(Bab IV) Hermeneutik - Landasan Kefilsafatan Ilmu Hukum
(Bab IV) Hermeneutik - Landasan Kefilsafatan Ilmu Hukum
Filsafat Hermeneutik adalah filsafat tentang hakikat hal mengerti atau memahami
sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua
pengalaman dan pergaulan manusiami dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti
dan/atau interpretasi. Hal atau kegiatan mengerti sesuatu pada intinya adalah sama dengan
kegiatan menginterpretasi. Jadi, memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu, dan
sebaliknya dengan menginterpretasi sesuatu tercapai pemahaman tentang sesuatu itu. Hal
memahami atau menginterpretasi itu adalah aspek hakiki dalam keberadaan manusia yang
membedakannya dari hewan, tanaman atau benda-benda lain. Artinya, keberadaan manusia
dan kegiatan menjalankan kehidupannya berlangsung berlandaskan atau dipengaruhi proses
dan produk pemahaman atau interpretasinya. Dalam refleksi kefilsafatannya, Filsafat
Hermeneutik memusatkan perhatiannya pada semua hal yang memiliki makna sejauh ihwal
tersebut dapat diungkapkan dalam wahana komunikasi yang disebut bahasa dan dapat
dimengerti; obyek refleksi kefilsafatannya adalah “bahasa” yang mencakup bahasa manusia
(lisan dan tulisan), bahasa alam (misalnya mendung tanda akan hujan), bahasa seni, bahasa
tubuh dan jenis bahasa lainnya. Secara umum, dalam bahasa Filsafat Hermeneutik,
penampilan obyek refleksi kefilsafatan itu disebut teks yang dapat berwujud tulisan, lukisan,
perilaku, peristiwa alamiah, dan sebagainya. Pemahaman dalam Hermeneutik tidak terbatas
hanya pada tindakan intensional, melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh
siapapun, jadi mencakup tujuan manifes dan tujuan laten.
Proses interpretasi itu berlangsung dalam proses lingkaran pemahaman yang disebut
lingkaran hermeneutik (hermeneutische Zirkel), yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau
unsur-unsur dan keseluruhan sehingga tercapai konsumasi dengan terbentuknya pemahaman
secara lebih utuh. Dalam proses pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara
tepat dalam konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhanini hanya dapat dipahami
berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya. Lingkaran pemahaman
ini dimungkinkan, karena pada (dalam diri) interpretator sudah ada cakrawala pandang dan
pra-pemahaman yang terbentuk lewat interaksi dengan tradisi yang didalamnya ia menjalani
kehidupan (lewat proses bildung). Bertolak dari pra-pemahaman dalam kerangka cakrawala
pandangannya tentang interpretandum (ihwal yang mau dipahami) sebagai suatu
keseluruhan, interpretator berupaya menemukan atau menetapkan makna dari bagian-bagian
untuk kemudian berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian tersebut dalam hubungan antara
yang satu dengan yang lainnya berupaya memahami interpretandum; hasilnya disorotkan
pada bagian-bagian guna memperoleh pemahaman yang lebih tepat tentang bagian-bagian
tesebut untuk kemudian hasilnya disorotkan balik pada keseluruhan, dan demikian seterusnya
sampai tercapai konsumasi termaksud diatas. Dalam proses pemahaman (interpretasi) yang
dipaparkan tadi, maka nilai-nilai, konsep-konsep, keyakinan-keyakinan, kebutuhan-
kebutuhan serta tujuan-tujuan manusia akan selalu memainkan peranan dan memberikan
arah.
Dalam proses pemahaman, maka sesuatu atau ihwal yang mau dipahami itu
(interpretandum) akan tertempatkan dalam cakrawala pandang subyek, dan akan dipandang
serta dipersepsi dalam kerangka pra-pemahamannya yang mewarnai ihwal yang mau
dipahami itu. Untuk sampai pada pemahaman yang benar, maka subyek (interpretator) harus
terbuka bagi apa yang “dikatakan” oleh ihwal yang mau dipahaminya atau oleh orang lain
yang berkenaan dengan ihwal tersebut, yang juga akan “mengatakannya” dalam kerangka
cakrawalanya sendiri. Jadi, dalam proses pemahaman itu terjadi perjumpaan dua cakrawala
yang dapat menyebabkan cakrawala pandang subyek bergeser yang menghasilkan atau
mengubah pengetahuan subyek. Perjumpaan cakrawala yang menyebabkan pergeseran
cakrawala disebut “Horisontverschmelzung” (perpaduan atau pembauran cakrawala). Dalam
dinamika perpaduan cakrawala ini, prasangka-prasangka yang tidak disadari sebelumnya
dapat muncul ke permukaan (ke kesadaran kognitifnya) sehingga terbuka kemungkinan untuk
mengkajinya secara rasional dan/atau faktual.
Seperti semua ilmu, juga produk kegiatan pengembanan Ilmu Hukum adalah
proporsisi-proporsisi yang berfungsi sebagai hipotesis yang harus terbuka bagi pengkajian
rasional. Proporsisi ini, yang disebut proporsisi-yuridik (proporsisi-hukum), bermuatan
(rancangan) putusan hukum bagi situasi kemasyarakatan konkret tertentu yang dapat
dibayangkan mungkin terjadi dalam kenyataan. Putusan hukum tersebut menetapkan,
berdasarkan kaidah hukum yang tercantum dalam suatu aturan hukum, siapa berkewajiban
apa terhadap siapa berkenaan dengan apa dan atas dasar apa, atau siapa berhak atas apa, dan
berdasarkan itu siapa harus melakukan perbuatan apa. Kemudian proporsisi-proposisi hukum
yang dihasilkannya ditata atau disistematisasi ke dalam suatu bangunan bersistem sehingga
keseluruhan aturan-aturan hukum yang berlaku dalam masyarkat, yang jumlahnya tidak dapat
dihitung, dapat secara rasional dipahami sebagai sebuah sistem, yakni tata-hukum yang
sehubungan dengan fungsinya bersifat terbuka. Jadi, kegiatan pengembanan Ilmu Hukum itu
berintikan kegiatan mendistilasi (mengekstraksi) kaidah hukum yang (secara implisit)
tercantum dalam teks yuridik, yakni baik dalam aturan hukum tertulis (perundang-undangan)
maupun aturan hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan). Mendistilasi kaidah hukum dari teks
yuridik adalah hakikat kegiatan menginterpretasi teks yuridik, yakni tindakan menetapkan
makna dan wilayah penerapan dari teks yuridik tersebut. Karena itu, berdasarkan hakikat
kegiatan pengembanan Ilmu Hukum, dapat disimpulkan bahwa Filsafat Hermeneutik
memberikan landasan kefilsafatan (ontologikal dan epistemologikal) pada keberadaan Ilmu
Hukum, atau filsafat ilmu dari Ilmu Hukum. Bahkan dapat dikatakan bahwa Ilmu Hukum
adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek
hukum kehidupan bermasyarakat. Sebab, dalam mengimplementasikan Ilmu Hukum untuk
menyelesaikan suatu masalah hukum, misalnya di pengadilan, kegiatan interpretasi itu tidak
hanya dilakukan terhadap teks yuridik, melainkan juga terhadap kenyataan yang
menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan ( misalnya menetapkan fakta-fakta yang
relevan dan makna yuridikalnya).