kebiasaan. Tindakan-tindakan tersebut menandakan keterlibatan sang aktor dan
hubungan yang terbina dengan orang lain, juga menunjukan bahwa sang aktor layak atau
berharga sebagai manusia. Maka penghargaan atas diri yang keramat ini dibalas dengan
tindakn serupa, sehingga berlangsunglah upacara kecil tersebut.
Kehidupan manusia tampaknya akan berjalan “normal” bila kita mengikuti ritual-ritula
kecil dalam interaksi ini, meskipun kita tidak selamanya menjalankannya. Etiket adalah yang
pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam suatu situasi. Goffman menegaskan bahwa
masyarakat memang memobilisasikan anggota-anggotanya untuk menjadi para peserta yang
mengatur diri-sendiri, yang mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan dalam
rangka kerjasama untuk mengkonstruksikan diri yang diterima secara sosial, salah satunya
adalah lewat ritual, Menurut Goffman keterikatan emosional pada diri yang kita proyeksikan
dan wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari kontrol sosial yang saling mendorong
kita mengatur perilaku kita sendiri. Wajah adalah suatu citra-diri yang diterima secara sosial.
Menampilkan wajah yang layak adalah bagian dari tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan
mengenai kehadiran diri yang harus dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir.
Untuk menunjukkan bahwa kita orang yang beradab, kita begitu peduli dengan
tatakrama sebelum kita melakukan sesuatu, tetapi ada kalanya kita melanggar etiket tersebut.
Misalnya kita datang terlambat kesuatu pertemuan penting. Ketika kita menyadarinya, kita
hamper selalu apa yang oleh Goffman disebut “berbagai tindakan perbaikan” (remedial work
of various kind) yang fungsinya mengubah hal yang opensif menjadi hal yang diterima.
a. Peran (Role)
Konsep yang digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke, dengan
demikian pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian interaksionisme simbolik
yang sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis interaksi sosial,
yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang didefinisikan secara
sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi untuk memberikan citra tertentu kepada
khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku bergantung kepada peran
sosialnya dalam situasi tertentu. Focus dramaturgis bukan konsep-diri yang dibawa sang
aktor dari situasi kesituasi lainnya atau keseluruhan jumlah pengalaman individu,
melainkan diri yang tersituasikan secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-
interaksi spesifik. Menurut Goffman diri adalah “suatu hasil kerjasama” (collaborative
manufacture) yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial.
Menurut interaksi simbolik, manusia belajar memainkan berbagai peran dan
mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam kegiatan
menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam konteks demikian,
mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang mereka masuki, dan perilaku-
perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi situasi.
Presentasi-diri seperti yang ditunjukan Goffman, bertujuan memproduksi definisi situasi
dan identitas sosial bagi para aktor, dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam
interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.

G. Karya Erving Goffman


1. The Presentation of Self in Everyday Life (1959)
Goffman bukan memusatkan perhatiannya pada struktur sosial. Dia lebih tertarik
pada inyeraksi tatap muka atau kehadiran bersama (Co-presence). Interaki tatap-muka itu
dibatasinya (1959:15) sebagai “individu-individu yang saling mempenagruhi tindakan-
tindakan mereka satu sama lain ketika masing-masing berhadapan secara fisik”. Biasanya
terdapat suatu arena kegiatan yang terdiri dari serangkaian tindakan individu itu. Dalam
suatu situasi sosial, seluruh kegiatan dari partisipan tertentu disebut sebagai suatu
penampilan (performance), sedang orang-orang lain yang terlibat di dalam situasi itu
disebut sebagai pengamat atau partisipan lainnya. Para aktor adalah mereka yang
melakukan tindakan-tindakan atau penampilan rutin (routine). Goffman (1959:16)
memebatasi Routine sebagai “pola tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya, terungkap
di saat melakukan pertunjukan dan yang juga bisa dilakukan atau diungkapkan
kesempatan lain.

2. Asylums: Dramaturgi Empiris Analisa Institusi Total (1961)


Buku The Presentation of Self, walaupun berisi berbagai contoh dari kehidupan
sehari-hari, tidak menyatukan teori dengan penelitian empiris. Buku Goffman yang
kedua, Asylums (1961a) merupakan buku yang memiliki sifat metodologis dan teoritis.
Data yang diergunakannya merupakan hasil pengamatan di rumah sakit jiwa selama lebih
dari empat tahun, setahun di antaranya merupakan pengamatan yang rekonsentrasi lewat
pengalaman lapangan di rumah sakit. Goffman ingin “memelajari dunia sosial para
penghuni rumah sakit’ dan berhasil dengan sangat cemerlang mengorganisir “insight”
dan pengamatannya ke dalam suatu perspektif teoritis.

3. Encounters; Two Studies of Sociology of Interaction (1961)


Tema karya-karya Goffman berikutnya memang merupakan kelanjutan dari The
Presentation of Self. Dalam buku ini Goffman melanjutkan minatnya dalam menjelaskan
interaksi tatap muka –khusus mengenai bagaimana orang mengendalikan kesan yang
diberikannya ketika berinteraksi dengan orang lain. Encounters merupakan studi
pengendalian kesan (impression management) dalam “kelompok-kelompok yang tidak
berusia panjang”. Di sini Goffman memusatkan perhatiannya pada interaksi tatap muka
ketika secara efektif orang setuju memlihara satu-satunya fokus perhatian yang bersifat
kognitif dan visual. Dalam menganalisa beberapa situasi, Goffman masih menggunakan
kerangka dramaturgisnya, dengan individu yang mahir memainkan peranan yang
sebagian ditentukan oleh adan merupakan reaksi terhadap berbagai hambatan struktural.
Individu secara kreatif mengendalikan kesan diri (self) yang diberikan di dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Behavior In Public Places; Notes On The Social Organization Of Gathering (1936a)
Di sini Goffman mengamati hubungan tatap muka yang terjadi di jalan, taman, teater,
bioskop, toko dan berbagai tempat pertemuan lainnya, mengenai diri si pelaku melalui
penggambaran penyajian “diri” dalam situasi non-kelembagaan serupa itu. Walaupun
perilaku di tempat pertemuan umum yang demiki

5. Stigma : Notes On The Management Of Spoiled Identity (1936)


Goffman membuat kategori tentang stigma (Aib), yaitu orang yang direndahkan
(stigma diskredit) dan orang yang dapat direndahkan sehingga tidak memperoleh
penerimaan sosial yang sepenuhnya (discreditable stigma). Orang yang direndahkan
ialah orang yang memiliki cacat atau kekurangan yang kasat mata, seperti orang pincang,
orang buta, dan lain-lain. Sedangkan orang yang dapat direndahkan memiliki aib yang tak
kasat mata, seperti pelaku homoseks.
6. Frame Analisis : Suatu Esei Tentang Organisasi Pengalaman
Analisis framing merupakan definisi situasi yang dibentuk sesuai dengan prinsip-
prinsip organisasi yang mengatur peristiwa-peristiwa, paling tidak peristiwa sosial, dan
keterlibatan subyetif kita di dalamnya. Dengan arti, kita belajar memaknai suatu peristiwa
dan realitas sesuai dengan pengalaman yang telah kita dapatkan dalam suatu organisasi
sosial masyarakat yang kemudian menjadi tindakan kita.
KESIMPULAN

Dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Goffman


menyebutnya sebagai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Front mencakup,
setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk
mengekspresikan diri). Sedangkan bagian belakang adalah the self, yaitu semua kegiatan
yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada
pada Front.
Teori Dramaturgi Goffman tersebut dapat dikemukakan sebaga berikut (Supardan,
2011:158):
a) Dalam suatu situasi sosial, seluruh kegiatan dari partisipan tertentu disebut sebagai
suatu penampilan (performence), sedangkan orang-orang lain yang terlibat dalam
situasi tersebut disebut sebagai pengamat atau partisipan lainnya.
b) Para aktor adalah mereka yang melakukan tinakan tindakan atau penampilan rutin.
Yang dimaksud tindakan rutin (routine) disini menurut Goffman dalam Dadang
Supardan, 2011 yaitu membatasi sebagai pola tindakan yang telah ditetapkan
sebelumnya, terungkap pada saat melakukan pertunjukan dan yang uga dapat
dilakukan maupun diungkapkan pada kesempatan lain.
c) Individu dapat menyajikan suatu pertunjukan (show) bagi orang lain, tetapi kesan
(impression) pelaku terhadap pertunjukan tersebut dapat berbeda-beda. Seseorang
dapat bertindak sangat meyakinkan atas tindakan yang diperlihatkannya, walaupun
sesungguhnya perilaku sehari-harinya tidaklah mencerminkan tindakan yang
demikian.
d) Karena itulah perlu dibedakan antara panggung depan (front region) atau panggung
belakang (back stage). Panggung depan adalah bagian penampilan individu yang
secara teratur berfungsi sebagai metode umum untuk tampil di depan publik sebagai
sosok yang ideal.
e) Sedangkan pada panggung belakang, terdapat sejenis “masyarakat rahasia” yang tidak
sepenuhnya dapat dilihat di atas permukaan. Dalam hal ini tidak mustahil bahwa
tradisi dan karakter pelaku sangat berbeda dengan apa yang dipentaskan di depan.
Dengan demikian ada kesenjangan peranaan walaupun maupun keterikatan peranan
maupun role embracement (Supardan, 2011:158).
DAFTAR PUSTAKA

Margaret, M. Poloma. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Rachmad K. Dwi Susilo. 2016. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar Ruzz Media

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori Ssosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.

Sunarto, Kamanto.2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas


Indonesia.

Sumber Internet :
http://fahri09.blogspot.co.id/2013/10/biografi-erving-goffman-dan-teori.html

https://www.academia.edu/10094552/teori_dramaturgi_erving_goffman

http://studyandlearningnow.blogspot.co.id/2013/01/teori-dramaturgi-erving-goffman.html

Anda mungkin juga menyukai