Anda di halaman 1dari 8

UAS MK METODOLOGI PENELITIAN

Nama : Gregorius Paskalis Bryan Krisnawan


NPM : 6122101003

1. Metode filosofis dalam penelitian filsafat


a. Metode Fenomenologis
Pandangan fenomenologi Edmund Husserl, yaitu fenomena itu berada dalam
kesadaran. Kesadaran yang ditimbulkan oleh aktivitas subjek dan objek. Fenomena
yang ditimbulkan oleh subjek dan objek itu harus diamati atau dilihat secara jujur dan
murni oleh yang mengalami suatu fenomena. Fenomena yang murni inilah yang
menjadi sebuah pure-consciouness atau kesadaran murni. Di samping itu, manusia
perlu mencari hakikat atau esensi dari suatu fenomena. Hal ini bertujuan untuk
menguak kemurnian dari objek yang tersembunyi. Namun, perlu adanya suatu
validitas dan verifikasi agar mendapatkan kesimpulan yang paling baik diantara yang
terbaik.
Kemudian, pandangan fenomenologis dari Martin Heidegger. Heidegger menamai
fenomenologinya sebagai fenomenologi ontologis. Fokus utama Heidegger adalah
mengembalikan tradisi filsafat yang berorientasi pada problematika metafisika dan
epistemologis sebab filsafat barat sudah dianggap keluar dari hal tersebut yang
mengarah pada permasalahan ontologi. Ontologi sendiri berarti kajian tentang “ada”,
dalam bahasa Heidegger adalah das sein. Husserl yang mengatakan bahwa Kesadaran
mengarah pada sesuatu/fakta (Intensionalitas), sedangkan Heidegger : Faktalah yang
mengarahkan kesadaran (Faktisitas). Dunia adalah multidimensi dan multiperspektif
sehingga suatu realitas tidak bisa hanya dipahami melalui satu perspektif. Contoh:
menangis & marah. Artinya, realitas memiliki banyak wajah. Manusia mencapai
keutuhan eksistensi. Das sein yang menjadikan manusia bisa memaknai dimensi ruang
dan waktu. Manusia itu benda yang aktif dan bergerak namun tidak sama seperti benda
mati. Keingintahuan dari manusia itulah yang melahirkan das sein.
Pandangan fenomenologis selanjutnya dari Maurice Merleau-Ponty. Ponty
menamainya sebagai fenomenologi persepsi. Fenomenologi dalam pontian adalah
suatu dinamika dari pencerapan inderawi manusia terhadap dunia eksternal. Persepsi
yang mana merupakan suatu produk dari pencerapan inderawi untuk memahami dunia
eksternal. Tubuh bukanlah "kendaraan translasi pemikiran" semata, namun sebagai
proses mengalami objek diluar subjek (pengalaman kebertubuhan; sensasi kesadaran;
kritik terhadap Descartes). Tak hanya peristiwa "aku" melihat warna merah dan
pesona stagnasi ke-merah-an. Namun, ke-merah-an sebagai hasil relasi intensionalitas
(interaksi) antara "aku" dan "warna merah" (pengalaman tentang pesona ke-merah-
an). Penangkapan isi dan hakikat/esensi objek yang melahirkan sebuah pengetahuan.
Sebagai implementasi dari metode fenomenologis ini, kita perlu mengetahui bahwa
fenomenologs itu bersifat reflektif. Perlu adanya suatu pencerapan pengalaman yang
ditangkap oleh panca indera untuk memahami suatu teks. Kemudian perlu adanya
identifikasi fenomena yang akan diteliti yang berasal dari pengalaman langsung dan
inderawi manusia sebagai sumber informasi. Setelah itu, menganalis data secara
kualitatif. Adanya abstraksi daa yang diperoleh untuk menemukan pola-pola dasar
dari fenomena yang diteliti. Penyususan hasil penelitian dalam bentuk deskripsi yang
jelas dan mendetail.
b. Metode Hermeneutika
Hermeneutika menjadi salah satu metode penelitian berbasis filsafat.
Hermeneutika berkaitan erat dengan cara untuk semakin mendalami suatu konsep.
Memperbesar pengetahuan bisa didapat dengan metode hermeneutika. Hermeneutika
berbeda dengan interpretasi. Hermeneutika lebih berpusat pada pemahaman yang
mendalam dan selalu berkembang. Hermeneutika berakar pada era Renaisans.
Hermeneutika ini sebenarnya untuk mendalami dan menafsirkan Kitab Suci. Memang
awalnya hermeneutika itu merupakan makna dari suatu bagian yang hanya dipahami
jika dikaitan dengan keseluruhan.
Penafsiran pemahaman juga ada kaitannya dengan empati. Empati merupakan
suatu pemahaman yang menuntut penghayatan, yang didalamnya ada berpikir dan
merasakan, diri sendiri ke dalam situasi orang yang bertindak, menulis dan berbicara.
Dengan bantuan imajinasi seseorang mencoba untuk menempatkan dirinya di tempat
pelaku (penulis, pembicara), untuk memahami makna tindakan (kata tertulis atau
lisan) menjadi lebih jelas. Idenya adalah bahwa dalam contoh terakhir, pikiran satu
individu - terutama aspeknya yang lebih kreatif dan tidak terikat aturan - tidak dapat
diakses oleh akal individu lain, mencoba menganalisisnya dari luar; hanya intuisi yang
dapat sepenuhnya mengasimilasi alam semesta mental manusia lain. Sejauh empati
ini dilengkapi dengan pengetahuan penafsir yang lebih luas atau setidaknya berbeda,
itu bahkan mungkin - dan ini merupakan salah satu tesis utama hermeneutika - bagi
penafsir untuk memahami orang lain menjadi lebih baik daripada memahami diri
mereka sendiri.
‘Pemahaman’ menjadi omong kosong dari yang terakhir: melalui ‘menyenangkan
intuitif’, empati pemeragaan (Einfuhlung) dari pengalaman masa lalu, peneliti akan
mencapai pemahaman individu di masa lalu dan makna yang mereka diilhami mereka
perilaku. Ditlhey dan Weber menekankan metode komparatif sebagai sarana untuk
memperoleh 'kebenaran umum yang lebih luas' daripada pemahaman intuitif saja. Hal
ini bertujuan untuk menempatkan ilmu budaya pada pijakan yang sama dengan ilmu
alam, melalui pengembangan hermeneutika. Namun dengan menerima ilmu alam
sebagai kutub yang berlawanan, sebagian dari problematikanya juga dipertahankan,
terutama hubungan subjek-objek.
Suatu interpretasi hermeneutik dapat dikatakan silih berganti antara aspek-aspek
tertentu yang masing-masing mengandung jenis argumentasi yang mendukung atau
menentang interpretasi tersebut. Ciri-ciri hermeneutik sentral, di satu sisi, adalah
dialektika antara interpretasi sebagai bagian dan keseluruhan, dan, di sisi lain,
pandangan khusus penafsir serta karakter khusus dari materi yang ditafsirkan.
Pola interpretasi: mengacu pada seperangkat interpretasi yang menyeluruh dari
teks tertentu, yaitu keseluruhan interpretasi parsial yang koheren. Pola interpretasi
secara longgar sesuai dengan 'teori' berbagai wacana ekstra-hermeneutik. Pola
interpretasi harus membuat detail individu dari teks agar dapat dimengerti, sementara
pada saat yang sama berkembang dari mereka. Pola interpretasi juga harus mencakup
'fakta' dari bahan yang ditafsirkan, dan di atas semua itu tidak boleh bertentangan
dengannya. Karena penafsir secara kritis merenungkan prakonsepsi mereka, sekaligus
juga berniat untuk membiarkan diubah, pola interpretasi ditinggikan di atas tingkat
akal sehat.
Teks: Teks dapat bersifat literal, terdiri dari kata-kata tertulis atau lisan. Bisa juga
figuratif, di mana tindakan sosial dianggap sebagai simbol yang bermakna,
mengambil teks sebagai model. Fakta muncul dari teks melalui proses interpretasi.
Mereka adalah hasil, bukan titik tolak. Kita dapat melihat bagian-bagian teks sebagai
sesuatu, atau lebih tepatnya sebagai tanda-tanda yang bermakna, apakah kita sedang
membaca teks yang ditulis dalam huruf alfabet atau dalam tindakan sosial. Ide untuk
rekontekstualisasi mungkin datang dari keakraban atau hubungan dengan bidang
pengetahuan yang sama sekali berbeda, dan/atau sebagai akibat dari 'kelupaan'
kesadaran dari kontekstualisasi sebelumnya
Dialog: Otonomi subyek yang diinterpretasikan harus dihormati, pada saat yang
sama kita harus 'memasukinya'. Dialektika antara jarak dan keakraban memberikan
sikap terbaik. Dengan kata lain, kita meluncur bolak-balik antara aspek 'lama' yang
dikenakan pada teks dalam bentuk pra-pemahaman, dan pemahaman baru.
Sub-interpretasi: Dalam proses interpretasi harus terus-menerus merumuskan sub-
interpretasi. Ketika memutuskan di antara ini, kami bekerja dengan konsepsi latar
belakang tertentu. Jika kita puas dengan pertimbangan yang lebih sederhana tentang
masuk akal dalam interpretasi, mulai dari argumen yang mungkin pro dan kontra, dan
bukan dari klaim apa pun atas kebenaran akhir, bagaimanapun, adalah mungkin untuk
mentransfer garis pemikiran ini bahkan ke makna teks terlepas dari maksud penulis,
serta analisis praktik, yaitu rangkaian tindakan sosial, dengan mengambil teks sebagai
model.
c. Metode Eksistensialis
Eksistensialisme mulai berkembang semenjak perang dunia II. Hal ini yang
melahirkan suatu kesadaran pada pengaktualisasian diri menjadi individu yang
otonom dan bebas. Søren Kierkegaard, eksistensialisme membicarakan tentang
eksistensi seorang individu khususnya relasi antara individu dengan sistem, Ada dan
absurditas, esensi dan makna sebuah pilihan keputusan, pengalaman, dan
intensionalitas. Dimensi personal pertama ini tidak sekadar dipahami sebagai poin
tentang perspektif atau batasan epistemik, tetapi sebagai properti fenomenal yang
tidak dapat direduksi atau aspek apa pun yang dapat dianggap sebagai 'pengalaman'.
Subjek eksistensialis adalah subjek yang keberadaannya menghadirkan dirinya
sebagai masalah dan tugas bagi subjek itu sendiri. Ada sebuah transisi terhadap sebuah
fenomena seseorang yang mulai memahami makna. Sehingga, dalam masa ini, suatu
keinginan, preferensi, dan penilaian epistemis tentang kepentingan dan siapa diri kita,
perlahan akan bergeser.
Eksistensialisme dipahamai sebagai refleksi filosofis yang eksplisit.
Empiris/reduksionis berusaha memahami dan menjelaskan pengalaman melalui
bagian-bagiannya. Metafisik menampilkan dirinya, biasanya ada keutamaan metafisik
dan metodelogis yang lebih luas diberikan. Tidak ada filsafat yang mengabaikan
masalah keterbatasan, mengabaikan dirinya sendiri sebagai "filsafat" (Merleau-
Ponty). Philip Pettit menyarankan bahwa eksistensialisme (scientific naturalisme),
terlalu radikal dalam kaitannya dengan doxa dan praktik. Hal ini mendorong
terciptanya inspirasi untuk membuang ide-ide yang diterima dan kebiasaan yang
terikat praktik dan hidup secara bebas. Pemahaman mengenai hubungan antara
keyakinan dan praktik dalam eksistensialisme menyesatkan, mengklaim bahwa "arah
penentuan harus berjalan dari keyakinan ke praktik. Eksistensialis akan mengalami
perubahan ketika pengalaman mempengaruhi ide-ide yang terikat dengan praktik.
Pengalaman manusia melampaui semuanya, sehingga mampu melebihi pikiran
Metodologi eksistensialis merupakan sebuah metode penelitian yang
mengandalkan pengalaman inderawi sebagai dasar utamanya. Hal itu harus
berdasarkan pada realitas, bukan ide, imaji, maupun rencana. Ia harus dapat diamati
secara langsung. Eksistensialis perlu menempatkan bentuk analisa terhadap berbagai
aspek dari pengalaman tertentu dalam rangkaian usaha subjektivitas untuk mengerti
dan memahami dirinya sendiri. Di sisi lain, metode eksistensialis akan membawa
subjek kembali ke konfrontasi dengan pengalaman yang relevan. Bukan untuk
membahas pengalaman tersebut dari sudut pandang yang secara langsung dapat
menyingkirkan eksistensi yang sedang dibicarakan.
d. Metode Teori Kritis
Teori kritis merupakan sebuah aliran pemikiran yang menekankan pada penilaian
reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari
ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Teori kritis menyatakan bahwa ideologi adalah
kendala utama untuk pembebasan manusia. Teori kritis, Michael Foucault, yaitu
kekuasaan dan pengetahuan memiliki korelasi yang tidak dapat terputus. Kekuasaan
membentuk pengetahuan dan pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan.
Bagi Horkheimer, teori kritis itu memiliki sikap curiga dan kritis yang
memampukan untuk membuka manipulasi yang dapat merugikan masyarakat.
Namun, menurut H. Marcuse, teori kritis itu tidak dipahami sebagai filsafat
melainkan ilmu sosial. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya komitmen pada
kebenaran yang abadi. Ia menerima bahwa filsafat dapat membatu kita untuk berpikir
diluar yang diberikan secara sosial.
Semua pemikiran konseptual adalah mengindentifikasi. Penting untuk berpikir
kritis sebab untuk membaca, menilai, dan melihat dengan jeli suatu fakta atau teori.
Manusia itu lebih mudah memahami dan memaknai. Bagi Adorno, dialetikanya
mengandung inti positif. Ia memberikan sebuah alternatif atau pengganti bahwa yang
buruk atau salah itu memiliki kekuatan normatifnya sendiri. Hal ini dapat dengan
mudah dikenali tanpa mengacu pada yang baik dan yang benar. Kebutuhan akan
refleksi kritis diri muncul karena Adorno menganggap skema konseptual dapat
mencerminkan dan menjembatani realitas sosial. Sehingga kritik harus menjadi
bagian dari kritik sosial.
e. Metode Dekonstruksi yang Diperluas
Deleuze dan Derrida, khususnya, masing-masing berbicara tentang
menghancurkan dan mendekonstruksi metafisika. Namun, upaya untuk
mendekonstruksi metafisika tidaklah sederhana. Karena kita tidak pernah bisa lepas
dari bahasa metafisik - kata-kata kita diendapkan dengan makna yang diwarisi dari
Plato - kita tidak pernah bisa membangun titik awal tanpa prasyarat untuk sebuah
metode. Berbicara tentang dekontruksi, Derrida mendefinisikannya sebagi sebuah
strategi. Kita tidak hanya harus menyusun strategi untuk melepaskan diri dari sistem
metafisik, tetapi kita juga harus menjalani pengalaman transformatif. Tugas
mengungkapkan fondasi yang tidak stabil begitu sulit, hampir mustahil, sehingga kita
tidak pernah yakin bahwa kita benar-benar telah lolos dari hierarki. Seperti telah kami
kemukakan, Derrida selalu mendefinisikan dekonstruksi sebagai strategi (Derrida
1982: 135). Kita harus berbicara tentang strategi (dan bukan metode). Derrida
menyebut dekonstruksi sebagai strategi karena dekonstruksi bertujuan untuk
menghindari, khususnya, dua jebakan yang membuat seseorang kembali ke hierarki
yang sedang didekonstruksi.
Dua perangkap sesuai dengan dua fase dekonstruksi, yaitu Tradisi metafisik Barat
selalu terdiri dari hierarkis (dalam ketidaksetaraan) dekonstruksi agar tidak jatuh
kembali ke hierarki seperti itu, mengarah pada semacam kesetaraan dan
keseimbangan, atau bahkan sesuatu seperti keadilan. (Derrida 1992: 15). Paling tidak,
tujuannya bukan untuk menindas. Kemudian, Jika di bawah hirarki metafisik
fondasinya tidak stabil dan tidak seimbang, maka dekonstruksi menyusun strategi
kembali untuk menghindari mode ekspresi yang berbeda dari fondasi. Karena
fondasinya adalah perbedaan pengalaman waktu, ekspresi yang berbeda dari
fondasinya adalah ekspresi identitas dan keabadian. Seseorang harus menghindari
ekspresi ini, yang mencakup ekspresi akal sehat, untuk menemukannya cara berpikir
dan cara berbicara yang diterima. Oleh karena itu, dekonstruksionis berpikir berusaha
untuk menjadi kreatif. Ini bertujuan untuk menjadi, dan menghasilkan, pemikiran
bebas.
“Objektivitas dunia direduksi menjadi fenomena, yaitu, penampakan subjek.”
Secara umum, dalam hidup kita, diarahkan oleh sikap alami, dunia adalah sistem
benda yang harmonis dan persepsinya. Namun demikian, terjadinya ilusi optik
menunjukkan bahwa kita tidak pernah memiliki bukti pasti atas keyakinan kita akan
keberadaan suatu benda.
Ada lima implikasi kerumitan dalam pengalaman dengan waktu, yaitu (1)
Berdasarkan pengalaman melodi bervariasi, retensi moment saat ini ditentukan oleh
pengulanagan. Retensi tetap ada untuk mempertahankan bentuk yang diulang. Bentuk
apa pun yang dipertahankan dapat diulang tanpa batas waktu. Maka pengalaman
kebosanan didasrkan pada pengulangan retensi yang tidak terbatas. (2) Meskipun
pengalam waktu terus berlanjut karena retensi dan potensi, perbedaan fase sekarang
dengan fase retensi adalah besar. Universalisasi dan singularisassi ada perbedaan
besar dan tidak menyatu, karenanya dua kutub tersebut melakukan kekerasan satu
sama lain. (3) Memperluas kontradiksi diri yang mendasar dialami dalam bentuk
waktu. Maka hubungan fase retensi dan fase potensi tidak dapat direduksi. Artinya
tidak mungkin membayangkan apa pun yang tidak mencakup retensi dan
perlindungan saat ini. Pengulangan adalah pengulangan dari ketiadaan. Saat ini
terlihat seperti sebuah lengklungan menemukan dirinya dalam konteks masa lalu.
Waktu adalah arche karena tidak memilki prinsip pertama, sama seperti asal-usul
dunia ini tidak memiliki arche. (4) Pengulanagn pada dasarnya mengandung
kemungkinan yang tidak terbatas. Karena pengulangan tidak seperti prinsip pertama
karena mengandung kemungkinan yang tidak terprediksi. Misalnya gambar harus
terbuka untuk semua konten bahkan yang berlawanan dengan gambar yang diulang-
ulang. (5) Silopsisme didekontruksi meskipun harus melewati kesunyian
transcendental keterbukaan waktu terhadap perubahan telah menempatkan kita pada
sesuatu seperti kesunyian transcendental. Tidak hanya setiap retensi terbuka untuk
pengulangan yang tidak terbatas tetapi juga jika gambar itu adalah ganbar orang atau
makhluk lain. Wawasan fenomenologis mengatakan bahwa pengalaman orang lain
selalu dimediasi, menunjukkann kehidupan batin yang tidak dapat menyiratkan bahwa
kita memiliki ketidaktahuan tentang orang lain Kita memiliki ketidaktahuan yang
tidak dapat direduksi, karena yang lain ada di dalam diri kita. Kita juga tidak
mengetahui sepenuhnya kehidupan batin kita secara absolut.
Metode dekonstruksionis yang diuraikan di sini bertujuan untuk menghindari
pertama-tama keduniawian. Dengan kata lain, ini bertujuan untuk tidak berpikir dalam
kerangka konsep dan jenis pengetahuan yang mapan dan diperoleh. Secara khusus, ini
bertujuan untuk menghindari akal sehat dan konsensus. Berpikir sebaliknya
mendukung perubahan, bukan konformisme. Menghindari akal sehat dan konsensus
adalah strategi untuk melampaui dunia nyata untuk menemukan dasarnya. Jika,
melalui zaman fenomenologis, seseorang dapat sampai pada landasan pengalaman
duniawi, maka ia akan terhindar dari kebingungan antara Pencipta dengan dirinya
sendiri. Jika kita telah menghindari kebingungan ini, maka kita melihat bahwa
universal, konstanta, dan invarian yang diterima hanyalah rata-rata statistik dan norma
yang dipaksakan dari dunia yang didirikan atau empiris. Tujuan pemikiran yang
disebut dekonstruksionis terletak pada mengubah cara berpikir dan perilaku penerima
pesan agar bebas dan kreatif.
2. Essay: Mengapa Harus Belajar Filsafat?
Ikhtiar untuk memperjuangkan eksistensi Pancasila kini mulai bergema dengan
lantang. Berbagai pihak memunculkan segudang cara sebagai ikhtiar memperjuangkan
eksistensi Pancasila di tengah gempuran ideologi-ideologi baru. Salah satu ikhtiar
memperjuangkan eksistensi Pancasila ialah metodologi hermeneutika filosofis.
Hermeneutika filosofis hendak mengartikan “refleksi kritis yang hendak memahami
berbagai cara manusia memahami dunianya.” i Hermeneutika ini membawa manusia
pada suatu tatanan kesadaran manusia untuk memasuki dimensi baru kehidupan
manusia. Manusia dibawa kepada dimensi realita kehidupannya yang mencakup
berbagai macam ilmu, sistem nilai, sistem logika dan ideologi-ideologi.
Pancasila, sebuah kebenaran hakiki yang dipegang teguh, diperjuangkan dan
dihidupi oleh bangsa Indonesia. Pancasila memanifestasikan diri menjadi
weltanschauung ii bagi bangsa Indonesia. Sebagai weltanschauung, Pancasila
mengiluminasi kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai kebenaran Pancasila
mengiluminasi seluruh kehidupan dan perkembangan bangsa Indonesia sehingga
Pancasila menjadi identitas bagi bangsa Indonesia. Pancasila turut menjadi suatu
substansi yang merekatkan pluralitas dalam bangsa Indonesia. Seolah memiliki daya
magis, Pancasila mempersatukan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Menganalogikan bangsa Indonesia layaknya sebuah pohon besar, Pancasila menjadi
substansi yang mengatasi berbagai keberbedaan yang ada. Pancasila menjadi akar yang
menancap ke dalam bumi sehingga memampukan bangsa Indonesia untuk bertumbuh
dan berkembang hingga saat ini. Oleh karena ini dalam peziarahannya, bangsa
Indonesia dan Pancasila menjadi satu kesatuan yang dependen satu sama lain sehingga
menciptakan kemanusiaan Indonesia yang utuh, berintegritas dan harmonis.
Milenium sekarang atau saat ini ditandai dengan realita yang kini berkembangan
sedemikan rupa menuju ke arah yang tidak dapat diprediksi dan tidak mampu dijelaskan
kembali dengan kacamata pandangan milenium-milenium sebelumnya. Hal tersebut
kian diperkuat dengan kelahiran teknologi yang mendegradasi nilai-nilai humanisme.
Teknologi menghalusinasi manusia dan melahirkan berbagai problematika dilematis
sehingga memperumit kehidupan manusia dengan berbagai tawaran kebenaran-
kebenaran baru di dalamnya. Maka manusia dihadapkan pada berbagai pilihan
kebenaran baru yang transenden ataupun kebenaran yang berasal dari manusia sehingga
manusia milenium ketiga berada dalam posisi keterheranan pilihan.Situasi
keterheranan tersebut turut melanda bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia kini
menghadapi situasi keterheranan yang menyebabkan dilema memilih kebenaran baru
yang ditawarkan atau berpegang pada Pancasila sebagai kebenaran warisan para
founding fathers. Pancasila sebagai suatu grand narrative telah kehilangan tempatnya
dalam era postmodernisme yang dengan lantang berikhtiar membunuh grand narrative.
Tidak hanya itu, Pancasila dipandang telah usang dan bahkan kehilangan daya
‘magisnya’ sehingga muncul ikhtiar menggantikan Pancasila dengan kebenaran-
kebenaran baru. Problematika ini tampak dalam berbagai fenomena yang berikhtiar
menggantikan Pancasila dengan berbagai nilai kebenaran baru. Problematika tersebut
menjadi tendensi bahwa nilai-nilai kebenaran yang termuat dalam Pancasila tidak lagi
aktual dan relevan dengan dinamika bangsa Indonesia saat ini.
Hermeneutika menjadi sebuah pisau bedah. Hermeneutika dipergunakan untuk
membedah nilai-nilai kebenaran Pancasila serta menghadirkan suatu ketersingkapan
(disclosure) nilai-nilai kebenaran tersebut yang memberikan makna dalam dinamika
kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila yang lahir bukan dari suatu kebetulan
menandakan bahwa telah adanya ikhtiar untuk menggagas suatu nilai fundamental bagi
bangsa Indonesia. Gagasan tersebut dilahirkan oleh founding fathers’ yang diilhami dan
diperkaya pengalaman perjumpaan founding fathers dengan berbagai ideologi barat dan
nilai-nilai kultural-filosofis bangsa Indonesia. Perjumpaan tersebut memperkaya
Pancasila sehingga memunculkan daya ‘magis’ Pancasila yang menjadi variabel
perekat substansial bagi bangsa Indonesia. Daya magis Pancasila yang tidak mampu
disandingkan dengan segala macam ideologi lainnya menjadi ciri khas Pancasila.
Melalui Hermeneutika, Pancasila dibedah dan dipisahkan dari ikhtiar desakralisasi
Pancasila. Desakralisasi Pancasila tidak mengartikan ikhtiar menggantikan Pancasila
dengan ideologi maupun kebenaran-kebenaran baru. Desakralisasi Pancasila
dimaksudkan sebagai ikhtiar “membongkar kedok-kedok ideologis yang cenderung
mengatasnamakan Pancasila untuk membangun menara status quo atau legitimasi
kekuasan pihak tertentu.” iii Oleh karena itu di tengah era postmodernisme dan post-
truth yang menjadi ciri milenium ketiga, hermeneutika filosofis menjadi senjata untuk
memperjuangkan eksistensi Pancasila dan bahkan mengaktualisasi serta
mengkontekstualisasi Pancasila dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Dengan
kata lain, metodologi hermeneutika filosofis menjadi tawaran bagi bangsa Indonesia
untuk memperjuangkan eksistensi Pancasila dalam milenium ketiga.

i
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme : Tantangan Bagi Filsafat, 165.
ii
Weltanschuung adalah istilah dalam bahasa Jerman yang mengartikan pandangan atau pendirian hidup.
Pancasila sebagai Weltanschuung dikenalkan oleh Ir. Soekarno yang menerjemahkan Pancasila sebagai sumber
inspirasi pembentukan identitas atau jati diri manusia Indonesia. Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik
Parahyangan, Pancasila Kekuatan Pembebas (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 30.
iii
Bdk, Ibid, 39.

Anda mungkin juga menyukai