A. Latar Belakang
A. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat diketahui bahwa rumusan masalah
dari kegiatan kunjungan langsung adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah keraton Yogyakarta?
2. Apa filosofi yang terdapat di keraton Yogyakarta?
3. Apa saja kebudayaan yang ada di keraton Yogkarta?
4. Bagaimana antropologi kesultanan Jogja?
B. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya kegiatan kunjungan langsung ke keratonadalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah keraton Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui filosofi yang terdapat di keraton Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui kebudayaan yang ada di keraton Yogkarta.
4. Untuk mengetahui antropologi kesultanan Jogja.
LAPORAN HASIL KUNJUNGAN
Sumber : Buku
C. Pakaian adat
2. Pakaian Dinas
Pakaian Dianas terdiri dari tiga jenis, yakni Pakaian
Ageng, Pakaian Pethok, dan Pakaian Tindakan. Berikut hanya akan
dijelaskan jenis-jenis Pakaian Ageng, yang merupakan pakaian dinas
harian para pejabat di lingkungan keraton.
Pakaian Ageng merupakan seperangkat pakaian adat yang berupa
model jas laken berwarna biru tua dengan kerah model berdiri, serta
dengan rangkapan sutera berwarna biru tua, yang panjangnya mencapai
bokong, lengkap dengan ornamen kancing-kancing bersepuh emas.
Celananya sendiri berwarna hitam. Topi yang dikenakan terbuat dari
bahan laken berwarna biru tua, dengan model bulat-panjang, dengan tinggi
8 cm.
Pakaian Ageng yang dikenakan oleh masing-masing pejabat,
memiliki sedikit perbedaan sebagai penanda strata dan fungsi mereka.
Berikut adalah para pejabat di lingkungan keraton dan perbedaan atribut
yang mereka sandang:
a. Pakaian bupati bertitel pangeran diberi plisir renda emas lugas lebar 1
cm, dipasang secara teratur di tepi kerah. Pada semua bagian tepi jas
diberi hiasan renda dengan bordiran motif bunga padi.
b. Pakaian bupati bertitel adipati “song-song jene” (payung kuning)
mirip pakaian bupati bertitel pangeran, hanya terdapat sedikit hiasan
bordiran pada bagian bawah kerah tidak melingkar secara penuh,
tetapi ada jarak sekitar 8 cm.
c. Pakaian bupati bertitel adipati mirip pakaian adipati “song-song
jene”. Perbedaannya terletak pada hiasan bordiran pada bagian bawah
kerah.
d. Pakaian bupati bertitel temanggung seperti pakaian adipati, dengan
perbedaan pada bordiran sebelah bawah, yang panjangnya hanya 2/3
dari ukuran lingkaran jas.
e. Pakaian patih seperti pakaian tumanggung, tetapi bordiran di bagian
depan panjangnya sampai 3 ½ cm sampai bagian bawah kancing.
f. Pakaian kepala distrik (wedana) mirip pakaian patih, tetapi dengan
bordiran bagian depan dan bagian belakang dan ujung lengan hanya 2
cm lebarnya dari plisir.
g. Pakaian kepala onder distrik (asisten wedana), mirip pakaian patih,
tetapi bordiran bagian depan dan bagian belakang dan ujung lengan
hanya 2 cm lebarnya dari plisir.
h. Pakaian mantri polisi seperti pakaian kepala onder distrik, tetapi tana
plisir di bagian depan dan tanpa bordiran bunga padi pada bagian
kerahnya.
5. Pakaian Mantijero
Prajurit Mantrijero mengenakan sperangkat pakaian yang terdiri
atas baju lurik, celana tanggung bahan lurik, sepatu pantofel hitam dari
kulit, kaos kaki putih pajang, boro motif cindhe, yang pada bagian
bawahnya dihiasi dengan rumbai-rumbai warna emas. Mengenakan topi
songkok hitam model minak jinggo, sarung tangan putih, dan membawa
pedang panjang.
E. Kesenian
Kesenian-kesenian yang ada di keraton Yogyakarta meliputi sebagai berikut :
1. Tari
Salah satu tari yang terdapat di keraton adalah Tari Golek Menak yang
merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Penciptaan tari Golek Menak berawal
dari ide sultan setelah menyaksikan pertunjukkan Wayang Golek Menak
yang dipentaskan oleh seorang dalang dari daerah Kedu pada tahun 1941.
Disebut juga Beksa Golek Menak, atau Beksan Menak. Mengandung arti
menarikan wayang Golek Menak. Karena sangat mencintai budaya Wayang
Orang maka Sri Sultan merencanakan ingin membuat suatu pagelaran yaitu
menampilkan tarian wayang orang. Untuk melaksanakan ide itu Sultan pada
tahun 1941 memanggil para pakar tari yang dipimpin oleh K.R.T.
Purbaningrat, dibantu oleh K.R.T. Brongtodiningrat, Pangeran
Suryobrongto, K.R.T. Madukusumo, K.R.T. Wiradipraja,
K.R.T.Mertodipuro, RW Hendramardawa, RB Kuswaraga dan RW
Larassumbaga. Proses penciptaan dan latihan untuk melaksanakan ide itu
memakan waktu cukup lama. Pagelaran perdana dilaksanakan di Kraton
pada tahun 1943 untuk memperingati hari ulang tahun sultan.
2. Wayang
Wayang kulit
Pertunjukkan wayang golek
3. Gamelan
F. Adat Istiadat
1. Sekaten
Menurut sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak kerajaan
Islam Demak. Meski sebelumnya, ketika jaman pemerintahan raja Hayam
Wuruk di Majapahit, perayaan semacam Sekaten yang disebut
SRADAAGUNG itu sudah ada. Perayaan yang menjadi tradisi kerjaaan
Majapahit tersebut, berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai
dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.
Namun ketika Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan
islam Demak, oleh Raden Patah (Raja Demak I) dengan disertai dukungan
para wali, perayaan tersebut selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang
bersifat islami. Serta menjadi sarana pengembangan islam yang dilakukan
oleh para wali, dengan membunyikan gamelan yang bernama KYAI
SEKATI, pada setiap bulan Maulud, dalam rangka perayaan hari kelahiran
Nabi Muhamad SAW. Perayaan itu kemudian disebut SEKATEN (dari
kata Sekati).
Pendapat lainnya menyatakan bahwa, kata SEKATEN berasal dari
bahasa arab, yaitu SYAHADATAIN, yang berarti Dua Syahadat atau
kesaksian. Dua syahadat itu ialah:
a. SYAHADAT TAUHID, kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah.
b. SYAHADAT RASUL, kesaksian atau pengakuan bahwa Nabi
Muhamad itu Rasul atau utusan Allah.
Perayaan sekaten yang diselenggarakan di kraton Yogyakarta
berlangsung hingga tanggal 5 hingga 11 Maulud atau Rabiul Awal. Acara
ini diawali dengan dibunyikan dua perangkat gamelan yang bernama
KYAI GUNTUR MADU (dari Demak) dan KYAI NAGAWILAGA
(ciptaan Sri Sultan HB I) di bangsal konconiti, diseratai pemberian
sedekah Sri Sultan berupa udhik-udhik, pleh utusan sultan.
Setelah selesai, kemudian dengan dikawal oleh prajurit kraton , dua
perangkat gamelan tersebut dikeluarkan menuju halaman masjid agung.
Selanjutnya gamelan Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan selatan
dan Kyai Nagawilaga ditempatkan di pagongan utara.
Dengan gending-gending tertentu ciptaan para wali, dibunyikannya
gamelan tersebut dibunyikan secara bergantian selama 7 hari, kecuali
kamis malam sampai jumat siang sehabis sholat jumat, pada jam 08.00-
12.00 WIB, 14.00-17.00 WIB, dan 20.00-24.00 WIB. Semula gamelan
sekaten itu memiliki daya panggil yang sangat besar terhadap warga, dan
mereka berdatangan menyaksikannya. Kepada mereka kemudian diberikan
penyuluhan tentang dan penerangan tentang agama islam dan bagi
masyarakat yang sukarela masuk islam, diberikan bimbingan
mengikrarkan imannya dengan mengucapkan syahadatain. Karena terjadi
perubahan ucapan maka kata syahadatain berubah menjadi sekaten.
Inti dari perayaan ini berupa peringatan Maulid Nabi Muhamad
SAW tanggal 11 Maulud malam diserambi masjid agung, dengan
pembacaan riwayat Nabi Muhamad SAW, oleh abdi dalem penghulu
kraton dihadapan sultan.
2. Upacara Garebeg
Garebeg adalah upacara adat di kraton Yogyakarta yang
dislenggarakan tiga kali dalam satu tahun untuk memperingati hari besar
islam. Mengenai istilah Garebeg ini berasal dari bahasa jawa “Grebeg”,
yang berarti “diiringi para pengikut”. Karena perjalanan sultan keluar dari
istana itu memang selalu diikuti banyak orang, sehingga disebut
GAREBEG. Pengertian lain mengatakan bahwa karena gunungan itu
diperebutkan warga yang berarti digrebeg, maka disebut GAREBEG.
Pelaksanaan upacara tersebut bertepatan dengan hari-hari besar
islam seperti:
a. GAREBEG SYAWAL, dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal
untuk memperingati hari raya lebaran atau idul fitri.
b. GAREBEG BESAR, dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan besar
(Dzulhijjah) untuk memperingati hari raya kurban atau idul adha.
c. GAREBEG MAULUD, dilaksanakan pada hari keduabelas bulan
Maulud (Rabiul Awal) untuk memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW.
Pada setiap upacara Garebeg, Sultan berkenan member sedekah
berupa gunungan kepada rakyatnya. Gunungan tersebut berisi makanan
yang dibuat dari ketan, telur ayam, buah-buahan, serta sayuran yang
semuanya dibentuk seperti gunung (tumpeng besar) sehingga disebut
gunungan. Gunungan ini sebagai symbol kemakmuran dan kesejahteraan
kerajaan Mataram.
Upacara adat ini diawali dari halaman kemandungan Lor (Keben).
Dengan dikawal oleh prajurit Kraton, gunungan yang berada di bangsal
Ponconiti dibawa oleh abdi dalem menuju Alun-alun Lor melalui halaman
Sitihinggil Lor dan Bangsal Pagelaran. Setibanya do Alun-alun Lor
gunungan tersebut disambut dengan tembakan salvo oleh prajurit kraton
sebagai penghormatan.
Selanjutnya gunungan tersebut dibawa menuju halaman Masjid
Agung untuk dibacakan doa terlebih dahulu oleh Abdidalem Penghulu
Kraton, demi kemuliaan Sultan dan kesejahteraan rakyat. Setelah itu
gunungan itu diperebutkan oleh masyarakat yang ingin mendapatkan
berkah dari gunungan itu.
3. Upacara Labuhan
Yang disebut dengan upacara labuhan (laut) yaitu upacara
melempar sesaji dan benda-benda kraton kelaut, untuk dipersembahkan
kepada penguasa laut selatan atau Kanjeng Ratu Kidul, dengan maksud
sebgai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta, atas segala kemurahan
yang telah diberikan kepada seluruh pimpinan dan rakyat Yogyakarta serta
berharap semoga Kraton Mataram Yogyakarta teatp lestari dan rakyat
selau hidup dengan damai sejahtera.
Upacara tradisional labuhan ini bermula sejak jaman Panembahan
Senopati di Mataram Kota Gede. Panembahan Senopati yang terlibat
percintaan dengan penguasa laut selatan itu, kemudian mempunyai
gagasan untuk menyelenggarakn upacara persembahan sesaji kepada
Kanjeng Ratu Kidul di pesisir selatan. Upacar tersebut sebagai ungkapan
rasa syukur atas keberhasilannya dalam memimpin kerjaan mataran
kotagede.
Upacara adat yang merupakan warisan budaya bangsa tersebut,
hingga sekarang masih diselenggarakan dan tetap dilestarikan oleh raja-
raja kesultanan Yogyakarta.
Upacara Labuhan yang digelar oleh kraton ini, selain
diselenggarakan di pesisir selatan, juga diadakan di gunung merapi,
gunung lawu dan dlepih kahyangan, wonogiri (yang disebut terakhir hanya
tiap 8 tahun sekali).
Adapun upacara labuhan ini ada 3 jenis yaitu:
a. LABUHAN AGENG, diselenggarakan pada peringatan Jumenengan
Dalem (HUT Penobatan Raja), yang diadakan tiap 8 tahun sekali pada
bulan Bakdamulud (rabiul akhir).
b. LABUHAN TENGAHAN, diselenggaran pada bulan bakdamulud,
setiap 4 tahun sekali.
c. LABUHAN ALIT, diselenggarakan setiap tahun sekali setelah acara
peringatan jumenengan dalem, juga pada bulan bakdamulud.
Laporan ini disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kebudayaan
Daerah
Dosen Pengampu :
Dian Indah Purnamasari, M. Pd