Anda di halaman 1dari 6

UAS ANTROPOLOGI BUDAYA

Nama : Gregorius Paskalis Bryan Krisnawan

NPM : 6122101003

UPACARA LABUHAN

Upacara Adat dari Daerah Istimewa Yogyakarta

Siapa yang tidak mengenal kota Yogyakarta atau jogja? Tidak ada satupun warga
Indonesia yang tidak mengenal Jogja. Yogyakarta atau dikenal oleh masyarakat setempat
dengan nama Jogja atau Yogya adalah ibu kota sekaligus pusat pemerintahan dan
perekonomian dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kota ini adalah kota besar yang
mempertahankan konsep tradisional dan budaya Jawa. Apa yang istimewa di Jogja?
Keistimewaan Yogyakarta tidak hanya dilihat dari sudut pandang politik dan pemerintahan,
namun juga aspek-aspek sosial budaya yang bermuara di Kraton Yogyakarta. Keraton
Yogyakarta adalah simbol budaya adiluhung Jawa. Bagi banyak orang Indonesia, Jogja adalah
semacam kampung halaman kedua. Mungkin karena ratusan ribu orang pernah tinggal di sini
bertahun-tahun ketika kuliah. Mungkin juga karena semua orang diterima seperti di rumah
sendiri ketika di Yogyakarta. Joko Pinurbo, penyair terkemuka Indonesia, mengatakannya
dengan indah, “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.” Oleh karena itu, orang sulit
melupakan keistimewaan Jogja dan akan selalu rindu. Kota yang dipenuhi oleh berbagai
macam kebudayaan yang bahkan wisatawan dari mancanegara tidak segan-segan untuk datang
dan belajar kebudayaan.

Labuhan berasal dari kata labuh yang sama artinya dengan larung, yaitu suatu kegiatan
membuang sesuatu ke dalam air baik di sungai ataupun laut. Upacara Labuhan berarti suatu
peristiwa adat kebiasaan atau tradisi setempat yang ditunjukkan dalam bentuk persembahan
kepada roh di luar kemampuan manusia yang berkuasa di suatu tempat tertentu. Upacara ini
berasal dari masa pemerintahan Panembahan Senopati yang mencoba mencari dukungan moril
untuk memperkuat kedudukannya. Dukungan itu berasal dari Kanjeng Ratu Kidul atau yang
masyarakat kenal sebagai Nyi Roro Kidul, yang merupakan sang penguasa laut selatan.
Upacara ini berlangsung turun-temurun yang saat ini selalu dilaksanakan oleh para
keturunan Panembahan Senopati, yaitu Kerajaan Mataram. Apabila upacara ini diabaikan oleh
anak cucu Panembahan Senopati yang memerintah Mataram maka menurut kepercayaan
Kanjeng Ratu Kidul akan murka. Akibatnya, ia akan memerintah para suruhannya untuk
menyebarkan penyakit dan berbagai macam musibah yang menjadi malapetaka yang besar.
Kewajiban melaksanakan labuhan ini terus berlangsung sampai sekarang meskipun kerajaan
Mataram telah terbagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta
ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Tujuan diadakannya upacara labuhan ialah
untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta. Upacara ini
dilaksanakan sebelum hari penobatan Sri Sultan yang sudah memimpin kerajaan, sehingga
setiap pergantian raja akan terjadi pergantian jadwal upacara labuhan, karena masing-masing
raja berbeda waktu penobatannya.

Adapun beberapa Upacara Labuhan, yaitu Labuhan Dalem, dilaksanakan atas


kehendak Sri Sultan berserta para kerabat Keraton Yogyakarta. Wiyosan Dalem dan Tingalan
Dalem, keduanya memiliki kesamaan, yaitu dilaksanakan setiap tanggal dan bulan kelahiran
Sri Sultan menurut penanggalan Jawa. Ada beberapa kegiatan untuk menyambut tingalan
dalem, antara lain: membuat apem, menyiapkan logam yang terdiri dari emas, perak dan
tembaga, serta menyiapkan sajian untuk sugengan plataran. Labuhan Ageng, upacara yang
bertepatan dengan tahun Dal. Jadi, labuhan ageng hanya dilakukan sekali dalam delapan tahun
(satu windu). Jika dalam satu tahun sudah dilakukan labuhan ageng, maka untuk tahun tersebut
labuhan alit ditiadakan. Pada saat labuhan ageng ini benda-benda yang dilabuh dibagi menjadi
empat bagian untuk dilabuh di empat tempat yang berbeda, yaitu di Parangkusuma, Gunung
Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih Kahyangan. Khusus labuhan ageng untuk Gunung Lawu,
barang yang dilabuh ditambah dengan sebuah payung yang disebut songsong pethak seret
praos. Payung tersebut warnanya sebagian putih dan pada bagian lainnya berwarna keemasan.
Labuhan Alit, upacara labuhan yang dilakukan di luar tahun Dal, sehingga pelaksanaannya
setiap setahun sekali. Namun jika dalam satu tahun sudah dilakukan labuhan ageng, maka
untuk tahun tersebut Labuhan Alit ditiadakan. Pada saat labuhan alit, benda-benda yang
dilabuh dibagi menjadi tiga bagian saja, untuk dilabuh di tiga lokasi labuhan, yaitu
Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Empat lokasi labuhan dipilih berdasarkan
pertimbangan bahwa tempat-tempat tersebut pada zaman dahulu dipakai oleh raja-raja
Mataram (terutama Panembahan Senopati) untuk bertapa dan berhubungan dengan roh halus.
Berikut ini, penulis cantumkan beberapa tempat dan sejarah upacara labuhan yang langsung
diambil dari situs resmi Kraton Yogyakarta tanpa ada pengurangan kata agar tidak terjadi
kesalapahaman.

Labuhan Parangkusumo, Parangkusumo terletak di pesisir selatan Yogyakarta atau


lebih tepatnya berada di wilayah Kabupaten Bantul. Parangkusumo merupakan tempat yang
dipilih Panembahan Senopati untuk bertapa, merenung dan memohon petunjuk kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa agar bisa menjadi pemimpin yang baik. Menurut legenda, ketika bertapa
Panembahan Senopati bertemu dengan penguasa laut selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Dalam
pertemuan tersebut Kanjeng Ratu Kidul berjanji akan membantu Panembahan Senopati dan
keturunannya. Pada akhirnya Panembahan Senopati berhasil mendirikan sebuah kerajaan, yaitu
Mataram dan Keraton Yogyakarta merupakan salah satu kerajaan penerusnya. Hal inilah yang
mendasari dipilihnya Parangkusumo sebagai salah satu lokasi labuhan.

Labuhan Merapi, Gunung Merapi terletak di wilayah Kabupaten Sleman yang berada
tepat di ujung utara wilayah DIY. Gunung Merapi menjadi salah satu lokasi labuhan karena
dianggap berperan dalam sejarah berdirinya kerajaan Mataram. Pada tahun 1586, kondisi
politis Kerajaan Pajang dan Mataram memanas. Hal ini disebabkan karena perkembangan
Mataram sebagai wilayah otonom dibawah kerajaan Pajang sangat pesat sehingga
menimbulkan kekhawatiran bagi penguasa kerajaan Pajang yang kala itu dipimpin oleh Sultan
Hadiwijaya. Keresahan itu membuat Kerajaan Pajang menggulirkan rencana perang untuk
melemahkan Mataram. Ketika pasukan Pajang menyerbu Mataram, pada saat bersamaan
Gunung Merapi meletus. Letusan Merapi menghancurkan perkemahan pasukan Pajang di
wilayah Prambanan. Perangpun berakhir, dan selamatlah Mataram dengan mundurnya pasukan
Pajang.

Labuhan Lawu, Gunung Lawu dipercaya sebagai tempat pengasingan Prabu


Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1478, Majapahit diserang oleh
Girindrawardhana dari Kerajaan Kaling. Karena tentara Majapahit tidak mampu menghalau
serangan tersebut, Prabu Brawijaya V memutuskan untuk menyingkir ke Gunung Lawu dan
hidup menjadi seorang pertapa dan bergelar Sunan Lawu. Prabu Brawijaya V merupakan
leluhur dari pendiri kerajaan Mataram dan Keraton Yogyakarta sehingga sebagai bentuk
penghormatan, Gunung Lawu dipilih menjadi lokasi upacara labuhan. Gunung Lawu terletak
di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setiap dilaksanakan Upacara Labuhan,
uborampe labuhan diserahterimakan kepada Juru Kunci Gunung Lawu yang berada di
Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Labuhan Dlepih Khayangan, Perbukitan Dlepih Khayangan terletak di kecamatan
Tirtamaya, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Selain Parangkusumo, Dlepih Khayangan
merupakan tempat yang digunakan Panembahan Senopati untuk bertapa sebelum membangun
kerajaan dan pemerintahan yang kuat. Selain Panembahan Senopati, tempat ini juga digunakan
untuk bertapa raja-raja Mataram dan raja Kasultanan Yogyakarta, yaitu Sultan Agung
Hanyakrakusumo dan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I). Berbeda
dengan upacara labuhan lainnya, upacara Labuhan Dlepih Khayangan hanya dilaksanakan
delapan tahun sekali pada tahun Dal atau setiap sewindu penobatan Sultan. Upacara ini
digolongkan dalam Labuhan Ageng, sedangkan upacara Labuhan yang lain digolongkan dalam
Labuhan Alit yang digelar setiap tahun.

Sajen Labuhan, Ubarampe merupakan bentuk sedekah dari pihak Kraton yang
biasanya berisi kain batik beragam motif, potongan rambut dan kuku, serta minyak wangi milik
Sultan. Ubarampe itu kemudian dibawa dalam prosesi labuhan yang salah satunya diadakan di
Pantai Parangkusumo, Bantul. Setelah melakukan serangkaian prosesi, Ubarampe itu
kemudian dibawa Tim SAR menuju laut untuk dihanyutkan dalam deburan ombak laut selatan.
Sesaji yang digunakan dalam Upacara Labuhan dibuat secara bersama-sama dengan sajian
untuk sugengan plataran. Sajen ini dibuat oleh kedua pawon (dapur) Keraton Yogyakarta,
yaitu pawon sakalanggen (dapur sebelah timur) dan pawon Gebulen (dapur sebelah barat).
Sesaji tersebut terdiri atas: sanggan, tukon pasar, pala gumantung, pala kependhem dan pala
kasimpar. Benda-benda yang dilabuh antara lain: Potongan kuku (kenaka) dari Sri Sultan yang
dikumpulkan selama satu tahun, potongan rambut (rikma) dari Sri Sultan yang dikumpulkan
selama satu tahun, beberapa potong pakaian bekas milik Sri Sultan, benda bekas milik Sri
Sultan yang berujud payung (songsong), Layon sekar, yaitu sejumlah bunga yang telah layu
dan kering, dari bekas bunga sesaji pusaka-pusaka keraton yang dikumpulkan selama satu
tahun, dan sejumlah barang yang sebagian besar terdiri dari kain.

Setelah diproklamasikan pada tanggal 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ),
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat membutuhkan aparatur negara yang berasal baik dari
golongan sipil maupun militer. Abdi Dalem merupakan aparatur sipil, sedangkan aparatur
militernya adalah prajurit keraton. Abdi Dalem bertugas sebagai pelaksana operasional di setiap
organisasi yang dibentuk oleh Sultan. Tanpa adanya Abdi Dalem, roda pemerintahan tidak akan
berjalan. Selain menjalankan tugas operasional pada setiap organisasi di keraton, Abdi Dalem
juga merupakan ‘abdi budaya’. Abdi budaya adalah orang yang bisa dan mampu memberi suri
tauladan bagi masyarakat luas. Abdi Dalem harus bisa menjadi contoh kehidupan di
masyarakat, bertindak berdasarkan unggah-ungguh dan paham akan tata krama. Oleh karena
itu, senyum yang selalu merekah, ramah dan sopan santun yang tinggi merupakan hal yang
selalu ditunjukan oleh para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.

Ada hal yang menarik dari Abdi Dalem, yaitu komunikasi diantara para Abdi Dalem.
Bahasa yang digunakan di dalam Keraton Yogyakarta adalah Bahasa “Bagongan”. Bahasa
Bagongan berbeda dengan Bahasa Jawa pada umumnya. Dengan Bahasa Bagongan,
komunikasi antar Abdi Dalem kemudian tidak mengenal perbedaan derajat dan pangkat. Abdi
Dalem Keraton Yogyakarta dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: Punakawan dan Kaprajan.
Abdi Dalem Punakawan merupakan abdi yang berasal dari kalangan masyarakat umum. Abdi
Dalem Punokawan adalah tenaga operasional yang menjalankan tugas keseharian di dalam
keraton. Dibagi menjadi 2 golongan, yaitu Abdi Dalem Punakawan Tepas dan Abdi Dalem
Punakawan Caos. Abdi Dalem Punakawan Tepas mempunyai jam kerja selayaknya pegawai
yang bekerja di kantor, sedangkan Abdi Dalem Punakawan Caos hanya menghadap ke keraton
setiap periode sepuluh hari sekali. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan tanda hormat dan
kesetiaan sebagai abdi.

Selain sebagai bentuk rasa syukur, upacara Labuhan merupakan bentuk napak tilas dari
terbentuknya Kerajaan Mataram dan permohonan akan keselamatan Sultan serta kesejahteraan
masyarakat Jogja. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat menyebut upacara ini dibuat sebagai
bentuk perwujudan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana, yaitu upaya menghormati dan
menjaga keserasian, keselarasan, dan keseimbangan alam. Keselarasan hidup manusia harus
beriringan dan sejalan dengan alam. Manusia tidak akan pernah terlepas dari Allam yang
adalah satu-satunya sarana kehidupannya. Di sisi lain, jika manusia merusak alam berarti
secara langsung manusia juga merusak kehidupannya. Ketergantungan pada alam inilah yang
harus manusia sadari sebagai sarana kehidupannya di dunia ini.

Keadaan alam sekitar sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, dimana mereka


tinggal. Pengaruh alam sekitar akan terlihat pada sistem mata pencaharian, teknologi pertanian,
pola perkampungan serta adat istiadatnya. Melihat keadaan atau lingkungan Parangtritis yang
sebagian besar berupa persawahan dan ladang, maka sebagian besar penduduknya bekerja
sebagai petani, baik sebagai pemilik tanah atau buruh. Meskipun demikian, ada juga penduduk
yang bekerja sebagai pegawai negeri, pedagang, buruh bangunan, dan abdi dalem. Sehubungan
dengan upaya mewujudkan kesejahteraan, kebahagiaan dan ketenangan hidup masyarakat,
maka pada waktu tertentu, mereka melakukan hal-hal yang bersifat keagamaan yang telah
menjadi tradisi masyarakat.
Tradisi yang masih biasa dilakukan oleh masyarakat Parangtritis adalah berkaitan
dengan daur hidup maupun tradisi yang berhubungan dengan pertanian dan ternak. Di samping
itu, masyarakat masih kuat melaksanakan upacara-upacara adat yang berkenaan dengan daur
hidup. Misalnya, upacara mitoni (saat kandungan ibu hamil umur 7 bulan), brokohan (pada
saat kelahiran anak), perkawinan, kematian, budaya-budaya lokal yang lain, yang sampai
dewasa ini masih dilestarikan. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang transenden, maka
Upacara Labuhan diberikan untuk memberikan penghormatan kepada Tuhan, leluhur, dan
spirit hidup lainnya. Sekaligus mengukuhkan harmoni kerukunan dalam komunitas sosialnya.
Dalam menjaga harmoni sosial tersebut, seluruh prosesi upacara adat sangat berpern dalam
menjaga dan mengukuhkan kewibawaan Keraton, karena bagi mereka Keraton adalah lembaga
yang tidak saja memiliki posisi sangat kuat secara kultural, tetapi juga sangat berpengaruh
secara sosial-politik.

Referensi:

1. https://www.youtube.com/watch?v=yEIT8VgzUQo&ab_channel=PaniradyaKaistime
wan

2. https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/317-upacara-labuhan

3. https://www.kompas.com/stori/read/2022/05/24/090000279/upacara-labuhan-tradisi-
panembahan-senopati-yang-masih-lestari?page=all

4. https://www.merdeka.com/jateng/5-fakta-tradisi-labuhan-kraton-yogyakarta-
menyelaraskan-diri-dengan-alam.html

5. https://www.kratonjogja.id/hajad-dalem/2-hajad-dalem-labuhan/

6. https://www.kratonjogja.id/abdi-dalem/3-tugas-dan-fungsi-abdi-dalem/

7. https://www.kratonjogja.id/abdi-dalem/2-pangkat-dan-kedudukan-abdi-dalem/

Anda mungkin juga menyukai