Anda di halaman 1dari 4

Vebrianti Rahayu 1 Maret 2017

D0315060
Sosiologi / B
Sosiologi Politik

Perbedaan Kekeuasaan Barat dan Timur (Jawa) Menurut Benedict Anderson


The Idea of Power In Javanese Culture
By Benedict Anderson

Dalam karyanya yang berjudul The Idea of Power In Javanese Culture, ia mengkaji
konsep kekuasaan dalam kebudayaan dengan membandingkan konsep kekuasaan dalam
kebudayaan Jawa dengan konsep kekuasaan dalam kebudayaan-kebudayaan di Eropa dan Amerika.
Di mana Anderson melihat bahwa dalam kebudayaan Jawa, masyarakatnya melihat kekuasaan itu
sebagai kekuatan energi yang sakti dan keramat, yang secara konkrit ada dalam lingkungan alam
manusia, tetapi di luar diri orang yang mempergunakannya. Oleh karena itu penggunaannya secara
otomatis dan tidak memiliki implikasi moral dan tidak memiliki persyaratan kualitas bagi orang
yang mempergunakannya. Atau secara singkat dapat disimpulkan bahwa orang Jawa memandang
kekuasaan sebagai sesuatu yang konkret, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, dan sebagai
kekuasaan tidak memiliki implikasi-implikasi moral yang inheren.

Konsep kekuasaan seperti ini menurut Anderson sangat kontras dengan konsep kekuasaan
menurut orang Eroba dan Barat. Dimana dalam masyarakat barat kekuasaan di pandang sebagai
suatu abstraksi yang ditarik dari pola-pola interaksi sosial yang terlihat, kekuasaan dianggap berasal
dari sumber-sumber yang heterogen, kekuasaan secara inheren tidak membatasi diri, dan dipandang
dari segi moral memiliki arti ganda.Salah satu bentuk aplikasinya adalah model pemimpin yang
kharismatik menurut Webber, sangat dominan di fase-fase pasca-reformasi atau pasca-kemerdekaan,
yang dimngerti oleh para pengikutnya sebagai sosok yang mempunyai “kuasa”, masing-masing
dalam pengertian kultural.

Tanda-Tanda Kekuasaan

Benedict Anderson, kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konsep pemikiran barat
dan konsep pemikiran Jawa. Menurutnya kekuasaan dalam konsep pemikiran Barat adalah abstrak,
bersifat homogen, tidak ada batasnya, dan dapat dipersoalkan keabsahannya. Sedangkan kekuasaan
menurut konsep Jawa adalah konkrit, bersifat homogen, jumlahnya terbatas atau tetap dan tidak
mempersoalkan keabsahan, maksudnya masalah kekuasaan bukan perihal sah atau tidak sah. Tidak
ada cara yang “baik” atau “buruk” dalam meraih kekuasaan.

Benedict Anderson mengatakan kekuasaan Jawa itu riil, berbeda dengan kekuasaan dalam
konsepsi barat. Di barat kekuasaan itu abstrak. Itu hanya merupakan wujud dari interaksi sosial, dari
pola-pola hubungan antarmanusia. Pemilik kekuasaan, dalam arti hubungan sosial itu, seseorang
yang bisa memerintah orang lain. Tapi kalau dalam konsepsi Jawa riil, kekuasaan bisa diwujudkan
dalam bentuk-bentuk simbol.

Ben Anderson berargumen bahwa perbedaan antara persepsi akan waktu di masyarakat
Barat dan masyarakat Jawa adalah, masyarakat Barat melihat waktu sebagai sesuatu yang berjalan
lurus dan terus maju, sedangkan masyarakat Jawa melihat waktu sebagai sebuah lingkaran,
pengulangan kekuasaan.
Salah satu indikator seseorang dikatakan mempunyai kekuasaan adalah dengan
kepemilikan atas benda-benda yang dilihat sebagai benda-benda yang memiliki kekuatan besar.
Tradisi Jawa mengatakan bahwa seorang penguasa (ruler) harus menjadikan dirinya sebagai pusat
bagi orang-orang atau benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan yang tak biasa. Karena
dengan berada di tengah-tengah mereka, sang penguasa dapat menyerap kekuatan yang dimiliki
orang-orang atau benda-benda terebut dan menambahkannya untuk memperkuat diri mereka
sendiri.

Anderson menggambarkan konsep-konsep tersebut sebagai hal yang kontradiktif,


sebagaimana gambaran berikut:

Konsep Barat Modern


1. Kekuasaan ialah hal yang abstrak Konsep Masyarakat Jawa
2. Sumber kekuatan adalah heterogen 1. Kekuasaan ialah hal yang konkret
3. Akumulasi kekuatan tidak mempunyai 2. Kekuatan adalah homogen
batas yang melekat 3. Jumlah kekuasaan di alam semesta
4. Kekuasaan adalah ambigu secara moral adalah konstan
4. Kekuasaan tidak mempertanyakan
keabsahan
Gagasan Kekuasaan Jawa

Kekuasaan politik dalam pandangan Jawa menurut Bennedict Anderson bersifat konkret,
karena kekuasaan politik yang ada adalah suatu bentuk ungkapan kasekten (kekuatan yang sakti).
Orang yang memiliki kasektѐn tidak dapat dikalahkan ataupun dilukai, karena orang itu sekti.
Kekuasaan itu eksis dalam dirinya sendiri, tidak bergantung pada pembawa empiris. Bagi orang
Jawa, kekuasaan adalah sesuatu yang bersifat homogen. Bentuk-bentuk kekuasaan dalam paham
Jawa hanya merupakan ungkapan realitas yang sama, berasal dari sumber yang sama, dan
berkualitas sama. Semua bentuk kekuasaan berdasarkan partisipasi pada kekuatan yang satu yang
meresapi seluruh dunia ini. Individu yang memperoleh kekuasaan dapat kita bayangkan sebagai
fluidum kekuatan kosmis itu. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dunia Jawa
menganggap bahwa jumlah kekuasaan tersebut konstan/tetap. Karena yang dapat berubah hanyalah
pembagian kekuasaan dalam dunia. Konsentrasi kekuasaan di suatu tempat sama artinya dengan
pengurangan kekuasaan di tempat lain.

Dalam pandangan Jawa, tidak ada gagasan tentang pluralitas kekuasaan. Segala kekuasaan
dan hukum berasal dari pribadi Raja. Hal ini menyebabkan tidak perlunya hukum sebagai syarat
legitimasi kekuasaan dan pembatasan dalam penggunaaan kekuasaan. Paham kekuasaan Jawa
membawa akibat bahwa Raja harus mempertahankan monopoli kekuasaan mutlak karena hanya
dengan cara itulah pencitraan bagi masyarakat bahwa Raja tetap menjadi wadah kekuatan kosmik
yang ada pada kerajaannya.

Kalau dunia modern (Barat), (kekuasaan) diperoleh melalui pemilu atau dipilih orang
banyak. Tapi kekuasaan Jawa tidak cukup hanya itu. Tapi juga dikaitkan dengan wahyu, pulung.
Bagi orang Jawa, wahyu bisa diupayakan melalui cara mengurangi diri, tirakat, bersemedi, tidak
melakukan hubungan seksual, puasa, dan pemurnian ritual yang menggunakan sesajian. Prinsipnya
dengan mengurangi diri akan menambah kekuatan. Namun akibat dari kekuatan yang lebih itu,
dalam konsepsi Jawa kekuasaan juga akan menjadi tunggal. Artinya bila seseorang memiliki
kekuasaan, maka orang lain tidak boleh memiliki. Dengan semakin besarnya kekuasaan seseorang,
maka akan mengurangi kekuasaan oleh penguasa lain. Jadi tidak akan ada kesejajaran kekuasaan.

Berbeda dengan tradisi teori politik Barat, masalah pokok yang ditimbulkan konsepsi
mengenai kekuasaan ini bukan masalah bagaimana mengunakan kekuasaan, melainkan bagaimana
menghimpunnya, sebagian besar perpustakaan nasional lebih berbicara bagaimana memusatkan dan
mempertahankan kekuasaan, dari pada bagaimana mengunakannya dengan wajar.

Arti kejiwaan dalam bertapa bukan berarti bentuk penyiksaan diri dengan tujuan-tujuan
etis, melainkan hanya semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan, bertapa dalam konsep Jawa
merupakan cara untuk mencapai titik keseimbangan kosmos, membesarkan diri berarti mengurangi
diri sendiri. Jika seorang pemimpin yang ingin menjaga kekuasaannya atas masyarakat, sudah
cukup bagi seorang pemimpin itu hanya menguasai sumber energi mistik itu saja (misalnya sebuah
pusaka keris yang sakti yang didapat dari peninggalan raja-raja sebelumnya) dengan mengabaikan
komponen-komponen lainnya, maka ia memiliki satu hal yang identik dengan kekuasaan itu sendiri,
dan akhirnya dapat menguasai masyaraktnya.

Menurut tradisi Jawa lama penguasa harus mengumpulkan disekelilingnya benda atau
orang pun yang mengandung kekuasaan. Seperti kraton sampai sekarang setiap tahunnya ada
pencucian kris, kraton yang tidak saja mengkoleksi benda-benda pusaka seperti tombak, alat-alat
suci yang lainnya tetapi juga diisi oleh berbagai macam manusia yang luar biasa seperti Bulai,
pelawak orang kerdil dan ahli nujum yang tinggal secara bersama dengan kraton, maka akan
muncul sebuah kekuasaan yang dihisap melalui benda-benda dan orang-orang tadi yang kemudian
diserap dan ditambahkan kepada kekuasaan penguasa. Kalau kemudian benda ini hilang maka ini
diangap berkurangnya kekuasaan raja dan sering diangap sebagai datang pertanda akan hancurnya
dinasti yang sedang berkuasa.

Tradisi ini masih tetap kita rasakan rohnya pada elit-elit atau pejabat dari Jawa dan juga
merupakan rahasia lagi bagi para pengamat situasi di zaman Soekarno. Tetapi barangkali dari segi
politik yang penting adalah seseorang yang dianggap punya benda atau orang-orang seperti itu
dalam penguasaanya, walaupun mereka tidak mempunyai atau mempergunakan dengan sunguh-
sunguh.

Anda mungkin juga menyukai